Saturday, August 31, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 44

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  44

(Tien Kumalasari)

Sore itu Galang pulang dengan langkah gontai. Putri yang menyambut didepan merasa heran, Galang seperti tak bersemangat.

"Mas, mas Galang baik=baik saja?" tanya Putri sambil mencium tangan suaminya.

"Agak pusing kepalaku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering pusing," jawab Galang sambil mencium pipi isterinya, kemudian anaknya yang ada dalam gendongan isterinya.

"Kalau begitu mas istirahat dulu sebentar, ganti baju, kita ke dokter."

"Nggak usah lah sayang, aku istirahat saja." kata Galang sambil masuk kedalam, diikuti isterinya.

"Nggak bisa mas, kalau pusing sekali masih bisa ditolerir, tapi kalau sering pusing, pasti ada apa-apa. Sebentar mas, biar Adhit sama simbok, aku antar mas ke dokter."

"Aku mandi dulu saja ,"

"Nggak usah mandi mas, cuci muka, cuci kaki tangan, lalu ganti pakaian. Kalau ingin mandi juga, biar simbok menyiapkan air hangat. Nggak bagus orng lagi sakit mandi air dingin."

Putri meletakkan Adhitama ditempat tidur, lalu ke belakang mencari simbok. Ia berpapasan dengan simbok yang membawa nampan berisi secangkir teh hangat.

"mBok, ini untuk mas Galang? Biar aku saja, tolong panaskan air untuk mandi mas Galang ya mbok."

Simbok menyerahkan nampan lalu berbalik kebelakang.

"Ini mas, tehnya diminum dulu."

Galang meneguk tehnya.

"Simbok baru memanaskan air untuk mandi, mas ganti baju dulu, aku juga mau siap=siap.

"Isteriku suka memaksa deh," keluh Galang, tapi sambil tersenyum.

"Biar saja, aku nggak mau mas sakit," kata Putri yang kemudian menuju kekamarnya."

Namun setiba dikamar Putri terkejut melihat Adhitama sudah sampai dipinggir tempat tidur.

"Ya ampun Adhit, aduuh... kamu itu mau kemana? Kalau sampai jatuh, bukan hanya kamu yang nangis, ibu juga akan ikut menangis," kata Putri sambil mengangkat tubuh Adhit diletakkannya agak ketengah.

"Ada apa ?" tiba-tiba Galang mengikuti masuk kekamar setelah mendengar teriakan Putri.

"Ini mas, baru ditnggal sebentar saja Adhit sudah minggir sampai disitu. Geraknya sudah luar biasa, pengin tengkurap juga."

"O, anaknya bapak yang ganteng, rupanya bapak harus membelikan kamu box sendiri yang agak besar., kata Galang sambil merebahkan diri disamping anaknya.

"Mas, kalau ibu tau, atau simbok tau, pasti mas dimarahi. Kalau habis bepergian, dilarang mendekati bayi sebelum cuci kaki tangan.

"Oh iya, bapak lupa," Galang merosot turun.

"Besok bapak belikan box yang agak besar ya, supaya kamu bisa bergerak lebih leluasa, tanpa takut terjatuh."

"Mas, kalau box agak besar itu mau ditaruh dimana? Kamar sekecil ini masih mau ditambahin box bayi. Tidur dibawah saja mas, sama-sama dibawah, lebih aman."

"Dengar Putri, kita akan dapat rumah dinas, lumayan besar."

"Apa mas? Rumah dinas?"

"Iya, aku sama Raharjo dapat rumah dinas, aku sudah melihatnya, bagus dan besar, perabotannya sudah lengkap, itu fasilitas dari kantor. Minggu depan kita siap-siap pindah."

"Ya ampun mas, itu benar? Syukurlah... " jawab Putri terharu.

"Jeng, airnya sudah simbok siapkan dikamar mandi," kata simbok tiba-tiba.

"Ya mbok, terimkasih. Itu mas, mandi sana aku siapkan pakaian mas.

Galang tak membantah. Mungkin memang ia butuh memeriksakan kesehatannya.

Sepeninggal Galang Putri menciumi anaknya. 

"Adhit, kamu dengar tadi? Bapak akan mendapat rumah  baru yang lebih besar, kamu boleh bergulung gulung lebih leluasa nanti.

"mBok... simbok.." teriak Putri memanggil simbok.

"Ya jeng..."

"mBok, tolong awasin Adhitama, aku mau ganti pakaian."

"Baik jeng. O.. gantengnya cucunya simbok.. sudah pengin tengkurap ya... aduuh.. bahaya ini kalau ditidurkan sendirian jeng."

"Ya itu mbok, makanya simbok aku suruh ngawasin sementara aku berpakaian. Nanti kasurnya biar diangkat kebawah saja, jadi kalau Adhit bergeraknya banyak nggak menghawatirkan."

"Iya jeng, lebih baik begitu. Ini jeng mau pergi?"

"Iya mbok, mau nganter mas Galang ke dokter, kepalanya sering pusing katanya. Jadi nanti aku nitip Adhit dulu sebentar ya mbok."

"Iya jeng, sudah minum kenyang ya?"

"Sudah mbk, sebelum mas Galang datang sudah minum. Nanti kalau ditaruh ditempat tidur, simbok harus njagain. Sepulang dari dokter nanti biar kasurnya ditaruh dibawah saja."

**"

"Ada apa sih, kamu suruh aku mampir sebentar? Jangan bilang bahwa kamu menyuruh aku menanak nasi buat kamu," kata Retno sambil mengikuti Raharjo masuk kedalam rumah kontrakannya yang kecil.

"Ya enggak, kalau cuma menanak nasi saja aku sudah pinter, tinggal nyuci beras, sedikit air, masukkan kedalam rice cooker, selesai," kata Raharjo sambil tersenyum.

"Iya, aku kan cuma bercanda."

"Duduklah dulu, aku mau ngomong sedikit."

"Kamu bikin aku deg-degan lho Jo."

"Nggak apa-apa, cuma mau nanya, tadi mas Galang ngomong apa sama kamu?"

"Ah, mau tau aja," kata Retno jual mahal. Ia tak menjawab, malah mengeluarkan ponselnya dan membuka-buka barangkali ada pesan disana.

"Retno, aku bertanya, serius."

"Nggak ngomong apa-apa, cuma so'al kerjaan."

"Bohong."

"Bener, memangnya ada apa?"

"Aku minta ma'af kalau mas Galang ngomong yang enggak-enggak, dia itu suka iseng saja."

"Lho, ini masalah apa sebenarnya?"

"Tadi gara-gara aku mengeluh so'al rumah."

"Rumah? Maksudnya?"

"Itu, rumah yang diberikan kantor untuk aku, aku cuma bilang, wah, aku cuma sendiri, rumah sebesar itu untuk apa, lalu mas Galang bilang, supaya aku cepat-cepat cari isteri."

"Mm.. lalu?"

"Ma'af kalau mas Galang menyingung-nyinggung kamu."

Retno tersenyum, dan sungguh, sore itu Raharjo terpana melihat senyuman itu. Mengapa baru sekaang menyadari betapa manisnya bibir tipis yang sedang menyunggingkan senyuman itu.

 Raharjo memandanginya tak berkedip, sementara dadanya berdebar tidak karuan.

"Kamu itu kenapa Jo? Kalau mas Galang menyingung=nyinggung aku, memangnya kenapa? Kan ngomongnya juga sama aku?"

"Maksudku... menyinggung kamu... sama aku..."

Retno tersenyum semakin lebar, dan dada Raharjo berdegup semakin kencang.

"Jo.. baiklah aku akan berterus terang, tentang sebagian yang dibicarakannya sama aku. Mas Galang bertanya, apakah kamu masih mencintai Putri?"

"Apa jawaban kamu?"

"Ya masih, lah... memang masih kan?"

"Kamu ada-ada saja.."

"Memang aku salah?"

"Tidak sepenuhnya benar."

"Yang mana?"

"Aku belum melupakannya, tapi kalau cinta, aku kira sudah berlalu,"

"Kata mas Galang masih sekeping.."

"Itu kan kecil.."

"Baiklah, apa lagi yang mau ditanyakan?"

Raharjo sudah membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti diujungnya. Mungkin mengatakan suka.. atau cinta, tapi rasa takut masih menghantuinya. Rasa takut yang sesungguhnya tidk beralasan, karena Raharjo bukanlah Teguh, walau itu sebuah kesatuan.

Retno bukan tak tau apa yang sebenarnya ada diujung mulutnya Raharjo, tapi mana berani dia menebak-nebak?

"Ret. tiba-tiba aku mau ketemu mas Galang,bagaimana kalau kita kerumahnya? Aku juga ingin membicarakan soal tarian itu sama bu Galang."

"Lho, kita kan baru pulang dari kantor, belum mandi, apalagi ganti pakaian."

"Kamu tungguin aku mandi sebentar," kata Raharjo yang kemudian beranjak berdiri.

"Enaknya, ya enggak lah, aku mau pulang dulu, lalu aku samperin kamu. Rumahku kan nggak jauh dari sini, maksudku, rumah omku .." lalu Retno menutup mulutnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu beranjak berdiri dan bersiap pulang. Memang Retno tidak kost seperti halnya Raharjo, tapi menempati rumah pak Haris yang kosong tidak terpakai.

Tiba-tiba Raharjo menyesali Retno yang menutupi mulutnya ketika tertawa. Bukankah senyum dan tawanya mempesona? Lalu Raharjo memaki dirinya sendiri karena tak mampu mengucapkan suka, apalagi cinta.

"Hei, kok bengong?" kata Retno ketika melihat Raharjo justru kembali duduk sambil memandanginya tak berkedip.

"Oh, iya... ide bagus, aku mau mandi dulu."

"Baiklah, mandi sana, aku segera kembali."

Dan Raharjo masih saja terbengong sampai ketika mobil Retno menghilang dari depan pagar rumahnya.

***

"Mana, sekarang aku yang nyetir, kepalaku sudah nggak pusing lagi kok." kata Galang dalam perjalanan pulang dari  apotik setelah memeriksakan kesehatannya ke dokter.

"Mas Galang gitu ya, baru saja merasa sembuh sudah mengira benar-benar sembuh."

"Dokter tadi  kan bilang bahwa aku ini nggak sakit apa-apa, jadi rasa pusing yang kadang-kadang menyerang itu masih karena efek obat tidur yang aku  minum sepuluh harian lalu. Tapi tadi sudah disuntik, dan sembuh kok. Juga sudah dikasih obat, nih.." kata Galang sambil menunjukkan sekantung obat yang diletakkan disampingnya.

"Baiklah, aku minggir dulu ya."

Dan Galang kemudian menyetir sendiri mobilnya.

"Mampir ke toko yang jual perlengkapan bayi dulu ya?" kata Galang.

"Mau aoa mampir kesana?"

"Kalau ada yang bagus dan cocog, kita beli sekalian box untuk Adhit."

"Lha mau diletakkan dimana mas? Kamar sekecil itu, sudah ada almari, kaca hias, nggak mungkin cukup untuk boxnya Adhit."

"Gampang, nanti kita atur, pokoknya mampir dulu, lihat-lihat, trus habis itu kita makan ya?"

"Hm, tumben ngajak makan diluar."

"Nggak apa-apa, sekali-sekali kan boleh."

***

Simbok sedang menggendong Adhitama diteras, dan hampir masuk kedalam untuk menidurkan Adhit, ketika dilihatnya mobil berhenti didepan pagar.

"Oh, bukan mobilnya pak Galang tuh, ada tamu kayaknya," gumam simbok.

Dan dua orang turun dari mobil itu, langsung masuk kedalam.

"Kulanuwun mbok..." sapa Retno, tamu itu, hampir bersamaan dengan Raharjo.

"Mangga.. "

"Mas Galang ada?"

"Oh, pak Galang sedang pergi sama isterinya," jawab simbok sambil menepuk nepuk pantat Adhit yang terlelap digendongannya.

"Oh, pergi ya? Sudah lama?"

"Sudah lumayan lama sih pak, katanya ke dokter."

"Lhoh, siapa yang sakit?"

"Pak Galang bu, katanya sering pusing, lalu sama isterinya diajak ke dokter. Tapi kok lama ya, takutnya mas Adhit rewel minta minum."

"Mampir-mampir mungkin," kata Raharjo.

"Oh, ini putranya mas Galang ya, waaah.. ganteng banget ya Jo,"

Raharjo yang ikut melongok kearah Adhit tiba-tiba merasa pernah melihat bayi itu.

"Ya kan Jo, ganteng bangett... eh.. nyenyak sekali tidurnya...siapa namanya mbok?" 

"Adhitama bu, ayo silahkan duduk mungkin sebentar lagi mereka pulang," kata simbok mempersilahkan.

"Aku seperti pernah melihat bayi itu," celetuk Raharjo tanpa sadar.

"Mimpi kamu .. kesini saja baru sekali.."

Raharjo tertawa.

"Iya mungkin, dalam mimpi."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 













Friday, August 30, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 43

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  43

(Tien Kumalasari)

Hari itu bu Broto merasa senang sekali. Baru saja Putri mengiriminya video Adhitama, yang sedang bergerak gerak dan berusaha untuk tengkurap.. sambil berceloteh lucu. Rasa rindunya kepada cucunya tak tertahankan lagi. Diputarnya ber ulang-ulang video itu.

"Bapak, lihat, cucu kita ini.. belum tiga bulan sudah pengin tengkurap nih.. lihat pak.."

"Ada apa ta bu, cuma liat gambar saja kok berteriak teriak."

"Kesini pak, lihatlah, ini bukan sekedar gambar.. "

"Sebentar bu, ini badanku rasanya kok nggak enak ya," kata pak Broto tanpa beranjak dari duduknya di sofa.

Bu Brroto terkejut, dihampirinya suaminya, dipegangnya keningnya, badannya.

"Keringat dingin ya pak, bapak masuk angin ini. Ayo kekamar, ibu gosokin pakai minyak angin."

"Nggak bu, aku disini saja, ambil obat gosoknya, mau berjalan kekamar saja kok rasanya berat."

Bu Broto segera mengambil obat gosok di almari obat. Digosoknya seluruh badan suaminya sambil diijit pijit. 

"Bapak ganti baju saja dulu ini bajunya basah keringat. Kok bisa sampai begini ta pak, panggil dokter saja ya," kata bu Broto sambil berjalan kearah kamar, dan mengambil baju bersih yang kemudian dipakaikannya pada suaminya.

