Friday, November 1, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01

(Tien Kumalasari)

 

Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya menggapai kupu-kupu atau burung kecil yang berterbangan diantara tetumbuhan yang ada di pematang itu.

Kaki jenjangnya yang belepotan lumpur tak dihiraukannya. Sebelah tangannya lagi menggendong kelenting berisi air yang diambilnya dari sumber air yang ada dikaki bukit. Lalu dendangnya terdengar lagi dengan nyaring. ‘ bapak pocung, dudu watu dudu gunung, sabamu ing sendang, pencokanmu lambung kΓ©ring. Prapteng wisma si Pocung mutah kuwaya.’

Lalu Arumi terkekeh sendirian. Lagu itu seperti menyanyikan dirinya yang sedang membawa tempat air dari tanah, yang digendong di kiri badannya, lalu dituangkan ke dalam gentong nanti sesampainya di rumah.

“Ini kan lagunya orang pedesaan. Kalau butuh air bersih harus mencari ke sumber, yang jaraknya lumayan jauh. Di kota, orang butuh air tinggal memutar kran, lalu air sudah mengucur,” omelnya.

Tapi Arumi bukannya mengeluh. Itu pekerjaannya sehari-hari setelah lulus dari sekolah SMP. Ketika itu, di desanya baru ada sekolah sampai SMP. Kalau mau melanjutkan, harus pergi ke kota, di mana sekolah SMA sudah ada. Tapi pak Truno tidak tega melepas anak gadisnya sekolah di kota, walau kehidupannya bertani cukup untuk menghidupi anak dan istrinya.

Setelah mengirim makan siang untuk ayahnya, dia langsung pergi ke lereng gunung, di mana terdapat sumber air yang selalu didatangi orang-orang desa ketika membutuhkan air bersih untuk makan dan minum. Bagaimana dengan mandi? Kan ada kali bening di belakang rumah, yang oleh ayahnya dibuatkan sekat sehingga ketika mandi tak ada orang yang bisa melihatnya. Mencucipun di kali. Kali Sabrang itu airnya bersih dan bening, tak ternodai oleh apapun, karena baru mengucur dari sumber di dasar gunung.

Dusun Sabrang adalah dusun yang sebagian besar penduduknya hidup dengan bercocok tanam. Mereka hidup tenang dan damai.

Arumi menuang air yang diambilnya ke dalam gentong, lalu pergi ke belakang rumah untuk mencuci kaki dan tangannya.

“Tadi bapak bilang, sayur lodehnya terlalu pedes, Mbok,” kata Arumi kepada simboknya, yang sedang melipat kain jemuran yang sudah kering.

“Masa sih? Biasanya nggak terlalu pedes dengan ukuran yang sama.”

“Kata orang, cabe keriting itu rasanya lebih pedas,” kata Arumi.

“Iya sih, tapi terpautnya nggak banyak. Kalau begitu besok kalau masak sayur yang harus pakai cabe lagi, ukurannya dikurangi.”

”Besok simbok mau masak apa?”

“Tadi beli gori di pasar. Mau bikin gudeg saja.”

“Wah, kalau itu Rumi suka.”

“Rumiiiii! Rumiiii!!” tiba-tiba terdengar teriakan.

“Tuh, seperti suara Sutris.”

Rumi berlari ke depan, dilihatnya Sutris, anak pak Carik datang membawa plastik, isinya bergoyang-goyang.

“Apa itu Mas?”

“Ikan, aku baru pulang mancing. Ini untuk kamu.”

“Waaaah, masih hidup Mas, kasihan aku. Nggak tega makan ikan hidup.”

“Bodoh kamu. Masa ikan hidup dimakan? Ya dibunuh dulu.”

“Iih, nggak tega,” pekik Arumi.

“Ambil pisau sana, biar aku bersihkan sekalian, nanti kamu tinggal menggoreng.”

Arumi berlari ke dapur, Sutris memandangnya sambil tersenyum. Sudah lama ia mengincar Arumi, gadis cantik anak pak Trimo yang lincah dan rajin. Tapi Arumi masih terlalu kecil. Sutris akan menunggunya. Ia sudah lulus SMA, dan sekarang membantu ayahnya berdagang di pasar.

Karena terlalu lama menunggu, Sutris menyusulnya ke belakang. Ternyata mbok Truno sedang menyuruh Arumi mengasah pisau.

“Lama banget,” gerutu Sutris.

“Ini, pisaunya tumpul. Nggak akan bisa memotong ikan, kata simbok harus diasah dulu. Tapi ini sudah selesai,” kata Arumi sambil menyerahkan pisaunya.

