Saturday, October 30, 2021

MELANI KEKASIHKU 13

 

MELANI KEKASIHKU  13

(Tien Kumalasari)

 

“Ada apa mas?” tanya Sasa yang heran melihat sikap Andra yang seperti orang sedang gelisah.

“Perempuan itu, tampaknya dia yang menculik Melani.”

“Dia? Yang menelpon tadi? Dia bilang begitu?”

“Suaranya amat pedas dan kasar. Terlontar nama Anindita dari mulutnya.”

“Jadi dia tahu tentang tante Anin?”

“Nama itu meluncur begitu saja dari mulutnya, mungkin tidak disengaja, tapi jelas dia mengenalnya.”

“Apa dia bilang bahwa ibunya Melani adalah tante Anindita?”

“Tidak jelas bilang begitu, tapi aku merasa bahwa itu memang benar. Dia bilang bahwa Melani tak akan pernah ketemu ibunya. Dia juga bilang bahwa tante sudah meninggal.”

“Ya Tuhan..

“Tapi aku merasa dia bohong. Perempuan itu entah kenapa, dia sangat membenci tante. Kata-katanya sangat kasar dan penuh ejekan. Dia tertawa seperti iblis.”

“Mengapa dia sangat membenti tante Anindita?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku tidak percaya kalau tante sudah meninggal. Tampaknya dia hanya ingin menghalangi agar Melani tak bisa ketemu ibunya.”

“Perempuan itu jahat sekali.”

“Bahwa Melani adalah saudara sepupuku, tampaknya sudah tergambar lebih jelas, sekarang yang aku ingin tahu, dimana tante Anindita,” kata Andra pilu, sambil menyandarkan kepalanya.

“Sabar mas, sebuah rahasia sudah terkuak bukan? Tinggal selangkah lagi kita akan menemukan tante.”

“Itu yang aku belum tahu caranya. Tampaknya sangat sulit, seperti mencari jarum ditengah tumpukan jerami.”

“Mungkin sulit, tapi bukan berarti tidak bisa kan?”

“Aku harus bilang apa sama ibu? Kalau aku bilang seperti apa yang dikatakan perempuan itu, bahwa tante sudah meninggal, pasti ibu akan sedih.”

“Jangan dulu bilang begitu mas. Bilang saja bahwa si penelpon tidak tahu keberadaan tante. Lagian belum jelas kan?”

“Memang belum, tampaknya dia bohong. Dia hanya ingin melampiaskan kebencian saja.”

“Berarti kamu jangan dulu bilang sama tante Maruti tentang apa yang dikatakan penelpon itu. Satu yang kamu yakini adalah bahwa benar Melani anaknya tante Anin.”

“Iya, itulah yang akan aku lakukan.”

“Apa kamu juga akan segera mengabarkan berita ini pada Melani?”

“Tentu saja ‘ya’. Soalnya itu menentukan status dia sebagai keponakan ibu. Walau sedikit, biarlah ibu terhibur dengan kehadiran Melani.”

“Nah, sekarang tenangkan hati mas Andra. Sambil memikirkan langkah selanjutnya, tanda tangani dulu surat-surat itu, karena harus segera dikirimkan. Nanti om Panji menegur aku lho.”

“Baiklah, biar aku teliti dulu sebentar.”

***

“Benarkah ? Benarkah Melani anaknya Anindita?”

“Perempuan itu tidak bicara jelas, tapi dia menyebut nama tante. Mungkin keceplosan, entahlah, barangkali Allah ingin menunjukkan sebuah kebenaran dengan disebutnya nama tante. Kan di iklan itu tidak ada yang menyebutkan nama tante? Tiba-tiba dia mengatakannya.”

“Lalu dimana tante kamu?”

“Dia.. dia tidak bilang. Dia tak mau mengatakannya,” kata Andra sedikit berbohong.

“Aku hampir yakin, bahwa pastilah ini ulah dia.”

“Dia siapa bu?”

“Dokter Santi.”

“Dokter Santi? Seorang dokter melakukan hal sekeji itu ?”

“Dulu dia dokter, tapi kemudian dia dipenjara. Setelah itu mungkin dia tak lagi memiliki ijin praktek atau apa, entahlah, tapi dengar-dengar dia pindah ke Jakarta.”

“Mengapa dia seperti membenci tante?”

“Ceritanya panjang. Nanti kapan-kapan ibu akan cerita.”

“Andra akan berusaha mencari, dimana tante berada. Ibu jangan sedih ya, paling tidak ibu sudah tahu bahwa Melani adalah keponakan ibu.”

“Ya Tuhan, besok kamu harus mengajak Melani datang kemari. Dia harus tahu bahwa ibu ini adalah bude bagi dia.”

“Iya bu, Andra juga belum sempat mengabari Melani.”

“Aku sudah merasa, bahwa Melani adalah darah dagingku.”

“Besok akan Andra jemput dia ditempat kerjanya, dan langsung Andra bawa kehadapan ibu.”

“Terimakasih Andra, ada sedikit hasil dari upaya kamu. Semoga kita segera tahu dimana keberadaan tante kamu.”

“Aamiin. Kita harus selalu berdoa disamping berusaha ya bu.”

“Iya Ndra, kamu benar.”

***

“Melani, nanti kamu jangan langsung pulang. Seandainya sudah waktunya kamu pulang kerja, dan aku belum datang, maka kamu harus menunggu. Ya,” kata Andra ketika menelpon Melani.

“Memangnya ada apa mas? Kan Melan sudah bilang, mas Andra tidak usah selalu menjemput Melani.”

“Ada sesuatu yang penting kamu ketahui.”

“Apa itu ?”

“Nanti kamu akan mendengarnya. Kalau sekarang nggak enak ngomongnya, lagi pula kan kamu sedang bekerja?”

“Iya sih mas.”

