Tuesday, August 31, 2021

ROTI CINTA 16

 

ROTI CINTA  16

(Tien Kumalasari)

 

“Lho, mengapa Dita tidak bilang dan meminta aku untuk menjemputnya? Apa dia tak suka aku menyatakan cinta? Lalu dia berusaha menjauh dari aku ? Aduuh, kok aku jadi bingung begini, berarti aku benar-benar menginginkan gadis itu. Bagaimana kalau aku menelpon dia? Tidak, pasti dia tak akan mengangkatnya, dia selalu men silent ponselnya, apalagi dia sedang membonceng.”

Abian memutar baik mobilnya, bermaksud mengikuti Dita yang diboncengkan seseorang.

“Lebih baik aku mengikuti mereka. Aduh, tampaknya sudah jauh. Aku harus ngebut nih, supaya bisa mengikutinya.”

Rupanya Abian melarikan mobilnya dengan kencang, dan untunglah jalanan tidak begitu ramai, sementara Ferry juga menjalankan motornya pelan-pelan. Sayang kalau segera sampai tujuan, barangkali. Kan kesempatan langka nih,  bisa memboncengkan si jantung  hati.

Tapi Dita terkejut ketika Ferry tidak menjalankan motornya ke arah rumahnya. Disebuah perempatan dimana seharusnya dia lurus, justru berbelok kekiri.

“Hei, mau kemana? Kamu lupa dimana rumahku?” teriak Dita.

Ferry justru tertawa.

“Maaf nona, aku akan mengajak kamu makan bakso.”

“Bakso? Bakso apa?”

“Ya ampuun, bakso ya bakso, yang dagingnya bulat-bulat begitu.”

“Aku nggak lapar.”

“Eeh, jangan begitu, aku sangat lapar. Kamu akan suka setelah makan semangkuk saja. Tolong jangan kecewakan aku.”

Dita kurang suka cara Ferry mengajak dia makan.

“Tapi baiklah, sekali ini saja,” kata batin Dita.

Ferry berhenti di tempat bakso langganannya mangkal. Hanya ada satu dua pembeli disitu.

“Ayo turun nona,” kata Ferry setelah menghentikan motornya.

“Disini ?”

“Ya, disini. Apa orang kaya nggak suka makan dipinggir jalan? Kemarin aku ketemu mbak Dina juga sedang makan disini,” kata Ferry sambil mempersilahkan Dita duduk.

“Oh, ini bakso yang dibawa mbak Dina kemarin ?”

“Ya, aku ingat mbak Dina pesan tiga bungkus. Salah satunya untuk kamu kan?”

Dita duduk, tapi tetap menampakkan wajah tak suka. Bukan karena harus makan di bakso angkringan, tapi karena Ferry mengajaknya setengah memaksa.

“Mas, bakso dua, satunya sama seperti biasanya ya. Minumnya teh panas saja,” kata Ferry kepada tukang bakso itu.

“Baik mas..”

“Dita, kenapa cemberut?”

“Ingat ya Fer, ini yang terakhir. Jangan lagi mengajak aku, apalagi dengan cara memaksa seperti ini.”

“Yaaah, aku bukannya memaksa, aku hanya ingin menunjukkan bahwa makanan jalanan tak kalah enak dengan sajian di restoran.”

“Tapi kamu nggak bilang sebelumnya.”

“Baiklah, maaf ya, lain kali tidak.”

“Betul, lain kali tidak lagi.”

Tukang bakso sudah menghidangkan pesanan Ferry.

“Ayo nikmati Dit, ini luar biasa,” kata Ferry sambil menyendok sepotong pangsit kesukaannya.

“Mas, untuk saya semangkuk ya,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Ferry, apa lagi setelah seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

“Mas Bian ?”

“Eh, ada Dita…” kata Bian bercanda. Kan dia sudah tahu kalau Dita berhenti di tukang bakso itu.

“Mas dari mana ?”

“Dari jemput kamu, tapi kamu keburu bonceng teman kamu. Lalu aku ikutin kamu, lho kok nggak menuju rumah, aku takut kenapa-kenapa, lalu ngikutin terus dari belakang.”

“Eh mas, aku ini teman dia sekampus, masa mau mencelakai dia?” kata Ferry sedikit tersinggung.

