KEMBANG CANTIKKU
09
(Tien Kumalasari)
“Ayo, makanlah. Kamu tidak suka, karena belum pernah
makan makanan ini? Ini beef steak, kalau orang Jawa bilang bestik. Cobain,”
kata Qila ketika sudah duduk di sebuah restoran dan memesan makanan tanpa menunggu
Wahyudi menginginkan apa.
Wahyudi hanya duduk termangu, menatap segala macam
hidangan yang tersedia di meja di depannya.
“Hei … itu makanan, untuk di santap, bukan ditatap.
Apa kamu mau aku suapin?”
Wahyudi tertegun atas sikap aneh Qila. Tiba-tiba
menyuruhnya memegang setir mobil, lalu tiba-tiba pula mengajaknya makan di
sebuah restoran.
“Ayo, sini, aku suapin … kata Qila yang tanpa sungkan
menyendokkan makanan lalu didekatkannya ke mulut Wahyudi.
Wahyudi menolehkan wajahnya, dan sendok itu luput memasuki
mulutnya.
“Mengapa ibu bersikap begitu? Saya sedang tidak ingin
makan, saya hanya teringat bahwa saya punya tugas menyiapkan obat untuk bapak
di rumah,” kata Wahyudi dengan wajah kesal. Ia sangat tidak suka pada wanita
cantik yang duduk di depannya. Semuanya tampak sempurna, cantik bukan alang
kepalang, tapi Wahyudi tidak suka matanya. Mata indah itu tampak sangat liar,
sedikit genit, dan itu membuatnya sebal. Wahyudi juga heran, mengapa wanita itu
bersikap aneh padanya. Padahal dia kan menantu majikannya?
“Baiklah, hanya sebentar. Habiskan makanmu, lalu kita
pulang,” kata Qila sambil menyendok makanannya.
Tak urung Wahyudi bersedia memakannya, karena kalau
dia tidak mau, mungkin perempuan genit itu tidak akan segera mengajaknya
pulang. Ingin sebenarnya pulang sendiri, tapi dia tidak tahu jalan. Tadi dia
mengajaknya melewati jalan yang berbelok-belok.
“Enakkah?” Qila menatap Wahyudi tanpa berkedip. Sambil
menyuap dan menyantap makanannya pun dia terus memandangi wajah tampan yang
menurutnya tak ada cacat celanya itu.
“Laki-laki ini bisa membuatku tergila-gila,” bisik
batinnya.
“Sudah Bu, saya sudah selesai, kita harus segera
pulang. Saya bisa kena marah kalau tidak menyiapkan obat untuk bapak pada
waktunya.”
“Hm, baiklah.”
“Saya tidak mengerti, mengapa ibu mengajak saya,”
katanya sambil berdiri.
“Aku sedang sendirian, karena suamiku sedang bersama
tamu bisnisnya. Aku butuh teman.”
“Mengapa saya?” kesal Wahyudi sambil berjalan lebih
cepat, sementara Qila meletakkan sejumlah uang di meja yang tadi ditempatinya.
“Wahyudi … aduuh, kamu berjalan apa terbang sih?” kata
Qila sambil berlari-lari kecil mengejar sosok ganteng yang dikaguminya.
Qila dan Wahyudi sudah duduk di dalam mobil, dan
kembali Qila menyuruh Wahyudi memegang setir.
Ketika mobil itu keluar dari parkiran, sebuah mobil lain lewat dari arah
yang berlawanan.
Itu mobil yang dikendarai Nano, dan bu Kartiko ada di
dalamnya. Nano menatap heran karena mengenali mobil Wisnu. Yang membuatnya
lebih heran lagi, adalah dia seperti melihat Wahyudi duduk dibelakang kemudi.
“Benarkah itu Wahyudi? Kok bisa bersama bu Qila sih?”
kata batin Nano.
“Ada apa No? Kamu kok seperti melihat sesuatu?” tanya
bu Kartiko yang tidak memperhatikan mobil anaknya.
“Itu Bu, seperti mobil pak Wisnu,” kata Nano tanpa
mengatakan bahwa dia seperti melihat Wahyudi.
“Oh, mereka sedang makan siang, barangkali. Ada Wisnu
dan Qila bukan?”
“Mm … entahlah Bu, saya tidak begitu memperhatikan,
hanya memperhatikan mobilnya saja. Mungkin juga saya salah lihat. Mobil kan
bisa saja sama.”
