Friday, January 26, 2024

ADA CINTA DIBALIK RASA 05

 ADA CINTA DIBALIK RASA  05

(Tien Kumalasari)

 

Wijan tersenyum-senyum sendiri, membayangkan laki-laki setua ayahnya akan menikah dengan seorang gadis. Tapi apakah itu aneh? Bisa jadi gadis itu juga sudah berumur, dan mereka adalah pasangan sepadan. Mengapa tidak?

“Kenapa kamu senyum-senyum, Wijan?”

“Kalau pak Usman bisa mendapatkan gadis cantik, apakah Bapak tidak ingin? Bapak lebih gagah dari pak Usman,” canda Wijan, takut-takut.

“Hushh! Kamu ada-ada saja. Bapak sudah menikah ke dua kalinya dan gagal, masa mau mencoba lagi? Tidak Wijan, sekarang saatnya kamu dan Nilam.”

“Maksudnya … saat apa Pak?”

“Menikah dong Jan, kamu itu benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”

Wijan tertawa pelan. Menikah? Dia belum memikirkannya.

Satu per satu gadis yang dikenalnya melintas, tapi belum ada yang bisa menarik hatinya.

“Kamu sudah punya pacar?”

“Belum Pak, kan Wijan lebih sering di rumah setelah bekerja?”

“Segera cari pacar, yang baik, yang seiman, yang bukan hanya cantik wajahnya tapi juga cantik hatinya.”

“Doakan ya Pak. Ini kok jadi bicara soal jodoh sih Pak.”

“Kamu yang memulai kan?”

“Pak Usman yang memulai,” kata Wijan sambil tertawa.

“Ada-ada saja. Baiklah, usulmu tentang kerja sama dengan pihak lain itu bagus. Tapi aku belum memikirkannya sejauh itu. Harus ada perhitungan yang matang, apakah itu akan menguntungkan kita, atau merugikan kita. Apakah itu akan menguntungkan  kedua belah pihak, atau merugikannya.”

“Iya, Wijan tahu. Akan Wijan pelajari dulu semua kemungkinan itu.”

“Bagus. Kamu sudah mulai bisa mengerti tentang usaha ini. Barangkali sebentar lagi bapak akan beristirahat, dan kamu yang akan mengendalikan semuanya.”

“Jangan dulu Pak, Wijan masih membutuhkan Bapak. Kalau Bapak tidak ikut turun tangan dalam mengendalikannya, Wijan akan merasa berjalan sendiri. Wijan masih membutuhkan Bapak.”

“Bapak tidak akan melepaskan kamu begitu saja. Bapak lihat kamu sudah banyak belajar dari apa yang harus kamu hadapi. Bapak akan mengawasinya.”

“Baiklah kalau begitu. Wijan akan kembali ke ruang Wijan, Pak.”

“Baiklah, panggilkan pak Rangga sekalian. Kamu kan melewati ruangannya.”

“Baik.”

Wijan mampir ke ruangan pak Rangga untuk menyampaikan pesan ayahnya, kemudian masuk kembali ke ruangannya sendiri.

Dilhatnya Nilam masih sibuk mengerjakan tugasnya. Ia mendongak sedikit ketika mendengar Wijan memasuki ruangan.

“Sudah selesai?” tanya Wijan.

“Hampir. Karenanya jangan diganggu,” kata Nilam tanpa menatap wajah kakaknya.

Wijan duduk di kursinya, memeriksa berkas yang belum sempat dilihatnya.

Sepuluhan menit kemudian Nilam sudah menyerahkan surat yang diketiknya ke hadapan kakaknya.

“Kamu tahu pak Usman kan?” tiba-tiba kata Wijan.

“Pak Usman yang punya perusahaan garmen itu kan? Kenapa dia?”

“Dia mau menikah.”

“Menikah? Yang benar saja.”

“Tadi dia menelpon bapak dan mengatakan itu. Calon istrinya masih gadis dan cantik, katanya.”

“Woww, bukan main. Tapi nggak aneh ah, pak Usman orang kaya, susah bagi gadis menolak cintanya.”

“Itu kalau si gadis memang suka hartanya.”

“Belum tentu juga. Cinta bisa datang kepada setiap orang.”

“Kamu sudah pintar bicara tentang cinta ya, rupanya kamu sudah pernah jatuh cinta, ya?” goda Wijan.

“Iih, sembarangan deh. Sudah, diperiksa dulu itu, pekerjaanku,” katanya sambil kembali ke meja kerjanya.

Tapi sebelum dia duduk, ponselnya berdering.

