A Y N A 12
(Tien Kumalasari)
“Kamu ?” tanya Bintang heran.
Nanda tertawa.
“Iya ini aku? Masa sih lupa sama musuh kamu sejak masih kanak-kanak?”
“Ayna...” kata mereka berbarengan sambil mengulurkan masing-masing seikat bunga kearah Ayna.
Ayna tersenyum sangat manis, dan membuat kedua ganteng itu terpana.
“Ini apa-apaan mas?”
“Ini bunga..” dan lagi-lagi mereka mengucapkannya hampir bersamaan.
“Ooh, iya benar, ini bunga. Buat aku ?”
“Iya lah, pastinya buat kamu,” kali ini Bintang yang menjawab.
“Masa buat dia?” kata Nanda sambil menunjuk kearah Bintang.
“Aduuh, terimakasih banyak, mas Bintang, mas Nanda. Kalian selalu baik sama aku. Tapi kok mas Nanda tiba-tiba muncul?”
“Aku tadi mau nyamperin kamu, keduluan mas dokter itu, lalu aku ikuti kalian. Ketika kalian makan aku membeli bunga dan bersembunyi didalam, pura-pura memesan sesuatu. Setelah melihat dia ini keluar, aku ingin segera memberikan bunga itu ke kamu, tapi ketemu teman dan ngobrol sebentar, aduuh.. jadi telat deh.. ee.. tak tahunya dia juga datang membawa bunga.”
Lalu kedua ganteng itu tertawa keras.
“Sssst... tuh, pada nglihatin kemari, tertawanya seperti dirumah sendiri saja,” tegur Ayna.
“Iya, ma’af.. “ kata keduanya bersamaan.
“Bunganya cantik sekali, nanti aku pasang di vas dan aku letakkan dikamar ibu. Pasti ibu senang. Oh ya, jadi ingat, ayo aku mau pulang. Ibu sakit nih.”
“mBak Tanti sakit? Yang semalam masih berlanjut?”
“Iya, sedianya mau ke dokter, tapi mas Bintang mau memeriksanya lebih dulu. Ayo kita kesana.”
“Baiklah, kamu tetap bersama aku kan?” kata Bintang.
“Bersamaku saja, kan tadi sudah bersama dia,”
“Eeeh, mana bisa, main serobot saja..”
“Ya sudah, kalau berebut, aku jalan kaki saja, jadi nggak ikut mas Bintang, nggak ikut mas Nanda. Bagaimana?”
“Jalan kaki?”
“Ya.. ini adil kan?”
“Nggak.. nggak, baiklah, kamu sama dia juga nggak apa-apa,” kata Bintang.
“Sama mas Nanda?”
“Iya.”
Tapi ternyata Nanda justru menolak. Tiba-tiba ia merasa telah merebut kesempatan Bintang untuk bersama Ayna, dan itu membuatnya merasa menang karena Bintang mengalah. Tak ada kepuasan ketika menang karena ‘dimenangkan’.
“Nggaaak, baiklah, sama Bintang saja, aku ngikutin dari belakang.”
“Nah, gitu dong, kalian ini aneh.. ayo cepat, nanti ibu menunggu.”
Bintang meletakkan selembar uang setelah melambai ke arah pelayan, lalu bertiga keluar dari rumah makan itu.
***
Ketika mereka bertiga sampai dirumah Danang, dilihatnya Danang sudah ada dirumah. Tampaknya Danang bersiap mengantarkan isterinya.
“Lho, ini Ayna kok bawa pasukan ?”
“Ibu bagaimana, pak?”
“Itu, aku mau mengantarnya ke dokter..”
“Om lupa ya kalau saya dokter?” kata Bintang.
“Hahaaa.. iya Bintang.. aku pikir kamu jauh... “
“Biar saya lihat tante...”
Bintang dan Nanda masuk, dilihatnya Tanti sudah bersiap pergi, dan Ayna duduk didekatnya.
“Mas Bintang yang akan memeriksa bu..”
“Oh, syukurlah..”
“Tante.. sakit apa nih?”
“Nggak tahu nih Bin, ada gangguan pencernaan kayaknya. Dikamar saja periksanya?”
“Terserah tante...”
Lalu Tanti masuk kekamar, Ayna dan Danang mengikutinya.
“Untung saya pulang dari kantor dan masih membawa alat-alat, barangkali diperlukan.
Beberapa sa’at lamanya Bintang memeriksa Tanti.
“Bagaimana?” tanya Danang.
“Tekanan darahnya agak rendah, tapi sepertinya ada sesuatu,” kata Bintang.
