Saturday, April 30, 2022

ADUHAI AH 12

 

ADUHAI AH  12

(Tien Kumalasari)

 

“Mas Danar, mas Danar mendengar aku ngomong kan?”

“Apa? Suaranya nggak jelas,” kata Danarto berpura-pura.

Desy melotot, karena tahu Danarto bohong.

“Mas, aku sama ibu ada dirumah Mas, apakah pulangnya masih lama?”

“Ya sih, ini masih ada perlu. Bagaimana?”

“Ya sudah, kami mau jalan-jalan dulu, nanti kembali lagi ke rumah Mas Danar. Tas ibu aku taruh di teras.”

“Lhoh, kok ditaruh di teras, nanti kalau ada yang hilang bagaimana?”

“Nggak apa-apa, isinya cuma pakaian beberapa potong. Cepat pulang ya Mas,” kata Hesti nekat.

Danarto menutup ponselnya dengan wajah keruh.

“Kenapa ?”

“Dia ada di rumah, bersama ibunya.”

“Ya ampun, kalau begitu ayo kita pulang.”

“Kamu, ikut pulang ke rumah aku?”

“Ah …”

“Tadi bilang ayo kita pulang,”

“Ya pulang ke rumah masing-masing, lah.”

“Kirain …”

“Ayuk.”

“Aku mau makan dulu, lapar.”

“Ya ampun, kan ditungguin tamu?”

“Dia bilang nau jalan-jalan dulu, jadi ayo kita makan dulu. Santai saja, paling juga cuma mampir.”

“Hiih, kasihan kalau mereka menunggu lama.”

“Nggak, kan aku sudah bilang bahwa mereka mau jalan-jalan dulu.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

Keinginan makan itu sesungguhnya adalah hanya dalih dari Danarto saja karena ia enggan bertemu dengan Hesti dan ibunya. Sikap yang tiba-tiba sok akrab kurang disukainya, sementara mereka belum lama bertemu dan bahkan saat pertama kali ketemu dia juga lupa siapa dia sebenarnya. Hanya karena kasihan saja dan mengingat bahwa Hesti anaknya bu Sriani sahabat almarhumah ibunya, maka dia bersedia membantunya. Tapi tidak untuk berakrab-akrab seperti yang dilakukan Hesti. Entah mengapa Danarto merasa risih.

Dan hal itu dilihat oleh Desy.

“Kamu nggak benar-benar lapar kan Mas?”

“Kok tahu.”

“Tahu lah, makan kayak nggak niat begitu. Kelihatan kalau nggak bener-bener ingin makan.”

“Sebenarnya ingin sih, tapi ini nggak pedas sama sekali, jadi kurang nikmat, aku kan sukanya yang pedas-pedas?”

“Alesan. Memang kamu kan belum boleh makan yang pedas-pedas, nanti ususnya luka lagi, bagaimana?”

“Iya sih.”

“Kenapa sih, kamu kelihatan segan sekali ketemu Hesti? Dia itu baik lho, sangat perhatian sama kamu.”

“Bukan segan sih, aku tuh sebenarnya biasa saja, tapi dia kelihatan sok akrab banget sama aku, padahal kenal juga baru saja. Jadinya aku terkadang ingin sekali menjauhi dia.”

“Orang pengin akrab itu kan nggak salah. Kalau dia baik, ya tanggapilah dengan baik, gitu lhoh. Kalau kita kesal terhadap seseorang itu perasaan kita juga jadi nggak enak, iya kan?”

Danarto hanya mengangguk sambil menyendok makanannya pelan.

“Sekarang cepat habiskan makanan kamu, dan antarkan aku pulang. Atau aku pulang sendiri saja?”

“Ya jangan, kan tadi aku menjemput kamu? Jadi aku harus mengantar kamu. Nanti kalau kamu pulang sendiri, lalu pak Haryo sama ibu kesal sama aku, trus nggak dibolehin aku ngelamar kamu, bagaimana?”

“Memangnya kamu serius, mau ngelamar aku?”

“Ya serius lah, kamu kira aku bercanda? Minggu depan aku pasti ngelamar. Dan mohon segera dinikahkan.”

“Ah ….”

“Jangan ‘ah’ … sudah jadi bujang lapuk aku ini, gara-gara nungguin kamu.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Hmmm, senang mendengarnya. Eh, bukan cuma senang, bahagia bangeeet. Sekarang ayo aku antar pulang, calon isteriku,” kata Danarto sambil berdiri,

“Enak aja, calon isteri. Kalau bapak sama ibuku nggak ngebolehin, bagaimana?”

“Ya ampun Des, kamu kenapa menakut-nakuti aku?”

Desy terkekeh dan mengikuti Danarto berdiri. Ada bunga bermekaran di hati mereka.

***

 Ketika Danarto memasuki halaman rumahnya, dilihatnya Hesti dan ibunya sudah duduk di teras. Danarto turun dari mobilnya, dan Hesti langsung menghambur kearahnya, dan menggandeng tangannya. Danarto terkejut, ia melepaskannya pelan. Ia langsung  naik ke teras, dan menyalami bu Sriani.

“Apa kabar Bu?”

“Baik. Kamu bertambah dewasa, bertambah gagah dan ganteng, Dan,” puji bu Sriani sambil menatap Danarto.

“Terima kasih Bu.”

“Kami menunggu kamu sejak tadi. Bahkan kami sempat jalan-jalan karena Hesti bilang kamu belum bisa cepat pulang.”

“Maaf Bu, masih ada urusan dan tidak bisa ditinggalkan.”

“Ya, aku tahu. Tapi aku juga tidak punya cukup waktu. Jadi harus segera ketemu kamu.”

“Saya menyesal Ibu harus susah-susah datang kemari karena saya sakit. Harusnya itu tidak perlu, saya baik-baik saja.”

“Aku datang kemari bukan hanya ingin menjenguk kamu karena kamu sakit, Danar. Ada perlu yang lain,” kata bu Sriani sambil terus menatap Danarto.

Hesti menundukkan muka, tampak tersipu malu. Danarto tak memperhatikannya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan bu Sriani.

“Dulu waktu kamu masih kecil, dan Hesti baru lahir, ibumu mengunjungi aku di Surabaya, Kamu ingat?”

Danarto menggeleng. Ia tidak merasa pernah ikut ibunya ke Surabaya. Bahkan setapakpun belum pernah ia menginjakkan kakinya di kota itu.

“Ya, kamu pasti lupa. Kamu pasih kecil, kira-kira enam tahun atau tujuh tahunan umurmu.”

