Monday, May 31, 2021

MENGAIAS CINTA YANG TERSERAK 14

 MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  14

(Tien Kumalasari)

 

“Suniii…” Suni terkejut karena panggilan itu begitu keras. Ia keluar dari kamarnya dan melihat sang tuan berdiri sambil berkacak pinggang.

“Ambilkan kopor kecil didalam gudang, bersihkan dan masukkan barang-barang ini,” katanya tanpa nada manis sedikitpun.

Suni melakuksn apa yang dikatakan sang tuan. Ia melangkah ke arah gudang yang letaknya disebelah dapur. Ia melongok-longok mencari kopor kecil, lalu ia melihat bahwa kopor kecil itu terletak diatas almari. Suni keluar untuk mengambil kursi, supaya bisa mengambil kopor itu.

“Suniiii !!”

“Ya pak.. sebentar, baru mau diambil,” jawab Suni sambil naik keatas kursi.

“Kelamaan banget sih !” omelnya sambil melongok kearah gudang.

“Ini pak, letaknya diatas almari itu. Saya harus naik ke atas kursi,” katanya sambil menarik kopor yang dimaksud.  Tapi Suni salah meletakkan kursinya. Sebelah kaki kursi terletak diatas tumpukan karpet sehingga membuatnya tidak seimbang, jadi ketika Suni turun sambil membawa kopor itu, kursi tersebut jatuh miring, dan tentu saja membawa tubuh Suni yang masih berdiri sambil membawa kopor itu.

Gubragg !

“Anto kembali melongok kedalam gudang,  bukannya membantu Suni bangun, dia menarik kopor yang tertindih tubuhnya begitu saja.

“Auuww “ pekiknya.

“Bodoh !!”

Lalu Anto berlalu sambil membawa kopor, meninggalkan Suni yang mengaduh karena pinggangnya terantuk tumpukan kardus.

“Adduh…” rintihnya sambil berusaha bangun.

Suni berdiri sambil mengelus pinggangnya.

“Orang gila !!” desisnya perlahan.

Suni membawa kursinya keluar dari gudang sambil memegang pinggangnya yang terasa nyeri.

“Sabun sama pasta gigi ! Ambilkan !!” teriak Anto lagi begitu melihat Suni muncul di dapur.

Suni melangkah menuju almari tempat menyimpan stok sabun lalu mengambil sepotong sabun mandi, sebuah sikat gigi dan pastanya sekalian. Tertatih Suni menyerahkan barang-barang itu dan menyerahkannya pada sang tuan.

“Masukkan sekalian !”

Suni memasukkannya kedalam kopor, tapi dia tak melihat handuk didalamnya.

“Pak, handuknya belum?”

“Ya ambilkan! Yang pembantu itu kamu, bukan aku,” hardiknya.

Suni menghela nafas kesal.

“Dia memang bukan manusia,” bisiknya dalam hati.

Ia mengambil selembar handuk dari dalam almari, lalu memasukkannya ke dalam kopor, sebelum serigala kelaparan itu menghardiknya lagi. Ia juga sekalian menutupnya. Tapi ketika mau menyerahkan kopor itu, ponsel Anto berdering.

“Ya sayangku… iya.. benar.. ah… nggak bisa kayaknya.. aku kan harus ke rumah sakit.. Ini.. isteriku minta dikirim baju ganti.. benar.. ah.. kamu sukanya menggoda ya. Besok kan masih ada waktu. Sabar lah, iya.. iya.. ini mau kerumah sakit sekarang.. aduuh… malam-malam jangan menggoda ya. Okey..O iya lah, mobil itu aku ingat, katanya besok mau dikirim. Kamu tenang saja, sudah ya,..mmuaachh.”

Suni kan tidak tuli, jarak sang tuan ketika menelpon hanya terhalang pintu. Telinganya mendengar dengan jelas isi percakapan itu. Ingin dia mengangkat gagang sapu yang ada dibalik pintu untuk di pukulkannya ke wajah tampan yang berhati busuk itu.

Suni meninggalkan kopor yang sudah ditutup itu ditempatnya, lalu dia bergegas pergi ke belakang.

“Suniiii…” serigala itu menggeram lagi. Suni keluar dari kamar.

“Ya pak.”

‘Bawa kopornya kedepan… “ hardiknya tanpa belas.

Suni tak menjawab. Ia langsung menarik kopornya kedepan, dan memasukkannya kedalam mobil begitu Anto membukanya.

Tanpa mengucapkan apapun, Anto membalikkan mobilnya dan keluar dari halaman. Suni merasa lega setelah rasa gerah menderanya sejak kedatangan sang tuan.

“Memang dia bukan manusia,” gumamnya sambil mengelus pinggangnya yang terasa nyeri, kemudian mengunci pintu rumah dan masuk. Ia menuju ke almari obat, mencari minyak gosok, lalu mengulaskannya di pinggangnya yang terasa nyeri.

“Aduuh, ternyata sampai biru begini,” keluh Suni sambil menggosok luka memarnya, dan tentu saja sambil menahan sakit.

Tapi dalam mengelus luka memarnya itu, kembali terngiang suara sang tuan ketika bertelpon sebelum pergi.

“Sudah semakin jelas, pak Anto itu suami yang nggak beres.  Heran aku, bu Yessy kok ya tidak merasa bahwa suaminya main perempuan diluaran. Masih dibelikan mobil pula. Dan tadi orang yang menelpon itu juga menanyakannya. Aduuh bu, dalam saat ibu prihatin ketika bapaknya sakit, suami ibu tega ada main dibelakang ibu. Apa aku harus mengatakannya ya. Tapi nanti bu Yessy bertambah sedih. Kan bapaknya lagi sakit, dan tampaknya parah. Rasanya kok nggak tahan aku mendengar celotehnya saat bertelpon,” gumam Suni sambil membaringkan tubuhnya.