"Ibu panggil dokter ya."

"Nggak bu, cuma masuk angin saja, nanti juga sembuh."

"Jangan suka menyepelekan penyakit. Kalau orang tiba-tiba keluar keringat dingin seperti ini, pasti ada sesuatu, dan sesuatu itu yang tau kan hanya dokter."

"Sudah lah bu, diam saja, kepalaku bertambah pusing mendengar ibu ngomel tidak karuan."

Pak Broto mencari bantal yang ada di sofa itu lalu membaringkan tubuhnya disitu. Bo Broto mengambilkan segelas teh hangat, yang kemudian diangsurkannya pada suaminya.

"Ini teh hangat pak, diminum dulu."

"Nanti saja bu, aku cuma pengin tidur."

"Pindah kekamar saja pak, kan bisa lebih enak tidurnya."

Tapi pak Broto tak menjawab. Matanya terpejam. Bu Brroto sangat khawatir. Suaminya itu seorang pekerja keras. Selama ini badannya sehat-sehat saja, dan tak pernah mengeluhkan apapun. Ada dokter keluarga yang memeriksa kerumah setiap bulan, tapi selalu dikatakannya -bahwa pak Broto sehat-sehat saja. Sekarang, melihat suaminya seperti lemas tak berdaya, bu Broto menjadi sangat khawatir. Dipijit pijitnya kaki suaminya. Pak Broto tetap memejamkan matanya, mungkin tertidur. Bu Broto berdiri dan berjalan kearah telepone. Ia harus memanggil dokter supaya melihat keadaan suaminya.

Mereka hanya berdua saja dirumah besar itu. Baru saja pembantunya keluar. Sejak simbok pergi mengikuti Putri, bu Broto sudah berganti pembantu tiga kali. Semuanya tak tahan pada sikap pak Broto yang terlihat galak, dan selalu berbicara keras. Bu Broto bisa memaklumi, orang masih baru, pasti nggak akan tahan mendengar suara-suara keras suaminya. Hanya simbok yang bisa melayaninya, itupun kalau mendengar suara keras seringkali juga merasa takut. Hanya karena kemudian Putri lahir, dan simbok menjadi pamongnya, maka simbok menjadi sangat betah mengabdi. 

Sore ini melihat suaminya kesakitan, dan bu Broto lari kesana kemari mencari obat gosok, mengganti pakaian, kemudian harus menelpon dokter, baru terasa betapa beratnya hidup tanpa pembantu. 

***

Pagi itu Galang dan Raharjo dipanggil menghadap pak Haris. Tampak segar pak Haris, dan tanpa beban walau telah mengusir keponakannya dari perusahaan miliknya. Ia bersyukur mendapatkan karyawan2 yang walau masih baru tapi selalu cekatan dalam mengerjakan semua tugas-tugasnya.

"Galang Perkasa dan kamu Teguh Raharjo, ini surat pengangkatan kamu. Terimalah. Aku tak perlu menunggu tiga bulan untuk menentukan posisi yang tepat untuk kalian berdua. Perusahaan ini butuh tenaga-tenaga yang mumpuni seperti kalian, segera, karena aku juga sedang membenahi perusahaan cabangku yang lain. 

Galang dan Raharjo duduk diam, hanya mendengarkan apa yang dikatakan pak Haris. 

"Satu yang paling aku pegang dari para karyawanku adalah kejujuran. Sekali saja berbuat yang menyumpang, silahkan minggir. Kamu tau, aku sudah tua, dan aku tak bisa melakukan semuanya sendirian. Tadinya aku mempercayakannya kepada keponakanku sendiri untuk memegang keuangan perusahaan. Tapi yah.. ternyata aku tak bisa memakainya. Retno, bagus, aku suka Retno, dia pintar, dan selalu bisa menangkap semua perintah-perintahku, dan teman-teman  keponakanku adalah kalian berdua, ternyata aku suka kerja kalian."

"Terimakasih atas kepercayaan yang bapak berikan," kata Galang dan Raharjo hampir bersamaan.

"Ada fasilitas-fasilitas perusahaan untuk kalian. Rumah, mobil. Oh ya, aku dengar kalian masih mengontrak ya? Segera pindah kerumah dinas, nanti akan segera ada yang mengurusnya.

"Tapi kami baru mengontrak selama kurang dari setahun, mungkin Raharjo juga begitu," kata Galang hati-hati, takut dikira menolak fasilitas perusahaan yang diberikan.

"Tidak apa-apa, segera pindah, rumah itu layak kok, lumayan besar, nanti sa'at istirahat kalian akan tau. Bukan berdekatan juga diantara kalian berdua, tapi kondisinya sama."

Galang dan Raharjo hanya mengucapkan terimakasih berkali-kali. Ini bukan masalah kedudukan, tapi masalah tanggung jawab. Mereka harus bekerja lebih keras.

"Baiklah, kalian boleh kembali. Tapi nanti dulu, masalah perayaan ulang tahun itu sudah kamu rencanakan Galang? Raharjo bisa membantu kan?"

"Pasti saya akan bantu mas Galang pak."

"Siapa yang akan menari? Kamu, Raharjo, sama... isteri kamu, Galang?"

"Ya pak, rencananya begitu."

"Baiklah, minggu depan akan ada panitia khusus untuk acara tersebut. Aku harap semua berjalan lancar."

"Siap pak," jawab Galang tandas.

"Sekaligus nanti akan aku umumkan kedudukan kalian kepada seluruh staf dan karyawan. Oke, kembalilah keruangan kalian."

Galang dan Raharjo keluar setelah mengucapkan terimakasih.

***

"Aku baru tau namamu Teguh Raharjo," kata Galang pada waktu makan siang bersama.

"Aku  juga baru tau mas Galang itu namanya Galang Perkasa. Gagah sekali, sesuai dengan orangnya," puji Raharjo.

"Aah, kamu Jo, apalah arti sebuah nama. Aku tahunya kamu ya Jo..Jo.. itu lebih manis, bukan?"

"Iya mas, siap. Tapi ini saya lagi bingung mas."

"Bingung kenapa Jo?"

"Kalau aku harus pindah kerumah dinas, dan katanya rumah itu lumayan besar, sementara aku kan cuma sendirian mas, tapi mau menolak ya nggak berani."

"Lha itu solusinya kan gampang ta Jo, cepatlah menikah. Aku bilang apa dari kemarin-kemarin."

"Lha itu mas, yang mau diajak menikah yang belum ada."

"Belum ada, atau belum berani melamar?"

"Mas Galang tuh..." kata Raharjo sambil menunduk. Terbayang olehnya wajah Putri, yang entah sekarang berada dimana. Alangkah bahagianya seandainya ia bisa memboyong Putri kerumah barunya. Pasti itu rumah yang pantas, apakah pak Broto masih mau menghinanya? Ah, tapi kan Putri sudah hilang bagai ditelan bumi, harusnya Raharjo melupakannya. Dan tampaknya ia mulai membayangkan Retno. Tapi ia ragu, maukah Retno menjadi isterinya? Walau pak Haris telah memberinya kedudukan yang tak pernah disangka-sangkanya, tapi  Raharjo masih tetap merasa rendah  diri. Apalagi Retno itu keponakan pak Haris. Merinding Raharjo membayangkannya.

Galang memandangi Raharjo dan tertawa lucu.

"Kamu itu setiap diajak bicara so'al pacar, apalagi isteri, pasti wajahmu terus berubah sendu. Sekarang Retno tidak ada, jawablah terus terang, apakah kamu suka sama Retno?"

"Kamu nggak usah malu mengakuinya Jo, jangan takut jatuh cinta." lanjut Galang.

"Aku takut mas, sungguh."

"Nanti aku akan bantu kamu mendekati Retno."

"Apa mas?"

"Sudaah, nggak usah tanya macam-macam. Atau... jangan-jangan kamu masih mencintai pacar lamamu itu Jo?"

Raharjo terdiam. Masih cintakah ia pada Putri?

"Jo, jawab, aku yakin Retno juga ingin tau isi hatimu yang sebenarnya. Oke, aku rumah pertanyaannya, seandainya pada suatu hari nanti kamu ketemu kekasihmu itu, apakah kamu masih mau menerima cintanya?"

"Kalau dia masih mencintai aku,....."

"Kamu mau?"

Raharjo ragu-ragu, itu kan tak mungkin. Tapi kenapa ia masih selalu membayangkannya? Sampai kapan?

"Kamu akan terus menunggunya? Sampai kamu menjadi kakek-kakek?"

Raharjo terdiam. Dimanakah Putri, masihkah Putri mencintainya? Rasa yang tergulung hari dan masa, apakah masih utuh seperti dulu? Raharjo sendiri juga tak yakin, apakah dia masih mencintai Putri atau tidak. Tapi kalau tiba-tiba ketemu.. aduhai, Raharjo bingung menjawabnya. Padahal harapan itu telah pupus. 

"Jo, hadapilah kenyataan. Ada sa'atnya mencintai tidak harus memiliki bukan? Pandanglah jauh kedepan, kamu tidak bisa selamanya seperti ini. Ada gadis cantik yang setia menemani kamu, apakah itu tak bisa menggugah hati kamu?"

Raharjo tersenyum.

"Nggak mas, jangan dulu menuduh aku begitu, aku lagi bingung. Retno itu cantik, dan sangat perhatian sama aku. Tak mudah mendapatkan gadis seperti Retno, cuma saja kok aku takut ya mas."

"Kamu tuh, jawabanmu muter-muter nggak karuan Jo. Nanti aku bicara sama Retno saja, supaya kamu yakin, rasa hati Retno ke kamu itu seperti apa.

"Mas, jangan mas..."

" Sudah, sekarang bicara so'al lain saja. Bagaimana dengan tarian itu? Sudah siapkan tarian apa?"

"Sebentar mas, baru aku pikirkan."

"Atau mau bicara sama isteriku dulu? Barangkali dia punya ide?"

Tanpa menunggu jawaban Raharjo, Galang segera menelpone Putri.

"Ya mas, ada apa?" tanya Putri dari seberang sana.

"Mau bicara sama Raharjo?  Mungkin tentang tarian yang akan kalian peragakan.,"

"Nggak usah mas, aku terserah dia saja."

"Jo, terserah kamu, kamu sudah punya pilihan?" katanya kepada Raharjo.

"Kalau Karonsih bagaimana?"

"Sayang, Karonsih katanya.Bagsimana?"

"Ya aku terserah saja."

"Mau ngomong sendiri? Ngomong aja sayang, biar enak."

"Ah, nggak usah mas, pokoknya terserah dia saja."

Dan Putri menutup pembicaraan itu.

"Ya sudah Jo, terserah kamu, katanya."

***

Tapi nekatnya Galang, ketika Retno sedang sendirian, ia mengajaknya bicara tentang Raharjo.

"Ret, aku mau bicara."

"Ada apa mas? Sebentar lagi kita akan berangkat melihat rumah dinas itu, pak Haris sudah memerintahkan pak Bono untuk mengantarnya.

"Iya, kan belum, aku mau ngomong dulu sama kamu. Ma'af, agak pribadi, tapi aku ngomong demi sahabat. Sungguh, jangan tersinggung ya."

"Masalah apa nih? Serius amat?"

"Serius dong, aku mau tanya sama kamu, apa kamu cinta sama Raharjo?"

"Lho, mas Galang kok nanya itu..," kata Retno tersipu.

"Ma'af Ret, soalnya Raharjo selalu bilang takut mengutarakan isi hatinya ke kamu."

"Memangnya Raharjo suka sama aku?"

"Jangan begitu Ret, kamu pasti tau isi hatinya Raharjo."

"Mas, sekarang aku mau berterus terang sama mas Galang, aku suka sama Raharjo sudah sejak jaman kuliah dulu."

"Tuh kan..."

"Tunggu dulu mas, tapi aku nggak akan memaksa dia untuk mencintai aku, sungguh, aku hanya menunggu."

"Menunggu dia mengatakannya? Nanti aku bilang sama dia..."

"Bukan itu, aku tuh menunggu sampai Raharjo bisa melupakan kekasihnya. Dia masih belum sepenuhnya melupakan kok mas, jadi aku hanya menunggu, aku nggak akan marah dan kecewa seandainya dia bertemu lagi dengan orang yang dicintainya. Aku tak mau mengganggu. Kebahagiaan dia adalah kebahagiaan aku."

Alangkah mulia hati Retno.

***

besok lagi ya

 

Thursday, August 29, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 42

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  42

(Tien Kumalasari)

 

Galang berhenti sejenak, tampaknya ia tertarik pada ide pak Haris. Tarian Jawa? Bukankah isterinya pintar menari tarian Jawa?

"Bagaimana Lang? Bagus tidak ideku itu? Kita sebagai orang Jawa kan harus membudayakan kebudayaan Jawa juga. Disini jarang disebuah pesta ada hiburan tarian Jawa. Ada sih, tapi jarang."

"Ide bagus pak, saya setuju."

"Oke, kalau begitu carikan pasangan untuk Raharjo, aku dengar dari Retno kalau Raharjo pintar menari Jawa."

"Bagaimana kalau isteri saya saja pak?"

"Wauuuw.... isterimu pintar menari juga? Hebat Lang, ini pasti jadi pesta yang luar biasa. Ayo Lang, segera siapkan semuanya. Aku serahkan ke kamu ya, seksi hiburannya?"

"Nanti saya coba bilang sama isteri pak, mudah-mudahan dia mau."

-"Bagus Lang, baiklah, senang aku, belum-belum sudah membayangkan  betapa meriahnya nanti."

Pak Haris tampak bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Galang melangkah keruangannya dan membayangkan melihat isterinya sedang menari. Pasti cantik sekali.

***

Ditengah perjalanan kearah ruangannya Galang berpapasan dengan Raharjo. 

"Lho mas, ada apa kok senyum-senyum sendiri?"

Galang tertawa..:" Berita gembira Jo..."

"Benarkah? Itu sebabnya saya dipanggil pak Haris sekarang ini?"

"Ya, pastinya, segera kesana, kamu pasti senang," jawab Galang sambil berlalu.  Ia masih membayangkan isterinya menari, dan kini menari bersama Raharjo. Seandainya dia tau.

***

Tak tahan berlama-lama memendam perasaannya, Galang menelpon isterinya. 