“Kalau membersihkan ikan di sumur saja,” kata mbok Truno.

“Iya Mbok.”

Keduanya pergi ke sumur.

Sumur di rumah itu memang ada, tapi airnya mengambil dari belik. Sumur kecil yang dibuat, tapi airnya tak begitu bening. Kalau mau dipakai  untuk mencuci sayur atau piring, harus diendapkan dulu.

Arumi menyingkir ketika Sutris memukul ikan itu. Dua ekor ikan mas yang lumayan besar.  Lalu Sutris membersihkannya dan setelah bersih baru diserahkan kepada Arumi.

Sutris pergi setelah membersihkan sumur dan membuang kotoran ikan di tempat sampah.

“Terima kasih ya Tris,” teriak mbok Truno.

“Sami-sami, mbok,” kata Sutris sambil menjauh.

"Ikannya besar banget,” kata mbok Truno.

“Mau dimasak apa Mbok?”

“Dibakar saja, nanti sore buat makan bapakmu juga. Tolong ambilkan kayu di pelataran, yang sudah kering, jangan sampai kehujanan.”

“Yaaa.”

***

Sore hari itu, ketika makan, pak Trimo menegur anaknya yang selalu menerima pemberian dari Sutris. Ia merasa Sutris punya maksud tertentu dengan berbaik hati pada anaknya.

“Bapak ya jangan begitu. Orang namanya dikasih, kan nggak enak kalau ditolak.”

“Sesekali simbok bilang dong, jangan keseringan memberi apa-apa pada Arumi. Gitu.”

“Ya nggak apa-apa dong Pak, cuma dikasih, yang penting kita kan nggak minta,” bela Arumi.

“Orang itu kalau memberi tapi ada maunya, namanya bukan memberi tapi membeli,” omel pak Truno lagi, tapi dia hampir menghabiskan seekor ikan bakar yang dimasak istrinya.

“Dia juga hanya memberi kok. Bapak jangan suka berprasangka pada seseorang, dan menuduh yang bukan-bukan. Memang mas Sutris itu kan dari dulu baik sama kita.”

“Bapak hanya khawatir, Pak Carik itu kan orang paling kaya di desa ini. Dia itu juragan lhoh. Kalau anaknya sampai suka pada Arumi, pasti akan menjadi masalah.”

“Iih, Bapak. Apa sih maksudnya suka?” kata Arumi cemberut.

“Kalau-kalau hal itu terjadi, pasti akan menjadi masalah.”

“Bapak bicara aneh-aneh. Masalah apa yang Bapak maksud?” sergah sang istri.

“Ya pastilah, kita ini hanya petani biasa. Bukan orang kaya. Mana mau pak Carik  berbesan sama kita. Sekarang ini, sebelum terlambat, Arumi harus membatasi hubungannya dengan Sutrisno. Nanti bapak carikan kamu jodoh yang sejajar dengan kedudukan kita, jangan menggapai langit. Tangan kita tak akan sampai.”

“Bapak ngomongnya kok jadi ngelantur. Yang suka siapa, yang mau menerima siapa. Arumi masih kanak-kanak. Aku tidak ingin Arumi menikah muda seperti gadis-gadis di desa kita. Kasihan. Masih kecil sudah harus menggendong bayi.”

“Aku kan bilang, hanya berjaga-jaga. Jangan sampai nanti terlanjur. Kalau aku ngomong itu di dengarkan yang jelas, jangan asal membantah. Makan jadi nggak enak,” kata pak Trimo sambil mengakhiri makan sorenya.

Di desa itu, tak pernah ada makan malam. Sore sebelum maghrib mereka sudah pada makan, karena setelah isya semuanya sudah senyap dan berada dalam peraduan mereka masing-masing.

“Makan jadi nggak enak, tapi Bapak itu sudah nambah sampai tiga kali lhoh,” ledek mbok Truno.

“Sudah terlanjur,” katanya sambil berdiri lalu beranjak ke belakang.

Arumi memeletkan lidahnya, dan mbok Truno menahan tawanya.

“Sudah biasa begitu, biarkan saja,” kata mbok Truno sambil melanjutkan makannya.

“Aneh ya Mbok, aku nggak pernah membayangkan jadi istrinya mas Sutris. Dia hanya baik, tapi aku nggak suka.”

“Jangan dipikirkan sekarang, kamu masih kecil,” kata mboknya sambil menumpuk piring-piring kotor.