***

“Mas, sini mas,” sapa Yessy ketika melihat suaminya memasuki ruangan.

“Bagaimana keadaan bapak?” tanyanya sambil menampakkan wajah memelas.

“Ya itulah mas, belum bisa bergerak dan berbicara,” kata Yessy sedih.

Anto merengkuh bahu isterinya dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Sabar ya, bapak akan segera sembuh,” bisiknya ditelinga sang isteri.

Yessy menitikkan air mata, berterimakasih karena suaminya memperhatikannya.

“Terimakasih ya mas,”

“Tidak usah berterimakasih,  itu kan sudah menjadi kewajibanku,” katanya sambil mengelus kepala isterinya.

“Mas sudah bawakan pesananku? Aku ingin mandi, badanku lengket, seharian tidak mandi."

“Sudah, semuanya ada didalam kopor itu.”

“Kalau begitu mas tunggu dulu disini, aku mau mandi.”

“Baiklah. Bapak sudah tidur ?”

“Tampaknya tidur, biarkan saja dulu,” kata Yessy sambil membuka kopor, mengambil handuk dan perlengkapan mandinya, serta baju ganti yang dibawanya semua ke kamar mandi.

Anto masih duduk di sofa tunggu. Sebenarnya ia tak berani menjenguk pak Murti, tapi agak lega ketika isterinya mengatakan bahwa pak Murti belum bisa bicara. Walau begitu masih ada rasa khawatir kalau dia bisa mengatakan sesuatu tentang pertemuan mereka siang tadi. Tapi dari jauh dilihatnya pak Murti memejamkan matanya. Pelan Anto berdiri, dan melangkah mendekat sambil berjingkat.

Pak Murti memang memejamkan matanya. Selang oksigen masih tersambung pada hidung dan mulutnya. Anto menatapnya.

“Jangan sampai kamu mengatakan apapun tentang pertemuan kita dirumah makan,” desisnya pelan dengan geram.

Tapi tanpa diduga, mata pak Murti terbuka. Anto mundur selangkah dengan rasa terkejut. Tampaknya pak Murti mendengarkan apa yang diucapkannya. Ditatapnya mata pak Murti yang menyala seakan menyemburkan api. Dada Anto bergetar. Tatapan mata itu kelihatan sangat menyimpan amarah, ia mundur beberapa langkah dan kembali duduk. Entah mengapa tatapan bapak mertuanya membuatnya bergidik ngeri. Anto mengatur nafasnya.

Ketika Yessyta keluar dari kamar mandi, tanpa sengaja ia menoleh kearah ayahnya dan melihat nafas ayahnya tersengal-sengal. Yessyta panik, kemudian berteriak memanggil perawat.

“Susteeeer…!”

Suster datang dengan cepat, lalu menghubungi dokter.

Yessyta terduduk di sofa sambil menangis, ketika dokter manangani bapaknya. Anto dengan lembut mengelus punggungnya.

“Kenapa bapak.. kenapa tiba-tiba begitu ?”

“Aku dari tadi duduk disini, karena mengira bapak sedang tidur.”

Beberapa saat lamanya kemudian, dokter mendekat, Yessy menatapnya penuh pertanyaan.

“Keadaannya sudah stabil. Perawat jaga akan selalu mengontrolnya.”

“Terimakasih dokter,” kata Yessyta lega. Ia melirik kearah ayahnya dan melihat ayahnya telah lebih tenang.

“Jangan sampai dia merasa kesal atau marah. Jangan terlalu banyak orang mendekat, apalagi berkata-kata yang tidak penting, atau jangan sampai ada orang yang tidak disukainya,” pesan dokter itu lagi sebelum kemudian pergi.

Yessy melirik kearah suaminya. Mungkinkah bapaknya melihat suaminya? Bukankah bapaknya tidak suka pada suaminya? Itukah penyebabnya?

“Mas tadi mendekati bapak kah?”

“Tidak.. tidak.. sama sekali tidak..” kata Anto sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

Yessy kemudian berdiri dan mendekat kearah ayahnya. Dilihatnya ayahnya memejamkan mata. Yessy mengelus tangannya lembut, lalu menciuminya pelan. Yessy agak lega karena tampaknya ayahnya tertidur lelap.

Yessy menoleh ketika Anto memanggilnya lirih.

“Apa?” katanya pelan, sambil mendekat.

“Aku pulang dulu saja ya.”

“Pulang? Mas nggak mau menemani aku dulu disini?”

“Maaf Yessy, besok aku kan harus berangkat pagi-pagi, ada meeting setengah jam sebelum jam kerja, jadi lebih baik aku tidur dirumah saja. Apa kamu takut tidur sendirian disini?”

“Bukan takut, hanya kalau ada temannya kan aku lebih tenang.”

“Bapak sudah tidur tenang, kamu kan juga harus istirahat.”

“Ya mas, baiklah, mas pulang saja. Suni sudah mas beri tahu kalau aku ada dirumah sakit nungguin bapak kan?”

“Sudah.”

“Baiklah, mas pulang saja, kalau bisa aku juga mau segera tidur.”

“Kalau ada apa-apa kabari aku ya?” kata Anto setelah mencium kening isterinya. Manis ya?

