MENGAIS
CINTA YANG TERSERAK 42
(Tien
Kumalasari)
Indri
bergegas melangkah, menyibakkan kerumunan didepan gubugnya simbah, wajahnya
tampak panik.
“Ada apa
ini? Ada apa?”
“Tadi
nggak tahu dari mana, tiba-tiba pingsan dijalan sana,” kata seseorang.
Indri
langsung masuk, dilihatnya seseorang sedang mengurut-urut tubuh simbah dengan
minyak gosok.
“mBah..
simbah.. simbah kenapa ?” tanya Indri sambil menggoyang-goyangkan tubuh simbah.
Tapi
simbah diam, matanya terpejam.
Dua orang
lagi masuk, mereka adalah pak Murti dan Yessyta.
“Ada
apa?”
“Indri,
apa yang terjadi?”
“Tadi
sepertinya simbah habis beli makanan, tapi tiba-tiba terjatuh disana,” kata
yang lainnya.
“Lalu
kami mengangkatnya kemari.”
“Tolong,
bisakah beberapa orang mengangkat tubuh simbah ke mobil saya?” kata pak Murti
yang berinisiatif membawanya ke rumah sakit.
Beberapa
orang laki-laki mengangkat tubuh simbah, membawanya keluar.
“Dimana
mobilnya pak?”
“Disana,
dijalan besar,” kata pak Murti yang mengikuti keluar. Kepalanya hampir terantuk
pintu yang sangat rendah dibandingkan tubuh pak Murti yang tinggi besar.
Indri
menangis terisak, Yessyta menggandengnya.
“Aku
sudah melarangnya membeli nasi, simbah nekat. Mungkin kecapekan karena tidak
tidur semalaman,” kata Indri yang terus mengikuti orang-orang yang mengusung
tubuh simbah.
“Bapak,
jalannya pelan-pelan,” kata Yessyta sambil menuntun ayahnya, karena jalanan di
lorong itu tidak beraspal, bahkan banyak bebatuan menonjol. Sementara pak Murti
ingin cepat-cepat sampai ke mobilnya.
“Masukkan
saja, suruh sopirnya membuka mobilnya, di belakang.. ya, tidurkan di jok
belakang,” teriak pak Murti memberi aba-aba.
“Indri
yang sudah berjalan lebih dulu ikut mengatur mereka yang menidurkan simbah di
jok belakang.
“Indri,
kamu naik saja, jagain simbah, langsung ke rumah sakit,” teriak Yessyta yang
sudah dekat.
“Bapak
naik ya. Didepan.”
“Yessyta membantu bapaknya naik ke mobil, lalu dia
sendiri naik dibelakangnya, dengan mengangkat kaki simbah, sementara Indri
memangku kepalanya.
“Cepat ke
rumah sakit,” perintah pak Murti.
Mobil itu
berlalu diiringi perasaan heran pada orang-orang yang tadi membantu simbah.
“Hebat,
siapa orang itu, begitu perhatian sama simbah?”
“Seorang
dermawan pastinya,” kata yang lainnya.
“Beruntung
sekali simbah, dibantu oleh orang kaya.”
“Semoga
simbah tertolong, dia tak kelihatan sejak kemarin sore, katanya pergi ke
pernikahan cucu keponakannya.”
“Kecapekan
barangkali. Mungkin ikut bantu-bantu apa, gitu.”
“Kasihan,
semoga tertolong, dia orang baik.”
“Benar, biarpun
miskin suka sekali memberi. Anak-anak kecil yang lewat suka diberinya uang.”
“Ya,
benar, dia orang baik, makanya ditolong oleh orang baik juga.”
“Beberapa
hari terakhir ini ada yang menemani dia, wanita cantik yang cacat tangannya.”
“Kata
simbah dia cucu jauh, aku pernah bertemu dan menanyakannya.”
“O.. baru
sekarang aku melihatnya.
***
Simbah
sudah dibawa ke UGD, pak Murti duduk menunggu ditemani Yessyta dan Indri yang
diam dengan wajah cemas. Sesekali dia mengusap air matanya.