Nilam mengangkatnya, ternyata dari ibunya. Tumben Suri menelpon, padahal selama ini kalau tidak sangat penting dia tak pernah mengganggu waktu kerjanya.

“Ya Bu, ada apa?” tanya Nilam.

“Nilam, maaf ibu mengganggu. Nugi sakit.”

“Nugi sakit?”

“Sepulang dari sekolah dia langsung masuk ke kamar dan tidur. Ibu memegang dahinya, panas sekali. Sampai menggigil dia tuh.”

“Kalau begitu di bawa ke rumah sakit saja Bu.”

“Baiklah, ibu akan memanggil taksi. Ibu khawatir.”

“Jangan Bu, biar Nilam pulang dan mengantarkan Nugi ke rumah sakit.”

“Kamu kan sedang bekerja? Ibu hanya ingin memberi tahu saja.”

“Tidak, Nilam sudah selesai. Maksudnya tugas yang harus Nilam kerjakan sudah selesai. Tak apa-apa Nilam pulang. Tunggu ya Bu.”

Nilam meletakkan ponselnya, lalu meraih tas tangannya.

“Mas_”

“Nugi sakit?” Wijan memotongnya sebelum Nilam mengatakan sesuatu.

“Ya Mas, saya ijin pulang dulu ya, harus mengantarkan Nugi ke rumah sakit.”

“Tunggu dulu, biar pak Barno mengantarkan kamu.”

“Nanti aku naik taksi saja sesampai di rumah.”

“Jangan, kelamaan. Biar aku telpon pak Barno, kamu tunggu di depan. Maaf aku tidak  bisa mengantarkan. Ada tugas dari bapak.”

“Tidak apa-apa, biar aku saja,” kata Nilam sambil beranjak keluar. Sesampai di lobi, dilihatnya Barno sudah menunggu dengan mobilnya.

“Pulang sekarang Mbak?” tanya Barno ketika Nilam sudah masuk ke dalam mobil.

“Iya, tapi hanya menjemput ibu dan Nugi, lalu ke rumah sakit.”

“Mas Nugi sakit?”

“Iya, kata ibu badannya panas sepulang sekolah.”

Barno memacu mobilnya diantara keramaian lalu lintas di siang hari itu.

***

 Begitu memasuki rumah, Nilam segera berlari ke kamar Nugi. Dilihatnya sang ibu sedang mengompres dahi Nugi.

“Bagaimana keadaannya?”

“Sudah berkurang, tapi masih panas.”

“Nugi sudah makan?”

“Hanya beberapa sendok,” jawab Suri.

“Perutku sakit,” keluhnya.

“Kita ke rumah sakit sekarang Bu, pak Barno sudah menunggu,” kata Nilam sambil memegangi kepala adiknya.

“Aku tidak mau ke dokter,” rengek Nugi.

“Nugi, kamu sakit. Dokter akan memberi kamu obat, supaya kamu sembuh.”

“Nggak mau, aku pasti disuntik.”

“Nugi, jangan rewel dong Nug, dokter tidak selalu menyuntik pasien. Lagipula apakah disuntik itu sakit?” kata sang ibu.

“Sakit dong Bu, Nugi pernah sama Ibu ke Puskesmas, lalu disuntik.”

“Sakit sedikiiit, seperti digigit semut kan? Tapi nanti belum tentu kamu disuntik. Anak baik, anak pintar, ayo dong.” bujuk Nilam sambil berusaha membangunkan Nugi.

“Ayo sayang, kamu pengin sembuh nggak? Kalau pengin sembuh, harus nurut. Bukankah kalau sakit kamu tidak bisa masuk sekolah? Tidak bisa ketemu teman-teman kamu, tidak bisa bermain?” kata sang ibu sambil memasangkan sandal di kaki Nugi.

“Ayo, turun dan ganti baju sebentar, masa ke dokter masih memakai seragam sekolah,” kata Nilam sambil mengambilkan baju Nugi lalu mengenakannya setelah semua baju sekolah dilepas.

“Bilang sama dokter, aku nggak mau disuntik,” Nugi masih merengek.

“Iya, nanti mbak Nilam bilang.”

“Jangan bohong ya,” rengeknya lagi sambil berjalan tertatih digandeng ibu dan kakaknya.

Mereka segera masuk ke dalam mobil dan Barno segera menjalankannya.

“Ke rumah sakit ya Mbak.”

“Iya Pak.”

“Mas Nugi sakit apa?” tanya Barno kepada Nugi.

“Panas. Tapi Nugi nggak mau disuntik.”

Barno tertawa.