Danarto menggeleng. Umur enam atau tujuh tahunan pasti sudah bisa mengingat apa yang terjadi. Dan ia tak pernah ingat bahwa ibunya pernah mengajaknya ke Surabaya. Tapi dia mendiamkannya saja.

“Waktu itu ibumu minta sama aku, agar kelak kalau Hesti sudah dewasa, harus menjadi jodoh kamu, Danarto.”

Danarto terkejut bukan alang kepalang. Dia dijodohkan dengan Hesti? O, tidaaaak. Kata batinnya.

“Itu sebabnya aku datang kemari untuk menemui kamu, agar kamu tahu tentang perjodohan itu,”

Danarto mengangkat wajahnya.

“Saya minta maaf Bu. Tentang perjodohan itu saya sama sekali tidak tahu.”

“Ya, setelah mengatakan itu, ibumu kan sakit-sakitan. Mungkin tidak sempat mengatakan hal perjodohan itu.”

“Ibu saya jatuh sakit saat saya sudah hampir menjadi dokter.”

“Ibumu tergila-gila pada laki-laki bernama Haryo, dan menderita sampai akhir hayatnya,” kata bu Sriani dengan wajah kesal.

“Kalaupun begitu, masalah perjodohan itu pasti bisa di sampaikannya, kalau memang ada. Entah nantinya saya setuju, atau tidak.”

“Apa maksudmu Danar? Apa kamu tidak percaya sama aku?” kata bu Sriani dengan nada suara meninggi.

“Bukan saya tidak percaya Bu, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak pernah mendengar tentang perjodohan itu dari almarhumah ibu saya.”

“Baiklah, hanya aku yang tahu. Sekarang buat agar ibumu tenang di alam kuburnya, penuhilah permintaan itu,” kata bu Sriani tandas.

“Maaf Bu, sungguh saya mohon maaf. Saya tidak bisa.”

Bu Sriani menatap Danarto dengan mata berkilat menahan marah.

“Mengapa tidak bisa?”

“Saya sudah punya pacar, dan sudah mau menikah Bu.”

“Siapa pacar kamu itu? Apakah dia lebih cantik dari Hesti ?”

“Bukan masalah cantik atau tidak Bu, tapi saya mencintainya, lebih dari apapun.”

“Danarto. Demi seorang gadis yang belum lama kamu kenal, maka kamu ingin mengingkari pesan seorang ibu yang sudah meninggal?”

“Saya tidak merasa pernah menerima pesannya.”

“Melalui aku Danar,” kata bu Sriani keras.

“Saya mohon maaf, karena saya tidak bisa menerimanya,” kata Danarto tegas.

“Mas Danar, kamu kejam,” isak Hesti tiba-tiba.

“Sungguh saya mohon maaf. Saya sudah berjanji kepada kekasih saya, bahwa akan segera menikahinya.”

“Baiklah, barangkali kamu merasa bahwa perkataanku ini terlalu tiba-tiba. Pikirkan dulu baik-baik, aku akan menunggu,” kata bu Sriani sambil berdiri, kemudian menggamit lengan Hesti yang masih duduk dengan isaknya.

“Berhentilah menangis. Ayo kembali ke tempat kost kamu, ibu akan segera kembali ke Surabaya.

“Ibu…” Hesti masih terisak.

“Sudah, berhentilah menangis. Danarto pasti akan bisa mengerti,” kata bu Sriani sambil menggandeng Hesti diajaknya pergi.

Danarto masih terduduk di kursinya. Ia merasa, apa yang didengarnya terlalu mengada ada. Kemudian ia berdiri dan membuka rumahnya karena sejak datang tadi dia langsung duduk di teras untuk menemui tamunya.

***

Hesti seperti kehilangan pegangan ketika mendengar penolakan Danarto. Ia berharap Danarto akan mau mendengarkan apa kata ibunya, tapi ternyata tidak. Dia bahkan mengatakan bahwa akan segera menikah.

“Oo, tidaaak,” jerit batinnya.

“Aku sudah terlanjur mencintainya, dan berharap bisa memilikinya, mengapa tiba-tiba dia menolaknya? Dia tidak percaya pada ibu bahwa kami sudah dijodohkan?”

Dalam pikiran kacau itulah Hesti mengendarai sepeda motornya ke tempat penjual gorengan yang mengaku pernah menjadi pacar dokter Danarto.

Penjual gorengan yang tidak diketahui bagaimana wajahnya karena selalu menggunakan cadar.

“Mau beli gorengan lagi? Apa pacarmu suka makan gorengan buatanku?” kata penjual itu ketika melihat Hesti datang.

“Tidak. Waktu aku beli dan aku berikan sama dia, dia bilang bahwa dia tidak suka gorengan.”

Perempuan dibalik cadar itu tertawa. Hesti sudah berterus terang ketika membeli gorengan yang kemudian dibawanya ke rumah sakit itu, tentang siapa sebenarnya yang dia maksud. Danarto bekas pacar penjual gorengan itulah yang diakuinya sebagai pacar.

“Laki-laki itu pembohong. Aku heran kalau kamu tergila-gila sama dia. Bukankah dia masih setia sama pacar dokternya?”

“Aku sama dia itu sebenarnya sudah dijodohkan.”

“Oh ya? Jadi dong kalau begitu.”

“Tidak, dia mau menikah sama dokter Desy.”

“Dia bilang begitu?”

“Ya, dokter Danarto sendiri yang bilang.”

“Jangan bodoh. Kalau kamu punya keinginan, raih keinginan itu sampai dapat. Jangan menyerah.”

“Bagaimana caranya? Dia tak kelihatan peduli sama aku.”

“Karena aku pernah dikhianati, maka aku mempunyai seribu cara agar bisa mendapatkan siapapun yang aku sukai.”

“Kalau memang bisa, mengapa sampeyan tidak merebutnya ketika dokter Danarto memilih Desy?”

“Tidak, aku sudah cacat. Segala upaya tak akan bisa berhasil. Mana mau dia sama gadis cacat seperti aku?”

“Cacat?”

“Aku memakai cadar ini bukan karena aku menganut sebuah keyakinan yang mengharuskan aku memakai cadar.”

“Jadi?”

“Lihat wajahku,” kata penjual gorengan itu sambil membuka cadarnya. Hesti merasa ngeri melihat carut marut di wajah itu.

“Iih, kenapa itu ?”

“Ini ulah dokter Desy.”

“Apa?”

