MELANI KEKASIHKU 13
(Tien Kumalasari)
“Ada apa mas?” tanya Sasa yang heran melihat sikap Andra yang seperti orang sedang gelisah.
“Perempuan itu, tampaknya dia yang menculik Melani.”
“Dia? Yang menelpon tadi? Dia bilang begitu?”
“Suaranya amat pedas dan kasar. Terlontar nama Anindita dari mulutnya.”
“Jadi dia tahu tentang tante Anin?”
“Nama itu meluncur begitu saja dari mulutnya, mungkin tidak disengaja, tapi jelas dia mengenalnya.”
“Apa dia bilang bahwa ibunya Melani adalah tante Anindita?”
“Tidak jelas bilang begitu, tapi aku merasa bahwa itu memang benar. Dia bilang bahwa Melani tak akan pernah ketemu ibunya. Dia juga bilang bahwa tante sudah meninggal.”
“Ya Tuhan..
“Tapi aku merasa dia bohong. Perempuan itu entah kenapa, dia sangat membenci tante. Kata-katanya sangat kasar dan penuh ejekan. Dia tertawa seperti iblis.”
“Mengapa dia sangat membenti tante Anindita?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku tidak percaya kalau tante sudah meninggal. Tampaknya dia hanya ingin menghalangi agar Melani tak bisa ketemu ibunya.”
“Perempuan itu jahat sekali.”
“Bahwa Melani adalah saudara sepupuku, tampaknya sudah tergambar lebih jelas, sekarang yang aku ingin tahu, dimana tante Anindita,” kata Andra pilu, sambil menyandarkan kepalanya.
“Sabar mas, sebuah rahasia sudah terkuak bukan? Tinggal selangkah lagi kita akan menemukan tante.”
“Itu yang aku belum tahu caranya. Tampaknya sangat sulit, seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami.”
“Mungkin sulit, tapi bukan berarti tidak bisa kan?”
“Aku harus bilang apa sama ibu? Kalau aku bilang seperti apa yang dikatakan perempuan itu, bahwa tante sudah meninggal, pasti ibu akan sedih.”
“Jangan dulu bilang begitu mas. Bilang saja bahwa si penelpon tidak tahu keberadaan tante. Lagian belum jelas kan?”
“Memang belum, tampaknya dia bohong. Dia hanya ingin melampiaskan kebencian saja.”
“Berarti kamu jangan dulu bilang sama tante Maruti tentang apa yang dikatakan penelpon itu. Satu yang kamu yakini adalah bahwa benar Melani anaknya tante Anin.”
“Iya, itulah yang akan aku lakukan.”
“Apa kamu juga akan segera mengabarkan berita ini pada Melani?”
“Tentu saja ‘ya’. Soalnya itu menentukan status dia sebagai keponakan ibu. Walau sedikit, biarlah ibu terhibur dengan kehadiran Melani.”
“Nah, sekarang tenangkan hati mas Andra. Sambil memikirkan langkah selanjutnya, tanda tangani dulu surat-surat itu, karena harus segera dikirimkan. Nanti om Panji menegur aku lho.”
“Baiklah, biar aku teliti dulu sebentar.”
***
“Benarkah ? Benarkah Melani anaknya Anindita?”
“Perempuan itu tidak bicara jelas, tapi dia menyebut nama tante. Mungkin keceplosan, entahlah, barangkali Allah ingin menunjukkan sebuah kebenaran dengan disebutnya nama tante. Kan di iklan itu tidak ada yang menyebutkan nama tante? Tiba-tiba dia mengatakannya.”
“Lalu dimana tante kamu?”
“Dia.. dia tidak bilang. Dia tak mau mengatakannya,” kata Andra sedikit berbohong.
“Aku hampir yakin, bahwa pastilah ini ulah dia.”
“Dia siapa bu?”
“Dokter Santi.”
“Dokter Santi? Seorang dokter melakukan hal sekeji itu ?”
“Dulu dia dokter, tapi kemudian dia dipenjara. Setelah itu mungkin dia tak lagi memiliki ijin praktek atau apa, entahlah, tapi dengar-dengar dia pindah ke Jakarta.”
“Mengapa dia seperti membenci tante?”
“Ceritanya panjang. Nanti kapan-kapan ibu akan cerita.”
“Andra akan berusaha mencari, dimana tante berada. Ibu jangan sedih ya, paling tidak ibu sudah tahu bahwa Melani adalah keponakan ibu.”
“Ya Tuhan, besok kamu harus mengajak Melani datang kemari. Dia harus tahu bahwa ibu ini adalah bude bagi dia.”
“Iya bu, Andra juga belum sempat mengabari Melani.”
“Aku sudah merasa, bahwa Melani adalah darah dagingku.”
“Besok akan Andra jemput dia ditempat kerjanya, dan langsung Andra bawa kehadapan ibu.”