***

Sore itu pak Carik uring-uringan, karena Sutris tidak menyusul ke pasar siang itu, padahal toko sedang ramai.

“Bapak gimana sih, Sutris kan bilang bahwa hari ini mau mancing.”

“Lha mancing itu mana ikannya? Orang di rumah nggak ada ikan sama sekali.”

“Kadang-kadang kan tidak dapat ikan juga.”

“Bohong Pak, tadi Kuncung, temannya mancing bilang kalau Sutris dapat ikan besar-besar,” teriak Wahyuni, kakak Sutris.

“Kamu yang bohong. Aku nggak mancing sama dia kok,” sergah Sutris.

“Nggak mungkin Kuncung bohong sama aku.”

“Sudah, diam. Bapak ini sudah tahu kalau Sutris tukang bohong. Dengar ya Tris, bapak itu ingin agar kamu bisa meneruskan usaha dagang bapak ini. Nggak usah melanjutkan kuliah, orang itu yang dicari kan uang, butuhnya dapat uang. Lha kalau sudah punya usaha sendiri, bisa nyetak uang sendiri, kenapa harus kuliah juga? Buang-buang uang saja, toh dengan usaha bapak saja kamu bisa dapat uang untuk bekal hidup kamu.”

”Tapi yang namanya mahasiswa itu keren lho Pak.”

“Omong kosong apa. Bagaimana bisa, mahasiswa keren? Banyak uang, kaya raya, itu baru keren. Sudah, jangan membantah. Mulai besok harus ikut bapak ke pasar.”

“Aku tahu, ikannya pasti diberikan ke itu lho.. anaknya pak Truno,” sambung Wahyuni.

“Ngawur," seru Sutris.

“Iya, aku tahu kamu suka sama Arumi.”

“Kamu tuh, dengar, bapak lagi ngomong, kok kembali ke masalah ikan sih,”  kesal Sutris.

“Benar, kamu suka sama anaknya Truno?” akhirnya pak carik termakan hasutan Wahyuni juga.

Sutris diam, ia tak berani membantahnya, karena masalah cinta harus dipegangnya erat. Tak mungkin dia berkata tidak, karena pada suatu hari nanti dia juga pasti akan meminta ijin pada orang tuanya. Tapi apa yang didengar dari ayahnya sangat membuat hatinya ciut.

“Kamu itu anakku. Orang terkaya di desa ini, sedangkan Truno itu hanya orang miskin. Masa kamu suka sama anaknya? Tidak, tidak. Nggak boleh. Juragan harus berbesan sama juragan. Bukan berbesan sama orang kecil seperti Truno.”

“Tapi Arumi itu cantik.”

“Cantik? Ibumu itu dulu juga cantik, sekarang apa? Tua, jelek, keriput. Ya kan?”

“Dia juga baik, Pak.”

“Tidak. Sekali tidak, tetap tidak. Awas kamu, jangan sekali-kali mendekati gadis itu.”

Sutris diam. Wajah Arumi yang lincah dan menggemaskan melintas. Mana mungkin dia mau melepaskan cintanya pada gadis yang sudah diincarnya sejak lama?

Tapi sang ayah, pak carik yang sesungguhnya bukan lagi menjadi carik tapi tetap dipanggil pak carik, sangat keras dalam mengutarakan pendapat. Kalau dia tidak setuju, maka selamanya juga tak ada yang bisa menentangnya. Tapi dalam hati Sutris berjanji, ia akan tetap mempertahankan cintanya.

***

Siang hari itu Arumi sedang membawa kiriman makan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Ia masih menyusuri jalan desa, dan belum sampai di area pesawahan, di mana sang ayah bekerja.

Tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempetnya, membuat rantang yang dibawanya jatuh dan isinya berceceran.

Arumi sangat marah. Itu makan siang untuk ayahnya, dan dia sudah setengah jalan, haruskah dia pulang untuk mengambil makanan lagi?

Ketika ia sedang menggerutu sambil memungut rantangnya yang bergelimpangan, pengemudi mobil itu berhenti.

“Maaf, ya dik … tidak sengaja.”

Arumi mengangkat wajahnya dengan geram. Seorang pemuda tampan sedang menatapnya penuh penyesalan.

“Memang benar tidak sengaja, tapi kalau sampeyan berhati-hati, pasti tidak akan membuat saya rugi.”

“Berapa kerugiannya, saya bayar.”