“Dia kalah cantik, lalu mencakar-cakar wajahku, sehingga luka parah seperti ini.”

“Ya ampun, kejam sekali. Tidak dilaporkan ke polisi?”

“Tidak. Aku terima semua perlakuannya dengan ikhlas.”

“Wah, mbak baik sekali. Sebenarnya nama Mbak siapa?”

“Endah.”

“Mbak Endah. Namanya bagus, namaku Hesti. Kita berteman ya?”

“Kamu mau, berteman dengan orang miskin seperti aku?”

“Nggak apa-apa, kita senasib.”

“Jangan. Raih cintamu, jangan putus asa.”

“Sepertinya tak mungkin.”

“Kalau kamu tidak bisa mendapatkan dia, gadis bernama Desy itu juga jangan sampai bisa memilikinya.”

“Bagaimana caranya?”

“Sebentar, ada orang beli, nanti aku akan beri tahu apa yang sebaiknya kamu lakukan.”

***

“Mas Danarto akan segera melamar aku,” kata Desy malam itu kepada adiknya.

“Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kapan?”

“Entahlah, yang pasti secepatnya.”

“Bagaimana tiba-tiba Mbak Desy bisa menerima dia?”

“Aku pikir-pikir kok salah kalau aku bercermin pada kehidupan orang tua kita. Barangkali tidak semua orang itu sama.”

“Memang benar.”

“Dan dia berjanji akan setia mendampingi aku. Ya sudahlah, mengapa harus takut menghadapi sesuatu yang belum tentu terjadi?”

“Itu aku setuju. Cepatlah menikah dan punya anak. Supaya aku segera punya mainan.”

“Enak saja, anak orang dibuat mainan,” sungut Desy.

Tutut tertawa.

“Soalnya bayi itu pasti lucu.”

“Doakan ya.”

“Ya pasti lah aku doakan. Aku sedih lho ketika Mbak sama mas Danarto tidak segera menikah.”

“Ya, akhirnya aku bisa menerimanya.”

“Semoga lancar ya Mbak, dan selalu bahagia.”

“Aamiin, sekarang tidurlah, aku juga pengin tidur.”

***

 “Daniiis!” Desy berteriak ketika melihat dokter Danis tak menyapanya biarpun sudah melihatnya.

Danis berhenti.

“Mas Danar akan segera melamar aku,” kata Desy gembira.

“Senang mendengarnya. Sudah lama aku berharap untuk kalian,” kata Danis sambil terus melangkah.

“Kenapa kamu? Wajahmu kusut begitu?”

“Lagi kacau aku nih.”

“Kacau kenapa?”

“Nanti saja setelah jam kerja aku cerita.”

“Nggak, sekarang saja. Aku nggak suka ya, cerita ditunda-tunda.”

“Isteriku minggat.”

“Apa? Kamu bilang pulang karena orang tuanya sakit?”

“Ternyata dia bohong. Dia pergi sama pacar lamanya.”

“Astaga. Itu benar?”

“Benar lah, semalam dia datang, dan bilang minta cerai, setelah itu pergi bersama anakku.”

“Ya ampun, sabar ya Dan.”

Desy belum selesai bicara dengan Danis karena sudah sampai di tempat prakteknya, dan tiba-tiba ponselnya berdering.

“Maaf ya Danis, nanti kita bicara lagi.”

Danis mengangguk, dan berlalu.

“Hallo, ini siapa ya, aku nggak kenal sama nomor anda.”

“Tunggu, mohon jangan ditutup dulu. Ada informasi penting untuk kamu Mbak.”

“Informasi apa?”

“Bahwa dokter Danarto sudah ditunangkan dengan Hesti sejak mereka masih kanak-kanak, dan kamu harus tahu itu.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

Friday, April 29, 2022

ADUHAI AH 11

 

ADUHAI AH  11

(Tien Kumala Sari)

 

Sarman menunggu langkah-langkah kecil itu mendekatinya, dengan hati berdebar tak menentu.

“Aduhai, mengapa dia datang kemari?” gumamnya.

“Itu pacar mas Sarman ya? Duh, cantik... “ seru Hesti sambil ikut berdiri menunggu.

“Maas, syukurlah bisa ketemu,” kata Tutut agak terengah.

“Mengapa kamu datang kemari?”

“Aku kesal sama mas Sarman, aku benci, aku pengin marah!” pekik Tutut tak terkendali.

“Eh Mbak, Mbak jangan cemburu ya, aku bukan selingkuhan mas Sarman lho,” kata Hesti sambil menuding ke arah Sarman.

“Hesti, tak ada apa-apa, tenanglah. Aku pamit dulu ya,” kata Sarman sambil menarik Tutut menjauh dari Hesti.

Hesti merengut.

“Huh, datang-datang marah, pencemburu amat sih. Aku saja melihat pacarku dekat-dekat dengan gadis lain nggak begitu meluap-luap kayak kamu,” gerutu Hesti sambil pergi dari sana.

“Tapi cantik lho, kok rasanya aku seperti pernah melihat ya, dimana? Lupa aku,” gumam Hesti menuju ke arah parkiran sepeda motor. Ya, sekarang dia naik motor walau rumah kost nya dekat dengan kampus. Ibunya belum lama ini mengirimkan sepeda motornya untuk memudahkan kalau Hesti ingin pergi ke mana-mana.

“Tutut, kenapa datang kemari?” tanya Sarman setelah mengajak Tutut duduk di bawah pohon rindang yang lain.

“Mas Sarman jahat. Kenapa jahat sama aku?”

“Jahat bagaimana? Apa aku melakukan sesuatu yang menyakiti kamu?”

“Ya.”

“Tutut?”

“Nggak terasa ya? Nggak ngerti apa salah kamu ya?”

“Nggak ngerti aku. Tolong beri tahu aku.”

“Mas Sarman pergi begitu saja dari rumah. Setiap orang tahu, karena mas Sarman pamit kepada semuanya. Tapi aku tidak tahu apa-apa. Pagi-pagi aku mengetuk pintu kamar mas Sarman karena ingin bertanya sesuatu, tapi mas Sarman sudah pergi. Aku benci! Kenapa? Mas Sarman marah sama aku ya?”

Sarman menghela napas panjang. Ia tak berani menatap gadis yang duduk di sampingnya..

“Ya Tuhan, gadis ini kembali mengusik perasaanku,” keluhnya dalam hati.

“Maaas! Jawab Mas !”

“Aku … waktu itu tidak melihat kamu, dan aku merasa, pasti juga semua akan memberi tahu kamu. Apa itu masalah?”