“Terimakasih Andra, ada sedikit hasil dari upaya kamu. Semoga kita segera tahu dimana keberadaan tante kamu.”
“Aamiin. Kita harus selalu berdoa disamping berusaha ya bu.”
“Iya Ndra, kamu benar.”
***
“Melani, nanti kamu jangan langsung pulang. Seandainya sudah waktunya kamu pulang kerja, dan aku belum datang, maka kamu harus menunggu. Ya,” kata Andra ketika menelpon Melani.
“Memangnya ada apa mas? Kan Melan sudah bilang, mas Andra tidak usah selalu menjemput Melani.”
“Ada sesuatu yang penting kamu ketahui.”
“Apa itu ?”
“Nanti kamu akan mendengarnya. Kalau sekarang nggak enak ngomongnya, lagi pula kan kamu sedang bekerja?”
“Iya sih mas.”
“Itulah sebabnya, kamu harus menunggu aku. Soalnya kadang-kadang aku berangkat dari kantor kesorean, dan toko kamu sudah tutup.”
“Kami tutup jam tiga mas.”
“Akan aku usahakan sampai ditoko sebelum jam tiga.”
“Baiklah mas.”
Andra tersenyum lega setelah berpesan pada Melani. Artinya nanti Melani pasti akan menunggu, seandainya dia datang terlambat.
“Mas, mas Andra dipanggil bapak tuh,” kata Sasa ketika baru saja masuk ke ruangannya. Tampaknya dia juga dari ruang ayahnya.
“Baiklah. Aku baru saja menelpon Melani.”
“Kamu sudah mengatakannya?”
“Belum, aku bilang akan menjemput dia, disana nanti aku akan mengatakannya.”
“Ya sudah, sekarang ke ruang bapak dulu, nanti kelamaan bapak menunggu.”
***
“Mas kok sudah pulang? Masih agak siang nih.”
“Mas kan nggak bawa mobil, tadi diantar Andra karena dia juga pulang agak siangan.”
“O iya, Andra bilang tadi mau pulang agak siang karena mau menjemput Melani. Andra langsung pergi?”
“Iya benar. Kamu lagi ngapain, kelihatan sibuk banget?”
“Lagi menata kamar sebelah itu.”
“Memangnya mau ada tamu?”
“Bukan tamu. Nanti kan Andra mau mengajak Melani kemari, Kalau mau aku akan minta dia tidur disini.”
“Tadi Andra dan Sasa sudah cerita, jadi benar Melani itu anaknya Anindita ?”
“Iya mas, aku lumayan terhibur bisa menemukan darah daging. Hanya masalahnya keberadaan Anindita belum jelas dimana.”
“Kita harus sabar dan selalu berdoa ya Mar.”
“Iya mas. Aku selesaikan dulu membenahi kamarnya ya mas, kurang menata guling sama bantalnya. Maaf, minuman mas belum aku siapkan. Sebentar ya mas.”
“Perlu aku bantu ?”
“Tidak mas, sudah hampir selesai. Setelah ini aku siapkan minum dan camilan untuk mas.”
“Baiklah, aku juga mau mandi dulu saja.”
***
“Pak, tadi jeng Yayuk bilang, Indi sepertinya mulai mau mendengar kata-kata ibunya,” kata bu Cokro siang itu.
“Aduh. Itu lagi.. itu lagi..” kata pak Cokro kesal.
“Bapak ini lho, kalau dikasih tahu bukannya membantu usaha ibu, malah seperti menyalahkan ibu terus. Apa salah kalau aku memilihkan yang terbaik untuk anakku?”
“Yang terbaik itu yang seperti apa?”
“Ya pastinya yang pantas dong. Pantas berdampingan sama anak kita, pantas menjadi menantu kita. Tidak sembarangan lho memilih menantu itu.”
“Yang sembarangan memilih itu kamu bu.”
“Kok bisa aku sih ?”
“Iya lah.. kan kamu memilih tanpa tahu apakah Abi suka atau tidak?”
“Biasa lah, awal-awalnya pada bilang nggak suka. Nanti kalau sudah berdekatan mana bisa bilang nggak suka? Memangnya ibu memilih tanpa memikirkan baik buruknya?”
“Kamu tidak bisa begitu bu, itu namanya memaksakan kehendak. Lama-lama aku bosan mendengar penuturan yang itu-itu saja.”
“Bapak kok gitu sih, apa tidak memikirkan kebahagiaan anak?”
“Justru bapak yang memikirkan kebahagiaan anak. Kalau memikirkan kebahagiaan anak, tanya apa dia suka. Kalau nggak suka ya jangan dipaksa dong. Itu bukan kebahagiaan anak, tapi kepuasan ibu sendiri.”
“Bapak masih tidak bisa memahami keinginan ibu.”
“Sangat paham. Dan dengar ya, aku tidak mau mendengar ibu bicara tentang Indi lagi.”
“Bapak gimana sih ?”
