Tuesday, January 30, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 08

ADA CINTA DI BALIK RASA  08

(Tien Kumalasari)

 

Usman datang ke rumah Anjani, tak lama setelah Estiana menelponnya. Ia mengatakan bahwa Anjani tetap ingin kembali bekerja.

Tapi melihat sang ‘calon ayah mertua’ tampaknya mengijinkannya, Usman tak bisa apa-apa. Ia sudah berjanji akan bersabar, dan berusaha agar Anjani merasa bahwa dirinya penuh pengertian. Dengan begitu, lambat laun Anjani akan bisa menerimanya. Lagi pula Anjani sudah berjanji, bahwa setelah ayahnya dioperasi, dia bersedia dinikahinya. Kalau hal itu sudah terjadi, akan sangat mudah baginya untuk mengendalikan Anjani. Melarangnya bekerja, melarangnya bergaul dengan teman-temannya, apalagi yang laki-laki. Usman akan bersabar, walau keinginannya sudah menggebu-gebu.

“Tidak apa-apa Bu, biarlah Anjani melakukan apa yang diinginkannya.”

“Tapi untuk apa dia bekerja, kalau sebentar lagi akan menjadi istri nak Usman? Apa nantinya kalau sudah menikah, nak Usman juga masih akan mengijinkan dia bekerja?”

“Itu bisa dipikirkan nanti Bu, biarlah kalau sekarang dia ingin bekerja.”

“Tapi berapa banyak gaji yang akan didapatnya? Mana mungkin cukup membiayai semua kebutuhan yang semakin banyak karena biarpun mas Marjono sudah pulang dari rumah sakit, tapi kan harus membeli obat dan obat-obat itu harganya mahal sekali,” keluh Estiana.

“Bu, kamu tidak pantas mengatakan semua keluhan itu di depan Pak Usman. Kalau memang tidak mampu membeli obat, ya sudah tidak usah saja. Aku sudah merasa sehat,” kata Marjono.

“Bagaimana bisa merasa sehat? Kan setiap obatnya habis harus kontrol terus?”

“Benar, tapi tidak usah mengeluh. Malu, ada pak Usman yang sudah selalu repot karena aku,” kesal pak Marjono.

Usman tersenyum. Betapapun banyaknya uang yang harus dikucurkan, ia tak akan keberatan, karena ia berharap Anjani bisa menjadi miliknya.

“Bapak dan Ibu tidak usah memikirkannya. Kalau membutuhkan sesuatu, bilang saja sama saya, jangan sungkan.”

“Pak Usman sudah banyak membantu. Saya merasa tidak enak,” ujar pak Marjono.

“Saya melakukannya, demi calon mertua saya, apa tidak boleh?”

“Tuh, Bapak mendengar sendiri kan, kita tidak usah sungkan kepada calon menantu, ya kan Nak?” kata Estiana lagi.

“Benar Bu, tidak usah sungkan, saya melakukannya demi calon mertua saya, supaya kelak kalau saya menikah dan duduk bersanding dengan Anjani, Bapak dan Ibu bisa mendampingi dalam keadaan sehat.”

Marjono menghela napas panjang. Dalam hati kecilnya agak tak setuju punya menantu yang seumuran dengan dirinya. Tapi jawaban Anjani bahwa dia suka, membuatnya terpaksa menerima kenyataan itu.

Usman segera minta pamit, karena sebenarnya kedatangannya hanyalah ingin mencegah keinginan Anjani. Tapi karena sudah terlanjur, dan ayahnya juga mengijinkan, Usman berusaha mau menerimanya. Belum saatnya terlalu mengekang Anjani, karena belum menjadi istrinya.

Estiana yang mengantarkan sampai ke dekat mobil, menghentikan Usman sebelum memasuki mobilnya.

“Ketika pulang dari rumah sakit kemarin, dokter memberinya resep lagi, saya yakin harganya mahal, dua atau tiga jutaan, seperti yang sudah-sudah." 

Estiana memang tak tahu malu. Padahal mereka tidak mendapatkan resep apapun, karena obatnya sudah diberi dari rumah sakit ketika pulang.

“Obatnya sudah diambil Bu?”

“Ya belum, saya sedang menghitung, apa uang saya masih cukup.”

“Resepnya mana, biar saya yang mengambilkan obatnya.”

“Oh, itu … anu … resepnya masih dibawa Jani, biar saya saja nanti yang mengambilnya, kalau uangnya sudah ada.”

Usman mengambil dompetnya, lalu memberikan setumpuk uang ratusan ribu kepada Estiana.

“Ini ada tiga jutaan Bu, kalau kurang, ibu bilang saja sama saya.”

“Ah, nggak usah Nak, jadi nggak enak merepotkan,” katanya sambil mendorong tangan Usman. Sudah jelas itu pura-pura, padahal dalam hati sangat mengharapkannya.

“Tidak apa-apa Bu, terima saja.”

Estiana menerima uangnya dengan pura-pura sungkan, padahal matanya berbinar-binar.

“Wah, bagaimana ini ya, kalau ayahnya Anjani tahu, pasti saya dimarahi.”

Usman hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam mobilnya. Ia sudah tahu watak calon ibu mertuanya.

Esti melambaikan tangannya ketika mobil Usman berlalu. Dengan cepat ia memasukkan uangnya ke dalam saku.

Ketika ia memasuki rumah, dilihatnya Marjono masih duduk di ruang tamu.

“Aku heran, bagaimana Anjani suka kepada laki-laki seumuran bapaknya,” gumamnya pelan.

“Kok Bapak bilang begitu? Nak Usman itu orangnya baik, murah hati, uangnya banyak. Meskipun sudah tua juga masih kelihatan ganteng dan gagah kok. Kenapa Bapak heran, kalau Anjani suka sama dia?”

“Memang heran. Anjani itu kan muda, cantik, pintar, mengapa tidak memilih yang masih muda juga.”

“Mencari orang sebaik nak Usman itu tidak gampang. Mengapa harus memilih yang sama-sama muda, kalau nak Usman sudah memiliki kriteria yang diinginkan Jani? Bapak harus mendukungnya dong. Jangan memilih tua mudanya, tapi pikirkan kekayaannya.”

“Kekayaannya?”

“Bukan, maksudku … kebaikannya. Salah ngomong aku,” kata Estiana sambil berlalu, kemudian masuk ke dalam kamarnya, untuk menyimpan uang pemberian Usman ke dalam dompetnya, dengan wajah semringah cerah.

***

Anjani sudah sampai di kantor yang dimaksud. Kantor itu besar, halamannya luas dan asri. Seorang penjaga menanyakan maksud kedatangannya, dan mencatat nama dan alamatnya juga. Anjani dipersilakan masuk, dan menuju ke sebuah ruang seperti yang dikatakan satpam.

Tapi sebelum mengetuk pintunya, ia berpapasan dengan seorang pemuda ganteng. Anjani mengangguk, dan pemuda itu adalah Wijan, berhenti sejenak dan menatapnya kagum. Gadis ini sangat cantik, pikirnya.

“Mau ketemu siapa?” tanya Wijan sambil berhenti melangkah.

“Ini Mas, mau … melamar pekerjaan,” kata Anjani sambil menundukkan kepala, karena Wijan menatapnya tak berkedip.

“Oh … melamar ya, silakan masuk ke ruangan itu,” kata Wijan sambil menunjuk ke sebuah ruangan. Disitu tertulis, HRD. Anjani mengangguk, dan Wijan berlalu.

Sambil menuju ke arah mobil yang sudah menunggu, Wijan berpikir tentang gadis yang berpapasan dengannya tadi. Mata gadis itu bulat dan menawan.

“Haaa? Apa? Bukankah aku mengenalnya? Dia kan Anjani, yang pernah aku kenal saat kuliah dulu? Tampaknya ia tak lagi mengenali aku. Mungkin karena penampilanku yang berbeda. Waktu kuliah aku selalu berpakaian santai, dan sekarang aku memakai dasi, memakai jas pula. Tak heran kalau dia lupa. Tadi sekilas aku juga tidak mengenalinya. Jangan-jangan dia Anjani yang dicari Nilam. Matanya mirip Nilam,” gumamnya sambil memasuki mobil.

“Ada apa Mas?” tanya Barno yang mendengar Wijan bergumam tak jelas. Barno akan mengantarkan Wijan menemui seorang klien.

“Tidak, tadi itu … ada gadis melamar pekerjaan.”

