Tuesday, June 28, 2022

KEMBANG CANTIKKU 07

 

KEMBANG CANTIKKU  07

(Tien Kumalasari)

 

Wahyudi sudah mau masuk ke dalam kamarnya, ketika melihat Nano duduk di kursi yang berderet di depan kamar-kamar mereka.

“Sudah mau tidur?” sapa Nano.

“Belum sih, boleh duduk di sini?” kata Wahyudi sambil ikut duduk di kursi sebelah Nano.

“Silakan. Saya belum mengantuk. Kalau mau merokok silakan saja,” kata Nano.

“Tidak, saya tidak merokok.”

“Syukurlah, saya juga tidak suka merokok.”

“Bukankah itu sehat? Tapi sebagian orang merasa bahwa tanpa rokok dia merasa tidak sehat. Entahlah,” kata Nano lagi sambil tersenyum.

“Mas Nano sudah lama tinggal di sini?”

“Saya sudah dua tahun mengabdi pada keluarga Kartiko.”

“Lumayan lama.”

“Ini keluarga yang sangat baik kepada semua orang. Saya merasa nyaman karena mereka menganggap semua orang adalah keluarga sendiri. Semoga mas Wahyudi juga akan kerasan tinggal di sini.”

“Semoga saja. Tapi saya sering merasa bingung.”

“Kenapa?”

“Bagaimana tidak? Saya tidak tahu siapa diri saya sebelum ini. Semuanya gelap. Saya ingin keluar dari kegelapan ini, tapi tidak berhasil. Setiap kali saya berusaha mengingatnya, kepala saya terasa berdenyut dan sakit.”

“Mas harus sabar. Jangan terlalu memaksa. Perlahan tapi pasti, Mas pasti akan bisa ingat semuanya,” hibur Nano.

Wahyudi mengangguk. Tiba-tiba ia teringat Qila. Nama yang diingatnya. Mengapa ada Qila di sini, dan sudah punya anak, gadis kecil berkepang dua itu? Qila dalam mimpinya bukankah anak kecil. Atau perempuan berambut riap-riapan itukah yang bernama Qila? Pikirnya.

“Qila … “ gumam Wahyudi tanpa sengaja, membuat Nano meloleh ke arahnya.

“Itu nama ibunya Mila. Orangnya sangat cantik, dan baik. Demikian juga suaminya yang putera pak Kartiko.”

Wahyudi mengangguk.

“Nama itu, mengingatkan aku pada sebuah mimpi.”

“Oh, mimpi?”

“Entah bagaimaina, aku bermimpi tentang seseorang bernama Qila. Tapi aku tidak ingat, siapa Qila.”

“Yang pasti bukan Qila menantu keluarga ini kan?”

“Iya, pastinya. Tapi nama itu membuat aku selalu teringat mimpi itu. Kalau saja aku bisa tahu, siapa Qila yang ada dalam mimpiku itu.”

“Barangkali nama pacar Mas Wahyudi.”

Wahyudi mengerutkan keningnya. Pacar? Benarkah dia punya pacar? Tapi tidak, itu adalah nama diantara salah satu orang yang ada di dalam mimpi itu. Perempuan berambut riap-riapan, dan anak kecil berkucir dua. Ia hampir merasa yakin bahwa anak kecil itulah yang bernama Qila, karena dia memanggil-manggil namanya saat anak kecil itu berada dalam gendongannya.

“Mas juga tidak ingat, apakah Mas punya pacar, atau mungkin istri?”

Wahyudi menggelengkan kepalanya dengan sedih. Yang terbayang kemudian adalah Sunthi, yang mengaku sebagai calon istrinya. Tapi tidak, Wahyudi enggan mengakuinya, karena dia tidak merasa suka pada gadis itu. Bukan karena wajahnya yang tidak begitu cantik, tapi rasa itu yang tidak ada. Tapi ia juga teringat bahwa dirinya berhutang budi pada keluarga Tukiyo. Ia berjanji, suatu hari akan mencarinya, karena sekarang dia tidak tahu apa nama desanya.

“Aku mengira, Mas Wahyudi itu bukan orang dari desa.”

“Bukan?”

“Bukan. Setelah Mas berpakaian pantas, kelihatan bahwa Mas bukan orang desa. Mas sangat ganteng dan gagah. Mas juga bicara sangat santun, bukan seperti logat orang desa.”

“Oh, gitu ya?”

