ADUHAI AH 12
(Tien Kumalasari)
“Mas Danar, mas Danar mendengar aku ngomong kan?”
“Apa? Suaranya nggak jelas,” kata Danarto
berpura-pura.
Desy melotot, karena tahu Danarto bohong.
“Mas, aku sama ibu ada dirumah Mas, apakah pulangnya
masih lama?”
“Ya sih, ini masih ada perlu. Bagaimana?”
“Ya sudah, kami mau jalan-jalan dulu, nanti kembali
lagi ke rumah Mas Danar. Tas ibu aku taruh di teras.”
“Lhoh, kok ditaruh di teras, nanti kalau ada yang
hilang bagaimana?”
“Nggak apa-apa, isinya cuma pakaian beberapa potong.
Cepat pulang ya Mas,” kata Hesti nekat.
Danarto menutup ponselnya dengan wajah keruh.
“Kenapa ?”
“Dia ada di rumah, bersama ibunya.”
“Ya ampun, kalau begitu ayo kita pulang.”
“Kamu, ikut pulang ke rumah aku?”
“Ah …”
“Tadi bilang ayo kita pulang,”
“Ya pulang ke rumah masing-masing, lah.”
“Kirain …”
“Ayuk.”
“Aku mau makan dulu, lapar.”
“Ya ampun, kan ditungguin tamu?”
“Dia bilang nau jalan-jalan dulu, jadi ayo kita makan
dulu. Santai saja, paling juga cuma mampir.”
“Hiih, kasihan kalau mereka menunggu lama.”
“Nggak, kan aku sudah bilang bahwa mereka mau
jalan-jalan dulu.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
Keinginan makan itu sesungguhnya adalah hanya dalih
dari Danarto saja karena ia enggan bertemu dengan Hesti dan ibunya. Sikap yang
tiba-tiba sok akrab kurang disukainya, sementara mereka belum lama bertemu dan
bahkan saat pertama kali ketemu dia juga lupa siapa dia sebenarnya. Hanya
karena kasihan saja dan mengingat bahwa Hesti anaknya bu Sriani sahabat
almarhumah ibunya, maka dia bersedia membantunya. Tapi tidak untuk berakrab-akrab
seperti yang dilakukan Hesti. Entah mengapa Danarto merasa risih.
Dan hal itu dilihat oleh Desy.
“Kamu nggak benar-benar lapar kan Mas?”
“Kok tahu.”
“Tahu lah, makan kayak nggak niat begitu. Kelihatan
kalau nggak bener-bener ingin makan.”
“Sebenarnya ingin sih, tapi ini nggak pedas sama
sekali, jadi kurang nikmat, aku kan sukanya yang pedas-pedas?”
“Alesan. Memang kamu kan belum boleh makan yang
pedas-pedas, nanti ususnya luka lagi, bagaimana?”
“Iya sih.”
“Kenapa sih, kamu kelihatan segan sekali ketemu Hesti?
Dia itu baik lho, sangat perhatian sama kamu.”
“Bukan segan sih, aku tuh sebenarnya biasa saja, tapi
dia kelihatan sok akrab banget sama aku, padahal kenal juga baru saja. Jadinya
aku terkadang ingin sekali menjauhi dia.”
“Orang pengin akrab itu kan nggak salah. Kalau dia
baik, ya tanggapilah dengan baik, gitu lhoh. Kalau kita kesal terhadap
seseorang itu perasaan kita juga jadi nggak enak, iya kan?”
Danarto hanya mengangguk sambil menyendok makanannya
pelan.
“Sekarang cepat habiskan makanan kamu, dan antarkan
aku pulang. Atau aku pulang sendiri saja?”
“Ya jangan, kan tadi aku menjemput kamu? Jadi aku
harus mengantar kamu. Nanti kalau kamu pulang sendiri, lalu pak Haryo sama ibu
kesal sama aku, trus nggak dibolehin aku ngelamar kamu, bagaimana?”
“Memangnya kamu serius, mau ngelamar aku?”
“Ya serius lah, kamu kira aku bercanda? Minggu depan
aku pasti ngelamar. Dan mohon segera dinikahkan.”
“Ah ….”