“Tenang
Indri, simbah akan ditangani.”
“Dia
seperti orang tua saya. Dia penolong saya. Jangan sampai saya kehilangan dia,
ya Tuhan, tolonglah,” isak Indri.
“Dia akan
tertolong, mungkin hanya capek.”
“Simbah
punya uang tabungan sebanyak tiga juta, saya lupa membawanya, kan bisa untuk
membayar biaya perawatan simbah.”
“Oh,
simbah punya tabungan juga?”
“Baru
tadi pagi dia menyerahkan uang itu pada saya. Katanya dia menabung uang itu
selama bertahun-tahun.”
“Luar
biasa dia.”
“Apa
boleh saya mengambilnya dulu? Simbah kan butuh biaya?”
“Jangan
memikirkan itu, biarkan saja uang simbah, aku yang membawanya kemari, jadi aku
yang akan membayar semuanya,” kata pak Murti.
“Ya
Allah… Bapak sungguh baik, terimakasih pak,” kata Indri sambil merangkapkan
tangannya.
“Jangan
memikirkan apapun, seandainya dia harus dirawat, itu tanggung jawab saya.”
“Terimakasih,
pak,” kata Indri sambil mengusap air matanya.
“Bapak
maukah diantar pulang dulu ? Biar Yessy sama Indri menunggui simbah.”
“Aku
menunggu hasil pemeriksaan simbah dulu.”
“Nanti
bapak capek ? Atau biar di jemput mas Gunawan?”
“Tidak,
dia sedang bekerja, jangan ganggu dia. Begini, bukankah simbah itu kerabatnya
Darman ?”
“Iya
benar, Yessy harus menelpon Suni untuk mengabarkan keadaannya ya pak,” kata
Yessyta.
“Nah, itu
kamu pintar.”
Lalu
Yessyta menelpon Suni.
“Maksud
bu Yessy mbah Marto? Buliknya mas Darman ?” tanya Suni ketika Yessyta menelponnya.
“Iya,
benar, yang semalam ikut nonton wayang di pernikahan kamu.”
“Lhoh,
yang benar. Kok bu Yessy tahu ?”
“Ya
tahulah, pokoknya ceritanya nanti saja, yang penting segera kabari suami kamu
dan keluarganya. Dia dirawat di rumah sakit dimana bapak dulu dirawat.”
“Oh iya
bu, baiklah, saya akan segera bilang sama mas Darman. Agar kami segera bisa
kesana.
Begitu
selesai menelpon, Yessyta melihat dokter keluar dari ruang UGD, Yessyta memburunya,
diikuti Indri.
“Dokter,
bagaimana keadaan simbah?”
“Dia
sudah sadar, kalau bisa sebaiknya dirawat untuk beberapa hari.”
“Tentu
dokter, kalau itu memang harus. Tapi bagaimana keadaannya? “
“Parahkah
sakitnya?” sambung Indri.
“Dia
sudah tua, tapi dia kuat kok. Hanya saja dia kelelahan. Tidak sakit apa-apa,”
kata dokter sambil berlalu.
Indri
menarik napas lega, lalu ia menghambur masuk ketika perewat jaga mengijinkan.
“Simbah…
simbah…” tangisnya.
“Lha kamu
itu mengapa menangis? Trus aku dimana ?”
“Simbah
dirumah sakit..”
“Jadi aku
ini sakit? Mana nasi yang tadi aku beli? Buat makan kamu sama aku, nasi kucing
enak lho.”
“Simbah
pingsan ketika membeli nasi, lalu digotong orang-orang kerumah, terus pak Murti
membawanya ke rumah sakit.”
“Pak
Murti itu siapa? Suami kamu?”
“Simbah
ada-ada saja…”
“Aku yang
namanya pak Murti,” kata pak Murti yang tiba-tiba muncul.
“Lho..
ini kan.. ini kan.. dia.. dermawan itu..”