“Wah, sampai kepikiran oleh mas Wijan, pasti dia cantik,” kata Barno sambil menjalankan mobilnya.

Wijan hanya tertawa pelan.

“Pak Barno ada-ada saja.”

“Memangnya butuh karyawan lagi Mas?”

“Iya, butuh satu lagi di bagian marketing. Sudah ada beberapa yang melamar.”

“Semoga yang diterima adalah yang cantik itu tadi,” goda pak Barno.

“Kenapa yang cantik? Yang pintar dong pak.”

“Cantik, pintar, bisa mengabdi, setia.”

“Lho, kok gitu, bukannya itu kriteria memilih istri?”

Pak Barno tertawa keras.

“Sesungguhnya saya tuh berharap, mas Wijan segera mendapatkan seorang istri.”

“Aah, ada-ada saja. Pak Barno sama bapak, sama saja. Selalu itu yang dibicarakan.”

“Tidak salah kalau pak Raharjo juga ingin segera punya menantu. Mas Wijan sudah dewasa, sudah menjadi pemimpin perusahaan, dan berarti sudah mapan. Segera dong, cari istri.”

“Doakan dong Pak, biar segera ketemu yang cocok.”

Tiba-tiba ponsel Wijan berdering. Dari Nilam.

“Ada apa?”

“Mas, aku tadi ke ruangan HRD, membuka-buka map lamaran, kok ada pelamar namanya Anjani.”

“Apa? Itu yang baru saja masuk? Aku tadi berpapasan sama dia.”

“Apa dia Anjani teman kuliah mas Wijan?”

“Tadi aku tidak mengenali dia, demikian juga dia. Tapi sekarang aku ingat, dia teman sekampus waktu kuliah. Aneh, sama-sama lupa. Baru setelah jalan bersama pak Barno aku ingat.”

“Jangan-jangan dia yang dicari Jatmiko.”

“Penasaran aku.”

“Kamu kok heboh sih, nama itu bisa saja sama. Ya sudah, aku hampir sampai, nanti saja ngomongnya.”

Wijan menutup ponselnya, dan berpikir tentang gadis yang baru saja ketemu dengannya. Benar teman sekampusnya. Wijan tersenyum, dan merasa bahwa Anjani temannya menjadi semakin cantik. Dulu mereka tidak mengenal dekat, hanya kenal karena sekampus saja.

***

Nilam membuka map berisi berkas lamaran atas nama Anjani.  Menatap fotonya dan memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Nilam juga mencatat nomor kontaknya.

“Saat wawancara, aku ingin mas Wijanlah yang mewawancarainya,” katanya pada Wijan ketika kakaknya itu sudah kembali.

“Kamu yakin, dia Anjani yang dicari Jatmiko?”

“Tidak begitu yakin sih, itu sebabnya aku ingin ketemu dia. Sekarang aku akan menelpon Jatmiko.”

“Kenapa buru-buru? Nanti kalau sudah jelas dia, kamu baru memberi tahu dia. Iya kalau iya, kalau bukan, dia pasti kecewa.

“Iya, benar. Tunggu besok saja. Aku sudah meminta agar besok dia dipanggil untuk wawancara.

“Baiklah, terserah kamu.”

“Bagaimana tadi, hasilnya?” tanya Nilam.

“Hasilnya baik, aku akan menghadap bapak sekarang.”

Nilam mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya. Hatinya berdebar, membayangkan bisa bertemu dengan Anjani. Kalau benar, pasti Jatmiko akan senang.

***

Sore hari itu Anjani sedang menemani bapak dan ibunya minum secangkir teh hangat, dan cemilan. Ibunya sedang mencatat sesuatu di sebuah kertas.

“Kamu menulis apa?”

“Belanjaan untuk besok, banyak barang habis."

"Itu, kamu juga menulis lipstik, lalu …apa lagi tuh... "

Esti duduk menjauh, ternyata sang suami yang duduk di sampingnya juga membaca apa yang ditulisnya.

“Semua barang yang habis, dan lipstikku juga habis. Ini kalau uangnya masih ada, sisa uang yang aku pegang tinggal sedikit,” kata Estiana sambil merengut.

“Kalau uangnya tidak cukup, yang tidak perlu ya ditangguhkan dulu,” kata Marjono.

“Iya, aku tahu,” jawab Esti sambil merengut.

“Kalau obatku habis, tidak usah beli obat lagi saja. Aku sudah merasa lebih enak.”

“Itu gampang, nanti aku pikirkan,” kata Esti sambil melipat kertas catatannya, lalu dimasukkan ke dalam saku bajunya.

Tiba-tiba Anjani yang semula diam saja berteriak.

“Heii, besok aku ada panggilan wawancara.”

Wajahnya berseri.

“Baru wawancara, belum tentu diterima,” kata ibunya, sinis.

“Doakan yang terbaik dong Bu,” sungut Anjani.

“Semoga diterima, bapak akan mendoakan untuk kamu.”

“Terima kasih Pak,” kata Anjani riang. Ia segera beranjak ke kamarnya untuk mempersiapkan baju yang pantas untuk wawancara.

“Jangan lupa. Nanti nak Usman akan mengajak kamu makan malam,” kata ibunya.

Senyuman di bibir Anjani menghilang.

“Mengapa sering kali dia minta ditemani makan?” tanya Marjono.

“Memangnya aneh? Sepasang laki-laki dan perempuan makan bersama?”

“Terlalu sering, tampaknya kurang pantas,” kata Marjono yang tampaknya memang kurang senang anaknya akan diperistri Usman. Ia juga tak yakin Anjani senang. Ia melihat bagaimana wajah Anjani ketika mendengar ibunya berkata bahwa Usman akan mengajak makan malam. Kalau memang Anjani suka, pasti dia akan tersenyum, atau menunjukkan wajah suka. Tapi ia menangkap wajah muram dan cemberut yang diperlihatkan Anjani ketika mendengarnya.

***

Usman dan Anjani sedang duduk berhadapan di sebuah meja, di rumah makan. Agak malam Usman menjemputnya, karena katanya banyak urusan. Akhir-akhir ini Usman sangat sibuk, entah apa yang dilakukannya.

Tapi disaat senggang, Usman selalu menyempatkan dirinya mengajak Anjani jalan-jalan. Tak mampu Anjani menolaknya. Kecuali dipaksa oleh ibunya, ia juga tak ingin ayahnya melihat bahwa dia melakukannya dengan terpaksa.

Tapi walau wajah Anjani selalu masam, Usman dengan sabar menghadapinya.

“Tunggu saja nanti,” kata batinnya.

“Mengapa kamu makan hanya sedikit?”

“Tadi sudah makan, menemani bapak.”

“Baiklah, nanti kita bawa pulang saja untuk oleh-oleh, kan bisa dimakan besok pagi, untuk sarapan?”

“Terserah,” jawabnya ketus.

“Anjani, tadi aku beli sesuatu untuk kamu,” kata Usman sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil. Anjani hanya meliriknya sekilas.

“Bukalah, kamu pasti suka.”

Anjani bergeming.

“Bapak jangan membelikan apapun untuk saya. Saya tidak mau.”

“Membelikan sesuatu untuk calon istri, tidak salah kan?”

“Saya tidak suka.”

“Buka dulu.”

Karena Anjani bergeming dan tidak mau membukanya, maka Usman membukanya, lalu disodorkan ke hadapan Anjani.

Anjani meliriknya, tapi dia tidak tertarik. Ada sebuah gelang dihiasi permata melingkar di kotak itu. Terkena cahaya lampu, gelang itu tampak berkedip-kedip.

“Bukankah gelang kamu hilang? Karena kamu tidak mau aku ajak untuk membeli, maka aku membelikannya, aku harap kamu suka.”

“Bukan gelang seperti ini yang hilang, jadi tolong bawa kembali,” kata Anjani sambil menyodorkan gelang itu ke arah Usman.

Tapi tiba-tiba ada dua orang laki-laki melewati meja mereka, dan salah satunya menyapa.

“Pak Usman?”

“Lhoh, pak Raharjo, kebetulan sekali kita bertemu di sini,” kata Usman sambil berdiri.

“Saya sedang menemani tamu saya makan malam, tapi sudah selesai,” kata Raharjo sambil melirik ke arah gadis cantik di depan Usman.

“Oh, begitu. Tapi kenalkan dulu, ini calon istri saya,” kata Usman sambil menunjuk ke arah Anjani. Anjani tak bereaksi, tapi ia mengulurkan tangan ke arah Raharjo yang sudah mengulurkannya lebih dulu. Wajah Anjani kaku, dan Raharjo menangkap ketidak serasian pasangan itu.