“Jangan ‘ah’ … sudah jadi bujang lapuk aku ini, gara-gara
nungguin kamu.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Hmmm, senang mendengarnya. Eh, bukan cuma senang,
bahagia bangeeet. Sekarang ayo aku antar pulang, calon isteriku,” kata Danarto
sambil berdiri,
“Enak aja, calon isteri. Kalau bapak sama ibuku nggak
ngebolehin, bagaimana?”
“Ya ampun Des, kamu kenapa menakut-nakuti aku?”
Desy terkekeh dan mengikuti Danarto berdiri. Ada bunga
bermekaran di hati mereka.
***
Ketika Danarto
memasuki halaman rumahnya, dilihatnya Hesti dan ibunya sudah duduk di teras. Danarto
turun dari mobilnya, dan Hesti langsung menghambur kearahnya, dan menggandeng tangannya.
Danarto terkejut, ia melepaskannya pelan. Ia langsung naik ke teras, dan menyalami
bu Sriani.
“Apa kabar Bu?”
“Baik. Kamu bertambah dewasa, bertambah gagah dan
ganteng, Dan,” puji bu Sriani sambil menatap Danarto.
“Terima kasih Bu.”
“Kami menunggu kamu sejak tadi. Bahkan kami sempat
jalan-jalan karena Hesti bilang kamu belum bisa cepat pulang.”
“Maaf Bu, masih ada urusan dan tidak bisa
ditinggalkan.”
“Ya, aku tahu. Tapi aku juga tidak punya cukup waktu.
Jadi harus segera ketemu kamu.”
“Saya menyesal Ibu harus susah-susah datang kemari
karena saya sakit. Harusnya itu tidak perlu, saya baik-baik saja.”
“Aku datang kemari bukan hanya ingin menjenguk kamu
karena kamu sakit, Danar. Ada perlu yang lain,” kata bu Sriani sambil terus
menatap Danarto.
Hesti menundukkan muka, tampak tersipu malu. Danarto
tak memperhatikannya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan bu Sriani.
“Dulu waktu kamu masih kecil, dan Hesti baru lahir,
ibumu mengunjungi aku di Surabaya, Kamu ingat?”
Danarto menggeleng. Ia tidak merasa pernah ikut ibunya
ke Surabaya. Bahkan setapakpun belum pernah ia menginjakkan kakinya di kota itu.
“Ya, kamu pasti lupa. Kamu pasih kecil, kira-kira enam
tahun atau tujuh tahunan umurmu.”
Danarto menggeleng. Umur enam atau tujuh tahunan pasti
sudah bisa mengingat apa yang terjadi. Dan ia tak pernah ingat bahwa ibunya
pernah mengajaknya ke Surabaya. Tapi dia mendiamkannya saja.
“Waktu itu ibumu minta sama aku, agar kelak kalau
Hesti sudah dewasa, harus menjadi jodoh kamu, Danarto.”
Danarto terkejut bukan alang kepalang. Dia dijodohkan
dengan Hesti? O, tidaaaak. Kata batinnya.
“Itu sebabnya aku datang kemari untuk menemui kamu,
agar kamu tahu tentang perjodohan itu,”
Danarto mengangkat wajahnya.
“Saya minta maaf Bu. Tentang perjodohan itu saya sama
sekali tidak tahu.”
“Ya, setelah mengatakan itu, ibumu kan sakit-sakitan.
Mungkin tidak sempat mengatakan hal perjodohan itu.”
“Ibu saya jatuh sakit saat saya sudah hampir menjadi
dokter.”
“Ibumu tergila-gila pada laki-laki bernama Haryo, dan menderita
sampai akhir hayatnya,” kata bu Sriani dengan wajah kesal.
“Kalaupun begitu, masalah perjodohan itu pasti bisa di
sampaikannya, kalau memang ada. Entah nantinya saya setuju, atau tidak.”
“Apa maksudmu Danar? Apa kamu tidak percaya sama aku?”
kata bu Sriani dengan nada suara meninggi.
“Bukan saya tidak percaya Bu, saya hanya ingin
mengatakan bahwa saya tidak pernah mendengar tentang perjodohan itu dari
almarhumah ibu saya.”
“Baiklah, hanya aku yang tahu. Sekarang buat agar
ibumu tenang di alam kuburnya, penuhilah permintaan itu,” kata bu Sriani
tandas.