Yessyta duduk di sofa sambil terus mengawasi ayahnya.             

“Belum tidur Yes ?” Yessy terkejut, Gunawan muncul dari balik pintu sambil menenteng tas. Yessyta lupa bahwa Gunawan tadi mengambil baju ganti ayahnya ke rumah.

“Maaf aku agak lama. Tadi mampir pulang, mandi.”

“Tidak apa-apa. Bapak juga masih tidur.”

“ Keadaannya stabil?”

“Tadi sempat membuat aku ketakutan.  Nggak tahu kenapa tiba-tiba bapak tampak terengah-engah, apakah karena melihat mas Anto ya. Bapak kan tidak suka pada mas Anto.”

“Ya aku tahu, baru saja dia keluar kan?”

“Mas ketemu ?”

“Tidak, hanya melihat dia keluar saja. Tapi apa tadi suami kamu mendekati bapak?”

“Tadi kan aku mandi, setelah mas Anto membawakan aku ganti. Ketika aku keluar, melihat bapak tiba-tiba nafasnya tersengal-sengal, aku berteriak, lalu dokterpun datang. Sekarang sudah tenang.”

“Apakah mungkin suami kamu mendekati bapak dan bapak melihatnya?”

“Dia bilang tidak sih..”

“Dia bilang tidak, huh.. Yessy tidak tahu bahwa suaminya bisa saja bohong karena takut dituduh jadi penyebab terengah-engahnya pak Murti,” kata batin Gunawan.

“Aku merasa agak tenang setelah kamu datang mas.”

“Syukurlah, oh ya, aku bawakan makan untuk kamu. Kamu kan belum makan sejak siang?” kata Gunawan sambil memberikan bungkusan nasi kepada Yessyta, dan juga beberapa botol minuman.

“Ah, iya mas, sampai nggak merasa lapar. Baiklah, terimakasih mas. Ayo kita makan, mas Gunawan pastinya juga lapar.”

Keduanya menyantap makanan yang dibawa oleh Gunawan. Sekedar mengisi perut agar tidak merasa lemas.

“Suami kamu tidak menemani kamu tidur disini?”

“Tidak, katanya besok harus masuk kantor pagi-pagi.”

“Oh..Baiklah, aku saja nanti tidur disini. Tapi tidak didalam, diluar saja.” kata Gunawan buru-buru, takut Yessyta merasa tidak nyaman kalau dirinya ikut tidur didalam.

“Kalau diluar apa tidak dingin sih mas.”

“Tidak, aku membawa jacket. Jangan memikirkan aku, kamu tidurlah dengan nyaman. Tapi kalau ada apa-apa, telpon aku. Aku tidur diluar.”

“Maaf ya mas, merepotkan kamu.”

“Sudah, jangan memikirkan apapun. Aku bukan orang lain lho.”

“Iya benar,” kata Yessyta sambil tersenyum.

Tapi diam-diam Yessyta membandingkan sifat Gunawan dan suaminya. Memang jauh berbeda. Gunawan penuh perhatian, rela meninggalkan apapun ketika melihat ayahnya sakit. Tapi Anto lebih memikirkan pekerjaannya. Tak peduli walau isterinya sedih sendirian dirumah sakit. Lalu teringat olehnya ketika nafas bapaknya tiba-tiba tersengal-sengal, dan dokter mengatakan bahwa bapaknya tak boleh merasa kesal, atau jangan dekat orang yang mungkin tidak disukainya. Mungkin ia lebih baik melarang suaminya datang ke rumah sakit selama bapaknya belum pulih.

Yessy menghabiskan sebungkus nasi gudeg yang dibelikan Gunawan. Rupanya ia benar-benar lapar. Ketika ayahnya tampak tenang, rasa lapar itu benar-benar terasa.

“Berapa lama ya bapak harus dirawat?”

“Semoga tidak lama, bapak akan segera pulih.”

“Terimakasih ya mas, kamu selalu menguatkan aku,” kata Yessyta sambil memasukkan bungkusan bekas nasi mereka kedalam keresek.

“Ini minumnya,” Gunawan mengambilkan sebotol minuman yang baru dibelinya.

“Mas beli banyak..”

“Masukkan saja kedalam kulkas, kan sewaktu-waktu kamu butuh minum.”

Yessyta menatap wajah Gunawan dengan penuh rasa terimakasih. Dan wajah tampan itupun sedang menatap Yessyta dengan iba. Ia melihat wajah Yessyta sedikit pucat. Ia tak akan membiarkan wanita yang dicintainya itu sendirian. Ia akan selalu ada untuknya.

“Aku sangat menyayangi kamu Yessyta, jangan sampai ada yang menyakiti dirimu,” gumamnya dalam hati sambil terus memandangi wajah Yessyta.

“Mas, mengapa menatapku seperti itu?”

Gunawan terkejut. Ia dengan cepat mengalihkan pandangan matanya kearah lain. Tapi Yessyta menangkap pandangan Gunawan seperti ada sesuatu yang aneh. Dengan heran Yessyta juga menyadari bahwa dirinya berdebar menerima tatapan itu.

“Maaf..”

“Mas terlalu banyak mengucapkan maaf. Harusnya aku yang minta maaf karena telah menyusahkan mas.”

Gunawan kembali menatap Yessyta setelah bisa menata batinnya.

“Aku merasa bahwa beban kamu adalah beban aku juga, jadi jangan merasa telah menyusahkan aku. Yang membuat aku susah adalah sakitnya bapak. Susah, sedih, prihatin,” kata Gunawan sambil menerawang kearah langit-langit kamar.”

