Monday, September 30, 2019

DALAM BENING MATAMU 10

DALAM BENING MATAMU  10

(Tien Kumalasari)

Mirna mengangat ponselnya, ingin menelpon ibunya, tapi kemudian diurungkannya. Jam segini ibunya pasti masih sibuk bekerja. Mungkin lagi mencuci, atau memasak, atau menyetelika pakaian. Mirna menghela nafas sedih, ibunya masih saja bekerja keras, padahal dia sudah melarangnya.

Mirna tak melakukan apa-apa sampai jam istirahat tiba. Ia merasa lapar, tapi enggan beranjak dari tempat duduknya.  Bayangan gadis belia yang cantik tadi terbayang kembali di pelupuk matanya. Baru sekali ia melihatnya, dan selama dia bekerja juga baru sekali ini ia datang menemui pak bosnya yang ganteng. Dan pak Bosnya menyambut dengan hangat.. juga mesra.. Ah, rasa cemburu kembali menggelitik perasaannya. Ada apa aku ini... pikir Mirna.. sementara Adhitama sendiri sepertinya tak pernah menaruh perhatian lebih pada dirinya. Apakah aku kurang cantik? Mirna mengeluarkan kotak bedak dari dalam tasnya, ada kaca disitu, dan ia memandangi wajahnya dengan seksama. Aku cantik tuh, pikirnya. Mataku bagus, hidungku mancung, bibirku.. apakah bibirku kurang mempesona?  Mirna meraih lipstik, lalu memoleskannya lagi sedikit kebobornya. Hm.. rupanya ini belum cukup untuk menarik hati Adhitama. 

Tapi kemudian Mirna teringat kembali pesan ibunya. JANGAN SE KALI-KALI KAMU JATUH CINTA 

Mirna menghela nafas. Bagaimana menahan perasaan cinta? Laki-laki seganteng dia, pasti akan banyak yang jatuh hati menerima senyumannya, pandangan matanya yang teduh.

Ketika telephone berdering, Mirna bangkit dan menuju kearah pesawat telephone dimeja Adhitama. 

"Halllo, dengan PT Adiluhung disini..."

"Hallo, saya mau bicara dengan pak Adhitama, bisa?"

"Ma'af pak, pak Adhit baru saja keluar, mungkin untuk makan siang. Tadi bersama bu Ayud dan satu lagi tamunya. Ada yang bisa saya bantu?

"Oh, ya sudah, ponselnya nggak aktif, makanya saya menelpon kemari."

"Oh, iya, ma'af, ini saya bicara dengan siapa ya?"

"Saya pak Galang, bapaknya Adhit."

Mirna menahan debar jantungnya. Galang, bukankah orang yang sangat dibenci ibunya? Ini suara orangnya. Gemetar tangan Mirna yang sedang memegangi gagang pesawat itu.

"Hallo..."

"Oh.. hallo, ma'af pak, saya tidak tau kalau..."

"Nggak apa-apa, ini siapa?"

"Saya Mirna pak, sekretarisnya pak Adhit."

"Oh, baiklah Mirna, nanti kalau pak Adhit sudah datang, sampaikan bahwa bapaknya menelpon."

"Baik pak."

"Terimakasih Mirna, selamat siang."

"Selamat siang bapak."

Mirna meletakkan gagang telephone itu dengan perasaan yang tak menentu. Ia kembali ke mejanya, duduk bersandar untuk menenangkan hatinya. 

Suara musuh besar ibunya. Suara yang berat, bagus, santun dan  begitu ramah. Sejahat apakah dia? Pikir Mirna. Ia menyesal belum bertanya kepada ibunya tentang hal apa yang membuat laki-laki bernama Galang itu sampai membuat ibunya hidup sengsara. Harusnya ibunya mengatakannya, tapi mengapa tidak? Ia harus bertanya, dan kalau ibunya tak juga mau menjawabnya, ia akan mencari tau dengan caranya. Tapi cara yang bagaimana? 

***

Dirumah makan itu Dinda tak henti-hentinya bercerita. Bibirnya yang tipis dan selalu ternganga membuat Adhitama tak mampu ber kata-kata. Ia sungguh  merasa tertarik pada gadis kecil itu. Aneh, selama ini ia tak pernah merasakan hal yang seperti dirasakannya siang ini. 

"Mas Adhit kok memandangi aku terus sih.. aku jelek ya .. atau sebel karena aku banyak ngomongnya?"

"O, nggak, suka melihat kamu cerewet."

Dinda tertawa senang, dan tawa itu lagi-lagi membuat Adhit terpana. Apa yang terjadi pada diriku, pikirnya.

"Aku kan sudah bilang, lama-lama mas Adhit bisa jatuh cinta sama kamu," celetuk Ayud lalu meneguk minumannya.

