Thursday, June 30, 2022

KEMBANG CANTIKKU 09

 

KEMBANG CANTIKKU  09

(Tien Kumalasari)

 

“Ayo, makanlah. Kamu tidak suka, karena belum pernah makan makanan ini? Ini beef steak, kalau orang Jawa bilang bestik. Cobain,” kata Qila ketika sudah duduk di sebuah restoran dan memesan makanan tanpa menunggu Wahyudi menginginkan apa.

Wahyudi hanya duduk termangu, menatap segala macam hidangan yang tersedia di meja di depannya.

“Hei … itu makanan, untuk di santap, bukan ditatap. Apa kamu mau aku suapin?”

Wahyudi tertegun atas sikap aneh Qila. Tiba-tiba menyuruhnya memegang setir mobil, lalu tiba-tiba pula mengajaknya makan di sebuah restoran.

“Ayo, sini, aku suapin … kata Qila yang tanpa sungkan menyendokkan makanan lalu didekatkannya ke mulut Wahyudi.

Wahyudi menolehkan wajahnya, dan sendok itu luput memasuki mulutnya.

“Mengapa ibu bersikap begitu? Saya sedang tidak ingin makan, saya hanya teringat bahwa saya punya tugas menyiapkan obat untuk bapak di rumah,” kata Wahyudi dengan wajah kesal. Ia sangat tidak suka pada wanita cantik yang duduk di depannya. Semuanya tampak sempurna, cantik bukan alang kepalang, tapi Wahyudi tidak suka matanya. Mata indah itu tampak sangat liar, sedikit genit, dan itu membuatnya sebal. Wahyudi juga heran, mengapa wanita itu bersikap aneh padanya. Padahal dia kan menantu majikannya?

“Baiklah, hanya sebentar. Habiskan makanmu, lalu kita pulang,” kata Qila sambil menyendok makanannya.

Tak urung Wahyudi bersedia memakannya, karena kalau dia tidak mau, mungkin perempuan genit itu tidak akan segera mengajaknya pulang. Ingin sebenarnya pulang sendiri, tapi dia tidak tahu jalan. Tadi dia mengajaknya melewati jalan yang berbelok-belok.

“Enakkah?” Qila menatap Wahyudi tanpa berkedip. Sambil menyuap dan menyantap makanannya pun dia terus memandangi wajah tampan yang menurutnya tak ada cacat celanya itu.

“Laki-laki ini bisa membuatku tergila-gila,” bisik batinnya.

“Sudah Bu, saya sudah selesai, kita harus segera pulang. Saya bisa kena marah kalau tidak menyiapkan obat untuk bapak pada waktunya.”

“Hm, baiklah.”

“Saya tidak mengerti, mengapa ibu mengajak saya,” katanya sambil berdiri.

“Aku sedang sendirian, karena suamiku sedang bersama tamu bisnisnya. Aku butuh teman.”

“Mengapa saya?” kesal Wahyudi sambil berjalan lebih cepat, sementara Qila meletakkan sejumlah uang di meja yang tadi ditempatinya.

“Wahyudi … aduuh, kamu berjalan apa terbang sih?” kata Qila sambil berlari-lari kecil mengejar sosok ganteng yang dikaguminya.

Qila dan Wahyudi sudah duduk di dalam mobil, dan kembali Qila menyuruh Wahyudi memegang setir.  Ketika mobil itu keluar dari parkiran, sebuah mobil lain lewat dari arah yang berlawanan.

Itu mobil yang dikendarai Nano, dan bu Kartiko ada di dalamnya. Nano menatap heran karena mengenali mobil Wisnu. Yang membuatnya lebih heran lagi, adalah dia seperti melihat Wahyudi duduk dibelakang kemudi.

“Benarkah itu Wahyudi? Kok bisa bersama bu Qila sih?” kata batin Nano.

“Ada apa No? Kamu kok seperti melihat sesuatu?” tanya bu Kartiko yang tidak memperhatikan mobil anaknya.

“Itu Bu, seperti mobil pak Wisnu,” kata Nano tanpa mengatakan bahwa dia seperti melihat Wahyudi.

“Oh, mereka sedang makan siang, barangkali. Ada Wisnu dan Qila bukan?”

“Mm … entahlah Bu, saya tidak begitu memperhatikan, hanya memperhatikan mobilnya saja. Mungkin juga saya salah lihat. Mobil kan bisa saja sama.”

“Iya sih No. Mampir ke toko buah di depan itu No, persediaan di  rumah sepertinya sudah menipis.”

“Baik Bu.”

***

Ketika Wahyudi dan Qila sampai di rumah, pak Kartiko sudah duduk di kusi roda, menyaksikan acara televisi di ruang tengah. Wahyudi setengah berlari mendekat.

“Pak, saya minta maaf.”

“Dari mana kamu?” tegur pak Kartiko.

“Saya _”

“Dari mengantarkan saya pak,” kata Qila yang tiba-tiba muncul.

“Kamu? Mengapa menyuruh Wahyudi mengantarkan kamu?” tanya pak Kartiko dengan wajah kesal.

Tadi itu mas Wisnu kan ada pertemuan bisnis dengan pak Purnomo, lalu saya ada keperluan keluar, tiba-tiba saya merasa pusing sekali. Karena sudah dekat rumah saya mampir, saya pikir Nano ada, supaya bisa mengantarkan saya, ternyata adanya cuma Wahyudi. Dan ternyata juga, dia bisa menyetir Pak, jadi _”

“Apa di kantor tidak ada sopir? Ada kan?”

“Sopir kantor mengantarkan mas Wisnu Pak, jadi saya berangkat sendiri.”

Wahyudi yang sedang menyiapkan obat untuk pak Kartiko mendengus kesal. Perempuan yang cantik, tapi kenapa  begitu gampangnya mengucapkan kebohongan? Ingin dia membantahnya, tapi merasa sungkan.

“Lain kali jangan pernah melakukan itu, kecuali sudah minta ijin sama ibumu, atau aku.”

“Tadi itu saya tahu ibu sedang pergi, karena saya lihat mobilnya tidak ada. Dan itu waktunya bapak tidur, jadi saya mau bilang sama siapa?”

“Di rumah ada simbok bukan? Ya sudah, lain kali jangan lakukan lagi.”

“Baiklah, saya sekarang permisi dulu ya Pak, harus segera kembali ke kantor.”

Pak Kartiko tidak menjawab.

“Aku pergi dulu Wahyudi, terima kasih sudah mengantarkan aku.”

Wahyudi pun tidak menjawab.