“Apa Mas ingin, saya menginformasikan melalui surat kabar, barangkali ada keluarga Mas yang mengenali?”

“Tidak, kalau aku ketemu orang yang mengaku sebagai keluarga aku, dan aku tetap tidak mengingat siapa sebenarnya mereka, sama saja aku tetap merasa sebagai anak hilang. Yang aku inginkan adalah aku bisa ingat semuanya, lalu mencari keluarga aku.”

“Iya, aku bisa mengerti.”

“Baiklah, untuk sementara ini aku akan menjalani kehidupan ini, di keluarga ini. Semoga dengan berjalannya waktu aku bisa mengingat semuanya.”

“Aku akan mendoakan Mas Wahyudi.”

“Terima kasih.”

“Sekarang sudah malam, ayo kita istirahat dulu.”

“Baiklah. Aku mau shalat dulu.”

Nano menatapnya heran.

“Mas ingat bagaimana shalat?”

“Sangat ingat Mas, sejak aku merasa sehat, aku selalu melakukannya, shalat lima waktu. Dan selalu.”

“Luar biasa. Kalau begitu Mas bisa mohon petunjuk melalui shalat setiap waktu.”

“Iya, selalu aku lakukan. Ayuk Mas, istirahatlah, aku ambil air wudhu dulu.”

***

“Pagi-pagi sudah melamun,” tegur mbok Tukiyo sebelum berangkat ke pasar.

Sunthi terkejut. Ia baru saja mengangkat nasi dan meletakkannya di meja dapur.”

“Simbok mau sarapan dulu?” kata Sunthi.

“Kamu buat apa itu?”

“Masih ada ikan sisa kemarin, sama sambal.”

“Ya sudah, itu bapakmu juga sudah siap mau sarapan.”

Keluarga Tukiyo selalu sarapan dulu sebelum berangkat bekerja. Hanya dengan nasi dan lauk seadanya, yang hampir semua lauk tidak pernah dibelinya karena selalu ada ikan dan sayuran di kebun. Mbok Tukiyo hanya cukup membeli bumbu setiap seminggu sekali.

“Kamu seperti masih memikirkan sesuatu sih nduk. Masih sedih teringat Wahyudi?”

“Tidak Mbok.”

“Lha kenapa, pagi-pagi ngelamun?”

“Mas Wahyudi mungkin sudah ketemu keluarganya. Aku tidak ingin memikirkannya.”

“Ya sudah, itu bagus. Jangan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Simbok memang pernah punya pikiran ingin mengambilnya sebagai menantu, tapi setelah simbok pikir-pikir, benar seperti kata bapakmu. Kalau tiba-tiba dia ingat semuanya, banyak kemungkinan yang akan membuat kita kecewa. Mungkin dia sudah punya pacar, atau bahkan isteri dan juga anak. Lalu akan seperti apa perasaan kita kalau hal itu terjadi. Ya kan?”

“Iya Mbok.”

“Nanti akan ada jodoh untuk kamu, seorang yang baik, mudah-mudahan.”

“Mbok, apa mas Tino itu baik?”

“Kamu memikirkan dia?”

“Dia itu … entahlah Mbok, aku kepikiran apa yang dikatakannya.”

“Dia pernah bilang sama simbok, bahwa ingin menjadi menantu simbok. Tapi simbok hanya menanggapinya sambil bercanda. Dia itu baik, tekun bekerja. Jualannya juga lumayan laris. Dia bilang, siap mencari istri. Apa kamu suka dia?”

Sunthi belum menjawab ketika Tukiyo masuk ke dapur.

“Ada sarapan tidak pagi ini nduk?”

“Ada Pak, sudah siap.”

“Baiklah, ayo. Tapi  kalian tadi lagi ngomongin apa?”

“Itu … masalah Tino.”

“Kenapa memangnya?”

“Aku lagi nanya sama Sunthi, apa dia suka sama Tino.”

“Nah, kenapa perempuan ditanya duluan? Tino kan belum tentu suka sama Sunthi. Jangan sampai mempermalukan keluarga kita. Biarpun kita miskin, kita harus punya harga diri,” tegur Tukiyo.

“Bukan begitu Pak. Tino pernah bilang bahwa dia suka sama Sunthi. Waktu itu aku belum bilang apa-apa, karena khawatir dia cuma bercanda. Kan dia tidak terlalu sering ketemu Sunthi, yang hanya kalau Sunthi ikut mboknya ke pasar baru mereka bertemu. Tadi aku baru nanya sama Sunthi. Apa dia suka sama Tino … “

“Apa jawabmu nduk?”

