Monday, September 30, 2019

DALAM BENING MATAMU 10

DALAM BENING MATAMU  10

(Tien Kumalasari)

Mirna mengangat ponselnya, ingin menelpon ibunya, tapi kemudian diurungkannya. Jam segini ibunya pasti masih sibuk bekerja. Mungkin lagi mencuci, atau memasak, atau menyetelika pakaian. Mirna menghela nafas sedih, ibunya masih saja bekerja keras, padahal dia sudah melarangnya.

Mirna tak melakukan apa-apa sampai jam istirahat tiba. Ia merasa lapar, tapi enggan beranjak dari tempat duduknya.  Bayangan gadis belia yang cantik tadi terbayang kembali di pelupuk matanya. Baru sekali ia melihatnya, dan selama dia bekerja juga baru sekali ini ia datang menemui pak bosnya yang ganteng. Dan pak Bosnya menyambut dengan hangat.. juga mesra.. Ah, rasa cemburu kembali menggelitik perasaannya. Ada apa aku ini... pikir Mirna.. sementara Adhitama sendiri sepertinya tak pernah menaruh perhatian lebih pada dirinya. Apakah aku kurang cantik? Mirna mengeluarkan kotak bedak dari dalam tasnya, ada kaca disitu, dan ia memandangi wajahnya dengan seksama. Aku cantik tuh, pikirnya. Mataku bagus, hidungku mancung, bibirku.. apakah bibirku kurang mempesona?  Mirna meraih lipstik, lalu memoleskannya lagi sedikit kebobornya. Hm.. rupanya ini belum cukup untuk menarik hati Adhitama. 

Tapi kemudian Mirna teringat kembali pesan ibunya. JANGAN SE KALI-KALI KAMU JATUH CINTA 

Mirna menghela nafas. Bagaimana menahan perasaan cinta? Laki-laki seganteng dia, pasti akan banyak yang jatuh hati menerima senyumannya, pandangan matanya yang teduh.

Ketika telephone berdering, Mirna bangkit dan menuju kearah pesawat telephone dimeja Adhitama. 

"Halllo, dengan PT Adiluhung disini..."

"Hallo, saya mau bicara dengan pak Adhitama, bisa?"

"Ma'af pak, pak Adhit baru saja keluar, mungkin untuk makan siang. Tadi bersama bu Ayud dan satu lagi tamunya. Ada yang bisa saya bantu?

"Oh, ya sudah, ponselnya nggak aktif, makanya saya menelpon kemari."

"Oh, iya, ma'af, ini saya bicara dengan siapa ya?"

"Saya pak Galang, bapaknya Adhit."

Mirna menahan debar jantungnya. Galang, bukankah orang yang sangat dibenci ibunya? Ini suara orangnya. Gemetar tangan Mirna yang sedang memegangi gagang pesawat itu.

"Hallo..."

"Oh.. hallo, ma'af pak, saya tidak tau kalau..."

"Nggak apa-apa, ini siapa?"

"Saya Mirna pak, sekretarisnya pak Adhit."

"Oh, baiklah Mirna, nanti kalau pak Adhit sudah datang, sampaikan bahwa bapaknya menelpon."

"Baik pak."

"Terimakasih Mirna, selamat siang."

"Selamat siang bapak."

Mirna meletakkan gagang telephone itu dengan perasaan yang tak menentu. Ia kembali ke mejanya, duduk bersandar untuk menenangkan hatinya. 

Suara musuh besar ibunya. Suara yang berat, bagus, santun dan  begitu ramah. Sejahat apakah dia? Pikir Mirna. Ia menyesal belum bertanya kepada ibunya tentang hal apa yang membuat laki-laki bernama Galang itu sampai membuat ibunya hidup sengsara. Harusnya ibunya mengatakannya, tapi mengapa tidak? Ia harus bertanya, dan kalau ibunya tak juga mau menjawabnya, ia akan mencari tau dengan caranya. Tapi cara yang bagaimana? 

***

Dirumah makan itu Dinda tak henti-hentinya bercerita. Bibirnya yang tipis dan selalu ternganga membuat Adhitama tak mampu ber kata-kata. Ia sungguh  merasa tertarik pada gadis kecil itu. Aneh, selama ini ia tak pernah merasakan hal yang seperti dirasakannya siang ini. 

"Mas Adhit kok memandangi aku terus sih.. aku jelek ya .. atau sebel karena aku banyak ngomongnya?"

"O, nggak, suka melihat kamu cerewet."

Dinda tertawa senang, dan tawa itu lagi-lagi membuat Adhit terpana. Apa yang terjadi pada diriku, pikirnya.

"Aku kan sudah bilang, lama-lama mas Adhit bisa jatuh cinta sama kamu," celetuk Ayud lalu meneguk minumannya.

"Haaa.. masa mas Adhit bisa jatuh cinta sama anak kecil?" pekik Dinda sedikit keras, membuat Ayud segera mencubit lengannya.

"Aduh, mbak Ayud, sakit tau?" katanya sambil mengelus lengannya yang sakit.

"Kamu itu ya, kalau bicara jangan keras-keras, tuh semua orang menoleh kearah sini, apalagi lagi ngomongin cinta."

"Iya ya, habisnya aku kan anak Medan."

"Nggak apa-apa, biarin saja dia berteriak," kata Galang sambil menyuapkan sendok terakhirnya.

"Tuh, dibolehin sama mas Adhit. Tapi lama-lama, kalau aku memandangi mas Adhit itu ya, kayak mirip sama bapakku lho."

"Iya lah, mas Adhit itu lagi terpesona sama kamu, jadi apapun yang kamu lakukan, dia pasti seneng-seneng aja. Eh, apa kamu bilang? Mirip sama om Raharjo ya? Iya juga sih, sama-sama ganteng kan?"

Dinda tersenyum memandangi Adhitama. Pandangan mereka beradu, tapi Dinda kemudian mengalihkan padangannya kearah lain. Aku kok kayaknya suka sama masku yang ganteng ini.. gila bener, ini cinta monyet 'kali. Bisik batinnya.

"Oh ya, nanti aku mau langung kerumah simbah, nggak usah dianterin, aku sudah tau jalannya kok."

"Ya nggak boleh gadis cantik jalan sendiri, nanti  kalau kamu diculik bagaimana?" kata Adhit menggoda.

Dinda tertawa keras, dan lagi-lagi Ayud mencubit lengannya.

"Auuw... iih.. mbak Ayud..." kata Dinda sambil merengut di buat-buat. Tapi menurut Adhit, merengutpun dia cantik lho.

Ayud terkekeh senang.

"Rasain, kalau kamu masih suka berteriak ditempat umum, aku cubit sampai lengan kamu gosong."

"Iih... jahatnya...." ujar Dinda masih dengan merengut.

"Yud, habis ini kita antar Dinda kerumah simbahnya."

"Siyap bos, aku juga belum pernah ketemu simbahnya Dinda."

"Iya, waktu kesana kan aku diantar mas Raka. Jadi aku nanti diantar ya?"

"Iya, diantar sampai kerumah simbah, nanti sore sepulang kantor kami jemput kamu." kata Adhit.

***

Ternyata dugaan bu Marsih tentang keluarganya Putri meleset. Kedua anaknya sangat baik dan tidak tampak membedakan perbedaan status diantara mereka. Dua orang ganteng dan cantik itu bersikap se olah-olah mereka adalah keluarganya juga. Bu Marsih sangat bersyukur. Ia memandngi Ayud seperti melihat Putri ketika datang pertama kali kerumahnya, dan menangis dikursi yang sekarang diduduki anaknya. Bu Marsih tersenyum sendiri, ternyata jodoh itu tidak bisa ditentukan oleh pemilihnya, tapi hanya Tuhan yang menentukannya. Dan anak-anak dari mereka yang semula saling mencintai, berbaur seperti layaknya saudara.

Itu adalah cinta-cinta kasih yang tulus. Dan kedamaian terasa dihati ibu tua itu, melihat mereka tampak sangat bahagia.

"mBah, nanti sore kami akan menjemput Dinda, sekarang biarlah dia disini dahulu," kata Adhit kepada bu Marsih.

"Iya cah bagus, terimakasih karena menerima Dinda seperti saudara sendiri. Ia hanya cucu seorang pedagang makanan."

"Mengapa simbah berkata seperti itu? Saya juga pedagang lho mbah, cuma berbeda bentuknya. Saya salut simbah yang sudah setengah tua masih giat bekerja, bersemangat dan tampak segar."

"Iya nak, tapi namanya orang seperti simbah ini kan pasti berbeda dengan....."

"Tdak, simbahnya Raka dan Dinda juga simbahnya Adhitama dan Ayud.."

Bu Marsih merangkul keduanya dengan berlinangan air mata. Pernahkah terpikir oleh bu Marsih bahwa Adhitama juga darah dagingnya?Rupanya ikatan yang tak tampak itu seperti menalikan benang merah yang walaupun tipis tapi mengikat masing masing hati mereka. Seperti perasaan Adhit pada Dinda.. taukah dia bahwa mereka adalah sedarah daging? Sayangnya mereka mengartikan perasaan cinta itu seperti layaknya cinta seseorang kepada lawan jenisnya. Aduhai..

"Simbah, sekarang kami mau pulang dulu karena masih harus kembali ke kantor. Nanti sore kami akan menjemput Dinda ya mbah?" Kaya Ayud ketika merangkul bu Marsih.

"Iya nak, hati-hati dijalan, dan terimakasih telah menjaga cucu simbah dengan sangat baik."

"Ya pasti lah mbah, walau Dinda itu sedikit nakal, tapi kami sangat menyayangi dia, jadi simbah nggak usah khawatir. Ya mbah?"

"Terimakasih banyak ya nak, hati-hati dijalan."

Dan ketika pulang itu Adhit sempat mengerling kearah Dinda dengan tatapan mata sedikit nakal. Dinda memeletkan lidahnya, lalu tersenyum sangat manis."

***

"Mas, aku pikir-pikir nas Adit itu aneh ya?" kata Ayud dalam perjalanan kembali ke kantor.

"Aneh bagaimana?"

"Itu, sikap mas Adit sama Dinda, bari ketemu belum sebulan saja kayaknya gimanaaa... gitu."

"Gimana itu apa? Dan belum sebulan bagaimana, kan kita sudah sejak kecil ber sama-sama?"

"Itu benar, waktu kecil berteman biasa, setelah Dinda remaja, mas Adhit memandangnya seperti lain. Apa mas Adhit kali ini benar-benar jatuh cinta?"

Adhit terdiam. Ia sungguh belum sepenuhnya bisa memahami perasaannya. Bahwa Dina itu cantik. Ya.. Bahwa Dinda itu menarik.. Iya.. dan senyumannya selalu membuatnya ber debar-debar. Itu benar. Apakah itu cinta? Adhitama tak mengerti. Tapi ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Sumpah. 

"Kok diam? Itu benar ya?"

"Nggak tau aku.."

"Masa perasaan sendiri nggak tau ?"

"Aku memang belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya."

"Mas, dengar ya, yang namanya jatuh cinta itu boleh=boleh saja, tapi mas harus ingat, Dinda itu masih remaja, yang namanya remaja itu ya belum tentu perasaannya yang sekarang.. akan abadi sampai entah kapan.. Kalau mas benar-benar cinta dan dia masih cinta monyet, mas sendiri nanti yang sakit."

Adhitama terdiam. Rupanya ia masih harus mencari kebenaran dari perasaannya.

"Sebaiknya biarkan dulu Dinda kuliah, menyelesaikan kuliahnya, nah.. kalau tahan.. tungguin.. tapi jangan biarkan perasaan itu sampai dalam. Biasa saja.. seperti hubungan kakak dan adik, gitu lho mas.."

"Hm.. kok kali ini kamu kayak nenek-nenek?"

"Iih... mana ada nenek-nenek secantik aku.." Ayud cemberut.

Adhitama tertawa. Kata-kata Ayud ada benarnya.

"Lalu bagaimana kamu dengan Raka?"

"Apanya yang bagaimana? Kita itu aneh.. mas Adhit tertarik sama Dinda, trus aku di hubung-hubungkan sama Raka. "

"Aku melihat Raka itu suka sama kamu."

"Aku kan sudah bilang, aku lebih tua dari Raka."

"Apa itu halangan..?"

"Mas suka, kalau aku pacaran sama Raka?"

"Dia itu kan baik, pintar.. ganteng.. haa.. itu penting lho.."

"Nggak tau aku... sudah diamlah, kita sudah sampai di kantor."

***

Begitu memasuki kantornya, Mirna melapor bahwa tadi ada telephone dari bapknya. Adhit buru-buru memegang telephone dan menelpon ayahnya.

"Hallo, bapak tadi menelpon?"

"Iya, kamu lagi makan siang, ponsel kamu mati kan?"

"Iya, takut mengganggu makan siang Adhit pak. Apa ada yang penting?"

"Bagaimana perusahaan kamu?"

"Baik pak, lumayan. Kan bapak yang ajarin."

"Itu eyangmu kakung yang ngajarin, Bapak ini kan orang biasa saja, bukan pemilik perusahaan."

"Bapak sukanya merendah deh. Oh ya, tadi Adhit, sama Ayud, makan bareng Dinda."

"Oh, Dinda ada disini? Jadi kuliah disini?"

"Iya pak, nggak nyangka, Dinda itu sekarang cantik banget."

"Oh ya? Memang cantik lah, bapaknya ganteng ibunya cantik."

"Tadi tuh pak, Dinda bilang bahwa aku mirip sama om Raharjo, hahaa... bapakku sama om Raharjo kan sahabatan, sama-sama ganteng... ya kan?"

Tapi Galang terdiam. Kata-kata yang dianggapnya gurauan itu terasa menusuk hatinya. 

"Pak, apakah salah kalau aku jatuh cinta sama Dinda?" kata Adhit tiba-tiba, tapi itu membuat Galang tertusuk lebih dalam. Ini menghawatirkan.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Saturday, September 28, 2019

DALAM BENING MATAMU 09

DALAM BENING MATAMU  09

(Tien Kumalasari)

Mirna masih membayangkan tante Retno yang belum pernah dikenalnya, tapi yang anaknya pernah bertamu dikantor bos nya. Ganteng juga anaknya tante Retno, pikir Mirna. Berarti dia masih saudaraan dengan aku. Apakah aku harus memperkenalkan diriku seandainya nanti bertemu? Atau ia harus mendiamkannya saja toh tidak pernah saling kenal.. ?Tapi Mirna merahasiakan pertemuan itu, juga merahasiakan tentang tante Retno yang ternyata sahabat keluarga Adhitama  terhadap ibunya. Mirna tidak tahu harus berbuat apa tapi siapa tahu akan berguna pada suatu sa'at nanti.