“Bapak, ini obat yang harus diminum sebelum makan,” kata Wahyudi sambil membawa nampan berisi minum dan cawan kecil berisi obat.

“Baiklah.”

“Saya minta maaf,” kata Wahyudi pelan.

“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu melakukannya karena kepatuhan kamu, dan merasa bahwa Qila itu sama saja seperti aku, yang berhak memerintah kamu. Tapi tidak, aku kurang suka pada kelakuan Qila yang semaunya sendiri.”

“Ya, Pak."

Pak Kartiko minum obatnya, kemudian meminta agar Wahyudi menemaninya.

***

“Aku tuh tadi seperti melihat mobil pak Wisnu deh,” kata Nano saat sedang makan siang bersama Wahyudi.

“Di mana?”

“Di depan sebuah rumah makan.”

Wahyudi berpikir, apakah Nano melihatnya saat bersama Qila?

“Yang dimaksud mobilnya pak Wisnu apa yang tadi dibawa bu Qila ya?” kata batin Wahyudi.

“Yang membuat aku heran, aku seperti melihat kamu menyetir mobil itu.”

“Oh, jadi kamu melihatnya?”

“Itu benar kamu?”.

“Yang kamu maksud mobilnya pak Wahyu tuh itu? Iya, aku tadi membawa mobil itu.”

“Kamu bisa menyetir?”

“Entahlah, ternyata aku bisa, tadinya aku tak yakin.”

“Kamu sebenarnya bukan orang biasa Yudi.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu bisa melakukan hal yang tidak aku kira sebelumnya.”

“Hanya dengan menyetir mobil? Siapa tahu dulu aku adalah sopir.”

“Hm, bisa jadi. Tapi penampilan kamu berbeda dengan orang biasa.”

“Jadi aku bukan manusia? Jin … barangkali?”

Nano terbahak.

“Maksudku, kamu pasti orang yang punya kelebihan. Atau bahkan kamu tuh orang kaya yang juga punya mobil, siapa tahu.”

Wahyudi tersenyum.

“Orang kaya apa ya? Kaya monyet atau apa?”

“Kamu tuh bercanda, aku serius.”

“Sudah, jangan bicara tentang sesuatu yang nggak jelas.”

“Siapa tahu, sedikit ucapanku bisa membuat kamu teringat sesuatu. Bisa jadi kamu seorang sopir, bisa jadi kamu orang kaya yang punya mobil.”

“Entahlah, semuanya masih gelap bagiku.”

“Eh, tapi kamu kok nggak cerita sih, bagaimana kamu tadi bisa bersama bu Qila?”

“Dia tuh aneh.Tiba-tiba datang dan meminta aku agar mengikuti dia. Aku bingung diberi kunci mobil. Dan aku juga heran ternyata aku bisa menyetir. Jadi dia menyuruh aku menyetir mobilnya.

“Kemana ?”

“Heran, ternyata bu Qila suka berbohong,” kata Wahyudi lirih, khawatir ada yng mendengarnya.

“Berbohong bagaimana?”

“Tadi dia tuh bilang sama pak Kartiko bahwa ada keperluan, padahal tidak. Aku … maaf … agak kurang suka sama dia.”

“Lalu sebenarnya dia menyuruhmu mengantar ke  mana?”

“Muter-muter, lalu makan.”

“Apa?”

“Aku heran mengapa dia melakukannya.”

“Apa ya maksudnya. Dia sedang bingung barangkali.”

“Akulah yang bingung,” kata Wahyudi sambil mengakhiri makan siangnya.

***

Tapi ketika Qila sampai di kantor, ternyata sang suami sudah ada di ruangannya, sedang duduk di depan meja kerjanya, sambil membolak-balikkan lembaran-lembaran kertas.

“Mas, kok sudah datang?”

“Kamu gimana sih? Disuruh mengerjakan ini, kamu malah pergi. Kemana saja kamu?”

“Aku sedih lah, kamu tinggalkan sendirian di sini.”

“Kamu tuh punya tugas di sini. Mana, tak satupun yang kamu kerjakan.”

“Iya mas, aku tadi hanya pergi makan sebentar.”

“Sebentar apa? Satpam di depan bilang kalau kamu pergi sudah dua jam yang lalu.”

“Aku muter-muter cari makan, lalu mampir ke rumah.”

“Rumah siapa?”

“Ya rumah orang tua kamu lah Mas, aku kan sudah tidak punya orang tua.”

“Ngapain kamu ke sana?”

“Ya sudah lah Mas, jangan banyak tanya. Mana, biar aku kerjakan semuanya itu.”

“Sudah hampir selesai,” gerutu Wisnu, sambil meninggalkan meja kerjanya.

***

Hari terus berjalan, sudah hampir sebulan Wahyudi berada di rumah keluarga Kartiko.

“Wahyudi, besok kita libur, apa kamu mau di rumah saja?”

Liburan di keluarga Kartiko tidak selalu di hari Minggu. Kalau Minggunya ada acara, maka mereka diliburkan di hari Senin nya. Memang dibuat bersamaan, agar keduanya bisa berlibur bersama. Keluarga yang baik, dan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tapi juga berharap karyawannya bisa bersenang-senang bersama.

“Memangnya kamu mau ke mana?”

“Pacaran dong,” kata Nano sambil tersenyum.

“Yaah, seneng dong ketemu pacar.”

“Kamu mau ikut?”

“Masa aku harus ikut orang pacaran, dianggap patung dong nanti.”

“Bukan begitu, aku mau main ke rumah pacar aku. Nanti aku kenalkan sama adiknya.”

“Adik pacar kamu?”

“Dia punya adik yang cantik lho. Tapi dia gadis desa sih.”

“Pacar kamu gadis desa?”

“Memangnya apa salahnya pacaran dengan gadis desa? Kami bahkan akan segera menikah.”

“Oh, syukurlah.”

“Mau nggak?” Nano mengulangi ajakannya.

“Apa? Ikut sama kamu ke rumah pacar?”

“Iya, siapa tahu kamu berjodoh dengan adiknya.”

Wahyudi tersenyum. Ia tak tahu, apakah harus senang mendengar ajakan Nano. Tapi dia juga ingin keluar rumah saat libur.

“Bagaimana?”

“Ya sudah, mau deh. Tapi bukan karena mendengar adik pacar kamu cantik. Aku hanya ingin jalan-jalan keluar saja.”

“Baiklah, kita bisa berboncengan.”

“Tapi janji ya, aku jangan ditinggal sendirian, nanti.”

“Ya enggak, masa aku setega itu.”