“Lhoh, kok marah sih mas.. apa salah kalau saya menghawatirkan keluarga saya? Dan saya senang kok, ternyata mas membawa Dita ke tukang bakso. Dia memang suka bakso,” jawab Abian sekenanya.

“Ini pesanan mas, minumnya apa?” tanya tukang bakso sambil menghidangkan pesanan Abian.

“Teh panas saja.”

Dita kebingungan, karena mencium aroma asap kemarahan dari kedua pria yang sedang bersamanya.

“Mas Bian, aku agak lapar dan pengin bakso. Kenalkan, itu Ferry, kakak kelas aku.  Kebetulan kami pulang bersamaan, lalu aku memboceng dia,” kata Dita mencairkan kemarahan Bian.

“Nggak apa-apa kok, aku yakin kamu akan baik-baik saja.”

“Sekarang salaman dong, biar kenal.” kata Dita.

Abian mengulurkan tangannya, dan Ferry menerimanya dengan wajah kaku.

“Saya Abian.”

“Ferry.” Kata Ferry yang kemudian melanjutkan makan baksonya.

“Hm, mas Ferry kuliah di jurusan apa?” kata Abian yang berusaha ramah.

“Ekonomi..” kata Ferry singkat.

“Wah, hebat nih, calon ekonom..”

“Dita, kamu nanti pulang bareng siapa?” tanya Ferry tanpa mempedulikan ucapan Abian.

Dita kebingungan. Harus ikut siapa aku?

“Dita, kalau kamu mau pulang dengan mbonceng mas Ferry, nggak apa-apa kok. Nanti aku menyusul kerumah,” kata Abian.

Ucapan itu bukan membuat Ferry senang. Ia bahkan merasa dikalahkan oleh Abian karena ternyata Abian mengalah.

“Tidak, Dita kamu nanti bareng dia saja, aku mau langsung pulang,” kata Ferry sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.

Dita hanya bengong memandangi Ferry dan Abian. Ia melihat Abian begitu sabar dan bijak, sebaliknya melihat Ferry yang susah sekali menghilangkan kekesalannya.

“Mas, berapa semuanya? Nih, masih kurang enggak , buat kami bertiga sekalian,” kata Ferry sambil memberikan uang ratusan ribu kepada tukang bakso.

“Nggak mas, masih ada kembaliannya.”

“Lhoh, aku juga ditraktir nih? Terimakasih ya mas,” kata Abian.

Ferry menerima uang kembalian lalu berdiri.

“Dita, aku pulang dulu,” kata Ferry langsung pergi dan mengambil sepeda motornya, kemudian berlalu.

“Terimakasih ya Fer,” kata Dita, dan barangkali Ferry tak lagi bisa mendengar ucapannya karena dia sudah pergi jauh.

Dita menghela napas panjang.

“Apakah aku mengganggu?” tanya Abian.

“Tidak, kenapa sih, aku jadi bingung.”

“Aku kan hanya ikut makan bakso, kok dia marah?”

“Dia memang agak kaku, tapi sebenarnya dia baik kok. Tadi dia menawarkan bareng, aku terima saja, dan kebetulan aku juga agak lapar,” kata Dita sedikit berbohong.

“Dia suka ya sama kamu?”

“Ah, enggak.. kami hanya berteman. Dia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya.”

“Ooh, mahasiswa tingkat akhir, Tapi ngomong-ngomong kenapa kamu nggak menelpon aku tadi?”

“Yaah, aku sungkan dong, masa ngrepotin kamu terus.”

“Ya enggak, untuk kamu aku nggak repot kok.”

“Enak ya baksonya? Kemarin mbak Dina juga makan disini, lalu aku dibawain yang kemudian aku makan sore harinya.”

“Oh, kemarin kan kita melihat Dina disekitar tempat itu, mungkin karena kecapekan dan kelaparan pastinya, lalu makan bakso disini.”

“Iya, katanya begitu, tapi aku nggak tahu kalau dia makan bakso disini.”

Selepas makan bakso, Abian mengantarkan Dita pulang.

“Aku nanti dikasih jawabannya ya?”

“Lhoh, apa tuh ?”

“Kemarin kan ada pertanyaan aku, masalah suka dan tidak suka?” tanya Abian setelah keduanya naik ke mobil.