“mBah,
syukurlah simbah masih ingat aku, aku mencari simbah kemana-mana.”
“Mengapa
mencari saya pak? Orang tua yang sudah renta, mau diapakan? Aduh, nduk, aku mau
pulang saja, nggak mau aku, ini apa, lenganku diberi selang-selang apa ini?”
“Simbah jangan
bandel, itu dokter yang kasih, supaya simbah kembali kuat. Awas ya, jangan
dilepas.”
“Ribet
sekali. Mana nasi bandeng yang aku beli, aku lapar menunggu kamu pulang,” kata
simbah tak peduli pada pak Murti yang berdiri sambil memegang tongkat dan tersenyum-senyum
melihat ulah simbah.”
“Biar
Indri membelikan simbah nasi, kalau simbah lapar.” kata pak Murti.
“Indri
itu siapa ?”
“Lhoh,
simbah itu gimana, bukankah ini .. teman simbah ini.. namanya Indri?”
“Namamu Indri
? Aku tidak tahu, wong aku tidak pernah bertanya siapa namanya.”
“Haa,
benarkah ?”
“Benar
pak, kami bersama-sama selama berhari-hari, tapi tidak pernah saling menanyakan
nama, dia juga tidak bertanya siapa saya dan kenapa saya ini.”
“Orang
aneh..” lalu pak Murti tertawa terkekeh.
“Bapak
dermawan ini juga aneh, nggak kenal nggak apa, tapi membawa saya kemari, apa
disini ini tidak bayar?”
“Tidak
mbah, disini semua gratis. Simbah mau apa juga gratis.”
“Wah, berarti
ini juga rumah sakit dermawan?”
Pak Murti
kembali terkekeh.
“Tapi aku
tidak suka, kasurnya terlalu empuk.”
“mBah,
simbah sedang dirawat supaya simbah sehat dan kuat, jadi nggak boleh bandel.”
“Aku
tidak suka..”
“Harus
suka, nanti aku selalu nungguin simbah disini.”
“Pokoknya
simbah harus menurut, kalau tidak.. nanti akan disuntik dengan jarum yang lebih
besar,” canda pak Murti sambil berjalan keluar.
“Hiih..
dermawan tapi suka nakut-nakutin orang,” gerutu simbah.
“mBak,
kamar sedang disiapkan, simbah akan dipindahkan segera,” kata petugas UGD.
“Oh, iya,
baiklah.”
“Hei, aku
mau dipindah kemana ?”
“Simbah,
akan dipindahkan ke kamar yang lebih nyaman.”
“Lebih
nyaman itu apa? Lebih nyaman itu pulang ke rumah.”
“Tidak,
simbah harus nurut, paling hanya sehari dua hari.”
Indri
keluar karena perawat sudah siap membawa simbah untuk pindah ke kamar rawat,
yang sudah dipesan Yessyta.
Ketika
Indri keluar, dilihatnya pak Murti hanya sendirian.
“Dimana
mbak Yessy?”
“Sedang
ke warung diluar itu, membeli nasi, katanya simbah lapar,” kata pak Murti yang
sangat perhatian pada simbah.
Indri
sangat terharu, sebuah kemuliaan hati yang pantas diteladani. Ia kemudian duduk
dan kembali mengusap air matanya.
“Sudah,
jangan menangis lagi, simbah kamu akan dirawat dengan baik. Dan dengar, nanti
setelah simbah itu sembuh, dilarang lagi memulung. Dia akan berjualan apa saja
yang dia suka, nanti aku carikan tempat, sekaligus tempat simbah tinggal
setelahnya. Kamu bisa memasak ?”
“Tidak
pak,” jawab Indri lirih, tersipu.
“Belajar
masak sama Suni, Suni itu kalau masak enak sekali. Kalau kamu pintar masak,
kamu bisa membantu simbah jualan. Kamu yang masak, simbah yang jual. Bagaimana?”
“Baiklah,
saya akan belajar pak.”
“Bagus
sekali, tapi sebelumnya kamu harus perbaiki dulu tangan kamu itu, mungkin agak
lama, tapi pasti bisa.”