“Semoga bapak segera sembuh..” bisik Yessyta.

“Aamiin.”

“Besok aku mau pulang sebentar, bisakah mas menunggui bapak selama aku pulang? Aku akan meminta pembantu aku agar ikut menunggui bapak disini, sehingga mas bisa meninggalkannya untuk urusan kantor. Kalau bapak bisa ditinggal, aku bisa meninggalkan pembantu aku disini.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan menunggu sampai kamu kembali.”

***

“Ya ampun bu, saya sungguh ikut prihatin. Kenapa bapak sampai sakit begitu?”

“Iya Suni, bapak memang punya penyakit jantung. Tapi selama ini sangat terawat, dan hampir tidak ada keluhan. Aku terkejut ketika mendengar kabar bahwa bapak pingsan saat makan dirumah makan.”

“Mungkin bapak sedang banyak pikiran, atau sedang sedih. Saya pernah mendengar, katanya orang sakit jantung tidak boleh sedih, tidak boleh marah dan tertekan.”

”Iya benar, mungkin bapak sedang tertekan.”

“Orang yang tidak kekurangan, apa ya yang di pikirkan?”

“Suni, namanya orang hidup pastilah banyak yang difikirkan. Oh ya Suni, maukah nanti kamu ikut aku ke rumah sakit? Aku tidak tega meninggalkan bapak sendirian, jadi barangkali aku butuh ke kantor, walau sebentar, aku tenang kalau ada kamu.”

“Ya bu, nggak apa-apa, kalau perlu saya bawa baju ganti juga supaya tidak bolak-balik pulang.”

“Terimakasih Suni, aku kan juga butuh ditemani. Kalau ada kamu barangkali aku merasa tidak sendirian.”

“Iya bu. Lalu pak Anto kan karena sendirian bisa makan di luar, saya tidak harus memasak kan bu?”

“Iya, berhubung keadaannya sedang seperti ini, aku akan meminta mas Anto agar bisa memikirkan dirinya sendiri. Toh akhir-akhir ini juga dia jarang makan dirumah. Tapi walau begitu nanti aku bicara dulu sama dia, karena melayani suami itu kan juga kewajiban aku.”

“Baik bu, saya akan bersiap-siap dulu.”

“Nanti kita akan belanja dulu, baru ke rumah sakit ya Suni.”

“Baik bu.”

Ketika Suni bersiap-siap, Yessyta menelpon Anto.

“Ada apa?”

“Mas, untuk sementara Suni akan aku ajak ke rumah sakit, biar ada yang menjaga bapak, ketika aku sedang ada keperluan di kantor. Apa mas keberatan?”

“Oh, tidak, mengapa aku keberatan? Bawa saja Suni, aku kan bisa sarapan dan makan siang di kantor. Makan malam juga tidak sulit. Sudah jangan memikirkan aku dulu, yang penting bapak ada yang merawat.”

“Baiklah mas, terimakasih dan maaf ya mas. Semoga ini hanya untuk beberapa hari saja.”

“Tidak usah minta maaf, pikirkan sakitnya bapak. Suni pasti bisa membantu kamu selama harus bolak-balik ke rumah sakit, aku bukan anak kecil yang harus dirawat dan diawasi kan?”

“Iya mas.”

“Eh, tunggu, kata kamu mobil akan dikirim hari ini?”

“Iya benar, tapi aku kan minta supaya dikirim ke kantor. Nanti mas bisa menukarkannya kalau sudah datang.”

“Oh, baiklah, kabari aku kalau sudah datang ya.”

“Ya mas, pasti.”

Hebat ya Anto, dalam keadaan isterinya sedang prihatin, masih sempat-sempatnya menanyakan mobil. Tapi tampaknya Yessyta kurang peka terhadap sikap suaminya yang aneh itu.

***

Di supermarket Yessyta membelikan ponsel untuk Suni. Bukan yang terlalu mahal sih, tapi cukup untuk saling mengabari kalau ada apa-apa.

“Ibu, sesungguhnya saya mau beli sendiri kalau saya punya uang nanti. Malah sekarang ibu membelikan untuk saya.”

Tidak apa-apa Suni. Itu perlu untuk komunikasi. Kalau kamu tidak punya ponsel, bagaimana bisa tahu kabar ini dan itu?”

“Iya bu, kemarin saya bingung ketika ibu tidak pulang sampai malam, ingin bertanya pada siapa, saya tidak tahu.”

“Apa pak Anto tidak memberi-tahu kamu?”

“Tidak sama sekali bu, saya tahu kalau bapak sakit, ketika pak Anto sedang menelpon seseorang.”

“Seseorang itu siapa?”

“Mana saya tahu bu. Pokoknya mengabarkan kalau bapak sakit, dan dirawat dirumah sakit, gitu.”

“O, itu kan aku juga menelpon pak Anto.”

Suni mengangkat bahunya. Ia ingin mengatakan tentang pak Anto yang bertelpon dengan seseorang yang aneh, tapi diurungkannya.

“Suni ini nomornya sudah aku daftarkan, dan nomorku juga sudah ada disitu. Jadi kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku.”

“Baiklah bu, terimakasih ya bu. Besok kalau punya uang saya juga ingin beli untuk bapak, supaya saya bisa bicara dengan bapak.”

“Oh iya, aku jadi ingat, bukankah hari MInggu ini kamu sebenarnya mau pulang kampung?”

“Tidak usah buru-buru bu, besok saja kalau bapak sudah sembuh.”