***

Ketika turun dari pesawat, Dinda tak usah bingung karena Ayud sudah menjemputnya. Kedua gadis itu ber rangkulan erat sekali. 

"Dinda, kamu bertambah besar dan semakiin cantik...." seru Ayud sambil memegangi kepala Dinda.

"mBak Ayud juga semakiin cantik..."

"Oh ya... senang mendapat pujian dari gadis Medan."

"Sebentar, aku harus menelpon ibu dulu bahwa aku sudah sampai dan sudah dijemput oleh mbak Ayud."

"Okey, mana kopormu biar aku yang menariknya."

"Hallo ibu.."

"Dinda, sudah sampai Solo?" suara Retno dari seberang.

"Sudah ibu, ini sudah sama mbak Ayud."

"Bagus, sampaikan salam ibu dan bapak pada Adhit dan Ayud, juga sungkem untuk simbahmu dan bu Broto ya?"

"Ya pastinya bu, tapi Dinda ini langsung kerumah bu Broto ya, kerumah simbah besok pagi saja, kan ini sudah sore."

"Baiklah, beritahu kakakmu Raka kalau kamu sudah sampai ya."

 "Iya beres bu, mas Raka masih mengajar sampai jam 4 ini, pasti nanti nyamperin Dinda deh."

"Iya, tapi ada baiknya kamu juga mengabari dia."

"Ya ibu, siap."

"Hati-hati ya nduk.."

"Ya ibu... nanti Dinda telephone lagi. Apa ibu mau bicara sama mbak Ayud?"

"Boleh, mana anakku cantik yang satunya?"

"mBak, ini ibu mau bicara,"

Ayud menyerahkan ponselnya kepada Ayud.

"Hallo tante..apa kabar?"

"Ayud, kami baik-baik saja, terimakasih sudah repot menjemput Dinda."

"Nggak apa-apa tante, Dinda kan adiknya Ayud."

"Mana Adhit ?"

"Mas Adhit nggak bisa jemput tante, tadi ada meeting sampai sore."

"Oh ya, nitip salam ya. Tante nitip adikmu ya Yud, kalau dia nakal jewer saja."

Ayud tertawa.

"Iya tante, pasti nanti Ayud jewer kalau dia nakal."

"Baiklah nak, hati-hati ya..."

"Sungkem buat tante dan om Raharjo ya.."

"Oke, nanti disampaikan. Sungkem juga buat eyang kamu ya."

"Ya tante."

"Ya sudah, nanti tante telepone lagi."

***

Ketika memasuki rumah, dilihatnya Adhit dan Raka sudah ada disana. Suasana jadi ramai karena ternyata Dinda juga ceriwis seperti Ayud.

"Mas Adhit, lama nggak ketemu, sekarang tambah ganteng lho."

"Oh ya, kamu juga tambah cantik lho Din. Cantik banget," puji Adhit yang tak pernah melepaskan pandangannya pada Dinda. Entah mengapa gadis kecil itu sangat menarik menurutnya.

"Hei, mas.. jangan lama-lama memandangi Dinda, nanti mas bisa jatuh cinta lho," seloroh Ayud sambil menarik Dinda menuju kamar.

"Iih, mbak Ayud, aku kan masih kecil..." sahut Dinda yang masih saja menoleh kearah Adhit.

"Hei.. kamu juga.. katanya masih kecil, kok sudah tau orang ganteng juga.." tegur Ayud.

 Lalu Dinda tertawa senang.

Mereka memasuki sebuah kamar yang sudah ditata rapi. Ada dua tempat tidur disana, Dan Ayud meletakkan koper Dinda didepan sebuah almari.

Nanti kamu tidur disana, aku disini. Itu almari kamu, pakaian kamu boleh kamu tata nanti kalau sudah istirahat,

Dinda merebahkan dirinya diranjang yang ditunjuk Ayud.

"Hm, harumnya, aku jadi ngantuk..," kata Dinda sambil memeluk sebuah guling dan memejamkan matanya.

"Heii.. kamu nggak ingin mandi dulu? "

"Sebentar, aku pengin merem.. lima menit saja.."

"Okey, merem saja dulu, aku siapkan handuk yang bersih buat kamu," kata Ayud sambil membuka almari kecil tempat menyimpan hnduk bersih.

"mBak...."

"Ada apa? Katanya pengin merem..."

"Merem tapi kan nggak tidur."

"Iya, ada apa?"

"Mas Adhit itu apa sudah punya pacar?"

"Lhah... matanya merem tapi pikirannya kearah orang ganteng ya kamu?" sahut Ayud sambil melemparkan handuk kearah Dinda.

"Bukan, cuma nanya aja, apa nggak boleh?"

"Serius nanya nya?"

"Ya serius lah..."

"Mas Adhit itu nggak pernah tertarik sama cewek. Disekelilingnya cewek cantik-cantik.. nggak ada yang bisa buat dia jatuh cinta. Sudah sejak jaman kuliah dulu lho."

"Masa..?"

"Ya udah kalau nggak percaya nanya aja sendiri nanti."

"Nanti aku akan tanya..."

"Sudah mandi aja dulu, aku suruh yu Supi buat minuman buat kamu."

***

"mBah, Dinda sudah sampai Solo ," kata Raka pada bu Marsih begitu memasuki rumah embahnya.

"Oh ya, lha mana.. kok nggak kamu ajak kemari?"

"Dia ada dirumah bu Broto, eyangnya mas Adhit.Besok dia pasti kemari. Sesungguhnya mbah, Dinda disuruh tinggal disana menemani Ayud."

 "Lho... dia itu keluarga kaya raya lho, priyayi terpandang," kata bu Marsih sedikit kecewa. Ia ingat keluarga Broto dulu menolak Teguh gara-gara perbedaan status derajat dan kekayaan. Ia tak mengira anak-anaknya bisa bersahabat. Ia juga sudah mendengar dari Teguh bahwa Putri sudah menjadi isteri sahabat Teguh. Dan Adhit serta Ayud adalah anak-anaknya Putri. Tapi sesungguhnya masih ada was-was dihati bu Marsih, kalau-kalau cucunya akan mendapat hinaan serupa apabila berdekatan dengan mereka.

"Benar mbah, keluarga priyayi terpandang, dan kaya raya. Tapi mereka sangat baik bu, Raka sudah sering main kesana."

Bu Marsih jadi ingat, dulu yang kelihatan nyinyir itu pak Broto, tapi ia juga mendengar kalau pak Broto sudah meninggal.

"Jadi bu Broto itu sangat baik ?"

"Sangat baik mbah, ber kali-kali Raka disuruh tinggal disana, tapi kan Raka lebih suka menemani simbah disini."

"Lha iya, kamu itu kan penggantinya bapakmu yang sekarang jauh. Dulu simbah mau diajak kesana, tapi simbah nggak mau, lebih enak dirumah sendiri, biar jelek juga."

"Ini bagus mbah, Raka senang tinggal disini."

"Syukurlah le. Ya sudah sekarang mandi sama, wong sudah malam begini baru pulang. Simbah siapkan makan malam ya."

*** 

Siang itu Adhitama tampak sedang menunggu. Sudah sejak tadi Ayud bilang akan menjempiut Dinda untuk diajaknya makan siang bersama. 

Mirna menngkap kegelisahan bis nya, yang sejak tadi selalu memandangi pintu masuk kantornya. Pasti ada yang ditunggu, tapi dia tak mengatakan apapun pada Mirna.

 Mirna selesai mengumpulkan berkas lalu dimasukkannya kedalam map, kemudian ia berdiri kearah meja Adhitama.

"Mohon dikoreksi dan ditandatangani pak." kata Mirna.

"Ya, letakkan dulu disitu, aku mau keluar makan siang."

"Baik."

Dan Mirna kembali ke tempat duduknya sambil membatin. Ternyata akan makan siang yang tampaknya bersama seseorang. Hm, siapakah seseorang itu? Perempuankah? Atau Raka yang katanya anaknya tante Retno? Tapi tampaknya seseorang yang sangat istimewa.

Mirna melirik kearah Adhit, yang masih saja memandangi kearah pintu masuk. Sampai-sampai surat yang sudah diselesaikannya tak segera diperiksa, apalagi ditanda tangani.

Mirna jadi penasaran, siapa gerangan yang ditunggu Adhitama sampai tampak gelisah seperti itu. Kemudian Mirna pura-pura menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.

 Ketika tiba-tiba pintu diketuk dari luar, lalu terbukalah pintu itu, seorang gadis cantik muncul bersama Ayud.

Mirna menatapnya kagum. Gadis yang sangat cantik. Jadi dia yang membuat pak Adhit gelisah menunggu sejak tadi? Hm, diam-diam ada rasa nyeri dihati Mirna, apakah aku cemburu? 

Dan begitu Dinda masuk, Adhit langsung berdiri dengan wajah berseri, kemudian berpamit pada Mirna.

"Kami mau keluar dulu Mirna, kalau ada sesuatu bisa dibicarakan lagi nanti setelah aku kembali."

"Baik pak," jawab Mirna sambil menatap Adhitama yang kemudian dengan mesra merangkul pinggang gadis itu, sedang Ayud mengikuti dari belakang, tanpa menoleh sedikitpun kepada Mirna.

Mirna menatap kearah pintu sampai pintu itu tertutup kembali dan meninggalkan luka yang tampaknya ber darah-darah. Ada apa aku ini? Apakah aku jatuh cinta pada pak Adhit? Tidaaak, jangan sampai aku jatuh cinta. Tapi bukankah cinta datang tanpa permisi?

Diam-diam Mirna merogoh kedalam tasnya, dan mengambil botol berisi serbuk putih yang sejak beberapa hari lalu kembali berada disana. Mirna mengamati botol kecil itu, dan menyesal karena lupa bertanya pada ibunya, apa sebenarnya isi botol itu.

  ***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, September 27, 2019

DALAM BENING MATAMU 08

DALAM BENING MATAMU  08

(Tien Kumalasari)

Mirna sudah sangat mengantuk, tapi kegelisahan karena ibunya belum pulang juga, menyebabkan ia tak bisa memejamkan mata. Sekarang ia sangat haus, setelah itu biarlah kalau dia harus tertidur dikursi.

Ia hampir meneguk teh dalam cawan yang sudah dipegangnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

Buru-buru Mirna meletakkan kembali cawan itu, lalu meraih ponselnya, semoga dari ibunya. Dan memang dari ibunya. Ia hanya mengangkat dan tak mengucapkan apapun, karena sesungguhnya ia kesal pada ibunya.

"Mirna !! Apa kamu belum selesai?" kata ibunya hampir berteriak dari seberang sana.

"Ya bu.. mengapa ibu belum pulang juga?"

"Aku sudah ada didepan rumah, tak ada siapa-siapa disitu bukan?"

"Mirna sendiri bu," jawabnya lelah.

\Tiba-tiba saja pintu sudah terbuka, dan ibunya muncul dan langsung duduk dihadapan Mirna.

"Bagaimana ?" tanya ibunya.

"Apanya bu?"

"Tadi ada tamu kan? Kamu senaang? Tapi awas, jangan sampai kamu jatuh cinta."

"Ibu bicara apa? Mirna tidak mengerti. Sekaang Mirna mau tidur bu, malam sudah larut. 

Mirna meraih kembali cawan yang tadi belum sempat dihirup isinya, dan siap diminumnya sebelum berangkat tidur. Ia segn meladeni omongan ibunya, yang tidak dimengertinya.

"Heeiiii...stopppp.." teriak ibunya dengan suara seraknya.

Cawan itu terhenti didepan mulutnya, lalu Widi merebutnya sehingga beberapa tetes tumpah dipangkuan Mirna.

"Ibu apa-apaan sih?"

"Ibu bukan minuman buat kamu, tapi buat Adhitama. Kenapa kamu mau meminumnya juga?"

"Adhitama siapa?" tanya Mirna yang sesungguhnya sudah bisa menangkap keinginan ibunya.

"Bukankah dia tadi kemari? Lalu kamu suguhkan minuman ini?"

"Tidak ada Adhitama datang kemari, adanya adalah pak Sarno, sopirnya."

Widi melotot. Mata yang hampir tak memiliki pelupuk itu seperti hampir terlepas dari wadahnya. Mirna memandangnya dan merasa bergidik ngerti.

"Jadi yang datang kemari adalah sopirnya? Lalu kamu menyuguhkan minuman itu, lalu apa yang dia lakukan padamu hahh? " kata Widi masih dengan teriakan serak.

"Sebenarnya apa yang ingin ibu lakukan? Mirna tidak mengerti. Ibu mengatakan pada pak Adhit bahwa Mirna sakit? Supaya pak Adhit datang kemari? Ya enggaklah bu, dia itu bis besar, mana mungkin mau meladeni karyawan yang seperti Mirna."

"Mirna !! Ibu tanya sama kamu, apa yang dilakukan sopir itu disini??"

"Dia langsung masuk kekamar ketika Mirna masih tiduran, sampai-sampai Mirna terkejut."

"Lalu apa dia memperkosa kamu?"kata sang ibu masih dengan teriakan, ia membayagkan lelaki setengah tua itu menggagahi anaknya, mengotori ranjang dan kamar barunya...aduhai..

"Mengapa ibu mengira pak Sarno memperkosa Mirna? Dia datang karena disuruh majikannya. Majikannya menyuruh sopirnya datang kemari karena ibu bilang aku sakit keras dan harus dibawa kerumah sakit. Iya kan?"

"Dia minum air teh daalam porong itu?"

"Tadi Mirna suguhkan..."

"Apaaa?"

"Tapi dia menolak karena tidak minum minuman manis, gula darahnya tinggi, jadi Mirna kasih air putih."

Widi tampak menghela nafas lega.

"Sesungguhnya apa yang ada didalam cawan itu? Mirna ingn minum karena harus, tapi ibu melarangnya. Racun?"

"Itu obat perangsang !!" kata ibunya sambil berdiri, lalu mengambil porong dan cangkir itu untuk dibawa kebelakang. Ia membuangnya lalu mencucinya bersih.

Mirna tercengang ditempat duduknya. Obat perangsang? Jadi ibunya mengira Adhit datang, lalu meminum teh itu, lalu ia akan mencumbui dirinya, melampiaskan hasratnya karena pengaruh minuman itu? Ya Tuhan... lalu apa lagi.. lalu apa lagi...

Pertanyaan itu terus membebani pikirannya sampai ia tertidur lelap, dengan menyimpan rasa kesal pada ibunya.