“Kalau tiba-tiba kamu pergi sama pacar kamu, bagaimana?”

“Kamu akan ditemani adiknya, namanya Murni.”

“Yaah, nggak mau aku.”

Nano tertawa.

“Kok kamu tiba-tiba seperti anak kecil begitu. Takut ditinggal pergi.”

“Bukan begitu, aku ini kan orang yang sedang bingung. Kalau ditanya sesuatu yang aku tidak bisa menjawabnya, bagaimana?”

“Nggak, aku hanya bercanda. Aku sama Murti itu pacaran tapi tidak suka dolan-dolan berdua, kalau tidak ada yang perlu sekali. Seringnya, kami itu ya hanya duduk-duduk di rumah, omong-omong dengan orang tuanya sebentar. Gitu-gitu saja.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Nah, gitu dong. Masa kamu mau mendekam terus di rumah.”

***

Hari itu keduanya berboncengan ke sebuah tempat, agak jauh dari kota. Wahyudi membaca sebuah tulisan besar, Selamat Datang di Desa MATESIH.

“Jauh ya rumah calon istri kamu.”

“Iya, jauh di mata, tapi kan dekat di hati.”

Wahyudi tertawa sambil memukul bahu temannya.

“Iya, aku percaya. Seneng ya, sudah mau punya istri?”

“Kami sudah lama berhubungan, Cuma aku bilang baru nabung dulu. Mungkin tahun depan siap menikah.”

“Alhamdulillah, aku ikut senang.”

“Nanti kamu aku kenalkan sama  adiknya. Sebenarnya adiknya itu lebih cantik.”

“Kenapa kamu tidak memilih adiknya?”

“Masalah cinta itu ukurannya bukan cantik atau tidaknya, tapi merasa cocok dan yang penting ada rasa yang berbeda.”

“Hm, aku harus belajar dari kamu rupanya.”

“Bagus, nanti aku ajarin. Dan pelajaran pertama adalah … aku kenalkan dulu sama Murni. Nanti kamu harus bertanya dulu sama hati kamu, apa yang kamu rasakan setelah bertemu dia.”

“Sepertinya mudah.”

Nano menghentikan sepeda motornya di sebuah rumah sederhana. Seorang perempuan setengah tua sedang duduk di teras, sendirian. Ia segera berdiri ketika melihat Nano datang bersama Wahyudi.

“Nak Marno … lama tidak kemari,” sapa wanita itu.

“Iya Bu, mohon maaf, sedang banyak pekerjaan. Murti ada?”

“Ada, lagi di belakang, ayo silakan duduk. Ini siapa?”

“Ini teman saya, namanya Wahyudi.”

Wahyudi mendekat, mencium tangan wanita setengah tua itu, setelah Nano melakukannya.

“Duduklah Nak,” katanya ramah, kemudian beranjak ke dalam rumah.

Wahyudi dan Nano duduk setelah dipersilakan.

“Murti, itu ada nak Marno, terdengar teriakan dari dalam rumah.

Tak lama kemudian seorang gadis berwajah manis keluar. Nano menyambutnya dengan wajah berseri.

“Apa kabar Murti?”

“Baik Mas, ini siapa?”

“Ini namanya Wahyudi, sahabat aku,” Nano memperkenalkan Wahyudi.

Wahyudi dan Murti saling merangkapkan ke dua tangan.

“Dia ini mau aku kenalkan sama Murni.” 

“Ooh,” Murti tersenyum mengerti. Pasti maksudnya adalah berkenalan untuk sesuatu yang lebih serius.

“Sebentar, aku panggil dia, baru saja dia pulang sekolah,” kata Murti sambil beranjak ke dalam.

Tapi di balik pintu dia berpapasan dengan adiknya yang lagi mengintip.

“Eeh, ngapain kamu ngintip-ngintip?”

“Ssst,” kata Murni tersipu, kemudian setengah berlari ke belakang.

“Murni, ayo keluar, aku kenalkan sama temannya mas Nano. Dia ganteng lho,” rayu Murti.

Tapi Murni menjawabnya dengan ketus.

“Ogah, dia kan sudah tua.”

“Sssst….” Murti menutup mulut adiknya dengan telapak tangan, lalu menariknya ke depan dengan paksa.

Wahyudi terbelalak melihat Murti menggandeng seorang gadis, yang masih mengenakan seragam sekolah.

“Haaa, masih SMA?” kata Wahyudi dalam hati.

***

Besok lagi ya.

 

Wednesday, June 29, 2022

KEMBANG CANTIKKU 08

 

KEMBANG CANTIKKU  08

(Tien Kumalasari)

 

“Wahyudi, bangun … pindah ke kamar gih,” kata Nano sambil menggoyang-goyangkan tubuh Wahyudi. Wahyudi menggeliat, mulutnya masih membisikkan sebuah nama.

“Qila … Qila …”

“Heei, apa-apaan kamu?”

“Apa? Ada apa?” Wahyudi membuka matanya lebar-lebar.

“Oh, aku ketiduran, baiklah, ayo masuk ke kamar dulu ya,” kata Wahyudi sambil bangkit.

“Tunggu, mimpi apa kamu tadi?”

“Aku ? Memangnya kenapa?”

“Kamu mengigau dan menyebut nama Qila. Kalau pak Wisnu mendengar bisa dihajar kamu.”

“Apa? Dihajar? Memangnya aku salah apa?”

“Kamu menyebut nama Qila, mimpi apa kamu? Ketemuan sama bu Qila?”

“Eh, ketemuan apa? Itu … aku selalu mimpi tentang gadis kecil itu.”

“Gadis kecil siapa?”

“Aku kan pernah cerita, gadis kecil yang aku kenal sebagai Qila. Iya, itu pasti nama gadis kecil itu. Gadis kecil yang selalu hadir dalam mimpi aku.”

“Ya Tuhan, iya aku ingat. Kamu pernah meceritakan mimpi itu ya. Baiklah, tapi kamu harus berhati-hati menyebut nama itu, karena itu nama istrinya pak Wisnu.”

Wahyudi mengangguk lesu, kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Nano yang hanye geleng-geleng kepala.

“Kasihan sekali Wahyudi, dia seperti orang yang selalu bingung. Betapa sedihnya kehilangan ingatan. Sama sekali tak ada yang diingatnya kecuali hal-hal yang baru saja dialaminya.

Nano pun kemudian masuk ke dalam kamarnya, karena malam memang telah larut.