“Itulah sebabnya, kamu harus menunggu aku. Soalnya kadang-kadang aku berangkat dari kantor kesorean, dan toko kamu sudah tutup.”

“Kami tutup jam tiga mas.”

“Akan aku usahakan sampai ditoko sebelum jam tiga.”

“Baiklah mas.”

Andra tersenyum lega setelah berpesan pada Melani. Artinya nanti Melani pasti akan menunggu, seandainya dia datang terlambat.

“Mas, mas Andra dipanggil bapak tuh,” kata Sasa ketika baru saja masuk ke ruangannya. Tampaknya dia juga dari ruang ayahnya.

“Baiklah. Aku baru saja menelpon Melani.”

“Kamu sudah mengatakannya?”

“Belum, aku bilang akan menjemput dia, disana nanti aku akan mengatakannya.”

“Ya sudah, sekarang ke ruang bapak dulu, nanti kelamaan bapak menunggu.”

***

“Mas kok sudah pulang? Masih agak siang nih.”

“Mas kan nggak bawa mobil, tadi diantar Andra karena dia juga pulang agak siangan.”

“O iya, Andra bilang tadi mau pulang agak siang karena mau menjemput Melani. Andra langsung pergi?”

“Iya benar. Kamu lagi ngapain, kelihatan sibuk banget?”

“Lagi menata kamar sebelah itu.”

“Memangnya mau ada tamu?”

“Bukan tamu. Nanti kan Andra mau mengajak Melani kemari, Kalau mau aku akan minta dia tidur disini.”

“Tadi Andra dan Sasa sudah cerita, jadi benar Melani itu anaknya Anindita ?”

“Iya mas, aku lumayan terhibur bisa menemukan darah daging. Hanya masalahnya keberadaan Anindita belum jelas dimana.”

“Kita harus sabar dan selalu berdoa ya Mar.”

“Iya mas. Aku selesaikan dulu membenahi kamarnya ya mas, kurang menata guling sama bantalnya. Maaf, minuman mas belum aku siapkan. Sebentar ya mas.”

“Perlu aku bantu ?”

“Tidak mas, sudah hampir selesai. Setelah ini aku siapkan minum dan camilan untuk mas.”

“Baiklah, aku juga mau mandi dulu saja.”

***

“Pak, tadi jeng Yayuk bilang, Indi sepertinya mulai mau mendengar kata-kata ibunya,” kata bu Cokro siang itu.

“Aduh. Itu lagi.. itu lagi..” kata pak Cokro kesal.

“Bapak ini lho, kalau dikasih tahu bukannya membantu usaha ibu, malah seperti menyalahkan ibu terus. Apa salah kalau aku memilihkan yang terbaik untuk anakku?”

“Yang terbaik itu yang seperti apa?”

“Ya pastinya yang pantas dong. Pantas berdampingan sama anak kita, pantas menjadi menantu kita. Tidak sembarangan lho memilih menantu itu.”

“Yang sembarangan memilih itu kamu bu.”

“Kok bisa aku sih ?”

“Iya lah.. kan kamu memilih tanpa tahu apakah Abi suka atau tidak?”

“Biasa lah, awal-awalnya pada bilang nggak suka. Nanti kalau sudah berdekatan mana bisa bilang nggak suka? Memangnya ibu memilih tanpa memikirkan baik buruknya?”

“Kamu tidak bisa begitu bu, itu namanya memaksakan kehendak. Lama-lama aku bosan mendengar penuturan yang itu-itu saja.”

“Bapak kok gitu sih, apa tidak memikirkan kebahagiaan anak?”

“Justru bapak yang memikirkan kebahagiaan anak. Kalau memikirkan kebahagiaan anak, tanya apa dia suka. Kalau nggak suka ya jangan dipaksa dong. Itu bukan kebahagiaan anak, tapi kepuasan ibu sendiri.”

“Bapak masih tidak bisa memahami keinginan ibu.”

“Sangat paham. Dan dengar ya, aku tidak mau mendengar ibu bicara tentang Indi lagi.”

“Bapak gimana sih ?”

“Sekarang bapak beri tahu ibu ya, Abi itu sudah punya pilihan.”

“Apa?” tanya bu Cokro sambil membelalakkan matanya.

“Abi sudah punya pilihan, jadi jangan dipaksa-paksa juga.”

“Siapa memangnya pilihan Abi itu ?”

“Bapak sendiri belum tahu, karena Abi juga belum memberi tahu. Tapi bahwa dia sudah punya pilihan, dia sudah pernah mengatakannya pada bapak.”

“Harus dilihat dong, pilihannya seperti apa. Jangan asal memilih, nanti salah pilih, malah menjatuhkan martabat kita.”

“Ah, mana ada matabat jatuh gara-gara menantu.”

“Bapak selalu deh bikin kesel.”

“Ibu juga.”

“Hiih... ya sudah, terserah bapak saja, tapi awas ya, kalau pilihan Abi nggak sesuai dengan selera ibu.”

“Yang menjalani itu Abi, bukan ibu, mengapa harus sesuai dengan selera ibu. Sesuai selera Abi dong.”

Bu Cokro mengerucutkan mulutnya dengan sebal, lalu berdiri meninggalkan pak Cokro sendirian. Pak Cokro hanya geleng-geleng kepala.  Entah siapa pilihan Abi sebenarnya, dan pak Cokro merasa bahwa isterinya pasti bakal menentangnya, karena Abi sudah menggambarkan bahwa gadis pilihannya adalah gadis yang biasa-biasa saja.

***

“Kok pulang agak sore Sa?” tanya Laras kepada Sasa, ketika pulangnya terlambat.

“Iya bu, om Panji sama mas Andra pulang agak siang. Sasa harus menyelesaikan pekerjaan dulu.”

“Tumben mas Panji pulang bareng Andra?”

“Om Panji tidak membawa mobil, sedangkan mas Andra buru-buru pulang karena mau menjemput Melani.”