“Tentu saja masalah. Aku kesal, tahu.”

“Tutut, tolong maafkan aku.”

“Katakan sekarang, kenapa tiba-tiba Mas Sarman pergi?”

“Aku … ingin menenangkan diri saja.”

“Memangnya di rumah tidak ada ketenangan yang Mas temukan? Karena aku berisik? Suka mengganggu?”

“Tidak … tidak … bukan begitu.”

“Lalu apa? Ketenangan seperti apa yang ingin Mas dapatkan?”

“Sekarang aku mau bertanya, apakah kepergianku membuat kamu sedih?”

“Bukan hanya sedih. Aku kehilangan.”

“Kehilangan?”

“Kehilangan yang bagaimana?”

“Mas belum menjawab pertanyaan aku. Mas bilang mencari ketenangan, lalu di rumah tidak ada ketenangan? Kalau Mas tidak menganggap aku mengganggu, lalu apa? Katakan apa penyebabnya.”

“Tidak ada Tut, percayalah.”

“Aku tidak percaya.”

“Kamu harus percaya.”

“Apa ada perkataan bapak atau ibu yang menyakiti kamu?”

“Tidak ada. Sungguh tidak ada.”

“Aku tidak percaya.”

“Tut, harus dengan apa supaya kamu percaya sama aku?”

“Entahlah. Aku merasa ada sesuatu.”

“Kamu jangan suka mengarang.”

“Tidak, ini benar. Apa mas merasa bahwa bapak sama ibu berusaha mencegah aku mendekati mas Sarman akhir-akhir ini?”

Sarman terpana. Kali ini menoleh ke samping, memandangi wajah cantik manja yang tampak bersungut-sungut.

“Maksudnya apa ya?”

“Entahlah. Ya sudah, jangan dipikirkan. Aku hanya ingin mencari jawaban, mengapa mas Sarman tidak pamit sama aku.”

“Itu lagi. Kan aku sudah bilang bahwa waktu itu kamu tidak ada, dan aku berharap kamu akan tahu nantinya dari yang lain.”

“Pasti aku berbeda dari yang lain kan? Mas Sarman tidak suka sama aku kan?” kali ini Tutut berdiri, lalu melangkah meninggalkan Sarman.

Sarman terkejut.

“Tutut, tunggu, kamu mau kemana?” tanya Sarman sambil mengejar.

Tutut tak menjawab, terus saja melangkah.

“Kamu naik apa? Mana mobil kamu?”

“Nggak bawa mobil.”

“Aku antar? Mau kemana?”

Tutut terus melangkah.

“Dengar Tut, aku memang melarikan diri dari kamu.”

Tutut menghentikan langkahnya.

“Melarikan diri dari aku? Maksudnya apa?”

“Aku takut, aku jatuh cinta sama kamu.”

Tutut menatap Sarman tak berkedip.

“Kamu bilang apa?”

“Aku tahu siapa diriku. Aku merasa di hatiku tumbuh perasaan yang lain, dan itu tidak benar.”

Tutut terus memandangi Sarman. Kata-kata itu tak begitu dimengertinya. Perasaan yang lain itu apa? Tadi dia juga bicara takut jatuh cinta. Sarman memalingkan wajahnya. Ia kelepasan bicara. Dan itu membuat ia tak bisa terus berdiam diri. Barangkali lebih baik ia mengatakannya terus terang, sehingga Tutut bisa menerima semua alasannya dan tidak akan marah atau penasaran lagi.

“Katakan dengan jelas, aku tidak mengerti.”

Dan Tutut memang bengong sambil terus menatap Sarman, yang masih saja memalingkan wajahnya.

“Maafkan aku. Aku jatuh cinta sama kamu,” kata Sarman lirih.

Mata Tutut terbelalak.

“Tapi aku tahu siapa diriku ini. Ibaratnya aku ini kan orang kebanyakan yang ditemukan dijalan dan dipungut oleh keluarga yang bukan main baik hatinya. Dan itu sebabnya aku lari dari kamu. Aku harus menghindari kamu untuk menghilangkan perasaan yang tidak semestinya ini,” katanya masih dengan suara lirih, tapi didengar dengan jelas oleh Tutut.

“Kalau kamu cinta sama aku, mengapa harus lari? Aku memang tidak mencintai kamu seperti cinta seorang wanita kepada pria, tapi aku menyayangi kamu sebagai kakak sulung aku. Aku tidak akan membenci kamu Mas. Cinta itu kan bisa datang kepada siapapun juga? Apa yang salah dengan perasaan cinta?”

“Yang salah adalah bahwa kalau kita meletakkannya di tempat yang tidak benar. Menurut aku, perasaan ini tidak benar. Karenanya aku harus menjauhi kamu, setidaknya sampai aku bisa menghilangkan perasaan ini.”

Tutut terdiam. Pikirannya melayang ke arah sikap ayah dan ibunya yang seperti ingin mencegah dirinya berdekatan dengan Sarman. Pastilah dia merasakannya. Jadi ayah ibunya pasti tahu apa yang dirasakan Sarman, lalu berusaha mencegahnya karena tidak suka?

“Kamu sekarang mengerti Tut. Maafkan aku ya.”

Tutut memandangi wajah Sarman yang sudah tidak lagi menoleh ke arah lain. Iba melihat tatapan sayu itu.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan Mas, cinta tidak pernah salah, jadi jangan pernah merasa harus meminta maaf. Kamu baik, dan kamu tetap akan menjadi kakak sulung aku,” kata Tutut yang terdengar lembut. Merebak air mata dipelupuk Sarman, tapi mulutnya menyunggingkan senyum.

“Terima kasih karena bisa mengerti.”

“Sekarang aku mau pulang. Aku tetap menunggu kamu pulang Mas,” kata Tutut sambil melangkah menjauh.

“Berjanjilah Mas, kamu akan segera pulang,” kata Tutut agak keras karena sudah melangkah semakin jauh.

Sarman melambaikan tangannya, dan mengangguk. Ketika Tutut tak lagi tampak dalam pandangan, Sarman membalikkan badannya sambil mengusap air matanya.

***

Tapi Tutut pun tak bisa menahan keharuan hatinya. Ternyata Sarman pergi membawa beban cinta terhadap dirinya. Tapi ia tetap merasa kesal kepada ayah ibunya, karena mereka tampak tak rela seandainya benar mereka sudah mengerti perasaan Sarman terhadapnya. Karena membeda-bedakan status mereka? Bukankah Sarman baik? Tutut berharap Sarman bisa menahan cintanya karena dia tak mengimbanginya, bukan karena hambatan dari kedua orang tuanya.