***

Pagi harinya ketiks Mirna siap untuk berangkat bekerja, didengarnya suara aneh dari arah dapur. Apakah itu suara tangisan? Mirna melangkah kearah datangnya suara, dilihatnya ibunya sedang menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya, sambil menangis . Mirna tertegun, selama ini tak pernah ia melihat ibunya menangis. Ibunya terlalu kuat dan selalu melakukan pekerjaan dengan semangat. Sekarang menangis? Perlahan Mirna mendekat, dipegangnya pundak ibunya yang terguncang karena tangisan. Ada rasa perih mendengar tangisan itu. Begitu sakitkah rasa hati ibunya sehingga sampai meneteskan air mata?

"Ibu.." bisiknya pelan.

"Ibu memang bodoh, ibu membuat kamu kesal, ya sudahlah, biarlah derita ini ibu saja yang menanggungnya."

"Mengapa ibu berkata seperti itu?"

"Kamu kesal bukan sama ibu? Kamu marah karena ibu memintamu menuruti semua permintaan ibu?"

"Ibu, tenanglah, ayo bicara dengan baik, Mirna tidaak kesal sama ibu."

"Bohong ! Ibu menangkap nada bicaramu, kamu kesal sama ibu."

"Ibu..."

"Nanti ibu mau pergi saja, disini ibu hanya membebani perasaan kamu, sudah pergilah  bekerja, toh kamu sudah bisa mencukupi semua kebutuhan kamu sendiri, tidak lagi membutuhkan ibu, sudah cukup apa yang ibu lakukan, membesarkan kamu,sampai sekarang kamu bisa mendapatkan penghasilan. Itu cukup. Ibu mau pergi saja."

Mirna terkejut.

"Ibu mau pergi?"

"Pergi, toh kamu sudah tidak membutuhkan ibu lagi.. sudah bisa melakukan apapun tanpa ibu. Ya sudah, sana pergilah, tapi kalau pulang nanti jangan lagi mencari ibu."

Mirna berjongkok dihadapan ibunya. Betapapun kesal hatinya kepada ibunya, mana mungkin ia tega membiarkan ibunya pergi? Ia bisa saja hidup sendiri, tapi ibunya yang cacat, yang mungkin juga tak ada orang yang suka berdekatan dengan dirinya, bagaimana kalau terjadi apa-apa? Menetes air mata Mirna.

"Jangan pergi bu, jangan meninggalkan Mirna."

"Kamu sudah tidak butuh ibu lagi."

"Tidak, Mirna butuh ibu, Mirna tak bisa hidup tanpa ibu."

"Tidak, ibu terlalu banyak permintaan dan kamu tak bisa memenuhinya. Kamu menentang ibu, jadi biarlah ibu menanggung semuanya sendiri, dan melakukan semua keinginan ibu tanpa kamu."

:Jangan begitu bu, tenangkan hati ibu, baiklah, nanti kalau Mirna pulang kita bicara lagi. Tapi jangan pergi ya bu."

"Kalau kamu mau membantu ibu, ibu tak akan pergi. Dalam sisa hidup ibu ini, hanya satu keinginan ibu, menghancurkan Galang dengan menyiksa anaknya. Biar tau tau bagaimana rasanya sakit."

"Baiklah.. nanti kita bicara lagi ya bu."

"Kamu bersedia berkorban untuk ibu?"

"Baiklah, akan Mirna lakukan semua perintah ibu." jawab Mirna sambil menangis. 

***

 Hari-hari berlalu, sebulan, dua bulan, belum ada lagi perintah ibunya bagi Mirna. Mirna berharap dendam itu akan luntur perlahan dengan berjalannya waktu. Mirna sudah berhasil memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, dan membuatkan kamar tersendiri bagi ibunya bersebelahan dengan kamarnya, yang semula dijadikannya gudang. Mirna berharap ibunya merasa nyaman setelah melihat rumahnya lebih bersih dan rapi.

Tapi sebelum berangkat kerja dipagi itu, Mirna terkejut ketika ibunya memberikan botol berisi erbuk putih yang dulu hilang dari dalam tasnya.

"Ibu... ini... apa lagi?"

"Bukankah ittu yang pernah ibu berikan dulu, lalu terjatuh dari dalam tasmu dan ibu menemukannya. Herannya ibu mengapa kamu tidak tampak mencari atau merasa kehilangan."

"Ma'af  bu, Mirna lupa.."

"Hm..."

"Ma'af bu, ini Mirna bawa lagi?"

"Bawa aja, barangkali suatu sa'at kamu harus melakukannya."

Dhegg... dada Mirna serasa seperti dipukul palu. Melakukan apakah? Ya Tuhan, mulai lagi nih.. batin Mirna sambil berlalu.

"Apa kamu tak suka?" teriak ibunya dari belakangnya, karena ia terus melangkah kejalan mencari ojek on line.

"Apa bu?"

"Kalau kamu tak suka, kembalikan saja pada ibu."

"Nggak bu, hanya Mirna belum tau benda itu digunakan untuk apa, nanti sepulang kerja kita bicara lagi ya bu?"

Widi hanya mengangguk pelan. Ia tau Mirna tak akan lagi berani membantahnya karena ia mengancam akan pergi meninggalkannya.

***

"Mirna, nanti kamu bawa berkas2 yang kemarin kamu kerjakan, kamu ikut aku untuk persentasi dengan klien setelah jam makan siang nanti, kata Adhit dipagi itu.

"Baik pak, akan saya siapkan."

Aku akan keluar sebentar, nanti ketika aku kembali semuanya harus sudah siap."

"Baik."

"Oh ya, tadi kunci mobil pak Sarno terbawa oleh aku, tolong kasihkan nanti kalau dia kemari ya," kata Adhit sambil mengambil kunci mobil dari sakunya, dan ternyata kunci itu tersangkut pada dompetnya. Adhit menariknya, dan tanpa sengaj dua lembar poto terjatuh dari sana.

"Eh, ya bmpuun.."

Adhit berusaha mengambil barang-barangnya yang terserak, tapi Mirna sudah lebih dulu berjongkok mengambilnya. Waja mereka hampir beradu, Mirna gemetaran karenanya. Hm, harum yang sangtat maskulin, dan tangan yang sudah meraih selembar poto itupun terpegang oleh Adit. Ya Tuhan, ini kebetulan yang indah, tapi sedikit menyakitkan karen Adhit tampak sama sekali tak perduli. Ia meminta begitu saja selembar poto yang sudah dibawanya, tapi Mirna terkejut. Ada sepasang laki laki tampan dan perempuan cantik terpampang di foto itu. Kok mirip pak Adhit ya?

"Ini... foto sahabat ayah ibuku yang tinggal di Medan, om Raharjo, tante Retno isterinya," kata Adhit ketika dilihatnya Mirna memperhatikan foto itu.

"Oh... ma'af," kata Mirna pelan.

"Oh ya, anaknya om Raharjo itu pernah kemari, itu.. Raka.. yang kamu menyuguhinya minuman juga. Ingat kan?"

"Oh.. iya pak, Mirna ingat."

Ketika Adhitama sudah menghilag dibalik pintu, Mirna masih terbayang foto itu. Ia pernah melihat foto perempuan itu di album kecil milik ibunya. Siapa tadi namanya? Retno bukan? Ia pernah mendengar nama itu dari ibunya. Dan Raka, laki-laki ganteng tamu bos nya itu anaknya?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, September 26, 2019

DALAM BENING MATAMU 07

DALAM BENING MATAMU  07

(Tien Kumalasari)

Hari masih sekitar pukul delapan malam. Mirna masih tergolek diranjang, didalam kamar yang lebih terlihat bersih dan rapi. Entah berapa uang yang dihabiskan ibunya untuk menyulap kamar pengapnya menjadi lebih bercahaya. Ia memang memberikan separuh uang gajinya untuk ibunya, selebihnya disimpannya sendiri untuk kebutuhannya. Mungkin dari uang itu ibunya membuat kamarnya tampak lebih nyaman. Tapi mengapa bukan dimulai dari depan, misalnya plafon diatas teras yang bolong bolong, pintu yang juga bolong..

Tiba-tiba terdengar pintu depan dibuka. Mirna tak mendengar suara ketukan, pasti ibunya yang pulang. Katanya lembur dirumah majikannya, mengapa pulang sangat cepat? Mirna memejamkan matanya, supaya ibunya mengira di sudah tidur sehingga tak banyak omelan yang didengarnya.

Mirna mendengar pintu kamarnya dibuka perlahan. Mirna masih memejamkan matanya. Ia mencoba men duga-duga, apa yang akan dikatakan ibunya nanti. Dimana kamu letakkan botol berisi serbuk putih itu? Matiiiii... aku... botol itu raib entah kemana..

Tapi MIrna terkejut ketika terdengar suara berdehem, suara laki-laki. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya pak Sarno berdiri di tengah-tengah pintu.. Mirna terbelalak. Cepat-cepat ia bangkit dan duduk ditepi pembaringan, memandang pak Sarno dengan tatapan aneh.

"mBak Mirna, sudah.. tiduran saja.. " kata pak Sarno.

"Ada apa pak Sarno?" tanya Mirna heran.

"Mbak Mirna sakit kan? Tadi bu Ayud menelpon saya, menyuruh saya menjemput mbak Mirna dan mengantarkan kerumah sakit."

"Apa?" 

Mirna kebingungan, tapi dengan cepat ia menangkap terjadinya peristiwa itu. Ini Pasti ulah ibunya.

Mirna turun dari tempat tidur. Pak Sarno juga kebingungan. Mirna memberi isyarat untuk berbicara diluar.

"Silahkan duduk dulu pak.."

Pak Sarno mundur sampai keluar dari pintu, lalu mengikuti Mirna duduk.

"Bagaimana mbak?" tanya pak Sarno kebingungan.

"Itu pak... ibu saya itu.. kalau saya sakit sedikit saja lalu kebingungan. Tadi saya cuma sedikit sakit perut, dan sudah sembuh kok. Pasti ibu menelpon pak Adhit karena bingung," kata Mirna sekenanya. 

"Ough... ya ampuun, saya pikir sakit keras dan harus dibawa kerumah sakit. Kalau begitu saya permisi mbak."

"Sebentar pak, ini sudah ada teh siap dimeja, silahkan minum dulu pak..." kata Mirna sambil menuangkan teh dari  porong kedalam cawan.

"Aduh mbak, kok repot jadinya, nggak usah lah.."

"Jangan menolak pak, wong sudah ada, siap dan tinggal minum, silahkan pak.."

Pak Sarno sudah memegang cawan itu dan siap diminumnya, tapi kemudian ia teringat sesuatu.

"Sebentar mbak, apa ini teh manis?"

"Iya pak, manis.."

"Aduh ma'af mbak, kalau ada saya minta air putih saja, saya nggak minum yang manis-manis, saya menderita gula darah mbak," kat pak Sarno sambil meletakkan kembali cawan itu.

"Saya ambilkan air putih pak," Mirna bangkit, mengambil segelas air putih yang diberikannya pada pak Sarno.

Begitu meneguk segelas air putihnya, pak Sarno langsung berdiri, untuk berpamitan.

"Ma'af ya pak, sudah merepotkan."

"Nggak apa-apa mbak, syokurlah kalau ternyata mbak Mirna nggak sakit."

***

Adhitama masih berada dirumah makan itu bersama Raka dan Ayud, ketika pak Sarno menelpon Ayud.

"Hallo, bagaimana pak? Sudah dirumah sakit? Rumah sakit mana? Dia pingsan? Atau mau bunuh diri?" nerocos kata Ayud ketika pak Sarno baru mengucapkan hallo. Adhitama mendelik menatap adiknya mendengar kata-kata bunuh diri. Ayud hanya memeletkan lidahnya.

"Ternyata dia nggak sakit kok bu." suara pak Sarno dari seberang.

"Apa? Tapi mengapa ibunya bilang bahwa dia sakit?"

"Menurut mbak Mirna, dia tadi hanya sakit perut biasa, tapi ibunya yang sedang bepergian merasa khawatir, lalu menelpon kemari."

"Jadi hanya sakit perut biasa dan membuat kita hampir saja kehilangan sa'at santai seperti ini? Dan pak Sarno yang lagi istirahat juga jadi repot kan?" kata Ayud kesal.

"Ibunya sedang pergi jauh, tampaknya sangat khawatir akan anaknya."

"Hm, ya sudah pak Sarno, ma'af jadi merepotkan ya pak," kata Ayud dengan suara rendah.  Lalu menutup pembicaraan itu.

"Kasihan pak Sarno, sudah susah-susah datang kesana, orangnya nggak apa-apa," omel Ayud yang masih merasa kesal.

"Ibunya sangat protect pada anak gadisnya," gumam Adhit.

"Itu keterlaluan. Menurut saya mereka itu manja. Mas Adhit itu terlalu perhatian sama dia. Tadinya mungkin diharapkan bosnya yang akan datang sendiri nyamperin Mirna kerumah."

"Eii.. halloooo... kenapa marahnya panjang banget, ya sudahlah.. alhamdulillah nggak terjadi apa-apa, gitu kan?" kata Raka mencoba menenangkan Ayud.

"Aku nggak akan komentar, bisa panjang nanti omelannya kalau aku komentar," kata Adhit sambil melirik kearah adiknya.

Ayud mencibir, Raka menatapnya dan menahan degup jantungnya. Dulu, gadis kecil yang galak ini suka mengganggunya, dan membuatnya marah, tapi sekarang, galaknya rupanya belum ilang, cuma... wajahnya mengapa sekarang jadi cantik sekali? Beberapa kali bertemu akhir-akhir ini, ia tak sempat memperhatikan wajah tirus dengan hidung mancung dan bibir tipis itu, tapi malam ini, diantara remang cahaya dirumah makan yang memang dibuat begitu redup, wajah itu tampak bercahaya dan berpendar. Mata galak itu tampak seperti bintang, membuat jantungnya berdetak lebih keras. Aduhai, apa yang terjadi? Ayud itu lebih tua setahun atau lebih darinya, mengapa Raka merasa bahwa ia jatuh cinta? Ini gila, mana mungkin si galak itu suka sama aku.

"Heiiii... mengapa menatap aku seperti itu?" tiba-tiba Ayud menepuk tangan Raka yang terletak diatas meja, membuatnya terkejut.

"Aku ? " Raka sangat gugup.

"Jangan bilang kamu jatuh cinta sama aku ya?"

"Apa?"

Dan Ayud tertawa terkekeh, merasa berhasil mengganggu Raka.  Raka meneguk minumannya yang memang tinggal seteguk.

"Raka ini memang cocognya sama kamu," sela Adit sambil tersenyum.

"Apa? Dia itu lebih muda dari aku, bisa kualat kalau dia jatuh cinta sama aku," kata Ayud seenaknya.