“Duuh, ibu ikut senang, Melani ternyata keponakannya mbak Maruti. Biarpun adiknya belum ketemu, tapi hadirnya Melani semoga bisa sedikit mengobati.”

“Iya, kata mas Andra, tante Maruti ingin segera ketemu lagi sama Melani.  Tapi yang aku heran, siapa ya wanita kejam itu? Ketika menelpon mas Andra, mas Andra bilang kalau tawa wanita itu seperti iblis. Mungkin saking kejamnya dan kasarnya wanita itu berkata-kata.”

“Apakah dia sangat membenci Anin ya? Tampaknya dia tahu banyak tentang Anin.”

“Nah, herannya Sasa juga tuh bu, apakah mungkin tante Anindita punya musuh? Pasti dia juga yang menculik Melani dan dibuang seenaknya. Apa dosa tante Anindita sampai mendapat perlakuan seperti itu ? Beruntung simbok merawatnya dengan kasih sayang.”

Tiba-tiba pikiran Laras melayang kearah puluhan tahun silam. Seorang dokter cantik bernama Santi melakukan hal kejam terhadap Anin, Bahkan Sasa juga terbawa-bawa. Anindita lah yang menyelamatkan Sasa dari kekejaman ibunya. Mungkinkah dia pelakunya? Ia ingin mengatakan dugaannya, tapi diurungkannya. Bukankah dokter Santi itu ibu kandungnya Sasa? Benar, dokter Santi tega berbuat kejam, karena keinginannya tidak tercapai. Mungkin dia sudah keluar dari penjara, lalu ketemu Anindita, kemudian melampiaskan dendamnya.  

“Aduuh, apa ya yang dilakukannya terhadap Anindita?” bisik Laras dengan wajah gelisah.

“Apa yang ibu pikirkan ? Ibu bisa mengira-ira  siapa penjahat kejam itu?”

“Tidak.. entah siapa, mana ibu tahu. Tapi dia memang kejam. Ya sudah, kita doakan yang terbaik untuk keluarganya om Panji ya Sa?”

“Iya bu. Kasihan kalau tante Anindita tidak segera ditemukan. Semoga wanita jahat itu segera mendapatkan hukuman.”

Laras menghela napas panjang. Seandainya Sasa tahu siapa wanita yang dimaksudnya.

***

Andra bersyukur, dia sudah sampai didepan toko dimana Melani bekerja, dan toko itu belum tutup. Padahal sudah jam tiga lebih. Tampaknya ada pembeli yang memborong barang-barang, untuk dijual lagi. Andra menunggunya dengan sabar. Ia bayangkan, bagaimana ibunya akan senang sekali menerima kedatangan Melani nanti.

Andra memutar lagu-laku dari tape recorder yang ada di mobilnya, sambil mengetuk-ngetukkan tangannya pada setir mobil.

Tiba-tiba matanya menangkap sebuah mobil, yang tiba-tiba parkir didepannya. Andra seperti mengenal mobil itu.

“Bukankah itu mobilnya Abi ?” bisiknya perlahan.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Friday, October 29, 2021

MELANI KEKASIHKU 12

 

MELANI KEKASIHKU  12

(Tien Kumalasari)

 

“Tumben ya, tak ada koran hari ini,” kata sang suami ketika sarapan pagi.

“Cuma nggak ada koran saja, mengapa dipikirkan? Berita bisa dilihat dari televisi kan?” jawab isterinya.

Keduanya makan dengan berdiam diri. Entah mengapa pagi itu sang suami tidak banyak bicara. Wajahnya agak pucat, dan hanya makan sedikit sekali.

“Kamu sakit?”

“Tidak.”

“Wajahmu agak pucat, dan makan hanya sedikit, kenapa?”

Perasaanku tidak enak sejak beberapa hari terakhir ini.”

“Tidak enak bagaimana?”

“Ya tidak enak. Aku teringat anakku. Sudah sebesar apa ya sekarang ?”

Wajah sang isteri tiba-tiba muram. Matanya menatap tajam suaminya, dengan perasaan kesal.

“Kamu itu teringat anak kamu, atau teringat isteri kamu? Eh, bekas isteri kamu? Kamu kangen kan sama dia?”

“Jangan begitu Santi.”

“Kamu lupa ya, bagaimana kelakuan isteri kamu terhadap kamu? Kamu lupa penghianatan yang sudah dilakukannya? Apa kamu sebenarnya tidak mempercayai bukti-bukti foto dia bersama selingkuhannya yang pernah aku tunjukkan sama kamu? Sudah berpuluh tahun silam, tapi aku masih menyimpan kok fotonya. Kalau kamu tidak sakit hati, akulah yang sakit, karena aku sangat menyayangi kamu.”

“Kok kamu jadi panjang lebar begitu? Aku cuma kangen sama anakku.”

“Anak kamu sudah bersamanya, dan pasti dirawatnya dengan baik. Apa kamu menyesal karena aku tidak bisa melahirkan anak untuk kamu? Dulu kamu bilang tidak masalah. Tapi kamu sekarang menyesalinya kan?”

“Kamu bicaranya jadi tidak karuan,” kata sang suami sambil meneguk minumannya, lalu berdiri dan menjauh.

“Mas Anggoro.. Dengar dulu,” teriak isterinya.

“Sudah kesiangan, aku mau ke kantor,” katanya sambil meraih tas kerjanya dan beranjak keluar.

Santi, sang isteri mengejarnya dengan kemarahan yang meluap-luap.

“Mas, dengar aku.”

“Aku sudah sering mendengar omelan seperti itu, lebih baik aku segera pergi, aku bosan.” Katanya sambil turun dari teras dan menghampiri mobilnya.

“Aku melakukan itu karena aku mencintai kamu. Aku pikir kamu sudah melupakan dia setelah bertahun-tahun menjadi suami aku. Kurang apa aku ini? Perhatian yang aku curahkan sama kamu sudah tidak tanggung-tanggung.”

