Thursday, February 29, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 30

 ADA CINTA DI BALIK RASA  30

(Tien Kumalasari)

 

Kedua laki-laki yang sama-sama tampan itu rupanya juga baru saja tiba. Anjani melihat mereka saling pandang kemudian bersalaman sambil tersenyum ramah.

Anjani tertegun. Yang satu adalah laki-laki yang pernah menyatakan cintanya, tapi satunya lagi adalah laki-laki yang menempati hatinya dengan cara yang sangat istimewa, kalau belum boleh dikatakan cinta.

Karena perasaan yang sedikit membuatnya gelisah itu, maka membuat Anjani hanya terpaku di depan pintu.

“Anjani,” Wijan dan Jatmiko memanggilnya hampir bersamaan.

Anjani tersenyum, baru melangkah mendekati mereka.

“Kok bisa bareng?”

“Kami bukan kencan lhoh. Kebetulan saja datang bersama-sama.” kata Jatmiko menerangkan.

“Benar, kebetulan bisa datang bersama-sama.”

Anjani mengajaknya duduk di bangku.

“Bagaimana keadaan bapak?” tanya Jatmiko.

“Aku belum sempat cerita sama kamu. Siang tadi bapak sempat anfal, membuat aku ketakutan. Tapi kemudian dokter bisa mengatasinya. Sekarang dipindahkan ke ruang ICU.”

"Belum bisa pindah ke ruang rawat ya?”

“Menunggu keadaan membaik. Bagaimana wawancaranya?” tanya Anjani mengalihkan pembicaraan.

“Alhamdulillah, baik. Kemungkinan aku bisa mulai bekerja bulan depan.”

“Di Semarang?”

Wijan menangkap rasa kecewa tersirat di wajah Anjani. Apakah Anjani tak suka kalau harus berjauhan dari Jatmiko? Hal itu sangat mengganggu perasaannya.

“Tidak. Aku akan ditempatkan di sini.”

“Oh, syukurlah,” dan senyum di bibir Anjani merekah. Wijan tak berhenti menatapnya.

“Mas Wijan tidak bersama Nilam?” tanya Jatmiko kepada Wijan.

“Tidak. Rumah kami kan berbeda. Tadi sore sudah kemari bersama bapak,” jawab Wijan.

“Tahu begitu tadi aku samperin dia supaya kita bisa rame-rame di sini,” kata Jatmiko, yang membuat senyuman Anjani menipis. Rupanya Jatmiko tak bisa melepaskan perhatiannya kepada Nilam. Ada kisah yang rumit diantara keempat anak-anak muda itu. Cinta yang berbelit, perasaan yang terkadang membuat sakit, sementara semuanya belum jelas. Bisakah masing-masing melabuhkan perahu cinta mereka di muara yang mereka harapkan?

Beruntung mereka adalah orang-orang baik, setidaknya memiliki hati yang bersih, sehingga ketika rasa bersaing itu ada, tapi kebencian diantara mereka tak ada sama sekali. Cinta harus diperjuangkan, paling tidak, itulah yang ada di dalam hati Wijan dan Jatmiko.

Mereka berbincang sampai malam. Tapi ketika Anjani terlihat sangat mengantuk, Wijan memintanya agar tidur di kamar seperti malam sebelumnya.

“Kamu tidurlah, biar aku berjaga di sini,” kata Wijan.

“Bersama aku. Nanti kalau ada apa-apa, aku akan mengabari kamu.”

Anjani merasa sungkan. Masa dua orang laki-laki yang bukan apa-apanya, sudah harus berkorban sebesar itu. Menunggui orang sakit di rumah sakit bukan pekerjaan mudah. Kalaupun bisa tidur, mereka hanya beralaskan bangku-bangku yang dingin dan keras. Jauh bedanya kalau tidur di rumah.

“Tidak, kalian pulanglah. Tidak apa-apa aku menunggui bapak di sini. Ini adalah tugasku,” pintanya.

“Jangan bandel, Anjani. Kamu sudah tampak lelah. Pergilah tidur, sebelum kamu jatuh sakit dan tidak bisa merawat bapak dengan baik,” kata Jatmiko memaksa.

“Mas Miko benar. Tidurlah di kamar. Kami akan ada di sini,” sambung Wijan.

Kedua laki-laki yang menyayangi Anjani dengan rasa sayang yang berbeda itupun terus memaksa Anjani agar mau tidur di kamar, yang akhirnya membuat Anjani mengalah.

“Baiklah, bangunkan aku ketika kalian ingin pulang. Tidak nyaman tidur di tempat ini,” kata Anjani yang kemudian beranjak berdiri, lalu melangkah ke ruang rawat inap ayahnya.

Dan kedua laki-laki itupun masih berbincang, sampai kantuk mendera mereka, dan membuat mereka tertidur di atas bangku panjang yang ada di sekitar ruang tunggu itu.

***

Nugi sudah siap dengan seragam sekolahnya, ketika mencari-cari kakaknya dan tidak ketemu.

“Di mana mbak Nilam? Nanti aku terlambat ke sekolah,” gerutu Nugi sambil berjalan ke sana kemari. Membuka kamar Nilam, membuka kamar ibunya, menjenguk kamar mandi dan dapur.

“Heran, kemana sih Nilam?” Suri juga ikut bingung.

“Mbak Nilaaaaam,” teriak Nugi.

“Nilaaaam,” Suri ikutan berteriak.

“Aku di siniiii!” terdengar Nilam menjawab, dari tempat yang agak jauh.

“Di mana sih?”

“Di gudang.”

Suri heran, pagi-pagi Nilam masuk ke gudang. Ia segera menuju ke gudang, dan melihat Nilam sedang membersihkan sepeda kayuhnya, yang sudah lama tersimpan dan tidak pernah dipakai.

“Ya ampuuun, Nilam. Apa yang kamu lakukan dengan sepeda itu? Kamu mau bekerja naik sepeda? Jauh, tahu,” omel ibunya.

“Aku terlambat dong Mbak,” Nugi ikut-ikutan ngedumel.

Nilam berdiri, menyandarkan lagi sepeda yang baru saja dibersihkannya.

“Jam berapa sih?” tanyanya sambil keluar.

“Jam enam lebih. Nanti Nugi terlambat.”

“Ya sudah, ayo mbak antar dulu kamu ke sekolah,” kata Nilam sambil menggandeng tangan Nugi, yang kemudian ditepiskannya.

“Iih, tangan mbak Nilam kan kotor?!” seru Nugi.

Nilam tertawa, meraih tissue basah di dapur dan mengelus tangan Nugi yang tadi digandengnya.

“Tuh, sudah bersih, bawel!” omel Nilam.

Suri mengawasi Nilam yang mengantarkan Nugi ke sekolah. Ia heran, Nilam belum berganti pakaian kerja, padahal biasanya ketika mengantarkan Nugi, dia juga sudah rapi dan siap untuk berangkat ke kantor.

Ketika pulang dari mengantarkan Nugi, Nilam kembali masuk ke gudang.

“Nilam, apa yang kamu lakukan? Apa kamu mau bekerja dengan mengendarai sepeda itu?”

“Tidak Bu, besok Minggu Nilam akan bersepeda bersama mas Wijan. Tapi sepeda Nilam gembos dan kotor.”

“Sudah, tinggalkan saja di situ, nanti ibu suruh anak warung untuk memompa atau menambalnya kalau ada yang bocor.”

“Sekalian dicuci ya Bu.”

“Ya, sudah. Pokoknya beres. Kamu belum ganti baju juga?”

“Nilam juga belum mandi,” katanya sambil memeletkan lidahnya, lalu berlari ke kamar mandi.

Suri geleng-geleng kepala, kemudian menyiapkan makan pagi untuk Nilam, sementara Nugi selalu sudah sarapan terlebih dulu sebelum berangkat.

***

Memasuki ruang kantornya, Nilam tidak menemukan Wijan di kursinya. Padahal dia sudah terlambat. Apakah Wijan masih menemani Anjani di rumah sakit, semalam? Dengan mulut mengerucut, Nilam mengeluarkan laptop dan mulai mengerjakan tugasnya.

Seorang OB yang masuk, meletakkan gelas minuman hangat di meja Nilam.

“Pak Wijan tidak ke kantor?” tanya OB itu.

“Belum datang, taruh saja minumnya di meja.”