"Ada apa mas, kok kelihatannya gembira sekali?" tanya Putri dari seberang.

"Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Widi."

"Oh, syukurlah,"

"Widi sudah dipecat dan mungkin sudah kembali ke Semarang."

"Oh, kasihan mas, mengapa mesti dipecat?"

"Kesalahhannya fatal. Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Aku diangkat jadi manager keuangan."

"Aduh mas, secepat itu?"

"Pak Haris yang minta, aku sudah menolaknya, tapi baiklah, nggak apa-apa, aku akan belajar, semoga tidak mengecewakaan."

"Aku ikut senang mas, semoga mas Galang bisa melaksanakan tugas dengan baik. Dan hati=hati ya mas, jadi pimpinan itu kan berat."

"Ya, do'akan saja suamimu ini bisa melaksanakan tugasnya dengan baik."

"Ya pasti lah mas."

"Lalu ada yang lebih menyenangkan lagi."

"Apa itu?"

"Dua bulan lagi ulang tahun berdirinya perusahaan. Pak Haris ingin mengadakan acara yang lain dari biasanya. Harus ada tarian Jawa yang ditarikan oleh karyawannya."

"Wah, bagus mas, aku nanti boleh ikut nonton?"

"Bukan hanya boleh .. aku ingin kamulah yang akan menari, nanti bersama Raharjo.."

Tiba-tiba Putri terdiam.

"Bagaimana sayang? Pasti indah dan cantik kalau isteriku yang menari."

"Jangan mas, aku nggak mau."

"Lho.. kenapa? Aku jadi seksi hiburan lho, jangan kecewakan suamimu dong..Ya sudah, bicaranya nanti saja, mas Galang bekerja dulu ya. Nanti pas istirahat mas telepone lagi."

***

Tapi dirumah Putri termenung sendirian. Ia harus menari? Ingatannya segera terbang kearah satu tahun yang lalu, ketika ia masih rajin menari, berpasangan dengan Teguh, dan dia pingsan sa'at pentas. Tidaaak, Putri tak ingin menari lagi. Kenangan itu terasa sangat pahit. Tarian terakhirnya membawanya kepada nestapa dihatinya, ketika tak lama setelah itu berita kehamilan ditebarkan oleh doker rumah sakit, dan kemarahan demi kemarahan ayahnya  menghiasi seluruh rumah. Berlinang air mata Putri, teringat olehnya bayi yang dikandungnya, buah cintanya dengan Teguh.. tapi tidak, bayi yang manis dan montok ini anak Galang. Laki-laki tampan yang berbudi dan sangat melindungi serta mencintainya. Tak ada lagi Teguh dihatinya, Teguh yang mungkin telah hidup bahagia dengan perempuan lain. Dan bukankah kini ia juga bahagia bersama suaminya?

Putri mengusap air matanya ketika simbok mendekatinya.

"Jeng, ada apa?"

"Nggak apa-apa mbok, mas Galang meminta aku ikut menari di kantornya, tapi aku nggak mau."

"Mengapa nggak mau jeng? Waah.. dulu kan jeng Putri sering menari.. Ayo jeng, menarilah, nanti simbok akan ikut melihat."

"Nggak, kan aku sudah tua, sudah jadi ibu, masa ikutan menari ."

"Memangnya kalau sudah jadi ibu nggak boleh menari? Wong jeng Putri masih muda, cantik, wis ta jeng.. menari saja.. Kapan itu jeng?"

"Nanti di ulang tahun kantornya mas Galang mbok, masih dua bulan lagi."

"Ah, masih lama, menarilah jeng, pokoknya menari ya," kata simbok menyemangati. Tapi Putri hanya tersenyum.

***

"Waduh, ini pak Haris ada-ada saja," kata Raharjo kepada Retno ketika makan siang bersama. 

"Kenapa Jo?"

"Besok pas pesta ulang tahun perusahaan ini, masa aku disuruh menari.."

"Wah, bagus Jo.. 

"Dia akan menari bersama isteriku,"kata Galang 

"Hebaaat... ayo Jo, semangat, kamu kan pinter nari.."

"Pak Haris bilang, kamu yang mengakatakan bahwa aku pintar menari.."

"Memang iya kan..?"

"Sudahlah Jo, nanti aku akan merayu isteriku supaya juga mau menari sama kamu. Pak Haris minta berpasangan, jadi aku usulkan isteriku. Mudah-mudahan dia mau."

Tapi sama sedengan Putri, ingatan Teguh lari ke masa setahun lalu. Ketika pentas, lalu Putri pingsan, lalu ia menggendongnya, dan itulah sa'at terakhir bertemu dia. Sampai sekarang tak terdengar lagi beritanya. Mata Teguh berkaca-kaca. 

"Ada apa Jo, kok tiba-tiba kelihatan sedih begitu?"

Teguh tersenyum, mengambil tissue dan mengusap kedua matanya.

"Jangan sedih Jo, ingatan masa lalu itu harus bisa ditepiskan, supaya tidak mengganggu pikiran kamu setiap sa'at," tegur Retno yang merasa iba melihat Raharjo tampak sedih.

"Memangnya ada apa?" tanya Galang yang melihat Raharjo tiba-tiba tampak sedih.

"Ah, nggak apa-apa mas, aku hanya terharu mengingat masa lalu aku, sa'at masih rajin-rajinnya menari, indah memang tarian Jawa itu."

"Ya jangan terus jadi melow begitu dong Jo, semangat. Pak Haris akan membuat kamu kembali ke masa-masa kamu dahulu. Bukankah kenangan ini intah?" kata Galang menghibur.

Kenangan itu indah? Ada yang indah, ada yang menyakitkan. Pikiran Raharjo kembali menelusuri masa-masa itu, yang indah bersama Putri, yang kemudian menyakitkan ketika bertemu ayahnya Putri. 

"Jo !!" Retno menepuk tangan Raharjo yang ada diatas meja. Sangat keras sehingga Raharjo meringis kesakitan.

"Sakit tau?! " pekik Raharjo sambil meringis.

"Biarin. Habis kamu kok jadi sedih begitu."

"Ada kenangan yang membuaat sedih ketika menari?" tanya Galang.

"Nggak, nggak ada mas, hanya terharu seandainya aku bisa menari lagi."

"Ok, jadi mau ya?" teriak Galang keras-keras. Tak sadar Galang karena gembiranya.

"Baiklah, tapi harus mengingat ingat lagi mas."

"Yang penting kamu setuju, sekarang aku tinggal merayu isteriku. Mudah2an dia mau."

"Enaknya tari apa ya?"

"Itu Jo, Permadi sama Sembadra..yang..." kata Retno terhenti karena Raharjo berteriak menolaknya.

"Jangaaan... aku nggak mau!!"

"Ssst... kok jadi saling berteriak, tuh pada melihat kearah sini," tegur Retno.

Permadi sama Sembadra kan tarian terakhirnya bersama Putri? Retno bisa saja membangkitkan lagi kenangan tentang tarian itu, padahal Raharjo sudah berusaha melupakannya.

"Ya sudah, terserah kamu saja Jo, yang penting bagus. Atau kamu mau bicara dulu sama isteriku?"

"Ya mas, gampang nanti kalau sudah dekat waktunya. Aku mau berfikir dulu bagusnya tari apa. Karonsih juga bagus."

"Bagus Jo.. aku dukung kamu, hidup Raharjo,"teriak Retno senang.

"Eh, kok kamu jadi ikutan berteriak?" tegur Raharjo.

Lalu ketiganya tertawa renyah.

***

"Adhit, bilang sama ibu supaya mau menari lagi ya?" kata Galang sambil memangku anaknya ketika malam itu Adhitama masih terjaga.

"Nggak bapak, ibu sudah nggak pantas lagi menari, ya kan Dhit?" sahut Putri yang duduk disamping suaminya.

"Masih pantas kok, ibu kan masih cantik le?"

"Sudah lupa semuanya, bapak, jangan paksa ibu, kasihan ibuku, bapak," sahut Putri lagi.

"O, sayangnya bapak, ibu itu masih pantas menari, ibu itu cantik, luwes, bapak pengin liat ibu menari Adhit Nanti Adhit boleh ikut melihatnya kok."

Adhitama yang memandangi ulah bapaknya seperti mengerti apa yang dikatakannya. Bayi molek itu tartawa tawa sambil menggerak gerakkan kakinya.

"Tuh, Adhitama setuju.." kata Galang sambil menciumi anaknya. Bahagia itu indah, bahagianya Putri melihat kasih sayang Galang kepada Adhitama.  Dengan menggelendot manja Putri bersandar pada bahu suaminya.

"Hm... bapak bohong ya le?"

 Adhitama mengeluarkan suara-suara lucu, seakan ingin menjawab celoteh bapak dan ibunya. Galang bertambah gemas, menciumi Adhit tanpa henti.

Tiba-tiba Galang berteriak..:" Adduh... ibu..."

Putri mengangkat kepalanya. Galang memandangi Putri sambil meringis.Putri sudah tau, pasti Adhit ngompol.

"Ngompol ya?" tanya Putri sambil tertawa, lalu mengangkat Adhit dari gendongan ayahnya.

"Syukurin ya, bapak diompolin sama Adhit." 

Galang berdiri, mencium Adhit lalu mengganti sarung dan celananya yang basah.

Putri yang sedang menggantikan celana Adhit hanya tersenyum senyum.

Tiba-tiba simbok datang sambil menyampirkan gendongan dipundaknya.

"Ayo, mas Adhit bobuk digendong simbok yuuk.. bapak sama ibu biar makan malam dulu."

"Hm, simbok tuh, kebiasaan suka nggendong-nggendong, jadinya Adhit belum mau bobuk kalau belum digendong simbok."

"Nggak apa-apa ya mas Adhit, simbok seneng kok .. " kata simbok yang kemudian mengangkat Adhit yang sudah berganti celana, lalu membawanya keluar.

"Galang juga sudah mengganti sarung dan celananya yang basah oleh ompol anaknya, Putri menariknya untuk mengajaknya duduk diluar.

"Apa sih, kok tangan mas ditarik tarik?" goda Galang.

"Ayo duduk diluar mas, gerah disini.Lagian simbok sudah menyiapkan makan malam."

"Nggak, aku mau dengar dulu, kamu mau menari nggak?"

"Itu penting buat mas?"

"Penting dong, aku ingin kamu melakukannya, nanti bersama Raharjo.Mau kan?" rayu Galang sambil memeluk isterinya. Ya Tuhan, tangan kekar dan senyuman yang menawan itu tak mampu membuatnya menolak. Putri sangat mencintainya, dan Putri tak sanggup menolaknya.

"Baiklah, demi suami yang sangat aku cintai, aku bersedia."

Dan Galang menghadiahi pelukan yang semakin erat dan ciuman yang bertubi-tubi. Alangkah indah hidup ini.

***

besok lagi ya

 

Wednesday, August 28, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 41

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  41

(Tien Kumalasari)

Widi terkejut, ia tak menyangka pak Haris akan melakukan hal sejauh itu. Memeriksakan keperawanan? Gemetar seluruh tubuhnya.

"Galang, aku sudah mendengar semua penjelasan dari kamu, dan aku bisa menerimanya. Baiklah, apa yang akan aku lakukan selanjutnya akan aku pikirkan. Sekarang kamu boleh kembali keruangan kamu." kata pak Haris kepada Galang; 

Galang merasa lega bisa mengatakan semuanya, walau Widi masih menuduhnya melakukan hal yang tak pantas malam itu. Tadi pak Haris akan membawanya ke dokter, jadi akan terbuktikan semuanya nanti.

Galang beranjak dari kursinya.

"Terimakasih pak," katanya, kemudian ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Widi masih terpekur dikursinya. Hatinya gundah bukan alang kepalang.

"Coba lihat ponsel kamu," kata pak Haris tiba-tiba.

Widi terkejut, Masa ia harus menyerahkan ponselnya? Bagaimana kalau pak Haris melihat rekaman itu? Tadi ia mengatakan tak ada rekaman apapun tentang kejadian malam itu. Ia sungguh malu kalau kelakuannya dilihat oleh om nya.

"Mana?!" hardik pak Haris sambil menadahkan tangannya kearah Widi.

"Tapi om."

"Cepaat!!"

Gemetar tangan Widi ketika merogoh ponsel didalam tasnya. Lama sekali ia memasukkan tangannya kedalam tas itu. Widi menyesal telah membawa tas tangannya keruangan pak Haris setelah pulang dari makan siang bersama Galang. Ia masih  terlihat mencari cari, dan tak sabar pak Haris berdiri, lalu mendekati Widi dan menarik tas itu dari pangkuan Widi.

"Biar aku bantu kamu mencarinya."

Widi benar-benar ketakutan. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin yang mengalir.

Dan dengan mudah pak Haris mendapatkan ponsel itu didalam tas Widi.

"Begini gampang, kenapa lama sekali kamu mengambilnya.." gerutu pak Haris sambil membuka buka ponsel itu.

Widi bertambah menunduk. Sejak berada diruangan pak Haris ia merasa berkali kali dijatuhkan. kebohongan dalam dirinya. Semuanya terbuka dan ia tak bisa menyanggahnya. Sekarang.. ponsel itu.

"Ya Tuhan, Widi.. benarkah kamu ini keponakanku? Kamu ini benar-benar perempuan tak tau malu Widi.Kamu berbohong tak punya rekaman itu dan ternyata ada, dan ini menjijikkan." Keras dan berapi-api suara pak Haris sambil mengacungkan ponsel itu.

Widi kembali terisak..Ia hampir meloncat dari tempat duduknya ketika merdengar suara keras dihadapannya. Pak Haris membanting ponsel itu sehingga hancur berkeping keping.

"Kamu itu ya, pembohong, pendusta, tak tau malu dan menjijikkan!!"teriak pak Haris semakin keras.

"Aku tidak memaksamu menunjukkan ponsel itu begitu kamu mengatakan tidak ada rekaman di ponselmu, karena apa, karena ada Galang, dan aku masih ingin menjaga martabatmu yang aku kira masih ada sedikit tersisa. Sekarang, Galang sudah tak ada disini, dan aku memaksamu meminta ponsel itu, ternyata kamu bohong, ternyata aku melihat pemandangan menjijikkan yang kamu lakukan."

"Tapi dia..."