“Terimakasih,
pak.. Saya menangis, lebih karena semua kebaikan bapak, yang sangat perhatian
kepada simbah. Saya merasa bahwa saya ternyata manusia yang sangat kotor dan
tidak berharga.”
“Haa,
mengapa kamu berkata begitu? Kotor dan tidak berharga? Tahukah kamu harga
sebuah kebaikan? Harga sebuah kesadaran? Kamu sadar akan semua kesalahanmu, dan
itu sangat berharga. Kamu meminta maaf, itu juga sangat berharga. Jangan
menghitung sesuatu dengan materi. Jangan. Kekayaan materi bukan ukuran berharga
atau tidaknya manusia. Jangan salah mengartikannya, dan lupakan kalau aku
melakukan sesuatu untuk kalian, aku tak ingin punya harga atas semua itu.
Biarlah Yang Diatas Sana yang menghargainya. Bukan kamu, bukan siapapun.
Mengerti maksudku?”
Indri
mengangguk mengerti, dan air matanya semakin deras mengalir.
Sementara
itu simbah sudah dibawa ke ruang rawat, Indri berdiri bermaksud mengikutinya,
tapi pak Murti tidak.
“Kamu
saja yang ikut kesana, kalau aku ikut, nanti simbah kamu itu akan ngomong yang
macam-macam dan banyak protes. Lakukan yang terbaik dan jangan pikirkan
biayanya. Bilang sama simbah bahwa disini semuanya gratis. Mengerti?”
“Ya pak,
sekali lagi terimakasih.”
“Sudah
sana.. kebanyakan terimakasih aku nanti.”
Ketika
Yessyta datang, pak Murti segera menyuruhnya membawa ke ruang inap untuk
simbah. Biarpun bukan ruangan VIP tapi simbah mendapat ruangan yang baik.
“Berikan
saja nasinya, biar mereka makan dan minum, lalu kita pulang,” kata pak Murti.
***
“Gun,
kamu masih ingat ruko yang dulu kita beli untuk tempat tinggal pak Man, sopir
kita?” kata pak Murti ketika menelpon Gunawan dalam perjalanan pulang.
“Iya pak,
masih ada, mau dijual kah?”
“Tidak, suruh
orang membersihkan tempat itu, dan atur supaya pantas ditinggali lagi.”
“Perabot yang
dulu dipakai pak Man masih ada disana.”
“Bagus,
suruh orang membersihkannya.”
“Siapa
yang mau tinggal disana pak?”
“Simbah.”
“Simbah
siapa pak?”
“Seharian
ini ada kejadian luar biasa, aku sudah ketemu simbah, nanti sore kalau kamu
pulang saja ceritanya. Pokoknya heboh.”
“Bapak
mau agar nanti simbah tinggal disana ?”
“Ya, dan
berjualan apa saja yang dia suka.”
“Ah,
syukurlah, kelihatannya benar-benar heboh.”
“Tapi
sekarang dia ada dirumah sakit.”
“Lhah,
kenapa pak? Sakit apa?”
“Nanti
saja ceritanya, hari ini kamu sibuk kan, nanti sore kamu akan mendengar
semuanya. Tapi urus dulu itu, ruko yang tidak dipakai lagi. Besok harus sudah
mulai di bersihkan.
“Baik
lah, sekarang juga saya akan mencari orang untuk membersihkan semuanya.”
“Haa..
bagus.”
***
“nDuk..
siapa tadi namamu.. Indri ya?”
“Iya,
mbah. Simbah kan mbah Marto?”
Simbah
tertawa, menampakkan giginya yang ompong.
“Aku ini
orang yang tidak pernah peduli pada apapun, siapa nama aku, nama kamu, yang
penting bisa berhubungan baik.” katanya walau dengan pelan. Sesungguhnya simbah memang merasa lemas.
“Iya
mbah.”
“Mengapa
aku ditidurkan di sini? Kasurnya terlalu empuk.. dan lenganku ini.. pegal
rasanya, bagaimana kalau selangnya kamu copot saja?”