“Padahal pak Raharjo sudah ada di ruangannya,” gumam OB itu sambil meletakkan gelas minuman di meja Wijan.

OB itu kemudian keluar, dan hampir bertubrukan dengan Wijan yang mau masuk ke dalam ruangan.

“Aduh, maaf Pak. Untung sudah tidak membawa gelas.”

“Kamu sih, nggak ngelihat ada aku di depan pintu.”

“Maaf Pak,” kata sang OB sambil berlalu.

“Eiit, tunggu dulu.”

OB itu berhenti.

“Tolong belikan aku sarapan ya.”

“Bapak mau dibelikan apa?”

“Yang ada sayur-sayurnya. Ah ya, pecel saja.”

“Pakai nasi?”

“Ya iya lah, namanya sarapan, masa nggak pakai nasi,” kata Wijan sambil mengeluarkan selembar uang dari dompetnya. Kemudian dia menoleh ke arah Nilam.

“Kamu juga mau?”

“Nggak, aku sudah sarapan.”

“Ya sudah, untuk aku saja,” kata Wijan kepada OB.

Ketika Wijan memasuki ruangan, dilihatnya Nilam sedang asyik menekuni laptop, tanpa memandang ke arahnya.

“Aku bangun kesiangan, jadi bapak berangkat duluan,” katanya tanpa ditanya.

“Semalam begadang?” tanya Nilam tanpa menatap ke arah kakaknya.

“Di rumah sakit, menemani Anjani.”

Nilam tidak berreaksi, ia sudah tahu bahwa itulah yang terjadi.

“Kasihan, dia sendirian. Tapi kemudian aku datang hampir bersamaan dengan mas Jatmiko. Kami tiduran di bangku, kemudian tertidur sampai hampir pagi,” keterangan yang semakin panjang itu didengar oleh Nilam, tapi dia masih tidak menyahut.

“Pekerjaanmu belum selesai?”

“Sudah aku periksa semuanya, kamu bisa melihatnya lagi,” kali ini Nilam menjawabnya.

Lalu keduanya terdiam, saling menekuni pekerjaan mereka.

“Nilam, besok Minggu jadi sepedaan ya,” tiba-tiba kata Wijan, dan itu membuat kemudian Nilam mengangkat wajahnya lalu menatap sang kakak dengan wajah berbinar. Wijan senang. Ia tahu Nilam sedang kesal pada dirinya, dan tentang bersepeda bareng itu ternyata bisa mencairkan hati adik yang disayanginya.

“Tadi pagi aku sudah membersihkan sepedaku.”

“Masih baguskah?”

“Masih, hanya karena lama tidak dipakai, jadi berdebu, dan bannya gembos, dua-duanya.”

“Harus dipompa atau ditambal dong, siapa tahu bocor?”

“Ibu akan menyuruh karyawannya mengurus sepeda itu.”

“Syukurlah.”

Nilam kembali menatap ke arah laptop, tapi wajahnya tidak sekaku sebelumnya. Wijan mengerti. Pembicaraan tentang Anjani selalu membuat Nilam menjadi muram. Wijan sedih melihat sang ‘adik’ sepertinya belum bisa melupakan luka hatinya akibat dirinya menolak cinta yang diungkapkannya.

Ia sedang berpikir, bagaimana cara membuat Nilam mengerti dan menerima bahwa dirinya mencintai Anjani seperti seorang laki-laki mencintai kekasihnya.

“Pada suatu hari nanti, kita akan jalan bersama, apa kamu mau?” kata Wijan lagi.

Nilam menghentikan kesibukannya, menatap Wijan tak mengerti.

“Maksudnya jalan bersama itu apa? Aku, dan mas Wijan?”

“Dan Anjani, dan Jatmiko … Bagaimana?”

Hmm, Anjani lagi, Jatmiko lagi. Apakah Wijan sudah tahu, bahwa mungkin saja Anjani dan Jatmiko saling jatuh cinta? Wijan maupun Nilam belum pernah mendengar salah satu diantara mereka mengutarakan tentang percintaan mereka. Jatmiko yang sering mendekatinya, lalu tetap saja penuh perhatian terhadap Anjani, hal-hal yang masih belum terjawab semuanya.

 “Pasti menyenangkan,” sambung Wijan, ketika Nilam tak berreaksi.

“Terserah mas Wijan saja. Bersepeda saja belum terlaksana, mau jalan-jalan rame-rame. Anjani pasti juga masih harus merawat ayahnya. Oh ya, aku mau bilang, berapa lama lagi kira-kira Anjani bisa bekerja di kantor kita?”

“Nanti kalau pak Marjono sudah baikan, artinya sudah bisa pulang ke rumah, kita bantu agar mereka mencari perawat yang bisa menjaga pak Marjono ketika Anjani sedang bekerja.”

“Oh, baguslah kalau begitu. Semoga pak Marjono segera membaik kesehatannya.”

“Aamiin.”

***

Siang hari itu Jatmiko menemani Anjani di rumah sakit, membuat Anjani merasa senang. Tak enak rasanya kalau Wijan yang terus-terusan menemani, mengingat Wijan kan harus bekerja, sementara Jatmiko belum begitu kelihatan sibuk. Paling-paling urusan dengan perusahaan Usman yang mungkin masih ada yang belum diselesaikannya.

“Apakah mas Wijan setiap hari kemari?”

“Lumayan merepotkan aku ini. Sebenarnya aku tak ingin semua orang jadi repot karena aku.”

“Tidak repot. Mengapa kamu menganggapnya begitu? Kalau repot, mas Wijan pasti tak akan melakukannya. Tampaknya lagi mas Wijan mempunyai perhatian khusus terhadapmu.”

“Apa?”

“Aku melihatnya dari cara dia bersikap, dan cara dia menatap kamu.”

“Bagaimana menurutmu?” tanya Anjani memancing.

“Kalau kamu bahagia, aku juga pasti akan bahagia.”

Anjani menghela napas. Itu bukan jawaban yang diharapkannya. Ia berharap Jatmiko cemburu, tapi tak terlihat tanda-tanda itu. Benarkah Jatmiko tak memiliki perasaan apapun terhadapnya selain berkawan?

Ya sudahlah, akhirnya Anjani tak ingin memikirkan tentang perasaan  siapa dan bagaimana. Ia harus fokus pada sakit ayahnya, yang pastinya membutuhkan perhatian yang lebih.

***

Nugi sudah harus pulang, tapi langganan ojol yang biasanya menjemput tak kunjung datang. Memang sih, hari itu Nugi pulang lebih awal. Karenanya ia harus menunggu. Ia masih berada di depan gerbang sekolah, sambil melihat keluar, barangkali jemputannya sudah datang.

Ketika ia menunggu itu, seorang laki-laki tua melintas. Laki-laki tua itu berjalan sambil terbungkuk-bungkuk, barangkali karena memang sudah uzur sehingga tidak bisa berjalan tegak.

Merasa ada yang menatapnya, laki-laki tua itu menoleh. Lama sekali ia menatap Nugi. Ada sesuatu yang membuatnya berdebar. Wajah Nugi.

“Aku seperti melihat wajahku sendiri saat kecil,” gumam laki-laki itu, sambil terus menatap Nugi.

Nugi tiba-tiba merasa iba. Ia masih punya sepotong roti bekal yang dibawa, dan belum sempat dimakannya. Ia keluar dari gerbang, dan mendekat.

“Pak tua, mau roti?” kata Nugi sambil mengulurkan roti yang diambil dari dalam tasnya.

Laki-laki tua itu memang Baskoro yang sudah bebas dari penjara. Karena tak memiliki apapun, ia menjalani hidupnya atas belas kasihan orang, kalau tak mau dibilang mengemis.

“Ambillah,” kata Nugi.

Dengan gemetar Baskoro menerima roti itu, sambil terus menatap Nugi.

“Siapa … namamu?”

“Nugi. Namaku Anugerah, dipanggil Nugi.”

“Kamu sekolah di sini?”

Nugi mengangguk.

“Nugi!!” tiba-tiba terdengan suara memanggil. Nugi melihat ibunya turun dari taksi.

“Ibu, mengapa ibu yang menjemput?”

“Tukang ojol menelpon ibu, katanya tidak bisa menjemput karena sakit. Kamu bicara sama siapa?”

“Itu, ada pak tua, Nugi beri dia roti.”