Dan wajah Tutut tetap muram ketika dia sampai di rumah dan ternyata ibunya tidak pergi kemana-mana.

“Sudah pulang Tut? Kok tidak mengabari Bapak sehingga Bapak bisa menjemput?”

“Belum tahu pulangnya jam berapa,” jawab Tutut sambil terus masuk ke dalam rumah.

Tindy mengikuti ke belakang, sampai Tutut masuk ke dalam kamarnya.

“Tut … kok wajahnya ditekuk begitu, cantiknya hilang lho,” goda ibunya.

Tutut masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tindy menunggu sambil duduk di sofa, sambil membuka-buka majalah yang terletak di meja. Ia harus bisa meredakan kemarahan Tutut.

Tutut heran melihat ibunya masih duduk di sofa itu, tapi dia diam saja, sambil membuka almari untuk mengambil baju ganti.

“Ibu tadi pergi kemana?” akhirnya tak tahan Tutut untuk tidak bertanya.

“Membezoek bekas mahasiswa Ibu yang sedang melahirkan.”

“Oh… “ Tutut tersenyum lega karena apa yang dikatakan ayahnya ternyata benar.

“Dia itu sangat baik, ketika menikah Ibu juga diundang.”

Tutut berganti pakaian, lalu duduk di depan ibunya.

“Makan yuk,” kata Tindy.

“Tutut tadi ketemu mas Sarman.”

Tindy meletakkan majalah yang tadi dibuka-bukanya.

“Terus ngapain setelah ketemu?”

“Tutut hanya ingin tahu, mengapa dia tidak pamit sama Tutut sebelum pergi.”

“Cuma itu?”

“Ya.”

“Dan sudah mendapatkan jawabannya?”

Tutut mengangguk.

“Apakah Ibu sama Bapak tidak suka kalau Mas Sarman mencintai Tutut?”

Tindy terkejut bukan alang kepalang. Tutut memang suka bicara ceplas-ceplos dan mengungkapkan dengan lugas apa yang ada di dalam hatinya.

“Apa dia bilang kalau dia cinta sama kamu?”

“Ya. Dan dia pergi untuk menghilangkan perasaan itu. Maksudnya, dengan menjauh dari Tutut dia akan bisa melupakannya.”

Tindy menatap Anak bungsunya tak berkedip. Rasa was-was menyergapnya.

“Bagaimana dengan kamu?”

“Tutut menganggapnya sebagai kakak saja. Tapi yang jadi masalah dan mengganjal perasaan Tutut, mengapa bapak sama Ibu bersikap aneh? Bukankah sebenarnya bapak sama Ibu sudah mengetahui perasaan mas Sarman itu?”

Tindy merasa sedikit lega mendengar Tutut tidak mengimbangi perasaan Sarman. Tapi ia nerasa kesulitan menjawabnya.

“Kamu jangan dulu berprasangka buruk kepada bapak sama Ibu. Kami tidak menganggap Sarman sebagai orang lain, dan sama sekali tidak menganggap bahwa status kami berbeda.”

“Tutut merasa hal itu yang Ibu rasakan.”

“Tidak ….”

“Lalu apa?”

“Ada sebuah cerita panjang yang nanti juga kalian akan tahu. Sekarang jangan banyak bertanya dulu,” kata Tindy sambil berdiri.

“Yang jelas kami tidak membedakan status siapapun, apalagi Sarman yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri,” lanjutnya.

Tindy melangkah ke pintu, dan sebelum membukanya, ia menoleh sekali lagi ke arah Tutut yang masih duduk termangu.

“Ayo kita makan,” katanya lagi sambil keluar dari pintu itu.

Tutut berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia baru berdiri ketika ibunya mengulangi panggilannya dari luar kamar.

***

“Mbak, belum tidur kan?” tanya Tutut ketika sudah berbaring di samping kakaknya.

“Ya belum, kan aku masih melek? Tumben kamu ngomong. Mbak kira kamu sudah lupa caranya ngomong.”

“Ih, Mbak Desy kok begitu. Masa aku lupa caranya ngomong.”

“Kan selama berhari-hari kamu tidak pernah ngomong. Naik ke ranjang langsung mendekap guling, dan ngorok deh.”

“Iya, sekarang aku mau ngomong.”

“Ya sudah, ngomong saja.”

“ Apa Mbak tahu, bapak sama ibu tuh nggak suka sama Mas Sarman?”

Desy memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Tutut berbaring.

“Kok kamu nanya begitu? Apa ibu yang bilang, atau bapak?”

“Tidak. Aduh, aku bingung mau ngomongnya.”

“Ngomong saja kok bingung.”

“Mas Sarman itu pergi dari rumah, bukan karena bapak sama ibu nggak suka kan?”

“Menurut kamu? Bukankah bapak sama ibu selalu baik sama mas Sarman?”

“Tapi ada yang bapak sama ibu nggak suka.”

“Oh ya?”

“Apa bapak atau ibu nggak pernah cerita sama Mbak?”

“Kamu ngomongnya melompat-lompat. Mbak jadi kurang bisa menangkap. Coba bicara yang urut, lalu setelah selesai baru nanya ke Mbak.”

“Aku tadi siang menemui mas Sarman di kampusnya.”

“Oh ya? Cerita apa dia?”

“Aku kejar dia supaya mau mengatakan alasan dia tiba-tiba pergi dari rumah, apalagi tanpa pamit sama aku. Sama aku saja. Aku nggak terima dong. Perasaan aku dia tuh merasa bahwa aku sering ngerecokin dia, sementara dia lagi sibuk mengerjakan skripsi. Tapi apa jawabnya? Tidak, bukan itu. Aku terus mengejarnya dan akhirnya dia bilang bahwa dia jatuh cinta sama aku.”

“Haa … “ kali ini Desy tak bisa hanya diam mendengar.

“Dia pergi untuk menghindari aku. Dengan tidak pernah melihat aku, dia berharap bisa menghapus rasa cinta itu. Begitu intinya.”

“Mengapa dia harus menghilangkan rasa cintanya. Karena kamu tidak membalasnya?”

“Aku memang tidak cinta sama dia, hanya sayang sebagai kakak saja. Tapi aku kira bukan itu alasannya. Dia merasa, bahwa bapak sama ibu tidak suka dia punya perasaan itu sama aku.”

