Tuesday, August 27, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 40

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 40

(Tien Kumalasari)

Galang memandangi wajah Widi penuh tanda tanya. Mata nyalang yang biasanya menyorot tajam, tampak kuyup. Pasti pak Haris masih marah sama Widi. Pikir Galang. 

"Galang, kita kembali ke kantor sekarang," kata Widi sambil berdiri. Galang dan Retnopun ikut berdiri. Ketika Widi menuju kasir untuk membayar, Retno menggamit lengan Galang.

"Ada apa ya?"

Galang hanya mengangkat bahu tanda ta mengerti.

"Kelihatannya pak Haris marah2 lagi, aku takut masuk keruangannya, nanti ikutan diruangan mas Galang dulu ya."

"Oke, nggak apa-apa, ngeri juga kalau mendengar orang lagi marah."

"Pak Haris kalau marah menakutkan. Padahal kalau lagi biasa baik banget .. untunglah aku selalu bisa melayaninya dengan baik."

"Hati-hati dalam mengerjakan sesuatu, itu penting bukan?"

Widi sudah selesai membayar, lalu bergegas menuju mobilnya. Galang dan Retno mengikutinya tanpa bertanya.

***

Begitu sampai diruangannya, Widi meletakkan tas dan bergegas menuju keruangan pak Haris. Galang dan Retno duduk dikursi tamu, sambil menunggu berita dari Raharjo.

"Raharjo kok lama ya mas?"

"Ya, mungkin jalanan macet."

"Dia sudah cerita banyak tentang mbak Widi, aku sebagai sepupunya jadi malu. Perbuatannya sungguh nggak pantas."

"Dulu waktu kuliah kami berteman. Aku nggak tau kalau dia suka sama aku. Ketika aku mau menikah baru dia ngomong. Tapi aku nggak pernah merasa dekat dalam arti saling suka. Kok tiba-tiba ketemu disini dan berbuat senekat itu."

"Padahal dia itu kan cantik, pasti banyak yang suka dan bersedia jadi pendamping dia."

"Biasanya seorang laki-laki kurang suka pada perempuan yang terlalu mengejarnya."

"Oh ya?"

Tiba-tiba Retno berfikir, apakah dia terlalu mengejar Raharjo? Enggah ah, biasa saja, dan Raharjo juga nggak pernah memperlihatkan rasa kurang suka kok. Pikir Retno yang kemudian dijawabnya sendiri.

"Ada apa, kok diam? Lagi mikirin Raharjo ya?" goda Galang.

"Ah, mas Galang ada-ada saja. Kami hanya berteman." jawab Retno tersipu.

"Kamu itu cocok lho sama Raharjo, sungguh. Aku berharap kalian bisa berjodoh," kata Galang serius.

"Mas .. Raharjo itu masih mencintai pacar lamanya. Aku nggak berani donk."

"Masa sih? Katanya dulu sudah bisa melupakan kok. Sungguh, katanya tinggal sekeping, itu dulu, sudah lama, mungkin sekarang sudah tak bersisa, siapa tau."

"Entahlah mas, jodoh itu kan yang mengatur dari sana," kata Retno sambil menungjuk keatas.

"Itu benar, tapi aku berharap kalian benar-benar bisa berjodoh lho."

Retno tersenyum. 

"Do'akan yang terbaik saja mas. Kalau nanti tiba-tiba Raharjo ketemu sama pacarnya, sementara aku terus berharap... jadi sakit donk."

Dan tiba-tiba Raharjo pun muncul.

"Lagi ngomongin apa nih?" tanya Raharjo sambil duduk diantara mereka.

"Lagi ngomongin kamu sama Retno."

"Mas Galang tuh, nanti Retno jadi takut sama aku.."

"Ee.. siapa takut?"

"Tuh, sudah ditantang lho Jo." 

Lalu ketiganya tertawa berderai. Bagaimanapun Raharjo lah yang takut ditolak. Namun keduanya bisa menjaga hati mereka masing-masing, sehingga persahabatan tetap terjalin. Dan persahabatan itu kemudian mengandung suka atau cinta, waktulah yang akan bicara.

"Oh ya mas, sudah aku bawa tadi ke laborat, hasilnya tidak bisa sekarang,tapi besok."

"Masih besok ya?"

"Iya mas, besok biar aku yang ambil."

"Berapa bayarnya Jo?"

"Gampang mas, pokoknya besok aku ambil dulu."

Tiba-tiba dering telepone berbunyi.

"Ya?" Galang mengangkatnya.

"Kamu kesini Lang !! Cepatt!" itu suara pak Haris, tandas, tak ada ramah pada nada suaranya. Hati Galang tercekat. Jangan-jangan nota itu bermasalah.