Nugi menatap ke arah pak tua, tapi kemudian dia melangkah pergi dengan tergesa-gesa.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, February 28, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 29

 ADA CINTA DI BALIK RASA  29

(Tien Kumalasari)

 

Raharjo menatap Nilam yang terus saja mengawasi punggung laki-laki berpakaian lusuh yang baru saja diberinya selembar uang.

“Nilam, kamu sedang melihat apa?”

“Itu … orang itu … “

“Seorang peminta-minta. Kamu sudah memberinya uang kan?”

“Sudah, tapi Nilam seperti pernah melihat orang itu.”

“Kamu ini aneh. Kita berada di dalam sebuah lokasi, di mana setiap orang bisa berada di sana. Bisa jadi kamu sudah pernah melihatnya di suatu tempat, lalu sekarang melihatnya lagi.

Mobil Raharjo meluncur menuju ke arah kantor kembali. Tapi Nilam masih memikirkannya. Laki-laki, berewokan, lusuh dan kotor. Pakaiannyapun lusuh. Nilam merasa, laki-laki itu bergegas pergi setelah menerima uang darinya. Apa ada yang ditakutkannya? Laki-laki lusuh itu selalu mengganggu ingatannya. Seperti tidak asing, seperti … haa … laki-laki bercambang itukah?

“Dia Baskoro, bukan?” pekik Nilam tiba-tiba.

Raharjo terkejut, menatap gadis cantik yang sudah berpuluh tahun menjadi anaknya itu dengan pandangan heran.

“Apa katamu?”

“Dia tadi itu … seperti Baskoro.”

“Baskoro siapa?” Raharjo sudah melupakan nama itu, tapi tidak dengan Nilam. Hubungannya dengan ibunya membuatnya jijik dan muak.

“Yang menjadi karyawan Bapak … yang dekat sama ibu … yang ….”

“Yang dipenjara? Bukankah dia dipenjara?”

“Sudah lama, barangkali sudah dibebaskan. Lalu di mana ibu?”

“Belum tentu tadi itu Baskoro. Karena dia berewokan?”

“Entahlah, sangat mirip.”

“Apa kamu ingin menengok ibumu di penjara?”

“Tidak. Nilam sudah tahu bahwa dia bukan ibu Nilam. Nilam benci dia. Nilam malu mengingat kelakuannya.”

“Yang sudah lalu, biarlah berlalu, kamu tidak usah memikirkannya. Lagipula mengapa tiba-tiba kamu mengira bahwa dia adalah Baskoro?

"Mungkin karena mirip.”

“Toh dia masih dipenjara. Limabelas tahun belum dilewatinya.”

Nilam diam, tapi dia berpikir terus tentang Baskoro. Mungkin dia mendapat remisi beberapa kali karena berkelakuan baik, sehingga saat ini bisa bebas. Lalu apakah ibunya masih dipenjara? Atau sudah dibebaskan bersamanya? Biarpun membencinya, tapi dia ingin sekali mendengar berita tentangnya. Benarkah laki-laki tadi adalah Baskoro? Seandainya tahu, pasti dia akan menanyakan keadaan ibunya.

“Hei, kamu melamunkan apa?”

“Tidak Pak, tidak melamunkan apa-apa.”

“Mungkin wajahnya mirip Baskoro, tapi banyak orang mirip di dunia ini, bukan?”

Nilam mengangguk. Mungkin hanya mirip. Lagipula kenapa dia memikirkannya? Benarkan dia hanya ingin tahu keadaan ibunya, atau memang ingin bertemu? Bagaimanapun Nilam pernah menjadi anaknya, yang dimanja dengan segala kemewahan, walau dia tak menyukainya. Tapi kelakuan sang ibu yang buruk, membuat rasa kasih sayang Nilam terhadapnya, lenyap bagai ditiup angin.

Ia tak pernah menanyakannya, apalagi merindukannya.

Tiba-tiba ponsel Raharjo berdering.

“Dari Wijan,” gumam Raharjo sambil mengangkat ponselnya.

“Bapak di mana?”

“Baru selesai makan di luar bersama Nilam. Ada apa? Tadi kamu janji akan kembali ke kantor pada jam makan siang kan?”

“Maaf Pak, ada halangan, jadi tidak tega meninggalkan Anjani sendirian.”

“Memangnya ada halangan apa?”

“Tadi tiba-tiba pak Marjono sesak napas. Tapi sudah ditangani dokter.”

“Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Sudah normal, tapi dengan kejadian itu, rupanya pak Marjono belum bisa dibawa ke ruang rawat inap. Sekarang ada di ruang ICU.”

“Jadi kamu masih di rumah sakit?”

“Wijan tidak tega meninggalkan Anjani. Dia sedang mengkhawatirkan ayahnya. Kalau sendirian, dia pasti bertambah sedih.”

“Ya sudah, temani saja dulu,” kata Raharjo yang segera menutup ponselnya.

“Wijan sedang menemani Anjani. Baru saja ayahnya sesak napas, jadi dokter masih mengawasinya dengan ketat. Mungkin juga besok belum jadi bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Kamu harus mengerti, mengapa dia tidak bisa kembali ke kantor seperti janjinya.”

Nilam mengangguk mengerti. Tapi ada kecewa di dalam hatinya, ketika yang ditelpon adalah ayahnya, bukan dirinya.

“Kabarnya keadaan pak Marjono sudah membaik. Mengapa tiba-tiba sesak napas?” gumam Raharjo.

“Mungkin ada hal yang dipikirkannya.”

“Nanti kita ke rumah sakit ya,” kata Raharjo.

“Ya, Pak,” kata Nilam dengan tulus. Dia merasa kasihan pada Anjani. Pasti menyedihkan kalau dia sendirian. Lalu rasa kesalnya kepada Wijan agak berkurang. Pada dasarnya Nilam gadis yang baik. Tidak mungkin dia membenci Anjani, hanya karena laki-laki yang dicintainya ternyata tertarik pada gadis itu.

***

Anjani merasa sungkan, karena Wijan masih saja menemaninya. Tapi ketika ia minta agar Wijan meninggalkannya, ternyata Wijan menolaknya.

“Tidak apa-apa, aku tidak tega meninggalkan kamu.”

“Jangan begitu Mas, jadi nggak enak. Kan dengan begitu, mas Wijan harus meninggalkan tugas di kantor?”

“Aku kan sudah bilang, ada Nilam yang bisa melakukan semuanya. Sekarang ini kamu sedang tidak nyaman, kalau tidak boleh dikatakan sedih, jadi kamu butuh teman.”

Anjani tidak menolak anggapan itu. Betapa bingungnya dia ketika ayahnya tadi sempat anfal. Dan beruntung sekali ada Wijan yang menguatkannya.

“Pasti mas Wijan capek. Saya mau menelpon Miko saja, biar dia menemani saya di sini.”

“Jadi kamu lebih suka ditemani Miko?”

“Eh, bukan begitu … sungguh saya merasa tidak enak karena mas Wijan sudah sejak kemarin berada disini.”

“Tidak apa-apa. Yang penting kamu tidak sendirian. Aku tidak sampai hati membiarkan kamu sendirian.”

“Tapi sekarang keadaan bapak sudah stabil.”

“Baiklah, setelah kamu memastikan keadaan ayah kamu, dan ternyata baik-baik saja, aku akan pulang. Nanti malam aku akan kembali.”

Anjani merasa terharu. Apakah Wijan melakukannya karena dia sangat mencintainya? Ia berharap Jatmiko datang sehingga Wijan tidak kecapekan setelah semalam menemaninya, dan sekarangpun dia masih ada di sini.

Ia kemudian mengambil ponselnya, dan mengirimkan pesan kapada Jatmiko. Dan jawabannya sungguh diluar dugaan.

(“Anjani, aku tadi wawancara di perusahaan baru di mana aku akan bekerja nanti, dan wawancaranya ada di kantor pusat yang ada di Semarang.”)

("Oh, maaf, aku tidak tahu.”)

(“Bapak baik-baik saja? Nanti sepulang dari Semarang langsung ke rumah sakit untuk menemani kamu”)

(“Terima kasih Miko”)

Anjani menutup ponselnya.

Wijan ingin bertanya sesuatu, tapi Raharjo dan Nilam tiba-tiba muncul. Nilam segera memeluk Anjani.

“Bagaimana bapak?”

“Baik, Mbak. Tadi sempat anfal, tapi sekarang sudah stabil.”