"Haaa.. masa mas Adhit bisa jatuh cinta sama anak kecil?" pekik Dinda sedikit keras, membuat Ayud segera mencubit lengannya.

"Aduh, mbak Ayud, sakit tau?" katanya sambil mengelus lengannya yang sakit.

"Kamu itu ya, kalau bicara jangan keras-keras, tuh semua orang menoleh kearah sini, apalagi lagi ngomongin cinta."

"Iya ya, habisnya aku kan anak Medan."

"Nggak apa-apa, biarin saja dia berteriak," kata Galang sambil menyuapkan sendok terakhirnya.

"Tuh, dibolehin sama mas Adhit. Tapi lama-lama, kalau aku memandangi mas Adhit itu ya, kayak mirip sama bapakku lho."

"Iya lah, mas Adhit itu lagi terpesona sama kamu, jadi apapun yang kamu lakukan, dia pasti seneng-seneng aja. Eh, apa kamu bilang? Mirip sama om Raharjo ya? Iya juga sih, sama-sama ganteng kan?"

Dinda tersenyum memandangi Adhitama. Pandangan mereka beradu, tapi Dinda kemudian mengalihkan padangannya kearah lain. Aku kok kayaknya suka sama masku yang ganteng ini.. gila bener, ini cinta monyet 'kali. Bisik batinnya.

"Oh ya, nanti aku mau langung kerumah simbah, nggak usah dianterin, aku sudah tau jalannya kok."

"Ya nggak boleh gadis cantik jalan sendiri, nanti  kalau kamu diculik bagaimana?" kata Adhit menggoda.

Dinda tertawa keras, dan lagi-lagi Ayud mencubit lengannya.

"Auuw... iih.. mbak Ayud..." kata Dinda sambil merengut di buat-buat. Tapi menurut Adhit, merengutpun dia cantik lho.

Ayud terkekeh senang.

"Rasain, kalau kamu masih suka berteriak ditempat umum, aku cubit sampai lengan kamu gosong."

"Iih... jahatnya...." ujar Dinda masih dengan merengut.

"Yud, habis ini kita antar Dinda kerumah simbahnya."

"Siyap bos, aku juga belum pernah ketemu simbahnya Dinda."

"Iya, waktu kesana kan aku diantar mas Raka. Jadi aku nanti diantar ya?"

"Iya, diantar sampai kerumah simbah, nanti sore sepulang kantor kami jemput kamu." kata Adhit.

***

Ternyata dugaan bu Marsih tentang keluarganya Putri meleset. Kedua anaknya sangat baik dan tidak tampak membedakan perbedaan status diantara mereka. Dua orang ganteng dan cantik itu bersikap se olah-olah mereka adalah keluarganya juga. Bu Marsih sangat bersyukur. Ia memandngi Ayud seperti melihat Putri ketika datang pertama kali kerumahnya, dan menangis dikursi yang sekarang diduduki anaknya. Bu Marsih tersenyum sendiri, ternyata jodoh itu tidak bisa ditentukan oleh pemilihnya, tapi hanya Tuhan yang menentukannya. Dan anak-anak dari mereka yang semula saling mencintai, berbaur seperti layaknya saudara.

Itu adalah cinta-cinta kasih yang tulus. Dan kedamaian terasa dihati ibu tua itu, melihat mereka tampak sangat bahagia.

"mBah, nanti sore kami akan menjemput Dinda, sekarang biarlah dia disini dahulu," kata Adhit kepada bu Marsih.

"Iya cah bagus, terimakasih karena menerima Dinda seperti saudara sendiri. Ia hanya cucu seorang pedagang makanan."

"Mengapa simbah berkata seperti itu? Saya juga pedagang lho mbah, cuma berbeda bentuknya. Saya salut simbah yang sudah setengah tua masih giat bekerja, bersemangat dan tampak segar."

"Iya nak, tapi namanya orang seperti simbah ini kan pasti berbeda dengan....."

"Tdak, simbahnya Raka dan Dinda juga simbahnya Adhitama dan Ayud.."

Bu Marsih merangkul keduanya dengan berlinangan air mata. Pernahkah terpikir oleh bu Marsih bahwa Adhitama juga darah dagingnya?Rupanya ikatan yang tak tampak itu seperti menalikan benang merah yang walaupun tipis tapi mengikat masing masing hati mereka. Seperti perasaan Adhit pada Dinda.. taukah dia bahwa mereka adalah sedarah daging? Sayangnya mereka mengartikan perasaan cinta itu seperti layaknya cinta seseorang kepada lawan jenisnya. Aduhai..

"Simbah, sekarang kami mau pulang dulu karena masih harus kembali ke kantor. Nanti sore kami akan menjemput Dinda ya mbah?" Kaya Ayud ketika merangkul bu Marsih.

"Iya nak, hati-hati dijalan, dan terimakasih telah menjaga cucu simbah dengan sangat baik."