“Oh, kenapa nggak bawa contekan?” tanya Dita.

“Apa?  Contekan?”

“Biasanya kalau nggak tahu jawabannya apa, pasti sudah bawa contekan.”

Abian tertawa keras.

“Kamu ternyata juga bisa melucu ya? Jangan ngeles, ini bukan masalah ulangan di sekolah, jadi lupakan kebiasaan kamu nyontek.”

“Enak aja, aku nggak pernah nyontek lho..”

“Lha itu, ngelesnya ke ulangan sekolah.”

“Seseorang itu suka atau tidak suka, sudah kelihatan dari sikapnya. Jadi jangan banyak tanya.”

“O, begitu ? kata Abian sambil mengangguk-angguk.

“Kalau begitu aku sudah tahu jawabannya.” lanjut Abian.

Dita menoleh kearah laki-laki disampingnya. Dia merasa telah kelepasan bicara. Walau tidak jelas, ucapannya tadi seperti sudah menunjukkan isi hatinya. Duh, malunya. Dia tidak pernah menolak ajakan Bian, dan selalu menghadapinya dengan manis. Itu jawabannya apa? Aduhai.

“Benar, aku sudah tahu jawabannya.”

“Kalau begitu jangan katakan lagi, cukup disimpan dalam hati.”

“Baiklah cantik,” kata Bian dengan hati berbunga-bunga.

Sebuah pernyataan cinta yang mendapat jawaban secara aneh, tapi Bian bahagia karenanya. Dia sudah menemukan jawabannya.

***

Setelah mengantarkan Dita, tiba-tiba Bian  ingin menelpon Dian. Barangkali Dian akan terkejut, dan Bian suka itu.

“Hallo..” jawab Dian ketika itu.

“Apa kabar kamu Dian?”

“Sudah lebih baik, besok aku mau bezoek ibunya karyawanku nih.”

“Oh, iya.. Dina sudah cerita sekilas tentang ketika kamu dikeroyok dua bandit. Jagoan kamu memang Dian.”

“Jagoan tapi hampir keok..” kata Dian sambil tertawa.

“Nggak apa-apa, untuk sebuah perbuatan mulia, sedikit sakit nggak masalah.”

“Kamu sendiri apa kabar?”

“Banyak cerita nih Dian, tapi nggak enak ya ngomong di telpon. Minggu depan aku mau ke Jakarta, tapi cuma pagi datang sorenya sudah balik. Nanti aku akan cerita."

“ Ngapain cuma sehari?”

“Urusan pekerjaan. Kantorku sudah buka minggu depan.”

“Syukurlah, memang keluarga pengusaha yang hebat. Tapi ada sedikit bocorannya nggak?”

“Bocoran apa?”

“Tentang yang mau kamu ceritain itu.”

“Baiklah, sedikit ya .. aku sudah punya calon..”

“Calon apa tuh, calon arang ?”

“Gila, memangnya aku nenek sihir? Ya calon isteri dong.”

“Busyettt ! Dapat dari mana ?”

“Kamu pasti kaget.”

“Woww…Dina… ya kan?”

“Bukaaaan, adiknya.”

“Apa? Dita?”

***

“Bapak, Abian sudah jadian..”

Tapi dirumah itu ia tak menemukan ayahnya. Hanya simbok yang melayani mereka yang ada, dan sedang bersih-bersih rumah.

“Mana bapak ?”

“Pergi dari tadi mas, tadi mas juga ditunggu, tapi sampai sore mas baru pulang.”

“Aku baru ketemu teman, lalu mampir ke kantor, untuk melihat suasana kantor baruku.”

“Barangkali ada yang penting, apa tidak sebaiknya mas Bian menyusul bapak?”

“Lha bapak pergi kemana saja aku tidak tahu, harus menyusul kemana aku?”

“Mas Bian kan bisa menelponnya.”

“Nggak usah ah, aku capek, mau istirahat saja. Kalau memang bapak mengharuskan aku menyusul pasti sudah menelpon aku.”

“Sepertinya tadi bapak juga menelpon, tapi ponsel mas Bian tidak aktif.”

“Oh, iya.. lupa nge charge. Ini mau aku charge , tapi aku mau istirahat dulu.”