“Mentang-mentang jadi orang kaya, main bayar saja. Bukan karena uang saya bilang rugi. Tapi sampeyan membuang waktu saya dan tenaga saya. Makanan ini untuk mengirim makan siang ayah saya yang sedang bekerja di sawah. Rumah saya lumayan jauh, kalau saya harus kembali ke rumah, bukankah saya harus menguras tenaga lagi? Dan bapak saya pasti menunggu kalau sudah saatnya makan.”

Laki-laki tampan itu bernama Bahtiar. Ia menatap bibir tipis yang mengomel panjang pendek seperti senjata sedang memuntahkan peluru. Tapi alangkah manis bibir itu.

“Hei, sedang melihat apa sampeyan itu?”

“Jangan marah dong, aku kan sudah minta maaf. Allah saja mau memberi maaf kepada umatnya yang bertobat, masa kamu tidak?”

Arumi mencibir. Hampir mnyerempet orang, membawa nama Allah segala.

“Begini saja. Saya beri kamu uang, lalu belikan makanan untuk bapak kamu.”

“Beli makanan di mana? Yang bisa saya lakukan ya kembali pulang, minta makanan lagi sama simbok,” mulut Arumi semakin mengerucut.

“Saya antarkan kamu ke warung diujung desa itu, beli makanan sesuka kamu, yang disukai ayahmu, bahkan untuk kamu sendiri juga, aku yang bayar, lalu aku antarkan kamu ke sawah, di mana ayahmu bekerja. Bagaimana? Pasti lebih cepat."

Arumi mulai menimbang-nimbang. Ayahnya sedang menunggu, kalau dia pulang, pasti lama. Tapi dia tak mau menerima pemberian laki-laki yang belum dikenalnya itu dengan cuma-cuma.

“Baiklah, nanti aku minta pada bapak agar menukar uang sampeyan,” gerutu Arumi, tapi ia mengikuti anak muda itu.

“Kenalan dulu, namaku Bachtiar. Kamu siapa?” katanya sambil membukakan pintu.

“Arumi,” jawab Arumi tanpa senyum.

“Cantik namanya,” katanya sambil menutupkan pintunya, lalu dia masuk ke sampingnya, di belakang kemudi.

“Orangnya juga cantik,” katanya sambil menghidupkan mesin, membuat Arumi terperanjat.

Dalam hati dia berkata :”lancang”

Tapi ada sedikit senyum dibibirnya yang tipis. Bukankah semua gadis selalu suka dibilang cantik?

***

Besok lagi ya.

26 comments:

  1. Alhamdulilah cerbung baru sudah tayang, " Ketika Bulan Tinggal Separoh " maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ™πŸŒ·πŸŒ·πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku cerbung baru tayang

    ReplyDelete
  3. πŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒ
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    Cerbung baru, "Ketika
    Bulan Tinggal Separuh"
    sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia.
    Aamiin. Salam seroja. 😍
    πŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒπŸŒΉπŸƒ

    ReplyDelete
  4. Terima kasih mbak Tien....

    Salam sehat dari Purwodadi Grobogan

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah cerbung perdana "Ketika Bulan Tinggal Separoh" sdh tayang.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tlh tayang cerbung baru, semoga lancar jaya
    Untuk bu tien semoga sehat² selalu

    ReplyDelete
  7. Waah.... alhamdulilah sampun nyerat lagi nggih buu.
    Maturnuwun sanget.

    ReplyDelete
  8. Waah...langsung tayang judul baru nih. Terima kasih banyak, ibu Tien. Semoga makin sehat.πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillaah, sdh tayang
    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya πŸ€—πŸ₯°

    Sepertinya seru nih...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien...
    Kirain episode 01 mulai Senin 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

  11. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01* sdh hadir...
    Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari "Ketika Bulan Tinggal Separuh 01 sudah hadir, salam sehat penuh semangat Bunda

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah telah tayang KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01 terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun Bunda Tien : serial perdana cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh...telah tayang. Salam Sehat penuh semangat nggeh Bunda.

    Weleh...weleh Arumi yang cantik, centhil, hidup di desa yang subur makmur, baru lulus SMP, belum belum sdh ada yang naksir 2 cowok...si Sutris dan Bahtiar...😁

    ReplyDelete
  16. Apa akan ada persaingan ya, antara Sutris dan Bahtiar...
    Mudah mudahan mereka orang baik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  18. Terima ksih bunda cerbung barunya..slm sht sll unk keluargaπŸ™πŸ₯°❤️🌹

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah cerbung KBTS tayang perdana.Maturnuwun semoga Bunda selalu sehat wal afiat.

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...