"Ada apa mas?"

"Pak Haris memanggilku, nadanya marah. Jangan-jangan karena nota itu."

"Kalau mas Galang dipojokkan, katakan saja semuanya dengan terus terang mas, jangan ada yang ditutupi. Itu lebih baik daripada mas Galang dikira melakukan penipuan sungguhan."

"Baiklah, apa boleh buat, aku kesana dulu."

Galang meneguk minuman diatas mejanya, lalu melangkah keluar ruangan.

***

"Aku tidak mengerti, apa kurangnya semua yang aku berikan untuk kamu Widi? Kamu mendapat kekuasaan penuh atas keuangan yang ada diperusahaan ini, karena kamu adalah keponakanku. Tapi kalau kamu tidak bisa dipercaya, aku malu. Sungguh, lebih baik kamu pulang ke Semarang, aku nggak mau kamu bekerja disini lagi."

Widi hanya menunduk, terdiam, tak tau harus menjawab apa. Pak Haris bersedakap dikursinya ketika Galang masuk dengan hormatnya.

"Selamat siang pak," sapa Galang.

"Siang. Duduklah."

"Terimakasih pak."

"Kamu ini Galang, baru sebulan bekerja disini, aku sudah melihat bahwa kamu bisa menjalankan tugas kamu dengan baik. Aku suka itu, dan kamu pantas jadi seorang pemimpin."

Galang terdiam, pak Haris juga diam. Dipandanginya wajah tampan yang duduk menghadap dihadapannya, tanpa berkedip. Galang sedikit berdebar, suasana itu sungguh suasana yang tidak mengenakkan. Dilihatnya Widi menunduk, mempermainkan jemarinya yang lentik. 

"Kamu tau mengapa aku memanggil kamu?"

"Tidak pak."

"Ketahuilah, mungkin ini hari terakhir kamu bekerja disini."

Galang menegakkan kepalanya. Memandangi laki-laki setengah tua yang duduk dihadapannya yang memandanginya dengan tajam.

"Apakah saya melakukan kesalahan?"

"Sangat besar. Kamu, juga dia."

Galang segera menangkap dimana letak kemarahan pimpinannya. Nota itu, nota fiktif yang dibuat Widi dan dia ikut menandatanganinya. 

"Lihat, baik-baik. Ada tiga buah nota keluar yang aku tidak percaya. Karenaa....." pak Haris berhenti sejenak untuk melihat reaksi Galang, kemudian dilanjutkannya kata-katanya.

"Ini lihat.... seminggu sebelum nota palsu ini dibuat, aku sudah memberikan dana sebanyak duapuluh juga kepada yayasan anak yatim ini. Ini tanda terima dari sana. Bagaimana kalian bisa membuat lagi nota kepada yayasan yang sama sebanyak sepuluh juta. Dan ini bukan tanda terima asli dari mereka. Ini buatan Widi. "

Galang terdiam. Sesungguhnya ia hanya menandatanganinya, tidak tau itu nota apa, untuk siapa. Tapi hari ini ia terkena getahnya, terancam dipecat dengan sebuah noda, penipuan. Tidak, Galang tidak terima.

"Apa jawab kamu Galang, anak tampan yang manis, yang pintar, tapi tega berbuat curang.. Berapa juta kamu dapatkan untuk kebohongan ini?"

Kemarahan Galang sudah memuncak, dia bukan pembohong, dia adalah korban. Ditegakkannya kepalanya menghadap pak Haris.

"Sebelum bapak menuduh saya pembohong, saya mohon bapak mendengarkan keterangan saya ini. Mohon ma'af sebelumnya pak." kata Galang berapi api.

"Hm, bagus, kamu punya jawaban." kata pak Haris sambil mengangguk angguk.

 "Dua hari yang lalu, Widi mengatakan pada saya bahwa laporan keuangannya ada selisih lumayan banyak. Saya mana tau laporan seperti apa yang dibuat Widi? Dengan memohon mohon Widi minta saya agar membantunya. Ia membuat nota keluar yang fiktif dan saya harus ikut menandatanganinya. Hanya itu."

"O, hanya itu, berapa kamu dapatkan dengan penandatanganan kamun itu?"

"Tidak sepeserpun."

"Baik benar hati kamu, disuruh berbohong, tanpa upah dan kamu mau menjalaninya. Apa kamu suka sama dia? Sama keponakanku yang cantik ini?"