“Sekarang bapak beri tahu ibu ya, Abi itu sudah punya pilihan.”
“Apa?” tanya bu Cokro sambil membelalakkan matanya.
“Abi sudah punya pilihan, jadi jangan dipaksa-paksa juga.”
“Siapa memangnya pilihan Abi itu ?”
“Bapak sendiri belum tahu, karena Abi juga belum memberi tahu. Tapi bahwa dia sudah punya pilihan, dia sudah pernah mengatakannya pada bapak.”
“Harus dilihat dong, pilihannya seperti apa. Jangan asal memilih, nanti salah pilih, malah menjatuhkan martabat kita.”
“Ah, mana ada matabat jatuh gara-gara menantu.”
“Bapak selalu deh bikin kesel.”
“Ibu juga.”
“Hiih... ya sudah, terserah bapak saja, tapi awas ya, kalau pilihan Abi nggak sesuai dengan selera ibu.”
“Yang menjalani itu Abi, bukan ibu, mengapa harus sesuai dengan selera ibu. Sesuai selera Abi dong.”
Bu Cokro mengerucutkan mulutnya dengan sebal, lalu berdiri meninggalkan pak Cokro sendirian. Pak Cokro hanya geleng-geleng kepala. Entah siapa pilihan Abi sebenarnya, dan pak Cokro merasa bahwa isterinya pasti bakal menentangnya, karena Abi sudah menggambarkan bahwa gadis pilihannya adalah gadis yang biasa-biasa saja.
***
“Kok pulang agak sore Sa?” tanya Laras kepada Sasa, ketika pulangnya terlambat.
“Iya bu, om Panji sama mas Andra pulang agak siang. Sasa harus menyelesaikan pekerjaan dulu.”
“Tumben mas Panji pulang bareng Andra?”
“Om Panji tidak membawa mobil, sedangkan mas Andra buru-buru pulang karena mau menjemput Melani.”
“Duuh, ibu ikut senang, Melani ternyata keponakannya mbak Maruti. Biarpun adiknya belum ketemu, tapi hadirnya Melani semoga bisa sedikit mengobati.”
“Iya, kata mas Andra, tante Maruti ingin segera ketemu lagi sama Melani. Tapi yang aku heran, siapa ya wanita kejam itu? Ketika menelpon mas Andra, mas Andra bilang kalau tawa wanita itu seperti iblis. Mungkin saking kejamnya dan kasarnya wanita itu berkata-kata.”
“Apakah dia sangat membenci Anin ya? Tampaknya dia tahu banyak tentang Anin.”
“Nah, herannya Sasa juga tuh bu, apakah mungkin tante Anindita punya musuh? Pasti dia juga yang menculik Melani dan dibuang seenaknya. Apa dosa tante Anindita sampai mendapat perlakuan seperti itu ? Beruntung simbok merawatnya dengan kasih sayang.”
Tiba-tiba pikiran Laras melayang kearah puluhan tahun silam. Seorang dokter cantik bernama Santi melakukan hal kejam terhadap Anin, Bahkan Sasa juga terbawa-bawa. Anindita lah yang menyelamatkan Sasa dari kekejaman ibunya. Mungkinkah dia pelakunya? Ia ingin mengatakan dugaannya, tapi diurungkannya. Bukankah dokter Santi itu ibu kandungnya Sasa? Benar, dokter Santi tega berbuat kejam, karena keinginannya tidak tercapai. Mungkin dia sudah keluar dari penjara, lalu ketemu Anindita, kemudian melampiaskan dendamnya.
“Aduuh, apa ya yang dilakukannya terhadap Anindita?” bisik Laras dengan wajah gelisah.
“Apa yang ibu pikirkan ? Ibu bisa mengira-ira siapa penjahat kejam itu?”
“Tidak.. entah siapa, mana ibu tahu. Tapi dia memang kejam. Ya sudah, kita doakan yang terbaik untuk keluarganya om Panji ya Sa?”
“Iya bu. Kasihan kalau tante Anindita tidak segera ditemukan. Semoga wanita jahat itu segera mendapatkan hukuman.”
Laras menghela napas panjang. Seandainya Sasa tahu siapa wanita yang dimaksudnya.
***
Andra bersyukur, dia sudah sampai didepan toko dimana Melani bekerja, dan toko itu belum tutup. Padahal sudah jam tiga lebih. Tampaknya ada pembeli yang memborong barang-barang, untuk dijual lagi. Andra menunggunya dengan sabar. Ia bayangkan, bagaimana ibunya akan senang sekali menerima kedatangan Melani nanti.
Andra memutar lagu-laku dari tape recorder yang ada di mobilnya, sambil mengetuk-ngetukkan tangannya pada setir mobil.
Tiba-tiba matanya menangkap sebuah mobil, yang tiba-tiba parkir didepannya. Andra seperti mengenal mobil itu.
“Bukankah itu mobilnya Abi ?” bisiknya perlahan.
***
Besok lagi ya.