Sunthi diam, hanya menundukkan kepalanya.”

“Jangan sampai kamu selalu memikirkan Wahyudi. Ingat, suatu saat kamu bisa saja kecewa,” Tukiyo kembali mengingatkan.

“Aku nggak suka sama mas Wahyudi. Hanya ….”

“Hanya apa?”

“Aku sebenarnya biasa saja, hanya ingin dekat.”

“Apa maksudnya ingin dekat?”

“Bukan sungguh-sungguh pengin jadi istrinya kok.”

“Baiklah, mulai sekarang jangan mimpi terlalu tinggi. Jangan mengharapkan sesuatu yang nggak jelas.”

“Iya, aku sudah tahu,” jawab Sunthi cemberut, merasa kesalahannya selalu diingat-ingat oleh bapaknya.

“Tuh, kalau dikasih tahu mesti bibirnya manyun kayak kukusan,” omel Tukiyo.

mBok Tukiyo tertawa geli, membayangkan kukusan yang lancip disamakan dengan bibir anaknya.

“Ya sudah, aku mau ke pasar dulu, matahari sudah mulai tinggi, kesiangan aku jadinya,” kata mbok Tukiyo sambil berdiri.

“Ya sudah, ati-ati …” pesan Tukiyo.

“Bilang sama Tino, kalau benar-benar suka sama Sunthi, suruh dia datang kemari,”

“Baiklah,” kata mbok Tukiyo sambil mengambil bakul yang penuh sayuran, lalu di gendongnya.

***

Mulai hari itu, Wahyudi melayani pak Kartiko. Sebelumnya bu Kartiko sudah menuliskan apa yang harus dilakukan mulai pagi hari sampai sore harinya. Bu Kartiko mengajari semuanya, sampai Wahyudi benar-benar mengerti.

Ternyata biarpun seorang laki-laki, Wahyudi bisa melayani makan pak Kartiko dengan sangat telaten. Mungkin kebiasaan melakukan apapun sendiri sebelum ini, membuatnya begitu cekatan menyiapkan makan dan obat-obat yang harus diminum pak Kartiko. Sedangkan bu Kartiko hanya mengawasinya.

“Ternyata kamu sangat luwes, Wahyudi. Apa aslinya kamu seorang perawat?” tanya pak Kartiko sambil makan di atas kursi roda, sedangkan Wahyudi hanya mendampinginya.

Wahyudi hanya tersenyum. Ia merasa hanya menyiapkan makan pak Kartiko, dan menyiapkan juga obat yang harus diminum pak Kartiko saat pagi, kemudian siang dan malamnya. Itu tidak membuatnya susah. Mengapa dia bisa melakukannya, apakah dulu dia seorang perawat? Tentu saja Wahyudi tidak bisa menjawabnya.

“Bagaimana kalau Wisnu ibu suruh mengantarkan Wahyudi ke dokter?” kata pak Kartiko.

“Iya, ibu juga berpikir demikian. Tapi Wisnu itu hampir tidak ada waktu luang. Sore hari baru pulang, pasti dia sudah capek.”

“Iya juga sih.”

“Nanti malah ibu sendiri saja mengajaknya ke dokter, biar Nano yang mengantarnya.”

“Iya, itu bagus.”

Wahyudi hanya mendengarkan. Ke dokter? Apakah dokter bisa mengembalikan ingatannya? Lalu terbitlah sebuah harapan di hati Wahyudi.

“Tidak usah diantar Bu, nanti kalau saya sudah punya uang, saya akan ke dokter sendiri. Mas Nano pasti bisa mengantarkan saya, ibu tidak usah repot.

“Kalau kamu mau, tidak apa-apa ke dokter sekarang, nanti aku beri ongkos untuk periksa.”

“Tidak Bu, besok saja. Uang pemberian ibu masih sisa sedikit, nanti saya mau tanya dulu berapa ongkosnya. Kalau kurang ya tunggu kalau uang saya cukup.”

“Mungkin biayanya banyak lho Bu, dia harus melalui beberapa pemeriksaan, tidak seperti orang sakit flu, cukup diperiksa kemudian diberi obatnya.”

“Iya, ibu tahu. Maksud ibu, biar ibu beri uangnya dulu.”

“Tidak Bu, besok saja.”