"Tidak, sama sekali tidak. Dia yang suka sama saya," kata Galang karena tak tahan lagi memendam semua perasaannya. Ia boleh keluar tapi jangan dengan cara hina seperti itu. Galang harus mengatakan semuanya. Dilihatnya Widi tetap menunduk.

Pak Haris membelalakkan matanya/ 

"Widi, benar kamu suka sama dia?" tanyanya sambil menoleh kearah keponakannya.

"Lalu apa hubungannya Widi suka sama kamu sedangkan kamu tidak suka, tapi kamu bersedia membantunya? Karena kasihan?"

"Bukan, dia memeras saya, menekan saya, dengan sebuah jebakan yang sangat menjijikkan."

Pak Haris kembali memelototkan matanya. Apa yang didengarnya seperti bukan berhubungan dengan uang perusahaan yang dimakan karyawannya yang satu ini.

"Jelaskan ."

Galangpun mengatakan semuanya, dari air minum yang diminumnya, yang kemungkinan memang ditinggalkan Widi dimejanya, sampai kemudian dia tiba-tiba merasa pusing, lalu dia dipanggil kekamarnya dengan alasan ada pesan dari pak Haris di ponselnya, tapi begitu memasuki kamar Widi iapun rebah tak sadarkan diri. Ketika sadar ia melihat Widi disampingnya setengah telanjang, dan pakaiannya sendiri awut-awutan,  ia jadi  marah sekali lalu langsung pulang lebih dulu, setelah memohon ijin dari pak Haris. Tadinya mungkin rekaman itu akan dipergunakan  entah untuk apa, dan ketika tiba-tiba Widi mengatakan ada selisih keuangan, maka kemudian rekaman itu dibuatnya untuk memaksa Galang agar mau menandatangani nota yang dibuatnya. Kalau Galang menolak maka rekaman itu akan diserahkannya kepada isterinya. Galang yang ketakutan kalau isterinya melihat rekaman itu kemudian menuruti  kemauan Widi.

"Percayakah bapak bahwa saya telah katakanlah memperkosa dia sedangkan waktu itu saya dalam keadaan terlelap?" 

"Saya menyesal telah menandatangani nota palsu itu, dan sesungguhnya saya berjanji akan membongkarnya pada bapak, karena saya merasa tersiksa dengan kebohongan itu.

Pak Haris melotot kearah Widi. 

"Mana rekaman itu?" hardik pak Haris.

"Ma'af om, sesungguhnya rekaman itu tidak ada," kata Widi lirih.

"Jadi ..."

"Saya berbohong, hanya untuk mengancam dia untuk mengirimkannya pada isterinya apabila dia tidak mau menuruti apa keinginan saya,  tapi saya tidak meracuninya, sungguh itu sebuah kebetulan."

"Tapi kamu seorang perempuan yang tak tau malu Widi, akulah yang malu punya keponakan seperti kamu." hardik pak Haris.

"Saya pura-pura punya rekaman supaya Galang tidak meninggalkan saya om, dia telah menodai saya, bagaimana kalau saya sampai hamil?" isak Widi.

"Tidak mungkin pak, dia hanya meng ada-ada. Mana mungkin saya yang tidak sadar bisa melakukannya? Menurut saya dia telah merencanakan semuanya. Dari air yang saya minum itu pak."

"Bohong, aku tidak meracuni kamu. Itu hanya kebetulan.Entah dimana Galang meminum air dengan obat tidur itu."

"Galang.. ini persoalan jadi berkembang, bukan hanya so'al uang, tapi so'al kehormatan keponakanku. Apa buktinya bahwa Widi telah meracuni kamu?"

"Saya sedang memeriksakan sisa air yang semula saya minum itu ke laborat pak, baru besok bisa diambil hasil peperiksaannya."

"Aku ingin semuanya jelas. Tapi aku kecewa atas kejadian malam itu. Kalau benar kamu telah menodai keponakanku maka kamu harus bertanggung jawab."

Widi terisak. Galang muak mendengarnya. Bisa-bisanya dia tidak mengakui tentang air itu.

"Saya sudah bersiap melaporkannya pada polisi. Dengan hasil pemeriksaan itu, mungkin akan terungkap itu perbuatan Widi atau bukan. Dibotol itu mudah-mudahan masih ada sisa sidik jari pemilik sebelumnya. Dan botol itu adalah botol air yang sama yang selalu diminum Widi. Saya tidak pernah minum dengan merk itu."

"Baguslah, tak apa kalaupun Widi harus dihukum kalau memang bersalah, tapi sekarang aku mau membawa kamu kerumah sakit." kata pak Haris kepada Widi.

"Aku om? Untuk apa?

"Aku ingin tau, kamu masih perawan atau tidak."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...