“Baiklah mas, nanti minum sore saya siapkan di ruang tengah ya. Ada pisang goreng yang sudah simbok siapkan juga.”

Mendengar ucapan pisang goreng, Bian urung memasuki kamarnya.

“Ada pisang goreng mbok?”

“Masih hangat, simbok kira bapak sudah mau pulang, ternyata mas Bian yang pulang.”

“Kalau begitu siapkan kopi untuk aku mbok, aku mau pisang gorengnya,” kata Bian memasuki kamarnya, hanya untuk berganti pakaian.

Simbok tersenyum. Momongannya yang sejak kecil dirawat seperti anaknya sendiri ini memang sangat menyukai pisang goreng. Ia bergegas kebelakang untuk menyiapkan kopi pesanan Bian.

***

Ternyata pak Iskandar ada dirumah Leo. Sudah beberapa saat lamanya mereka berbicang, tapi hanya Dina yang melayani tamunya, sedangkan Dita ada di kamarnya.

“Dina ini yang besar ya?”

“Iya om, Dita ada dikamarnya, kecapekan barangkali, kayaknya masih tidur sejak pulang kuliah tadi.”

“Oh, ya sudah biarkan saja, nggak usah dibangunkan, kasihan, pasti dia capek.”

“Mengapa kesini sendiri mas?” tanya Leo.

“Tadi ketika aku berangkat, Bian belum pulang, aku sudah menelponnya berkali-kali, sepertinya ponselnya mati. Anak itu sering lupa men charge ponselnya. Tapi nggak tahu kemana dia kok sampai sore belum pulang juga. Barangkali ke kantornya, yang mungkin bulan depan sudah akan mulai operasional.”

“Wah, syukurlah, ikut senang.”

“Boleh nggak saya melamar menjadi karyawan om?" kata Dina.

“Bener nih, nanti aku bilang sama Bian kalau memang kamu serius.”

“Tidak mas Is, Dina itu tidak suka bekerja kantoran, sejak dulu dia tidak mau bekerja di manapun. Membantu ayahnya saja tidak mau.”

“Iya benar, kata Dina penginnya mandiri. Punya usaha sendiri, tidak menebeng ayahnya, apalagi ikut orang lain,” sambung Rina.

“Tapi aku ingin mencoba di kantornya om Iskandar.”

“Bekerja itu ya harus niat bekerja, tidak boleh nyoba-nyoba,” kata Leo.

“Lho, bagaimana ini Din, serius nggak kamu?”

“Boleh nggak nyoba-nyoba om?”

“Sebenarnya sih sebuah pekerjaan harus dijalani dengan niat yang serius, bener apa kata ayah kamu.”

“Tuh kan..”

“Baiklah, Dina niat kok.”

“Dina, jangan sembarangan kamu,” tegur Leo.

“Nanti coba aku bicara sama Bian, masih ada yang perlu ditambah nggak, soalnya juga masih baru, belum tahu dibagian mana yang masih ada tempat.”

Biarpun dihalangi ayah ibunya, Dina nekat ingin bekerja disana. Padahal tadinya dia ingin punya usaha sendiri. Tampaknya ada maunya yang tersembunyi


***

“Apa? Dina ingin bekerja di perusahaan kita?”

“Iya, katanya tadi begitu.”

“Ah, nggak usah lah pak. Kayaknya masih cukup kok,” kata Bian yang teringat sikap Dina kepadanya, yang kemudian membuatnya berpikir bahwa Dina memang punya rasa suka terhadap dirinya.

“Barangkali bisa kamu jadikan sekretaris kamu.”

“Tidak dulu pak, barangkali cukup yang sudah ada.”

“Lho, seneng kan punya sekretaris cantik.”

“Kok bapak yang ngebet sih.”

“Sesungguhnya bapak lebih suka kalau kamu memilih Dina sebagai isteri.”

“Bapak?”

***

Besok lagi ya.

Monday, August 30, 2021

ROTI CINTA 15

 

ROTI CINTA  15

(Tien Kumalasari)

 

“mBak, yang dibungkus nanti ya, saya melayani pembeli lain dulu, kan mbak masih makan,” kata si tukang bakso.

“Ya baiklah, nggak apa-apa, saya juga duduk disini sambil istirahat kok,” jawab Dina.