Anggoro masuk kedalam mobilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun, lalu menstrarternya dan menjalankan mobilnya keluar dari halaman.

Santi membanting-banting kakinya dengan marah, lalu masuk kedalam rumah dan membanting cangkir bekas minuman kopi pagi mereka sehingga pecah berantakan.

Santi membiarkannya. Ia duduk disofa setelah melemparkan bantal-bantal sofa yang semula tertata rapi.

“Kurangajar dia. Setelah bertahun-tahun menjadi suami aku, ternyata kamu masih ingat dia. Kurang apa aku ini ?”

Lalu asbak yang terletak dimeja dilemparkannya sehingga mengenai televisi, ambyar.

“Dimana kamu Anindita, dimana? Aku akan membunuh kamu !!” teriaknya meluap-luap.

Lalu ia teringat koran pagi itu, yang disembunyikannya dibawah meja. Ia membukanya, menatap foto gadis cantik yang terpampang di iklan itu, dan gambar baju bayi bertuliskan namanya. MELANI.

“Aku benci..aku benci. Ternyata kamu masih hidup?”

Lalu Santi merobek-robek koran itu dan menghamburkan serpihan-serpihan koran itu ke seluruh ruangan. Ia seperti orang kesurupan.

“Dimana kamu Anindita? Aku akan membunuh kamu !!”

Entah mengapa ia marah tk terkendali.

“Akan aku cari anak itu, akan aku hancurkan hidupnya!”

Santi mencari robekan koran, ia lupa mencatat nomor kontak yang tadi ada pada iklan itu. Kemudian ia memunguti serpihan demi serpihan, tapi dengan kesal ia tak berhasil menyatukan kembali serpihan itu sehingga nomor kontak yang ada, hilang entah kemana.

“Sialan! Mengapa aku tak mencatatnya lebih dulu?”

Sebuah ketukan pintu terdengar.

Santi menoleh kearah pintu, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.

“Selamat pagi bu,”

“Mengapa sudah siang baru datang?” hardik Santi. Yang datang adalah pembantunya. Entah pembantu yang keberapa, karena kebanyakan dari mereka tak ada yang betah bekerja di rumah itu lebih dari sebulan. Mereka menganggap majikan mereka tidak lumrah seperti majikan lainnya. Sering marah-marah tanpa sebab. Sering membanting gelas piring dan apapun yang ada didekatnya, tanpa sebab yang jelas.

“Mengapa baru datang?” hardiknya lagi.

“Maaf bu, anak saya sakit, tadi harus mengantarkannya ke puskesmas.”

“Tidak peduli anak setan atau ana siapa yang sakit, kalau bekerja itu ya harus bekerja.”

“Maaf bu,” jawab pembantu itu yang melebarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan, dan melihat rumah itu berantakan, bahkan layar televisi pecah berhamburan. Bulu kuduk pelayan itu merinding. Rupanya baru saja ada bom meledak dirumah itu.

“Jangan hanya melotot. Bersihkan semuanya sampai bersih !” katanya sambil berdiri dan masuk kedalam kamarnya, kemudian menutupnya dengan membanting pintu keras-keras.

“Ya Tuhan, setan mana yang merasukinya?” bisik pembantu itu sambil mencari sapu dan siap membersihkan rumah dari guncangan gempa yang entah apa sebabnya. Tapi dalam hati dia sudah mengatakannya, bahwa ini adalah hari terakhir dia bekerja dirumah itu. Ia baru sadar bahwa majikannya memang agak-agak gila.

***

Ketika Anggoro pulang dari kantor, rumah itu sudah kelihatan rapi. Santi menyambutnya dengan manis, seperti tak pernah terjadi apapun. Ia sudah menyiapkan kopi manis kesukaan suaminya, dan menemaninya duduk didepan televisi.

“Ini televisi baru?” tanya Anggoro.

“Ya, baru.”

“Kamu membeli baru?”

“Ya iya lah mas, masa boleh minta–minta, ya harus beli lah.”

“Mengapa beli baru?”

“Yang lama sudah rusak.”

“Rusak? Aku masih melihat dan tidak apa-apa, gambarnya bagus, suaranya bagus.”

“Ada chanel yang tidak bisa tertayang dengan baik. Lalu gambarnya kabur. Itu ketika aku meliatnya setelah mas pergi. Kesal aku, lalu memesan yang baru. Dan sudah dikirim, bagus kan ?”

“Yang lama mana ?”

“Aku berikan kepada tukang loak.”

Anggoro menghela napas panjang. Menikmati acara televisi dengan perasaan kurang senang. Isterinya ini suka sekali menghambur-hamburkan uang. Apapun yang membuatnya kecewa, segera ganti baru. Ia tak tahu bahwa televisi sebelumnya sudah ambyar karena dilempar asbak kaca yang juga ikut ambyar bersamanya.

“Mana asbakku ?”

“Oh, ada dibelakang, lupa mengembalikan, tadi dicuci bibik.”

“Aku ingin merokok,” kata Anggoro sambil mengambil rokok dari dalam sakunya.

“Oh, baiklah, aku ambilkan,” katanya sambil berdiri.

“Kok ini? Yang biasanya mana ?”

Santi lupa membeli asbak baru yang biasa dipakai suaminya, karena dia memang tidak kemana-mana. Tapi ia selalu bisa menjawabnya.

“Masih basah mas, ini kan juga asbak. Pakai ini dulu kan nggak apa-apa.”

Anggoro diam dan mulai menyulut rokoknya.

“Kapan mas berhenti merokok? Rokok itu kan tidak sehat.”

“Kata siapa?”

“Kataku lah, aku kan dokter.”

“Tidak semua kata dokter itu benar. Ada bapaknya temanku, umurnya sudah delapanpuluh dua tahun, setiap hari menghembuskan asap dari mulutnya seperti lokomotif. Dia sehat tuh. Sehat sekali bahkan.”