“Syukurlah, jadi besok sudah bisa pindah ke rawat inap?”

“Karena kejadian tadi, dokter belum mengijinkan. Sekarang malah ada di ICU.”

“Semoga keadaan bapak segera baik.”

“Bisa ditemui?” tanya Raharjo.

“Belum Pak. Hanya saya yang boleh masuk, itupun hanya sebentar.”

“Kamu sabar ya, Anjani. Ayahmu sudah ditangani oleh ahlinya, jadi jangan khawatir. Tapi jangan lupa terus berdoa,” kata Raharjo.

“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas perhatiannya.”

Mereka berbincang beberapa saat lamanya. Tapi ketika Raharjo pamit pulang, ternyata Wijan masih ingin tinggal.

“Bukankah kamu butuh mandi dan ganti pakaian? Coba tanya pada Anjani, pasti kamu sudah bau asem,” kata Raharjo sambil tersenyum.

Wijan mencium ketiaknya sendiri.

“Wangi kok.”

“Dasar. Keringat sendiri dibilang wangi,” ejek Nilam.

“Mas Wijan pulang saja dulu. Tak apa-apa saya sendirian.”

“Tengok dulu bapak, apakah dia baik-baik saja,” pinta Wijan.

Anjani yang melihat perawat keluar dari ruang ICU, segera menanyakan keadaan ayahnya.

“Pak Marjono tidur. Keadaannya baik kok,” kata perawat yang membuat lega semua yang mendengarnya.

Karena itulah Wijan kemudian pulang bersama Nilam dan ayahnya.

***

 Nilam tidak satu mobil bersama Wijan. Ia tetap menemani Raharjo sampai ke kantor. Nilam bahkan menolak diantar mobil, karena sejak kemarin motornya ada di kantor.

“Aku naik motor saja, sejak kemarin aku tinggalkan motornya di kantor,” kata Nilam yang segera menuju ke arah parkiran.

“Seharusnya kamu tidak menolak ketika bapak mau beli mobil untuk kamu,” kata Wijan yang mengantarkannya sampai ke parkiran motor.

“Tidak apa-apa, aku lebih nyaman mengendarai motor sendiri.”

“Kalau kamu naik mobil, tidak akan kepanasan dan kehujanan.”

“Apa mas Wijan lupa? Dulu setiap hari kita kepanasan, lalu berteduh di bawah pohon dipinggir sawah.”

“Masa kecil yang sangat mengesankan,” tukas Wijan sambil tertawa.

“Dan sangat manis. Sekarang kita tidak bisa mengulangi masa-masa itu lagi,” kata Nilam yang sudah membuka kunci motornya, dan memasukkan tasnya ke bagasi.

“Apa kamu ingin kita mengulangi saat seperti itu lagi?”

“Mana mungkin?”

“Kalau kamu mau, kita bisa melakukannya lagi.”

Nilam yang sudah naik ke atas sadel, menatap Wijan tak percaya.

“Benar. Kalau kamu mau, kita bisa melakukannya lagi.”

“Benarkah?”

“Besok Minggu aku samperin kamu dengan sepeda.”

Nilam merasa ada kehangatan menyelimuti hatinya. Berteduh di bawah pohon, saat panas terik, lalu mencopot sepatunya dan mengapungkannya di parit kecil.

Wijan sangat senang melihat binar di mata Nilam.

“Baiklah, aku tunggu ya Mas, jangan terlalu siang.”

“Tidak, setelah subuh aku akan mengayuh sepedaku ke tempatmu, kita bisa bersepeda bersama-sama.”

Nilam menstarter sepeda motornya setelah mengenakan helm-nya. Wijan membantu menautkan kunci helm di bawah dagu Nilam, membuat Nilam berdebar-debar.

Ia sudah berusaha mengibaskan perasaan cintanya, tapi sikap Wijan seperti menyulut api di hatinya yang sebenarnya hampir padam. Ia menjalankan sepeda motornya setelah mengulaskan senyum kepada kakaknya.

Wijan geleng-geleng kepala. Ia melangkah kembali ke kantor untuk membenahi barang-barangnya. Mengapa binar bahagia di mata Nilam sangat membahagiakannya juga?

Ketika ia berjalan ke arah parkiran, dilihatnya sang ayah sudah bersiap untuk pulang juga.

***

Suri menyambut kedatangan Nilam, dan heran ketika Nilam ternyata pulang sendiri.

“Mengapa pulang sendiri?”

“Bukankah setiap hari Nilam juga pulang sendiri?”

“Kemarin kan diantar nak Jatmiko? Tadi juga dijemput ketika mau berangkat ke kantor. Ya kan?”

“Masa setiap haru harus antar jemput sih Bu?”

“Tapi ibu senang melihat kamu berduaan sama nak Jatmiko.”

“Ibu mulai deh,” kata Nilam sambil melangkah ke arah belakang. Suri mengikutinya. Ia ingin meneruskan berbicara tentang Jatmiko, tapi Nilam mengatakan hal yang mengejutkannya.

“Tadi aku seperti melihat pak Baskoro.”

“Apa? Di mana? Bukankah dia dipenjara?”

“Entahlah, Nilam juga ragu-ragu sebenarnya, tapi wajahnya persis, hanya tampak lebih tua dan lusuh.”

“Ketemu di mana?”

“Di depan sebuah rumah makan. Kasihan, dia mengemis.”

“Apa? Mengemis?”

“Maaf Bu, memang iya. Nilam tidak sadar bahwa itu dia, ketika menyerahkan uang di topi yang diulurkannya. Lalu Nilam mengingat-ingat. Sepertinya dia. Tapi mungkin juga bukan. Banyak orang mirip di dunia ini bukan?”

Suri terdiam. Perkataan Nilam tentang Baskoro amat mengganggunya. Apalagi dia sedang mengemis.

“Apakah Baskoro sudah keluar dari penjara?”

Suri masih merasakan sakit hati akibat ditinggal selingkuh pada tahunan yang telah lalu. Tapi mendengar Baskoro menjadi pengemis, membuat hatinya teriris. Balasan atas apa yang diperbuatnya sungguh menyakitkan. Suri tiba-tiba merasakan kepedihan itu. Apakah itu berarti masih tersisa cinta di hatinya?

Tidak. Sejak Baskoro meninggalkannya, cinta itu sudah tak ada. Tapi mendengar dia menjadi pengemis, mengapa hatinya terasa teriris?

“Bu, aku mandi dulu. Nanti setelah mandi kita makan ya, lapar sekali nih,” tiba-tiba Nilam mengejutkannya dari lamunan.

“Oh, lapar? Ya ampun, baiklah, akan ibu siapkan sekarang. Mandi dan ganti pakaian kamu,” kata Suri sambil terus bergegas ke belakang.

***

Malam hari itu Anjani berbincang sebentar dengan ayahnya. Ia melihat wajah ayahnya sudah tak sepucat semula.

“Bapak jangan memikirkan apa-apa. Bapak harus sehat, dan terus sehat,” katanya sambil mengelus tangan ayahnya.

“Aku senang, kamu tidak apa-apa.”

“Anjani memang tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

“Apa yang dilakukan Estiana?”

“Kok Bapak menanyakan hal itu lagi? Dari tadi Bapak menanyakan hal itu terus.”

Marjono menggenggam erat tangan anak gadisnya.

“Kamu baik-baik saja?”

“Anjani sangat baik. Tadi pak Raharjo, mbak Nilam datang kemari, menanyakan kesehatan Bapak. Mas Wijan malah seharian ada di sini. Baru saja dia pulang.”

“Syukurlah. Apakah teman masa kecilmu itu juga datang menjenguk bapak?”

“Jatmiko sedang wawancara kerja ke Semarang. Dia bilang, nanti sepulang dari Semarang akan datang kemari.”

“Oh, begitu ya. Dia anak baik.”

Anjani tak menjawab, juga tak bertanya lebih lanjut, apa maksud ayahnya dengan mengatakan hal itu.

“Sekarang Bapak harus istirahat. Dokter akan menegur Anjani kalau kelamaan di sini. Bapak tidur ya?”

Marjono mengangguk. Anjani tersenyum, keluar dari ruangan.

Tapi betapa terkejutnya dia, ketika melihat Wijan dan Jatmiko datang bersama-sama.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

Tuesday, February 27, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 28

 ADA CINTA DI BALIK RASA  28

(Tien Kumalasari)

 

Marjono membuka matanya lebar-lebar. Ia mendengar jelas apa yang dikatakan kedua perawat itu, dan mereka menyebut istrinya juga nama Anjani. Ada polisi. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Suster … suster … “ panggilnya. Salah satunya kemudian mendekat.