***

Besok lagi ya.

Monday, January 29, 2024

ADA CINTA DIBALIK RASA 07

 ADA CINTA DIBALIK RASA  07

(Tien Kumalasari)

 

Nilam duduk menjauh dari Jatmiko. Ia belum mengatakan apa-apa, Jatmiko sudah berbicara menuruti kata hatinya.

“Kamu tidak usah membohongiku, Anjani.”

“Heeiii, bangunlah, kamu sedang bermimpi,” kata Nilam agak keras.

“Ini mimpi? Bisa bertemu denganmu adalah mimpi? Anjani, aku tak mengira kamu begitu cantik setelah dewasa. Mengapa kamu mempermainkan aku dengan pura-pura menjadi Nilam?”

“Ya Tuhan, kamu nerocos seenak perut kamu, dengar dulu penjelasanku. Aku Nilam, bukan Anjani.”

“Kamu berganti nama?”

“Aduuh, tahu begini aku tadi nggak usah berhenti saja. Persetan dengan kantung berisi gelang itu,” sungut Nilam.

“Anjani, mengapa begitu? Kamu kecewa bertemu aku? Menurutmu aku bagaimana? Jelek? Kusut? Bukankah aku sekarang ganteng? Memang sih, aku belum menjadi orang yang kaya raya. Mobil itupun bukan punyaku, tapi aku berharap kita masih bisa bersahabat.”

“Bisakah kamu berhenti ngomong? Biarkan aku bicara dulu, supaya kamu mengerti duduk persoalannya, dan tidak ngawur memanggil nama orang,” kata Nilam kesal.

Jatmiko tersenyum. Nilam menatapnya dan berpikir, bahwa laki-laki dihadapannya ini sedang tebar pesona. Tak urung hati Nilam berdebar. Dia memang ganteng. Lalu Nilam menghela napas panjang untuk menata perasaannya.

“Mau ngomong apa? Baiklah kalau kamu kecewa, yang penting aku puas bisa menemukan kamu kembali,” Jatmiko masih nerocos.

“Bisakah kamu diam? Atau lebih baik aku pergi saja?”

“Hei, jangan begitu. Baiklah, silakan ngomong. Tapi diam-diam aku suka melihat matamu yang bulat seperti rembulan.”

Nilam berdiri dengan kesal.

“Eh, jangan, duduklah kembali. Baik. Aku akan menutup mulutku. Bicaralah.”

Nilam kembali duduk dengan mulut cemberut.

“Kalau aku tidak menganggap ini sesuatu yang penting, aku tak akan mau meladenimu. Toh sebenarnya ini bukan urusanku…. stop, jangan bicara dulu,” kata Nilam ketika melihat mulut Jatmiko nyaris membuka suara.

“Aku sedang berada di sebuah rumah sakit, karena adikku dirawat di sana. Ketika aku mau keluar, aku menemukan kantung ini yang ketika aku buka, ternyata berisi gelang seperti yang pernah kamu tunjukkan padaku. Aku bingung harus bagaimana. Aku yakin ini milik Anjani, tapi entah di mana dia berada. Barangkali dia sakit, tapi aku belum menanyakannya ke rumah sakit apakah ada pasien bernama Anjani berobat di sana. Aku ingin memberitahu kamu, tapi aku tak pernah tahu di mana rumah kamu dan di mana kamu bekerja. Itu sebabnya aku berhenti di sini, untuk menyerahkan gelang ini pada kamu, ketika aku melihat kamu.”

Jatmiko melongo, jadi dia salah lagi? Di genggamnya gelang itu dengan perasaan linglung.

“Ya Tuhan, aku salah lagi dan menganggap kamu tetap Anjani. Maaf ya,” kata Jatmiko dengan wajah muram.

“Tidak apa-apa. Aku mengerti,” kata Nilam sambil berdiri.

“Sebenarnya ini bukan urusan aku. Aku hanya penasaran ketika kamu keliru menganggap aku Anjani, sehingga ingin sekali aku bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi sudahlah, aku sudah menyerahkannya sama kamu, terserah bagaimana kamu akan mencarinya. Barangkali kamu bisa memulai dari rumah sakit itu,” lanjut  Nilam sambil berdiri.

“Baiklah, terima kasih kamu peduli dengan gelang ini. Bolehkah kita bertukar nomor kontak? Siapa tahu aku membutuhkan bantuan kamu tentang Anjani, atau kamu menemukannya lebih dulu karena adik kamu juga ada di rumah sakit itu.”

“Baiklah, tidak apa-apa.”

Setelah bertukar nomor, keduanya berpisah. Nilam langsung ke rumah sakit, setelah mengatakan di rumah sakit mana ia menemukan gelang mote itu.

Tapi Jatmiko yang penasaran, kemudian juga mengikutinya. Benar kata Nilam, ia harus bertanya ke rumah sakit itu, apakah ada pasien bernama Anjani.

***

Tapi dengan kecewa Jatmiko menemukan jawaban, bahwa tak ada pasien bernama Anjani, baik yang rawat inap, maupun yang hanya memeriksakan kesehatannya.

“Berarti hanya membezoek seseorang yang sakit, atau mengantarkan entah siapa, tapi yang jelas bukan dia yang sakit. Dan ini membuat aku lebih bingung lagi,” gumam Jatmiko pelan.

Jatmiko duduk merenung di lobi rumah sakit itu. Ia tahu Anjani ada dikota ini, tapi tak tahu di mana dia berada. Seperti sudah dekat, tapi ia tak bisa menjangkaunya.

“Berarti Anjani juga membawa gelang ini ke mana-mana, seperti juga aku. Lalu ia tak sadar kantung berisi gelang ini terjatuh. Pasti dia bingung mencari-carinya,” Jatmiko masih bergumam lirih. Dan ada perasaan senang ketika menyadari bahwa Anjani juga membawa gelang itu ke mana-mana. Berarti dia juga berharap bisa bertemu dengannya.

“Anjani, di mana kamu?” lirihnya.

Lalu Jatmiko mengirim pesan singkat kepada Nilam, dan mengatakan bahwa Anjani tidak menjadi pasien di rumah sakit itu.

Nilam merasa kasihan. Ketika mereka berpisah setelah ketemu di pinggir jalan itu, ia melihat wajah Jatmiko sangat memelas. Pasti ia lebih sedih lagi ketika tidak menemukan jejak Anjani di rumah sakit ini.

“Kamu sudah pulang?”

“Aku masih di lobi. Ya sudah, aku mau pulang sekarang. Tapi aku ingin membezoek adik kamu dulu, di mana ruangnya?” kata Jatmiko ketika kembali mengirim pesan.

Lalu Jatmiko menuju ke kamar yang ditunjukkan Nilam. Ia sudah pernah bertemu ibu Nilam, jadi kalau dia datang menjenguk, tidak merasa sungkan.

Dan Suri memang menerima kedatangan Jatmiko dengan ramah.

“Tidak menyangka, bisa ketemu nak Jatmiko lagi. Dari mana nak Jatmiko tahu kalau kami sedang ada di sini?”

“Tadi ketemu Nilam, Bu.”

“O. Iya? Terima kasih mau menengok adik Nilam.”

Jatmiko mendekati ranjang, dan menyalami Nugi.”

“Adik ganteng sakit apa?”

Nugi menatap laki-laki yang masih memegangi tangannya.

“Mas, pacarnya mbak Nilam?” celotehnya mengejutkan, bukannya menjawab pertanyaan Jatmiko.

Nilam melotot memandangi adiknya, tapi Jatmiko tersenyum senang.

“Bolehkah aku menjadi pacar kakak kamu?”

“Mbak Nilam suka nggak? Masnya ini ganteng,” katanya sambil menatap kakaknya.

“Diam. Anak kecil ngomongin pacar,” gerutu Nilam sambil memelototi adiknya.

“Aku suka mas ganteng.”

“Namaku Jatmiko, adik ganteng, kamu siapa?” tanya Jatmiko.

“Aku Nugi.”

“Nugi cepat sembuh ya.”

Nugi mengangguk, sore ini ia merasa lebih enak, badannya tidak sepanas kemarin. Hanya masih sedikit lemas.

Jatmiko hanya sebentar, karena sepulang dari kantor langsung ke rumah sakit.

Suri mengucapkan terima kasih, dan menganggap Jatmiko laki-laki yang baik.