“Anak laki-laki harus kuat. Tidak boleh takut apapun,” kata Barno.

“Tuh, kan. Anak laki-laki harus kuat. Masa hanya sama jarum kecil saja takut?” kata Suri sambil merangkul kepala Nugi.

“Iya, jarumnya kecil, tapi kan ditusuk di sini.”

“Bukankah anak laki-laki harus kuat, tidak boleh mengeluh? Apa lagi menangis. Malu dong.”

Nugi diam. Sebagai laki-laki dia harus kuat. Itu dirasakannya benar. Tapi membayangkan jarum runcing yang menusuk tubuhnya, lagi-lagi Nugi merasa takut. Ia merangkul tubuh ibunya erat, dan sang ibu memijit-mijit kepalanya lembut.

“Enak dipijit begitu, barangkali tidak usah ke dokter, dipijit ibu saja bisa sembuh,” rengek Nugi lagi.

“Eeeh, memangnya tangan ibu ini obat?”

“Ini dipijit enakan.”

Barno memarkir mobilnya di halaman rumah sakit, lalu Suri memapah Nugi menuju ruang UGD.

Hanya seorang yang boleh masuk, jadi Nilam menunggu di luar. Ibunyalah yang menggandeng Nugi masuk.

Nilam duduk di kursi tunggu dengan perasaan khawatir. Nugi anak yang kuat. Dia jarang sekali sakit, karena sang ibu selalu menjaganya dengan makanan sehat. Tapi tak urung saat penyakit itu datang, maka tak ada yang bisa menolaknya. Ia hanya berharap, Nugi segera sembuh. Nugi, kesayangan ibu dan kakaknya, adalah anak manis dan penurut. Ia juga disayangi oleh semua karyawan warung ibunya. Bahkan Raharjo dan Wijan juga menyayanginya.

Nugi juga pintar. Sang ibu memasukkan Nugi ke sekolah terbaik dikotanya.

Nilam tiba-tiba teringat kakak kandungnya yang sudah meninggal sesaat setelah melahirkan Nugi. Kesehatannya yang buruk, ditambah perdarahan yang parah, membuat dokter tak bisa menyelamatkannya. Bahkan Nugi terlahir sangat kurus dan menyedihkan.

Nilam mengusap setitik air matanya. Betapapun buruk sang kakak, tapi darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah yang sama. Cinta dan sayang itu masih ada, dan rasa kehilangan itu juga masih mendera.

“Aku akan menjaga Nugi dengan sepenuh jiwaku, Mbak. Mbak harus tenang di sana ya. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa Mbak,” Nilam mengusap lagi air matanya yang kali ini lebih deras mengalir. Tak ada yang mengherankan ketika melihat seseorang menangis, karena di rumah sakit pasti banyak orang terlihat sedih. Sedih karena penyakit keluarganya, sedih karena kehilangan.

Tiba-tiba Nilam terkejut ketika seseorang memanggilnya.

“Kamu Nilam kan? Ada apa?”

Nilam mengangkat kepalanya, mengusap air matanya. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya. Nilam mencoba tersenyum. Ia tentu saja mengenalnya, karena laki-laki itu sering mengunjungi ayahnya di kantor.

“Pak Usman?”

Pak Usman tersenyum lebar.

“Iya, aku. Kenapa kamu menangis? Siapa yang sakit?”

“Adik saya.”

“Sakit apa?”

“Belum tahu. Ibu yang mengantarkannya ke dalam.”

“Oh, begitu. Kamu nggak usah sedih. Dokter akan merawat semua pasiennya dengan baik. Adik kamu pasti sembuh.”

“Aamiin. Terima kasih Pak. Bapak ngapain di sini?”

“Mau menjemput calon istri.”

Nilam terkejut. Baru tadi Wijan membicarakan tentang pak Usman yang akan menikah. Tentang calon istri itu tidak mengejutkannya. Yang membuatnya terkejut ialah karena dia sakit. Atau keluarganyakah yang sakit?

“Sakit apa?”

“Bukan dia yang sakit, tapi ayahnya. Sudah lama keluar masuk rumah sakit. Jantungnya bermasalah.”

“Adduh, pasti berat. Ikut prihatin ya Pak.”

“Terima kasih Nilam,” kata pak Usman sambil berlalu.

Sebenarnya Nilam ingin sekali melihat, seperti apa calon istri pak Usman itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya sang ibu keluar dari ruang UGD, sendirian. Apa yang terjadi dengan Nugi?

Nilam berdiri dan bergegas mendekati sang ibu.