"Tidak, jangan bilang Galang melakukannya. Aku melihat Galang tak berdaya, tak sadar atau terlelap, tak bergerak ketika kamu melakukan rekaman itu, dan kamulah yang membuat seolah olah seperti terlihat Galang melakukannya. Itu akal-akalan kamu, kamu bohong bukan?"

Widi terisak, ia tersudut, dan sangat malu. Ingin ia pingsan disa'at itu juga sehingga tak merasakan apapun ketika pak Haris memaki-maki dirinya. Tapi tubuhnya masih kuat bertahan. Telinganya mendengar dan matanya melihat. Ketika diliriknya pak Haris, Widi melihat nyala api menyembur dari mata setengah tua yang sedang dibakar amarah itu. Widi kemudian menundukkan kepalanya.

"Kalau kamu berkeras mengatakan bahwa Galang memperkosa kamu, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga. Aku harus yakin bahwa kamu sudah tidak perawan. Dan satu lagi, sejak berapa lama kamu tidak perawan, jangan-jangan kamu sudah berkali kali melayani laki-laki."

Widi tetap menunduk. Kali ini ia tak kuasa lagi mengangkat kepalanya. Semua upaya untuk menjerat Galang ternyata gagal. 

"Bagaimana? Katakan apakah Galang menodai kamu?"

Widi tak mampu mengatakan apapun. Om Harisnya bukan orang bodoh yang mudah ditipunya. Ia tak berani lagi berbohong.

"Tidak bukan? Baiklah, sekarang satu lagi. Benarkah kamu meracuni Galang?"

"Ti..tidak om....tidaak.."

"Tidak? Kamu sangat pintar berbohong, jadi aku tidak begitu gampang mempercayai kamu. Oke, botol dan air sisa yang tadi diminum Galang sedang diperiksa di laborat. "

"Tapi itu kan belum tentu kalau saya yang memberikan."

"Ya, tapi kata Galang botolnya itu botol air minum yang biasa kamu minum. Tapi baiklah, Galang akan melaporkan semuanya pada polisi, dan polisi pasti lebih ahli dalam mencermati suatu masalah. Resikonya.... kalau kamu terbukti salah maka kamu akan dipenjara. Lihat ini..."

Tiba-tiba pak Harus mengeluarkan sebuah botol putih dari dalam tas Widi. Widi terkejut bukan alang kepalang. Sejak tadi memang tasnya ada ditangan pak Haris.

"Botol ini isinya apa?"

"Oh.. it..itu.. obat pusing ... punya saya om."

"Okey, obat pusing ya, aku akan menyimpannya. Besok kan kata Galang hasil pemeriksaan dari laborat itu sudah selesai, dan akan diketahui kandungannya apa, atau tidak ada apa-apa nya yang berbahaya dari dalam air itu. Nanti....kalau kandungannya adalah sama dengan obat didalam botol ini, kamu akan berkata apa?"

Kali itu Widi benar-benar ingin mengambil sebilah pisau yang akan dihunjamkannya kedadanya. Tapi tak ada pisau disana. Tubuh Widi lemas, tak bertenaga. Kalau saja ia sedang berdiri maka pasti ia akan jatuh terkulai kelantai. 

"Jawab Widi !!

Widi hanya menggeleng geleng.. tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Pak Haris menatap keponakannya. Ada rasa iba melihat keadaan Widi, tapi ia sungguh marah mengetahui segala kebusukannya.

"Baiklah, sekarang tanpa menunggu pemeriksaan laborat, tanpa menunggu polisi akan menyeret kamu dan kemudian memenjarakanmu, semuanya sudah terjawab. Kesalahan kamu adalah, satu, kamu korupsi. Dua, kamu berbohong. Tiga kamu melakukan tindakan kriminal dengan meracuni orang. Empat, kamu sebagai perempuan sungguh tak tau malu, dan menjijikkan !!"

"Sa'at ini juga kamu aku pecat. Dan pulanglah ke Semarang. Jangan lagi menampakkan mukamu ke hadapanku.!!~

Dan kata-kata itu terucap bagai gelegar guntur disiang bolong, menjatuhkannya kelobang kehinaan yang telah digalinya sendiri.

***

 Pagi harinya, ketika Galang sudah sampai diruangan kantornya, ia tak melihat Widi. Bahkan sampai satu jam kemudian tak tampak bayangan Widi dikantornya. Galang tak perduli. Beberapa hari ini kepalanya sering terasa pusing, yang kemudian berkurang setelah ia bisa tertidur. Ia ingin memeriksakannya ke dokter setelah keadaan menjadi tenang. Ia merasa belum menyelesaikan persoalannya dengan pak Haris, karena Widi masih menuduhnya telah menodainya. Dan Widi juga masih menolak tuduhan telah meracuninya. Galang sedang mencari cari obat gosok dilaci mejanya  ketika Raharjo muncul dihadapannya.

"Aku sudah mengambil hasil lab nya mas, ini, memang mengandung obat yang bisa membuat orang terbius."

"Terimakasih Jo, aku akan membawanya kehadapan pak Haris sekarang, lalu akan melaporkannya pada polisi."

"Silahkan mas, aku mau langsung keruanganku, karena tadi aku cuma minta ijin untuk terlambat datang, habis aku harus segera mengambil hasil labnya."

"Baiklah Jo, terimakasih banyak, aku akan menghadap pak Haris sekarang."

***

Tapi siang itu pak Haris menerimanya dengan sangat ramah. Wajahnya yang keras dan matanya yang tampak garang tak tampak lagi disana. Mata itu begitu teduh dan itulah sesungguhnya pak Haris yang biasa dilihatnya sehari hari.

"Selamat siang," sapa Galang hati-hati.

"Siang, duduklah Lang."

"Saya ingin menyerahkan hasil lab yang sudah jadi," kata Galang sambil mengangsurkan kertas hasil lab itu kehadapan pak Haris.

"Ya, terimakasih Lang. Tapi saya kira ini semua tak usah dipermasalahkan ya," kata pak Haris yang belum dimengerti artinya oleh Galang.

"Maksudku begini. Okey, masalah uang  itu saya anggap sudah selesai. Aku sudah tau uangnya dikorupsi oleh Widi. Dan hampir saja kamu terlibat didalamnya. Aku mempercayai kamu Lang."

"Terimakasih banyak pak," jawab Galang senang.

"Lalu permasalahan pribadi kamu sama Widi, aku sudah tau duduk persoalannya. Aku sudah tau kalau Widi mengecoh kamu dengan obat tidur, lalu sa'at kamu tak sadar dia telah melakukan hal-hal yang sangat memalukan."

"Widi mengakuinya?"

"Aku melihat rekaman yang dibuatnya."

"Rekaman?"

"Sesungguhnya dia memang merekamnya, tapi dia malu kalau aku sampai melihatnya. Tapi aku tidak percaya. Aku memaksa melihat ponselnya dan melihat semuanya."

Galang menarik nafas panjang. Ia sendiri belum pernah melihat rekaman itu. Apa sebenarnya yang telah Widi lakukan dalam keadaan dirinya tak sadar?

"Kamu jangan khawatir, rekaman itu sudah aku hancurkan. Tidak ada tanda-tanda perkosaaan."

Galang bernafas lega.

"Dan memang dia yang meracuni kamu. Semuanya sudah terungkap. Dengan caraku."

Galang benar-benar lega.

"Untuk semua itu, aku minta ma'af," dan dengan tak disangka, pak Haris berdiri dan menyalami Galang dengan hangat. Galangpun segera berdiri,lalu pak Haris menepuk nepuk pundak Galang.

"Mulai hari ini Widi sudah aku pecat. Ia sudah mengakui semua perbuatannya," kata pak Haris sambil kembali duduk dikursinya. Tapi Galang sudah menduganya.

"Apa kamu tetap akan melaporkannya pada polisi?"

Tiba-tiba Galang jadi ragu-ragu. Sesungguhnya ia bukan orang jahat. Kalau ia tadinya ingin melaporkannya pada polisi, itu karena Widi sellu memojokkannya. Bahkan pernah mengatakan... BAGAIMANA KALAU AKU HAMIL? Ya Tuhan, Galang bersyukur semuanya sudah lewat. Tidak, ia tak akan melaporkannya pada polisi, karena menurut pak Haris Widi sudah mengakui semua perbuatannya.

"Bagaimana Galang? Kalau kamu mau melapor ya silahkan saja, itu kan hak kamu,"

"Tidak pak, kalau Widi sudah mengakui semua perbuatannya, saya tidak akan membawanya ke jalur hukum. Saya senang semuanya sudah selesai."

"Baiklah, sekali lagi aku minta ma'af."

"Tidak apa-apa pak, bapak tidak bersalah."

"Dengar Galang, akan ada perombakan status pegawai staf yang ada di perusahaan ini. Kamu akan menggantikan Widi menjadi manager keuangan."

Galang terkejut.

"Saya masih baru pak, saya harus banyak belajar."

"Kamu sudah banyak belajar dan kamu akan menjalankan kewajianmu mulai bulan depan. Kamu akan berdampingan dengan Raharjo sebagai manager pemasaran."

Galang tak mampu menjawab apapun. Ia tak menyangka akan mendapat kedudukan setara dengan kedudukan Widi. Penguasa keuangan diseluruh kantor pusat dan anak cabang berusahaan besar ini.

"Kembalilah ke ruanganmu."

Galang berdiri dengan perasaan tak menentu, tapi sebelum melangkah keluar pak Haris kembali memanggilnya.

"Galang, dua bulan lagi perusahaan ini akan merayakan ulang tahun berdirinya. Dan seperti biasa, akan ada pesta untuk semua anak buahku. Dengar, aku ingin ada pertunjukan menari yang ditarikan oleh anak buahku, tari Jawa Lang."

"Bagus pak."

"Aku dengar Raharjo pintar menari, coba pikirkan, siapa yang kira-kira bisa menjadi pasangan penarinya."

***

besok lagi ya

m


















Tuesday, August 27, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 40

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 40

(Tien Kumalasari)

Galang memandangi wajah Widi penuh tanda tanya. Mata nyalang yang biasanya menyorot tajam, tampak kuyup. Pasti pak Haris masih marah sama Widi. Pikir Galang. 

"Galang, kita kembali ke kantor sekarang," kata Widi sambil berdiri. Galang dan Retnopun ikut berdiri. Ketika Widi menuju kasir untuk membayar, Retno menggamit lengan Galang.

"Ada apa ya?"

Galang hanya mengangkat bahu tanda ta mengerti.

"Kelihatannya pak Haris marah2 lagi, aku takut masuk keruangannya, nanti ikutan diruangan mas Galang dulu ya."

"Oke, nggak apa-apa, ngeri juga kalau mendengar orang lagi marah."

"Pak Haris kalau marah menakutkan. Padahal kalau lagi biasa baik banget .. untunglah aku selalu bisa melayaninya dengan baik."

"Hati-hati dalam mengerjakan sesuatu, itu penting bukan?"

Widi sudah selesai membayar, lalu bergegas menuju mobilnya. Galang dan Retno mengikutinya tanpa bertanya.

***

Begitu sampai diruangannya, Widi meletakkan tas dan bergegas menuju keruangan pak Haris. Galang dan Retno duduk dikursi tamu, sambil menunggu berita dari Raharjo.

"Raharjo kok lama ya mas?"

"Ya, mungkin jalanan macet."

"Dia sudah cerita banyak tentang mbak Widi, aku sebagai sepupunya jadi malu. Perbuatannya sungguh nggak pantas."

"Dulu waktu kuliah kami berteman. Aku nggak tau kalau dia suka sama aku. Ketika aku mau menikah baru dia ngomong. Tapi aku nggak pernah merasa dekat dalam arti saling suka. Kok tiba-tiba ketemu disini dan berbuat senekat itu."

"Padahal dia itu kan cantik, pasti banyak yang suka dan bersedia jadi pendamping dia."

"Biasanya seorang laki-laki kurang suka pada perempuan yang terlalu mengejarnya."

"Oh ya?"

Tiba-tiba Retno berfikir, apakah dia terlalu mengejar Raharjo? Enggah ah, biasa saja, dan Raharjo juga nggak pernah memperlihatkan rasa kurang suka kok. Pikir Retno yang kemudian dijawabnya sendiri.

"Ada apa, kok diam? Lagi mikirin Raharjo ya?" goda Galang.

"Ah, mas Galang ada-ada saja. Kami hanya berteman." jawab Retno tersipu.

"Kamu itu cocok lho sama Raharjo, sungguh. Aku berharap kalian bisa berjodoh," kata Galang serius.

"Mas .. Raharjo itu masih mencintai pacar lamanya. Aku nggak berani donk."

"Masa sih? Katanya dulu sudah bisa melupakan kok. Sungguh, katanya tinggal sekeping, itu dulu, sudah lama, mungkin sekarang sudah tak bersisa, siapa tau."

"Entahlah mas, jodoh itu kan yang mengatur dari sana," kata Retno sambil menungjuk keatas.

"Itu benar, tapi aku berharap kalian benar-benar bisa berjodoh lho."

Retno tersenyum. 

"Do'akan yang terbaik saja mas. Kalau nanti tiba-tiba Raharjo ketemu sama pacarnya, sementara aku terus berharap... jadi sakit donk."

Dan tiba-tiba Raharjo pun muncul.

"Lagi ngomongin apa nih?" tanya Raharjo sambil duduk diantara mereka.

"Lagi ngomongin kamu sama Retno."

"Mas Galang tuh, nanti Retno jadi takut sama aku.."

"Ee.. siapa takut?"

"Tuh, sudah ditantang lho Jo." 

Lalu ketiganya tertawa berderai. Bagaimanapun Raharjo lah yang takut ditolak. Namun keduanya bisa menjaga hati mereka masing-masing, sehingga persahabatan tetap terjalin. Dan persahabatan itu kemudian mengandung suka atau cinta, waktulah yang akan bicara.

"Oh ya mas, sudah aku bawa tadi ke laborat, hasilnya tidak bisa sekarang,tapi besok."

"Masih besok ya?"

"Iya mas, besok biar aku yang ambil."

"Berapa bayarnya Jo?"

"Gampang mas, pokoknya besok aku ambil dulu."

Tiba-tiba dering telepone berbunyi.

"Ya?" Galang mengangkatnya.

"Kamu kesini Lang !! Cepatt!" itu suara pak Haris, tandas, tak ada ramah pada nada suaranya. Hati Galang tercekat. Jangan-jangan nota itu bermasalah.