Raka terperangah. Aduh, bisa kualat? Benarkah?

"Kamu itu biar lebih tua tapi sifatmu masih seperti anak kecil, jadi nggak pantas kamu bilang lebih tua dari dia. Justru kalian cocog, satunya galak, cerewet, satunya baik, santun, pendiam, eh.. ada lagi.. ganteng dan mempesona," kata Adhit panjang lebar.

Raka ter batuk-batuk karena minumnya tinggal seteguk. Ia melambai kearah pelayan agar dibuatkan lagi segelas lemon tea.

"Pelan-pelan Raka, itu cuma candaan mas Adhit, jangan dimasukkan ke hati ya?" kata Ayud enteng, padahal Raka kelimpungan setengah mati.

 ***

Mirna masih termenung di kursi rotan tua, dimana dia tadi menemui pak Sarno. Ia heran pada ibunya, dan kemudian sedikit menemukan jawab atas kejadian itu. Ibunya pergi, lalu bilang pada pak Adhit bahwa anaknya sakit keras, supaya Adhit datang kemari, masuk kekamar yang sudah dibuatnya rapi, agar.... ya Tuhan, apakah ibunya mengira bos Adhitama itu begitu gampang memasuki kamar tidur seorang gadis? Lalu melakukan hal yang tak senonoh? Ibunya pasti salah besar, dan  kalau dia tau rencana itu sebelumnya pasti ia akan menentangnya. Hm.. lama-lama aku kesal sama ibu, bisik batin Mirna. Untung bukan pak Adhit yang datang, dan kayaknya nggak mungkin pak bos yang begitu berwibawa mendatangi rumah anak buahnya dengan alasan yang tak masuk akal.

Tapi diam-diam Mirna berharap, bahagia barangkali rasanya kalau pak Adhit yang datang. Hm, senyuman itu, tatapan mata teduh itu, mengapa sangat mengganggunya? Padahal kata ibunya/// JANGAN SAMPAI KAMU JATUH CINTA... hm.. bisakah mengatur datangnya cinta? Dia datang dan pergi semau dia. Tapi beranikah dia menentang ibunya?

Sebesar pakah luka dihati ibunya terhadap ayahnya Adhitama ? Tidak, orang sebaik dia, mana mungkin berbuat jahat. Janagn-jangan ibunya yang jahat. Tapi sejahat apapun, dia adalah ibunya, bisakah dia mengecewakannya? 

Malam telah larut, mengapa ibunya belum datang juga? Mirna membuka pintu, dan keluar, dilihatnya hanya kegelapan yang tampak. Ternyata lampu teras juga padam, tak sempat ibunya membelinya. Mirna kembali masuk kerumah, lalu mencoba menelpon ibunya. Lama kelamaan Mirna merasa khawatir juga ketika sampai larut belum juga sampai dirumah. Tapi rupanya ibunya mematikan ponselnya. Mirna menghela nafas, lalu kembali duduk dikursi. Ia ingin tidur, tapi pasti tak bisa tidur karena pikirannya tertuju pada ibunya yang belum pulang juga.

Ia menyandaarkan kepalanya, lalu mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba ia merasa haus. Tapi sebelum berdiri ia ingat ada cawan berisi minuman yang tadi belum sempat diminum pak Sarno.

***

besok lagi ya


Wednesday, September 25, 2019

DALAM BENING MATAMU 06

DALAM BENING MATAMU 06

(Tien Kumalasari)

Pagi itu diruang kerjanya Mirna lebih banyak termenung. Adhitama mengawasinya dan menangkap kesedihan nyang tersirat dmatanya. 

"Kamu sakit?"

"Tidak pak... saya baik-baik saja.." 

Lalu Mirna melanjutkan pekerjaannya. Ia mncoba mengibaskan perasaannya, tentang obat bubuk sebotol kecil yang diberikan ibunya. Untuk apakah obat itu? Membunuh Adhitama? Tidak.. Mirna tak akan mampu melakukannya. Pandangannya yang teduh dan bersahabat, sama sekali tak menunjukkan bahwa ia laki-laki jahat. Ia benci ditempatkan pada situasi ini. Seberapa besar yang dilakukan nayahnya Adhitama sehingga ibunya ingin membaasnya dengan kejam? Sebenarnya kesalahan yang bagaimana yang dilakukan Galang sampai ibunya bersikap seperti itu.

Ketika istirahat tiba, dilihatnya Adhitama berdiri dan bersiap untuk makan diluar.

"Mirna, mau makan siang bersama aku? Aku akan panggil bu Ayud dulu."

Wouw, undangan yang menyenangkan, tapi Mirna benci karena Adhitama akan mengajak adiknya. Bukankah adiknya tampak tak suka pada dirinya? Entah kenapa, Ayud tak pernah bersikap ramah padanya.

"Bagaimana?"

"Oh, terimakasih pak, tidak, saya akan makan di kantin saja nanti."

Dan Adhitama pun melangkah keluar. Mirna menyesal, mengapa bos ganteng itu tak mau memaksanya? Mirna mengambil air mineral yang terletak dimejanya, meneguknya beberapa teguk, tapi sesungguhnya ia memang lapar. Ia meraih tasnya untuk mengambil dompetnya, tapi tersentuh olehnya botol kecil itu. Tak urung Mirna mangambilnya, lalu mengamatinya. Apa sebenarnya serbuk putih itu? Bagaimana kalau ia mencicipinya terlebih dulu? Aduh.. mana mungkin, kalau itu racun mematikan, lalu ia mati... jangan dulu.. 

"Mana pak Adit?" tiba2 suara Ayud membelah lamunannya, ia mengangkat kepalanya.

"Sudah keluar bu," jawab Mirna sambil mengangguk.Ia meggenggam botol berisi serbuk putih itu erat-erat.

Ayud tanpa menjawab lalu membalikkan tubuhnya dan keluar.

Mirna menghela nafas.

"Apa salahku padanya?" bisiknya, lalu memasukkan botol serbuk putih itu kembali kedalam tas nya.

Mirna berdiri, mengambil dompetnya lalu keluar dari ruangnnya.

***

"Baru saja menelpon, sudah meninggalkan kantor. Gimana sih mas?"  keluh Ayud setelah bertemu kakaknya yang ternyata menunggunya di mobil.

"Aku menelpon sambil berjalan ke parkiran, gitu aja kok ngedumel."

"Habisnya, aku tadi masuk keruangan mas, ternyata mas sudah keluar."

Mobil Adhitama meluncur keluar halaman kantor.

"Disana masih ada Mirna ?"

"Masih ada, lagi ngelamun atau lagi ngapain dia itu tadi."

"Akhir-akhir ini dia tampak nggak sehat."

"Sakit"

"Seperti ada beban yang menggayuti perasaannya."

"Mmm... perhatian bener mas sama dia," ejek Ayud.

"Bagaimana nggak perhatian, dia ada diruangan aku."

"Lama-lama bisa jatuh cinta mas sama dia."

"Ah, enak aja, nggak deh... bukan selera aku,"

"Masa? Kan dia cantik?"

"Cantik itu kan tidak selalu menarik?"

"Bagaimana kalau witing trisna jalaran saka kulina?"

Adhitama terbahak.

"Itu pasti meniru kata-kata simbok. Eh, diam-diam kangen aku sama simbok."

"Aku juga, kalau ada waktu kita harus pulang ke Jakarta, ibu juga bilang sudah kangen sama kita."

"Kita cari waktu yang baik, kalau semua pekerjaan bisa diselesaikan dalam minggu ini, kita pulang."

"Aku tau mengapa ibu bilang kangen sama kita, pasti ibu menyuruh mas Adhit segera mencari isteri. "

"Masa?" kata Adhitama sambil tertawa.

"Aku sudah mengira, pernah ibu nanya sama aku, apa kamasmu sudah punya pacar? Gitu lho mas."

"Terus.. kamu jawab apa.."

"Ya belum lah, aku bilang kalau mas Adhit itu penakut. Trus bapak bilang, harus dicarikan orang tua tuh bu."

"Huaaaaaa....nggak deh, masa jodoh dicarikan?"

"Habis, nggak bisa nyari sendiri. Awas ya, jangan Mirna."

"Aduuh, itu lagi Yud. Kamu tuh..."

Mobil itu berhenti disebuah rumah makan, lalu mereka turun.

Tiba-tiba Ayud melihat seorang wanita berjalan. Wanita bercadar yang dulu pernah diberi uang oleh bu Broto, neneknya.

"Hei.. ayo.. ngapain kamu melihat kesana terus?" tegur Adhit.

"Itu, ada perempuan bercadar. Seperti yang pernah dikasih uang sama eyang."

"Ya sudahlah, orang dia lewat, kamu mau ngapain."

"Pengin ngasih dia uang."

"Eh, jangan sembarangan, kalau dia bukan pe minta-minta bisa tersinggung lho."

"Kan dulu dikasih uang eyang dia mau."

"Itu kan karena dia habis kehilangan dompetnya."

Adhitama menarik Ayud masuk kedalam rumah makan itu, tapi ingatan Adhitama tiba-tiba melayang kearah Mirna. Jangan-jangan ibu ibunya Mirna.

***

Ketika Mirna sampai dirumah, dilihatnya dua orang laki-laki sedang keluar dari rumahnya. Mirna heran, laki-laki itu ada yang membawa alat untuk mengecat. Mereka mengangguk begitu Mirna datang.

"Habis ngapain pak?"

"Itu, disuruh mbetulin plafon kamar sama mengecat, tapi sudah selesai."

"Ouh.."

Mirna langsung masuk kerumah, dilihatnya ibnya sedang membersihkan lantai yang kotor.

"Bu, apa yang ibu lakukan?"

"Membuat kamar ini jauh lebih bagus, supaya nyaman diandang."

"Mana, biar Mirna aja yang menyapu dan mengepel bu," kata Mirna sambil meletakkan tasnya dimeja.

"Jangan, ganti saja sepreinya dengan yang bersih, tuh.. tekena kotoran dari atas."

"Mengapa ibu tiba-tiba membersihkan kamar, dan bukan pintu depan yang sudah bolong-bolong?"

"Pada suatu hari, aku berharap bosmu itu akan tidur disini."

"Apa" Mirna terkejut, ia memandangi ibunya, tapi ibunya sibuk mengepel lantai.

Apa ibu sudah gila? Pikirnya. Mengapa tiba-tiba dia mengira bahwa Adhitama akan tidur disitu?

"Heei.. cepat kerjakan, mengapa bengong?" hardik ibunya.

"Aku tidak mengerti bu.."

"Tidak mengerti ya sudah, yang penting kamu lakukan saja apa yang ibu perintahkan."

Mirna benar-benar tidak mengerti, Mirna menganggap ibunya gila, tapi dirinya juga merasa hampir gila menyaksikan ulah ibunya.

"Bu, sebenarnya bubuk putih itu untuk apa?" meluncur begitu saja pertanyaan Mirna.

"Kamu tidak mengerti juga?"

"Ibu ingin membunuhnya?"

"Ya, dengan caraku. Sudah jangan banyak bertanya. Turuti saja perintahku."

***

Hari-hari berlalu tanpa ada perintah-perintah ibunya, Mirna mendiamknnya. Ia bekerja seperti biasa dan mencoba melupakan semua perintah ibunya. Botol dengan bubuk putih itu masih ad didalam tasnya. Berangkat kerja, pulang kerja, masih saja ada disitu. Tapi sore itu Mirna kehilangan botol kecil itu. Ia bingung, bagaimana kalau ibunya nanti bertanya. Ia men cari-cari.. apakah terjatuh dikasur atau didalam kamarnya, tapi tak ada. Karena ketakutan kalau ibunya marah, Mirna juga tak menanyakannya pada ibunya.

Sore itu Mirna sedang beristirahat dikamarnya, tiba-tiba dilihatnya ibunya menjenguk kedalam, dengan pakaian rapi.

"Ibu mau kemana?"

"Majikan ibu menyuruh ibu lembur sore ini, Katanya anak cucunya dari luar kota datang, cuciannya banyak."

"Apa nggak bisa besok pagi saja?"

"Kalau namanya lembur, itu pasti ada uang lebih, jangan bodoh!!" kata ibunya sambil berlalu.

"Bu..." Mirn bangkit dan keluar kamar, mengikuti ibunya sampai kedepan."

"Ibu buatkan minuman dipoci, kalau ada tamu tuangkan saja di cawan yang sudah ibu sediakan." kata ibunya sambil terus berlalu.

Mirna menghela nafas panjang. Semua yang ibunya katakan, tak satupun boleh dibantahnya. Tapi dia bingung, mau ada tamu siapa?

Tiba-tiba ibunya kembali lagi.

"Masuk kekamarmu dan tidur saja, "

"Apa bu?"

"Lakukan saja," kata ibunya berteriak, sambil menjauh.

Mirna bingung Entahlah, Mirna masuk kekamarnya, dan tiduran.. terbersit diangannya ingin membawa ibunya ke dokter Jiwa. Tapi apakah itu mudah?

***

Malam itu Adhitama dan Raka, sedang makan malam bersama, Ada Ayud disana. 

"Aku senang, akhirnya Dinda akan ke Solo ," kata Ayud sambil menyendok makanannya.

"Benarkah?" tanya Raka..

"Iya, baru tadi siang dia menelpon, mungkin bulan depan dia mau kemari. Ibunya dan ayahnya juga kangen pulang ke Solo bukan?"

"Wah, hebat kamu, aku belum mendengar berita itu, kamau malah sudah bisa cerita."

"Jangan lupa, besok di sini Dinda harus tinggal bersama aku."

Adhitama dan Raka tertawa melihat ulah Ayud, rupanya ia ingin sekali punya teman perempuan dirumah.

Tiba-tiba telepone Adhit berdering. 

"Kok nggak diangkat?" tanya Raka.

"Nomornya nggak kenal aku,"

"Angkat saja ta mas, siapa tau ada yang penting."

"Hallo," akhirnya Adhit mengangkatnya.

"Halloooww..." suara serak perempuan terdengar dari seberang.

"Ini siapa ya,"

"Ini pak Adhitama?"

"Iya benar, ibu siapa?"

"Saya sedang bepergian, anak saya sakit dirumah sendirian, tolonglah kerumah, "

"Ini siapa? Anak ibu siapa?"

"Saya ibunya Mirna,"

"Jadi Mirna sakit?"

"Dirumah, sendirian.. tolonglah pak, saya tidak bisa pulang cepat, saya ada diluar kota."

"Oh, baiklah bu, ibu jangan khawatir, kami pasti menolongnya."

Adhitama menutup ponselnya.