Santi mencibir. Tapi sungguh ia mengagumi suaminya ketika sedang menghisap rokok. Ia tampak gagah dan jantan, dan itu sebabnya dia berjuang setengah mati agar bisa merebutnya dari tangan isterinya.

 “Sebenarnya aku suka melihat kamu merokok,” bisiknya sambil menatap suaminya penuh kagum.

“Itu aku sudah tahu,” kata Anggoro dingin.

Anggoro heran, bagaimana dia bisa terpikat oleh dokter cantik yang kadang-kadang bisa bersikap kasar ini. Ia jauh bedanya dengan isterinya yang terdahulu, yang bukan hanya cantik, tapi lembut dan sabar.

Satu-satunya kelebihan Santi adalah dia hebat diatas ranjang. Itu yang Anggoro sering tak bisa melupakan.

Tapi entah mengapa, beberapa hari terakhir ini ia teringat kepada anak satu-satunya yang terpaksa berpisah dengan dirinya. Isterinya selingkuh. Aduhai, alangkah sakit hati mengetahui isteri  yang sangat dicintainya bermain cinta dengan pria lain.

Ia sungguh tak mengira. Bahwa banyak laki-laki tergila-gila pada isterinya, itu tak bisa dipungkirinya, karena setiap kali ia mengajak isterinya ke sebuah acara, teman-temannya selalu memuji-mujinya. Bahkan ada yang iseng menggodanya. Bukan apa-apa, Anggoro bangga bisa memilikinya. Tapi ketika pada suatu hari didengarnya sebuah telpon yang mengatakan bahwa isterinya berselingkuh, hati Anggoro teramat sakit. Dan bukan hanya telpon itu, sebungkus paket berisi foto-foto Anindita yang sedang bersama laki-laki lain, diterimanya dengan tangan gemetar.

“Tidak mas, demi Allah aku bersumpah, aku tidak kenal laki-laki itu,” tangis Anindita ketika Anggoro menuduhnya dengan kemarahan meluap.

“Jangan membawa-bawa nama Tuhan. Kamu berbuat nista. Aku sudah memiliki buktinya. Lihat ini !!

Beberapa lembar foto terserak didepan Anindita. Membuatnya terbelalak. Itu wajahnya, dalam pelukan laki-laki asing yang tidak dikenalnya? Aneh, kapan kejadiannya dan siapa dia? Anindita tak pernah pergi kemana-mana.

“Hotel mana tempat kamu memadu cinta dengan mahluk ini ?” hardiknya.

“Tidak mas, aku tidak mengerti, bagaimana aku bisa berfoto dengan laki-laki itu. Aku tidak mengenalnya mas,” isaknya mengiris rasa, namun hati Anggoro sudah terlanjur hancur. Kemarahan membuat darahnya mendidih, dan melupakan akal sehat.

“Pergi dari sini, bawa anakmu sekalian !!”

Itu kata terakhir sebelum isterinya benar-benar pergi dari rumah.

“Mas, kok melamun, tuh, rokoknya hampir membakar jari mas lho.” Teriak Santi yang melihat Anggoro tidak menghisap rokoknya karena melamun.

Anggoro terkejut. Ia meletakkan rokok itu diasbak yang disediakan isterinya. Lalu menyapu wajahnya dengan kedua tangannya.

“Mas memikirkan apa lagi? Jangan bilang kalau....”

“Tidak.. tidak.. aku mau tidur saja..” kata Anggoro sambil beranjak dan berjalan kearah kamarnya. Santi merasa kesal, tapi didepan suaminya dia tak mau berbuat kasar. Ia menyimpan kekesalan itu untuk mengobrak abrik rumahnya pada keesokan harinya. Selalu begitu kalau dia marah. Ia sangat pintar menyembunyikan kegilaannya, karena takut Anggoro meninggalkannya. Santi bukan lagi wanita waras, sejak keluar dari penjara. Ketika ketemu Anggoro disebuah pesta temannya, ia langsung jatuh cinta, dan bersumpah ingin memilikinya dengan segala cara.

***

“Mas, ini sudah selesai semua, mau ditandatangani sekarang?” kata Sasa saat sudah menyelesaikan tugasnya.

“Iya, taruh di meja dulu, nanti aku periksa,” kata Andra.

“Lagi mikirin apa? Dari tadi ngelamun.”

“Sudah dua hari iklan ditayangkan, tapi belum ada tanggapan dari siapapun.”

“Sabar lah mas, nanti juga pasti ada.”

“Ibu sudah khawatir, kalau iklan itu tidak membuahkan hasil.”

“Baru dua hari, siapa tahu nanti akan ada hasilnya.”

“Semoga saja..”

“Bagaimana kabar Melani? Pastinya sekarang sudah tahu kalau dia bukan anaknya simbok.”

“Aku waktu itu kelepasan bicara, dan dia mendengarnya.”

“Tapi tidak salah kalau Melani segera tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Dia sudah dewasa, dan berhak tahu kan ?”

“Pasti simbok sudah mengatakannya. Aku ingin ketemu dia, tapi belum sempat juga.”

“Temui saja lah mas, nggak bagus menahan kangen, nanti bisa terbawa mimpi lho.”

“Kamu ada-ada saja.”

“Itu benar kan?”

“Perasaanku sudah berbeda.”

“Begitu cepat ?”

“Kalau dia benar sepupuku, aku tidak boleh punya perasaan seperti itu.”

“Oh, gitu ya. Kemungkinan itu ada kah?”

“Banyak kemungkinan, melihat wajahnya yang mirip.”

“Sekarang semuanya masih menjadi teka-teki. Semoga saja segera terungkap semua misteri ini.”

Andra buru-buru mengangkat ponselnya ketika mendengar dering telpon.