"Ada apa mas?"

"Pak Haris memanggilku, nadanya marah. Jangan-jangan karena nota itu."

"Kalau mas Galang dipojokkan, katakan saja semuanya dengan terus terang mas, jangan ada yang ditutupi. Itu lebih baik daripada mas Galang dikira melakukan penipuan sungguhan."

"Baiklah, apa boleh buat, aku kesana dulu."

Galang meneguk minuman diatas mejanya, lalu melangkah keluar ruangan.

***

"Aku tidak mengerti, apa kurangnya semua yang aku berikan untuk kamu Widi? Kamu mendapat kekuasaan penuh atas keuangan yang ada diperusahaan ini, karena kamu adalah keponakanku. Tapi kalau kamu tidak bisa dipercaya, aku malu. Sungguh, lebih baik kamu pulang ke Semarang, aku nggak mau kamu bekerja disini lagi."

Widi hanya menunduk, terdiam, tak tau harus menjawab apa. Pak Haris bersedakap dikursinya ketika Galang masuk dengan hormatnya.

"Selamat siang pak," sapa Galang.

"Siang. Duduklah."

"Terimakasih pak."

"Kamu ini Galang, baru sebulan bekerja disini, aku sudah melihat bahwa kamu bisa menjalankan tugas kamu dengan baik. Aku suka itu, dan kamu pantas jadi seorang pemimpin."

Galang terdiam, pak Haris juga diam. Dipandanginya wajah tampan yang duduk menghadap dihadapannya, tanpa berkedip. Galang sedikit berdebar, suasana itu sungguh suasana yang tidak mengenakkan. Dilihatnya Widi menunduk, mempermainkan jemarinya yang lentik. 

"Kamu tau mengapa aku memanggil kamu?"

"Tidak pak."

"Ketahuilah, mungkin ini hari terakhir kamu bekerja disini."

Galang menegakkan kepalanya. Memandangi laki-laki setengah tua yang duduk dihadapannya yang memandanginya dengan tajam.

"Apakah saya melakukan kesalahan?"

"Sangat besar. Kamu, juga dia."

Galang segera menangkap dimana letak kemarahan pimpinannya. Nota itu, nota fiktif yang dibuat Widi dan dia ikut menandatanganinya. 

"Lihat, baik-baik. Ada tiga buah nota keluar yang aku tidak percaya. Karenaa....." pak Haris berhenti sejenak untuk melihat reaksi Galang, kemudian dilanjutkannya kata-katanya.

"Ini lihat.... seminggu sebelum nota palsu ini dibuat, aku sudah memberikan dana sebanyak duapuluh juga kepada yayasan anak yatim ini. Ini tanda terima dari sana. Bagaimana kalian bisa membuat lagi nota kepada yayasan yang sama sebanyak sepuluh juta. Dan ini bukan tanda terima asli dari mereka. Ini buatan Widi. "

Galang terdiam. Sesungguhnya ia hanya menandatanganinya, tidak tau itu nota apa, untuk siapa. Tapi hari ini ia terkena getahnya, terancam dipecat dengan sebuah noda, penipuan. Tidak, Galang tidak terima.

"Apa jawab kamu Galang, anak tampan yang manis, yang pintar, tapi tega berbuat curang.. Berapa juta kamu dapatkan untuk kebohongan ini?"

Kemarahan Galang sudah memuncak, dia bukan pembohong, dia adalah korban. Ditegakkannya kepalanya menghadap pak Haris.

"Sebelum bapak menuduh saya pembohong, saya mohon bapak mendengarkan keterangan saya ini. Mohon ma'af sebelumnya pak." kata Galang berapi api.

"Hm, bagus, kamu punya jawaban." kata pak Haris sambil mengangguk angguk.

 "Dua hari yang lalu, Widi mengatakan pada saya bahwa laporan keuangannya ada selisih lumayan banyak. Saya mana tau laporan seperti apa yang dibuat Widi? Dengan memohon mohon Widi minta saya agar membantunya. Ia membuat nota keluar yang fiktif dan saya harus ikut menandatanganinya. Hanya itu."

"O, hanya itu, berapa kamu dapatkan dengan penandatanganan kamun itu?"

"Tidak sepeserpun."

"Baik benar hati kamu, disuruh berbohong, tanpa upah dan kamu mau menjalaninya. Apa kamu suka sama dia? Sama keponakanku yang cantik ini?"

"Tidak, sama sekali tidak. Dia yang suka sama saya," kata Galang karena tak tahan lagi memendam semua perasaannya. Ia boleh keluar tapi jangan dengan cara hina seperti itu. Galang harus mengatakan semuanya. Dilihatnya Widi tetap menunduk.

Pak Haris membelalakkan matanya/ 

"Widi, benar kamu suka sama dia?" tanyanya sambil menoleh kearah keponakannya.

"Lalu apa hubungannya Widi suka sama kamu sedangkan kamu tidak suka, tapi kamu bersedia membantunya? Karena kasihan?"

"Bukan, dia memeras saya, menekan saya, dengan sebuah jebakan yang sangat menjijikkan."

Pak Haris kembali memelototkan matanya. Apa yang didengarnya seperti bukan berhubungan dengan uang perusahaan yang dimakan karyawannya yang satu ini.

"Jelaskan ."

Galangpun mengatakan semuanya, dari air minum yang diminumnya, yang kemungkinan memang ditinggalkan Widi dimejanya, sampai kemudian dia tiba-tiba merasa pusing, lalu dia dipanggil kekamarnya dengan alasan ada pesan dari pak Haris di ponselnya, tapi begitu memasuki kamar Widi iapun rebah tak sadarkan diri. Ketika sadar ia melihat Widi disampingnya setengah telanjang, dan pakaiannya sendiri awut-awutan,  ia jadi  marah sekali lalu langsung pulang lebih dulu, setelah memohon ijin dari pak Haris. Tadinya mungkin rekaman itu akan dipergunakan  entah untuk apa, dan ketika tiba-tiba Widi mengatakan ada selisih keuangan, maka kemudian rekaman itu dibuatnya untuk memaksa Galang agar mau menandatangani nota yang dibuatnya. Kalau Galang menolak maka rekaman itu akan diserahkannya kepada isterinya. Galang yang ketakutan kalau isterinya melihat rekaman itu kemudian menuruti  kemauan Widi.

"Percayakah bapak bahwa saya telah katakanlah memperkosa dia sedangkan waktu itu saya dalam keadaan terlelap?" 

"Saya menyesal telah menandatangani nota palsu itu, dan sesungguhnya saya berjanji akan membongkarnya pada bapak, karena saya merasa tersiksa dengan kebohongan itu.

Pak Haris melotot kearah Widi. 

"Mana rekaman itu?" hardik pak Haris.

"Ma'af om, sesungguhnya rekaman itu tidak ada," kata Widi lirih.

"Jadi ..."

"Saya berbohong, hanya untuk mengancam dia untuk mengirimkannya pada isterinya apabila dia tidak mau menuruti apa keinginan saya,  tapi saya tidak meracuninya, sungguh itu sebuah kebetulan."

"Tapi kamu seorang perempuan yang tak tau malu Widi, akulah yang malu punya keponakan seperti kamu." hardik pak Haris.

"Saya pura-pura punya rekaman supaya Galang tidak meninggalkan saya om, dia telah menodai saya, bagaimana kalau saya sampai hamil?" isak Widi.

"Tidak mungkin pak, dia hanya meng ada-ada. Mana mungkin saya yang tidak sadar bisa melakukannya? Menurut saya dia telah merencanakan semuanya. Dari air yang saya minum itu pak."

"Bohong, aku tidak meracuni kamu. Itu hanya kebetulan.Entah dimana Galang meminum air dengan obat tidur itu."

"Galang.. ini persoalan jadi berkembang, bukan hanya so'al uang, tapi so'al kehormatan keponakanku. Apa buktinya bahwa Widi telah meracuni kamu?"

"Saya sedang memeriksakan sisa air yang semula saya minum itu ke laborat pak, baru besok bisa diambil hasil peperiksaannya."

"Aku ingin semuanya jelas. Tapi aku kecewa atas kejadian malam itu. Kalau benar kamu telah menodai keponakanku maka kamu harus bertanggung jawab."

Widi terisak. Galang muak mendengarnya. Bisa-bisanya dia tidak mengakui tentang air itu.

"Saya sudah bersiap melaporkannya pada polisi. Dengan hasil pemeriksaan itu, mungkin akan terungkap itu perbuatan Widi atau bukan. Dibotol itu mudah-mudahan masih ada sisa sidik jari pemilik sebelumnya. Dan botol itu adalah botol air yang sama yang selalu diminum Widi. Saya tidak pernah minum dengan merk itu."

"Baguslah, tak apa kalaupun Widi harus dihukum kalau memang bersalah, tapi sekarang aku mau membawa kamu kerumah sakit." kata pak Haris kepada Widi.

"Aku om? Untuk apa?

"Aku ingin tau, kamu masih perawan atau tidak."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Monday, August 26, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 39

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  39

(Tien Kualasari)

Galang merasa kesal, ia ingin merebutnya dari Widi. Entah mengapa sikap itu justru membuat Widi curiga.Galang merasa takut kehilangan botol itu, karenanya sangat khawatir kalau Wdi membuangnya. Namun sikapnya membuat Widi bertanya-tanya.

"Apa sebetulnya ini?"

"Itu air keras! Tau? Awas kalau terkena tanganmu sedikit saja bisa meleleh daging dan tulangmu," ancam Galang melebih-lebihkan. Dan itu berhasil. Widi segera meletakkan kembali botol itu dimeja. Galang merasa lega, lalu memasukkannya kembali kedalam plastik dan disimpannya didalam almari mejanya.

"Untuk apa kamu membawa bawa air keras?"

"Untuk menyiram kamu kalau kamu berani mendekati aku," jawab Galang sekenanya.

"Iih, jahat banget kamu. Bohong kan? Mana mungkin air keras dimasukkan dalam botol plastik."

"Suka-suka aku lah."

Galang mengambil ponselnya, ia menulis WA untuk Raharjo. Maksudnya supaya Raharjo datang dan membawa botol itu, supaya tidak menjadi bahan pertanyaan bagi Widi.

"Aku mau keruang om Haris dulu, membetulkan laporanku. Sekarang selisih itu sudah tidak ada lagi. Terimakasih Galang," kata Widi sambil berusaha mencium Galang, tapi Galang menghindar sehingga Widi hampir jatuh terjerembab kedepan.

"Kamu benar-benar jahat Galang. Kamu sudaah melakukannya lebih dari ini."

"Diam Widi ! Hentikan bicara kacau itu."

"Benar kan?Dan ingat Galang, bagaimana kalau nanti ternyata aku hamil?" kata Widi sambil mengambil map dari mejanya, lalu keluar dari ruangan.

Galang berdebar-debar. Hamil? Benarkah itu bisa terjadi? Tidak, Galang tak percaya. 

Ketika kemudian Raharjo muncul, Galang merasa senang.

"Ada apa mas?"

"Tolong Jo, bawa botol ini keruangan kamu saja, nanti pas istirahat aku akan membawanya ke laborat."

"Oh ya, nggak apa-apa, apa dia mencurigai botol ini?"

"Mungkin karena aku sangat melarangnya ketika dia mau mengambilnya, lalu dia jadi curiga. Sekarang tolong bawa saja dulu."

"Nanti aku akan mengantar mas Galang. Alamat laborat itu aku sudah tau mas."

"Syukurlah Jo, ini.. bawa saja dulu."

"Kemana dia?" tanya Raharjo.

"Lagi menghadap pak Haris. Aku akan segera membeberkan semuanya Jo, aku sudah menandatangani nota palsu, itu bukan kemauanku."

"Ya ampun mas, dia itu benar=benar jahat," kata Raharjo sambil mengambil botol itu.

"Semua harus segera diakhiri. aku tak tahan lagi."

"Sabar mas, setelah hasil dari laborat keluar,  terserah mas Galang mau melakukan apa. Sekarang ini kan mas Galang nggak takut akan ancaman dia ? Oh ya, bagaimana semalam?"

"Waduh Jo, sampai lupa cerita. Ya itu, setelah aku mengatakan semuanya, tampaknya dia langsung shock. Dia dibakar cemburu dan bertindak diluar akal sehatnya. Tapi sekarang dia sudah tenang Jo, syukurlah."

"Aku ikut senang mas, sebuah masalah sudah terlepaskan ikatannya, sekarang mas Galang nggak perlu takut lagi akan ancamannya, justru harus bisa membongkar semua kejahatannya."

"Baiklah Jo, semoga semuanya baik-baik saja..

"Sekarang saya kembali keruangan saya ya mas, nani kalau mbak Widi tau pasti akan lebih curiga lagi.

"Baiklah, terimakasih ya Jo.:

***

Untunglah Raharjo sudah keluar karena Widi hanya sebentar meninggalkan ruangannya.

"Om Haris sedang ada tamu, laporan tertunda. Tapi berkas sudah aku tinggalkan dimejanya." kata Widi tapi Galang tak mengtakan apa-apa, ia sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya ia ingin membatalkan kesepakatannya dengan Widi tentang nota itu, tapi diurungkannya. Ia harus menemukan bukti kuat untuk melakukan semua itu. Widi harus diberi pelajaran. 

"Galang, nanti temani aku makan siang ya?" tiba-tiba Widi memecahkan kesunyian yang beberapa sa'at lamanya mencekam di ruangan itu.

"Ma'af, aku sudah janjian untuk makan bersama Raharjo."

"Oh, kalau begitu kita makan bersama-sama saja," kata Widi nekat.

"Apa?"

"Kita bisa makan bersama, mungkin Raharjo juga akan mengajak Retno, jadi boleh dong bersama aku juga."

"Tidak, hanya aku sama Raharjo saja," kata Galang tandas. Bukankah ia dan Raharjo juga akan ke laborat demi air minum itu?

"Memangnya kenapa sih, cuma makan aja kan bisa beramai-ramai?"

"Nggak sama, selera kita berbeda, aku sama Raharjo cuma mau makan diwarung murahan, nggak level kan buat kamu?"

"Nggak apa-apa, aku juga mau kok.. "

"Nggak usah, aku yang nggak mau." Galang juga nekat.

"Galang, sombong amat, aku ingin kita makan ramai-ramai.. nanti boleh ajak Retno juga, aku yang traktir."