“Ya Pak.”

“Ada apa? Ada apa dengan anak saya?” tanyanya agak terengah karena merasa khawatir.

“Bapak tenang saja. Tidak ada apa-apa, kok.”

“Tadi saya mendengar, ada nama anak saya disebut. Saya tidak apa-apa … kalau memang terjadi sesuatu pada anak saya … saya harus tahu.”

Suster itu tersenyum ramah. Ia harus menenangkan hati pasiennya, setelah menyesali pembicaraan dengan temannya, tadi.

“Bapak tidak perlu khawatir. Mbak Anjani baik-baik saja.”

“Saya dengar ada polisi juga, anak saya terlibat?”

“Tidak … tidak, ada yang ditangkap polisi, bukan mbak Anjani.”

Marjono merasa lebih tenang.

“Tolong panggilkan Anjani, saya ingin melihatnya.”

Perawat itu mengangguk.

“Tapi sebentar saja ya, tadi Bapak sudah bicara agak lama.”

“Hanya ingin memastikan … bahwa … dia baik-baik saja.”

“Baiklah.”

Tak lama kemudian Anjani masuk. Marjono menatapnya lega.

“Bapak tidak tidur?”

“Kamu baik-baik saja?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Tadi ada polisi?”

Anjani heran, ayahnya bisa mendengarnya.

“Dari mana Bapak tahu? Tidak ada apa-apa kok.”

“Jangan bohong, supaya bapak lebih tenang.”

“Tapi Bapak tidak usah memikirkannya ya. Tadi ada yang bersembunyi di ruang rawat yang akan Bapak pakai. Ternyata dia ibu Estiana. Polisi sedang mengejarnya, entah karena apa. Ketika melihat Anjani, dia berteriak memaki Anjani. Tapi polisi sudah membawanya pergi.”

“Mengapa dia?”

“Anjani juga tidak tahu. Bapak tidak usah memikirkannya. Nanti kalau Bapak memikirkannya, kondisi Bapak akan tidak bagus, kemudian Bapak masih akan ada di tempat ini, belum boleh ke ruang rawat inap, di mana kita bisa bebas bertemu dan berbincang.”

“Iya sih.”

“Ya sudah, Bapak tidur lagi saja. Ingat, tidak boleh memikirkan apapun. Yang penting Anjani baik-baik saja.”

Marjono mengangguk, dan membiarkan Anjani keluar. Tapi ia tetap saja memikirkan, kenapa Estiana bisa ada di dalam kamarnya, dan mengapa ditangkap polisi.

***

Ketika Anjani keluar, Jatmiko segera berpamit. Ia akan ke kantor polisi, untuk melaporkan apa yang dilakukan Erma terhadap Anjani, dan percobaan perkosaan yang dilakukan Usman.

“Kamu baik-baik saja ya, kalau ada apa-apa segera kabari aku.”

“Terima kasih Miko.”

Anjani melepas kepergian Jatmiko dengan perasaan tak menentu. Perkataan Jatmiko yang menganggap dirinya adalah adiknya, membuatnya kecewa. Ada banyak harapan yang ditumpukan pada Jatmiko, yaitu tentang cinta yang ingin dijalin bersama. Tapi tidak. Rupanya dia bertepuk sebelah tangan. Rasa kecewa itu membuatnya melamun dan galau.

“Anjani.”

Anjani hampir terlonjak karena terkejut. Tiba-tiba saja Wijanarko sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. Senyum yang selalu memikat, tapi ternyata belum bisa menjatuhkan hati Anjani. Bayangan Jatmiko masih kuat menguasainya. Tapi rupanya Wijan tak hendak mundur. Ia melihat Anjani seperti tak sepenuhnya menolak, tapi ada yang lebih kuat menariknya. Jatmiko? Wijan duduk di samping Anjani. Ia mengulurkan kotak berisi makanan.

“Ini, apa kamu sudah makan?”

“Mas Wijan, kenapa repot-repot membawakan makanan? Saya baru saja makan bersama Jatmiko.”

Tuh kan, dia kalah dulu dengan Jatmiko? Tapi Wijan tak harus berkecil hati. Ia melihat sinar berkelip, walau hanya seujung lidi, dan sinar itu akan menjadi besar, ketika angin berhenti meniupnya.

“Ini nasi dengan lauk kering. Kalau kamu sudah makan pagi, kamu bisa memakannya nanti, saat makan siang.”

Anjani tersenyum. Perhatian calon atasannya ini membuatnya harus mengucapkan terima kasih dengan senyuman paling manis yang mampu diberikannya.

“Mas Wijan, terima kasih, ya. Sudah banyak yang mas Wijan lakukan untuk saya. Bahkan semalaman mas Wijan pasti tidak bisa tidur nyenyak karena tidur di bangku yang sama sekali tidak nyaman.”

“Tidak, aku tidur nyenyak, kok.”

“Masa? Biasanya tidur di kasur empuk dan nyaman, lalu tidur di bangku yang dingin dan keras seperti ini?”

“Iya. Lihat saja, aku tidak kelihatan mengantuk kan?”

“Ya sudah, pokoknya terima kasih banyak, ya Mas.”

“Bagaimana keadaan bapak?”

“Tadi sempat bicara agak banyak. Kata dokter, kalau seharian ini keadaan stabil, besok bisa pindah ke ruang rawat.”

“Syukurlah, semoga semakin membaik.”

“Mas Wijan tidak ke kantor?”

“Tadi sudah, sebentar, lalu aku tinggal kemari. Tadi pagi lupa memikirkan sarapan untuk kamu, jadi aku langsung keluar dan membelikan ini. Ini nasi dan lauknya disendirikan, jadi bisa dimakan sekarang atau siang nanti, bahkan untuk makan malam. Ditanggung masih enak.”

“Terima kasih sekali lagi. Tapi jangan sampai pekerjaan mas Wijan terbengkalai gara-gara saya.”

“Tidak, aku punya wakil yang cekatan dan bisa mengatasi semua masalah.”

“Mbak Nilam?”

“Iya.”

“Mbak Nilam cantik dan pintar.”

“Kamu juga cantik.”

Anjani tersenyum. Sepagi ini sudah ada dua laki-laki memujinya cantik. Apakah yang dirasakannya sekarang sama dengan yang dirasakan ketika Jatmiko juga memujinya cantik? Anjani merasakannya berbeda. Ada rasa gelisah mengingat Wijan menyatakan cintanya semalam. Kepada siapa dirinya akan bersandar dan menyerahkan hatinya? Ketika yang diharap terlepas dari angan, haruskah dia menerima yang satunya? Anjani tak bisa menjawabnya. Barangkali sebuah rasa tak mudah berpindah tempat berlabuh. Tapi yang jelas, sekarang ini ia lebih fokus kepada keadaan ayahnya.

“Mengapa diam? Ada yang kamu pikirkan?”

“Agak khawatir memikirkan bapak. Semoga bapak baik-baik saja.”

“Aamiin. Aku akan ikut mendoakan.”

Tiba-tiba Anjani teringat bahwa ayahnya menyuruh menelpon pemilik rumah yang akan dibeli oleh ayahnya. Sebenarnya Anjani melarang ayahnya memikirkan rumah itu, tapi sang ayah khawatir ada pembeli lainnya yang lebih dulu mendahului membelinya. Itu sebabnya Marjono menyuruh Anjani menelponnya untuk memastikan keinginannya membeli.

“Sebentar, aku mau ke kamar dulu. Ponselku tertinggal di sana,” kata Anjani sambil berdiri.

“Aku antar?”

“Mas Wijan tunggu saja di sini, saya tidak akan lama,” kata Anjani yang kemudian melangkah pergi.

Wijan mengangguk. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Nilam, dan menanyakan tentang pekerjaan yang harus diselesaikannya.

“Tenang saja, semuanya beres, jadi kalau mau pulang sampai malam juga nggak apa-apa,” kata Nilam, yang menurut Wijan, suara itu mengandung rasa kesal terhadap dirinya.

“Nilam, suara kamu itu terdengar nggak ikhlas lho. Aku yakin, pasti ketika menjawab, mulut kamu mengerucut seperti_”

“Awas ya, jangan lagi bilang seperti pantat ayam!” ancam Nilam yang sudah dipastikan mulutnya tetap saja mengerucut setiap kali merasa kesal.