Tukang bakso itu melayani pembeli lain yang duduk di bangku agak jauh dari Dina.

“Bakso satu mas, seperti biasa ya, pangsitnya tiga,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Dina. Seorang laki-laki muda tiba-tiba saja duduk di depan Dina.

“Ya mas, sebentar ya.”

“Teh manis panas satu,” lanjut laki-laki itu.

“Baik.”

Dina menatap laki-laki yang baru datang dan duduk seenaknya sambil mengangkat sebelah kakinya.

“Mas, tolong duduknya yang sopan ya,” tegur Dina sambil terus menyantap baksonya yang tinggal sedikit, agak risih melihat ulah pendatang baru yang duduk seenaknya didepannya.

“Oh, maaf, “ kata pendatang baru itu sambil menurunkan kakinya.

“Lhoh, ini mbak Dina kan?” tiba-tiba laki-laki itu nyeletuk, sambil menatap Dina.

Dina mengangkat wajahnya, lalu ganti menatap laki-laki didepannya.

“Haaaah.. Ferry ya?”

“Lha iya mbak, saya Ferry..”

“Idih.. calon sarjana kenapa duduk seenaknya didepan seorang wanita?” tegur Dina.

“Maaf mbak, saya biasa nongkrong disini setiap hari, dan tadi spontan saja menaikkan kaki saya. Nggak sadar didepan saya ada gadis cantik yang mengawasi kelakuan saya. Sekali lagi maaf ya mbak Dina.”

“Dari kampus ya?”

“Iya, tadi ketemu Dita, mau saya boncengin nggak mau.”

“Oh ya?”

“Tampaknya dia sedang menunggu pacarnya.”

Dina tak menjawab, ia sudah tahu siapa yang ditunggu adiknya.

“mBak Dina sendirian?”

“Iya.. tadi dari jalan-jalan di komplek pertokoan ini.”

“Oh, saya heran orang kaya mau makan di warung bakso angkringan seperti ini.”

“Maksud kamu siapa?”

“mBak Dina lah, masa orang lain.”

“Yang kaya itu siapa?”

“mBak Dina kan orang kaya. Pantasnya makan di resoran mewah.”

“Aku bukan orang kaya. Aku orang biasa saja, dan suka makan di warung apa saja. Di kampus ada warung tongkrongan para mahasiswa, aku juga sering makan disana. Dan bakso ini enak, aku suka.”

“Sudah sering makan disini?”

“Baru sekali.”

Tukang bakso menghidangkan pesanan Ferry.

“Hm, dia hafal kesukaan aku. Terimakasih ya mas,” kata Ferry kepada tukang bakso.

“Ya mas, sama-sama. mBak tadi pesen tiga, dibungkus ya?”

“Ya.”

Dina sudah menyelesaikan makannya. Ia meneguk teh panasnya yang mulai mendingin.

“mBak, yang menjemput Dita itu pacarnya kan? Ngakunya kakaknya.”

“Kenapa kamu tanya. Suka ya sama Dita?”

“Sudah lama aku suka sama Dita.Tapi Dita itu susah didekati. Saingan aku banyak, nggak ada yang mendapat perhatiannya.”

“Iya sih. Tapi kalau kamu suka, ya harus berjuang.”

“Bagaimana kalau dia sudah punya pacar?”

“Pacar itu belum tentu bisa memiliki. Kalau suami.. nah.. jangan lagi diganggu. Dita kan belum bersuami, tinggal bagaimana cara kamu merebutnya.”

“Wah, aku jadi semangat nih,” kata Ferry sambil menyendok baksonya.

“Ini mbak, baksonya yang mau dibawa pulang sudah siap.”

“Oh, iya.. sudah ya, jadi berapa semuanya?”

“Eh, mas, jangan minta uang sama dia, biar aku yang bayarin,” kata Ferry tiba-tiba.

“Jangan, kasihan anak kost nraktir orang rumahan.”

“Aku baru dapat kiriman mbak, jangan khawatir, uangku masih banyak.”

“Nggak mau, kasihan,  uang kiriman dari orang tua kan untuk biaya kamu selama nge kost, bayar kuliah,” kata Dina sambil menyerahkan uang ratusan.