“Untuk jelasnya tante harus ke laborat, periksa urine dan darah.”
“Memangnya tante kamu sakit apa?” tanya Danang khawatir.
“Mari tante saya antar ke laborat sekarang saja, supaya segera jelas semuanya.”
“Apakah itu berbahaya ?”
“Tidak, ayo tante, saya antar sekalian. Bisa saja pekerja laborat datang kemari, tapi nanti hasilnya kelamaan. Lebih baik kita kesana.”
Ketika Bintang dan Danang mengantarkan Tanti, Ayna ditemani Nanda menunggu.
Ayna agak gelisah, menghawatirkan sakit ibu angkatnya. Tapi melihat wajah Bintang yang tampak biasa saja, Ayna sedikit tenang.
“Ada apa ya mbak Tanti?” tanya Nanda tak kurang gelisahnya.
“Semoga baik-baik saja,” gumam Ayna sambil beranjak kebelakang, bermaksud membuat minuman untuk semuanya.
“Hm, ada kesempatan untuk mengutarakan hati aku kepada Ayna, tapi suasananya kok nggak enak begini ya,” gumam Nanda.
“Mas, minumnya... silahkan,” kata Ayna mengejutkannya.
“Oh.. eh.. ya.”
“Mas lagi ngelamun ya?”
“Eeh.. iya... maksudku.. memikirkan sakitnya mbak Tanti..”
“Iya, aku juga khawatir. Tapi kok mas Bintang sikapnya biasa-biasa saja ya.”
“Dia kan dokter, jadi sudah biasa menangani pasien yang bagaimanapun.”
Tapi Ayna masih ingat, ketika Bintang menangani ibunya, wajahnya tampak gelisah, tidak tenang seperti tadi. Ini agak menenangkan hati Ayna.
“Semoga ibu baik-baik saja.”
“Ayna...” mulut Nanda hampir mengatakan sesuatu.
“Mas, diminum dulu.. “
“Ya, baiklah...”
Keduanya duduk berhadapan, tapi tak mengucapkan sepatah katapun.
“Ini kesempatan baik, hanya aku dan dia. Tidak seperti biasanya selalu ada Bintang. Tapi aneh ya kalau aku mengatakan perasaanku sementara hati Ayna sedang tidak tenang begitu.”
Lalu Nanda meraih cawan yang disuguhkan, dan meneguk isinya, sampai habis.
“Mas haus ya? Saya tambah lagi ya..” kata Ayna sambil meraih cawan kosong didepan Nanda.
“Sudah.. sudah..”
“Nggak apa-apa..” Ayna nekat membawa cawan itu kebelakang.
“Aduuh.. kok aku jadi nggak tenang begini..”
Lalu Nanda menyalakan televisi , mencoba mencari acara yang menarik.
“Acara apa tuh mas?” tanya Ayna ketika sudah kembali setelah mengisi minuman lagi pada cawan Nanda.
“Nggak tahu nih, sembarang aja, biar nggak sepi.”
“Iya, tiba-tiba sepi. Coba kalau ada mas Bintang, pasti ramai deh.”
Nanda menatap Ayna, apakah dia mengharapkan Bintang ada diantara mereka? Apakah Bintang lebih menarik dari dirinya? Sekarang Nanda merasa sedikit cemburu mendengar kata-kata Ayna. ,
“Ayna lebih suka kalau ada Bintang ya?”
“Bukan begitu, maksud saya kalau ada mas Nanda juga ada mas Bintang, pasti ramai. Sekarang adanya cuma mas Nanda, jadi sepi kan?”
“Iya, yang ramai hatiku nih,” kata Nanda dalam hati. Agak terhibur mendengar kata Ayna yang terakhir, Artinya harusnya ada dirinya dan Bintang. Aduuh, mana bisa terus-terusan begitu? Nanda ingin Ayna memilih salah satu diantaranya.
“Mas Nanda, kapan mbak Deva menikah?” akhirnya Ayna menemukan sebuah pertanyaan.
“Oh, belum.. nanti setelah selesai kuliah, mungkin tahun depan, kalau lancar.”
“Harusnya mas Nanda dulu.. kan mas Nanda kakaknya?”
“Aku ?? Belum ada yang mau..” tiba-tiba Nanda merasa punya celah untuk memancing bagaimana perasaan Ayna kepadanya.
“Masa?”
“Kalau... Ayna mau..?” kata-kata itu meluncur begitu saja. Tapi Nanda tertegun, Ayna tertawa ngakak mendengar ucapannya.