"Dari siapa? Mirna?"

"Ibunya Mirna lagi nggak dirumah, Mirna sakit, dia minta tolong agar aku kesana menolongnya."

"Wauw... mas mau kesana?"

"Bagaimana ya, dia sakit.."

"Suruh pak Sarno kerumahnya, bawa saja kerumah sakit."

"Iya mas, masa mas Adhit mau merawat sendiri orang sakit?"

"Ya sudah, telepone pak Sarno saja suruh kesana. Kasih tau alamatnya Yud." perintah Adhit.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Saturday, September 21, 2019

DALAM BENING MATAMU 05

DALAM BENING MATAMU  05

(Tien Kumalasari)

Pagi itu Adhitama melihat Mirna yang berbeda dari biasanya. Wajahnya sedikit pucat, mungkin karena semalam kurang tidur. Hatinya benar-benar gelisah. Ia mendengar semuanya tentang ibunya, kisah hidupnya sungguh membuatnya merinding,  lalu  tentang dendam yang harus terlapiaskan dan tak ingin dibawanya sampai mati.

"Kamu masih sakit?" tanya Adhit

"Oh, tidak.. saya baik-baik saja, jawab Mirna gugup. Ia kemudian mengeluarkan laptopnya, lalu mulai menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.

"Kan kemarin kamu bilang pusing?"

"Sekarang sudah enggak.."

"Tapi wajah kamu pucat sekali."

"Oh, masa? Tapi sungguh saya tidak apa-apa."

"Baiklah, tapi kalau memang sakit jangan dipaksakan juga. Hari ini akan banyak pekerjaan buat kamu. Ada surat perjanjian kerja yang harus kamu selesaikan hari ini."

"Nggak apa-apa, akan saya kerjakan pak."

Adhitama meng angguk-angguk.Tapi demi dilihatnya wajah pucat itu, runtuhlah rasa iba nya. Adhit pasti terpengaruh oleh latar belakang keluarga Mirna yang sangat sengsara. Seorang ibu yang cacat dan bekerja keras demi anaknya, alangkah mulia ibu itu. Seandainya Adhit tau ....

Tapi sebelum makan siang itu, ia melihat Mirna terkulai dimeja. Adhit sangat terkejut. Ia mendekati meja Mirna dan menyentuh lengannya. Mirna mengangkat kepalanya pelan.

"Ma'af pak, ma'af...." katanya lalu bermaksud melanjutkan pekerjaannya.

"Jangan, kamu beristirahat saja dulu, kalau mau berbaringlah di sofa sebentar, aku akan memanggil dokter."

"Tidak, jangan pak.. saya tidak apa-apa, biarlah saya berbaring saja disofa sebentar.." kata Mirna yang kemudian berdiri, dan berjalan kearah sofa. Adhit menuntunnya. Tubuh gadis itu bergetar. Lalu ia membiarkannya terbaring di sofa lanjang, memberinya bantal agar bisa berbaring lebih nyaman.

Mirna terkulai, matanya terpejam, Adhit membenarkan letak rok pendeknya yang sedikit tersingkap, ah.. dia kan tidak sengaja, lalu Adhit kembali ke mejanya. Ditekannya interkom diruang Ayud, yang masuk keruangannya tak lama kemudian.

"Ada apa mas? Heii... kenapa dia?" tiba-tiba kata Ayud sambil mendekat.

"Dia sakit."

"Tidur dia," pekik Ayud pelan.

"Dia sakit.." tolong antar dia ke dokter.."

"Aku? Nggaaak, biar CS saja mengantarya.. aku akan memanggil pak Sarno," kata Ayud yang kemudian memutar nomor telepone pak Sarno sopirnya, kemudian ia memanggil CS masuk kedalam untuk membantunya.

"Menurutku dia tidur pulas," kata Ayud lagi.

"Ayud.." Adhit memelototkan matanya kearah adiknya.

"Dia mendengkur, dengar, tidur nyenyak, dia tidak sakit, hanya mengantuk sekali."

Adhit juga mendengar dengkuran halus Mirna, ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu suruh Sarno mengantarnya pulang,"

"Nah, itu baru bagus, enak saja sa'at kerja dia mengantuk. Apa semalam dia ronda?" omel Ayud.

"Ayud !!" lagi-lagi Adhit memelototi adiknya.

Ayud memeletkan lidahnya, lalu begitu CS masuk segera disuruhnya membangunkan, karena pak Sarno sudah siap didepan pintu.

Mirna menggeliat, lalu tiba-tiba duduk begitu melihat siapa yang membangunkan, dan ada Ayud serta pak Sarno disitu.

"Ma'af... saya.."

"Kamu boleh pulang dan tidur seharian, biar pak Sarno mengantarmu.

"Ttap..pi.. saya..."

"Pulanglah, ini perintah."tegas kata Adhit yang tak mau lagi Mirna membantahnya.

Begitu Mirna pergi, Ayud memprotes kakaknya.

"Aku juga mengantuk, bolehkah aku pulang?" ejak Ayud.

"Ayud, kamu tidak tau, dia tidak sekedar mengantuk, mungkin semalaman tidak tidur, tapi ada yang membebani perasaannya. Biarkan dia istirahat dulu."

"Senang ya, ponya bos yang penuh pengertian dan serba tau tentang karyawannya," kata Ayud sambil melangkah keluar. Entah mengapa Ayud sangat tidak suka pada Mirna, dan Adhit tak bisa mengerti mengapa Ayud bersikap seperti itu.

Menurut Adhit, Mirna gadis yang pantas dikasihani. Cerita tentang ibunya yang penuh derita sangat menyentuh hatinya. Jangan bilang jatuh cinta, tidaaak.. Adhit seorang yang tidak mudah jatuh cinta, tapi hatinya lembut, selembut salju. Penuh belas kasihan dan kasih pada sesama. Berbeda dengan Ayud yang angin-anginan, dan sering melakukan hal sekehendak hatinya. Beruntung Ayud masih punya sungkan dan takut pada kakaknya, sehingga kenakalan yang dilakukannya sering bisa terkendalikan.

***

"Mengapa kamu sudah ada dirumah ketika aku baru saja pulang?"  

"Tadi Mirna ketiduran di kantor, dan tampak seperti sakit, sehingga pak Adhitama menyuruh Mirna pulang. Ini Mirna juga baru bangun dari tidur."

"Diantar oleh bos kamu?"

"Tidak, sopirnya,"

"Mengapa kamu tidak minta supaya dia mengantarkan kamu?"

"Ya sungkan lah bu, kan dia sudah memerintahkan sopirnya buat mengantar."

"Kamu kurang pintar merayu laki-laki," omel ibunya.

"Ibu.... Mirna baru sebulan bekerja, belum berani berbuat yang aneh-aneh. Nanti kalau tiba-tiba malah Mirna dikeluarkan bagaimana?"

"Bodoh !! Itu jangan sampai terjadi. Dengar Mirna, cepat atau lambat kamu harus membuat dia jatuh cinta sama kamu. Lalu hancurkan dia !!"

"Ibu..."

"Mirna, mengapa kamu menatap ibu seperti itu?"

"Dia sangat baik..." kata Mirna lirih, sambil menghempaskan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap dihatinya. Wajah ganteng itu, tatapan yang menghipnotisnya selalu...

"Mirna, jangan bilang kalau kamu tertarik padanya. Awas kamu !!"

"Ya bu,"jawab Mirna pelan.

Ibunya melepas cadar yang dikenakannya, lalu melangkah kebelakang untuk mandi. Bagai teriris hati Mirna melihat wajah yang buruk dan pasti menakutkan bagi orang lain. Bibirnya hampir tak ada, menampakkan gigi yang beberapa biji sudah tanggal, hidung yang tak berbentuk , pipi yang penuh carut-carut, beruntung mata itu masih bisa melihat, walau tak lagi indah karena kelopak matanya tak lagi utuh.  Mirna menghela nafas sedih. Batinnya bertarung antara menuruti dendam ibunya atau hanyut dalam tatapan mata bapak bos yang menawan.

***

"Ibu, tadi mas Raka menelpon," kata Dinda kepada ibunya, ketika ibunya baru saja pulang dari belanja.

"Oh ya, dia bilang apa?"

Dia nanti mau bilang sendiri sama ibu. Tapi itu karena dia diterima menjadi dosen disanaa."

"Syukurlah, dia itu seperti almarhum kakekmu yang juga seorang guru, semoga cita-cita kakek bisa dilanjutkan oleh cucunya."

 "Aamiin, Dinda juga senang."

"Ayo bantuin menata barang-barang belanjaan ibu ini."

"Ibu.."

"Hm... "

"Bolehkah Dinda kuliah di Solo?"

"Lho, itu lagi, kamu tega ninggalin ibu sendiri?"

"Ibu kan sama bapak, masa sendiri."

"Kalau bapak di kantor kan ibu jadi sendiri."

"Tapi Dinda pengin kuliah disana, kan ada mas Raka juga."

"Ya nanti, kalau bapak pulang kamu bilang saja sama bapak."

"Nanti kalau di Solo, Dinda boleh kan tinggal dirumah mbak Ayud?"

"Lho, Ayud kan tinggal sama neneknya. Apa kamu nggak ingin tinggal sama simbah?"

"Mas Raka kan sudah tinggal disana, kalau dirumah mbak Ayud aku kan ada temannya."

"O, pasti mbak Ayudmu merayu kamu supaya dia punya teman kan?" kata ibunya sambil tersenyum.

Dinda tertawa.

"Nanti kalau bapak pulang, bilang saja sama bapak."

"Dinda sudah pernah bilang sama bapak, katanya tererah ibu, gitu .."

"Masa?"

"Iya... 

"Ya, nanti kita omong-omong lagi ya?"

"Horeeee..."

"Belum-belum sudah hore. Sebentar, ibu mau menelpun kakakmu dulu."

***

Tiga bulan lebih Mirna bekerja dikantor Adhit. Hari-hari yang dilaluinya terasa sangat menyiksa. Disatu sisi ia jatuh hati pada bosnya, disisi lain ia harus menghancurkannya. Aduhai.  Tapi Mirna juga merasa bahwa hati Adhit tak gampang ditundukkan. Apakah dia sudah punya pacar? Batin Mirna penuh penasaran. 

"Bagaimana?" tanya ibunya mengejutkannya dimalam ketika matanya hampir terpejam.

"Apanya bu?"

"Sudah tiga bulan lebih kamu bekerja, apa saja yang kamu lakukan? Kamu benar-benar bodoh, tak tau caranya merayu laki-laki."

"Dia itu sangat santun, nggak gampang tertarik sama wanita cantik."

"Masa?"

Tiba-tiba ia teringat Galang yang dengan seribu satu macam cara sulit ditundukkannya. Geram hati Widi mengingatnya. Bagaimana mungkin ada laki=laki memiliki hati sekeras batu?

"Mirna..."

Mirna urung lagi memejamkan matanya. Ia ingin segera tidur dan mimpi bercumbu dengan atasannya. Ahaa.. apakah mimpi bisa diatur?

"Mirna ngantuk bu."

"Dengar, ibu punya sesuatu."

"Sesuatu apa bu?" Mirna menatap ibunya yang terbaring disisinya dengan tatapan nanar kelangit langit yang kusam.

"Obat, "

"Obat?"

"Kamu satu ruangan dengannya, sangat mudah memasukkan obat ini ke dalam minumznnya."

Mirna tertegun. Ibunya ingin membunuh Adhitama?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Friday, September 20, 2019

DALAM BENING MATAMU 04

DALAM BENING MATAMU  04

(Tien Kumalasari)

"Apa yang kamu pikirkan Yud?" tanya bu Broto ketika melihat Ayud seperti memikirkan sesuatu.

"Enggak eyang, Ayud jadi teringat sekretarisnya mas Adhit. Si Mirna, itu ibunya juga ke mana-mana memakai cadar. Tapi itu karena mukanya cacat."

"Oh ya? Nggak tau eyang, apakah perempuan itu memakai cadar karena cacat atau karena memang suka memakai cadar."

"Iya, kan nggak kelihatan wajahnya ."

"Tapi matanya itu...."

"Matanya kenapa yang?"

"Nggak tau kenapa, ketika menatap, sorot matanya kok seperti.. aduh, nggak tau kenapa tiba-tiba eyang jadi merinding melihatnya.

"Wah.. sayang tadi Ayud nggak sempat melihatnya."

"Memangnya ibunya Mirn itu cacat kenapa?"

"Kata mas Adhit disiram air keras sama suaminya."

"Wadhuuh, ada suami sekejam itu? Jadi teringat eyang kakungmu, dia itu galak, selalu mau menang sendiri, tapi sama eyangmu ini sayang banget lho. Jadi kangen.." kata bu Broto sendu.

"Eyang nih, sudah.. kan eyang sendiri bilang baha eyang kakung sudah ada di surga sana. Aamiin."

"Aamiin.."

Ketika mobil Ayud memasuki pekarangan rumah, dilihatnya Adhit dan Raka sudah ada disana.

Raka segera berlari mendekat begitu melihat Ayud mengangkat barang belanjaan yang banyak, ia menyalami bu Broto dan mencium tangannya, lalu membantu mengangkat belanjaan  kedalam.

"Terimakasih nak," kata bu Broto senang.

Ayud langsung kebelakang mencari yu Supi.

"Yuuu... masakan sudah matang?"

"Sudah jeng, segera saya tata dimeja ya."

"Baik yu, sekalian ada tamunya mas Adhit ya."

"Baik jeng."

***

Mirna menunggu didepan rumah sambil berpangku tangan. Ini hari Minggu, tapi ibunya nekat berangkat kerja. Katanya hanya setengah hari, sambil mau belanja setelah mengambil uang gaji bulanannya. Tapi sudah lewat tengah hari ibunya belum nampak juga. Ia memandangi sekeliling rumah, mendongak keatas langit-langit rumah, dan batinnya mengeluh. Rumah sederhana yang mereka tinggali bertahun-tahun lalu belum nampak perubahan apapun. Ada beberapa genting pecah, plafon yang bolong keropos karena tua, dan cat yang kusam dan tampak lumut di sana -sini. Mirna melangkah kearah  jalan.. lalu menebarkan lagi pandangannya kearah rumah. Ia melihat pintu masuk yang juga sudah tua, dan bolong disamping serta bawahnya. Mirna merasa bahwa hidupnya sengsara selama ber-tahun-tahun. Ia kesal pada ayahnya yang kejam, yang kemudian meninggalkan ibunya dalam keadaan terluka bakar diseluruh wajahnya, dan membuat hidup mereka benar-benar sengsara. Yang membuat dia heran, ibunya tak pernah merasa dendam pada ayahnya. Dendam itu justru terus membakarnya terhadap seseorang yang dia belum pernah melihatnya, yang kemudian dirinya lah yang mendapat tugas untuk membalaskannya. 