"Ya pasti lah mbah, walau Dinda itu sedikit nakal, tapi kami sangat menyayangi dia, jadi simbah nggak usah khawatir. Ya mbah?"

"Terimakasih banyak ya nak, hati-hati dijalan."

Dan ketika pulang itu Adhit sempat mengerling kearah Dinda dengan tatapan mata sedikit nakal. Dinda memeletkan lidahnya, lalu tersenyum sangat manis."

***

"Mas, aku pikir-pikir nas Adit itu aneh ya?" kata Ayud dalam perjalanan kembali ke kantor.

"Aneh bagaimana?"

"Itu, sikap mas Adit sama Dinda, bari ketemu belum sebulan saja kayaknya gimanaaa... gitu."

"Gimana itu apa? Dan belum sebulan bagaimana, kan kita sudah sejak kecil ber sama-sama?"

"Itu benar, waktu kecil berteman biasa, setelah Dinda remaja, mas Adhit memandangnya seperti lain. Apa mas Adhit kali ini benar-benar jatuh cinta?"

Adhit terdiam. Ia sungguh belum sepenuhnya bisa memahami perasaannya. Bahwa Dina itu cantik. Ya.. Bahwa Dinda itu menarik.. Iya.. dan senyumannya selalu membuatnya ber debar-debar. Itu benar. Apakah itu cinta? Adhitama tak mengerti. Tapi ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Sumpah. 

"Kok diam? Itu benar ya?"

"Nggak tau aku.."

"Masa perasaan sendiri nggak tau ?"

"Aku memang belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya."

"Mas, dengar ya, yang namanya jatuh cinta itu boleh=boleh saja, tapi mas harus ingat, Dinda itu masih remaja, yang namanya remaja itu ya belum tentu perasaannya yang sekarang.. akan abadi sampai entah kapan.. Kalau mas benar-benar cinta dan dia masih cinta monyet, mas sendiri nanti yang sakit."

Adhitama terdiam. Rupanya ia masih harus mencari kebenaran dari perasaannya.

"Sebaiknya biarkan dulu Dinda kuliah, menyelesaikan kuliahnya, nah.. kalau tahan.. tungguin.. tapi jangan biarkan perasaan itu sampai dalam. Biasa saja.. seperti hubungan kakak dan adik, gitu lho mas.."

"Hm.. kok kali ini kamu kayak nenek-nenek?"

"Iih... mana ada nenek-nenek secantik aku.." Ayud cemberut.

Adhitama tertawa. Kata-kata Ayud ada benarnya.

"Lalu bagaimana kamu dengan Raka?"

"Apanya yang bagaimana? Kita itu aneh.. mas Adhit tertarik sama Dinda, trus aku di hubung-hubungkan sama Raka. "

"Aku melihat Raka itu suka sama kamu."

"Aku kan sudah bilang, aku lebih tua dari Raka."

"Apa itu halangan..?"

"Mas suka, kalau aku pacaran sama Raka?"

"Dia itu kan baik, pintar.. ganteng.. haa.. itu penting lho.."

"Nggak tau aku... sudah diamlah, kita sudah sampai di kantor."

***

Begitu memasuki kantornya, Mirna melapor bahwa tadi ada telephone dari bapknya. Adhit buru-buru memegang telephone dan menelpon ayahnya.

"Hallo, bapak tadi menelpon?"

"Iya, kamu lagi makan siang, ponsel kamu mati kan?"

"Iya, takut mengganggu makan siang Adhit pak. Apa ada yang penting?"

"Bagaimana perusahaan kamu?"

"Baik pak, lumayan. Kan bapak yang ajarin."

"Itu eyangmu kakung yang ngajarin, Bapak ini kan orang biasa saja, bukan pemilik perusahaan."

"Bapak sukanya merendah deh. Oh ya, tadi Adhit, sama Ayud, makan bareng Dinda."

"Oh, Dinda ada disini? Jadi kuliah disini?"

"Iya pak, nggak nyangka, Dinda itu sekarang cantik banget."

"Oh ya? Memang cantik lah, bapaknya ganteng ibunya cantik."

"Tadi tuh pak, Dinda bilang bahwa aku mirip sama om Raharjo, hahaa... bapakku sama om Raharjo kan sahabatan, sama-sama ganteng... ya kan?"

Tapi Galang terdiam. Kata-kata yang dianggapnya gurauan itu terasa menusuk hatinya. 

"Pak, apakah salah kalau aku jatuh cinta sama Dinda?" kata Adhit tiba-tiba, tapi itu membuat Galang tertusuk lebih dalam. Ini menghawatirkan.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


1 comment:

SURAT KEPADA KAWAN

  SURAT KEPADA KAWAN. (Tien Kumalasari)   Kawan, SEPENGGAL KISAHku, sudah aku ungkapkan SAAT HATI BICARA. Juga saat SEKEPING CINTA MENUNGGU ...