“Ya sudah Suni, terimakasih banyak kamu bisa mengerti keadaan aku.”

“Tentu saja saya mengerti bu.”

“Sekarang aku sudah selesai belanja. Itu semua keperluan bapak. Kamu tunggu aku di pintu keluar ya, aku akan memanggil taksi, tapi ada yang terlupa. Aku harus beli pampers untuk bapak,” kata Yessy sambil bergegas masuk kembali.

Beberapa saat Yessy membeli pampers itu, dan agak lama karena di kasir harus mengantri. Yessyta  bergegas keluar karena taksi yang dipesannya pasti sudah menunggu. Tapi ketika dilobby supermarket itu ia tak melihat Suni. Bungkusan belanjaan yang tadi dititipkannya tergeletak begitu saja ditangga beserta bungkusan baju Suni yang tadi disiapkannya.

Yessyta melihat ke kiri dan ke kanan.

“Suniiii !”

Tak ada jawaban. Suni lenyap bagai ditelan bumi.

***

Besok lagi ya.

 

Saturday, May 29, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 13

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  13

(Tien Kumalasari)

 

Anto dan Indri sangat terkejut, terlebih Anto yang mengetahui bahwa dia adalah mertuanya. Tapi bukannya menolong dia malah berteriak-teriak.

“Tolong… toloong.. ada yang pingsan..”

Beberapa pelayan berlari mendekat, sementara Anto sudah berdiri sambil menggandeng tangan Indri.

“Siapa dia? Bapak mengenalnya?” tanya seorang pelayan.

Anto menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak.. tidak.. aku tidak mengenalnya, maaf aku harus segera pergi, isteriku ketakutan,” kata Anto yang kemudian mengajak Indri berlalu dari tempat itu dengan cepat.

“Lhoh, ini kan pak Murti?” kata pelayan yang lain, yang kemudian berlari memanggil manager rumah makan itu.

Manager rumah makan segera memanggil ambulans. Rupanya pak Murti adalah pelanggan rumah makan itu.

“Ini kan pak Murti, pemilik perusahaan Murtiyoso,” kata sang manager.

Keributan terjadi, tapi tak seorangpun tahu apa penyebabnya. Kesimpulan sementara adalah pak Murti memang sedang sakit. Pesanan yang dipesanpun belum sempat disentuhnya.

Pelayan yang tadi menghidangkan pesanan hanya melihat ketika ia meletakkan pesanan, tiba-tiba pak Murti berdiri, lalu jatuh tak jauh dari mejanya. Pelayan juga tak memperhatikan pak Murti mau kemana.

“Ia seperti berkata-kata, tak jelas entah apa, lalu aku mendengar dia terjatuh,” lanjut pelayan itu.

Tak lama kemudian bunyi sirene mobil ambulan terdengar membelah hiruk-pikuk lalu-lintas di siang hari itu.

***

“Aku minta maaf Yes, kemarin aku bermaksud mencari celah, barangkali perusahaan mau mengganti uang yang kamu pergunakan untuk mobil itu, tapi tak berhasil.”

“Tidak apa-apa mas, aku sudah menduga, bapak tak akan mengijinkan. Mas Anto agak kaku, tak bisa sedikitpun mengambil hati bapak.”

Gunawan mengangguk. Bersyukur Yessyta tak marah ketika pak Murti menolak permintaannya. Rupanya Yessy juga menyadari bahwa bapaknya kurang suka pada suaminya.

“Sudah beres tentang mobil itu?”

“Sudah, tidak yang terlalu mahal, dibawah duaratusan, soalnya aku juga sedang membangun rumah mertua aku.”

“Wouw.. membangun rumah mertua juga rupanya?” gumam Gunawan dalam hati.

“Aku kasihan sama ibu mertuaku. Dia sudah janda, rumahnya bocor disana-sini, dan mas Anto bilang bahwa dia belum sempat memikirkannya.”

Gunawan hanya tersenyum tipis. Rasa iba kembali menyeruak. Mulutnya ingin berkata sesuatu, tapi diurungkannya, ketika ponselnya berdering.

“Hallo, benar ini saya, Gunawan, apa? Dari rumah sakit ? Ya Tuhan, kenapa dia? Tiba-tiba pingsan dirumah makan? Baiklah, saya segera kesana.” Gunawan menutup ponselnya sambil langsung berdiri. Ia juga menarik tangan Yessyta.

“Ada apa mas?”

“Cepat ke rumah sakit. “

“Ada apa? Bapak?” tanya Yessyta panik.

Gunawan mengangguk sambil berjalan cepat kearah parkiran, Yessyta mengikutinya sambil tersaruk-saruk, oleh sepatu hak tinggi yang dikenakannya.

“Memangnya bapak kenapa?” Yessyta terus bertanya.

“Belum tahu, katanya pingsan saat di rumah makan.”

“Ya Tuhan,” Yessy menutup mulutnya.

“Sedianya sore ini aku akan mengantarnya ke dokter untuk kontrol, kami sudah janjian,” kata Gunawan sambil naik ke atas mobil, diikuti Yessyta.

Gunawan memacu mobilnya dengan perasaan tak karuan.

“Semalam memang tampak lelah, lalu aku ingatkan untuk kontrol kesehatan. Bapak bilang ia memang terlambat untuk kontrol. Harusnya aku kesana sepulang kantor.”

Yessyta tak menjawab. Air matanya berlinang di sepanjang jalan. Gunawan meraih tissue lalu diulurkannya pada Yessy.