Wahyudi bukan seorang yang suka menerima pemberian dengan cuma-cuma. Ia sudah banyak menerima kebaikan dari keluarga Kartiko, dan tidak ingin menambah beban dengan menerima lagi kebaikan yang lain.

“Baiklah, nanti kalau kamu sudah menerima gaji, pergilah ke dokter, biar Nano mengantarkan kamu,” kata bu Kartiko yang tahu bahwa Wahyudi tidak bisa dipaksa.

“Neneeek,” tiba-tiba terdengar suara nyaring memasuki ruang makan. Wahyudi tersenyum, gadis kecil berkucir dua itu sangat menyenangkan.

“Mila … mana Ibu?”

“Sudah pegiii …” katanya setengah cilat karena belum bisa berbicara dengan jelas.

“Bapak sama ibu langsung ke kantor, katanya terburu-buru,” kata Tinah, pengasuh Mila.

“Ya sudah. Apa Mila sudah makan?” tanya bu Kartiko.

“Sudah Bu.”

“Baiklah, ajak dia bermain, tapi awas ya, jangan lagi mengajaknya ke halaman depan. Kamu itu teledor, dan jangan membawa ponsel saat  menjaga Mila.”

“Baik Bu,” jawab Tinah sambil menggandeng tangan Mila, diajaknya ke taman yang ada di belakang rumah.

Tapi rupanya Mila lebih tertarik pada Wahyudi. Dia menggelendot di pangkuan Wahyudi, membuat Wahyudi kemudian mengangkatnya kemudian memangkunya.

“Kamu kenal sama pak Wahyudi?” tanya pak Kartiko sambil tertawa senang.

Mila hanya terkekeh, dan lagi-lagi dia mempermainkan rambut ikal Wahyudi, sambil berdiri di pangkuannya.

“Mila, tidak boleh begitu, ayo.. duduk yang baik dong,” tegur pak Kartiko.

“Iya Mila, sana, main sama Tinah, pak Wahyudi baru melayani kakek, ya.”                                                                                                                                       

“Mau pak Udi … “ rengek Mila yang tak mau turun dari pangkuan Wahyudi.

“Nanti, kalau kakek sudah minum obat,  Mila boleh main sama pak Wahyudi. Ayo Tinah, ajak Mila ke taman. Hati-hati kalau main ayunan, ya.”

Kemudian Tinah merayu Mila dengan susah payah, agar bersedia diajaknya ke taman.

***

Malam itu sebelum tidur, Wahyudi kembali duduk santai di depan kamar, bersama Nano.

Ia tidak banyak bicara, mengingat pertemuannya dengan Wahyu dan Aqila sore tadi. Aqila, wanita cantik menantu keluarga Kartiko itu sama sekali tidak mirip dengan wanita berambut riap-riapan yang ditemuinya dalam mimpinya.

“Jadi bukan dia wanita dalam mipiku. Dan Qila pastilah nama gadis mungil itu,” kata batin Wahyudi.

“Mas Wahyudi, ngelamun terus dari tadi?” tegur Nano.

“Oh, apa? Tidak, mm … aku sedang memikirkan … kemungkinan akan periksa ke dokter,” kata Wahyudi yang tidak ingin menceritakan perihal mimpinya lagi.

“O iya Mas, tadi ibu juga bilang, katanya kalau besok Mas Wahyudi ingin periksa ke dokter, aku disuruh mengantar.”

“Iya sih, tapi belum sekarang.”

“Kata ibu, Mas Wahyudi dibayarin dulu sama ibu, tapi mas Wahyudi tidak mau.”

“Iya mas Nano, nggak enak terus berhutang kebaikan sama orang. Nanti saja kalau aku sudah punya uang, gampang.”

“Tapi kenapa kita tidak saling menyebut nama saja, tanpa ‘mas’. Kelihatannya kok kurang akrab, jadi panggil saya ‘Nano” saja.”

“Dan kamu memanggil saya Wahyudi saja. Bagus, aku setuju.”

Lalu mereka tertawa-tawa bersama. Dan Wahyudi tiba-tiba merasa senang, berada di sebuah keluarga yang membuatnya nyaman, dengan memberinya pekerjaan dan perhatian atas keadaannya.

Malam semakin larut, mereka yang asyik mengobrol, lama-lama diserang kantuk juga.

Wahyudi malah sudah tertidur di kursinya, ketika keduanya kehabisan kata-kata untuk mengobrol.