“Tak ada namanya, haruskah diangkat ?” tanya Andra.

“Siapa tahu itu informasi yang kita harapkan. Angkat saja mas.”

Andra mengangkatnya hati-hati.

“Hallo..”

“Haa.. ini saya bicara dengan siapa ya?” suara lantang seorang wanita.

“Harusnya anda yang mengatakan, anda itu siapa dan mau ketemu siapa.” Kata Andra kesal.

“Oh, baiklah, saya hanya ingin mengatakan informasi tentang Anindita. Eett... aku kelepasan bicara,” lalu terdengar suara ngakak yang menyebelkan dari wanita penelpon itu. Tapi hati Andra terkesiap. Wanita itu menyebut nama tantenya.

“Anda mengenal Anindita ?”

“Wanita tak berguna itu, tentu saja aku mengenalnya.”

“Dimana dia? Apakah Melani anaknya ?”

“Oh, bayi itu masih hidup? Iya benar, tapi jangan harap bisa bertemu dengan ibunya.”

“Katakan dengan jelas.”

“Mungkin ibunya sudah mati.”

“Apa?”

Tapi wanita itu keburu menutup ponselnya. Andra menelponnya balik, tapi tak ada lagi suara menjawab. Ponsel itu sudah dimatikan. Gemetar tangan Andra ketika meletakkan ponselnya dimeja.

***

Besok lagi ya

Thursday, October 28, 2021

MELANI KEKASIHKU 11

 

MELANI KEKASIHKU  11

(Tien Kumalasari)

 

Maruti tak pernah lupa, Anindita yang terkadang kemayu dan menggemaskan, membuat semua orang menyayanginya. Kejadian yang membuatnya berduka ketika itu adalah saat dokter Santi menculiknya bersama Sasa. Lalu kejadian itu membuat dokter Santi dipenjara.

Ibunya meninggal ketika Anindita sudah menikah dengan Anggoro, seorang pengusaha dari Jakarta. Maruti sangat senang, dan berharap Anindita berbahagia disamping suami yang mencintainya. Dengan begitu akan ada yang menjaga Anindita biarpun jauh darinya.

Saat itu Maruti mengira Anindita sibuk sebagai ibu rumah tangga, dan Maruti mengabaikannya. Bertahun-tahun kemudian, hubungan mereka terputus, karena sepertinya Anindita mengganti nomor kontaknya.

Entah mengapa, hari itu Maruti kembali teringat adiknya, dan seakan tak bisa menahan kerinduannya lagi.

“Maruti, kamu masih disini?” tiba-tiba Panji mendekati isterinya, yang masih melamun di teras.

“Oh, iya mas, udaranya segar disini, aku jadi mengantuk.”

“Ini hampir maghrib, tak baik dibawa tidur.”

“Iya ya mas, nggak terasa, sudah sore. Andra belum pulang?”

“Belum, ada urusan yang harus diselesaikannya.”

“Apa dia sudah memasang iklannya?”

“Besok pagi iklan itu akan ditayangkan di beberapa surat kabar.”

“Semoga iklan itu membawa hasil ya mas.”

“Semoga. Ayo masuk kerumah dan siap-siap. Sebentar lagi adzan.”

“Baiklah, sebenarnya aku sedang menunggu Andra.”

“Sebentar lagi dia pasti sudah sampai di rumah. Kamu jangan sedih begitu dong Mar, kita sedang berusaha, dan sabar menunggu hasilnya,  kan ? Ayolah terus berdoa, Allah pasti akan mendengar doa kita.”

Panji menarik tangan Maruti penuh rasa sayang, dan merangkulnya serta membawanya masuk ke dalam rumah. Maruti bergelayut manja dibahu laki-laki gagah yang sangat dicintainya, dan yang juga sangat mencintai dirinya.

“Kalau aku dan Andra ke kantor, kamu boleh jalan-jalan kemana saja. Kerumah teman kamu, ke rumah Laras, atau kamu bisa mengundangnya kemari agar hati kamu bisa terhibur,” kata Panji sambil membimbing isterinya ke dalam rumah.

“Iya mas, aku sudah janjian sama Laras. Besok dia akan datang kemari.”

“Bagus, kalian kan bisa bebincang apa saja, yang membuat kamu lebih tenang, lebih terhibur. Kalau kamu sendirian, hati kamu akan terus memikirkan hal yang membuat kamu sedih.”

Maruti mengangguk. Sesungguhnya ia tak ingin membawa suaminya kedalam suasana hatinya yang sedang sedih, tapi rasa sedih itu ternyata tak bisa disembunyikannya dari raut wajahnya.

***

“Kamu tidak kemana-mana Bi, ini kan hari Minggu?”

“Lagi males pak, menemani bapak saja dirumah, apalagi simbok kan sedang pulang kampung.”

“Kamu kalah sama ibu kamu. Biarpun hari Minggu, dia tak pernah melewatkan waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.”

“Ibu kan memang suka begitu pak. Tapi kalau bapak tidak suka, bapak kan bisa melarangnya?”

“Kamu seperti tidak tahu ibumu saja. Mana mau dia mendengarkan kata-kata bapak, apalagi melarang, wah.. bisa jadi perang nanti. Dan bapak itu kan orangnya nggak suka rame-rame begitu, jadi ya lebih baik bapak biarkan saja. Yang penting dia tidak melakukan hal yang buruk. Dan kalau ibumu senang, bapak juga senang kok.”

“Sebagai suami, bapak berhak dong melarang.”

“Lha kalau dilarang terus jadi rame, wah.. bapak nggak suka itu. Sudah biarkan saja semau dia. Kalau dirumah malah lebih banyak berkicaunya. Ya sudah, lebih baik bapak diamkan saja. Yang penting tidak kelewat batas. Misalnya pulang sampai malam. Itu yang bapak nggak suka.”

“Bapak sungguh baik.”