Mirna menghela nafas panjang. Terbayang olehnya wajah Adhitya yang tampan, santun dan sangat baik terhadap dirinya. Lalu ia merasa dadanya berdebar. HANCURKAN DIA SAMPAI LUMAT MENJADI DEBU !!

 Aduhai.... orang sabaik dia, setampan batara Kamajaya dalam pewayangan, begitulah dulu kalau ibunya mendongeng tentang wayang. Yang terbaik dan tertampan adalah batara Kamajaya, berpasangan dengan Dewi Kamaratih, bidadari paling cantik di kahyangan.

Jauh didalam lubuk hatinya Mirna berontak. Ia tak bisa mengerti mengapa ibunya bersikap seperti itu. Apakah karena ia merasa jatuh hati pada atasannya yang tampan itu? Mirna akan menanyakan se jelas-jelasnya tentang dendam itu.

Tiba-tiba dilihatnya langkah-langkah gontai memasuki gang yang menuju kearahnya. Itu ibunya. Mirna berjalan menjemputnya, lalu meraih sebuah tas belanjaan yang dibawanya.

"Ibu belanja apa saja?"

"Banyak, kebutuhan untuk beberapa hari, mumpung ibu ada uang. Tapi sial.. dompet ibu hilang."

Mirna menatap ibunya iba. Dompet hilang? 

"Ada banyak uang didalamnya bu?"

"Aku menerima gajiku limaratus ribu rumiah, lalu aku belanja, kira-kira seratusan limapuluh ribu. Sisanya didalam dompet, hilang," Omelnya sambil melangkah tersaruk saruk.

"Ya ampun hu, bagaimana bisa hilang? Jatuh, atau dicopet orang?"

"Nggak tau aku, begitu aku duduk sambil menungu angkutan lewat, dompet itu sudah nggak ada."

"Jadi ibu pulang berjalan kaki?"

"Nggak, ada orang memberi aku uang seratus ribu, untuk ongkos. Ini sisanya," katanya sambil menunjukkan segenggam uang kembalian dari tukang angkot.

"Oh, baik benar orang itu.. beruntung ada orang baik sehingga ibu tak harus pulang sambil berjalan kaki.

"Ya, sebenarnya aku tidak suka.."

"Apa maksud ibu?"

"Orang itu, keluarga musuh besarku."

"Ibu..."

"Sudah jangan banyak bertanya, aku letih dan lapar."

"Iya, masih ada makanan sisa pagi dan sudah Mirna angetin," kata Mirna sambil menggandeng ibunya masuk kedalam rumah.

***

Malam itu sambil berbaring disamping Mirna, Widi perempuan cacat itu masih saja mengeluh.

"Uang itu lumayan banyak, aku bekerja sebulan baru mendapatkannya, bagaimana bisa hilang begitu saja," keluhnya.

"Sudahlah bu, yang sudah hilang tidak usah disesali. Sebentar lagi Mirna akan menerima gaji, nanti Mirna berikan semuanya pada ibu," hibur Mirna.

"Hmh...," Widi mendengus kesal.

"Nanti ibu tidak usah bekerja lagi, Mirna kira itu cukup untuk kita berdua."

"Ibu tidak suka berdiam diri saja dirumah."

"Kalau begitu bekerjanya jangan jauh-jauh dari rumah, didekat dekat sini saja."

"Mana mau orang-orang sekitar memperkerjakan aku? Mereka sudah tau aku ini seperti apa, wajahku ini menakutkan bagi semua orang. Itu sebabnya aku berkerja ditempat yang agak jauh, mereka tidak memaksa aku membuka cadarku, yang penting aku bekerja dengan baik dan tidak mengecewakan mereka."

"Ibu pasti letih."

"Tidaak, berpuluh tahun aku bekerja dan tidak pernah merasa letih."

"Bu,  bolehkah Mirna bertanya lagi?"

"Bertanya apa lagi? Besok aku dan kamu harus berangkat bekerja pagi-pagi, jadi cepatlah tidur."

"Sedikit saja.."

"Apa itu?"

"Ibu, sesungguhnya Mirna tidak bisa mengerjakan sesuatu yang tidak sepenuhnya Mirna mengerti. Maksud Mirna, ibu menyuruh Mirna menghancurkan sesuatu yang Mirna tidak tau mengapa.."

"Mirna, kamu sudah pernah mendengar ibu berkata bahwa laki-laki itu penyebab semuanya? Penyebab ibumu ini terbuang dari keluarga, hidup terlunta dan menjadi perempuan hina?"

Mirna merinding, karena keras sekali suara ibunya ketika mengetakan itu.

"Tapi, dia itu sangat baik.. sangat..."

"Hentikan Mirna, baiklah, dengar baik-baik ibu akan katakan semuanya."

Ketika itu, karena dia, aku terusir dari keluargaku. Om Haris yang adik kandung ibuku, mengusirku seperti anjing dari perusahaan besarnya. Karena dia, karena ulah dia !! Aku tak berani pulang ke Semarang, aku melanjutkan hidup di Jakarta dengan sisa uang yang masih ada, dan bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya karena tak ada satupun dari pekerjaan itu yang bisa membuatku tenang. Wajah tampan yang dengan penuh kebencian menatapku, selalu terbayang dalam ingatanku. Dan aku simpan dendam itu, yang kemudian memuncak ketika dia dan isterinya kemudian mengandung anak keduanya, dan mendapatkan kedudukan penting diperusahaan itu.Ada pesta hiruk pikuk ketika sepupuku Retno akhirnya juga menikah dan bahagia, sedangkan aku menatap dari kejauhan dengan linangan air mata darah.

Aku melangkah dengan gontai malam itu, Pulang ke rumah kontrakanku dengan hati semakin hancur.

Setahun dua tahun aku  bertahan, kemudian aku memutuskan untuk pulang ke Semarang.

Malam itu ketika sedang menunggu kereta yang akan membawaku pulang, aku didekati seorang laki-laki gagah. 

"Anda mau ke Semarang?" tanyanya

"Ya," jawabku

"Kebetulan, Semarang nya dimana?"

Aku tak mau mengatakan alamatku yang sesungguhnya karena sesunguhnya aku tidak percaya pada laki-laki itu.

"Aku sedang mencari alamatnya," jawabku sekenanya.

"Didaerah mana ya? Siapa tau kita bisa bareng nanti."

"Nanti sesampai di Semarang aku baru mau menelpon dia," jawabku.

Dan celakanya, laki-laki itu ternyata memiliki tempat duduk yang berseberangan denganku. Disepanjang perjalanan ia mentraktirku makan dan minum yang tak sempat aku tolak.Sesungguhnya karena aku memang lapar.

Tapi sebelum sampai di Semarang aku merasa kepalaku sangat pusing, aku tidak sadar ketika dia memapahku turun dan membawaku entah kemana. Ketika kemudian dia membaringkan aku disebuah tempat tidur, aku merasa sangat menginginkannya. Aku seperti orang kehausan yang mengharapkan setetes air, aku lupa segalanya dan menuruti semua keinginannya.

Pagi hari ketika sadar aku sudah berada didalam sebuah kamar, yang ternyata adalah kamar hotel.  Aku merasa tubuhku sakit semua, aku melihat ceceran darah dialas tidurku, dan aku menyadari bahwa aku nyaris tanpa pakaian. Tubuhku berselimut dan laki-laki itu sedang duduk ditepi pembaringan sambil merokok.

Aku berteriak marah.

"Ssst... jangan berteriak, tak akan ada gunanya."

"Jahanam kamu, bedebah ! Kamu memperkosa aku!!"

"Tidaaaak, kamu melayani aku dengan suka rela, sungguh kamu menikmatinya.." katanya santai.

Aku menangis keras, tapi dengan lembut dia memelukku.

"Jangan menangis, semuanya sudah terjadi. Percayalah aku akan bertanggung jawab."

Aku seperti kehilangan pegangan. Kalau aku pulang, aku harus pulang pada siapa? Dalam keadaan seperti ini?

Dan beruntung dia memang benar-benar mengambil aku sebegai isterinya, lalu aku melahirkan kamu. Dia yang seorang buruh bangunan berpindah pindah pekerjaan, dimana ada proyek yang membutuhkannya kesitulah kami pindah, sehingga sampai kekota ini.

Tapi aku tak pernah mencintai dia.

Widi menghela nafas sejenak, disampingnya Mirna mendengarkan dengan air mata bercucuran dan jiwa penuh luka.

Lalu terjadilah peristiwa itu, ayahmu menyiram aku dengan air keras dan aku menjadi seperti ini. Bukan sepenuhnya salah ayahmu, aku yang membuatnya marah. Widi tak pernah menceriterakan bahwa kemarahan suaminya adalah karena dia berkencan dengan laki-laki yang bisa memberinya uang banyak. Itu sebabnya ia tak sepenuhnya menyalahkan suaminya. Atau mungkin saja ada pikiran lain dalam benak Widi, entahlah.

Laki-laki bernama Galang itulah yang membuat hidupku ter lunta-lunta, sengsara, hina dan penuh nestapa. Aku harus membalasnya, melalui kamu Mirna !!

Mirna terpaku diam, dan ibunya memejamkan matanya, tenggelam dalam lautan dendam.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, September 19, 2019

DALAM BENING MATAMU 03

DALAM BENING MATAMU  03

(Tien Kumalasari)

Mirna menundukkan wajahnya dan menekuni pekerjaannya begitu Adhit masuk keruangannya. Adhit memandangnya sekilas, lalu melihat ponsel Mirna ergeletak dimeja disamping laptopnya.

"Kalau masih ingin menelpon, mengapa tiba-tiba dihentikn?" tegur Adhit karena tadi sempat melihat Mirna meletakkan ponsel dengan gugup begitu dia masuk.

"Nggak pak, dari ibu, menanyakan apakah saya sudah makan atau belum," jawab Mirna pelan.

"Ibumu sangat perhatian pada anak gadisnya."

"Ibu hanya hidup bersama saya pak. Sejak saya masih kecil. Dia sangat menderita," kata Mirna pelan, dan terdengar pilu.

"Tapi ibumu beruntung memiliki anak sebaik kamu."

Mirna tersenyum, ia mengangkat wajahnya, memandangi Adhit dengan rasa terimakasih. Adhit melihat kilatan mata yang belum dimengerti artinya.

Mirna tiba-tiba ter batuk-batuk. Ia menghentikan pekerjaannhya, lalu merogoh kedalam tas yang ada di almari mejanya, seperti mencari sesuatu. Adhit yang melihatnya segera menunjuk kearah almari obat yang ada disudut ruangan.

"Ada obat gosok disitu, kamu mencari obat gosok kan?"

Mirna mengangguk, kemudian berdiri mengambil obat gosok kearah yang ditunjuk Adhit. Diambilnya obat itu lalu kembali duduk. Ia membuka sedikit kerah bajunya, barangkali lupa ada Adhitama disana, atau memang sengaja, ia menggosokkannya dengan santai dengan tangan agak masuk kedalam dadanya. Adhit tak menatapnya, ia sibuk membalik balikkan map yang tergeletak dimejanya. Mirna menghela nafas, melirik sekilas kearah priya ganteng yang sedang menunduk dan tak mengecuhkannya. Ada rasa kecewa yang dirasakannya. Namun ia kemudian menyadari bahwa laki-laki yang diam-diam dikaguminya itu memang tak mudah dibuatnya tertarik pada dirinya.

"Hm, apakah ayahnya dulu juga melukai ibuku dengan kebekuan hatinya?" bisik batin Mirna yang kemudian mengembalikan obat gosok itu ketempatnya semula.

Terbayang kembali sa'at ia masih berumur 5 tahunan, ayahnya sepulang dari kerja tiba-tiba menempelang ibunya sehingga ibunya terpelanting ke lantai.

"Siapa laki-laki itu? Yang mengajakmu makan dirumah makan mewah?"

"Bukan siapa-siapa, dia teman aku," pekik ibunya sambil menangis.

"Tapi dia juga membawamu ke hotel !!" hardik ayahnya sambil menampar lagi wajah yang masih terkulai dilantai.

Ibunya menjerit.

"Bohong !!"

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu keluar bergandengan tangan dari hotel itu!!"

"Tidaak !!"

"Jangan menyangkal! Perempuan ntak tau malu kamu, perempuan murahan! Kecantikanmu kau pergunakan untuk menggoda banyak lelaki yang menganal kamu!!"

Tiba-tiba ayahnya mengambil sebuah botol yang tadi diletakkannya dimeja, membuka tutupnya dan disiramkannya ke wajah ibunya. Mirna menangis keras melihat ibunya ber guling-guling kesakitan, lalu melihat ayahnya pergi dan tak pernah kembali lagi kerumah itu.

Menitik air mata Mirna yang kemudian diusapnya dengan tissue yang ada dihadapannya. Beruntung Adhit tak memperhatikannya.

Ibunya yang buruk muka selalu memakai penutup muka kalau mau pergi ke mana-mana. Ia bekerja keras menyekolahkan dirinya hingga menjadi sarjana. 

Kemudian ia mendapatkan tugas yang maha berat dari ibunya. Melampiaskan dendamnya.

Ia tak mengerti mengapa dendam itu dijatuhkannya bukan pada orang yang telah membuatnya cacat, tapi kepada seseorang yang dia tidak mengenalnya.

"Aku ter lunta-lunta, dibuang oleh keluargaku karena dia, karena dia !! Lalu laki-laki brengsek yang bilang mencintaiku telah berlaku kejam kepadaku. Dia.. bukan ayahmu awal mula petaka ini, jangan sampai aku mati membawa dendamku," tegas waktu itu pesan ibundanya.

Sekali lagi ia mengusap setitik bening yang mengambang dimatanya. Ada rasa ingin berontak, tapi derita ibunya kembali membayang dipelupuk matanya.

"Tapi bagaimana kalau aku tiba-tiba jatuh cinta padanya?" tanya Mirna pada ibunya pada suatu malam.

"Tidak! Jangan sekali-sekali kamu jatuh cinta pada lelaki. Kamu boleh menggodanya, membuat mereka jatuh bangun karena kecantikan kamu, tapi jangan pernah kamu jatuh cinta. Seperti ibu ini, tak pernah memiliki cinta, kecuali dirimu," kata ibunya sambil menatapnya tajam.