Setelah Jatmiko pulang, Suri menatap anak gadisnya.

“Dia laki-laki baik. Ibu senang kalau kalian berjodoh,” katanya pelan

“Ibu ini ngomong apa sih?”

“Apa kamu tidak menyukai dia?”

“Tidak,” kata Nilam tandas.

“Nilam, apa kekurangannya nak Jatmiko itu? Ganteng, baik.”

“Dia juga tidak menyukai Nilam. Kenapa ibu selalu mengatakan itu?”

“Masa sih? Ibu lihat cara dia menatap kamu. Tampaknya dia suka. Mana mungkin laki-laki tidak suka pada anak gadis ibu yang cantik ini?”

“Ibu ada-ada saja.”

“Benar kan?”

“Dia sudah punya pacar, Bu.”

“Masa? Kenapa dia begitu menaruh perhatian sama kamu. Dia bela-belain datang kemari untuk menjenguk Nugi. Itu tandanya dia mencari perhatian kamu.”

“Ibu ngarang ah. Dia kesini juga karena mencari pacarnya.”

“Nanti Nilam ceritain, sekarang Nilam mau mandi dulu, setelah itu Nilam nggantiin ibu menunggui Nugi, lalu ibu boleh pulang, istirahat.”

Suri mengangguk, tapi tak terima pada jawaban Nilam. Ia tetap menganggap bahwa Jatmiko menyukai Nilam.

***

Anjani sedang menunggui ayahnya di siang hari itu. Kata dokter, hari itu ayahnya boleh pulang dulu, setelah jadwal operasi ditentukan. Anjani melihat sang ayah sudah lebih segar, walau badannya tampak masih kurus setelah selama beberapa tahun keluar masuk rumah sakit. Anjani berharap, setelah operasi nanti ayahnya akan benar-benar sehat. Anjani hanya punya ayahnya. Ia tak sanggup hidup tanpa ayahnya di saat seperti ini. Pengorbanannya adalah demi kesehatan sang ayah. Ia bersedia menjadi istri Usman karena ayahnya, bukan hanya karena tekanan dari ibu tirinya.

Karena kesibukannya, Usman hanya menyuruh sopir untuk menjemput ‘calon mertuanya’ yang akan pulang hari ini. Anjani bernapas lega. Pertemuan dengan Usman selalu membuat dadanya sesak dan perutnya terasa mual. Sudah lama terjadi, dan selalu saja begitu.

“Katanya pak Usman mau menjemput?”

“Tidak, dia sibuk. Tapi ada sopirnya,” kata Anjani sambil mengemasi barang-barang ayahnya sebelum kepulangannya.

“Berapa banyak uang yang harus dibayar Pak Usman untuk sakitku ini?”

“Bapak tidak usah memikirkannya. Bapak harus senang, dan tidak banyak pikiran, supaya Bapak tetap sehat. Ya kan?”

“Apa kita menunggu ibumu?”

“Tidak, ibu bilang akan menunggu di rumah.”

“Baiklah, kemarin dia juga sudah kemari.”

Setelah memastikan bahwa semua pembayaran sudah beres, Anjani memapah sang ayah menuju mobil yang sudah menunggu.

Dalam perjalanan pulang, Anjani terus memikirkan semua kebutuhan yang dicukupi semuanya oleh Usman. Ia merasa kesal telah resign dari kantor tempatnya bekerja, karena desakan ibunya, dengan alasan harus menunggui ayahnya saat dirawat.

Tapi setelah ayahnya pulang, kemudian ia bermaksud kembali bekerja. Tak enak kalau semuanya tergantung Usman. Bukankah dia sebenarnya bukan anggauta keluarganya? Hanya karena menginginkan dirinya maka Usman mau melakukan semuanya. Tapi menjadi beban sangat membuatnya tidak nyaman. Karena itulah dia bermaksud kembali bekerja.

***

Ketika di rumah, disaat makan malam, Anjani mengutarakan maksudnya untuk kembali bekerja. Sang ibu, dengan tatapan tidak senang, menentangnya.

“Mengapa harus bekerja? Bukankah pak Usman sudah memenuhi semua kebutuhan kamu?”

“Pak Usman bukan siapa-siapa kita, mengapa harus selalu bergantung padanya?”

“Anjani, apa kamu lupa bahwa pak Usman telah banyak mengeluarkan uang demi ayah kamu ini? Dia tidak akan keberatan melakukan, karena kamu akan menjadi istrinya.”

“Baru akan, dan belum. Saya tidak ingin selalu menjadi beban. Tidak enak rasanya kalau selalu menggantungkan semuanya dari dia. Hal-hal sepele yang kita butuhkan, ada baiknya kita mencukupinya sendiri. Karena itulah Anjani ingin bekerja.”

“Anjani benar. Dia sekolah tinggi, untuk apa ilmu yang didapat kalau hanya duduk santai di rumah?” sambung sang ayah.

“Dia tidak santai, kan ayahnya sedang sakit?”

“Aku tidak apa-apa. Biarkan Anjani bekerja, kalau dia menginginkannya. Pensiunku tidak cukup, dan Anjani pasti menginginkan sesuatu juga. Pasti dia senang kalau bisa membeli apa yang dia inginkan, dengan hasil keringatnya sendiri.”

“Kalau begitu Anjani harus minta ijin pak Usman dulu,” sungut sang ibu yang ketakutan, kalau Anjani punya uang, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk meminta uang kepada Usman, seperti yang dilakukannya selama ini. Dasar tak tahu malu.

“Mengapa harus minta ijin kepada dia? Dia itu orang lain,” kesal Anjani.

“Apa katamu? Apa kamu lupa bahwa kita sudah mendapatkan banyak perhatian dari dia? Apa salahnya kamu meminta ijin agar dia merasa dihargai?”

“Tidak Bu, kalau Anjani ingin bekerja lagi, biarkan dia bekerja, kebaikan pak Usman bukan berarti harus mengikatnya. Toh dia belum menjadi suaminya.”

“Terima kasih Pak. Anjani senang Bapak bisa mengerti,” kata Anjani sambil memeluk ayahnya.

“Kamu sudah banyak berkorban untuk bapak, lakukan apa yang kamu inginkan,” kata sang ayah lembut, tanpa peduli pada wajah istrinya yang masam.

Anjani senang. Malam itu juga dia mempersiapkan semua berkas untuk melamar pekerjaan. Lalu ia mencari cari nama perusahaan yang sekiranya membutuhkan karyawan.

Sebenarnya ia ingin kembali ke perusahaan di mana dulu dia bekerja, tapi ternyata sudah ada yang menggantikannya. Anjani menyesal tergesa keluar dari sana.

Ada satu … perusahaan otomotif, ah … yang dicari adalah sarjana tehnik, yang berpengalaman di bidangnya … tentu bukan ini … lalu ada lagi … tidak sesuai dengan pendidikannya, marketing? Tidak … tapi apa salahnya mencoba? Bukan harus menjadi sekretaris, yang penting dia harus bekerja.

Pagi hari itu, setelah membantu ibunya membuat sarapan dan melayani ayahnya serta menyiapkan obat yang harus diminumnya, Anjani berkemas untuk mencari pekerjaan. Ia sudah mempersiapkan semuanya.

“Kamu nekat?” tanya sang ibu dengan wajah muram.

“Maaf, Bu. Ini jalan terbaik untuk mencari uang. Biar sedikit, bisa meringankan beban keluarga kan?”

“Aku akan menelpon pak Usman.”

“Bu, jangan terlalu bergantung pada pak Usman. Kalau kita sudah lama menjadi bebannya, bukan berarti kita lalu sepenuhnya bergantung pada dia. Anjani benar, biarkan dia melakukannya.”

Anjani sudah bersiap, lalu berpamit kepada sang ayah dan juga ibu tirinya.

“Semoga berhasil,” kata sang ayah, sedangkan ibunya hanya mengangguk dengan wajah masam.

Anjani mengambil sepeda motornya, ia sudah mantap akan bekerja. Ia melihat kembali alamat yang sudah dicatatnya. Perusahaan Batik Raharjo Sentosa, Jl, Kapten Pattimura.

Anjani mengendarai sepeda motornya dengan bersemangat.

***

Besok lagi ya.

 

 

Saturday, January 27, 2024

ADA CINTA DIBALIK RASA 06

 ADA CINTA DIBALIK RASA  06

(Tien Kumalasari)

 

Nilam tak melihat ada orang di lobi itu, kecuali beberapa orang yang baru datang, tapi tak terlihat seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Nilam menyimpan kantung kecil itu di dalam tasnya, kemudian masuk ke dalam mobil karena Barno sudah menunggu.