“Maaf Bu, sungguh saya mohon maaf. Saya tidak bisa.”
Bu Sriani menatap Danarto dengan mata berkilat menahan
marah.
“Mengapa tidak bisa?”
“Saya sudah punya pacar, dan sudah mau menikah Bu.”
“Siapa pacar kamu itu? Apakah dia lebih cantik dari Hesti
?”
“Bukan masalah cantik atau tidak Bu, tapi saya
mencintainya, lebih dari apapun.”
“Danarto. Demi seorang gadis yang belum lama kamu
kenal, maka kamu ingin mengingkari pesan seorang ibu yang sudah meninggal?”
“Saya tidak merasa pernah menerima pesannya.”
“Melalui aku Danar,” kata bu Sriani keras.
“Saya mohon maaf, karena saya tidak bisa menerimanya,”
kata Danarto tegas.
“Mas Danar, kamu kejam,” isak Hesti tiba-tiba.
“Sungguh saya mohon maaf. Saya sudah berjanji kepada
kekasih saya, bahwa akan segera menikahinya.”
“Baiklah, barangkali kamu merasa bahwa perkataanku ini
terlalu tiba-tiba. Pikirkan dulu baik-baik, aku akan menunggu,” kata bu Sriani
sambil berdiri, kemudian menggamit lengan Hesti yang masih duduk dengan
isaknya.
“Berhentilah menangis. Ayo kembali ke tempat kost
kamu, ibu akan segera kembali ke Surabaya.
“Ibu…” Hesti masih terisak.
“Sudah, berhentilah menangis. Danarto pasti akan bisa
mengerti,” kata bu Sriani sambil menggandeng Hesti diajaknya pergi.
Danarto masih terduduk di kursinya. Ia merasa, apa
yang didengarnya terlalu mengada ada. Kemudian ia berdiri dan membuka rumahnya
karena sejak datang tadi dia langsung duduk di teras untuk menemui tamunya.
***
Hesti seperti kehilangan pegangan ketika mendengar penolakan
Danarto. Ia berharap Danarto akan mau mendengarkan apa kata ibunya, tapi
ternyata tidak. Dia bahkan mengatakan bahwa akan segera menikah.
“Oo, tidaaak,” jerit batinnya.
“Aku sudah terlanjur mencintainya, dan berharap bisa
memilikinya, mengapa tiba-tiba dia menolaknya? Dia tidak percaya pada ibu bahwa
kami sudah dijodohkan?”
Dalam pikiran kacau itulah Hesti mengendarai sepeda
motornya ke tempat penjual gorengan yang mengaku pernah menjadi pacar dokter
Danarto.
Penjual gorengan yang tidak diketahui bagaimana
wajahnya karena selalu menggunakan cadar.
“Mau beli gorengan lagi? Apa pacarmu suka makan
gorengan buatanku?” kata penjual itu ketika melihat Hesti datang.
“Tidak. Waktu aku beli dan aku berikan sama dia,
dia bilang bahwa dia tidak suka gorengan.”
Perempuan dibalik cadar itu tertawa.
Hesti sudah berterus terang ketika membeli gorengan yang kemudian dibawanya ke
rumah sakit itu, tentang siapa sebenarnya yang dia maksud. Danarto bekas pacar
penjual gorengan itulah yang diakuinya sebagai pacar.
“Laki-laki itu pembohong. Aku heran kalau kamu
tergila-gila sama dia. Bukankah dia masih setia sama pacar dokternya?”
“Aku sama dia itu sebenarnya sudah dijodohkan.”
“Oh ya? Jadi dong kalau begitu.”
“Tidak, dia mau menikah sama dokter Desy.”
“Dia bilang begitu?”
“Ya, dokter Danarto sendiri yang bilang.”
“Jangan bodoh. Kalau kamu punya keinginan, raih
keinginan itu sampai dapat. Jangan menyerah.”
“Bagaimana caranya? Dia tak kelihatan peduli sama aku.”
“Karena aku pernah dikhianati, maka aku mempunyai
seribu cara agar bisa mendapatkan siapapun yang aku sukai.”
“Kalau memang bisa, mengapa sampeyan tidak merebutnya
ketika dokter Danarto memilih Desy?”
“Tidak, aku sudah cacat. Segala upaya tak akan bisa
berhasil. Mana mau dia sama gadis cacat seperti aku?”