“Yah, itu aku sudah mengerti sejak lama.”

“Sudah mengerti? Apa alasannya? Karena mas Sarman hanya orang biasa? Aku bukannya kecewa karena dia menghindari aku, tapi kecewa karena bapak sama ibu memang tidak menghendakinya.”

“Ada alasannya.”

“Mbak tahu?”

“Tahu kalau ada alasannya, tapi tidak tahu alasannya itu apa.”

“Yaah, sama saja.” Lalu Tutut akhirnya tertidur dengan masih memendam seribu pertanyaan yang tak juga terjawab.

***

Sudah tiga hari lalu Danarto boleh pulang ke rumah. Dan seperti janji Danarto, dia  kemudian mengajak Desy untuk melihat rumah yang akan dibelinya. Rumah yang tidak begitu kecil, karena Danarto memang akan mempergunakannya sebagai tempat praktek, yang kalau bisa nanti bersama Desy juga agar bisa praktek di rumah itu selepas dari rumah sakit.

“Bagaimana menurut kamu?”

“Bagus. Aku rasa ini cukup bagus.”

“Nanti aku praktek disini, karena aku akan meletakkan alat USG juga disudut sana. Kamu yang sebelah sana tadi. Ruang tunggunya lumayan luas kan?”

"Aku belum bicara banyak mengenai hubungan kita.”

“Kamu tidak menolak kan?”

“Apa kamu bisa menjamin bahwa setelah menikah nanti kamu tidak akan mengecewakan aku?”

“Apakah aku harus bersumpah?”

“Aku hanya takut. Dan aku itu tidak bisa seperti ibuku, yang begitu lembut, dan bisa menghadapi ulah seorang suami yang … yaah … mungkin akan membuat sakit hati bagi siapapun yang menerima perlakuan seperti itu. Kalau aku dilukai, aku bisa mengamuk.”

“Aku bukan type laki-laki yang gampang jatuh cinta. Sekali jatuh cinta aku tak bisa menghentikannya dan akan setia pada perasaanku.”

“Itu kan janjimu?”

“Kalau janji tidak cukup, garuskah bersumpah?”

“Tidak harus.”

“Jadi … apakah aku tampak seperti laki-laki yang suka bermain dengan gadis-gadis cantik?”

“Belum kelihatan sih.”

“Aduh, kamu tuh, susah banget percaya sama aku. Baiklah, aku akan berlutut dihadapan kamu untuk mengucapkan janji setia sama kamu,” kata Danarto sambil benar-benar berlutut didepan Desy.

“Mas Danar … aahhh.”

“Aku tuh tahu kalau kamu juga sayang sama aku. Jadi …”

“Berdiri nggak? Aku pulang lhoh.”

Danarto berdiri.

“Okey, aku akan segera melamar kamu, minggu ini juga,” kata Danarto bersungguh-sungguh.

Desy tersenyum. Tak ada penolakan pada wajahnya, dan Danarto begitu bahagia menatapnya.

Tiba-tiba ponsel Danarto berdering. Wajahnya muram ketika melihat di layar ponselnya, siapa yang menelpon. Ia menatap Desy dengan termangu.

“Si dia? Terima saja, jangan suka membuat orang kecewa,” kata Desy.

“Ya Hes?” akhirnya Danarto menjawab.

“Mas Danar kemana sih, sudah sore kok belum pulang? Ini aku sama ibu ada di rumah mas Danar lhoh.”

Ponsel Danarto hampir terjatuh karena terkejut.

***

Besok lagi ya.

Thursday, April 28, 2022

ADUHAI AH 10

 

ADUHAI AH  10

(Tien Kumalasari)

 

“Tutut, apa maksudmu?” seru Tindy kaget.

“Aku akan menemuinya besok, di kampus,” katanya enteng.

“Untuk apa kamu menemuinya, nak?”

“Mengapa kalau aku bertemu mas Sarman? Aku merasa Ibu seperti menghalangi keinginan Tutut ini? Memangnya salah apa mas Sarman ?”

“Tidak ada yang salah, dia baik-baik saja.”

“Mengapa Ibu seperti terkejut ketika Tutut mengatakan ingin menemuinya di kampus?”

“Tidak ada gunanya kamu menemuinya, kan dia sudah pamit dan itu tidak akan lama, dia bilang akan kembali kok.”

Tutut hanya diam, sampai ibunya meninggalkan kamarnya.

“Kenapa dia?” tanya Haryo.

“Dia sepertinya ngambeg. Sarman pergi tanpa pamit sama dia.”

“Memangnya tidak pamit sama dia?”

“Katanya begitu.”

“Kok aneh, Desy dipamiti tuh,” sela Desy.

“Mungkin pas dia pamitan, Tutut nggak ada,” kata Haryo lagi.

“Besok dia mau ke kampusnya.”

“Biarkan saja Bu, mungkin dia cuma mau protes. Anak manja kalau tidak diperhatikan pasti ngamuk deh,” kata Desy.

Tak ada yang menjawab, baik Haryo maupun Tindy. Tapi mereka menangkap sikap Sarman itu sebagai sikap yang aneh. Mengapa Sarman tidak berpamit sama Tutut? Mungkinkah memang ada apa-apa di hati mereka?

“Ayo kita berangkat Bapak, simbok sudah menunggu di depan tuh.”

“Baiklah, ayo kita berangkat,” kata Haryo pada akhirnya.

“Saya saja yang membawa mobilnya ya Pak,” kata Desy.

“Terserah kamu saja. Simbok di depan sama Desy, aku dibelakang sama ibu,” jawab Haryo.

Tutut mendengar mereka berangkat pergi, ia tetap bergeming di kamarnya. Tiba-tiba ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Sosok Sarman yang ngemong dan penuh perhatian, membuatnya menemukan seorang kakak yang penuh kasih sayang. Apakah aku jatuh cinta? Tidak, ini hanya cinta kepada seorang kakak. Kehadiran mas Sarman yang kemudian diangkat anak oleh bapak sama ibu, membuat aku kemudian menemukan seorang kakak. Kakak yang baik, yang penuh pengertian, dan yang penting selalu bisa momong adik-adiknya. Tapi kenapa mas Sarman membeda-bedakan aku dengan yang lain? Masa sama mbak Desy dia pamitan, kok aku enggak?

Tutut akhirnya tertidur sebelum keluarganya pulang, dengan tekat esok hari akan menemui Sarman di kampusnya.

***

“Tutut, mau diantar Bapak?”

“Tidak Pak, Tutut naik mobilnya ibu seperti biasa saja, boleh kan?”