“Pulang, Mbak?”

“Tidak, kita ke apotek terdekat. Aku harus membeli obat untuk Nugi.”

“Baik.”

Barno membawa mobilnya keluar halaman rumah sakit, sementara Nilam mengeluarkan lagi kantung yang tadi ditemukannya.

“Sepertinya bukan barang berharga. Hanya gelang dari mote hitam. Tapi tampaknya ini barang berharga bagi pemiliknya,” gumam Nilam pelan.

“Mbak mengatakan apa?” tanya Barno yang mengira Nilam mengajaknya bicara.

“Ini lho Pak, saya menemukan barang ini di lobi tadi.”

“Iya, saya melihat ketika mbak Nilam mengambil sesuatu. Perhiasan?”

“Gelang mote, ukurannya kecil, masuk ke tangan saya saja tidak bisa.”

“Berarti milik anak kecil.”

“Sepertinya hanya gelang mote, hampir tidak berharga karena mote bukan barang yang mahal. Tapi ini sangat berharga bagi pemiliknya.”

“Dari mana Mbak tahu bahwa itu berharga bagi pemiliknya? Mote hitam, bukan mutiara kan?” kata Barno ketika melirik pada benda yang dipegang Nilam.

“Kalau tidak berharga, tidak mungkin dibungkus dengan kantung beludru ini. Sepertinya sesuatu yang disimpannya dengan hati-hati, berharap jangan sampai hilang. Tapi ternyata barang ini jatuh. Pemiliknya pasti kebingungan.”

“Serahkan saja pada satpam rumah sakit, barangkali ada yang mencarinya.”

Nilam mengangguk, tapi dalam hati dia ingin bertemu dengan pemilik gelang ini. Ia hampir yakin bahwa gelang ini adalah milik Anjani. Ia masih ingat gelang serupa yang ditunjukkan Jatmiko kepadanya. Tapi bungkusnya beludru warna biru, sedangkan yang ditemukannya, beludru warna merah hati. Pasti mereka inilah sahabat masa kecil yang terpisah. Sungguh aneh, mereka ada disuatu tempat yang sama, kota yang sama, tapi tidak saling bertemu.

Lalu Nilam menyesal ketika tidak menanyakan di mana alamat Jatmiko. Bahkan dia juga tidak bertanya tentang pekerjaannya dan di mana kantornya.

“Seandainya aku tahu di mana Jatmiko berada,” gumamnya penuh sesal. Barno tak menyahut, karena sekarang dia tahu bahwa Nilam tidak sedang mengajaknya bicara.

“Apakah gadis bernama Anjani itu sedang sakit?” gumamnya lagi.

“Itu apotek Mbak, kita ke sana?” kata Barno sambil menunjuk tulisan apotek di depannya.

“Ya, ke situ saja, barangkali obatnya ada.”

Nilam turun ketika Barno menghentikan mobilnya di depan apotek. Tapi tak lama kemudian Nilam kembali ke mobil, sementara Barno ingin memarkir mobilnya ke tempat yang lebih nyaman, bukan di depan apotek, dimana banyak mobil diparkir di sana.

“Sudah Mbak?” tanya Barno heran ketika melihat Nilam kembali masuk ke dalam mobil.

“Cari apotek lain, di situ tidak ada. Katanya memang sedang kosong pabrik.”

Mobil itu meluncur lagi, mencari apotek lain.

“Kata petugasnya tadi, barangkali ada apotek yang masih punya stoknya, jadi kita harus mencarinya.”

Barno mencari apotek yang lain, dan baru ketemu apotek yang masih punya, justru apotek kecil yang tidak begitu ramai. Nilam merasa lega.

Sambil menunggu obatnya, Nilam kembali menimang gelang mote itu.

“Anjani, bukankah ini milikmu? Di mana kamu berada?” gumamnya dalam hati.

Pertemuannya dengan Jatmiko yang mengira dirinya adalah Anjani, membuat Nilam sangat penasaran, dan ingin melihat seperti apa gadis yang bernama Anjani itu. Tentu Jatmiko tidak begitu yakin juga, karena waktu itu mereka masih kanak-kanak, dan sekarang pastinya sudah dewasa. Tapi yang membuat Nilam heran, Jatmiko begitu yakin bahwa dirinya adalah Anjani, karena matanya sama.

Nilam menghela napas.

Nilam tak melanjutkan lamunannya, karena petugas sudah selesai menyiapkan obat yang dibelinya.

***

Anjani sangat kesal, karena Usman siang itu menjemputnya di rumah sakit, hanya untuk menemaninya makan. Ketika duduk di rumah makan itu, seperti yang sudah-sudah, Anjani tampak tak berselera. Ia memesan sup ayam dan memakannya hanya beberapa sendok. Sup yang panas itu membuatnya berkeringat. Anjani membuka tasnya bermaksud mencari tissue. Sebenarnya ada tissue di mejanya, tapi Anjani enggan meraihnya karena tissue itu terletak di dekat Usman.

Ketika meraih tissue itu, Anjani baru sadar bahwa ada yang hilang dari sana. Kantung berisi gelangnya. Ia mencari-carinya, memilahkan isinya, tapi kantung itu tak diketemukannya. Yang ada justru kunci rumahnya, karena tersangkut pada ujung ruisleting tasnya. Ia lupa menutupkannya, dan kemungkinannya kantung itu terjatuh ketika ia mau masuk ke dalam mobil. Mungkin juga ketika ia mau masuk, tas itu agak miring dan kantungnya jatuh. Anjani gelisah, dan Usman melihatnya.

“Kamu mencari apa? Kamu tidak akan membayar makanan ini bukan?”

“Mencari gelang.”

“Gelang kamu hilang? Ya sudah, nanti kita beli lagi setelah makan. Tapi mampir dulu ke kantor, karena ada yang lupa aku kerjakan.

“Tidak … tidak. Saya tidak mau. Itu bukan gelang sembarangan.”

“Berapapun harganya pasti aku beli. Kamu tidak percaya? Apa gelang itu penuh bertahtakan berlian? Harganya ber ratus-ratus juta? Apa yang enggak untuk kamu, Jani. Kamu tidak pernah mempercayai aku. Aku sungguh bisa membelikannya, jadi jangan risaukan gelang kamu yang hilang itu.”

Tapi Anjani tidak tertarik. Ia hanya mau gelang itu kembali. Benda itu adalah satu-satunya yang akan menjadi perantara pertemuannya dengan Jatmiko. Apakah hilangnya gelang itu menjadi pertanda bahwa dirinya tak akan bisa bertemu Jatmiko lagi selamanya? Anjani merasa sedih. Ia ingat waktu di kamar ayahnya, Usman mengajaknya makan, dan dia takut menolak karena khawatir sang ayah akan melihat bahwa dia mau bersama Usman karena terpaksa. Jadi ia ikut, dan meraih tasnya begitu saja, tanpa sadar tas itu belum tertutup. Ia lupa tadi mengambil apa, sehingga lupa menutupkannya. Karena itukah gelang itu terjatuh? Atau jangan-jangan jatuh di rumah dan dia tidak merasakannya?

“Anjani, sayang, kamu tidak dengar bahwa aku akan membelikanmu yang lebih bagus? Kamu boleh memilihnya, bahkan kalau perlu bukan hanya gelang, cincin? Aku sudah mempersiapkan cincin untuk pernikahan kita, tapi kalau kamu masih mau, kita akan membeli lagi yang kamu suka."

Anjani selalu merasa mual setiap kali mendengar perkataan Usman.

“Sudahlah, jangan sedih. Ayo kita pergi, mampir ke kantor sebentar, lalu membeli gelang untukmu."

“Hentikan. Dan jangan memaksa saya. Saya tidak ingin apapun dari Bapak. Gelang itu tak tergantikan, bahkan dengan hiasan sejuta permata sekalipun,” ucapnya tandas.

Usman terpana. Anjani bukan gadis yang gila harta seperti ibunya. Dia tidak tertarik dengan sejuta permata yang membuat semua perempuan tergila-gila. Itu membuatnya semakin menyayanginya. Dia perempuan yang tepat untuk menjadi pendampingnya. Begitu cantik, sempurna. Anjani berbeda dengan ibu tirinya yang selalu berbinar-binar setiap kali menerima uang darinya.