Sementara itu Wahyudi yang sudah masuk ke dalam kamarnya, ternyata tak bisa lagi memejamkan matanya. Mimpinya barusan sangat mengganggunya. Lagi-lagi Qila, gadis kecil berkucir dua yang semula dilarikan seorang wanita  dengan rambut riap-riapan, lalu dia berhasil merebut gadis kecil itu dengan tangannya.

“Qila, siapa kamu sebenarnya?”

Wahyudi sudah membaringkan tubuhnya, berusaha mengibaskan bayangan-bayangan itu, karena kepalanya kemudian terasa sangat pusing.

***

“Ibu, saya membawa nasi liwet.”

Bu Kartiko yang sudah duduk di kursi makan bersama suaminya menoleh ke arah datangnya suara.

Aqila meletakkan sebuah bungkusan di meja makan. Mila, seperti biasa, begitu datang selalu menggelendot di pangkuan Wahyudi. Aqila menatapnya tersenyum.

“Mila suka banget sama Wahyudi, dia selalu bercerita tentang dia,” kata Qila sambil tersenyum manis ke arah Wahyudi.

Wahyudi hanya diam, merangkul Mila kemudian diangkatnya ke atas pangkuannya.

“mBoook,” teriaknya kemudian.

Yang dipanggil simbok adalah pembantu di rumah itu, segera mendekat ke arah majikannya.

“Ada nasi liwet ini, taruh di piring-piring, barangkali ada yang mau,” kata Qila.

“Sudah lama aku tidak makan nasi liwet,” seru pak Kartiko.

“Bapak boleh, tapi sedikit saja ya,” kata bu Kartiko mengingatkan.

“Sesekali kan tidak apa-apa. Lagi pula ini tidak begitu pedas kan, Qila?” tanya pak Kartiko kepada menantunya.

“Tidak Pak, tidak begitu pedas kok.”

Simbok sudah meletakkan bungkusan-bungkusan nasi liwet diatas meja.

“Bapak, Ibu, Qila pergi dulu ya,” kata Qila kemudian.

“Suami kamu mana?”

“Menunggu di mobil, supaya nggak kelamaan,” kata Qila sambil berlalu, setelah sebelumnya melirik ke arah Wahyudi, sekilas.

“Bapak mau makan nasi liwetnya?” tanya Wahyudi.

“Ya, sesekali kan nggak apa-apa Bu?” katanya sambil menatap istrinya.

“Ya, tapi sayurnya sedikit saja, Bapak kan nggak boleh makan pedas, kalau makan pedas, lambungnya pasti bermasalah.”

“Iya, aku tahu,” kesal pak Kartiko. Bu Kartiko hanya tersenyum, ia tahu suaminya sangat kesal, karena banyak makanan kesukaannya yang dilarang, demi kesehatannya.

Wahyudi tak melihatnya, karena asyik berbincang dengan Mila yang bicara sepotong-sepotong dengan lucunya.

“Mila, ayo ke belakang dulu, main sama Tinah, sama pak Wahyudi nya nanti ya,” kata bu Kartiko.

Tinah segera mendekat dan membujuk Mila agar mau turun dari pangkuan Wahyudi.

“Bagaimana, Wahyudi, apa kamu suka tinggal disini?” tanya bu Kartiko sambil menyendok nasi liwetnya.

“Suka Bu,” jawabnya sambil tersenyum.

“Pak Kartiko rewel bukan?” tanyanya lagi.

“Tidak Bu, sama sekali tidak menyusahkan kok.”

“Kamu kira aku ini anak kecil apa? Rewel … “ omel  pak Kartiko .

“Maksudnya minta ini itu, membuat kesal.”

“Tidak Bu, sungguh,” kata Wahyudi sambil mengambilkan obat untuk pak Kartiko.

“Tuh kan?” kata pak Kartiko senang karena Wahyudi membelanya.

“Kamu kok nggak makan sekalian Wahyudi, itu nasi liwetnya banyak lho.”

“Nanti saya di belakang saja Bu, sama Nano.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Kamu sudah mencari keterangan tentang biaya periksa untuk kamu itu?” tanya pak Kartiko.

“Belum Pak, kapan-kapan saja, kalau sudah punya uang.”

“Kan cuma bertanya-tanya dulu.”

“Penginnya begitu punya langsung periksa saja.”

“Kalau uang kamu kurang?”

“Nanti kita bantu kalau kurang,” kata bu Kartiko.

“Ya sudah, terserah Wahyudi saja, kapan siap, yang penting segera bisa ditangani.”

“Iya, segeralah berobat,” sambung bu Kartiko.

“Baiklah Bu.”

“Mana obatku?” tanya pak Kartiko.

“Ini Pak, sudah saya siapkan,” kata Wahyudi.

“Kalau obatnya habis, bapak harus kontrol lho.”

“Iya, aku tahu. Nanti sama Wahyudi saja.”

***

“Apakah orang baru bernama Wahyudi itu bisa melayani bapak?” tanya Wisnu dalam perjalanan ke kantor.

“Sepertinya bapak suka. Yang aku heran, Mila sudah sangat dekat dengan Wahyudi,” sahut Qila.

“Benarkah?”

“Kata Tinah, begitu datang langsung minta pangku Wahyudi.”

“Berarti dia bisa momong anak kecil.”

“Berarti dia bisa momong anak kecil, juga bisa momong orang tua.”

“Syukurlah. Bapak itu kan agak susah. Beberapa orang yang meladeni selalu saja bapak tidak pernah cocok.”

“Wahyudi itu baik. Aku mengira dia bukan orang sembarangan.”

“Apa maksudnya?”

“Dia itu orang yang tersesat. Tidak ingat apapun tentang apa-apa yang pernah dilaluinya. Kasihan. Tampaknya dia orang pintar.”

“Bukan tersesat namanya. Dia amnesia.”

“Iya, aku membuat istilah tersesat, karena dia tidak bisa kembali ke asal dia datang.”

“Sebenarnya siapa dia?”

“Dia kan tidak ingat apapun, jadi tak ada pertanyaan yang bisa dia jawab. Kasihan. Aku ingin menyarankan dia agar ke dokter syaraf.”

“Barangkali memang sebaiknya begitu.”

“Dia itu baik, ganteng, gagah …” kata Qila yang membuat wajah Wisnu muram seketika.

“Kamu memuji-muji lelaki lain di hadapan suami kamu?”

“Eh, Mas … kok tiba-tiba Mas seperti cemburu begitu sih?”

“Kamu tidak pantas mengatakannya di depan aku. Aku ini suami kamu, apa kamu lupa?” kesal Wisnu.