“Ini mas, sama sekalian buat bayar dia,” lanjutnya sambil menambahkan lagi selembar lima puluhan ribu.

“Aduh, kenapa malah jadi kebalik?”

“Kurang nggak mas uangnya?” tanya Dina sambil berdiri.

“Nggak mbak, masih sisa.”

“Biarin saja, barangkali nanti dia masih mau nambah.”

Tukang bakso hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Dan Dina beranjak pergi.

“Lhoo…  mbaaak, tungguin sebentar, nanti aku antar,” Ferry berteriak.

“Nggak, terimakasih, masih mau mampir-mampir,” teriak Dina yang menjauh sambil melambaikan tangannya.”

“Hm, sudah cantik, anak orang kaya. Tapi aku suka sama adiknya. Cuma susah ngedekatinya,” keluhnya sambil menyendok baksonya.

Tukang bakso hanya tertawa. Banyak cerita didengar diantara para pelanggannya. Tentang cinta, tentang rumah tangga, tentang banyak hal yang semuanya hanya didengar dari kuping kirinya dan keluar dari kuping kanannya.

***

“Dian, sudah bangun? Makannya sudah siap nih,” kata Yanti ketika memasuki kamar Dian.

Dian baru saja bangun, dan meraba ponselnya. Ada beberapa panggilan masuk, salah satunya dari Dina.

“Makan dulu Dian, baru buka ponselnya,” tegur ibunya sambil mendekatkan meja kecil berisi makan siang untuk Dian.

“Sebentar bu, ini dari Dina, nanti Dian makan sendiri.”

“Baiklah, obatnya juga sudah ibu siapkan ya.”

“Obat-obat itu membuat Dian selalu diserang kantuk.”

“Nggak apa-apa, justru kamu bisa istirahat lebih baik. Ya sudah ibu tinggal ya.”

“Ya bu, saya menelpon Dina dulu.”

Yanti melangkah keluar. Tak ada yang perlu dikhawatirkan ketika Dian menelpon Dina, mereka sudah tahu hubungan antara keduanya.

“Hallo..” sambut Dina ketika Dian menelpon.

“Tadi nelpon aku ya ?”

“Ya, lama nggak dijawab-jawab.”

“Aku tidur. Setiap habis minum obat aku pasti tertidur.”

“Bagus lah, jadi bisa istirahat.”

“Kamu dimana?”

“Baru masuk halaman rumah, dari jalan-jalan.”

“Oh, sama siapa?”

“Sendiri, mau sama siapa lagi?”

“Dita?”

“Tadi ke kampus, nggak tahu sekarang belum pulang.”

“Kamu tadi menelpon aku?”

“Iya,” kata Dina sambil  duduk dibawah pohon mangga depan rumahnya. Ia baru pulang dan belum sampai masuk ke rumah.

“Ada apa? Kangen ya?”

“Aku lagi sedih nih mas.”

“Sedih ? Kenapa?”

“Gimana ya ngomongnya, agak sungkan sebenarnya, tapi aku butuh seseorang untuk mencurahkan isi hati aku.”

“Kalau begitu katakan saja, kakakmu akan membantu kalau memang bisa melakukan.”

“Aku jatuh cinta..”

Dian tertawa keras sekali.

“Kok tertawa sih mas.”

“Ya bagus kalau kamu bisa jatuh cinta. Kata bapak Leo kamu susah jatuh cinta.”

“Kali ini beneran deh mas.”

“Ya sudah, wajar kan orang yang sudah dewasa jatuh cinta. Aku ikut senang.”

“Tapi aku nggak senang.”

“Lhoh.. kenapa?”

“Dia tidak cinta sama aku.”

“O, itu masalahnya. Apa dia sudah punya pacar? Agak aneh kalau seorang laki-laki tidak suka sama gadis secantik kamu.”

“Tapi nyatanya memang begitu.”

“Kenapa dia tidak suka sama kamu?”

“Dia mencintai gadis lain.”

“Kalau begitu lupakan saja dia. Cinta kamu salah, karena mencintai seseorang yang sudah punya pilihan.”

“Tapi aku nggak bisa lupa sama dia. Aku inginkan dia menjadi pacarku, bahkan suami aku.”