“Iya sih No. Mampir ke toko buah di depan itu No,
persediaan di rumah sepertinya sudah
menipis.”
“Baik Bu.”
***
Ketika Wahyudi dan Qila sampai di rumah, pak Kartiko sudah duduk
di kusi roda, menyaksikan acara televisi di ruang tengah. Wahyudi setengah
berlari mendekat.
“Pak, saya minta maaf.”
“Dari mana kamu?” tegur pak Kartiko.
“Saya _”
“Dari mengantarkan saya pak,” kata Qila yang tiba-tiba
muncul.
“Kamu? Mengapa menyuruh Wahyudi mengantarkan kamu?”
tanya pak Kartiko dengan wajah kesal.
Tadi itu mas Wisnu kan ada pertemuan bisnis dengan pak
Purnomo, lalu saya ada keperluan keluar, tiba-tiba saya merasa pusing sekali.
Karena sudah dekat rumah saya mampir, saya pikir Nano ada, supaya bisa
mengantarkan saya, ternyata adanya cuma Wahyudi. Dan ternyata juga, dia bisa
menyetir Pak, jadi _”
“Apa di kantor tidak ada sopir? Ada kan?”
“Sopir kantor mengantarkan mas Wisnu Pak, jadi saya
berangkat sendiri.”
Wahyudi yang sedang menyiapkan obat untuk pak Kartiko
mendengus kesal. Perempuan yang cantik, tapi kenapa begitu gampangnya mengucapkan kebohongan?
Ingin dia membantahnya, tapi merasa sungkan.
“Lain kali jangan pernah melakukan itu, kecuali sudah
minta ijin sama ibumu, atau aku.”
“Tadi itu saya tahu ibu sedang pergi, karena saya
lihat mobilnya tidak ada. Dan itu waktunya bapak tidur, jadi saya mau bilang
sama siapa?”
“Di rumah ada simbok bukan? Ya sudah, lain kali jangan
lakukan lagi.”
“Baiklah, saya sekarang permisi dulu ya Pak, harus
segera kembali ke kantor.”
Pak Kartiko tidak menjawab.
“Aku pergi dulu Wahyudi, terima kasih sudah
mengantarkan aku.”
Wahyudi pun tidak menjawab.
“Bapak, ini obat yang harus diminum sebelum makan,”
kata Wahyudi sambil membawa nampan berisi minum dan cawan kecil berisi obat.
“Baiklah.”
“Saya minta maaf,” kata Wahyudi pelan.
“Tidak apa-apa. Aku tahu kamu melakukannya karena
kepatuhan kamu, dan merasa bahwa Qila itu sama saja seperti aku, yang berhak
memerintah kamu. Tapi tidak, aku kurang suka pada kelakuan Qila yang semaunya
sendiri.”
“Ya, Pak."
Pak Kartiko minum obatnya, kemudian meminta agar
Wahyudi menemaninya.
***
“Aku tuh tadi seperti melihat mobil pak Wisnu deh,”
kata Nano saat sedang makan siang bersama Wahyudi.
“Di mana?”
“Di depan sebuah rumah makan.”
Wahyudi berpikir, apakah Nano melihatnya saat bersama
Qila?
“Yang dimaksud mobilnya pak Wisnu apa yang tadi dibawa
bu Qila ya?” kata batin Wahyudi.
“Yang membuat aku heran, aku seperti melihat kamu
menyetir mobil itu.”
“Oh, jadi kamu melihatnya?”
“Itu benar kamu?”.
“Yang kamu maksud mobilnya pak Wahyu tuh itu? Iya, aku
tadi membawa mobil itu.”
“Kamu bisa menyetir?”
“Entahlah, ternyata aku bisa, tadinya aku tak yakin.”
“Kamu sebenarnya bukan orang biasa Yudi.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu bisa melakukan hal yang tidak aku kira
sebelumnya.”
“Hanya dengan menyetir mobil? Siapa tahu dulu aku
adalah sopir.”
“Hm, bisa jadi. Tapi penampilan kamu berbeda dengan
orang biasa.”
“Jadi aku bukan manusia? Jin … barangkali?”
Nano terbahak.
“Maksudku, kamu pasti orang yang punya kelebihan. Atau
bahkan kamu tuh orang kaya yang juga punya mobil, siapa tahu.”
Wahyudi tersenyum.
“Orang kaya apa ya? Kaya monyet atau apa?”
“Kamu tuh bercanda, aku serius.”
“Sudah, jangan bicara tentang sesuatu yang nggak
jelas.”