“Nugi harus dirawat.”

“Memangnya Nugi sakit apa? Beratkah?” tanya Nilam khawatir.

“Gejala tipes, baru akan diperiksa lebih lanjut.”

“Ya ampun, pasti anak itu makan sembarangan,” keluh Nilam.

“Ya sudah, jangan diomeli lagi. Anak lagi sakit,” tegur Suri.

Nugi dibawa ke ruang rawat. Ingin menolak tapi Suri terus membujuknya dengan lembut.

“Apakah nanti disuntik?”

“Nugi, kamu kuat, ganteng, hebat. Jangan takut apapun,” bujuk Suri.

Tapi bukan hanya disuntik, Nugi justru ditusuk jarum untuk dipasang infus. Untunglah dengan rayuan dari ibu dan kakaknya, Nugi mau menerimanya dan tidak berteriak ataupun menangis.

Nilam mencium pipinya.

“Anak pintar, anak kuat. Tidak sakit kan?”

“Sakit.” kata Nugi sambil merengut.

Nilam tertawa.

“Sedikit, kamu akan sembuh.”

“Jangan lama-lama, aku mau pulang.”

“Nanti kalau kamu sudah dinyatakan sembuh, baru boleh pulang.”

“Aku nggak mau tidur di sini.”

“Kamu tidak akan sendiri. Ibu akan menemani kamu di sini,” kata ibunya.

“Gantian sama mbak Nilam,” sambung Nilam.

Nugi diam saja. Barangkali lelah mengeluh, dan badannya masih panas.”

“Perut kamu sakit?”

“Masih … kadang-kadang sakit.”

“Ya sudah, nanti juga sembuh. Tidurlah. Ibu sama mbak Nilam ada di sini.”

Nugi memejamkan matanya. Nilam menatapnya terharu.

Tiba-tiba ponsel Nilam berdering. Wijan menelponnya.

“Bagaimana keadaan Nugi? Bapak juga menanyakannya.”

“Harus dirawat. Ini sudah di kamar rawat. Gejala tipes.”

“Nanti sepulang kantor aku ke sana bersama bapak.”

“Baiklah. Terima kasih Mas.”

Tak lama setelah itu, perawat memberikan resep untuk Nugi. Perawat bilang, obatnya harus dibeli di luar karena rumah sakit kehabisan.

“Baiklah suster, akan saya belikan sekarang.”

Nilam segera mengambil tasnya.

”Nilam, bawa uang ibu."

“Nilam sudah membawa uang Bu, jangan khawatir.”

“Kalau kurang beritahu ibu ya.”

“Baik. Nugi, mbak pergi dulu ya, beli obat untuk Nugi,” katanya sambil mencium pipi adiknya.

“Ibu di sini kan?”

“Iya, kamu tidak akan sendirian,” kata Suri sambil mendekat.

Nilam keluar dari ruangan, sambil menelpon Barno agar bersiap di lobi. Ia harus buru-buru, agar obat yang dibeli bisa segera diminumkan.

Nilam hampir sampai di lobi, ketika ia melihat sesuatu terjatuh di depannya. Ia memungutnya, ada sesuatu di dalamnya. Seperti butiran-butiran kecil ketika ia meremasnya. Nilam menoleh kekiri dan kekanan, tak tampak ada orang kehilangan. Nilam membuka kantong itu dan menemukan sebuah gelang mote berwarna hitam. Mata Nilam terbelalak. Apakah Jatmiko ada di sini? Tapi warna kantungnya berbeda dengan yang dilihatnya waktu itu. Nilam masih memegangi kantung itu dan kembali menoleh ke kiri dan ke kanan.

***

Besok lagi ya.

 

68 comments:

  1. 🌹🌾🌷πŸͺΈπŸ’žπŸͺΈπŸŒ·πŸŒΎπŸŒΉ

    Alhamdulillah.....
    ACeDeeR_05 sudah hadir.... Matur nuwun bu Tien....
    Hari ini Nilam ketemu pa Usman dan juga nemu 'gelang mote warna hitam' di rumah sakit....... tapi kantong / bungkusnya beda, berarti bukan punya Jatmiko...... Punya siapa gerangan ??????

    🌹🌾🌷πŸͺΈπŸ’žπŸͺΈπŸŒ·πŸŒΎπŸŒΉ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 mas Kakek.
      Punyaku barangkali

      Delete
    2. Pasti punya Anjani krn ada di RS sdg nungguin ayahnya...Salam sehat selalu Bu Tien πŸ™πŸ™

      Delete
  2. πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️
    Alhamdulillah πŸ™πŸŒΉ
    ACeDeEr_05 sdh hadir.
    Matur nuwun nggih...
    Semoga Bu Tien &
    keluarga sehat dan
    bahagia slalu. Aamiin.
    Salam hangat & aduhai.
    πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️πŸ„πŸ΅️

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang

    ReplyDelete
  4. Sugeng ndalu Bunda Tien..

    Hamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..05 telah tayang.
    Matur Nuwun

    Salam sehat penuh semangat Bunda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 pak Munthoni
      Salam sehat dan hangat dari Sala

      Delete
  5. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Ada Cinta Dibalik Rasa 05 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ACeDeR 5 tayang
    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku

    Salam sayang dari Jogja

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Maturnuwun sangetπŸŒΉπŸŒΉπŸŒΉπŸ™

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat bersama keluarga tercinta

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~05 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari

    ReplyDelete
  13. Jgn jgn gelangnya Anjani...mksh mb Tien ACDR 05 sdh tayang..slm seroja dan aduhai selalu ..utk mb Tien d pctk..

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah , terima kasih bunda Tien , semoga sehat walafiat πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  15. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 ibu Endah

    ReplyDelete
  16. Gelang Anjani...gelang penghubung ke masa lalu...akankah cepat mempertemukannya dengan Jatmiko? Sabar menanti besok lagi...πŸ˜€

    Terima kasih, bu Tien. Salam sehat.πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  17. Rupanya Nilam menemukan gelang mote milik Anjani. Mengapa bisa jatuh ya... apa tadi 'bentrok' dengan 'nak Usman' atau ada kejadian lain...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat...aamiin...

    ReplyDelete
  19. Jadi tambah penasaran ,gimana ya selanjutnya.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat, semoga selalu sehat dan tetap aduhai

    ReplyDelete
  20. Terima kasih bu Tien ... ACDR 05 sdh tayang dan sdh dibaca ... tambah asiik ceritanya ...
    Smg bu Tien & kelrg sll happy n sehat wal'afiat
    ... Salam Aduhai ...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah.... terimakasih bunda... semoga sehat selalu. .Aamiin

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    ACDR 05 sdh hadir
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra

    ReplyDelete
  23. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 pak Arif

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah...
    Maturnuwun mbak Tien...
    Sugeng Dalu, mugiya mbak dalah keluarga tansah pinaringan sehat wal afiat...
    Aamiin Yaa Rabb...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Sami2 mas Suprawoto Sutedjo

      Delete
  25. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 ibu Ting

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah ACeDeeR 05 sdh teyeng. Matursuwun Bu Tien, semoga Bu Tien sehat selalu. Aamiin 🀲

    ReplyDelete
  27. Jangan² punya saya gelang itu, yang saya beli pas di CFD Solo kapan hari itu bunda Tien..hihihi 😍😍

    Matur nuwun bunda Tien..πŸ™
    Semoga bunda Tien sehat selalu..🀲🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Sami2 ibu Padma Sari
      Haa.. barangkali benarπŸ˜…

      Delete
  28. Kalau bukan punya Jatmiko pasti punya Anjani. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  29. Sami2 ibu Komariyah
    Salam sehat dan aduhai deh

    ReplyDelete
  30. Juragan Rahardjo dan Wijan ikutan nengok Nugi ke RS.
    Ada kesempatan bicara dan kenalan sama Anjani nich, mengembalikan sekalian gelang monte punya Anjani, hah bener sebaya sama Nilam rupanya.
    Anjani bisa curhat nih sama Nilam, ternyata dibalik ngegombalan nya Usman ada keterpaksaan Anjani.
    Kan Usman memang juragan gombal..kan?!
    Tapi ya nggak baek kalau , ada penekanan dan penekiri tΓ₯.
    Itu yang jadi ada sedikit semangat ternyata teman baru Nilam, bersemangat untuk bersahabat, ada cerita monthe yang mirip punya jatmika, jangan-jangan ini pacar Jatmiko, jadi bisa lebih berkurang beban pikiran Anjani, punya temen seumuran.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Ada cinta dibalik rasa yang kelima sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
    πŸ™

    ReplyDelete
  31. Gelang milik Anjani terjatuh kok bisa? Apakah Pak Usman berbuat kasar ke Jani?
    Terimakasih.. Bu Tien semoga sehat selalu lahir batin spritual. Aamiin

    ReplyDelete
  32. Matur nuwun Bu Tien,
    Sehat2 selalu buat Ibu & keluarga πŸ™πŸ™πŸŒΉπŸ’“

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...