“Tapi sepertinya hari ini ibu akan pergi lho, itu sebabnya Bapak menawarkan untuk mengantar. Kalau bareng kakakmu, nanti dia jalan mutar, bisa terlambat sampai di rumah sakit, soalnya lalu lintas di daerah kampus pasti ramai di jam-jam seperti ini.”

“Oh, begitu ya? Baiklah, diantar Bapak juga nggak apa-apa,” kata Tutut pasrah. Dan sekali lagi Tutut merasa bahwa ayahnya yang pastinya sudah tahu bahwa dia akan menemui Sarman, menghalanginya naik mobil sendiri. Supaya tidak jadi ke kampusnya Sarman? Bukankah banyak taksi online, atau ojol yang bisa mengantarnya kemana pun?

Ia tidak perlu menanyakan kepada ibunya akan pergi kemana, karena ia tahu bahwa itu hanya alasan untuk menghalanginya saja. Haryo dan Tindy lupa bahwa Tutut bukan lagi anak kecil yang bisa dijerat langkahnya.

Dan akhirnya Tutut hanya diam saja selama diperjalanan bersama ayahnya.

“Tutut,” panggil Haryo.

Tutut menatap kearah depan, menikmati hiruk pikuk lalu lintas yang mulai sibuk di jam-jam seperti itu.

“Kok diam sih, dipanggil Bapak?” protes Haryo.

Tutut menoleh ke arah ayahnya.

“Kamu marah sama Bapak?”

“Nggak …”

“Beberapa hari ini kok Bapak merasa Tutut tidak bermanja di depan Bapak ya? Biasanya menggelendot dipundak Bapak, merengek-rengek minta sesuatu,” kata Haryo sambil meraih sebelah tangan Tutut.

“Lagi males saja,” kata Tutut singkat.

“Pasti ada sebabnya dong.”

“Nggak ada.”

“Hm.. bapak tahu, pasti karena mas Sarman nggak pamit sama kamu saat mau pergi. Kamu tahu, dia pergi pagi-pagi sekali, baru Bapak sama ibu yang bangun.”

“Mbak Desy ?”

“Oh iya, mbak mu juga sudah bangun, jadi karena kamu masih tidur, dia nggak pamit sama kamu.”

“Mengapa dia pergi?”

“Dia bilang sama Bapak, katanya kangen sama ibunya, dan ingin tinggal sementara di tempat yang dekat dengan makam ibunya.”

“Cuma karena itu, kok tiba-tiba?”

“Bisa saja dong, tiba-tiba kangen.”

“Bapak marah sama dia kan?”

“Ah, nggak lah, mana pernah Bapak marah sama dia. Dia itu kan selalu baik, santun, pengertian.”

“Tutut merasa menemukan kakak yang sangat baik.”

“Kamu tidak perlu merasa sedih, nanti dia akan kembali kok. Kalau hatinya sudah tenang, dan rasa kangen sama ibunya sudah terpuaskan.”

“Tutut tidak sedih.”

“Lalu?”

“Tutut ingin bertanya sama dia, mengapa dia tidak pamit sama Tutut.”

“Kan Bapak sudah jawab, perginya ketika kamu belum bangun.”

“Itu kan jawaban Bapak, jawaban mas Sarman harus Tutut dengar.”

Haryo menghela napas. Tutut sudah biasa protes sama ayahnya setiap kali ada yang tidak memuaskannya. Kali ini protesnya diiringi rasa curiga, seperti ada apa-apanya.

“Nanti dijemput jam berapa?” tanya Haryo ketika sudah sampai di depan kampus.

“Nanti gampang, Tutut bisa naik ojol atau taksi.”

“Baiklah, tapi kalau bisa kabari Bapak ya, biar Bapak jemput.”

Tutut tak menjawab, langsung turun setelah mencium tangan ayahnya.

Haryo menghela napas. Ada rasa ingin meruntuki dirinya karena kelakuannya maka keadaan bisa sekacau ini.

“Ya Allah, ampunilah hambamu ini,” bisiknya pelan, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, dan memacu mobilnya menuju pulang.

***

“Mengapa wajahmu kelihatan muram? Ada yang tidak menyenangkan?” tanya Danarto ketika Desy menemaninya setelah praktek.

“Memikirkan Tutut aku tuh.”

“Memangnya kenapa dia?”

“Beberapa hari ini bawaannya marah-marah terus.”

“Gara-gara apa?”

“Nggak tahu. Mungkin karena mas Sarman pergi, dan tidak pamit sama dia, sementara semua orang di rumah itu dipamitin semua.”

“Memangnya mas Sarman pergi kemana?”

“Alasannya sih kangen sama ibunya, lalu ingin menginap didekat makam, agar bisa merasa dekat.”

“Mas Sarman sudah hampir selesai kuliahnya bukan?”

“Ya, saat ini lagi mengerjakan tugas akhir. Tutut disalip sama dia.”

“Dia pintar kayaknya.”

“Memang pintar. Tapi dia itu rendah hati banget. Kalau orang memuji dia pintar, maka jawabnya adalah karena keburu tua, maka dia ngebut.”

“Oh ya?”

“Mas Sarman itu lebih tua dari aku, bahkan lebih tua dari mbak Lala. Makanya dia dianggap kakak sulung, terutama oleh Tutut yang suka bermanja sama dia.”

“Dia baik sekali ya.”

“Sebenarnya aku tuh ingin menjodohkan mas Sarman sama Tutut, tapi bapak sama ibu melarangnya. Bahkan melarang keras, menilik nada suara mereka ketika aku mengutarakan niatku itu.”

“Oh ya? Kenapa? Oh, perbedaan status ya?”

“Orang tuaku bukan yang suka membedakan status. Entah mengapa, aku tahu ada alasan yang disembunyikan.”

“Dari mana kamu tahu ada alasan disembunyikan?”

“Mereka bilang, pada suatu hari nanti aku akan mengerti. Bingung kan?”

“Ya sudah, kalau memang ada alasannya, kamu nggak perlu risau kan?”

“Semalam bapak juga nanya sama aku.”

“Tentang mas Sarman dan Tutut?”

“Bukan, tentang hubungan kita.”

“Nah, itu yang aku tunggu. Kamu sudah jawab ‘iya’ kan?”

“Belum.”

“Gimana sih? Masih tetap tidak mengerti tentang perasaan kamu sendiri? Aku saja tahu,” goda Danarto.

“Ah ….”

“Iya benar. Kamu saja yang tidak mau mengakui.”