“Cacat?”
“Aku memakai cadar ini bukan karena aku menganut
sebuah keyakinan yang mengharuskan aku memakai cadar.”
“Jadi?”
“Lihat wajahku,” kata penjual gorengan itu sambil
membuka cadarnya. Hesti merasa ngeri melihat carut marut di wajah itu.
“Iih, kenapa itu ?”
“Ini ulah dokter Desy.”
“Apa?”
“Dia kalah cantik, lalu mencakar-cakar wajahku,
sehingga luka parah seperti ini.”
“Ya ampun, kejam sekali. Tidak dilaporkan ke polisi?”
“Tidak. Aku terima semua perlakuannya dengan ikhlas.”
“Wah, mbak baik sekali. Sebenarnya nama Mbak siapa?”
“Endah.”
“Mbak Endah. Namanya bagus, namaku Hesti. Kita
berteman ya?”
“Kamu mau, berteman dengan orang miskin seperti aku?”
“Nggak apa-apa, kita senasib.”
“Jangan. Raih cintamu, jangan putus asa.”
“Sepertinya tak mungkin.”
“Kalau kamu tidak bisa mendapatkan dia, gadis bernama
Desy itu juga jangan sampai bisa memilikinya.”
“Bagaimana caranya?”
“Sebentar, ada orang beli, nanti aku akan beri tahu
apa yang sebaiknya kamu lakukan.”
***
“Mas Danarto akan segera melamar aku,” kata Desy malam
itu kepada adiknya.
“Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kapan?”
“Entahlah, yang pasti secepatnya.”
“Bagaimana tiba-tiba Mbak Desy bisa menerima dia?”
“Aku pikir-pikir kok salah kalau aku bercermin pada
kehidupan orang tua kita. Barangkali tidak semua orang itu sama.”
“Memang benar.”
“Dan dia berjanji akan setia mendampingi aku. Ya
sudahlah, mengapa harus takut menghadapi sesuatu yang belum tentu terjadi?”
“Itu aku setuju. Cepatlah menikah dan punya anak.
Supaya aku segera punya mainan.”
“Enak saja, anak orang dibuat mainan,” sungut Desy.
Tutut tertawa.
“Soalnya bayi itu pasti lucu.”
“Doakan ya.”
“Ya pasti lah aku doakan. Aku sedih lho ketika Mbak sama mas Danarto tidak segera menikah.”
“Ya, akhirnya aku bisa menerimanya.”
“Semoga lancar ya Mbak, dan selalu bahagia.”
“Aamiin, sekarang tidurlah, aku juga pengin tidur.”
***
“Daniiis!” Desy
berteriak ketika melihat dokter Danis tak menyapanya biarpun sudah melihatnya.
Danis berhenti.
“Mas Danar akan segera melamar aku,” kata Desy
gembira.
“Senang mendengarnya. Sudah lama aku berharap untuk
kalian,” kata Danis sambil terus melangkah.
“Kenapa kamu? Wajahmu kusut begitu?”
“Lagi kacau aku nih.”
“Kacau kenapa?”
“Nanti saja setelah jam kerja aku cerita.”
“Nggak, sekarang saja. Aku nggak suka ya, cerita
ditunda-tunda.”
“Isteriku minggat.”
“Apa? Kamu bilang pulang karena orang tuanya sakit?”
“Ternyata dia bohong. Dia pergi sama pacar lamanya.”
“Astaga. Itu benar?”
“Benar lah, semalam dia datang, dan bilang minta
cerai, setelah itu pergi bersama anakku.”
“Ya ampun, sabar ya Dan.”
Desy belum selesai bicara dengan Danis karena sudah
sampai di tempat prakteknya, dan tiba-tiba ponselnya berdering.
“Maaf ya Danis, nanti kita bicara lagi.”
Danis mengangguk, dan berlalu.
“Hallo, ini siapa ya, aku nggak kenal sama nomor anda.”
“Tunggu, mohon jangan ditutup dulu. Ada informasi
penting untuk kamu Mbak.”
“Informasi apa?”
“Bahwa dokter Danarto sudah ditunangkan dengan Hesti sejak
mereka masih kanak-kanak, dan kamu harus tahu itu.”
***
Besok lagi ya.