Tanpa menunggu jawaban Galang, Widi sudah memanggil Retno dan Raharjo, mengajak makan bersama sa'at istirahat nanti. Ia yakin akhirnya pasti Galang akan menuruti kemauannya.

"Kamu apa-apaan sih?" Galang merasa kesal, ia bingung bagaimana caranya pergi ke laborat kalau ada Widi bersama mereka.

"Mereka juga mau kok, siapa sih yang nggak suka kalau ada yang mau traktir makan?" kata Widi penuh kemenangan. Galang terdiam.Kemudian ia  mengirimkan pesan melalui WA kepada Raharjo.

"Bagaimana ini, dia mau ikut makan bersama kita, dan nekat, dan mengajak Retno juga," pesan Galang di WA nya.

"Tidak apa-apa mas, tenang saja, nanti aku yang atur." jawab Raharjo dengan WA juga.

Galang tak tau, apa rencana Raharjo, tapi mengetahui Raharjo akan mengatur semuanya, dia merasa sedikit tenang. Raharjo itu pintar, punya banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tidak seperti dirinya yang suka bingung dan kehabisan akal.

Mereka kemudian diam membisu, dan Widi mengira Galang menurut karena takut akan ancamannya. Widi senang, ia punya angan-angan.. ia bermaksud mengajak Galang untuk pergi kesuatu tempat, yang sepi.. yang hanya mereka berdua disana, dan apakah Galang bisa menlaknya seandainya ia masih memegang rekaman itu? Widi tersenyum senyum sendiri, merasa bahwa ia telah berhasil menguasai Galang sepenuhnya. Mana berani Galang menentang kalau dia sudah mengeluarkan senjatanya? Galang pasti takut kalau isterinya mengetahui peristiwa itu. Sendainya Widi tau....

Tiba-tiba Galang teringat kata-kata Widi tadi... KALAU AKU HAMIL, BAGAIMANA? Gila.. kata-kata itu sangat megganggunya. Galang ingin segera menyelesaikan masalah ini dan keluar darinya.

Ketika waktu istirahat tiba, Widi sudah mengontak Raharjo daan Retno. Mereka segera masuk keruangan Widi yang dengan gembira menyambutnya. 

"Bagus, sekarang sudah kumpul semuanya, ayo kita beraangkat, mau makan dimana?" tanya Widi ramah. 

"Terserah mbak Widi saja, kan mbak Widi yang mau mentraktir." jawab Raharjo sambil mengedipkan sebelah matanya kearah Galang. 

"Okey, ayo berangkata sekarang. Galang, kok kelihatannya ogah-ogahan begitu, o.. mau digandeng sama aku?" Widi berjalan kearah meja Galang dan menarik tangannya. Galang mengibaskannya dan berdiri kemudian mengikuti Raharjo yang sudah menuju kepintu.

"Galang, iih.. " teriak Widi kesal.

***

Mereka makan disebuah rumah makan mewah. Tak ada yang protes karena Widi bilang dialah yang akan mentraktirnya.

"Beruntung kita bisa makan enak siang ini. Terimakasih mbak Widi," kata Raharjo sambil tersenyum.

"Tapi kenapa kamu hanya memesan minum dan makan hanya sepiring salad?"

"Sudah kenyang mbak, lagian ini aku mau pamit sebentar, ada urusan." kata Raharjo yang tiba-tiba berdiri. Ia melirik kearah Galang yang memandanginya penuh tanda tanya.

"Lho, mau kemana Jo?Kok nggak sama Retno?" tanya Widi.

"Ada perlu mbak, nanti aku titip Retno sekalian dibawa kembali ke kantor, aku mau langsung saja."

Galang memndangi Raharjo masih penuh tanda tanya. Tapi ia tak mengatakan apapun. Ia dan Retno melanjutkan makan.

Ketika kemudian ada kiriman WA, Galang membacanya, dari Raharjo.

"Tenang mas, aku sudah menyimpan botol itu di mobil Retno, sekarang aku akan membawanya ke laborat." pesan di WA itu.

Galang tersenyum. Jadi ini rencana Raharjo? Mau tak mau ia harus berterimakasih pada sahabatnya itu.

"Dari siapa, kok senyum-senyum?" tanya Widi yang merasa curiga.

"Dari isteriku lah, ia kan selalu menanyakan apakah aku sudah makan atau belum?" jawab Galang berbohong. Dilihatnya Widi mencibirkan bibirnya, tapi Galang tak perduli.

"Oh ya Galang, besok Minggu aku mau ajak kalian ke Puncak." kata Widi tiba-tiba

"Apa? Acara apa?" tanya Retno.

"Cuma refreshing, capek. Habis gajihan tuh, tapi jangan khawatir, semua aku yang bayar. Hotel, makan, rekreasi kemanapun.. aku semua, kan aku yang ngajak.Cuma kita berempat, aku, Galang, Retno dan Raharjo. Raharjo pasti senang, bisa berduaan dalam suasana yang tenang, melihat pemandangan indah, hm... bukankah kalian pacaran?"

 "Aaap..apa?" tanya Retno gugup. Baru sekali ini ada orang mengatakannya pacaran sama Raharjo. Tiba-tiba Retno berdebar debar.

 "Retno, aku lihat kamu itu cocog sama Raharjo. Dia gagah, tampan, hm.. suka punya sepupu seperti dia."

 Wajah Retno memerah, untung Raharjo nggak ada. Kalau ada pasti ia akan merasa sangat malu. Retno mencoba bertanya pada hatinya, sukakah ia sama Raharjo? Srjak kuliah dulu mereka sangat dekat, tapi tak pernah mengucapkan kata saling cinta. Perasaan Retno terhalang oleh cinta Raharjo atau Teguh kepada Putri, yang sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaannya. Itu benar, selama Raharjo masih mencintai Putri, Retno akan memendam perasaan hatinya, yang belum dia sadari, apakah ia suka, apakah cinta, atau hanya bersahabat biasa. Ia tak perduli, ia sudah merasa senang bisa selalu berdekatan dengan Raharjo, saling menjaga dan memperhatikan.

"Aku nggak ikut." tiba-tiba kata Galang membuyarkan lamunan Retno.

"Galang, kenapa?" kata Widi sambil memandang tajam kearah Galang. Galang melihat mata itu penuh ancaman, Galang tau kemana arahnya, tapi sekarang Galang tidak takut. Isterinya sudah tau semuanya, apa yang ditakutinya?

"Nggak ingin ikut saja, aku mau jalan-jalan sama isteri dan anakku." kata Galang sambil menyendok makanannya.

"Galang, ini salah satu acara kantor juga, refreshing diawal Minggu, jadi kamu harus ikut, kata Widi sambil menandaskan kata harus. Dalam hati Widi berencana akan mengadakan acara itu disetiap awal Minggu, agar banyak kesempatan berdua sama Galang, dan ia tak harus memaksanya dengan kata-kata karena merasa punya senjata.

"Tapi aku nggak mau," tandas kata Galang.

"Galang," Widi menatap tajam kearah Galang. Galang terus menikmati makanannya.

"Baiklah, aku akan menelpon isterimu, barapa nomornya? Ia pasti akan memberi ijin suaminya untuk pergi bersamaku."

Galang sudah menyendok suapan terakhirnya, lalu meneguk minumannya dengan nikmat.

"Terimakasih telah mentraktir makanan lezat ini," kata Galang sambil mengusap mulutnya dengan selembar tissue.

"Galang..." 

Widi heran Galang tak perduli akan ucapannya.Apa karena merasa bahwa Widi tak punya nomor ponselnya Putri?

"Baiklah, kalau nggak bisa menelpon, aku kerumah saja." kata Widi lagi sambil tak pernah melepaskan pandangannya kearah Galang.

"Sudah lama kita disini, sa'atnya kembali ke kantor, yuk, ajak Galang tanpa memperdulikan kata-kata Widi. Widi sangat heran melihat Galang tampak tenang.

Ia ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Dari pak Haris.Tapi suaranya tampak tak bersahabat.

"Widi ! Kamu dimana?"

"Lagi makan om, diluar."

"Kembali ke kantor, cepat !! Nggak beres ini. "

"Ada apa om?"

"Kamu nggak beres! Kamu membuat laporan palsu!!"

"Palsu bagaimana om?"

"Ada nota keluar untuk Yayasan Putra Bakti. Aku sebelum itu sudah menyumbang dana untuk mereka sebanyak 20 juta!! Mana mungkin kamu membayarnya lagi 10 juta?"

Wajah Widi pucat pasi.

"Kembali kekantor sekarang dan menghadap aku!!"

***

besok lagi ya

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 38

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  38

(Tien Kumalasari)

 

Retno berdebar-debar, apakah ia menabraknya? Matikah? Beberapa sa'at kemudian orang -orang yang semula merubungi samping mobilnya telah buyar.  Raharjo mencari-cari, dimanakah perempuan yang tadi terjatuh didepan mobil? Hari telah gelap, dan suasana remang tak membuat matanya bisa jelas melihat perempuan itu.

"Bagaimana Jo?" tanya Retno ketikaa melihat Raharjo kembali menaiki mobil disampingnya.

"Sudah pergi, tadi hanya terjatuh, lalu kemudian lari pergi, itu kata orang-orang yang tadi berkerumun disitu.

"Mobilku tidak menabraknya?" masih berdebar jantung Retno.

"Hampir, dia terjatuh disamping mobil. Tapi kemudian  sudah pergi, berarti tidak terluka."

"Syukurlah, aduh Jo, tolong bawa mobilnya ya," kata Retno yang kemudian turun lalu berpindah kesamping kemudi, sementara Raharjo menggeser tubuhnya ketempat  duduk didepan kemudi.

"Kita jadi kerumah mas Galang?" tanya Raharjo.

"Ya jadi, katanya kamu pengin kenalan sama bu Galang."

"Bukan aku, mas Galang yang ingin kita kerumahnya."

Tiba-tiba dilihatnyaseorang laki-laki  menyeberang, tampak mencari-cari. Raharjo seperti mengenali laki-laki itu. Tapi merasa aneh melihat pakaian yang dikenakannya.

"Itu mas Galang?"

"Lho, kenapa berpakaian seperti itu? Bukan ah," sanggah Retno

"Iya... sebentar." kata Raharjo sambil melompat turun dan tiba-tiba sudah menghadang dihadapan laki-laki itu.

"Mas Galang?"

"Jo?"

"Kenapa mas Galang ini? Apa yang sedang mas Galang lakukan?"

"Aku mencari isteriku Jo, dia lari dari rumah." jawab Galang sambil kepalanya melongok kesana kemari.

"Lho.. lari? Ayo naiklah dulu ke mobil mas, bicara didalam," kata Raharjo sambil menarik tangan Galang diajaknya masuk kemubilnya.

"Mas Galang?" tanya Retno heran.

Galang tampak gelisah.

"Isteriku lari keluar rumah, setelah aku mengatakan semuanya. Tentang Widi, aku mengejarnya sampai nggak sadar berpakaian seperti ini," keluh Galamg.

"Ya ampun mas, mari kita cari, "

"Mas, jangan-jangan perempuan yang tadi hampir tertabrak mobilku..." celetuk Retno tiba-tiba.

"Apaa??" pekik Galang terkejut.

"Ia menyeberang tiba-tiba, hampir tertabrak, ia terjatuh disamping mobil, tapi ketika aku turun dia sudah pergi. Kata orang-orang kesebelah sana," kata Raharjo sambil menunjuk ke satu arah.

 "Cepat Jo, ayo kita cari," kata Retno.

Raharjo menjalankan mobilnya pelan, sambil menoleh kesana kemari. Galang mengamati orang demi orang yang terlewati dengan seksama.

 "Sebenarnya kami mau kerumah mas Galang tadi," kata Retno.

***

Simbok menidurkan Adhita yang telah pulas, pikirannya kacau melihat kedua momongannya bersikap seperti itu. Biasanya sangat rukun, mesra, manis.. kok tiba-tiba seperti itu. Jelas mereka sedang bertengkar. Lalu karena apa? Seribu satu pertanyaan berkecamuk di kepala simbok. Ia berjalan keteras, menunggu dengan hati khawatir.

"Ada apa, jeng Putri dan suaminya..." keluh simbok lirih. Kemudian mulutnya berkomat kamit, sepertinya simbok berdo'a untuk keselamatan kedua momongannya.

Tiba-tiba dilihatnya bayangan memasuki pintu pagar. Simbok mengamatinya dengan seksama karena hari sudah malam dan lampu didepan tak begitu menyala terang.

"Ya ampun, jeng Putri," teriak simbok, yang kemudian merangkul Putri, diajaknya masuk kedalam. Putri langsung masuk kekamarnya dan berbaring dengan mendekap guling. Dilihatnya Adhitama terlelap tidur, dielusnya pipinya lembut, sementara simbok berlari kebelakang untuk mengambilkan minum bagi Putri.

"Sayang, haruskah ibu mempercayai bapakmu? Ibu membayangkan yang tidak-tidak, sakit hati ibu nak," lalu meneteslah air mata Putri, Adhitama merengek karena terganggu tidunnya, ia membuka matanya sebentar, kemudian Putri menepuk nepuk pahanya dan Adhit kembali terlelap.

"Jeng, ini minum dulu," kata simbok sambil membawa segelas air putih.

Putri bangkit sambil mengusap air matanya.

"Ada apa ta jeng, selama ini kan baik-baik saja, simbok senang melihat jeng Putri dan pak Galang sangat mesra, saling mengasihi, lha tadi kenapa kok tiba-tiba seperti itu?"

Putri diam, lalu meneguk air yang diulurkan simbok.

"Dengar ya jeng, perempuan... seorang isteri.. tidak pantas meninggalkan rumah dengan amarah. Kata orang-orang tua, itu saru. Kalau ada masalah ya diselesaikan dirumah. Coba apa yang dikatakan orang ketika melihat suami isteri berkejaran diluar sana, dijalanan, apa nggak memalukan?"

"Mana mas Galang?"

"Lha tadi mengejar jeng Putri, cuma pakai celana pendek, nggak karuan wajahnya, sampai sekarang belum kembali."

"mBok, tolong telepone mas Galang, bilang kalau aku sudah dirumah," kata Putri penuh sesal. Ia sedang terbakar cemburuwaktu itu dan tak bisa mengendalikan diri. Sekarang mendengar suaminya mengejar hanya dengan celana pendek, Putri sangat sedih. Apa kata orang kalau melihat suaminya berpakaian seperti itu. Ia membayangkan suaminya berlari-lari sambil memanggil-manggil namanya. 