“Ya ampun Mas, sama pembantu saja kamu cemburu,” kata Qila santai.

“Kamu juga, sama pembantu saja memuji-muji setinggi langit.”

“Aku kan mengatakan apa adanya.”

Wisnu tak menjawab. Wajahnya kusut. Isteri cantiknya membuatnya kesal dengan memuji-muji pria lain di hadapannya.

“Memang dia ganteng, tinggi tegap, hm … bukan seperti suami aku ini, walau sedikit ganteng, tapi tubuhnya tambun, seperti karung berjalan,” kata batin Qila sambil mengalihkan pandangan ke arah samping.

Qila memang cantik, dia menikah dengan Wisnu karena kemauan orang tua. Mereka suka berbesan sama keluarga Kartiko, karena kekayaannya. Qila yang semula menolak karena wajah Wisnu tidak setampan pacar-pacarnya saat dia kuliah. Tapi harta adalah pemikat dan pengikat. Rumah bagus, mobil bagus, semua keinginan terpenuhi, mau apa lagi. Hanya sayang, sebenarnya Qila tidak mencintai suaminya yang tidak begitu tampan dan tubuhnya juga tidak proporsional. Pokoknya jauh dari pria idaman baginya.

Bukan sekali itu Qila membuat panas hati Wisnu. Ia sering ber akrab-akrab dengan karyawan yang dianggapnya menarik. Alasannya, sebagai istri pimpinan harus baik kepada semua orang. Hahh. Dan Wisnu selalu kalah dalam berdebat dengan istrinya.

“Nanti aku ada pertemuan dengan pak Purnomo, tapi kamu nggak usah ikut,” kata Wisnu begitu memasuki halaman kantor.

“Yah, kenapa tidak boleh? Aku kan juga ingin mendengar hasil pertemuan itu. Ikut ya,” Qila merengek, berharap suaminya mengijinkannya ikut, karena pak Purnomo seorang pengusaha sukses yang berwajah tampan, walau sudah setengah tua.

“Pokoknya tidak. Banyak pekerjaan kantor yang harus kamu selesaikan,” kata Wisnu, tandas.

Qila mengerucutkan bibirnya. Kesal sekali rasanya mendengar nada suara suaminya yang seakan tak bisa dibantahnya.

Tapi kemudian Qila tersenyum sendiri, ada rencana yang ingin dilakukannya saat suaminya meeting dengan pak Purnomo nanti.

***

“Nanti meetingnya lama nggak?” tanya Qila ketika suaminya mau berangkat.”

“Mana aku bisa menentukan lama atau tidaknya, ya tergantung bagaimana nanti pak Purnomo. Mungkin kami akan makan siang bersama.”

“Lama dong.”

“Memangnya kenapa kalau lama? Kayak anak kecil saja.”

“Bener nih, aku nggak boleh ikut?”

“Nggak boleh. Selesaikan tugas-tugas yang tadi aku suruh sama kamu.”

“Huh, aku tuh istri tapi seperti pembantu,” gerutu Qila dengan wajah cemberut.

“Kamu kan ada disini sebagai sekretaris aku?” tegur Wisnu kesal.

“Istri yang jadi sekretaris harus mendapat perlakuan istimewa dong. Mengikuti pimpinan saat meeting itu kan juga tugas sekretaris?” kata Qila ngeyel.

“Sudah ada yang mendampingi aku, pak Salim,” kata Wisnu sambil berlalu, keluar dari ruangannya, tapi sebelum sampai di pintu, Qila berteriak.

“Kalau begitu titip salam buat pak Purnomo ya.”

Wisnu menoleh sebal.

“Tidak menerima titipan,” kata Wisnu sambil menutupkan pintunya agak keras.

Qila tersenyum sinis. Ia memandangi berkas-berkas yang ditinggalkan suaminya, untuk di periksa semuanya. Ia membiarkan berkas-berkas itu terserak di mejanya, kemudian dia berdiri, mengambil tasnya dan kunci mobil yang ditinggal suaminya, karena suaminya memakai mobil kantor, lalu beranjak keluar.

Ia tersenyum senang melihat suaminya sudah berangkat.

Dengan langkah ringan dia menuju ke arah mobil suaminya diparkir, kemudian membawanya keluar dari halaman kantor.

***

Mila sedang bermain di taman bersama Wahyudi, sementara Tinah pergi ke dapur membantu simbok, karena momongannya lebih suka ditemani Wahyudi.

Bu Kartiko sedang keluar bersama Nano, dan pak Kartiko beristirahat di dalam kamarnya.

“Aku mau ayunan …”  teriak Mila yang lelah berlarian di sekeliling taman.

“Ayunan?” tanya Wahyudi, yang tangannya kemudian ditarik oleh Mila ke arah ayunan.

Wahyudi mendudukkan Mila di ayunan itu, kemudian mengayunnya pelan. Mila terkekeh senang.

“Pegangan ya,” kata Wahyudi.

“Yang tinggiiii,” teriak Mila.

“Tidak boleh, nanti kalau jatuh bagaimana?”

“Milaa!” sebuah panggilan mengejutkan Mila dan juga Wahyudi. Ia menoleh ke arah pintu taman, dan melihat Qila melangkah masuk dengan berlenggang manis.

“Ibuu?”

“Mila nakal ya?” kata Qila sambil mendekat.

“Nggak akal … “

“Benar?”

Mila menggelengkan kepalanya, membuat dua kucir di kepalanya ikut bergoyang.

“Bagus, ayo turun sekarang. Jangan main terus. Mana Tinah?”

“Tinah ada di dapur, membantu simbok, Bu,” yang menjawab adalah Wahyudi, sambil menurunkan Mila dari atas ayunan.

“Enaknya, momongannya dititipkan sama orang lain. Ini kan tugas dia?” omelnya sambil duduk di bangku dekat kolam.

“Panggil Tinah ya, Mila,” perintah Qila. Dan Mila dengan patuh kemudian berlari kecil ke arah dapur. Wahyudi mengikutinya dari belakang.

“Wahyudi.”

Langkah Wahyudi terhenti mendengar panggilan itu. Ia membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah nyonya muda yang cantik itu.

“Kemarilah,” katanya sambil tangannya melambai.

Wahyudi melangkah mendekat.

“Ya, Bu.”

“Duduklah,” perintahnya sambil menunjuk ke arah bangku di dekatnya.

Wahyudi duduk dengan ragu.

“Kamu bisa menyetir mobil?”

“Saya … entahlah, saya lupa.”