“Oo,
jangan mbah, dicopot bagaimana? Itu kerjaan dokter. Kalau saya atau simbah
mencopotnya, bisa berbalik darah simbah yang keluar sampai habis,” kata Indri
menakut-nakuti.
“Haahh?
Begitukah ?”
“Ya
iyalah mbah, itu kan kerjaan dokter. Namanya itu infus. Itu isinya obat, yang
bisa membuat simbah kuat.”
“Simbah
itu sudah mau mati, dibawa kerumah sakit ya percuma saja.”
“Darimana
simbah tahu kalau simbah mau mati ? Simbah sudah ketemu malaikat pencabut nyawa
?”
“Aah, ya
bukan begitu, ingat, simbah itu sudah delapanpuluh tahun. Lhaah.. mana KTP simbah?
Disitu ada catatan umurnya.”
"Simbah
tahu nggak, pak Murti tadi bilang, besok kalau simbah sudah sembuh, simbah
nggak boleh lagi memulung.”
“Lhah,
memangnya dia itu siapa kok melarang simbah memulung?”
“Bukan
karena dia siapa mbah, dia itu kasihan melihat simbah yang sudah tua masih
menelusuri jalan untuk memulung.”
“Kamu kan
tahu bahwa itu kehidupan aku?”
“Ada
jalan lain untuk mencari nafkah.”
“Hahh..
kata siapa?”
“Simbah
bisa duduk manis sambil berjualan. Mungkin jualan makanan, atau jualan apa lah,
yang penting bisa mendapat penghasilan dari itu.”
“Enak
saja kamu ngomong, apa orang jualan bisa tanpa modal? Jualan apa coba? Tak ada
yang menarik dari yang simbah punya. Jualan dirumah gubug itu, apapun yang
simbah jual mana bisa laku? Gubug buruk dan kotor, untuk jualan makanan orang
juga nggak suka, jijik lah. Jualan apapun nggak akan menarik, ya sudah biarkan
begini saja. Repot amat.”
“Nanti
pak Murti yang akan mengaturnya.”
“Pak
Murti lagi? Sudah jangan ngomong saja, mana KTP aku?”
“Masih
ada dirumah, nanti kalau simbah sudah tidur saya mau pulang sebentar, mengambil
KTP simbah, dan baju simbah untuk ganti, dan uang simbah juga.”
“Uang
untuk apa? Katamu disini semuanya gratis?”
“Barangkali
simbah mau beli sesuatu.”
“Oh iya,
tolong belikan aku kinang ya, mulutku pahit kalau tidak nginang.”
“mBah,
dirumah sakit tidak boleh nginang, nanti kotor kasur dan bantalnya. Bisa merah
semua.”
“Kalau
begitu aku mau pulang saja, nggak mau aku kalau nggak boleh nginang.”
“Ya
sudah, nanti saya belikan.”
“Sekarang
saja, aku penginnya sekarang, atau aku mau beli sendiri saja? Susah aku kalau
apa-apa dilarang.”
“Baiklah,
baiklah… biar saya pulang dulu sama beli kinang, tapi simbah tidur ya, kalau
nggak mau tidur nanti disuntik lagi lho.”
“Ya
sudah, sana pergi, mengapa tiba-tiba kamu cerewet?”
Simbah
sebenarnya sangat kuat, ia masih bisa bicara lancar, tapi sebenarnya ada yang
terasa nggak enak ditubuhnya. Entah apa penyakitnya, tapi simbah tak mau
mengakuinya. Ia juga kesal banyak di atur. Lalu tiba-tiba simbah melirik kearah
selang yang terasa menjerat lengannya.
“Benarkah
kalau aku copot selang itu lalu darahku akan habis? Pasti dia bohong, Ini
sangat menyiksa, terkadang terasa perih,” gumamnya. Lalu dengan sebelah
tangannya, simbah meraba jarum yang menancap di lengannya.
***
Besok lagi
ya