“Siapa tahu, sedikit ucapanku bisa membuat kamu
teringat sesuatu. Bisa jadi kamu seorang sopir, bisa jadi kamu orang kaya yang
punya mobil.”
“Entahlah, semuanya masih gelap bagiku.”
“Eh, tapi kamu kok nggak cerita sih, bagaimana kamu
tadi bisa bersama bu Qila?”
“Dia tuh aneh.Tiba-tiba datang dan meminta aku agar
mengikuti dia. Aku bingung diberi kunci mobil. Dan aku juga heran ternyata aku
bisa menyetir. Jadi dia menyuruh aku menyetir mobilnya.
“Kemana ?”
“Heran, ternyata bu Qila suka berbohong,” kata Wahyudi
lirih, khawatir ada yng mendengarnya.
“Berbohong bagaimana?”
“Tadi dia tuh bilang sama pak Kartiko bahwa ada
keperluan, padahal tidak. Aku … maaf … agak kurang suka sama dia.”
“Lalu sebenarnya dia menyuruhmu mengantar ke mana?”
“Muter-muter, lalu makan.”
“Apa?”
“Aku heran mengapa dia melakukannya.”
“Apa ya maksudnya. Dia sedang bingung barangkali.”
“Akulah yang bingung,” kata Wahyudi sambil mengakhiri
makan siangnya.
***
Tapi ketika Qila sampai di kantor, ternyata sang suami
sudah ada di ruangannya, sedang duduk di depan meja kerjanya, sambil membolak-balikkan
lembaran-lembaran kertas.
“Mas, kok sudah datang?”
“Kamu gimana sih? Disuruh mengerjakan ini, kamu malah
pergi. Kemana saja kamu?”
“Aku sedih lah, kamu tinggalkan sendirian di sini.”
“Kamu tuh punya tugas di sini. Mana, tak satupun yang
kamu kerjakan.”
“Iya mas, aku tadi hanya pergi makan sebentar.”
“Sebentar apa? Satpam di depan bilang kalau kamu pergi
sudah dua jam yang lalu.”
“Aku muter-muter cari makan, lalu mampir ke rumah.”
“Rumah siapa?”
“Ya rumah orang tua kamu lah Mas, aku kan sudah tidak
punya orang tua.”
“Ngapain kamu ke sana?”
“Ya sudah lah Mas, jangan banyak tanya. Mana, biar aku
kerjakan semuanya itu.”
“Sudah hampir selesai,” gerutu Wisnu, sambil
meninggalkan meja kerjanya.
***
Hari terus berjalan, sudah hampir sebulan Wahyudi
berada di rumah keluarga Kartiko.
“Wahyudi, besok kita libur, apa kamu mau di rumah
saja?”
Liburan di keluarga Kartiko tidak selalu di hari
Minggu. Kalau Minggunya ada acara, maka mereka diliburkan di hari Senin nya.
Memang dibuat bersamaan, agar keduanya bisa berlibur bersama. Keluarga yang
baik, dan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tapi juga berharap
karyawannya bisa bersenang-senang bersama.
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Pacaran dong,” kata Nano sambil tersenyum.
“Yaah, seneng dong ketemu pacar.”
“Kamu mau ikut?”
“Masa aku harus ikut orang pacaran, dianggap patung
dong nanti.”
“Bukan begitu, aku mau main ke rumah pacar aku. Nanti
aku kenalkan sama adiknya.”
“Adik pacar kamu?”
“Dia punya adik yang cantik lho. Tapi dia gadis desa
sih.”
“Pacar kamu gadis desa?”
“Memangnya apa salahnya pacaran dengan gadis desa?
Kami bahkan akan segera menikah.”
“Oh, syukurlah.”
“Mau nggak?” Nano mengulangi ajakannya.
“Apa? Ikut sama kamu ke rumah pacar?”
“Iya, siapa tahu kamu berjodoh dengan adiknya.”
Wahyudi tersenyum. Ia tak tahu, apakah harus senang
mendengar ajakan Nano. Tapi dia juga ingin keluar rumah saat libur.
“Bagaimana?”
“Ya sudah, mau deh. Tapi bukan karena mendengar adik
pacar kamu cantik. Aku hanya ingin jalan-jalan keluar saja.”
“Baiklah, kita bisa berboncengan.”
“Tapi janji ya, aku jangan ditinggal sendirian,
nanti.”
“Ya enggak, masa aku setega itu.”