“Ah, kamu nih.. Oh ya, apa kabar gadis yang kamu suka itu? Kamu bilang kamu suka sama seseorang?”

“Bapak ingat saja,” kata Abi sambil tertawa.

“Ingat dong. Kalau ibumu memaksa kamu agar menikahi gadis pilihannya, maka bapak memaksa kamu agar berterus terang tentang gadis itu.”

“Abi suka, tapi Abi tidak tahu apakah dia suka sama Abi atau tidak.”

“Memangnya kamu belum berterus terang sama dia?”

“Belum.”

“Aduh, kamu tuh kelamaan Bi, kalau suka ya baiknya langsung tembak, tunggu apa sih. Keduluan orang lain baru tahu rasa kamu.”

“Bapak kok doanya jelek gitu.”

“Itu bukan doa. Bapak mengingatkan kamu, bahwa kalau memang kamu suka, ya langsung tembak saja.”

“Lagi nunggu saat yang baik pak.”

“Saat yang baik itu yang bagaimana?”

“Misalnya harus mencari tempat yang romantis, yang gimanaaa.. gitu, terus membawa bunga, atau kotak berisi cincin, terus Abi berlutut didepannya.. “

“Hahaaa.. kamu ini seperti hidup di alam sinetron saja. Klise itu Bi. Dulu di waktu muda, bapak nggak seperti kamu itu. Kelamaan dan nggak penting.”

“Dulu waktu sama ibu, bapak gimana dong?”

“O, kalau sama ibumu tuh, bapak dijodohin sama kakek. Pacar bapak banyak sebelum itu, tahu.”

“Waaah, bapak Don Yuan rupanya.”

“Terserah kamu mau bilang apa. Dulu bapak ini disukai banyak gadis-gadis. Tapi ya hanya sekedar jalan bersama, makan bersama .. gitu saja, nggak lebih.”

“Bagaimana bapak menyatakan cinta pada gadis yang bapak sukai?”

“Ajak dia makan, bilang aku suka. Selesai.”

“Terus kalau sudah bosan bapak tinggalkan dia?”

“Biasanya mereka yang meninggalkan bapak.”

“Memangnya kenapa? Nggak sayang meninggalkan cowok ganteng seperti bapak?”

“Kebanyakan dari mereka pergi karena cemburu. Ya sudah, bukan salah bapak kan? Mereka yang suka.”

Abi tertawa.

“Bapak itu beda sama kamu Bi, kamu sangat santun, seperti almarhum kakek kamu. Tapi bapak bukan laki-laki yang kurangajar lho. Bapak menghormati setiap wanita. Sungguh.”

“Petualangan itu berhenti setelah kenal sama ibu ?”

“Ya, kakek kamu kesal aku ganti-ganti pacar, lalu dijodohkan sama anak temannya, ya ibumu itu.”

“Syukurlah, dan lalu lahirlah Abisatya.”

“Kamu itu mengalihkan pembicraan saja, tadi bapak menanyakan sesuatu kan?”

“Iya, kan Abi sudah menjawab bahwa Abi tidak tahu apakah dia suka sama Abi atau tidak?”

“Tapi siapa dong gadis itu, apa bapak kenal sama dia?”

“Mm.. mungkin kenal..”

“Jadi penasaran nih bapak. Siapa dong?”

Tapi Abi sungguh beruntung, karena mobil yang membawa ibunya sedang memasuki halaman.

“Nah, itu ibu sudah datang, besok saja ya pak.”

“Lagi ngomongin apa nih, asyik banget,” kata bu Cokro sambil mendekat.

“Lagi ngomongin, ibu nanti kalau pulang bawa oleh-oleh apa ya?”

“Itu, ada kue-kue suguhan dari pertemuan tadi, ibu berikan sama sopir, biar dia bawa pulang.”

“Ya sudah, nggak apa-apa, yang penting ibu pulang,” kata pak Cokro bercanda.

“Ya pulang lah, masa nggak pulang. Oh ya Bi, tadi ibu ketemu Indi lagi. Dia titip salam sama kamu.”

“Wa’alaikum salam,” jawab Abi singkat.

“Ibunya bilang, dia sedang merayu Indi agar mau menuruti kemauan orang tuanya.”

“Kok itu lagi sih bu,” kata Abi kesal.

“Dengar Bi, dulu bapak sama ibu itu juga dijodohin sama orang tua. Menurut kok kami. Dan nyatanya kita   hidup bahagia, ya kan ?”

“Sekarang bukan jamannya ya bu, sudahlah, biar Abi cari sendiri,” potong pak Cokro sambil berdiri masuk kerumah, lalu bu Cokro mengikutinya dari belakang.

“Bapak itu nggak pernah kompak sama ibu,” omel bu Cokro yang didiamkan saja oleh suaminya.

“Sebentar lagi saat makan malam lho bu, aku sudah lapar nih. Abi pasti juga lapar.”

“Oh iya, ibu lupa kalau simbok tidak ada. Aduuh.. capek sebenarnya, tapi sebentar, ibu panasin dulu sayurnya. Tapi mau ganti pakaian dulu nih.”

Biarpun suka bepergian, tapi kalau keadaan memaksa, bu Cokro tidak pernah segan melayani suaminya. Seperti malam itu, biar capek setelah pertemuan dengan teman-temannya, begitu selesai berganti pakaian bu Cokro langsung ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

***

“mBok, kok belum tidur, ini kan sudah malam ?”

“Kamu sendiri, mengapa juga belum tidur?”

“Karena simbok belum tidur, Melan juga belum bisa tidur.”

“Simbok tiba-tiba merasa takut.”

“Takut apa mbok ?”

“Takut kehilangan kamu Mel. Dari kamu masih bayi, menangis didekapan ibu, menatap ibu dengan mata beningmu, saat itu juga ibu sudah jatuh cinta sama kamu.”