Qila tersenyum, menampakkan sederet gigi putih yang berderet rapi. Wahyudi memalingkan wajahnya.

“Ayo kamu antar aku.”

“Kemana?”

“Jalan saja, tidak lama kok.”

“Tapi sebentar lagi saatnya bapak minum obat,” jawab Wahyudi.

“Cuma sebentar, ayolah,” kata Qila sambil menarik tangan Wahyudi. Wahyudi melepaskan tangannya dari pegangan jari tangan lentik itu, dengan halus.

Wahyudi mengikutinya ke arah mobil yang di parkir di halaman depan.

“Saya mau pamit bapak dulu.”

“Tidak usah. Jam segini bapak lagi tidur. Lagi pula aku hanya sebentar,” katanya sambil mengulurkan kunci mobil.

“Ini …” kata Wahyudi bingung.

“Coba kamu menyetir. Aku ingin tahu, kamu bisa atau tidak. Kalau tidak bisa, aku gantikan kamu.”

Wahyudi menerima kunci mobil itu, lalu Qila menyuruhnya duduk di belakang kemudi.

“Coba jalankan,” perintah Qila.

Wahyudi memasukkan kunci mobil dan menstarternya. Qila tersenyum senang, Wahyudi mengerti, dan pasti akan bisa menyetir. Dan itu benar, Wahyudi bisa menjalankan mobilnya dengan baik.

“Bagus Wahyudi, kamu bisa menyetir dengan baik.”

“Kita kemana?”

“Temani aku makan,” kata Qila tandas.

Wahyudi terkejut bukan alang kepalang.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, June 28, 2022

KEMBANG CANTIKKU 07

 

KEMBANG CANTIKKU  07

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi sudah mau masuk ke dalam kamarnya, ketika melihat Nano duduk di kursi yang berderet di depan kamar-kamar mereka.

“Sudah mau tidur?” sapa Nano.

“Belum sih, boleh duduk di sini?” kata Wahyudi sambil ikut duduk di kursi sebelah Nano.

“Silakan. Saya belum mengantuk. Kalau mau merokok silakan saja,” kata Nano.

“Tidak, saya tidak merokok.”

“Syukurlah, saya juga tidak suka merokok.”

“Bukankah itu sehat? Tapi sebagian orang merasa bahwa tanpa rokok dia merasa tidak sehat. Entahlah,” kata Nano lagi sambil tersenyum.

“Mas Nano sudah lama tinggal di sini?”

“Saya sudah dua tahun mengabdi pada keluarga Kartiko.”

“Lumayan lama.”

“Ini keluarga yang sangat baik kepada semua orang. Saya merasa nyaman karena mereka menganggap semua orang adalah keluarga sendiri. Semoga mas Wahyudi juga akan kerasan tinggal di sini.”

“Semoga saja. Tapi saya sering merasa bingung.”

“Kenapa?”

“Bagaimana tidak? Saya tidak tahu siapa diri saya sebelum ini. Semuanya gelap. Saya ingin keluar dari kegelapan ini, tapi tidak berhasil. Setiap kali saya berusaha mengingatnya, kepala saya terasa berdenyut dan sakit.”

“Mas harus sabar. Jangan terlalu memaksa. Perlahan tapi pasti, Mas pasti akan bisa ingat semuanya,” hibur Nano.

Wahyudi mengangguk. Tiba-tiba ia teringat Qila. Nama yang diingatnya. Mengapa ada Qila di sini, dan sudah punya anak, gadis kecil berkepang dua itu? Qila dalam mimpinya bukankah anak kecil. Atau perempuan berambut riap-riapan itukah yang bernama Qila? Pikirnya.

“Qila … “ gumam Wahyudi tanpa sengaja, membuat Nano meloleh ke arahnya.

“Itu nama ibunya Mila. Orangnya sangat cantik, dan baik. Demikian juga suaminya yang putera pak Kartiko.”

Wahyudi mengangguk.

“Nama itu, mengingatkan aku pada sebuah mimpi.”

“Oh, mimpi?”

“Entah bagaimaina, aku bermimpi tentang seseorang bernama Qila. Tapi aku tidak ingat, siapa Qila.”

“Yang pasti bukan Qila menantu keluarga ini kan?”

“Iya, pastinya. Tapi nama itu membuat aku selalu teringat mimpi itu. Kalau saja aku bisa tahu, siapa Qila yang ada dalam mimpiku itu.”

“Barangkali nama pacar Mas Wahyudi.”

Wahyudi mengerutkan keningnya. Pacar? Benarkah dia punya pacar? Tapi tidak, itu adalah nama diantara salah satu orang yang ada di dalam mimpi itu. Perempuan berambut riap-riapan, dan anak kecil berkucir dua. Ia hampir merasa yakin bahwa anak kecil itulah yang bernama Qila, karena dia memanggil-manggil namanya saat anak kecil itu berada dalam gendongannya.

“Mas juga tidak ingat, apakah Mas punya pacar, atau mungkin istri?”

Wahyudi menggelengkan kepalanya dengan sedih. Yang terbayang kemudian adalah Sunthi, yang mengaku sebagai calon istrinya. Tapi tidak, Wahyudi enggan mengakuinya, karena dia tidak merasa suka pada gadis itu. Bukan karena wajahnya yang tidak begitu cantik, tapi rasa itu yang tidak ada. Tapi ia juga teringat bahwa dirinya berhutang budi pada keluarga Tukiyo. Ia berjanji, suatu hari akan mencarinya, karena sekarang dia tidak tahu apa nama desanya.

“Aku mengira, Mas Wahyudi itu bukan orang dari desa.”

“Bukan?”

“Bukan. Setelah Mas berpakaian pantas, kelihatan bahwa Mas bukan orang desa. Mas sangat ganteng dan gagah. Mas juga bicara sangat santun, bukan seperti logat orang desa.”

“Oh, gitu ya?”

“Apa Mas ingin, saya menginformasikan melalui surat kabar, barangkali ada keluarga Mas yang mengenali?”

“Tidak, kalau aku ketemu orang yang mengaku sebagai keluarga aku, dan aku tetap tidak mengingat siapa sebenarnya mereka, sama saja aku tetap merasa sebagai anak hilang. Yang aku inginkan adalah aku bisa ingat semuanya, lalu mencari keluarga aku.”

“Iya, aku bisa mengerti.”

“Baiklah, untuk sementara ini aku akan menjalani kehidupan ini, di keluarga ini. Semoga dengan berjalannya waktu aku bisa mengingat semuanya.”

“Aku akan mendoakan Mas Wahyudi.”

“Terima kasih.”