Usman tidak menyayanginya karena nafsu, dia sungguh jatuh hati pada Anjani. Dia gadis yang berbeda. Karena itulah dia akan bersabar sampai Anjani benar-benar suka padanya.

“Baiklah, aku tidak akan memaksa. Kamu mau pulang ke rumah, atau kembali ke rumah sakit? Tapi rumahmu sedang kosong. Ibu tirimu sedang asyik berbelanja,” kata Usman dengan senyuman merendahkan.

“Antarkan saya pulang dulu.”

Usman mengangguk, lalu meletakkan sejumlah uang di meja, kemudian mengantarkan Anjani pulang.

***

Anjani membuka pintu rumahnya, kosong, ibunya tak di rumah, seperti Usman mengatakannya. Rupanya Usman sudah tahu bahwa uang yang diberikannya tidak semuanya untuk biaya pengobatan suaminya.

Anjani tak peduli, toh ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya.

Ia duduk di ruang tengah dan menumpahkan semua isi tasnya, tapi kantung gelang itu benar-benar tak ada di dalamnya. Ia selalu membawanya kemana-mana, dan berharap bisa bertemu Jatmiko, lalu menunjukkan gelang itu sebagai tanda bahwa mereka adalah sahabat masa kecil.

Anjani mengambil sapu. Ia menyapu seluruh rumah, siapa tahu kantung itu terjatuh saat masih di rumah. Ia juga menyapu kamarnya, dan juga memasuki kamar ibunya. Kolong-kolong .. semua kemungkinan yang bisa menyembunyikan kantung disapunya. Tapi tiba-tiba matanya terpaku pada sesuatu di atas meja rias ibunya. Sebuah kotak perhiasan. Anjani meraihnya, lalu membukanya, dan matanya terbelalak. Berbagai perhiasan menumpuk di kotak itu. Gelang, cincin leontin, anting-anting.

“Ya Allah, katanya tak lagi memiliki apapun yang bisa dijual untuk biaya pengobatan suaminya, nyatanya dia memiliki perhiasan begini banyak. Tapi tampaknya itu semua barang baru. Bukan main ibu tiriku ini. Memang sih dulu semuanya habis. Tapi mana pantas uang pemberian orang lain dibelanjakan barang-barang ini sementara suaminya terbaring sakit dan membutuhkan biaya. Oh ya, dia sudah menjual aku untuk digantikan dengan barang-barang yang disukainya, dengan alasan biaya rumah sakit.”

Anjani mengusap air matanya, dan menutup kembali kotak perhiasan itu. Tapi sebelum selesai ia menutupkannya, tiba-tiba ibunya muncul di kamarnya. Matanya melotot marah ketika melihat Anjani menjamah kotak perhiasan itu.

“Apa yang kamu lakukan?” pekiknya geram, sambil meletakkan beberapa paper bag di depan almari. Entah apa saja yang dibelinya.

“Maaf Bu, saya tadi sedang membersihkan kamar Ibu.”

“Kamu mau mencuri perhiasan itu?”

“Astaghfirullah Bu, saya tidak pernah mengambil barang yang bukan milik saya.”

“Apa yang terpikir oleh kamu setelah melihat isinya?”

“Saya … saya … tidak membukanya, hanya membersihkan  mejanya,” jawab Anjani berbohong.

“Ya sudah, keluarlah. Kamar ini tidak perlu kamu bersihkan, biar aku sendiri melakukannya,” hardiknya.

Anjani meraih sapu yang tergeletak dilantai, lalu keluar dari kamar.

***

Sore hari itu Raharjo dan Wijan membezoek Nugi di rumah sakit, bersamaan dengan kembalinya Nilam setelah membeli obat. Ia menyerahkan obat itu kepada perawat, lalu menemui ayah dan kakaknya.

“Kamu dari mana?”

“Dari beli obat untuk Nugi, Pak. Susah carinya, dimana-mana kosong. Katanya memang kosong pabrik.”

“Jadi belum dapat, obatnya?”

“Akhirnya dapat, tapi setelah muter-muter. Kebetulan ada yang masih punya.”

“Alhamdulillah.”

“Nugi baik-baik saja kok, pasti segera sembuh,” kata Raharjo sambil menepuk-nepuk tangan Nugi.

“Sudah tidak panas,” kata Wijan sambil memberikan sekotak coklat kepada Nugi.

Nugi segera mendekap kotak itu.

“Eit, jangan dulu dimakan coklatnya. Harus bertanya kepada pak dokter, bolehkah makan coklat?” kata ibunya.

Nugi merengut.

“Nggak enak jadi orang sakit,” keluhnya, membuat semua orang tertawa.

“Makanya, jangan sakit,” kata Nilam.

Raharjo memerintahkan kepada Wijan agar menitipkan sejumlah uang ke pihak rumah sakit untuk biaya pengobatan Nugi. Wijan segera keluar dari ruangan untuk melaksanakan perintah ayahnya. Nilam mengikutinya.

“Mas Wijan mau ke mana?”

“Bapak minta agar semua biaya untuk pengobatan Nugi dan selama dirawat, aku yang menyelesaikannya.”

“Biar aku saja, aku kan punya uang.”

“Tidak. Ini bapak yang minta, jadi jangan menolaknya. Aku akan menitipkannya dulu, kalau ada yang kurang, biar mereka menghubungi aku.”

“Ya sudah, nanti aku mengucapkan terima kasih pada bapak.”

“Kalau Nugi masih harus ditungguin, kamu nggak usah masuk kerja dulu.”

“Nggak apa-apa, nanti aku bisa gantian sama ibu. Ibu sudah bilang begitu tadi.”

“Ya sudah kalau begitu. Lagian tampaknya Nugi juga tidak begitu rewel.”

“Dia itu hanya takut disuntik. Tapi setelah dijalani juga tidak apa-apa.”

“Anak pintar.”

“Mas, aku beri tahu ya, tadi aku menemukan gelang.”

“Gelang emas? Punya siapa?”

“Bukan gelang emas, tapi gelang seperti yang diperlihatkan Jatmiko waktu itu. Sama persis.”

“Kalau begitu, gelang itu milik Anjani dong.”

“Benar, aku juga mengira begitu.”

“Di mana kamu menemukannya?”

“Di lobi rumah sakit, tadi.”

“Berarti Anjani sakit?”

“Atau sedang mengunjungi kerabatnya, atau entahlah. Harusnya aku beri tahu hal ini pada Jatmiko.”

“Benar. Jatmiko harus tahu.”

“Sayangnya aku tidak tahu di mana Jatmiko berada.”

“Kamu nggak menanyakan di mana alamatnya?”

“Sayangnya tidak.”

“Yaaah, buntu deh. Kemana kamu harus mencari Anjani. Lagi pula untuk apa kamu mengurusinya. Tidak ada hubungannya sama kamu kan?”

“Entahlah, tapi aku ingin melihat Anjani. Semirip apa aku sama dia.”

“Nggak mirip kok. Hanya matanya bulat seperti mata kamu. Lainnya berbeda.”

“Apa dia secantik aku?”

“Iihh, siapa bilang kamu cantik?” ledek Wijan.

“Aaaaa, mas Wijan!” pekik Nilam sambil memukul lengan Wijan. Wijan hanya terkekeh, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang administrasi.

 ***

Siang hari itu Nilam mengendarai sepeda motornya dari kantor ke arah rumah sakit. Ketika di perempatan jalan, lampu merah sedang menyala, jadi Nilam terpaksa berhenti.

Tiba-tiba seseorang di dalam mobil membuka jendela kaca mobilnya, dan berteriak.

“Nilam!!”

Nilam menoleh, dan melihat Jatmiko ada di dalam mobil.

Ketika lampu sudah berwarna hijau, Nilam membawa motornya ke seberang perempatan dan berhenti di tempat yang aman. Jatmiko mengikutinya, lalu memarkir mobilnya di dekat motor Nilam.

Nilam menunggu Jamiko turun, kemudian keduanya duduk di bangku taman yang ada ditepi jalan itu.

“Mau ke mana?”

Nilam tidak menjawab. Ia mengambil kantong beludru dan ditunjukkannya kepada Jatmiko. Jatmiko membuka kantung itu dan berteriak.

“Aku sudah tahu, kamu memang Anjani.”

Nilam melongo.

***

Besok lagi ya.