Mirna menghela nafas dalam-dalam, ia melirik kearah Adhit yang masih sibuk dengan pekerjaannya, dan ada debaran aneh memenuhi dadanya. Alangkah ganteng laki-laki ini, alangkah mempesona setiap tutur kata dan senyumannya. Ia terkejut ketika tiba-tiba Adhit mengangkat kepalanya dan menatapnya. Adhit merasa Mirna sudah lama menatapnya.

"Ada apa? " tanya Adhit

Mirna terkejut, buru-buru ditundukkannya wajahnya.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Sebetulnya, saya.. sedikit pusing," jawabnya sekenanya.

"Kamu mau minum obat? Ada obat pusing disana," kata Adhit sambil menunjuk kearah almari obat itu lagi.

"Tidak, bolehkah.. saya.. saya.. minta ijin untuk.. pulang .. sekarang?" tanyanya terbata.

"Oh, tentu .. kalau kamu memang sakit, bisa pulang sendiri?"

Mirna berdebar, apakah Adhit akan mau mengantarkannya pulang?

"Kalau tidak bisa biar Sarno mengantar kamu pulang, akan aku panggil dia."

Mirna kecewa. Kalau hanya diantar sopir, lebih baik pulang sendiri, bisik batinnya.

"Tidak, saya bisa pulang sendiri."

*** 

"Mas, mengapa sesiang ini sekretaris mas sudah pulang?" tanya Ayud ketika menjelang pulang memasuki ruang kerja kakaknya.

"Dia sakit, katanya kepalanya pusing?"

"Tapi aku melihat dia bercanda sama anak-anak yang didepan itu, nggak kelihatan sakit deh."

"Ah, kamu itu.. memang sih kalau nggak suka sama orang tuh semua-semua jadi nggak bagus," tegur Adhit sambil membenahi map-map dimejanya.

"Itu benar, masa sih aku meng ada-ada."

"Ayo, bantuin aku mengemasi barang-barang ini, kita harus cepat pulang, nanti ada janji jalan-jalan sama Raka kan?"

"Mengapa bukan sekretaris mas tadi yang mas suruh ngeberesin semua ini?" sungut Ayud.

"Kamu itu... sudah lah, lakukan saja, ini perintah atasan, tau!"

Ayud mencibir, dan Adhit memandangi dengan tersenyum menang. Ayud yang sedikit bandel tak pernah membantah apa kata kakaknya. Ia gadis manis yang amat penurut. Tapi ketika dia tidak menyukai seseorang, susah mengendapkannya.

"Aku tadi sudah menel;pon Dinda."

"Oh ya, kamu rayu dia agar mau kuliah disini?"

"Ya, tapi dia bilang sedang merayu ibunya."

"Ngangenin anak itu ya."

"Hei, dia masih kecil tau, jangan sampai mas mengganggunya."

"Enak saja, memangnya aku tukang mengganggu gadis-gadis?"

"Biasa lah, laki-laki kalau mersa ganteng lalu di mana-mana tebar pesona."

"O, jadi kamu mengakui kalau kakak kamu ini ganteng?"

"Eit.. nggak jadi," lalu keduanya terkekeh senang.

"Udah terlanjur tuh, sorry ya.... "

"Aku panggil pak Sarno dulu, supaya siapkan mobilnya."

***

Hari itu hari Minggu, ketika Adhit pergi bersama Raka, Ayud memilih berbelanja bersama neneknya disebuah supermarket. Banyak belanjaan mereka, dan karena kelelahan Ayud mengajak neneknya minum di sebuah rumah makan.

"Eyang, bolehkah nanti Dinda tinggal disini ?"

"Dinda siapa?"

"Dinda teman bermain Ayud waktu di Jakarta,"

"Dia mau bekerja disini ?"

"Bukan, dia baru saja lulus SMA, kalau diperbolehkan sama orang tuanya, dia ingin kuliah disini. Boleh ya  yang?"

"Boleh saja, rumah kita kan besar, seneng kalau bisa tinggal rame-rame."

"Semoga saja jadi.."

"Kamu tuh ingin punya teman main ya?"

"Dia itu cantik, baik, pintar lho yang.. Dinda suka punya adik seperti dia."

"Sayangnya dulu kamu nggak punya adik lagi ya?"

"Ya nggak apa-apa eyang, bisa cari adik yang lain. Habis kalau sama mas Adhit bertengkar melulu. Mas Adhit suka deh nggangguin Ayud."

Bu Brroto tertawa sambil menepuk pipi Ayud pelan.

"Itu karena kakakmu itu sayang sama kamu. Ayu sekarang kita pulang, masih mau makan juga kamu?"

 "Nggak, kan yu Supi sudah masak enak buat kita, kalau kita makan disini nanti masakan yu Supi nggak laku deh."

"Iya, kamu benar."

Ketika keluar dari rumah makan itu, Ayud mendahului mengambil mobil di parkiran, sedangkan neneknya disuruhnya menunggu di lobi.

Bu Broto duduk disebuah bangku yang ada disana, lalu tiba-tiba dilihatnya seorang perempuan  sedang duduk sambil menoleh kesana kemari, lalu membuka bungkusan belanjaan yang ada disampingnya, sambil duduk diatas tangga . Perempuan itu tampak bingung, ia yang tadinya  duduk kemudian berdiri sambil  me raba-raba saku baju panjangnya. Tampaknya ada yang dicarinya tapi tidak ketemu. Karena kasihan bu Broto mendekatinya, karena tangga itu letaknya tak jauh dari bangku dimana dia duduk.roto yang kemudian terkejut melihat perempuan itu memakai cadar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya sepasang matanya yang menyorot tajam tampak tergenangi butiran bening. 

"Jangan menangis, ada apa?"

"Dompet saya hilang," kata perempuan itu sambil mengusap air matanu Broto mengamatinya dengan iba. Perempuan itu berpakaian lusuh, tampaknya habis membeli sesuatu disekitar tempat itu, tapi kemudian menyadari bahwa dompetnya hilang.

"Isinya banyak?" tanya bu Broto.

"Uang belanja dari majikan saya, sekarangpun saya nggak bisa pulang karena nggak punya ongkos.

"Rumahnya jauh?"

"Kampung Nusukan,"

"Kok belanjanya jauh sekali sampai disini?"

"Saya bekerja didaerah sini, karena hari Minggu saya boleh pulang setengah hari."

Sementara itu mobil yang dibawa Ayud telah sampai didepan lobi, lalu dibunyikannya klakson agar neneknya memasuki mobil. Ayud melangkah turun untuk membukakan pintu bagi neneknya. Mata perempuan bercadar itu berkilat menatapnya.

Bu Broto membuka dompetnya, lalu memberikan selembar uang ratusan ribu kepada perempuan itu.

"Sekedar buat ongkos pulang ya bu," kata bu Broto sambil berlalu, lalu memasuki mobilnya. Tapi ketika melihat sorot kedua mata perempuan itu, ada rasa merinding yang meremangi bulu kuduknya.

Perempuan itu menerimanya, dan memasukkannya kedalam saku bajunya, lalu berdiri dan melangkah pergi, tapi ia sempat mencatat nomor mobil itu.

Bu Broto memasuki mobil cucunya yang kemudian berjalan keluar dari arena parkir.

"Siapa tuh yang?"

"Orang, hampir menangis kehilangan dompetnya."

"Aku kasih dia uang untuk ongkos pulang."

"Rumahnya jauh?"

"Nusukan atau mana, katanya.."

"Mengapa belanja sejauh itu?"

"Dia bekerja disebuah rumah didekat situ, itu tadi mau pulang dan mampir belanja. Tapi dompetnya hilang."

"Perempuan bercadar, Ayud jadi ingat sesuatu..," gumam Ayud. 

***

 besok lagi ya

 

 


Wednesday, September 18, 2019

DALAM BENING MATAMU 02

DALAM BENING MATAMU  02

(Tien Kumalasari)

Adhit tak ingin membalas pesan itu, karena nggak jelas itu dari siapa. Diletakkannya kembali ponselnya, lalu ia melanjutkan kesibukannya.

Tiba-tiba pesan WA itu terdengar lagi. Adhit membukanya, dan kembali ada kata-kata yang menyapanya tapi tak jelas siapa pengirimnya.

"MAS ADHIT, APA KABAR?"

Adhit menghela nafas, diputarnya nomer tilpun WA itu.

"Hallo mas.." suara seorang laki-laki, Adhit meng ingat-ingat.

"Mm.. siapa ya?"

"Waduh, lupa bener nih sama aku mas?"

"Lupa tuh, mm.. lupa-lupa ingat deh.."

"Aku dari Medan.."

"Medan?"

"Medan.. mas, horas !!

"Horas juga," lalu Adhit terbahak,:" Kamu Raka?"

Lalu suara dari seberang juga terbahak lama sekali.

"Kamu itu Raka, pakai berteka teki segala. Mana nomormu nggak ada namanya.. Lagi dimana nih?"

"Di Solo.."

"Di Solo ?" 

"Dimana Solo nya?"

"Ya dirumah simbahku lah, di daerah Tumenggungan."

"Ayo main kesini, ada acara apa orang Medan pulang ke Solo?"

"Kangen sama kamu lah mas."

"Kangen sama aku, apa sama Ayud?" canda Adhit.

"Mas Adhit gitu, kangen dua-duanya deh. Ini lagi sibuk ya mas? Nanti aja aku main kerumah. Nggak enak rasanya jam kerja begitu nggangguin orang."

"Nggak apa-apa kok, ayo datang ke kantorku saja, nanti aku traktir makan di cafe dekat kantor, ada Ayud juga lho."

"Tapi aku belum pernah tahu alamat kantor mas Adhit."

"Aku kirim ke WA kamu deh, nggak jauh kayaknya dari rumah simbahmu."

"Oke mas"

Begitu telephone ditutup Adhit ter senyum-senyum sendiri. Mirna yang sedari tadi sibuk mengetik memandangi dengan heran. Tapi ketika Adhit juga menatap kearahnya, ditundukkannya kepalanya dengan sungkan. Diam-diam Adhit heran, mengapa adiknya bilang bahwa Mirna itu genit? Kayaknya nggak pernah gadis itu memperlihatkan kegenitannya. Kelewat santun malah. Ah, entahlah, nanti akan aku marahi dia, batin Adhit karena kesal mendengar penilaian yang salah atas sekretaris barunya.

Adhitama sudah menutup map-map yang tadi diperiksanya, ketika seorang costumer servis masuk setelah mengetuk pintu.

"Ada tamu bernama bapak Raka mau menemui bapak."

"Persilahkan dia masuk."

CS itu mengangguk lalu keluar dan mempersilahkan tamunya masuk.

Raka adalah sahabat kecilnya bersama Ayud. Ayah ibunya Raka juga sahabat ayah ibunya Adhit dan Ayud. Mereka adalah Teguh Raharjo dan Retno. Beberapa tahun yang lalu Raharjo dipercaya oleh pak Haris untuk memegang anak cabang perusahaannya yang ada di Medan. Raka anak sulung Teguh, dan ada lagi adiknya bernama Dinda. Tapi Raka dan Dinda terpaut agak jauh. Ketika Raka sudah menyelesaikan kuliahnya, Dinda baru lulus SMA.

"Hai, sobat !" pekik Adhit ambil berdiri, lalu memeluk hangat sahabatnya.

"Silahkan duduk dulu," Adhit menarik Raka agar duduk di sofa yang ada diruangan itu, agak jauh dari meja kerjanya.

"Terimakasih," 

"Mirna, tolong ambilkan minuman di kulkas ya," perintah Adhit kepada Mirna.

Mirna mengangguk, lalu mengambil dua botol minuman ringan yang kemudian diletakkannya diatas meja didepan sofa itu.

Mirna melirik sedikit kearah tamu atasannya, lalu menundukkan muka.

"Sekretarismu mas ?"

"Ya, sudah.. matanya jangan melotot kearah sana saja, aku panggil Ayud ya." Adhit berdiri, menekan interkom kearah ruangan adiknya.

"Apa mas?"

"Kesini sebentar, ada tamu untuk kamu."

"Siapa?"

"Sudah, datang aja , jangan banyak bertanya."

Interkom ditutup dan Adhit kembali menemui Raka.

"Apa kabar Dinda?"

"Baik, dia sudah lulus SMA, mau kuliah di Jawa katanya."

"Bagus, disini saja, nanti tinggal dirumahku, kan ada Ayud yang bisa menemani dia."

"Entahlah mas, kayaknya ibu juga berat melepas anak perempuannya."

Ketika terdengar ketukan dipuntu, lalu tiba-tiba Ayud masuk,terbelalak matanya melihat siapa yang datang.

"Kamu? Raka?" teriaknya riang kemudian menyalaminya dengan hangat.

"Semakin cantik kamu Yud.." puji Raka.

"Iya lah, aku kan putri Solo," jawab Ayud sambil tersenyum.

"Benar.. putri Solo memang cantik-cantik."

"Tante Retno juga putri Solo kan, makanya cantik." jawab Ayud untuk menyembunyikan rona merah diwajahnya karena mendapat pujian.

"Iya, ibu sama bapak titip salam buat Adhit dan Ayud."

"Terimakasih, besok kalau pulang nitip salam kembali ya. Oh ya, apa kabar Dinda?"

"Dia baik, sudah lulus SMA lho,"

"Oh ya, mau kuliah dimana? Di Solo saja, nanti tinggalnya sama aku, seneng aku ada teman perempuannya, habis kalau sama mas Adhit berantem terus."

"Aku juga menyarankan begitu. Mau ambil apa dia?"

"Belum tau, mash bingung dia."

***

Pembicaraan itu dilanjutkan disebuah rumah makan ketika Adhit mengajak makan siang bersama.

"Sebenarnya aku mendapat panggilan wawancara disebuah universitas swasta disini," kata Raka.

"Oh ya, Universitas mana , kamu mau jadi dosen?"

"Ini..." Raka mengeluarkan sebuah surat panggilan wawancara kepada Adhit.

"Oh, ini bagus. hallo bapak dosen, seneng ngedengarnya. Tinggal dirumahku yuk, maksudnya dirumah eyangku," ajak Adhit.

"Wah, nenekku sudah wanti-wanti kalau nanti diterima harus menemani dia di Tumenggungan.Kalau nenek dari ibu kan sudah nggak ada semua."

"Iya sih, kabarnya dulu om Raharjo mau mengajaknya ke Medan tapi nggak mau."

"Iya, simbah masih menekuni dunianya, masak memasak untuk orang banyak."

"Kita harus menghormatinya Ka, selama masih kuat, biarkan saja menjalani apa yang disukainya. Syukur-syukur kamu bisa tinggal bersamanya dan menjaganya."

"Semoga saja."

"Nanti sarankan Dinda agar kuliah di Solo juga Ka," sambung Ayud yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan raka dan kakaknya.