“Saat simbok mendekap aku, menghentikan tangisku, aku sudah tahu bahwa simbok adalah seorang ibu yang aku cintai.”

Simbok merangkul Melani yang berbaring di sampingnya.

“Sesungguhnya, simbok takut kehilangan kamu Melan.”

“Mengapa simbok bilang begitu? Melani akan tetap menjadi anaknya simbok.”

“Biarpun kamu sudah bertemu dengan orang tua kamu ?

“Biarpun Melan sudah bertemu orang tua kandung Melan, simbok tetap menjadi simbokku.”

“Bagaimana kalau orang tua kamu meminta agar kamu tinggal bersamanya?”

“Simbok akan Melani bawa, sehingga kita tak akan pernah berjauhan.”

“Benarkah ?”

“Melani tak akan pernah bisa berjauhan dari simbok. Nanti kalau hutangnya Melan kepada majikan Melan sudah lunas, Melan akan minta agar simbok tak usah bekerja lagi.”

“Hutang apa Melan?”

“Kan Melan berhutang tiga juta dari uang yang dicopet dulu itu?  Tapi dengar-dengar majikan tidak mau Melan menggantinya. Cuma nggak enak ya mbok, rasanya.”

“Bagaimanapun orang berhutang itu kan tidak enak nduk.”

“Iya, benar mbok.”

“Melan, kamu pasti juga sangat rindu kepada orang tua kandung kamu.”

“Melan tak bisa membayangkan, betapa sedihnya kehilangan seorang anak. Penculik itu sangat kejam. Mengapa memisahkan anak dari orang tuanya?”

“Benar, dia itu kelihatan kalau jahat. Simbok tak bisa melupakan raut wajahnya. Sangat cantik, tapi matanya seperti mata iblis. Sangat teriris hati simbok kalau teringat ketika kamu menjerit-jerit dalam gendongannya.”

“Beruntung Melan ketemu simbok, yang mencintai Melan dengan penuh kasih sayang.”

Melan balas memeluk simbok erat-erat, seakan tak ingin melepaskannya lagi.

“Aku sangat sayang sama simbok,” bisik Melan.

***

“mBak Maruti, lihat, iklan itu sudah ditayangkan hari ini,” kata Laras yang datang sambil membawa koran.

“Iya Laras, aku sudah membacanya. Kamu pagi-pagi sudah sampai disini ? Tidak masak?”

“Aku kesini justru mau membantu mbak Maruti masak. Lihat, aku membawa ikan yang sudah aku bersihkan, nanti kita sama-sama masak. Asyik kan?”

“Ya ampun Laras, kamu seperti tahu apa keinginan aku saja. Aku sedang menunggu tukang sayur dan akan membeli ikan.”

“Aku sudah membeli satu kilo setengah, nanti kita masak bersama. Bagaimana dengan ikan bumbu kuning?”

“Wah, enak sekali. Itu kesukaan mas Panji.”

“Tuh, aku kan sudah merasa bahwa mbak Maruti akan senang.”

“Kalau begitu ayo kita masak, nanti kamu bawa yang separo untuk dirumah kamu sendiri.”

“Iya mbak, aku sudah sekalian membawa bumbu-bumbunya, jadi mbak Maruti tidak usah membeli lagi. Ya kan ?”

“Baiklah. Kamu nih Laras, benar-benar sahabat sejati.”

“Besok mbak Maruti gantian masak dirumah aku.”

“Siap Laras. Mas Panji bilang, aku harus punya teman saat mas Panji dan Andra ada di kantor.”

“Itu benar, saat sendiri pikiran bisa kemana-mana. Disaat seperti ini mbak Maruti harus punya teman ngobrol, atau teman beraktifitas kainnya.”

“Iya Laras, kalau ada kamu aku merasa tenang dan terhibur. Ayo kedapur, tapi aku buatkan kamu minum dulu ya?”

“Tidak usah, nanti aku buat sendiri saja.”

“Ya nggak bisa begitu, biar aku buatkan dulu ah,” kata Maruti sambil menggandeng Laras ke arah dapur.

“Ya sudah, terserah mbak Maruti saja.”

“Aku juga masih punya ayam, barangkali enak kalau lauknya ditambah ayam goreng, sama sayur asem. Biar seger. Aku masih punya juga sayurnya.”

“Bagus mbak. Hari ini dapur mbak Maruti akan bergoyang.”

“Kok bergoyang sih?” Maruti tertawa.

“Biasanya kan masak sendiri, nah karena ada aku, jadi rame kan?”

“Kirain kamu mau masak sambil bergoyang. Aku hampir muterin lagu ndang-ndut lho.”

Dan hari itu dapur Maruti memang bergoyang karena keduanya memasak sambil bercanda.

***

Seorang wanita cantik sedang membuka koran pagi yang baru saja datang.  Ia membukanya sambil menghirup secangkir kopi. Didekat cangkirnya masih ada secangkir lagi yang belum disentuh. Suaminya masih di kamar, bersiap akan masuk kantor.

“Lama banget sih mas, keburu dingin kopi kamu nih!” teriaknya.

“Sebentar...”  jawab suaminya dari dalam.

Wanita itu melanjutkan membuka-buka koran, lalu matanya terbelalak melihat sebuah iklan terpampang di salah satu halaman. Wajah wanita itu mendadak pucat. Ia melongok kearah dalam, dan merasa lega ketika suaminya belum juga keluar dari kamar. Ia cepat-cepat memasukkan koran itu dibawah meja, lalu kembali menghirup kopinya.

Terdengar langkah-langkah mendekat.

“Ini kopi aku?”

“Iya, sudah agak dingin, mas sih, kelamaan.”

Laki-laki yang tidak lagi muda itu duduk lalu menghirup kopinya.

“Apakah koran hari ini belum datang?”

“Belum tuh, tumben belum ada koran. Ayo ke ruang makan dulu, kita sarapan, nanti kamu kesiangan.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...