Wijan tertawa keras. Sangat menyenangkan mengganggu adik tersayangnya itu. Adik perempuan yang sangat mencitainya dan dicintainya, walau dengan jenis cinta yang berbeda.

“Aku tidak akan lama, Nilam, sebelum saat makan siang aku sudah ada di kantor.”

“Benar?”

“Benar. Aku tadi hanya mengantarkan makanan untuk Anjani. Kasihan tidak ada yang memikirkannya.”

Nilam menekan rasa perih yang mengiris dadanya. Ia sudah tahu, Wijan mencintai Anjani, tapi tetap saja, ketika melihat Wijan begitu perhatian terhadap Anjani, masih ada rasa perih yang menggigit.

Tiba-tiba seorang dokter terlihat bergegas berlari ke arah ruang, dimana Marjono dirawat.

“Nilam, tutup dulu saja. Ada yang penting.” kata Wijan sambil menutup ponselnya tiba-tiba. Ia bangkit dan bergegas mendekati pintu, dimana ada perawat yang akan keluar.

“Ada apa?”

“Pak Marjono mengalami sesak napas. Mas tunggu di luar saja, dokter sedang menanganinya.

Wijan kembali ke tempat duduk, melihat Anjani belum terlihat kembali.

Ia menatap ke arah pintu ruangan di sampingnya dengan perasaan khawatir. Apakah Anjani harus segera tahu?

Wijan bangkit lalu bergegas menuju ke arah ruang rawat inap Marjono. Dilihatnya Anjani sedang bertelpon, tapi segera ditutup ketika Wijan berdiri di depan pintu.

“Ada apa? Saya sedang menelpon pemilik rumah yang akan dibeli bapak.”

Wijan merasa sedikit lega. Tadinya ia mengira Anjani sedang menelpon Jatmiko.

Anjani keluar dan menutupkan pintunya.

"Tadi bapak berpesan, agar saya menelponnya, hanya untuk memastikan bahwa bapak pasti akan membelinya. Khawatirnya kedahuluan orang lain,” kata Anjani sambil keduanya berjalan kembali ke arah ruang di mana Marjono sedang dirawat.

“Mengapa Mas Wijan menyusul saya? Apa dokter menanyakan saya?”

“Tidak. Tapi aku tadi mendengar bahwa pak Marjono mengalami sesak napas.”

Anjani terkejut. Ia berlari ke arah pintu, tapi dicegah oleh Wijan.

Aku tadi mau masuk, tapi dilarang. Dokter sedang menanganinya.

Anjani merasa gelisah. Perasaan khawatir memenuhi dadanya. Wijan menuntunnya agar duduk kembali.

“Tenanglah Anjani, dokter sedang menanganinya. Bapak pasti baik-baik saja.”

“Pasti karena kejadian itu. Bapak kepikiran jadinya.”

“Kejadian apa?”

Lalu Anjani menceritakan semuanya, sejak pagi tadi melihat Estiana menyelinap dan bersembunyi di dalam kamar, sampai kemudian ditangkap polisi dan berteriak-teriak.

“Bagaimana bapak bisa mendengar? Apakah pintunya terbuka?”

“Entahlah, saya juga tidak tahu. Tapi sebenarnya saya sudah masuk ke dalam dan menenangkannya. Barangkali bapak masih terus memikirkannya,” kata Anjani lirih.

Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menahan air matanya yang nyaris keluar. Tadi ayahnya baik-baik saja, mengapa kemudian menjadi sesak napas?

***

Sementara itu di kantor, Nilam duduk termangu di meja kerjanya. Ia kesal terhadap Wijan. Katanya sebelum saat makan siang sudah akan kembali, nyatanya setengah jam yang lalu dia sudah menunggu, dan Wijan belum tampak batang hidungnya.

“Dasar pembohong! Pendusta!” omelnya dengan mulut mengerucut.

Tiba-tiba pintu terbuka, Raharjo berdiri di depan pintu.

“Kamu tidak makan?”

Nilam mencoba memperbaiki raut wajah kesalnya. Ia tersenyum melihat ke arah Raharjo, lalu bangkit berdiri.

“Tadinya menunggu mas Wijan. Katanya akan kembali ke kantor sebelum jam makan siang.”

“Wijan sedang menemani Anjani.”

“Tapi dia bilang mau kembali sebelum jam makan siang,” gerutu Nilam yang terus berjalan, di samping Raharjo yang rupanya juga sedang berjalan ke kantin.

“Barangkali ada yang membuat Wijan belum bisa kembali. Mau makan di luar saja, bersama bapak?”

Nilam berhenti melangkah. Barangkali udara luar bisa mengendapkan hatinya yang galau.

“Makan di luar? Mauuu,” jawabnya riang.

Raharjo tersenyum. Mereka membalikkan tubuhnya dan keluar dari area kantor. Sopir yang sudah ditelpon Raharjo, kemudian menyiapkan mobilnya di lobi.

Mereka keluar untuk makan, menuju ke arah restoran langganan.

Raharjo menatap wajah Nilam yang sudah duduk di arah belakang, karena restoran agak penuh. Maklumlah, memang waktunya makan siang.

“Kamu  kesal, Wijan tidak kembali untuk makan siang?”

“Soalnya dia sudah berjanji,” jawab Nilam dengan wajah tidak suka.

“Mungkin ada sesuatu. Telpon saja dia.”

“Nggak ah, nanti mengganggu.”

“Kamu cemburu?”

Bibir Nilam mengerucut mendengar tuduhan ayahnya. Tapi memang benar sih, ada rasa cemburu itu. Nilam sudah berusaha mengendapkannya, tapi memang tidak mudah melakukannya.

“Bukankah bapak pernah mengatakannya, bahwa mencintai itu bukan berarti memiliki? Kalau Wijan bahagia, apakah kamu tidak merasa bahagia?”

Nilam mengangguk lesu.

“Nilam mengerti.”

“Kamu membenci Anjani?”

“Tidak, mengapa Bapak berkata begitu?”

“Bagus. Senang bapak mendengarnya. Sekarang pesan makanan pilihan kamu. Pelayan sudah menunggu.”

Mereka memilih makan dan minum yang dipilihnya, lalu duduk menunggu.

“Bapak mendengar perusahaan pak Usman segera ditutup. Kasihan. Entah bagaimana nasib para karyawannya,” Raharjo mengalihkan topik pembicaraan, berharap Nilam bisa melupakan rasa kesalnya pada Wijan.

“Iya. Jatmiko sudah mengatakannya.”

“Tapi dia sudah mendapat pekerjaan yang lain, bukan?”

“Ya, dia mengatakannya.”

“Kemarin ibumu menelpon bapak.”

“Ibu Suri?”

“Ya.”

“Kenapa? Tumben ibu menelpon.”

“Dia bilang, dia menyukai laki-laki bernama Jatmiko itu. Dia ingin mengambilnya menantu.”

Nilam terbatuk-batuk. Untunglah minuman yang dipesannya sudah dihidangkan. Ia segera meneguknya.

“Kenapa kamu ini?”

“Ibu suka begitu. Sudah lama ibu menginginkan itu.”

“Bagaimana dengan kamu?”

“Entahlah. Nilam tidak bisa dengan mudah jatuh cinta.”

“Menurut bu Suri, Jatmiko laki-laki yang baik. Tapi baiklah, kita lihat saja nanti. Kalau jodoh tidak akan ke mana, kan?”

Nilam meraih piring berisi makanan yang dipesannya, agak segan memikirkan jodoh menjodohkan itu.

***

Ketika Raharjo dan Nilam keluar dari rumah makan itu dan menuju ke arah mobil, seorang laki-laki berpakaian lusuh yang mengenakan topi lebar, tiba-tiba melepaskan topinya yang dibalikkannya, bermaksud orang yang berbelas kasihan mau meletakkan sekeping atau selembar uang belas kasihan.

Nilam membuka dompetnya, meletakkan selembar uang sepuluhan ribu di atas topi itu. Si pemilik topi mengangguk, kemudian mengambil uangnya, menyimpan di saku dan mengenakan lagi topinya.

Raharjo sudah naik ke dalam mobil, tapi Nilam terus mengamati laki-laki lusuh itu. Ia seperti pernah melihatnya.