“Keadaannya bagaimana?”

“Kita akan segera tahu nanti, semoga tidak ada yang serius. Tenanglah.”

Tapi Yessyta tak bisa tenang. Ia menyesal telah  merasa kesal kepada ayahnya.

“Aku sangat takut mas,” katanya gemetar.

“Tenangkan hati kamu.”

***

“Aduuh, bagaimana tadi. Benarkah dia ayah mertua kamu mas?” tanya Indri dalam perjalanan kembali ke kantor.

“Iya, rupanya dia melihat aku dan sangat marah.”

“Bagaimana kalau dia selamat, lalu mengatakan semuanya kepada isteri kamu?”

“Nanti aku pikirkan jawabannya. Sudah, kamu tenang saja.”

“Kalau begitu nanti sepulang kantor kamu langsung pulang saja. Melihat situasinya bagaimana. Tapi jangan lupa kabari aku ya.”

“Baiklah, aku pasti mengabari kamu, aku juga nggak akan bisa menyimpan semuanya seorang diri.”

“Semoga saja dia mati,” kata Indri dengan wajah bengis.

Anto menatapnya dengan tatapan miris.

“Aduh.. jangan sekejam itu..”

“Kalau dia tidak mati maka dia akan bisa berbicara tentang kita. Itu akan merubah semuanya bukan?”

Anto diam. Bagaimanapun mendoakan seseorang mati dianggapnya terlalu kejam dan membuatnya miris.

Anto berharap ada pilihan lain supaya keburukannya tak terbongkar. Dan perasaan itu membuatnya gelisah, sehingga begitu selesai jam kantor ia memilih langsung pulang.

Dan seperti dugaannya, isterinya tidak ada dirumah. Pasti tidak ada di kantor, mungkin kerumah sakit.

Ketika memasuki rumah, Suni menatap heran, karena tadinya dia mengira Yessyta akan pulang bersama suaminya.

“Ibu belum pulang?”

“Belum. Sediakan minuman hangat untuk aku, dan setelah itu aku mau istirahat,” katanya sambil masuk kedalam kamar.

Suni menyediakan kopi susu kesukaan tuan mudanya, lalu meletakkannya di ruang tengah. Ia agak heran karena sesore itu Yessy belum pulang kerumah.

***

Yessyta terkulai di kursi tunggu. Wajahnya pucat dan lebam karena terus-terusan menangis. Dokter mengatakan bahwa pak Murti belum sadar. Beberapa dokter ahli menanganinya. Kata mereka, pak Murti terkena serangan jantung.

Gunawan duduk disampingnya, menepuk-nepuk tangannya agar lebih bisa membuatnya tenang.

“Tenanglah Yes, dokter sedang menanganinya.”

“Tolong selamatkan bapak.. ya Allah,” bisiknya berkali-kali.

“Aku selalu membuat bapak kecewa. Marahkah bapak sama aku?”

“Tidak, bapak sangat menyayangi kamu. Semalam bapak bertanya, apakah kamu bahagia? Lalu aku jawab bahwa kamu pasti berbahagia. Ya kan?”

Yessyta mengangguk. Apakah dia bahagia? Ia bersyukur bisa menikah dengan orang yang dicintainya, tapi dia kecewa atas sikap suaminya yang tak berusaha menyenangkan hati ayahnya. Sedikitpun tidak. Hanya janji-janji akan berusaha entah sampai kapan. Tiba-tiba saja Yessy merasa kesal pada suaminya. Dan itu sebabnya ia tak berusaha mengangkat ponselnya ketika suaminya berkali-kali menelponnya.

“Tidak diangkat Yess?”

“Tidak, aku lagi segan menjawab telpon.”

“Dari siapa?”

“Mas Anto..”

“Boleh aku jawab sambil mengatakan keadaan bapak?”

“Jangan, tidak usah. Paling-paling dia akan mengatakan bahwa dia akan pulang malam karena siang tadi pergi ke dealer dan tentu saja meninggalkan pekerjaannya.”

Gunawan menatap heran, tapi kemudian dia tak mengatakan apa-apa. Gunawanpun sedang gelisah menunggu dokter yang menangani pak Murti.

Yessyta menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Maukah ke mushola? Kita sholat bersama, kita pasrahkan semuanya ke hadapan Allah, dan mohon pertolonganNya, agar kita merasa lebih tenang,” kata Gunawan sambil berdiri.

Yessyta mengangguk, lalu berjalan mengikuti Gunawan.

***

“Man, ini kamu Man? Kata yu Wiji ketika menelpon Darman.

“Iya yu, ada apa?”

“Aku tadi pagi ketemu Suni.”

“Benarkah? Bagaimana keadaannya? Yu Wiji bertanya alamatnya kan? Atau apakah dia punya nomor kontak?”

“Aku itu belum selesai bicara, pertanyaanmu sudah nyerocos sampai aku nggak bisa jawab.”

“Ya, baiklah, bicara yu.”

“Aku melihat dia sedang belanja dengan seorang wanita cantik.”

“Apa itu wanita yang dulu mengantar Suni pulang ya?”

“Nggak tahu aku, tapi aku juga nggak sempat ketemu. Aku sedang bingung antara betul dia atau tidak, dan setelah aku yakin, lalu berteriak memanggil, dia sudah keburu pergi naik taksi.”

“Naik taksi? Lha kamu itu mengapa ketemu pakai bingung sih yu.”