Nano merasa kasihan melihat Wahyudi tidur di kursi, ia bermaksud membangunkan, ketika tiba-tiba dari mulut Wahyudi terdengar igauan.

“Qila … Qila … “

Nano sangat terkejut, menoleh kekiri dan kekanan, takut suara Wahyudi terdengar orang di rumah itu. Ia heran mengapa Wahyudi menyebut nama menantu pak Kartiko. Rupanya Nano lupa tentang mimpi Wahyudi yang pernah diceritakan padanya.

“Apa kamu tertarik sama dia? Gawat,” bisik Nano yang kemudian perlahan membangunkan Wahyudi.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

40 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah Novel *Cintaku Ada Di Antara Mega (CADM)* Cetakan Perdana 50 buku sdh habis terjual.
      Bagi Anda yang berminat koleksi cerbung CADM karya bu Tien Kumalasari, kami buka lagi pemesanan buku CADM kloter 2.
      Yang akan kami kirimkan mulai tgl 2 Juli 2022.

      Jumlah buku 50 eksp.
      Transfer ke BNI Norek 0249117018
      a.n Sri Setiawati
      Alamat kirim dan bukti transfer dijapri ke Iyeng Santoso *08179226969*

      Delete
    2. Alhamdulillah sambil rapat tp online bs ikut buka blog
      Msh bunda Tien sehat selalu doaku
      ADUHAI....

      Delete
  2. Replies
    1. Selamat buat jeng Iyeng juara 1 dan kelarisan juga jualannya 2 (dua) hari CADM 50 Eksp LUDES, sekarang buka lagi kloter 2 untuk 50 eksp lagi
      Ayo buruan pesan....para blogger

      Terima kasih bunda Tien, salam ADUHAI & sehat selalu.

      Delete
    2. Juara 1 dua orang yang satu jeng Nani Sragen dan jeng Iyeng Semarang pada balapan.

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tienkumalasari sudah tayang cerbung barunya, wassalam..

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun bunda Tien KC07 telah tayang..🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia . .

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 07 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ,yang ditunggu telah hadir KC 7 , terimakasih bunda sayang

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    Wahyudi sdh datang
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  9. matur suwun bunda Tien ...sehat selalu bersama kel besar ....

    salam seroja dr Semarang

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah yg ditunggu muncul.Makasih Bunda

    ReplyDelete
  11. Alhamdullilah sdh tayang KC ke 07..nya..terima kasih bunda Tien..slmt mlm dan slm istrht..slm sehat dan sayang sll dri 🙏🙏🌹🌹🥰🥰

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
    Qila...Qila... sering diucapkan oleh Wahyudi. Mungkin ingatannya kembali setelah ketemu Qila kecil dengan rambut dikepang dua.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  13. 𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐞𝐩𝐬 7 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐬𝐲𝐚𝐧𝐠. 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐮𝐭𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧.
    𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐍𝐚𝐧𝐨 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐖𝐚𝐡𝐲𝐮𝐝𝐢 𝐲𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐦𝐚𝐧𝐠𝐠𝐢𝐥 2 𝐧𝐚𝐦𝐚 𝐐𝐢𝐥𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐢𝐤𝐨..??
    𝐁𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐢𝐤𝐨 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐭𝐧𝐲𝐚..??

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 07 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  15. Terimakasih bu Tien, salam sehat selalu dari Nganjuk.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, KC sdh tayang.....semakin mendebarkan.....
    Suwun Bu Tien......salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah sudah tayang KC 07
    Terimakasih bunda Tien, semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin

    ReplyDelete
  18. Ceritanya makin asyik...
    Terimakasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Penasaran...siapa Qila

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien KC 07nya
    semoga sehat selalu, aamiin... salam

    ReplyDelete
  21. Terimakasih KC 07 sdh tayang..
    Salam sehat selalu utk bunda Tien tersayang..
    Salam aduhaii..

    ReplyDelete
  22. Longok2 KC 09 belum nongol ya mbak Tien?

    ReplyDelete
  23. Jakarta, June 29,2022. Hallo semuaaaaa, saya sudah di Jakarta lagi, tadi siang naik kereta Argo Lawu dari Purwokerto! Terima kasih bunda tayangan KC ke 9 malam ini sudah saya membacanya!
    Semoga kita semua bertemu lagi ya tahun depan jika Allah berkenan!
    Miss you all sahabat2 baruku yang baik hati semuanya!

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...