“Kalau tiba-tiba kamu pergi sama pacar kamu,
bagaimana?”
“Kamu akan ditemani adiknya, namanya Murni.”
“Yaah, nggak mau aku.”
Nano tertawa.
“Kok kamu tiba-tiba seperti anak kecil begitu. Takut
ditinggal pergi.”
“Bukan begitu, aku ini kan orang yang sedang bingung.
Kalau ditanya sesuatu yang aku tidak bisa menjawabnya, bagaimana?”
“Nggak, aku hanya bercanda. Aku sama Murti itu pacaran
tapi tidak suka dolan-dolan berdua, kalau tidak ada yang perlu sekali.
Seringnya, kami itu ya hanya duduk-duduk di rumah, omong-omong dengan orang
tuanya sebentar. Gitu-gitu saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Nah, gitu dong. Masa kamu mau mendekam terus di rumah.”
***
Hari itu keduanya berboncengan ke sebuah tempat, agak
jauh dari kota. Wahyudi membaca sebuah tulisan besar, Selamat Datang di Desa MATESIH.
“Jauh ya rumah calon istri kamu.”
“Iya, jauh di mata, tapi kan dekat di hati.”
Wahyudi tertawa sambil memukul bahu temannya.
“Iya, aku percaya. Seneng ya, sudah mau punya istri?”
“Kami sudah lama berhubungan, Cuma aku bilang baru
nabung dulu. Mungkin tahun depan siap menikah.”
“Alhamdulillah, aku ikut senang.”
“Nanti kamu aku kenalkan sama adiknya. Sebenarnya adiknya itu lebih cantik.”
“Kenapa kamu tidak memilih adiknya?”
“Masalah cinta itu ukurannya bukan cantik atau
tidaknya, tapi merasa cocok dan yang penting ada rasa yang berbeda.”
“Hm, aku harus belajar dari kamu rupanya.”
“Bagus, nanti aku ajarin. Dan pelajaran pertama adalah
… aku kenalkan dulu sama Murni. Nanti kamu harus bertanya dulu sama hati kamu,
apa yang kamu rasakan setelah bertemu dia.”
“Sepertinya mudah.”
Nano menghentikan sepeda motornya di sebuah rumah
sederhana. Seorang perempuan setengah tua sedang duduk di teras, sendirian. Ia
segera berdiri ketika melihat Nano datang bersama Wahyudi.
“Nak Marno … lama tidak kemari,” sapa wanita itu.
“Iya Bu, mohon maaf, sedang banyak pekerjaan. Murti
ada?”
“Ada, lagi di belakang, ayo silakan duduk. Ini siapa?”
“Ini teman saya, namanya Wahyudi.”
Wahyudi mendekat, mencium tangan wanita setengah tua
itu, setelah Nano melakukannya.
“Duduklah Nak,” katanya ramah, kemudian beranjak ke
dalam rumah.
Wahyudi dan Nano duduk setelah dipersilakan.
“Murti, itu ada nak Marno, terdengar teriakan dari
dalam rumah.
Tak lama kemudian seorang gadis berwajah manis keluar.
Nano menyambutnya dengan wajah berseri.
“Apa kabar Murti?”
“Baik Mas, ini siapa?”
“Ini namanya Wahyudi, sahabat aku,” Nano
memperkenalkan Wahyudi.
Wahyudi dan Murti saling merangkapkan ke dua tangan.
“Dia ini mau aku kenalkan sama Murni.”
“Ooh,” Murti tersenyum mengerti. Pasti maksudnya
adalah berkenalan untuk sesuatu yang lebih serius.
“Sebentar, aku panggil dia, baru saja dia pulang
sekolah,” kata Murti sambil beranjak ke dalam.
Tapi di balik pintu dia berpapasan dengan adiknya yang
lagi mengintip.
“Eeh, ngapain kamu ngintip-ngintip?”
“Ssst,” kata Murni tersipu, kemudian setengah berlari
ke belakang.
“Murni, ayo keluar, aku kenalkan sama temannya mas
Nano. Dia ganteng lho,” rayu Murti.
Tapi Murni menjawabnya dengan ketus.
“Ogah, dia kan sudah tua.”
“Sssst….” Murti menutup mulut adiknya dengan telapak tangan, lalu menariknya ke depan dengan paksa.
Wahyudi terbelalak melihat Murti menggandeng seorang
gadis, yang masih mengenakan seragam sekolah.
“Haaa, masih SMA?” kata Wahyudi dalam hati.
***
Besok lagi ya.