“Iya Man, soalnya penampilan Suni itu berbeda. Dulu ketika berangkat ke kota, dia kan suka berpakaian seronok begitu, modelnya kayak gadis modern, seksi, huh, sebel aku waktu itu. Tapi yang aku lihat tadi tuh beda. Dia berpakaian sangat santun, pakai kerudung, dan teman wanitanya itu ya sama, tapi tampaknya sih dia orang kaya. Kan kelihatan dari pakaian mereka.”

“Tapi kamu nggak sempat omong-omong, gitu yu?”

“Tidak Man, ya hanya melihat dari jauh, aku ya menyesal Man, kok tadi ketemu nggak langsung memanggil.”

“Kamu ketemunya dimana yu?”

“Aku lagi belanja, dia juga kelihatannya belanja. Membawa sayur-sayuran gitu.”

“Sayang ya yu, nggak sempat omong-omong sehingga tidak tahu dia ada dimana. Tapi mendengar penuturan kamu tentang cara dia berpakaian, aku kok merasa sedikit lega. Berarti dia bersama orang baik-baik. Kecuali itu berarti dia jelas ada dikota itu.”

“Iya Man, aku berharap pada suatu hari bisa bertemu lagi. Lain kali aku tak akan kelamaan berpikir sehingga dia keburu kabur.”

“Baiklah yu, apapun penemuan kamu itu, aku mengucapkan terimakasih. Nanti semuanya akan aku katakan pada pak Kardi. Bahwa dia selamat, bahwa dia bersama orang baik-baik. Supaya pak Kardi sedikit tenang.”

“Ya Man, mudah-mudahan aku bisa bertemu lagi pada suatu hari nanti.”

***

Ketika Darman kerumah pak Kardi, dilihatnya lelaki setengah baya itu sedang duduk di bangku depan rumah. Disampingnya ada segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng.

“Pak.. sedang cari angin ya?”

“Kamu Man, duduklah disini. Minah baru saja mengantarkan wedang jahe sama pisang goreng. Nih, masih anget,” kata pak Kardi sambil beringsut dari duduknya.

“Bapak sudah semakin sehat? Obat dari dokter diminum terus kan?”

“Ya itu, gara-gara minum obat, aku jadi pengin makan terus, apa itu obat bikin gemuk sih Man?”

Darman tertawa.

“Itu obat supaya pak Kardi tambah sehat. Saya lihat sudah lebih segar. Syukurlah.”

“Seger, habisnya makan terus. Ya nasi, ya makanan, terus-terusan Minah kirim, ya aku habisin saja, rasanya memang pengin makan terus.”

“Ya nggak apa-apa pak, bagus kalau mau makan banyak.”

“Ini, ambillah pisangnya. Masih anget, belum lama Minah ngirimnya.”

“Nggak usah pak, buat camilan nanti malam saja. Saya mau memberi kabar tentang Suni pak.”

Pak Kardi mengangkat tubuhnya yang semula bersandar.

“Kamu ketemu Suni ?”

“Bukan saya pak, tapi yu Wiji. Tapi yu Wiji hanya melihat dari jauh, dan tidak sempat bertemu.”

“Waduh, kalau itu namanya bukan berita Man,” kata pak Kardi kecewa.

“Memang belum memuaskan pak, tapi begini, satu.. Suni ada dikota dan baik-baik saja. Keduanya, Suni sekarang berpenampilan sangat santun. Pakai gamis, pakai kerudung. Dia ketika itu sedang bersama seorang wanita cantik.”

“Ketika Suni datang kemari untuk memberi aku uang, juga bersama seorang wanita cantik. Pakai kacamata hitam besar, rambutnya sebahu, bibirnya meraaah seperti darah. Mobilnya bagus. Ya masih bersama wanita itu pastinya.”

“Tapi kata yu Wiji, wanita yang bersama itu juga cantik, tapi berpakaian santun juga pak. Seperti juga Suni. Cuma, kelihatan kalau dia orang kaya. Sepertinya Suni ikut sama wanita itu.”

“O, berarti berbeda dengan wanita yang datang kemari itu.”

“Memang berita ini belum memuaskan pak, tapi setidaknya pak Kardi tahu, bahwa Suni baik-baik saja, dan mudah-mudahan benar bahwa dia bersama orang baik.”

Pak Kardi kembali menyandarkan tubuhnya.

“Iya, aku sedikit merasa lega. Semoga ada hari dimana dia sempat pulang kemari.”

***

“Mas, gimana, kok aku nggak dikabari?” tanya Indri yang tak sabar menunggu berita tentang pak Murti.

“Tunggu In, aku juga sedang menunggu kabar. Aku menelpon isteri aku tidak pernah diangkat.”

“Semoga keadaannya gawat,” kata Indri tanpa beban.

“Entahlah, aku sedang gelisah nih, dia tidak menerima telpon aku, juga tidak mengabari apapun ke aku.”

“Ya sudah, aku juga gelisah menunggu kabar dari kamu nih.”

“Nanti aku kabari begitu ada berita.”

Anto menutup telponnya dengan gelisah. Ia harus tahu keadaan pak Murti, karena itulah yang akan menentukan nasibnya nanti. Kemudian dia menyandarkan tubuhnya di sofa, setelah menghabiskan kopi susunya.

Suni yang melihat kegelisahan Anto juga merasa tidak enak. Tapi perasaan gelisah Anto tidak sama dengan apa yang dirasakan Suni. Tak biasanya Yessyta pulang sampai malam tanpa ada sesuatu. Tapi ia enggan menanyakannya pada Anto. Suni duduk di depan pintu dapur. Ia tak memiliki ponsel sehingga tak bisa mendengar berita apapun juga, dan tak bisa menelpon Yessyta untuk menanyakan apa yang terjadi.