“Sekarang sudah malam, ayo kita istirahat dulu.”

“Baiklah. Aku mau shalat dulu.”

Nano menatapnya heran.

“Mas ingat bagaimana shalat?”

“Sangat ingat Mas, sejak aku merasa sehat, aku selalu melakukannya, shalat lima waktu. Dan selalu.”

“Luar biasa. Kalau begitu Mas bisa mohon petunjuk melalui shalat setiap waktu.”

“Iya, selalu aku lakukan. Ayuk Mas, istirahatlah, aku ambil air wudhu dulu.”

***

“Pagi-pagi sudah melamun,” tegur mbok Tukiyo sebelum berangkat ke pasar.

Sunthi terkejut. Ia baru saja mengangkat nasi dan meletakkannya di meja dapur.”

“Simbok mau sarapan dulu?” kata Sunthi.

“Kamu buat apa itu?”

“Masih ada ikan sisa kemarin, sama sambal.”

“Ya sudah, itu bapakmu juga sudah siap mau sarapan.”

Keluarga Tukiyo selalu sarapan dulu sebelum berangkat bekerja. Hanya dengan nasi dan lauk seadanya, yang hampir semua lauk tidak pernah dibelinya karena selalu ada ikan dan sayuran di kebun. Mbok Tukiyo hanya cukup membeli bumbu setiap seminggu sekali.

“Kamu seperti masih memikirkan sesuatu sih nduk. Masih sedih teringat Wahyudi?”

“Tidak Mbok.”

“Lha kenapa, pagi-pagi ngelamun?”

“Mas Wahyudi mungkin sudah ketemu keluarganya. Aku tidak ingin memikirkannya.”

“Ya sudah, itu bagus. Jangan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Simbok memang pernah punya pikiran ingin mengambilnya sebagai menantu, tapi setelah simbok pikir-pikir, benar seperti kata bapakmu. Kalau tiba-tiba dia ingat semuanya, banyak kemungkinan yang akan membuat kita kecewa. Mungkin dia sudah punya pacar, atau bahkan isteri dan juga anak. Lalu akan seperti apa perasaan kita kalau hal itu terjadi. Ya kan?”

“Iya Mbok.”

“Nanti akan ada jodoh untuk kamu, seorang yang baik, mudah-mudahan.”

“Mbok, apa mas Tino itu baik?”

“Kamu memikirkan dia?”

“Dia itu … entahlah Mbok, aku kepikiran apa yang dikatakannya.”

“Dia pernah bilang sama simbok, bahwa ingin menjadi menantu simbok. Tapi simbok hanya menanggapinya sambil bercanda. Dia itu baik, tekun bekerja. Jualannya juga lumayan laris. Dia bilang, siap mencari istri. Apa kamu suka dia?”

Sunthi belum menjawab ketika Tukiyo masuk ke dapur.

“Ada sarapan tidak pagi ini nduk?”

“Ada Pak, sudah siap.”

“Baiklah, ayo. Tapi  kalian tadi lagi ngomongin apa?”

“Itu … masalah Tino.”

“Kenapa memangnya?”

“Aku lagi nanya sama Sunthi, apa dia suka sama Tino.”

“Nah, kenapa perempuan ditanya duluan? Tino kan belum tentu suka sama Sunthi. Jangan sampai mempermalukan keluarga kita. Biarpun kita miskin, kita harus punya harga diri,” tegur Tukiyo.

“Bukan begitu Pak. Tino pernah bilang bahwa dia suka sama Sunthi. Waktu itu aku belum bilang apa-apa, karena khawatir dia cuma bercanda. Kan dia tidak terlalu sering ketemu Sunthi, yang hanya kalau Sunthi ikut mboknya ke pasar baru mereka bertemu. Tadi aku baru nanya sama Sunthi. Apa dia suka sama Tino … “

“Apa jawabmu nduk?”

Sunthi diam, hanya menundukkan kepalanya.”

“Jangan sampai kamu selalu memikirkan Wahyudi. Ingat, suatu saat kamu bisa saja kecewa,” Tukiyo kembali mengingatkan.

“Aku nggak suka sama mas Wahyudi. Hanya ….”

“Hanya apa?”

“Aku sebenarnya biasa saja, hanya ingin dekat.”

“Apa maksudnya ingin dekat?”

“Bukan sungguh-sungguh pengin jadi istrinya kok.”

“Baiklah, mulai sekarang jangan mimpi terlalu tinggi. Jangan mengharapkan sesuatu yang nggak jelas.”

“Iya, aku sudah tahu,” jawab Sunthi cemberut, merasa kesalahannya selalu diingat-ingat oleh bapaknya.

“Tuh, kalau dikasih tahu mesti bibirnya manyun kayak kukusan,” omel Tukiyo.

mBok Tukiyo tertawa geli, membayangkan kukusan yang lancip disamakan dengan bibir anaknya.

“Ya sudah, aku mau ke pasar dulu, matahari sudah mulai tinggi, kesiangan aku jadinya,” kata mbok Tukiyo sambil berdiri.

“Ya sudah, ati-ati …” pesan Tukiyo.

“Bilang sama Tino, kalau benar-benar suka sama Sunthi, suruh dia datang kemari,”

“Baiklah,” kata mbok Tukiyo sambil mengambil bakul yang penuh sayuran, lalu di gendongnya.

***

Mulai hari itu, Wahyudi melayani pak Kartiko. Sebelumnya bu Kartiko sudah menuliskan apa yang harus dilakukan mulai pagi hari sampai sore harinya. Bu Kartiko mengajari semuanya, sampai Wahyudi benar-benar mengerti.

Ternyata biarpun seorang laki-laki, Wahyudi bisa melayani makan pak Kartiko dengan sangat telaten. Mungkin kebiasaan melakukan apapun sendiri sebelum ini, membuatnya begitu cekatan menyiapkan makan dan obat-obat yang harus diminum pak Kartiko. Sedangkan bu Kartiko hanya mengawasinya.

“Ternyata kamu sangat luwes, Wahyudi. Apa aslinya kamu seorang perawat?” tanya pak Kartiko sambil makan di atas kursi roda, sedangkan Wahyudi hanya mendampinginya.

Wahyudi hanya tersenyum. Ia merasa hanya menyiapkan makan pak Kartiko, dan menyiapkan juga obat yang harus diminum pak Kartiko saat pagi, kemudian siang dan malamnya. Itu tidak membuatnya susah. Mengapa dia bisa melakukannya, apakah dulu dia seorang perawat? Tentu saja Wahyudi tidak bisa menjawabnya.