"Tolong mbok," rintih Putri sambil kembali menangis.

"Lha wong pak Galang tidak membawa ponsel..."

"Ya Tuhan, aku telah berdosa membuat suamiku seperti itu. Aku akan mencarinya mbok," kata Putri sambil berdiri.

"Lha mau mencari kemana? Malah nanti saling mencari, jadi bingung semua."

"Aku harus bagaimana mbok?" Putri kembali terduduk ditepi ranjang.

"Lebih baik ditunggu saja dirumah, nanti kalau pak Galang mencari tidak ketemu juga pasti akan pulang kerumah."

"Ya Tuhan, kembalikan suamiku..." keluh Putri lalu kembali menangis.

Simbok menuju ke teras, ia seorang pembantu yang santun, walau tau kedua momongannya sedang ada masalah, ia tak ingin bertanyaa apa sebabnya. Ia hanyalah seorang abdi, yang sangat erat menjaga kesantunannya, tak berhak terjun kedalam masalah majikannya.

Hari telah malam, ia tau jeng Putrinya pasti masih tenggelam dalam tangisannya, tapi simbok tetap menunggu diteras, dan berdo'a agar momonganny segera pulang.

Hampir tengah malam katika sebuah mobil berhenti didepan pagar. Simbok bangkit dari duduknya dengan harap-harap cemas.

Memang benar, Galang turun dari mobil, disambut simbok.

"Jeng Putri sudah dikamar, menunggu pak Galang," kata simbok.

Galang hampir melonjak kegirangan. Ia membalikkan tubuhnya menuju kearah mobil yang masih menunggunya didepan pagar.

"Dia sudah ada dirumah Jo," kata Galang.

"Syukurlah mas, ma'af ini sudah malam, saya sama Retno pamit dulu ya," kata Raharjo.

"Terimakasih banyak Jo, dan ma'af juga sudah merepotkan kalian."

"Nggak apa-apa, senang mendengar bu Galang sudah kembali. Semoga permasalahan segera selesai ya mas.," kata Raharjo sambil menstarter mobilnya.

Galang melambaikan tangannya ketika mobil itu menjauh.

***

Simbok menyambut Galang dengan secangkir teh hangat, yang segera diteguknya habis.

"Terimakasih mbok," kata Galang sambil mengulurkan cawan yang telah kosong, lalu ia melangkah kekamar dengan hati-hati.

Dilihatnya isterinya terbaring diranjang, membelakanginya. Perlahan ditariknya tangan Putri sehingga tidur tertelentang. Matanya sembab karena terlalu lama menangis, dan kini air mata itu kembali meleleh begitu melihat suaminya. Galang mendekapnya, Membuatnya duduk dan merangkulnya erat.

"Putri, jangan lakukan lagi, aku bisa mati karena kehilanganmu," bisik Galang.

Putri merebahkan kepalanya dipundak galang, kembali menangis disana. Galang merasa lega, karena sikap Putri ini menunjukkan bahwa amarahnya telah mereda.

"Percaya padaku Putri, aku tak mungkin melakukan hal buruk itu."

"Ma'af mas, aku dibakar cemburu dan lupa segalanya. Aku takut kehilangan mas."

"Sayang, kamu tak akan kehilangan aku, aku juga tak ingin kehilangan kamu."

Biarkan malam semakin larut, dan biarkan cinta saling bertaut. 

 ***

Walau hampir semalaman tak tidur, tapi Galang bangun bersemangat. Ia sudah siap berangkat kekantor.

"Putri, tolong berikan botol berisi air itu."

"Mas akan membawanya sekarang?"

"Aku akan ke laboratorium untuk memeriksakan kandungan apa yang ada didalam cairan itu."

Putri masuk kedalam kamar dan mengambilkan botol yang diminta suaminya.

"Terimakasih sayang. Semoga aku bisa menemukan buktinya dan menyeretnya ke pengadilan."

Galang memandangi wajah isterinya yang tampak sembab, tapi mata itu bersinar cerah, tak tahan Galang mengecup pipi isterinya, kemudian juga bibirnya. Putri mendorongnya pelan sambil tersenyum.

"Ada simbok," bisiknya.

Galang juga tersenyum senang, lalu dikecupnya pipi Adhitama.

"Jaga ibu ya nak," selalu kata itu yang diucapkannya pada anaknya setiap hendak pergi.

Galang menuju mobilnya dengan membawa tas plastik berisi botol. Ia akan kekantor dulu, kemudian baru akan ke laboratorium. Ia perlu mencari dulu alamat laborat yang bisa membantunya.

***

Ketika tiba dikantor, dilihatnya Widi sudah duduk dikursinya.

"Hai sayang, bangun kesiangan ya?"

"Ma'af, jalanan macet," jawab Galang singkat.

 "Bawa apa itu?" kata Widi sambil mendekati meja Galang.

Galang meletakkan bungkusan botol itu dimeja.

"Apa ini?" Widi begitu saja mengambil bungkusan plastik itu dan mengeluarkan isinya.

"Jangaaan," sergah Galang.

"Kamu bawa bekal minum dari rumah?" kata Widi tanpa melepaskan botol itu.

"Berikaaan, lancang kamu buka2 bungkusan orang," kata Galang sewot.

"Cuma begini saja kok marah, ada apa dengan botol ini?"

***

besok lagi ya

Saturday, August 24, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 37

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  37

(Tien Kumalasari)

Widi berjalan lunglai keruangannya. Ia tak mengira pak Haris akan memriksa keuangannya hari itu.Dan Widi juga tak mengira bahwa pak Haris akan semarah itu. Begitu masuk keruangannya dilihatnya Galang masih bersandar pada kursi kerjanya, matanya terpejam.

"Kamu tidur ?" kata Widi sambil mendekati meja Galang.

Galang membuka matanya, tapi tak menjawab sepatah katapun.

"Kamu harus menolong aku Galang,"

"Maksudnya.. menemani kamu makan?"

"Bukaaan... nafsu makanku sudah hilang," kata Widi sambil dudu dihadapan Galang.

"Lalu....?"

"Laporan keuanganku kacau, ada selisih banyak, dan om Haris meminta pertanggung jawabanku atas selisih uang tersebut."

Galang masih saja diam, masa seorang direktur keuangan tidak bisa mempertanggung jawabkan uang yang dikelolanya>

"Galang, kalau aku tidak bisa mempertanggungjawabkan laporan itu, aku pasti dipecat,"

"Itu sudah pasti. .."

"Apa maksudmu?"

"Kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tanggung jawabnya... ya pastilah dipecat."

"Kamu mensyukuri nasibku?"

"Itu bukan nasibmu, itu tanggung jawab yang harus dipikul .."

"Kamu harus membantu aku."

"Aku bisa membantu apa? Jangan libatkan aku dengan ketidak mampuanmu..aku punya tanggung jawab sendiri."

"Jadi kamu tak mau membantu aku?"

"Membantu bagaimana ?"

"Aku mau membuat surat keterangan atas keluarnya beberapa juta uang. Ditanggal yang berbeda. Tapi kamu harus tanda tangan."

"Apa? Dan surat keterangan itu fiktif?"

"Aku hanya tak ingin bersusah payah menelusuri kemana larinya selisih uang itu, aku hanya akan membuat surat tanda keluar uang saja."

"Iya, aku tau maksudmu, tapi itu palsu kan? Menipu kan? Nggak..aku nggak mau, ma'af, itu bukan sifatku. Bekerjalah yang lurus2 saja supaya selamat. Jadi kalau memang ada pengeluaran sebanyak seliisih itu, ya buat sesuai apa yang sudah kamu keluarkan, bukan fiktif, bukan bohong, menipu.."

Galang kambali menyandarkan kepalanya, dan itu membuat Widi sangat kesal.

"Galang, kamu membantu atasanmu.. tidak maukah?"

"Membantu dengan membuat suatu kebohongan? Tidak...," kata Galang tanpa mengangkat wajahnya.

"Galang, oh ya, apakah isterimu ada dirumah? Oh ya, nomor telepone dia berapa, boleh aku minta?"

Galang menegakkan tubuhnya.

"Apa maksudmu..?"

"Aku kangen sama Putri, lama nggak ketemu ya, aku mau kesana siang ini juga. Habisnya, mau ngomong lewat telepone nggak tau nomornya," kata Widi sambil berdiri lalu melangkah kearah mejanya.

Galang merasa cemas. Rupanya rekaman yang dibawa Widi bisa dipergunakan untuk mengendalikan dirinya seoerti mengendalikan sebuah robot. Ia ingin melawannya, tapi kalau Widi lebih dulu menemui Putri, bagaimana?.

"Galang, kalau aku kesana sekarang, kamu mau nitip apa?" tanya Widi sambil tersenyum mengejek.

"Widi, surat apa yang kamu ingin aku menanda tangani?" kata Galang pelan, dengan sangat berat hati.

"Bagus Galang, jadi kamu ingin membantu aku?"

"Apa boleh buat..." keluh Galang.

"Terimakasih sayang, aku akan membuatnya dulu, kamu tinggal tanda tangan..bukankah setiap uang keluar kamu juga harus ikut tanda tangan?"

***

Hari itu Galang pulang dengan wajah muram. Ia telah terpaksa membuat kebohongan, dan sesungguhnya itu berbahaya. Kalau ketahuan resikonya dia harus ikut dipecat. Keluar dari tempatnya bekerja sih boleh saja, ia justru ingin melakukannya, tapi dengan cara dipecat karena melakukan kebohongan? Aduhai, jangan sampai hal itu terjadi. Baiklah, hari ini tak ada jalan untuk keluar dari jeratan Widi, tapi Galang berjanji akan membuka semuanya pada suatu hari nanti.

"Mas, kok wajahnya muram begitu?" sapa Putri ketika melihat suaminya tampak tak bersemangat.

"Kangen sama kamu," Galang mencoba bercanda dengan menggoda isterinya. Mereka sedang duduk berdua sementara Adhit digendong simbok diteras.

"Ah, mas Galang nih..," kata Putri sambil mencubit suaminya.

Galang tersenyum, direbahkannya kepalanya dipangkuan isterinya . Putri membelai kepala suaminya. Ia merasa suaminya sedang gelisah.

"Oh ya, tentang botol air itu mas, sebenarnya ada apa?"

"Aku sudah melihatnya dikamar, Terimakasih sayang."

"Simbok hampir membuang isinya, untuk dipakai wadah minyak goreng katanya."

"Wadhuh, belum kan?"

"Nggak jadi, apa sangat penting air itu buat mas?"

"Besok aku akan membawanya ke laborat."

"Lhoh.. ada apa?"

"Aku merasa didalam air itu terkandung suatu zat yang berbahaya."

"Dan mas sudah meminumnya?" tanya Putri khawatir.

"Putri, aku sangat sedih bila mengingatnya. Tapi sebelum aku cerita banyak, aku ingin tau, apakah kamu mencitai aku?"

"Mas kok bertanya lagi, apa semua sikap dan yang aku lakukan, tidak cukup untuk mengatakan seperti apa perasaanku sama mas?"

"Kalau begitu peluk aku,"

"Mas, iih.. kolokan deh..."

"Peluk aku Putri, supaya batinku merasa tenang."

Putri memeluk kepala Galang, sangat erat dan Galang balas merangkulnya. Putri merasa sedang ada masalah menimpa suaminya. Ketika pelukan itu  dilepaskan, ia melihat ada bulir air mata membasahi pipi Galang. Putri mengusapnya lembut. Ada apa kah si tampan nan pekasa ini sampai menitikkan air mata?  Bukankah setiap sa'at ia selalu menyediakan dada bidangnya untuk Putri bersandar dan itu membuatnya merasa nyaman dan terlindungi ? Putri memandangi wajah suaminya lekat-lekat. Aduhai, kemana larinya mata bening dan senyum nan menawan itu?

"Mas Galang, aku adalah isterimu, marilah kita berbagi dalam suka dan duka kita. Agar aku bisa ikut memikulnya mas."\

"Aku merasa ternodai, Putri," lirih suara Galang.

"Ayo mas, cerita. Jangan pendam derita mas seorang diri," kata Putri sambil membelai rambut suaminya, seperti seorang ibu yang menyayangi anaknya. Galang sekali lagi memeluk Putri.

"Putri, taukah kamu bahwa aku sangat mencintai kamu? Bahwa tak ada wanita manapun didunia ini yang bisa menggantikan kamu? Bahwa hidupku tak ada artinya tanpa kamu?"

Putri mengangguk angguk. Dalam hati ia berfikir, itu kan rayuan seseorang yang baru saja jatuh cinta? Tapi Galang mengucapkannya lagi, sangat tandas dan dengan memeluknya erat. Tiba-tiba Putri berdebar-debar. Ada bayangan yang melintas dikepalanya, jangan jangan.... oh jangan.. Putri mengibaskan bayangan itu. Tak mungkin... tak mungkin..

"Putri, kalau kamu mendengar cerita ini, tetaplah mempercayai aku, tetaplah mencintai aku.. dan jangan pernah meninggalkan aku."

Tiba-tiba bayangan buruk itu melintas lagi. Kata-kata Galang semakin memperjelas bayangan yang melintas dikepalanya.

"Putri, sayang, air dalam botol itu, terminum olehku separohnya. Aku tidak sadar itu milik siapa, isinya apa.. tapi itu telah membuatku pusing kemudian tak sadarkan diri."

"Ya Tuhan, mas.. lalu apa yang terjadi?"

"Perempuan jalang itu membuat rekayasa yang sangat menjijikkan dalam ketidak sadaranku, sungguh aku tidak melakukan apa-apa, tapi dia mengatakan bahwa aku melakukannya."

Wajah Putri pucat pasi. Pelukan itu dilepaskannya, dipandanginya suaminya seperti memandangi orang asing yang baru saja dikenalnya.

"mBak Widi bukan?" bisiknya lirih, menahan pilu.

"Putri, bukankah aku sudah mengatakan bahwa setelah mendengar ceritaku kamu harus tetap mempercayai aku? Harus tetap mencintai aku dan tak pernah meninggalkanku?" kata Galang memelas.

Putri terisak, kemudian lari kedalam kamar. Ia menelungkupkan wajahnya pada bantal, membiarkan tangisnya meledak disana.