“Nanti setelah sembuh kita bicara lagi. Sekarang bukan saatnya.”

“Aku sudah sembuh, tahu.”

“Oh ya? Pengin buru-buru pulang dong, sudah siap menghadapi susahnya mengurus rumah?”

“Bicara tentang rumah, aku mau minta tolong sama kamu.”

“Kok bisa, tentang rumah … lalu ngomongnya sama aku?”

“Aku mau kamu menemani aku melihat rumah yang akan aku beli.”

“Wauww, mau beli rumah?”

“Yang tidak terlalu jauh dari tempat aku bekerja. Aku sudah melihat rumah itu, tapi aku ingin kamu menyukainya. Itu sebabnya aku mau mengajak kamu.”

“Mengapa harus aku?”

“Karena nantinya yang akan tinggal di rumah itu adalah kita.”

“Ah ….”

“Senengnya, dua kali dapat ‘ah’ hari ini.”

Desy tersenyum manis.

“Aku serius. Mau ya? Minggu ini aku mau pulang. Lalu kita akan melihat rumah itu bersama. Okey?”

“Kita lihat saja nanti.”

“Aku juga tak ingin terlalu capek karena rumahku lumayan jauh. Dan aku juga berniat akan membuka praktek di rumah itu.”

“Bagus lah Mas, aku setuju.”

“Kita akan praktek bersama disana. Rumahnya lumayan luas, bisa untuk dua ruang praktek dan ruang tunggu yang nyaman. Nanti kita desain ulang kalau ada yang tidak sempurna.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Kamu juga harus senang.”

“Aku antar kamu melihat rumahnya, tapi untuk yang lain-lain aku perlu bicara sama kamu.”

“Baiklah, tidak masalah. Yang penting aku sudah tahu bagaimana isi hati kamu.”

“Ah … sok tahu.”

Bagaimanapun apa yang dikatakan Danarto tak sedikitpun ditampik oleh Desy. Kata ‘iya’ belum terucap, tapi Danarto sudah merasa bahwa Desy tak akan menolaknya.

***

Sarman baru mau mengambil sepeda motornya di tempat parkir ketika mau pulang dari kampus, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang gadis duduk termangu di bawah sebuah pohon besar yang ada di halaman. Sarman masih ingat, gadis itu bernama Hesti, yang pernah menabraknya saat mau menuju ke perpus, dan juga yang nyaris kehilangan ponsel lalu dia berhasil mengambilkannya. Dengan langkah ringan dia mendekati gadis itu.

“Heii … kok ngelamun disini sih.”

Hesti terkejut. Dia mengangkat wajahnya yang semula sedikit tertunduk.

“Mas Sarman?”

“Ngapain ngelamun disini? Kamu tahu nggak, pohon ini wingit lho,” kata Sarman sambil duduk di samping Hesti.

“Wingit itu apa?”

“Wingit itu keramat, angker, ada penunggunya. Bisa diculik kalau kamu duduk sendirian dan ngelamun disini.”

“Hiih, nakutin deh.”

Sarman terbahak.

“Benarkah?” tanya Hesti sambil menoleh kearah pohon besar berdaun rindang itu.

“Nggak, aku bohong. Lagi mikirin apa?”

“Mas, aku mau curhat nih.”

“Curhat soal apa?”

“Soal cinta.”

Sarman kembali terbahak.

“Kamu lagi jatuh cinta?”

“Gimana sih cara menaklukkan hati seorang cowok?” Mas kan cowok, jadi pasti tahu dong, cewek yang bisa menarik hati itu yang bagaimana?”

“Hm, perbincangan serius nih?”

“Serius lah.”

“Kamu tahu nggak, selera setiap orang itu berbeda. Misalnya, cowok yang kamu sukai itu sukanya yang seperti apa, yang cantik, kalem, lembut. Tapi ada lagi yang lebih suka gadis yang manja, kolokan, ada lagi yang suka gadis yang lucu, jenaka, suka bercanda. Jadi jangan tanya sama aku. Kecuali kamu jatuh cinta sama aku,” kata Sarman sambil tertawa.

“Oh, gitu ya," senyum Hesti.

“Kamu jatuh cinta sama siapa? Mahasiswa kampus ini?”

“Tidak. Dia seorang dokter.”

“Wouuw, seorang dokter? Bagus dong, pasti dia suka sama kamu, karena kamu kan cantik, menarik.”

“Nggak. Dia sudah punya pacar.”

“Wah, berarti cinta kamu salah alamat. Jangan sekali-sekali suka sama orang yang sudah punya pacar, apalagi punya istri.”

“Tapi ibuku suka sama dia, dan berharap dia bisa menjadi menantunya.”

“Rumit itu. Kalau cowoknya sudah punya pacar ya sia-sia dong.”

“Ibu meminta agar aku merebutnya, karena aku sama dokter itu sudah dijodohkan.”

“Waduh, nggak bener itu. Jaman sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya, tahu. Bagaimana mungkin orang dijodoh-jodohkan, sama yang sudah punya pacar pula.”

“Tapi aku akan berusaha merebutnya.”

“Wieeet… kamu salah Hesti. Kamu kenal sama pacar dokter itu?”

“Nggak. Aku kenal ketika mas Danarto, tunanganku itu dirawat di rumah sakit, dan pacarnya sering menungguinya. Dia juga dokter.”

“Tunggu … tunggu … siapa nama tunangan kamu atau cowok yang kamu inginkan itu? Danarto? Dokter Danarto?”

“Iya. Pacarnya juga dokter, namanya Desy.”

“Astaga naga.” Sarman terbelalak.

“Mas Sarman kenal?”

“Bukan kenal lagi. Desy itu adik aku.”

Sekarang Hesti yang terbelalak.

“Adik mas Sarman?”

“Iya, adik aku. Hanya adik angkat sih, tapi dia  aku anggap sebagai adik beneran.”

“Oh, maaf.”

“Aku ingatkan kamu Hesti, cari pacar itu  yang tidak memiliki kekasih. Kamu akan mendapat masalah nanti.  Paling tidak, masalah dengan hati kamu sendiri. Sakit itu,” kata Sarman sambil berdiri., Ia hampir meninggalkan Hesti yang masih termangu di sana, ketika terdengar seseorang memanggilnya.

“Mas Sarman !”

Sarman terkejut bukan alang kepalang. Dilihatnya seorang gadis melangkah cepat mendekatinya, dan itu adalah Tutut.

***

Besok lagi ya.




M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...