Friday, January 26, 2024

ADA CINTA DIBALIK RASA 05

 ADA CINTA DIBALIK RASA  05

(Tien Kumalasari)

 

Wijan tersenyum-senyum sendiri, membayangkan laki-laki setua ayahnya akan menikah dengan seorang gadis. Tapi apakah itu aneh? Bisa jadi gadis itu juga sudah berumur, dan mereka adalah pasangan sepadan. Mengapa tidak?

“Kenapa kamu senyum-senyum, Wijan?”

“Kalau pak Usman bisa mendapatkan gadis cantik, apakah Bapak tidak ingin? Bapak lebih gagah dari pak Usman,” canda Wijan, takut-takut.

“Hushh! Kamu ada-ada saja. Bapak sudah menikah ke dua kalinya dan gagal, masa mau mencoba lagi? Tidak Wijan, sekarang saatnya kamu dan Nilam.”

“Maksudnya … saat apa Pak?”

“Menikah dong Jan, kamu itu benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”

Wijan tertawa pelan. Menikah? Dia belum memikirkannya.

Satu per satu gadis yang dikenalnya melintas, tapi belum ada yang bisa menarik hatinya.

“Kamu sudah punya pacar?”

“Belum Pak, kan Wijan lebih sering di rumah setelah bekerja?”

“Segera cari pacar, yang baik, yang seiman, yang bukan hanya cantik wajahnya tapi juga cantik hatinya.”

“Doakan ya Pak. Ini kok jadi bicara soal jodoh sih Pak.”

“Kamu yang memulai kan?”

“Pak Usman yang memulai,” kata Wijan sambil tertawa.

“Ada-ada saja. Baiklah, usulmu tentang kerja sama dengan pihak lain itu bagus. Tapi aku belum memikirkannya sejauh itu. Harus ada perhitungan yang matang, apakah itu akan menguntungkan kita, atau merugikan kita. Apakah itu akan menguntungkan  kedua belah pihak, atau merugikannya.”

“Iya, Wijan tahu. Akan Wijan pelajari dulu semua kemungkinan itu.”

“Bagus. Kamu sudah mulai bisa mengerti tentang usaha ini. Barangkali sebentar lagi bapak akan beristirahat, dan kamu yang akan mengendalikan semuanya.”

“Jangan dulu Pak, Wijan masih membutuhkan Bapak. Kalau Bapak tidak ikut turun tangan dalam mengendalikannya, Wijan akan merasa berjalan sendiri. Wijan masih membutuhkan Bapak.”

“Bapak tidak akan melepaskan kamu begitu saja. Bapak lihat kamu sudah banyak belajar dari apa yang harus kamu hadapi. Bapak akan mengawasinya.”

“Baiklah kalau begitu. Wijan akan kembali ke ruang Wijan, Pak.”

“Baiklah, panggilkan pak Rangga sekalian. Kamu kan melewati ruangannya.”

“Baik.”

Wijan mampir ke ruangan pak Rangga untuk menyampaikan pesan ayahnya, kemudian masuk kembali ke ruangannya sendiri.

Dilhatnya Nilam masih sibuk mengerjakan tugasnya. Ia mendongak sedikit ketika mendengar Wijan memasuki ruangan.

“Sudah selesai?” tanya Wijan.

“Hampir. Karenanya jangan diganggu,” kata Nilam tanpa menatap wajah kakaknya.

Wijan duduk di kursinya, memeriksa berkas yang belum sempat dilihatnya.

Sepuluhan menit kemudian Nilam sudah menyerahkan surat yang diketiknya ke hadapan kakaknya.

“Kamu tahu pak Usman kan?” tiba-tiba kata Wijan.

“Pak Usman yang punya perusahaan garmen itu kan? Kenapa dia?”

“Dia mau menikah.”

“Menikah? Yang benar saja.”

“Tadi dia menelpon bapak dan mengatakan itu. Calon istrinya masih gadis dan cantik, katanya.”

“Woww, bukan main. Tapi nggak aneh ah, pak Usman orang kaya, susah bagi gadis menolak cintanya.”

“Itu kalau si gadis memang suka hartanya.”

“Belum tentu juga. Cinta bisa datang kepada setiap orang.”

“Kamu sudah pintar bicara tentang cinta ya, rupanya kamu sudah pernah jatuh cinta, ya?” goda Wijan.

“Iih, sembarangan deh. Sudah, diperiksa dulu itu, pekerjaanku,” katanya sambil kembali ke meja kerjanya.

Tapi sebelum dia duduk, ponselnya berdering.

Nilam mengangkatnya, ternyata dari ibunya. Tumben Suri menelpon, padahal selama ini kalau tidak sangat penting dia tak pernah mengganggu waktu kerjanya.

“Ya Bu, ada apa?” tanya Nilam.

“Nilam, maaf ibu mengganggu. Nugi sakit.”

“Nugi sakit?”

“Sepulang dari sekolah dia langsung masuk ke kamar dan tidur. Ibu memegang dahinya, panas sekali. Sampai menggigil dia tuh.”

“Kalau begitu di bawa ke rumah sakit saja Bu.”

“Baiklah, ibu akan memanggil taksi. Ibu khawatir.”

“Jangan Bu, biar Nilam pulang dan mengantarkan Nugi ke rumah sakit.”

“Kamu kan sedang bekerja? Ibu hanya ingin memberi tahu saja.”

“Tidak, Nilam sudah selesai. Maksudnya tugas yang harus Nilam kerjakan sudah selesai. Tak apa-apa Nilam pulang. Tunggu ya Bu.”

Nilam meletakkan ponselnya, lalu meraih tas tangannya.

“Mas_”

“Nugi sakit?” Wijan memotongnya sebelum Nilam mengatakan sesuatu.

“Ya Mas, saya ijin pulang dulu ya, harus mengantarkan Nugi ke rumah sakit.”

“Tunggu dulu, biar pak Barno mengantarkan kamu.”

“Nanti aku naik taksi saja sesampai di rumah.”

“Jangan, kelamaan. Biar aku telpon pak Barno, kamu tunggu di depan. Maaf aku tidak  bisa mengantarkan. Ada tugas dari bapak.”

“Tidak apa-apa, biar aku saja,” kata Nilam sambil beranjak keluar. Sesampai di lobi, dilihatnya Barno sudah menunggu dengan mobilnya.

“Pulang sekarang Mbak?” tanya Barno ketika Nilam sudah masuk ke dalam mobil.

“Iya, tapi hanya menjemput ibu dan Nugi, lalu ke rumah sakit.”

“Mas Nugi sakit?”

“Iya, kata ibu badannya panas sepulang sekolah.”

Barno memacu mobilnya diantara keramaian lalu lintas di siang hari itu.

***

 Begitu memasuki rumah, Nilam segera berlari ke kamar Nugi. Dilihatnya sang ibu sedang mengompres dahi Nugi.

“Bagaimana keadaannya?”

“Sudah berkurang, tapi masih panas.”

“Nugi sudah makan?”

“Hanya beberapa sendok,” jawab Suri.

“Perutku sakit,” keluhnya.

“Kita ke rumah sakit sekarang Bu, pak Barno sudah menunggu,” kata Nilam sambil memegangi kepala adiknya.

“Aku tidak mau ke dokter,” rengek Nugi.

“Nugi, kamu sakit. Dokter akan memberi kamu obat, supaya kamu sembuh.”

“Nggak mau, aku pasti disuntik.”

“Nugi, jangan rewel dong Nug, dokter tidak selalu menyuntik pasien. Lagipula apakah disuntik itu sakit?” kata sang ibu.

“Sakit dong Bu, Nugi pernah sama Ibu ke Puskesmas, lalu disuntik.”

“Sakit sedikiiit, seperti digigit semut kan? Tapi nanti belum tentu kamu disuntik. Anak baik, anak pintar, ayo dong.” bujuk Nilam sambil berusaha membangunkan Nugi.

“Ayo sayang, kamu pengin sembuh nggak? Kalau pengin sembuh, harus nurut. Bukankah kalau sakit kamu tidak bisa masuk sekolah? Tidak bisa ketemu teman-teman kamu, tidak bisa bermain?” kata sang ibu sambil memasangkan sandal di kaki Nugi.

“Ayo, turun dan ganti baju sebentar, masa ke dokter masih memakai seragam sekolah,” kata Nilam sambil mengambilkan baju Nugi lalu mengenakannya setelah semua baju sekolah dilepas.

“Bilang sama dokter, aku nggak mau disuntik,” Nugi masih merengek.

“Iya, nanti mbak Nilam bilang.”