“Besok kalau aku punya uang, aku harus membeli ponsel. Kalau perlu bapak juga akan aku belikan supaya kalau kangen bisa bicara lewat telpon,” gumam Suni.

***

Yessyta dan Gunawan masih menunggu. Sejak tadi perawat mengatakan bahwa pak Murti belum sadar.

“Yes, apa sebaiknya kamu aku antar pulang dulu?”

“Tidak mas, aku akan menunggu sampai bapak sadar.”

“Barangkali kamu lelah.”

“Tidak.”

Ketika kemudian dokter keluar dari ruang ICU, Gunawan dan Yessyta menghambur mendekat.

“Dokter, bagaimana keadaan ayah saya?”

“Alhamdulillah, bapak anda tertolong.”

Gunawan dan Yessyta bernafas lega.

“Tapi anda harus bersabar. Pak Murti mengalami strooke.”

“Apa maksudnya dok ?”

“Dia belum bisa bergerak, ataupun berkomunikasi.”

“Ya Tuhan…” Yessyta menjerit lirih, Gunawan merangkulnya.

“Apakah itu bisa disembuhkan? Apakah pak Murti akan pulih?”

“Harus bersabar. Untuk sementara dia harus dirawat. Teruslah berdoa, karena mujizat itu hanya ada padaNya,” kata dokter itu lembut.

“Baiklah dokter, terimakasih banyak.”

“Ketika dokter berlalu, Gunawan dan Yessyta bergegas masuk kedalam. Dilihatnya pak Murti terbaring dengan selang infus terhubung di lengannya, dan alat bantu pernafasan dihidungnya.

Yessyta menubruk bapaknya.

“Bapak, maafkan saya bapak.. maafkan saya.”

Pak Murti tergolek lemah, tak ada yang bisa digerakkan kecuali matanya yang berkaca-kaca. Yessyta menangis didadanya.

“Bapak akan sembuh, bapak akan pulih, bapak semangat ya.” Bisik Yessyta sesenggukan.

Gunawan mengambil selembar tissue, mengusap air mata di pelupuk mata pak Murti. Pak Murti menatapnya dengan pandangan sayu. Ada ucapan terimakasih disana walau tak terucapkan.

“Bapak nanti akan dirawat disini. Saya akan memilihkan kamar terbaik untuk bapak, dan saya akan menungguinya siang malam,” kata Yessy sambil mengusap air matanya.

“Yes, aku sudah memesan kamar terbaik untuk bapak, tapi barangkali aku harus kerumah untuk mengambil semua keperluan bapak. Baju-baju ganti, misalnya.”

“Baiklah mas, tolong  ke rumah bapak. Simbok sudah tahu baju-baju bapak, dia pasti bisa menyiapkannya.”

“Bagaimana dengan kamu sendiri? Apakah aku juga harus ke rumah kamu untuk mengambil baju kamu?”

“Tidak usah mas, aku akan menelpon mas Anto, biar dia kesini. Mestinya jam segini dia sudah tidak lembur lagi.”

Ketika pak Murti dipindahkan ke kamar inap, Yessyta terus menemaninya. Beruntung ada Gunawan yang selalu mendampinginya, dan juga sangat perhatian kepada bapaknya.

Yessyta kemudian menelpon Anto, minta agar membawakan baju ganti dan semua keperluan mandi ke rumah sakit.

“Ya Tuhan Yes… bapak sakit apa?” tanya Anto pura-pura terkejut.

“Tadi pingsan ketika makan siang. Segera mas kesini. Mas sudah pulang?”

“Aku sudah pulang sejak sore, menelpon kamu tapi kamu tak pernah mengangkatnya. Aku tak mengira bapak sakit, Bagaimana keadaannya?”

“Bapak strooke, tak bisa mengatakan apa-apa.”

“Ya Tuhan… aku ikut prihatin Yes. “ kata Anto dengan sedih.

“Kamu sekarang masih di rumah sakit?” lanjutnya.

“Ya mas, tolong bawakan baju ganti untuk aku, dan peralatan mandi ya mas.”

“Kamu mau tidur di rumah sakit Yes?”

“Iya mas, aku tak bisa meninggalkan bapak. Tolong ya mas, kemarilah cepat.”

“Iya, baiklah, aku akan menyiapkan semuanya. Kamu yang sabar ya Yes?”

Anto menutup ponselnya, tapi ia segera menelpon Indri. Sikapnya berubah total, dari bersikap seakan-akan sedih, kemudian menelpon lagi dengan nada yang berbeda..

“Ya mas bagaimana ?”

“Alhamdulillah In, dia strooke, tak akan bisa mengatakan apa-apa,” katanya dengan nada gembira.

“Syukurlah mas, berarti kita selamat.”

“Selamat Indri, kita tetap akan bebas.. “ lalu Anto tertawa-tawa, sebelum menutup ponselnya. Kemudian dia masuk kekamar untuk mengambilkan baju-baju untuk Yessyta.

Anto tak sadar, Suni memperhatikan semua gerak geriknya. Ia  kemudian tahu ayahnya Yessy sakit strooke, tak bisa mengatakan apa-apa. Dan itu membuat Anto gembira.

“Dasar laki-laki busuk,” umpatnya.

Suni masuk kedalam kamarnya dan menutup pintunya, seakan-akan tak mendengar apapun. Tapi gemuruh didadanya nyaris membuatnya hampir meledak.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...