***

Besok lagi ya.

Monday, February 26, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 27

 ADA CINTA DI BALIK RASA  27

(Tien Kumalasari)

 

Anjani terkejut, ketika sosok yang semula meringkuk di bawah kolong itu tiba-tiba berdiri. Tentu saja dia amat mengenalnya. Dia Estiana.

“Ibu? Apa yang ibu lakukan?”

“Anjani, tolonglah aku. Aku dicari-cari polisi, aku tidak mau masuk penjara. Biarkan aku bersembunyi di sini,” katanya menghiba, sambil matanya berlinang-linang.

Anjani tertegun.

“Kenapa ibu dicari-cari polisi? Ibu melakukan kejahatan apa lagi?”

“Gara-gara anak Usman keparat itu.”

“Ada apa dengan dia?”

“Kamu tidak merasa bahwa yang membuat kamu dijebak Erma adalah karena obat tidur yang dia berikan dalam minumanmu?”

Anjani tidak terkejut karena sudah menduganya. Jadi memang benar, Erma memang memasukkan obat tidur ke dalam minuman yang diberikan padanya, kemarin.

“Bagaimana ibu tahu?”

“Sebenarnya … sebenarnya … ibu ikut andil dalam kejahatan itu. Maafkan ibu.”

“Ibu melakukan apa?”

“Erma bertanya, apa yang bisa menaklukkan kamu supaya bisa menjadi istri ayahnya. Aku sebenarnya menolak mengatakan apapun, aku ini … bagaimanapun pernah menjadi ibumu. Dan rasa sayang itu masih ada.”

Anjani ingin mencibir ketika mendengar ucapan Estiana. Tapi budi halusnya melarang hal itu. Ia hanya mendengarkan.

“Tapi Erma mengancam akan membunuhku kalau aku tak mau membantu.”

“Apa yang kemudian ibu katakan?”

“Aku hanya menyuruhnya menemui kamu dan merayunya, di saat kamu sedang menunggui ayahmu di rumah sakit ini ketika menjalani operasi.”

“Yang memberikan obat tidur dalam minuman?”

“Bukan aku … bukan aku … “ Estiana menggoyang-goyangkan kedua belah tangannya sebagai pertanda dia menolak anggapan Anjani.

“Jadi ….”

“Jadi itu akal-akalan Erma sendiri. Tapi kepada polisi dia memfitnah aku, katanya akulah yang mengusulkan kejahatan itu. Karenanya aku dicari-cari polisi.”

Anjani menghela napas kesal.

“Tolong lindungilah aku, biarkan aku bersembunyi di sini. Tadi aku masuk kemari karena mengaku bahwa aku adalah istri pak Marjono. Tolong aku, Anjani.”

“Tahukah ibu, bahwa melindungi sebuah kejahatan adalah sama dengan pelaku kejahatan itu sendiri?”

“Kamu cukup tidak mengatakan kepada siapapun tentang keberadaan aku, Anjani, aku tidak akan membuat kamu terlibat.”

“Lagi pula kalau ibu merasa tidak melakukan kesalahan, kenapa takut? Ibu tinggal bilang kepada polisi bahwa ibu tidak melakukan kejahatan yang mereka tuduhkan. Beres kan?”

“Tidak semudah itu Jani, Erma pintar sekali bicara. Bagaimanapun, kamu harus menolong ibu, Jani. Biarkan ibu bersembunyi di sini.”

“Maaf Bu, saya tidak bisa. Jangan melibatkan saya dalam perkara yang menyangkut kejahatan. Tetap saja saya akan terlibat, karena ibu berada di sini sedangkan sayapun ada di sini.”

“Anjani, tolong,” kali ini Estiana menangis. Anjani kebingungan. Separuh hatinya tidak sampai hati melihat orang menangis, tapi separuhnya lagi ia tak ingin melindungi. Pikirannya mulai meronce kejadian demi kejadian yang dialaminya, dan ia tak percaya bahwa Estiana tak terlibat.

Tiba-tiba seorang perawat mengetuk pintu, lalu masuk begitu saja.

“Mbak Anjani, oh … ada tamu siapa ini?”

“Saya istri pak Marjono,” sahut Estiana tanpa malu.

“Pak Marjono sudah bangun, dan ingin bicara dengan mbak Anjani.”

“Anjani, kamu pergilah, biarkan aku di kamar saja. Bebenah kamar ini,” kata Estiana yang tak ingin perawat itu mencurigainya.

Anjani segera beranjak keluar, bergegas pergi ke ruang di mana sang ayah masih dalam tahap observasi.

“Mengapa ibu tidak mau menemui suaminya?” tanya perawat dalam melangkah mengiringi Anjani.

Anjani mengangkat bahu, dan perawat itu merasa heran atas sikap Anjani. Tapi ia tak mau bertanya lebih jauh.

***

Anjani menemui sang ayah yang sudah tampak lebih segar.

“Bapak, apa kabar Bapak hari ini?” tanya Anjani yang langsung mencium kedua pipi sang ayah.

“Bapak bisa hidup lebih lama, ternyata,” kata Marjono lirih.

Anjani menggenggam tangan sang ayah erat-erat, sambil tersenyum.

“Tentu saja, Bapak akan lebih lama menemani Anjani. Selalulah sehat, Bapak,” kata Anjani dengan mata berkaca-kaca.

“Kata dokter, kalau sehari ini keadaan bapak stabil, besok bapak bisa pindah ke ruang rawat inap. Kamu sudah memesannya?”

Anjani mengangguk, tapi ada perasaan mengganjal. Bagaimana kalau Estiana masih ada di sana? Anjani tak ingin perasaan sang ayah terganggu oleh hal-hal yang tidak disukainya.

“Tidak usah kamar yang terlalu mewah. Yang biasa saja, kan?”

“Iya, Bapak jangan khawatir.”

“Kamu tidak pulang sejak kemarin?”

“Tidak Pak, tapi Jani tidak sendiri. Ada yang menemani.”

“Siapa?”

"Sore harinya, pak Raharjo memerlukan datang kemari bersama pak Wijan.”

“Oh ya, aku tidak bertemu beliau.”

“Bapak belum sadar waktu itu.”

“Kamu sudah mengucapkan terima kasih atas perhatiannya yang besar itu, Jani?”

“Sudah Pak, malah pak Wijan menemani Jani semalaman.”

”Semalaman?”

“Pak Wijan tidur di ruang tunggu, sementara saya ada di ruang rawat yang sudah Jani pesan untuk Bapak.”

“Kasihan sekali, mengapa tidak kamu suruh pulang saja? Mana tidur di ruang tunggu. Nggak pantas buat orang sekelas pak Wijan.”

“Anjani sudah melarangnya, dia nekat.”

“Ya sudah, kalau kamu mau pulang dulu, barangkali untuk ganti baju dan mandi.”

“Anjani sudah membawa beberapa baju ganti, dan juga sudah mandi.”

“Ya sudah. Tapi istirahatlah, jangan terlalu capek.”

“Iya. Bapak ingin apa? Nanti Jani siapkan.”

“Tidak. Bapak hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”

Anjani tersenyum. Harusnya dia yang memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Malah sang ayah yang mengkhawatirkan keadaannya.

“Bapak istirahat dulu, kalau membutuhkan sesuatu, Anjani ada di luar.”

“Baiklah. Tapi tunggu dulu, tolong kamu telpon pak Winadi, pemilik rumah yang rumahnya ingin bapak beli.”

“Bapak jangan memikirkan itu dulu. Tunggu sampai Bapak benar-benar sehat.”

“Bapak hanya ingin mengingatkan, bahwa bapak jadi membelinya. Kamu kan sudah mencatat nomornya? Bapak khawatir, karena waktu itu ada orang lain yang menginginkannya.”

“Baiklah. Anjani akan menelponnya. Tapi Bapak jangan memikirkan apapun. Bapak harus merasa tenang, nyaman, sehingga segera sehat.”

“Iya, bapak mengerti. Sudah, sana, segera hubungi pak Winadi.”

Anjani keluar, dan batinnya kembali merasa gelisah. Ia ingin mengambil ponsel yang tertinggal di kamar, tapi enggan melangkah ke sana. Ia tak ingin bertemu bekas ibu tirinya. Ya, bekas bukan? Soalnya sang ayah sudah menyatakan ingin menceraikannya, dan itu berarti talak bagi Estiana.