“Itu tidak boleh Dina, kamu harus hentikan. Jangan sampai kamu merusak hubungan seseorang demi keinginan kamu sendiri.”

“Iya sih mas..”

“Hanya karena itu kamu seperti orang kebingungan. Didunia ini banyak laki-laki lain yang baik, yang ganteng, yang setia.”

“Mas Dian itu ngomong seperti lupa pada mas sendiri. Waktu kita belum tahu tentang hubungan darah diantara kita, mas sampai nekat pergi dari rumah, gara-gara keinginan mas ditentang orang tua. Bagaimana sekarang mas bisa ngomong begitu? Sangat mudahkah melupakan perasaan hati?”

“Kamu malah ganti menyerang aku Dina. Dengar, ini beda. Dulu aku nekat karena aku merasa kamu juga menyayangi aku.”

“Kan aku sudah menolak mas?”

“Aku mengira penolakan kamu adalah karena kamu tahu bahwa bapak sama ibu melarangnya. Itu sebabnya aku menelpon kamu setelah pergi dari rumah. Dan ternyata kamu benar-benar masih menolak aku. Walau begitu sebenarnya aku ingin meyakinkan perasaanmu lagi, benar-benar menolak atau karena takut sama larangan orang tua aku. Sayang aku tak tahan oleh sakitku, lalu aku lari ke rumah sakit. Dari situlah aku tahu bahwa sebenarnya kita saudara, dan berubahlah rasa cinta itu. Berbeda bukan? Barangkali kalau aku sekali lagi mendapat jawaban kamu bahwa kamu benar-benar menolak, aku pasti akan mundur. Aku belum yakin sih ketika itu.”

“Beda ya?”

“Beda, jadi dengar kataku Dina, jangan kamu terlalu risau dengan cinta kamu. Suatu hari nanti kamu pasti akan menemukan pria terbaik dalam hidup kamu.”

Ketika pembicaraan itu berakhir, Dina masih tertegun dibawah pohon. Alangkah susah memenuhi petuah kakaknya. Cinta itu begitu kuat mencengkeram batinnya. 

Rina yang keluar dari rumah heran melihat anaknya termenung disana.

“Dina? Kamu itu ngapain, pulang dari bepergian kok nggak langsung masuk rumah ?”

“Ini bu, habis menerima tilpon, masuknya pas dihalaman, jadi langsung Dina terima sambil duduk,” jawab Dina sambil berdiri kemudian masuk ke rumah.

“Ya ampuun, diterima sambil masuk kerumah kan nggak apa-apa? Memangnya rahasia, sehingga ibu nggak boleh dengar.”

“Bukan bu, telpon dari mas Dian.”

“Apalagi dari Dian. Tapi nggak ada apa-apa kan? Dian sudah lebih sehat?”

“Sudah bu, kami hanya ngobrol saja kok,”

“Syukurlah kalau sudah lebih sehat. Ini kamu bawa apa?”

“Bakso bu, karena enak, Dina minta dibungkus, supaya bisa dibawa pulang. Bapak sudah balik ke kantor?”

“Sudah, tadi juga ditanyakan, kok Dita sama Dina ngga kelihatan.”

“Ya sudah, ibu dulu saja yang makan, ini ada tiga bungkus, nanti yang dua untuk bapak sama Dita, biar Dina panasin lagi.”

“Yaah, ibu juga masih kenyang nih, kan belum lama nemenin bapak makan tadi.”

“Sayang sekali, baksonya enak lho bu.”

“Ya sudah, nggak apa-apa, sini ibu cobain.”

“Nah, gitu dong bu, nanti kalau tidak habis biar Dina habisin. Tadi Dina juga sudah makan disana sih, tapi kalau sedikit lagi sih masih mau.”

“Memangnya beli dimana?”

“Di pinggir jalan. Bakso angkringan, tapi ada disediain bangku-bangku untuk yang makan ditempat. Tadi Dina kelaparan lalu nyobain bakso jalanan, enak tuh.”

“Ya, baiklah, sini.. yang dua disimpan dulu, yang satu biar ibu makan, tapi bener ya, kalau nggak habis kamu yang ngabisin.”

“Iya bu.”