Galang yang mengejarnya, memeluknya dari belakang.

"Sungguh Putri, aku tak sadar, bagaimana aku bisa melakukannya?

Putri merasa sakit. Ia bayangkan suaminya tidur persama perempuan jalang yang disebutkan suaminya..dan itu cukup menyakiti hatinya, membuatnya teriris sampai berdarah darah.

"Putri, percayalah sama mas Galangmu ini....sungguh aku tidak melakukan apapun, dia hanya mengecoh aku. Dia yang mengisi obat tidur kedalam minuman itu dan membuatku tak sadar. Besok aku akan memeriksakan air itu ke laboratorium, dan kalau bukti aku dapatkan aku akan melaporkannya pada polisi."

Putri masih terisak , dan Galang juga masih memeluknya.

"Kalau aku memang melakukannya, untuk apa aku menceritakan semuanya sama kamu?"

Putri belum merasa tenang, Tiba-tiba ia bangkit, lalu mengganti bajunya dengan baju yang lebih pantas. Ia menyapu air matanya dan melumurinya dengan bedak.

Galang terkejut.

"Putri, mau kemana kamu?"

Putri tak menjawab, itu terus berjalan keluar rumah, setengah berlari, sampai kejalan besar. Galang mengejarnya, hanya dengan celana pendek dan kaos rumahan yang sejak tadi dikenakannya.

Simbok yang masih berdiri diteras dengan menggendong Adhit juga terkejut melihat adegan itu. Tapi ia tak berani mengejar. Hari mulai gelap, Putri masih tetap berjalan, setengah berlari. Galang yang mengejarnya bingung karena dalam keramaian itu Putri menghilang entah kemana.

"Putriii.." Galang berteriak. Tapi tak ada jawaban. Orang2 yang melintas disana hanya berfikir, pasti suami isteri sedang bertengkar.

Tiba-tiba Putri melintas menyeberangi jalan. Rem mobil berderit sangat kencang. 

Pengemudi mobil itu meminggirkan mobilnya, nafasnya terengah engah.

"Retno, aku sudah bilang, biar aku saja menyetir mobilnya. Hampir saja kamu menabrak perempuan itu."

"Jo, turun dan lihatlah, apa dia terjatuh? Aku tak sampai hati melihatnya."

Dan Raharjo pun turun.

***

besok lagi ya

Friday, August 23, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 36

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  36

(Tien Kumalasari)

"Apa kamu bilang?" Galang memeloototi Widi.

"Aku serius, kamu kira aku main-main? Kamu begitu ssombong, angkuh, susah dirobohkan, tapi kenyataannya kemarin malam kamu sudah jatuh kedalam pelukanku. Kamu menikmatinya, tapi kamu ingkar. Jangan pura-pura tidak sadar Galang, aku punya buktinya."

"Perempuan laknat kamu. Murahan kamu!! Tak tau malu, kamu yang meracuni aku bukan? Kamu meninggalkan botol minuman yang sudah kamu isi dengan obat tidur, atau obat apalah namanya, sehingga aku tidak sadar."

Widi tertawa. Bagi Galang suara tawa itu terdengar seperti suara iblis. Galang duduk dikursinya. Benar kata Raharjo, Widi bisa mengancamnya dengan akan mengatakannya pada isterinya. 

"Minuman apa, aku tidak bisa berjalan dan aku meracuni kamu? Jangan mengada ada Galang, kalau kamu suka bilang saja suka. Laki-laki mana sih yang tidak tergoda melihat perempuan terbaring disisinya?"

"Pergi kamu Widi, enyah dari hadapanku."

"Galang, aku ini atasanmu, kamu berani mengusirku?"

"Tidak sebagai atasan, aku usir kamu sebagai iblis yang menggangguku. Pergi, atau aku laporkan kamu kepada pak Haris? Kelakuanmu sungguh tidak pantas. Kamu seperti perempuan murahan. Memang kamu murahan kan?"

"Apa kamu bilang tadi? Melapor kepada pak Haris? Kamu lupa pak Haris itu siapa? Dia adalah omku Galang, salah-salah kamu bisa dipecatnya."

"Siapa takut? Aku lebih baik keluar dari sini daripada melihat ujudmu setiap hari. Baiklah, aku keluar sejak detik ini."

Galang membuka lacinya, mengemasi barang-barangnya.

Melihat Galang mengemasi barang-barangnya, Widi mendekat lagi kearah Galang.

"Baiklah, pulang dan temui isteri kamu setelah aku mengirimkan gambar-gambar ini. Ia pasti senang melihatnya."

Galang menghentikan kegiatannya.

"Apa sebenarnya yang kamu inginkan ?" hardik Galang kasar.

"Galang, bersikaplah lembut padaku, seperti ketika kamu mencumbu aku."

Galang merasa muak mendengarnya. Ia tak tau harus berbuat apa. Ia tak ingin isterinya mendapatkan rekaman yang dibuat Widi. Rekaman yang ia tak sudi melihatnya. Ia merasa tak melakukan apa-apa, mungkin Widi hanya menggertaknya.Jangan-jangan dalam rekaman itu tampak bahwa ia tak melakukan apapun, atau Widi membuatnya seolah olah hal itu benar-benar  terjadi?

Galang berfikir akan memeriksakan sisa air yang pastinya sudah disimpan isterinya ke laboratorium seperti usul Raharjo. Ia juga akan melaporkannya pada polisi, tapi ia harus berterus terang dulu kepada isterinya. Bagaimana kalau Widi lebih dulu memberikan rekaman itu? Galang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Widi masih berdiri dihadapannya. Tampaknya Galang harus mengalah sampai ia berhasil mendapatkan buktinya dan mempersiapkan segalanya untuk menghancurkan Widi.

"Galang, bersikaplan manis padaku," kata Widi lembut. Tapi Galang merasa mual dan ingin muntah disa'at itu juga.Susah payah ia mencoba menekan gejolak kemarahannya.

"Ayo kita makan siang.."

"Aku sudah makan bersama Raharjo."

"Kalau begitu temani aku saja, okey?" ajakan itu begitu memaksa, dan kalau dia menolaknya pasti ancaman Widi akan segera dibuktikannya.

Tapi sebelum Galang berdiri, ponsel Widi berdering.

"Ya om," jawab Widi setelah mengangkat telepone itu.

Widi berjalan kearah mejanya, mengambil setumpuk map sambil berbicara di telepone. Galang tak ingin mendengarnya. Ia justru sedang mereka-reka apa yang ingin diperbuatnya.

"Baiklah, Widi kesitu om."

Widi menutup pembicaraan itu, lalu mengambil map yang tadi ada dimejanya.

"Om Haris memanggilku, nanti aku kembali dan jangan lupa temani aku," kata Widi sambil melangkah keluar dari ruangan.

Galang menarik nafas lega. Ia menumpukan kedua siku tangannya dimeja, sambil memegangi kepalanya. Tiba-tiba dilihatnya diatas meja Widi ada sebotol  air minum. Galang berdebar, botol itu persis seperti botol air yang diminumnya sebelum kejadian malam itu. Ia sungguh tak merasa aneh ketika menemukan sebotol air, lalu selagi haus meneguknya. Ia tak berfikir bahwa itu botol yang ditinggalkan Widi dengan sengaja. 

"Bodoh!!Bodoh!! Bodoh!!" Galang memaki dirinya yang sangat ceroboh sore itu. Ia mengambil ponselnya dan memotret botol itu, barangkali suatu hari diperlukan.

***

Raharjo sedang melanjutkan pekerjaannya ketika tiba-tiba ponselnya berdering

"Hallo, mas Galang," sapanya setelah mengetahui yang menelpon adalah Galang.

"Hallo Jo, lagi sibuk?"

"Nggak, lagi membaca file pengiriman bulan ini, ada apa?"

"Kamu betul Jo, dia mengancam akan mengakatannya pada isteriku. Aku ketakutan Jo, sungguh."

"Itu pasti mas, perempuan seperti itu pasti akan melakukan apapun tanpa mengenal malu."

"Jadi bagaimana Jo, sisa air minum itu sudah diketemukan, besok aku akan membawanya ke laborat."

"Bagus mas, itu bisa kita jadikan bukti kalau mas jadi melaporkannya pada polisi."

"Beruntung sisa air itu tidak aku minum lagi Jo, soalnya letaknya dibawah. Padahal waktu pulang itu kepalaku juga masih puyeng, rasanya seperti tidak menapakkan kaki ditanah. Pengaruh obat tidur itu masih terasa ketika aku sampai dikantor."

"Tapi setelah sampai dirumah sudah tidak kan? Habisnya sudah ketemu isteri tercinta," goda Raharjo.

"Ah, kamu itu Jo, besok kalau kamu sudah menikah pasti bisa merasa bagaimana senangnya bertemu isteri setelah beberapa hari kamu tinggalkan," Galang ganti menggodanya. Galang heran, begitu bertemu Raharjo bebannya seperti sedikit berkurang.

"Mas Galang tuh, do'akan agar ada perempuan yang mau sama aku ya."

"Ya pasti ada lah Jo, laki-laki ganteng pasti banyak yang suka. Awas ya, jangan bilang miskin lagi."

Raharjo tertawa renyah. Teringat olehnya ketika Retno melayaninya sa'at sakit. Ah, mengapa membayangkan Retno, bukankah Raharjo takut jatuh cinta pada Retno? Tapi bukankah rasa cinta itu tak mengenal takut?

"Jo, kok diam, ya sudah, itu dibicarakan besok-besok ya, ini ada berita lagi. Aku menemukan dimeja Widi, botol air minum yang sama dengan merk seperti yang aku minum sore itu."

"Haa..bagus mas, fotoin saja."

"Sudah Jo, tapi ini aku sedang tak ingin membuat dia kesal Jo, kalau dia marah, ancamannya adalah rekaman itu. "

"Makanya mas Galang harus segera mengatakan apa yang terjadi pada isteri, supaya ketika mbak Widi benar-benar mengirimkan rekaman itu, dia sudah tau bahwa itu bohong."

"Ya Jo, walau berdebar ketakutan, aku tetap akan mengatakannya pada isteriku. Ya sudah Jo, takutnya orangnya tiba-tiba muncul.Ma'af sudah mengganggumu, habis hatiku belum tenang kalau belum ngomong sama kamu."

"Baiklah mas, tenangkan hati mas Galang, aku akan mendukungmu."

Ketika telephone ditutup, tiba-tiba Retno muncul dengan wajah pucat.

"Jo, punya obat pusing ngak?"

"Lho, kamu sakit? Di almari obat kan ada."

"Aku sudah minta, habis katanya."

"Waduuh, duduklah sebentar, aku akan suruhan membelinya untuk kamu."

"Nggak usah Jo, obat gosok saja. Kamu punya kan?"

"Ada, sejak sakit kemarin aku selalu membawanya."

Raharjo mengambil obat gosok itu, dan diberikannya pada Retno.

"Terimakasih Jo," Retno menerimanya lalu menggosokkannya pada pelupis, lalu lehernya. Raharjo melihat sekilas leher jenjang itu, lalu memalingkan mukanya. Ia pura-pura membaca apapun yang ada dihadapannya untuk menenangkan hatinya. Sebenarnya ia ingin membantu menggosokkannya, mana patut? Retno kan bukan Widi yang dengan berani mengganggu laki-laki, dan pasti Retno akan menolak seandainya dia melakukannya.

"Ma'af ya Jo, mengganggu kamu," kata Retno sambil mengosok juga bagian bekalang lehernya.

"Nggak apa-apa, kok kamu tiba-tiba pusing, tadi pagi baik-baik saja." 

"Diruangannya, pak Haris lagi marah-marah sama mbak Widi," kata Retno sambil mengembalikan obat gosoknya kemeja Raharjo.

"Marah-marah? Memangnya kenapa?"

"Nggak tau, mbak Widi kan memegang keuangan juga, kelihatannya ada yang nggak beres, Mendengar orang marah-marah kepalaku langsung berdenyut. Aku juga merasa nggak enak sih, lalu keluar menemui kamu."

"Pak Haris tampaknya sabar, ternyata bisa marah juga ya?"

"Wah, kalau marah menakutkan Jo, dia nggak pandang saudara atau bukan. Mudah-mudahan mbak Widi bisa  menyelesaikan masalah itu. Aku duduk disini dulu ya Jo, sampai hatiku tenang."

"Silahkan Ret, masih pusing?Aku belikan obat ya?"

"Sudah berkurang. Nggak apa-apa, jangan khawatir Jo, tapi aku senang kamu menghawatirkan aku," kata Retno sambil tersenyum. Raharjo menangkap senyum iu, dan heran sendiri mengapa hari ini senyuman Retno manis sekali. Hai cinta, bukankah masih ada sekping rasa untuk kekasihnya yang hilang? Entahlah, Raharjo sendiri tak tau. Kalau benar itu cinta, lalu kemudian ditolak, aduhai, Raharjo tak ingin mengalaminya lagi.

***

"Widi, aku mempercayai kamu karena kamu keponakanku, tapi akhir-akhir ini aku merasa kamu bekerja nggak becus.Mengapa ada laporan diganti ganti begini? Ini tidak sesuai dengan laporan kamu sesungguhnya," kata pak Haris dengan wajah marah.

Wajah Widi pucat pasi. Hari itu pak Haris terlihat sangat menakutkan. 

"Sebentar om, Widi akan membetulkannya."

"Dari tadi kamu bilang membetulkan, tapi kembali lagi ini tidak sesuai. Aku sudah membaca laporan kamu dua bulan lalu, okey.. aku tau itu bagus, tapi sebulan kesini.. kok nggak nyambung sama laporan sebelumnya."

"Ma'af om, baiklah nanti Widi betulkan. Bolehkah Widi mengerjakannya diruangan Widi?"

"Kenapa kalau disini?"

"Widi punya beberapa catatan yang mungkin masih bisa dipergunakan untuk kelengkapan laporan."

"Yang jelas, aku minta pertanggung jawaban kamu tentang ini, selisih yang tidak sedikit disini. Lihat. Lihat, jangan melihat kemana mana."

"Ya om, pasti ada yang salah."

"Sudah pasti ada yang salah, pertama, selisih limabelas juta. Ini tidak sedikit. Katakan untuk apa uang keluar sebanyak limabelas juga pada akhir bulan lalu."

***

besok lagi ya.









M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...