Ia duduk dengan gelisah, dan bingung apa yang harus dilakukannya. Padahal dia mendapat perintah dari ayahnya untuk segera mengabari pak Winadi tentang rumah itu.

Ketika dia sedang bimbang itu, tiba-tiba Jatmiko datang. Wajah Anjani langsung berseri. Jatmiko pasti bisa menolongnya.

“Kok sudah cantik. Sudah mandi ya?”

Anjani tersipu mendengar pujian Jatmiko. Siapa sih yang tidak senang dibilang cantik?

“Apa benar, aku cantik?”

“Kamu adalah gadis yang amat cantik. Bukan hanya wajahmu, tapi juga hatimu.”

“Pagi-pagi ngegombal.”

“Nggak apa-apa, ngegombal sama adik sendiri,” kata Jatmiko.

Senyuman manis Anjani berubah menjadi senyuman tipis, seperti sebuah senyuman terpaksa. Ada rasa kecewa ketika Jatmiko ternyata hanya menganggapnya sebagai adik sendiri. Lalu Anjani merasa kesal kepada perasaannya. Lalu dirinya menginginkan dianggap sebagai apa? Kekasih? Ya Tuhan, itu adalah mimpinya. Tapi bagaimana dengan Jatmiko?

“Hei, kenapa melongo? Ini, aku bawakan sarapan untuk kamu. Kamu pasti belum makan. Ya kan? Aku dari kantor tadi, karyawan pada kumpul-kumpul di sana, memikirkan nasib mereka kalau perusahaan ditutup. Lalu aku kepikiran kamu, yang pastinya belum makan pagi ini. Maka aku lalu beli nasi gudeg. Ayo kita makan bersama, aku juga belum sarapan.”

“Oh, iya. Kamu baik sekali Miko.”

“Tentu saja. Semalam aku memikirkan kamu. Jam berapa mas Wijan pulang?”

“Tadi pagi setelah subuh.”

“Apa? Baru pagi tadi mas Wijan pulang?”

“Iya. Nggak enak juga sebenarnya, tapi dia memaksa.”

“Tampaknya dia suka sama kamu.”

“Aish, macam-macam kamu nih. Tunggu dulu sebelum membuka bungkusan makan pagi ini. Aku sedang bingung nih.”

“Ada apa?

“Di ruang yang nantinya akan dipakai untuk ruang inap bapak, ada bu Estiana di sana.”

“Apa? Estiana ibu tiri kamu?”

“Bekas ibu tiri aku.”

“Di kantor tadi sedang ribut membicarakan Erma dan Estiana. Erma sudah ditahan, dan sekarang polisi sedang mencari Estiana. Jadi dia ada di sini?”

“Dia bilang sedang dikejar-kejar polisi, dan mau bersembunyi di sini. Aku tak mau terlibat, aku bingung harus bagaimana.”

“Kenapa bingung? Aku mau menelpon polisi sekarang juga, mengatakan bahwa Estiana ada di sini. Karena dia, maka kamu hampir saja diperkosa Usman si tua bangka itu.” geram Jatmiko yang segera mengambil ponselnya.

Anjani bersyukur, ada yang menemaninya dan ada yang membukakan jalan keluar agar Estiana bisa pergi dari kamar rawat ayahnya. Kalau sampai ayahnya tahu Estiana ada di situ, entah bagaimana nanti perasaannya. Anjani tentu saja tidak ingin hal itu terjadi.

Jatmiko sudah selesai menelpon. Tidak lama lagi polisi akan datang untuk menangkapnya.

“Ayo sarapan dulu, lihat, wajahmu sudah pucat pasi.”

“Ada-ada saja. Masa wajahku pucat?” kesal Anjani.

***

 Erma meringkuk di sebuah ruang tahanan. Ia tak mengira bisa ditangkap bersama ayahnya. Tadinya ia duduk di depan. Membiarkan ayahnya bersenang senang dengan Anjani yang dirasa sudah ‘dilumpuhkan’ sehingga ayahnya bisa berbuat sesuka hatinya. Tapi ketika ia senyum senyum sendirian membayangkan keberhasilannya, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang, dan ada juga mobil yang lain. Ia mengenal mobil itu, tapi Erma tiba-tiba ketakutan. Ia memikul sebuah dosa setelah membubuhkan obat tidur ke dalam minuman Anjani. Apakah begitu cepat polisi mengetahuinya? Dari mana mereka tahu? Erma yang ketakutan, kemudian berusaha berlari. Karena itulah polisi segera mengejar dan menangkapnya.

Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.

“Mengapa aku ditangkap? Aku hanya membubuhkan obat tidur, tidak bermaksud membunuhnya. Aku ingin ayahku senang karena menyukai gadis itu. Lepaskan, aku tidak bermaksud jahat kan?”

Polisi yang semula tidak ingin menangkap Erma, jadi tahu bahwa Erma telah melakukan sebuah kesalahan. Ia mengakuinya sendiri, dan itulah sebabnya dia ikut diringkus bersama ayahnya.

Tak terima dirinya yang ditahan, Erma menyeret Estiana yang sudah mengajarinya berbuat kejahatan. Itulah sebabnya polisi juga mencari Estiana.

Kelak akan ada dua perkara kejahatan yang akan ditangani polisi, bukan hanya kejahatan Usman yang telah lama diincar yang berwajib, tapi juga kejahatan Erma yang diakuinya sendiri tanpa sengaja.

Sungguh Erma tidak tahu menahu ayahnya ditangkap karena apa. Sejauh ini dia masih menganggap bahwa ayahnya ditahan karena tuduhan perkosaan atas diri Anjani atas akal-akalan dia, dan tentu saja Estiana harus terlibat karena dia yang sebenarnya telah memberikan obat tidur itu.

Entah dari mana dia mendapatkannya, soalnya tidak mudah mendapatkan obat-obat semacam itu secara legal.

Erma terus menunggu berita tertangkapnya Estiana. Perempuan itu tidak mempunyai tempat tinggal tetap, entah di mana dia bersembunyi.

***

Tapi ternyata nasib-nasib para durjana sudah sampai pada sebuah titik, di mana tanaman kejahatan sudah harus diunduhnya.

Hari itu juga polisi mendatangi rumah sakit, dan dengan cepat bisa menangkap Estiana yang merasa nyaman bisa menemukan tempat yang dikiranya aman.

Begitu ditangkap dan di seret keluar, ia bisa melihat Anjani dan Jatmiko, dan berteriak-teriak marah sambil menuding ke arah Anjani.

“Dasar anak tak tahu diri. Tega kamu mengkhianati aku! Tega kamu pada orang yang bertahun-tahun merawatmu! Perempuan jahat! Kejam! Tak punya belas kasihan! Aku benci kamu, Anjani ! Aku benci!!”

Suara teriakan yang semakin menjauh itu menarik perhatian para pengunjung rumah sakit. Tapi polisi sudah menyeretnya pergi, dan memasuki mobil tahanan yang sudah disiapkannya.

Anjani menarik napas lega, walaupun merasa kesal karena dimaki-maki oleh bekas ibu tirinya.

“Biar dia merasakan akibatnya. Kamu hampir celaka karena dia.”

“Tuhan berkenan melindungi aku. Alhamdulillah,” gumam Anjani.

“Aku akan segera ke kantor polisi juga. Kejahatan atas kamu juga harus aku laporkan, supaya semuanya menjadi jelas. Dan kamu akan menjadi saksi atas kejahatan mereka.”

“Aku berharap semuanya segera terselesaikan. Aku tak ingin bapak mengetahui semuanya. Selama ini tak ada hal buruk yang aku katakan pada bapak. Aku tak ingin bapak merasa tertekan dan berakibat buruk pada penyakitnya."

Di dalam ruangan observasi, seorang perawat baru saja masuk dengan napas terengah-engah. Salah satu yang menunggu di dalam bertanya.

"Kamu kenapa?"

"Ya ampun mbak, ada perempuan bersembunyi di ruang rawat pak Marjono, yang tadinya mengaku istri pak Marjono. Tapi kemudian ditangkap polisi, lalu berteriak-teriak memaki mbak Anjani. Aduh, aku hampir ditabrak olehnya tadi, habis dia bermaksud lari dari kejaran polisi."

Perawat itu bercerita pelan, tapi sambil napasnya terengah-engah. Dan ternyata Marjono mendengarnya.

***

Besok lagi ya


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...