***

Saat makan bersama Dita itu Bian masih memikirkan sikap Dina yang aneh. Masa tiba-tiba seperti marah terhadap dirinya. Padahal tadinya baik-baik saja, dan dia juga tak mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti. Tapi Dina tampak kesal ketika Abian menerima telpon dari Dita tadi.

“Apa Dina juga suka sama aku? Ah, mana mungkin, dia kan galak kalau sama aku.” Kata batin Abian.

Dita yang menemaninya makan, merasa aneh melihat Abian yang seperti tampak melamun, bahkan terkadang lama baru menyuap makanannya.

“Mas Bian, makan kok sambil ngelamun sih ?”

“Oh, eh.. tidak..  lagi mikirin kerjaan kok.”

“Tuh kan, mas Bian bilang lagi tidak ada kerjaan, karena urusan hampir selesai.”

“Iya, cuma sedikit urusan, bukan masalah. Ayo kita ngobrol..”

“Ngobrol apaan ?”

“Ngobrol apa saja? Kapan kuliah kamu selesai..”

“Kalau lancar yang mau secepatnya Dita selesaiin.”

“Bagus, setelah itu siap dilamar kan?”

“Maksudnya siap melamar pekerjaan ?”

“Bukan, dilamar seorang priya yang sangat mencintai kamu.”

“Ah…” jawab Dita sambil tersipu.

“Kok ah sih..”

“Siapa yang mencintai aku?”

“Bagaimana kalau aku?”

Wajah Dita memerah. Masa sih Bian menembak langsung begitu. Dia menyendok makanannya, dan terus menunduk seperti memperhatikan nasi rawon yang tadi dipesannya.

“Kok diam? Aku suka sama kamu sejak pertama kali bertemu.”

Dita mengangkat wajahnya, dan dadanya berdegup semakin kencang ketika matanya bertatapan dengan mata Abian.

Beberapa saat saling memandang, akhirnya Dita menundukkan lagi kepalanya.

“Kamu ingin menolak? Tidak suka ya sama aku?”

“Entahlah..” akhirnya jawabnya.

“Kok entah? Kamu menolak aku?”

Menolak? Aduhai, baru kali ini Dita merasakannya, dan itu terasa sangat indah. Tapi mengatakan tidak menolak, kok malu bukan main.

“Halloooo cantik.. jawab dong.”

“Apa sih?”

“Baiklah, kamu boleh mengangguk saja atau menggeleng. Dita, apa kamu membalas perasaan aku? Suka sama aku? Oh ya, harusnya aku membeli seikat bunga lalu aku serahkan ke kamu, baru mengatakan cinta. Begitu kan?”

Sekarang Dita tersenyum. Tapi senyum itu diterima oleh Bian dengan rasa senang. Itu bukan penolakan. Mungkin Dita malu, toh dia masih sangat muda. Aduh, benarkah sudah mahasiswa belum bisa mengucapkan cinta?

“Baiklah, kamu boleh memikirkannya, besok aku jemput lagi kamu, dan aku berharap kamu sudah menyiapkan jawabannya.

***

Hari itu Dita pulang dari kampus. Dia akan naik taksi saja dan tidak mengabari Abian untuk menjemput. Ketika sedang berjalan itu tiba-tiba seperti biasa sebuah sepeda motor berhenti tepat disampingnya.

“Ditaaa..”

Dita tidak terkejut. Sudah biasa Ferry melakukan hal seperti itu. Tiba-tiba mengejutkannya, dan selalu saja nekat biarpun beberapa kali dia menolaknya.

“Mau aku antar pulang?”

Lama-lama Dita kasihan juga. Setiap kali ditolak, tapi tak jemu dia melakukannya lagi. Kali ini Dita tidak menolak.

“Baiklah, sekali ini saja ya?”

“Okey, sekali juga lumayan, awas, pegangan pinggang aku ya, takutnya kamu terjatuh,” candanya setelah Dian naik ke bocengannya.

“Ih, ogah.. sudah begini saja,” kata Dita.

Lalu Ferry menjalankan motornya dengan gembira. Keduanya baru saja mau menyeberang setelah keluar dari kampus, ketika tiba-tiba mobil Bian bermaksud masuk ke halaman kampus.

Dan Bian belum sempat memanggilnya ketika Ferry sudah membawa Dita menyeberangi jalan.

***

Besok lagi ya

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...