“Aaah.. mas Nanda ada-ada saja..”
“Bagaimana kalau serius..?”
“”Mas Nanda jangan bicara yang tidak-tidak ah.”
“Aduuh.. kok Ayna bicara tanpa ekpresi begitu, seakan kata-katanya hanya dianggap angin lewat,” kata hati Nanda.
Lalu lama mereka berdiam, menatap televisi tanpa meresapi isi acaranya, sampai mobil Bintang masuk ke halaman.
“Itu mereka datang..” seru Ayna yang langsung berdiri menyambut.
Tapi alangkah terkejutnya Ayna ketika Danang turun, lalu dilihatnya ayah angkatnya itu menggendong isterinya.
“Bapak... ada apa?”
Tapi Ayna heram ketika mendengar Tanti berteriak-teriak.
“Aduuh mas, lepaskan aku.. ya ampuun.. aku bukan bayi maas...turuniin..”
“Jangan meronta, nanti kamu benar-benar jatuh,” kata Danang yang terus membawa Tanti kedalam dan mendudukkannya di sofa pelan.
Bintang tampak ter-senyum-senyum, membuat Ayna dan Nanda heran melihat adegan itu.
“mBak Tanti kenapa?” tanya Nanda tak kurang herannya.
“Jangan tanya dia, tanya sama aku saja,” kata Danang.
“Gimana sih mas?”
“mBak Tanti kamu ...sedang mengandung..” kata Danang riang.
“Haaa...” Nanda dan Ayna bersorak, lalu Ayna mendekati Tanti dan memeluknya erat.
“Ibuu.. selamat, Ayna senang mendengarnya.”
“Ini sangat mengejutkan aku, aku
tidak muda lagi.” kata Tanti sambil tersenyum.
“Tapi aku bahagia, benar kataku bukan? Kamu akan mendapatkan anak kandung setelah memungut Ayna menjadi anak kamu,” kata Danang sambil memeluk isterinya.
“Mari kita rayakan berita gembira ini.. mm.. apa ya enaknya.. kita makan diluar yuk,” ajak Danang.
“Wedang ronde saja,” seru Tanti.
Wedang ronde? Aduhai.
***
Berita bahagia itu segera tersebar. Handoko dan Palupi menyambutnya dengan gembira.
“Alhamdulillah, akhirnya Danang akan punya keturunan. Seandainya ibu masih ada pasti akan sangat bahagia,” kata Handoko.
“Iya ya mas, tapi bagaimanapun ini harus kita sambut dengan rasa bahagia.”
“Tidak mengira, di usia empatpuluh tahun lebih, Allah masih berkenan memberikan Tanti keturunan untuk adikku.”
“Kalau Allah berkehendak, tak ada yang bisa menolak. Ini kebahagiaan kita juga.”
“Dan benar kata orang-orang tua ya, sebuah keluarga yang belum dikaruniai anak, ketika memungut anak angkat, tiba-tiba bisa hamil. Ini benar-benar kejadian.. Luar biasa kuasa Allah.”
“Iya ya mas. Saya juga tak mengira. Tapi Tanti juga harus hati-hati lho, kan usianya tidak muda lagi. Harus sangat dijaga. Itu termasuk usia rawan.”
“Benar, nanti kita harus memberi tahu Danang dan Tanti agar dia hati-hati menjaga bayi yang baru tumbuh di rahimnya.”
“Iya mas, besok aku mau kesana, barangkali dia memerlukan sesuatu. Kasihan kalau ngidamnya muntah-muntah terus, jadi repot.”
“Ya enggak, kan ada Ayna yang katanya sangat rajin.”
“Tapi Ayna kan bekerja mas.”
“Iya juga sih.. Ya bagaimana mereka lah, pasti mereka bisa mengaturnya.”
“Benar, beda waktu aku mengandung Bulan, nggak begitu repot, karena nggak merasakan ngidam, bisa melakukan apa-apa, jadi ketika ditinggal Mirah juga nggak ada masalah.”
“Barangkali mereka memerlukan pembantu.”
“Pembantu sekarang kan tidak mudah mas, tidak seperti dulu. Kita dapat pembantu yang baik seperti Mirah, dan seperti yu Suprih.”
“Kalau sekarang yu Suprih disuruh tinggal disana bagaimana?”
“Kasihan mas, yu Suprih juga sudah semakin tua.”
“Semoga segera mendapat pembantu.”
“Aku juga pengin punya adik bu,”
tiba-tiba Bulan berteriak sambil keluar dari kamarnya.
“Apa? Kamu itu ada-ada saja.”