“Bagaimana kalau Wisnu ibu suruh mengantarkan Wahyudi ke dokter?” kata pak Kartiko.

“Iya, ibu juga berpikir demikian. Tapi Wisnu itu hampir tidak ada waktu luang. Sore hari baru pulang, pasti dia sudah capek.”

“Iya juga sih.”

“Nanti malah ibu sendiri saja mengajaknya ke dokter, biar Nano yang mengantarnya.”

“Iya, itu bagus.”

Wahyudi hanya mendengarkan. Ke dokter? Apakah dokter bisa mengembalikan ingatannya? Lalu terbitlah sebuah harapan di hati Wahyudi.

“Tidak usah diantar Bu, nanti kalau saya sudah punya uang, saya akan ke dokter sendiri. Mas Nano pasti bisa mengantarkan saya, ibu tidak usah repot.

“Kalau kamu mau, tidak apa-apa ke dokter sekarang, nanti aku beri ongkos untuk periksa.”

“Tidak Bu, besok saja. Uang pemberian ibu masih sisa sedikit, nanti saya mau tanya dulu berapa ongkosnya. Kalau kurang ya tunggu kalau uang saya cukup.”

“Mungkin biayanya banyak lho Bu, dia harus melalui beberapa pemeriksaan, tidak seperti orang sakit flu, cukup diperiksa kemudian diberi obatnya.”

“Iya, ibu tahu. Maksud ibu, biar ibu beri uangnya dulu.”

“Tidak Bu, besok saja.”

Wahyudi bukan seorang yang suka menerima pemberian dengan cuma-cuma. Ia sudah banyak menerima kebaikan dari keluarga Kartiko, dan tidak ingin menambah beban dengan menerima lagi kebaikan yang lain.

“Baiklah, nanti kalau kamu sudah menerima gaji, pergilah ke dokter, biar Nano mengantarkan kamu,” kata bu Kartiko yang tahu bahwa Wahyudi tidak bisa dipaksa.

“Neneeek,” tiba-tiba terdengar suara nyaring memasuki ruang makan. Wahyudi tersenyum, gadis kecil berkucir dua itu sangat menyenangkan.

“Mila … mana Ibu?”

“Sudah pegiii …” katanya setengah cilat karena belum bisa berbicara dengan jelas.

“Bapak sama ibu langsung ke kantor, katanya terburu-buru,” kata Tinah, pengasuh Mila.

“Ya sudah. Apa Mila sudah makan?” tanya bu Kartiko.

“Sudah Bu.”

“Baiklah, ajak dia bermain, tapi awas ya, jangan lagi mengajaknya ke halaman depan. Kamu itu teledor, dan jangan membawa ponsel saat  menjaga Mila.”

“Baik Bu,” jawab Tinah sambil menggandeng tangan Mila, diajaknya ke taman yang ada di belakang rumah.

Tapi rupanya Mila lebih tertarik pada Wahyudi. Dia menggelendot di pangkuan Wahyudi, membuat Wahyudi kemudian mengangkatnya kemudian memangkunya.

“Kamu kenal sama pak Wahyudi?” tanya pak Kartiko sambil tertawa senang.

Mila hanya terkekeh, dan lagi-lagi dia mempermainkan rambut ikal Wahyudi, sambil berdiri di pangkuannya.

“Mila, tidak boleh begitu, ayo.. duduk yang baik dong,” tegur pak Kartiko.

“Iya Mila, sana, main sama Tinah, pak Wahyudi baru melayani kakek, ya.”                                                                                                                                       

“Mau pak Udi … “ rengek Mila yang tak mau turun dari pangkuan Wahyudi.

“Nanti, kalau kakek sudah minum obat,  Mila boleh main sama pak Wahyudi. Ayo Tinah, ajak Mila ke taman. Hati-hati kalau main ayunan, ya.”

Kemudian Tinah merayu Mila dengan susah payah, agar bersedia diajaknya ke taman.

***

Malam itu sebelum tidur, Wahyudi kembali duduk santai di depan kamar, bersama Nano.

Ia tidak banyak bicara, mengingat pertemuannya dengan Wahyu dan Aqila sore tadi. Aqila, wanita cantik menantu keluarga Kartiko itu sama sekali tidak mirip dengan wanita berambut riap-riapan yang ditemuinya dalam mimpinya.

“Jadi bukan dia wanita dalam mipiku. Dan Qila pastilah nama gadis mungil itu,” kata batin Wahyudi.

“Mas Wahyudi, ngelamun terus dari tadi?” tegur Nano.

“Oh, apa? Tidak, mm … aku sedang memikirkan … kemungkinan akan periksa ke dokter,” kata Wahyudi yang tidak ingin menceritakan perihal mimpinya lagi.

“O iya Mas, tadi ibu juga bilang, katanya kalau besok Mas Wahyudi ingin periksa ke dokter, aku disuruh mengantar.”

“Iya sih, tapi belum sekarang.”

“Kata ibu, Mas Wahyudi dibayarin dulu sama ibu, tapi mas Wahyudi tidak mau.”

“Iya mas Nano, nggak enak terus berhutang kebaikan sama orang. Nanti saja kalau aku sudah punya uang, gampang.”

“Tapi kenapa kita tidak saling menyebut nama saja, tanpa ‘mas’. Kelihatannya kok kurang akrab, jadi panggil saya ‘Nano” saja.”

“Dan kamu memanggil saya Wahyudi saja. Bagus, aku setuju.”

Lalu mereka tertawa-tawa bersama. Dan Wahyudi tiba-tiba merasa senang, berada di sebuah keluarga yang membuatnya nyaman, dengan memberinya pekerjaan dan perhatian atas keadaannya.

Malam semakin larut, mereka yang asyik mengobrol, lama-lama diserang kantuk juga.

Wahyudi malah sudah tertidur di kursinya, ketika keduanya kehabisan kata-kata untuk mengobrol.

Nano merasa kasihan melihat Wahyudi tidur di kursi, ia bermaksud membangunkan, ketika tiba-tiba dari mulut Wahyudi terdengar igauan.

“Qila … Qila … “

Nano sangat terkejut, menoleh kekiri dan kekanan, takut suara Wahyudi terdengar orang di rumah itu. Ia heran mengapa Wahyudi menyebut nama menantu pak Kartiko. Rupanya Nano lupa tentang mimpi Wahyudi yang pernah diceritakan padanya.

“Apa kamu tertarik sama dia? Gawat,” bisik Nano yang kemudian perlahan membangunkan Wahyudi.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...