"Pengin dia, ini lagi ngrayu ibuku supaya mengijinkan."

"Aku minta nomor kontaknya dong, supaya bisa nyambung sama dia."

Raka menuliskan nomor adiknya dan dikirimkannya pada Ayud.

"Mas, sekretarismu cantik juga ya," tiba-tiba Raka teringat sekretaris cantik yang tadi meliriknya, walau hanya sebentar.

"Oh, iya, namanya Mirna, mau kenalan lebih jauh?"

"Huh..!!" tiba-tiba Ayud mencibir.

"Ayud, aku pengin nanya nih, mengapa kamu mengira bahwa Mirna itu genit? Jangan suka men jelek-jelekkan orang gitu dong." tegur Adhit.

"Aku itu kan mewawancarainya awal, aku sudah tau karakter dia."

"Kamu bilang genit? Tapi menurutku dia itu sangat santun. Memandag kearah aku pun dia tidak berani langsung."

"Aku melihat dia ketika sebelum diwawancara, bercanda dengan karyawan-karyawan pria, dan sikapnya genit lho. Entahlah, aku nggak suka aja, ada yang aneh, aku heran ketika mas Adhit memilih dia. Padahal ada dua pilihan lainnya yang juga bagus."

"Kamu tuh... nggak gitu lho, dia baik kok."

"Jangan sampai mas Adhit tergoda sama dia ya." sungut Ayud.

Raka tertawa.

"Meang dia cantik, tapi kan nggak semua yang cantik itu menarik."

"Kamu juga jangan sampai tergoda,"

"O, kalau ini namanya cemburu.." goda Adht.

"Eeeh, enak aja... siapa cemburu? Raka itu satu tahun dibawah saya, masih anak-anak dia."

"Apakah itu halangan?" kata Adhit. Tampaknya Adhit ingin sekali menjodohkan Raka dengan adiknya. Tapi keduanya hanya ter tawa-tawa menanggapi.

***

Seusai jam makan siang Mirna sudah kembali ada diruangan kerjanya. Dilihatnya Adhitama belum kembali duduk dimejanya. Pasti masih sibuk menjamu tamunya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari ibunya.

"Hallo ibu... iya, sudah makan dan sudah kembali diruang kerja... ibu sudah makan? Baiklah ibu, ya.. pak Adhit baik, dan gantheng sekali..(Mirna tertawa genit) tapi aku masih takut mendekati.. oh.. ya? Aku belum pernah melihatnya.... yaa..  ada adiknya.. Ayudya, tapi tampaknya ia kurang suka sama Mirna, nggak tau kenapa.. nggak.. ibu jangan khawatir, Mirna bisa membawa diri.. dan pasti itu bu.. percayalah ibu nggak akan kecewa... belum bu.. belum ada yang bisa Mirna lakukan.. semua demi ibu. Tapi bagaimana kalau Mirna jatuh cinta sama pak Adhit? (tertawa lagi)... iya bu.. nggak.. jangan khawatir.. ibu nggak akan kecewa. Baiklah bu, kelihatannya mas Adhit sudah datang.

Mirna menutup ponselnya ketika Adhitama memasuki ruangan, sendiri.

***

besok lagi ya

Monday, September 16, 2019

DALAM BENING MATAMU 01

DALAM BENING MATAMU  01

(Tien Kumalasari)

Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusahaan ketika sebuah ketukan pintu terdengar, dan Ayudya masuk serta langsung duduk didepannya.

"Udah beres mas, masih tersisa tiga orang yang harus mas Adhit sendiri mewawancarainya. Cantik-cantik, pintar, tapi yang namanya Mirna aku sebenarnya kurang suka," kaya Ayudya sambil meletakkan beberapa map lamaran diatas meja.

"Mana Mirna?" tanya Adhitama sambil mem buka-buka map yang disodorkan adiknya. 

Mereka kakak beradik yang memegang sebuah perusahaan besar milik mendiang kakeknya. Tumbuh dalam lingkungan keluarga yang saling mengasihi dan kemudian berhasil menjadikan keduanya orang-orang yang pintar dan bermartabat. Ketika lulus dari pendidikan sarjana, mereka langsung belajar menguasai perusahaan yang diwariskan oleh kakeknya. Adhitama yang cerdas tak lama kemudian berhasil memajukan perusahaan itu, dengan dibantu oleh Ayudya, adiknya yang usianya hanya terpaut kira-kira dua setengah tahunan dari padanya.

"Mana dia?" tanya Adhitama lagi.

"Itu, yang terakhir."

"Ini cantik, prestasi pendidikannya bagus, mengapa kamu tidak suka?" kata Adhit sambil memandangi foto yang terpambang disurat lamaran itu lekat-lekat.

"Matanya agak genit, gitu.."

"Ahaa.. yang bekerja kan buka matanya Yud..." kata Adhit sambil tertawa. Bagaimanapun wajah itu memang sangat menarik baginya.

"Ya pasti akan ada pengaruhnya donk, nanti mas nggak konsentrasi sama pekerjaan hanya memandangi wajah sekretaris mas yang matanya genit itu," sungut Ayudya.

"Kamu itu, kalau  bekerja jangan atas dasar like and dislike donk. Tapi aku suka ini, kapan kamu suruh dia menemui aku."

"Tuh, kan..." Ayudya cemberut, tapi kakaknya hanya menangggapinya sambil tertawa.

***

"Eyang, aku sudah pulang..." teriak Ayudya sambil masuk kedalam rumah.

"Oh, sayang, mana kakak kamu?" tanya bu Broto sang nenek, sambil memeluk cucunya dan menciumi kedua pipinya. Hal yang selalu dilakukannya setiap cucu-cucunya pulang.

Bu Broto senang, karena sepeninggal suaminya ia ditemani kedua cucunya yang semula tinggal di Jakarta, dan sekarang mengurusi perusahaan kakeknya  di Solo.

"Mana dia ?" ulang sang nenek.

"Itu yang, masih memarkir mobilnya. Eyang masak apa hari ini?" tanya Ayudya sambil nyelonong ke meja makan dan membuka tudung sajinya.

"Hm... aku lapar lagi yang..." pekik Ayudya gembira begitu melihat ayam goreng disana, kemudian dicomotnya sebuah paha.

"Eeiit.. cuci tanganmu dulu dong Yud, kebiasaan deh, pulang-pulang langsung nyomot makanan."

Ayudya memeletkan lidahnya, kemudian meletakkan paha yang sudah digigitnya sebagian disebuah piring.kemudian lari kekamarnya.

Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. 

"Eyang," Adhitama yang masuk kerumah belakangan juga langsung memeluk neneknya.

"Kok tumben jam segini sudah pada pulang," tegur bu Broto.

"Ini kan sudah sore yang, jam setengah lima lho," seru Adhit sambil melangkah kebelakang.

"Oh, iya... " keluh bu Broto sambil menepuk jidatnya.

"Udara panas sekali akhir-akhir ini," gumam bu Broto sambil mencari yu Supi dibelakang. Yu Supi adalah pembantu keluarga Broto setelah pak Broto meninggal. Ia rajin dan pintar memasak.

"Supi, minuman untuk anak-anak sudah disiapkan?"

"Sudah bu, ini mau saya bawa keruang tengah," sahut yu Supi yang sudah membawa nampan berisi tiga cawan teh hangat.

"Ya sudah, taruh saja dulu, sama srabinya Pi, nanti ditanyakan lagi oleh momonganmu yang satu itu. Pagi tadi sudah pesan wanti-wanti."

"Ya bu, sudah saya siapkan, biar saya ambil dulu."

"Ya, anak itu sejak masih didalam perut ibunya, sukanya srabi bukan main. Sampai dewasa begitu, kalau ada yang mau keluar pasti bilang... nitip srabi ya.... Hm.. ," guman bu Broto sambil duduk menunggu cucu-cucunya berganti pakaian. Biasanya mereka duduk-duduk dulu sebentar, minum teh hangat, baru kemudian mandi.

"Waduuh... ada srabi lagi?" celetuk Adhit begitu duduk menghadapi teh hangatnya dimeja ruang tengah itu.

"Adikmu tuh, kalau mau ambil saja, kalau nggak mau kan masih ada makanan lainnya. Itu ada kroket sama risoles, enak lho."

"Iya yang, beres, nanti Adhit sikat semuanya,"jawab Adhit sambil mencomot sepotong kroket.

"Bagaimana pekerjaan dikantor?"

"Baik yang, Adhit baru mau memperluas lahan kantor, dengan membeli pekarangan penduduk yang ada dibelakang kantor."

"Memangnya mau dijual?"

"Kalau boleh Adhit mau beli pekarangan itu, baru ditanyakan boleh tidaknya, soalnya gudang yang ada itu kayaknya kurang besar."

"Eyang senang kalian bisa meneruskan usaha itu dengan lebih baik le. Kalau eyang kakungmu masih ada pasti bangga memiliki cucu-cucu seperti kalian."

"Adhit juga masih harus banyak belajar yang. Keberhasilan Adhit ini kan juga tidak lepas dari bantuan para stafnya eyang dulu," kata Adhit merendah.

"Tapi Dhit, kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri lho, kamu itu sudah pantas punya isteri, sudah ada yang cocog belum?"

Adhit tertawa keras, sambil mencomot lagi sepotong kroket.

"Kok tertawa? Sudah ada belum?"

"Sudah yang, itu.. calon sekretaris baru," kata Ayudhya yang tiba-tiba sudah duduk disamping neneknya.

Adhitama memelototi adiknya.

"Jangan percaya omongan dia eyang, suka ngaco dia tuh," sungut Adhit.

Ayudya hanya tertawa sambil mengambil sepotong srabi kesukaannya.

"Memangnya kamu sudah dapat sekretaris baru?" tanya bu Broto.

"Belum eyang, baru nyari."

"Hampir dapat yang, cantik, tapi genit."

"Yudya ! Pekik Adhit sambil melempar potongan tissue kearah adiknya. Ayudya menjerit kecil dan membalasnya, dan mereka saling lempar sambil tertawa tawa.

Bu Broto tersenyum menyaksikan keakraban kedua cucunya. Matanya berlinang karena haru. Teringat waktu mereka akan dilahirkan, banyak peristiwa yang mengharu biru kehidupan anak gadisnya ketika itu.

Pertikaian penuh gelak tawa itu berhenti ketika ponsel bu Broto berdering.

"Sst.. diam, nih dari ibumu," kata bu Broto yang kemudian menjawab telephone itu.

"Hallo nduk, " sapa bu Broto. "Iya, lagi santai nih sama anak-anakmu. Tuh, lagi berantem sambil lempar-lemparan tissue, ramainya bukan main."

"Ibuuuu..." teriak Ayudya keras, supaya didengar oleh ibunya.

"Ibuuuuu.. ini bu... anak perempuan ibu nakal.."

"Kamu yang nakal to mas."

"Kamu usil."

"Kamu!!" 

"Kamu!!"

"Aduuh.. itu lho nduk.. anakmu, berisik banget... iya.. iya.. nggak apa-apa, ibu senang, rumah ini jadi ramai kalau mereka ada. Betul nduk, baik kok.. oh.. mau ke Solo? Belum? Ya sudah, tungguin kalau suami kamu punya waktu luang.. ya nduk.. ati-ati ya... iya.. ibu sehat kok.. kamu juga ya. Nggak usah kirim apa-apa, disini sudah ada semuanya. Ya nduk, salam buat suamimu .."

"Aah, jadi kangen sama ibu, besok kalau liburan aku mau ke Jakarta ya yang," kata Ayudya yang sudah lelah berantem dengan kakaknya, lalu bersandar ke bahu neneknya.

"Nanti sama aku, kalau sendirian nanti kamu ilang."

Dan Ayudya merengut lagi, tapi disambut senyum mengejek dari kakaknya yang kemudian lari kebelakang.

"Aku mandi dulu ya eyang."

***

Gadis bernama Mirna itu sudah menghadap didepan Adhitama. Adhitama menatapnya tajam. Dia cantik, ah, mana mata genit yang dikatakan Ayudya, nggak ada kok, pikirnya. Biasa saja, bahkan gadis itu menundukkan kepala ketika Adhit menatapnya.

"Nama kamu Mirna Astuti?"

"Ya pak," jawab Mirna pelan.

"Coba ceriterakan tentang diri kamu."

"Apa?"

"Cerita saja, kamu siapa, bagaimana kamu bisa sampai ketempat ini.. atau apa saja, aku mau mendengar semuanya."

"Saya, anak tunggal dari seorang janda. Ibu saya ditinggalkan oleh ayah saya ketika mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia cacat seumur hidup."

"Kecelakaan apa?"

"Wajahnya tersiram air keras ketika bertengkar dengan ayah saya."

Mata Adhitama membesar. Ada orang sekejam itu sama isterinya?

"Ayahmu menyiramnya?"

Mirna mengangguk, matanya ber kaca-kaca.

"Dulu ibu saya sangat cantik, dan ayah seorang pencemburu. Ketika itu saya masih klas 2 SMP. Kemudian ayah pergi ketika melihat wajah ibu tidak bisa pulih seperti sedia kala."

"Tidak melaporkannya ke polisi?"

"Ibu tidak mau. Lalu ibu bekerja apa saja supaya bisa membesarkan dan menyekolahkan saya sampai lulus sarjana."

Ada rasa iba menyelinap dihati Adhit mendengar kisah itu. Lingkungan keluarganya yang penuh kasih sayang, jauh dari pertengkaran dan ketegangan. Mendengar kisah itu, runtuhlah belas kasihan dihatinya.

"Kamu pernah bekerja dimana ?"

"Menjadi pelayan toko, untuk meringankan beban ibu."

"Darimana kamu tau bahwa disini membutuhkan sekretaris?"

"Ada iklan yang ibu baca, kemudian mengatakannya pada saya."

***

Sudah seminggu Mirna bekerja sebagai sekretaris Adhitama. Pekerjaannya bagus, sopan. Ah, mana mata genit itu? Adhit selalu men cari-cari dimata Mirna seperti yang dikatakan Ayud, tapi tak juga ketemu. Gadis itu cantik, santun, tekun, tak ada kurangnya. Tapi ia menolak kalau Ayud mengatakan bahwa dia suka pada sekretarisnya. Tidak, Adhitama priya ganteng dan sukses yang tak mudah jatuh cinta. Gadis cantik  banyak ditemuinya, tapi belum satu pun nyanthol dihatinya.

Ia sedang memeriksa beberapa berkas ketika tiba-tiba dibacanya sebuah pesan WA.

"MAS ADHIT, APA KABAR?"

Tak ada nama di pesan itu, tak ada photo profil yang tampak. Siapa dia?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...