“Kalau tante Tanti bisa hamil, pasti ibu juga bisa dong.”
Handoko tertawa.
“Ibu sudah punya dua anak, itu cukup,” kata Handoko.
“Ibu sudah jauh lebih tua, nggak kuat kalau harus punya anak lagi.”
“Iya ya bu? Bulan hanya membayangkan, alangkah senangnya kalau punya adik lagi.”
“Nanti anaknya tante Tanti kan juga bisa jadi adik kamu,” kata Handoko.
“Kalau besok ibu mau kerumah om Danang, Bulan ikut ya?”
“Iya, besok siang saja setelah memasak.”
“Ibu tahu nggak, kata mas Bintang, tante Tanti senengnya minum wedang ronde.”
“Benarkah? Kalau begitu besok kita bawakan wedang ronde, biar adik kamu yang didalam perut suka.”
“Kalau siang mana ada orang jualan wedang ronde?”
“Ibu bisa buat dong,” kata Palupi.
“Benarkah?”
“Ajarin buat bulat-bulat seperti bola itu bu.”
“Itu dari tepung ketan, didalam nya diisi kacang yang sudah dihaluskan dan dimasak sama gula.”
“Rumit dong bu.”
“Nggak, besok kita buat sama-sama ya.”
***
“Ibu, apakah Ayna harus keluar dari pekerjaan supaya ibu tidak repot?”
“Jangan Ayna, kehamilan ibu ini jangan sampai mengganggu kamu. Lakukan apa yang kamu suka, jangan karena ibu hamil lalu kamu meninggalkan pekerjaan kamu. Bukankah kamu juga dibutuhkan di tokonya pak Yoga?”
“Iya bu, kalau begitu setiap pagi biar Ayna memasak untuk sarapan dan makan siang.”
“Nanti kamu kecapekan Ayna.”
“Tidak bu, Ayna bisa bangun lebih pagi. Ibu jangan memikirkannya. Sepulang kerja Ayna bisa belanja untuk dimasak pagi harinya.”
“Anak baik, ibu senang mendengarnya. Semoga acara ngidam ini tidak berlangsung lama, sehingga tidak perlu lama ibu merepotkan kamu. Tapi sebenarnya bapak bisa setiap hari beli masakan matang.”
“Kalau sesekali tidak apa-apa bu, tapi kalau setiap hari juga nggak enak. Masakan yang dimasak dirumah lebih enak daripada beli diwarung.”
“Yang menjadikan enak adalah... kalau dimasak dirumah, masaknya pasti dengan rasa kasih sayang.”
“Benar ibu. Biarkan saya melakukannya. Saya biasa bangun pagi dan masak sebelum berangkat kerja. Bahkan masakan yang bisa dimasak sore harinya juga akan meringankan tenaga di pagi hari.”
“Kamu benar-benar anak baik, aku bahagia punya anak kamu.”
“Ini karena ibu harus sangat menjaga kandungan ibu. Saya bahagia mau punya adik.”
“Terimakasih Ayna.”
“Kalau begitu sekarang saya akan mencatat apa saja yang harus saya beli. Besok ibu ingin dimasakkan apa?”
“Apa ya, sa’at ini membayangkan masakan saja aku merasa mual.”
“Tapi ibu kan harus tetap makan, biarpun sedikit-sedikit.”
“Terserah kamu saja Ayna, siapa tahu nanti aku doyan.”
***
Sepulang dari toko, Ayna tidak langsung kerumah. Ia harus belanja seperti yang telah direncanakan. Tanti sudah memberinya catatan tentang apa yang harus dibelinya.
Lalu Ayna mencegat angkot yang akan
melewati supermarket dimana ia harus belanja. Ayna sangat bersemangat, karena
mulai besok ia akan bangun lebih pagi, lalu membersihkan rumah dan memasak. Hal
itu tak membuatnya susah karena ia sudah biasa melakukannya. Ayna senang melakukan hal yang membuat keluarga Danang juga senang, barangkali apa yang dilakukannya tak sebanding dengan kebaikan mereka.
Sebenarnya Ayna lebih suka belanja sayur di pasar tradisional, tapi sesore ini pasti susah mencari sayuran segar.
Ayna turun didepan sebuah supermarket, tapi tanpa sadar sepasang mata mengawasinya tanpa berkedip. Ayna tak sadar bahwa pemilik sepasang mata itu berada didalam angkot yang ia tumpangi dan ia tak memperhatikannya. Dan tanpa sepengetahuannya juga orang itu ikut turun tak jauh dari Ayna turun.
***
Besok lagi ya.