“Jangan bohong ya,” rengeknya lagi sambil berjalan tertatih digandeng ibu dan kakaknya.

Mereka segera masuk ke dalam mobil dan Barno segera menjalankannya.

“Ke rumah sakit ya Mbak.”

“Iya Pak.”

“Mas Nugi sakit apa?” tanya Barno kepada Nugi.

“Panas. Tapi Nugi nggak mau disuntik.”

Barno tertawa.

“Anak laki-laki harus kuat. Tidak boleh takut apapun,” kata Barno.

“Tuh, kan. Anak laki-laki harus kuat. Masa hanya sama jarum kecil saja takut?” kata Suri sambil merangkul kepala Nugi.

“Iya, jarumnya kecil, tapi kan ditusuk di sini.”

“Bukankah anak laki-laki harus kuat, tidak boleh mengeluh? Apa lagi menangis. Malu dong.”

Nugi diam. Sebagai laki-laki dia harus kuat. Itu dirasakannya benar. Tapi membayangkan jarum runcing yang menusuk tubuhnya, lagi-lagi Nugi merasa takut. Ia merangkul tubuh ibunya erat, dan sang ibu memijit-mijit kepalanya lembut.

“Enak dipijit begitu, barangkali tidak usah ke dokter, dipijit ibu saja bisa sembuh,” rengek Nugi lagi.

“Eeeh, memangnya tangan ibu ini obat?”

“Ini dipijit enakan.”

Barno memarkir mobilnya di halaman rumah sakit, lalu Suri memapah Nugi menuju ruang UGD.

Hanya seorang yang boleh masuk, jadi Nilam menunggu di luar. Ibunyalah yang menggandeng Nugi masuk.

Nilam duduk di kursi tunggu dengan perasaan khawatir. Nugi anak yang kuat. Dia jarang sekali sakit, karena sang ibu selalu menjaganya dengan makanan sehat. Tapi tak urung saat penyakit itu datang, maka tak ada yang bisa menolaknya. Ia hanya berharap, Nugi segera sembuh. Nugi, kesayangan ibu dan kakaknya, adalah anak manis dan penurut. Ia juga disayangi oleh semua karyawan warung ibunya. Bahkan Raharjo dan Wijan juga menyayanginya.

Nugi juga pintar. Sang ibu memasukkan Nugi ke sekolah terbaik dikotanya.

Nilam tiba-tiba teringat kakak kandungnya yang sudah meninggal sesaat setelah melahirkan Nugi. Kesehatannya yang buruk, ditambah perdarahan yang parah, membuat dokter tak bisa menyelamatkannya. Bahkan Nugi terlahir sangat kurus dan menyedihkan.

Nilam mengusap setitik air matanya. Betapapun buruk sang kakak, tapi darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah yang sama. Cinta dan sayang itu masih ada, dan rasa kehilangan itu juga masih mendera.

“Aku akan menjaga Nugi dengan sepenuh jiwaku, Mbak. Mbak harus tenang di sana ya. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa Mbak,” Nilam mengusap lagi air matanya yang kali ini lebih deras mengalir. Tak ada yang mengherankan ketika melihat seseorang menangis, karena di rumah sakit pasti banyak orang terlihat sedih. Sedih karena penyakit keluarganya, sedih karena kehilangan.

Tiba-tiba Nilam terkejut ketika seseorang memanggilnya.

“Kamu Nilam kan? Ada apa?”

Nilam mengangkat kepalanya, mengusap air matanya. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya. Nilam mencoba tersenyum. Ia tentu saja mengenalnya, karena laki-laki itu sering mengunjungi ayahnya di kantor.

“Pak Usman?”

Pak Usman tersenyum lebar.

“Iya, aku. Kenapa kamu menangis? Siapa yang sakit?”

“Adik saya.”

“Sakit apa?”

“Belum tahu. Ibu yang mengantarkannya ke dalam.”

“Oh, begitu. Kamu nggak usah sedih. Dokter akan merawat semua pasiennya dengan baik. Adik kamu pasti sembuh.”

“Aamiin. Terima kasih Pak. Bapak ngapain di sini?”

“Mau menjemput calon istri.”

Nilam terkejut. Baru tadi Wijan membicarakan tentang pak Usman yang akan menikah. Tentang calon istri itu tidak mengejutkannya. Yang membuatnya terkejut ialah karena dia sakit. Atau keluarganyakah yang sakit?

“Sakit apa?”

“Bukan dia yang sakit, tapi ayahnya. Sudah lama keluar masuk rumah sakit. Jantungnya bermasalah.”

“Adduh, pasti berat. Ikut prihatin ya Pak.”

“Terima kasih Nilam,” kata pak Usman sambil berlalu.

Sebenarnya Nilam ingin sekali melihat, seperti apa calon istri pak Usman itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya sang ibu keluar dari ruang UGD, sendirian. Apa yang terjadi dengan Nugi?

Nilam berdiri dan bergegas mendekati sang ibu.

“Nugi harus dirawat.”

“Memangnya Nugi sakit apa? Beratkah?” tanya Nilam khawatir.

“Gejala tipes, baru akan diperiksa lebih lanjut.”

“Ya ampun, pasti anak itu makan sembarangan,” keluh Nilam.

“Ya sudah, jangan diomeli lagi. Anak lagi sakit,” tegur Suri.

Nugi dibawa ke ruang rawat. Ingin menolak tapi Suri terus membujuknya dengan lembut.

“Apakah nanti disuntik?”

“Nugi, kamu kuat, ganteng, hebat. Jangan takut apapun,” bujuk Suri.

Tapi bukan hanya disuntik, Nugi justru ditusuk jarum untuk dipasang infus. Untunglah dengan rayuan dari ibu dan kakaknya, Nugi mau menerimanya dan tidak berteriak ataupun menangis.

Nilam mencium pipinya.

“Anak pintar, anak kuat. Tidak sakit kan?”

“Sakit.” kata Nugi sambil merengut.

Nilam tertawa.

“Sedikit, kamu akan sembuh.”

“Jangan lama-lama, aku mau pulang.”

“Nanti kalau kamu sudah dinyatakan sembuh, baru boleh pulang.”

“Aku nggak mau tidur di sini.”

“Kamu tidak akan sendiri. Ibu akan menemani kamu di sini,” kata ibunya.

“Gantian sama mbak Nilam,” sambung Nilam.

Nugi diam saja. Barangkali lelah mengeluh, dan badannya masih panas.”

“Perut kamu sakit?”

“Masih … kadang-kadang sakit.”

“Ya sudah, nanti juga sembuh. Tidurlah. Ibu sama mbak Nilam ada di sini.”

Nugi memejamkan matanya. Nilam menatapnya terharu.

Tiba-tiba ponsel Nilam berdering. Wijan menelponnya.

“Bagaimana keadaan Nugi? Bapak juga menanyakannya.”

“Harus dirawat. Ini sudah di kamar rawat. Gejala tipes.”

“Nanti sepulang kantor aku ke sana bersama bapak.”

“Baiklah. Terima kasih Mas.”

Tak lama setelah itu, perawat memberikan resep untuk Nugi. Perawat bilang, obatnya harus dibeli di luar karena rumah sakit kehabisan.

“Baiklah suster, akan saya belikan sekarang.”

Nilam segera mengambil tasnya.

”Nilam, bawa uang ibu."

“Nilam sudah membawa uang Bu, jangan khawatir.”

“Kalau kurang beritahu ibu ya.”

“Baik. Nugi, mbak pergi dulu ya, beli obat untuk Nugi,” katanya sambil mencium pipi adiknya.

“Ibu di sini kan?”

“Iya, kamu tidak akan sendirian,” kata Suri sambil mendekat.

Nilam keluar dari ruangan, sambil menelpon Barno agar bersiap di lobi. Ia harus buru-buru, agar obat yang dibeli bisa segera diminumkan.

Nilam hampir sampai di lobi, ketika ia melihat sesuatu terjatuh di depannya. Ia memungutnya, ada sesuatu di dalamnya. Seperti butiran-butiran kecil ketika ia meremasnya. Nilam menoleh kekiri dan kekanan, tak tampak ada orang kehilangan. Nilam membuka kantong itu dan menemukan sebuah gelang mote berwarna hitam. Mata Nilam terbelalak. Apakah Jatmiko ada di sini? Tapi warna kantungnya berbeda dengan yang dilihatnya waktu itu. Nilam masih memegangi kantung itu dan kembali menoleh ke kiri dan ke kanan.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...