Friday, July 30, 2021

JANGAN DIBACA 2

 

JANGAN DIBACA, INI LEBIH MEMBOSANKAN

(Tien Kumalasari)

 

Melewati hari-hari dengan rasa tidak enak itu sangat menyiksa. Dari tangan yang tak pernah berhenti menyambar pekerjaan apapun, terpaksa harus diam, menatap langit-langit kamar yang tak ada manis-manisnya, atau memeluk guling yang tak ada hangat-hangatnya.

Ucapan anak-anak yang datang selalu sabar ya mah, istighfar ya mah. Baiklah..

Lalu ada sebuah paket dari ibu Rupindah di Situbondo. Itu seperti kopi yang diminum dengan telur mentah, putih berikut kuningnya. Membayangkan rasanya ingin muntah, tapi ternyata tidak terasa amisnya sama sekali. Aku minum selama empat hari, suami yang suka. Terimakasih jeng In.

Lalu sebuah paket lagi datang, dari ibu Jainah. Sebotol Propolis British. Aku minum setip pagi dan sore. Dan sehari setelahnya dua botol madu dari kakek Habi. Yang aku heran, bagaimana kakek bisa menangkap lanceng lalu meminta madunya. (aku ngguyu dewe iki, wong dagelan tak gawe dewe tur ya ora lucu).

Semua pemberian aku minum dengan rasa percaya diri bahwa itu adalah jalan Allah untuk kesembuhan aku.

Disamping itu aku juga minum obat dari dokter.

Ketika aku mampu bangkit, lalu berjemur sebentar, aku menyempatkan duduk sambil memangku laptopku. Demi apapun, begitu membuka laptop tangisku pecah tak terbendung. Banyak cinta tersimpan disana, banyak doa dan kasih sayang sedalam samodera setinggi langit biru (agak puitis ya) terlukis disana yang tak akan pernah aku lepaskan dari relung hati paling dalam, karena sebuah cinta dan doa adalah yang terindah serta termulia.

Aku kembali tersedu, ya Allah, siapakah aku ini maka mendapatkan kasih sayang dariMu melalui para sahabatku ?

***

Hari ini aku bilang ingin makan singkong, ini sudah pernah aku ceritakan ya, lalu ingin makan masakan misoa, yang oleh salah seorang sahabat saya dikira masakan dari suami. Halloww.. jeng Nani, suami saya bisanya masak telur ceplok. Hahahaa..

Saat aku sakit itu, tak banyak yang tahu. Mereka masih mengira aku sakit gara-gara operasi patah tulang.

Dan yang sering mengirim WA adalah teman-teman yang biasanya meminta aku mencarikan obat ini, obat itu.

Ya ampuun, itu obat-obat kebanyakan untuk covid, yang mendaptkannya di apotik dengan cara hampir berebut.

Apa boleh buat, ini demi orang sakit juga. Aku kirim pesan ke apotik yang aku kenal. Ada nggak obat ini.. terkadang dapat, tapi sering juga tidak. Ada sebuah apotik yang larisnya jangan ditanya. Semua pesananan harus lewat WA, aku kirim WA pagi-pagi, jawabnya sore menjelang tutup hanya untuk bilang tidak punya. Aku pengin marah, sama siapa, kalau tidak punya mbok dari tadi sehingga aku tidak harus menunggu.

Aku punya teman apoteker di RS Pusat Muwardi, dengan harapan pasti akan dapat, aku hubungi dia. Jawabnya adalah, walah mbak, aku tadi malah nempil di apotik luar. Hadewww.

Kesibukan mencarikan obat untuk teman-teman itu ternyata juga menyita energiku juga. Jadi setiap setelah jam 8 HP disita atau dimatikan anakku supaya aku bisa tidur sore.

***

Sekarang aku sudah letih menulis , dan yang ditulis apa lagi malah bingung dewe. Jangan-jangan penyemangatku pada lari karena benar-benar bosan. Yang penting aku sudah suka makan kecuali nasi dan bubur.

Terimakasih saya untuk jeng In Rupindah, jeng Jaenah, mas kakek, mas Yowa yang juga selalu menyemangati saya, jeng Iyeng, jeng Nani, Rintooooo… mana Rinto, jeng Salamah, ibu Min Djoefri, Ibu Werdi, ibu Budi, aduh banyak yang lupa nih, mbakyu Retno, ibu Dartini Dunak (eh mirip namaku nih)  mas Andreas, mas Hadi, mas Bambang Pramadi, ibu Sis Hakim, jeng dokter Dewiyana ,mas dokter Mudzakir, mas dokter Haryanto, mas dokter Mazwar di Kalimantan sana. Arsi, mas Wahjoe,pak Rudi, mas Maryo, Ninok, aduh… banyak banget, mohon maaf kalau tidak tertulis disini ya, pokoknya aku menulisnya dalam hati dengan penuh cinta dan kasih sayang. Jangan bilang lebay ya. Iki tenanan.

Sekali lagi terimakasih atas semua doa, penyemangat dan kasih sayang yang tak terhingga. Tetaplah menjadi saudara saya.

***



Besok lagi ganti Suni ya, ini dia sudah gedrug-gedrug nungguin di parkiran.

Tuesday, July 27, 2021

JANGAN DIBACA

 

JANGAN DIBACA, INI MEMBOSANKAN

(Tiem Kumalasari)

 

Beberspa hari setelah lebaran tahun ini, keluarga saya dan adik-adik saya, bersantai ria di Tawangamangu dengan menyewa sebuah vila. Senang sih, lihat anak cucu bercanda, nyanyi-nyanyi bersama dan kegembiraan itu sungguh sudah lama tidak kita rasakan. Walau begitu saya tetap melanjutkan menulis malam itu lho.

Subuh dini hari, saya terbangun dan siap bersholat. Saya berjalan kearah tempat yang agak lapang, karena anak-anak masih pada tidur disana sini.

Tapi malangnya, saya melangkah tanpa tahu ada tangga kecil didepan saya. Sayapun jatuh dan kesakitan, membangunkan seisi rumah.

Keponakan saya memijit-mijit telapak kaki kanan saya, mengira saya keseleseo.

Hari itu sakit berkurang, sampai di rumah, lalu berhari-hari kemudian, saya melakukan aktifitas seperti biasa, bahkan bekerja di apotik sampai malam.

Tapi lama kelamaan kaki saya bengkak. Anak saya membawa ke laborat Budi Sehat untuk rongent, hasilnya, kelingking kanan (agak keatas,) namanya lupa, patah. Kami langsung kerumah sakit. 

“Nanti malam puasa, besok jam lima pagi sudah harus datang kesini,” kataa dokter tanpa belas.

“Aaap..pa dok?”

“Operasi,” lalu dokter itu pergi karena beberapa pasien sedang menunggu.

Wajahku pucat pasti. Membayangkan jarum-jarum yang entah akan berapa kali menusuk tubuhku.

“Nggak apa-apa ma, nggak akan terasa sakit.,” hibur anakku.

“Lha suntiknya itu…” aku mengomel sambil pulang.

Apa boleh buat. Suka atau tidak aku harus menjalani.

***
Setelah subuh aku sudah berganti pakaian dan dua orang anakku sudah siap mengantarkan.

Jam lima.. jam enam.. jam tujuh.. jam delapan.. ada pemeriksaan tekanan darah, rontgen, jantung. Aku terduduk lemas. Jam sembilan namaku dipanggil. Telapak tanganku dingin. Aku menggenggam tangan anaku.

Perawat mencobloskan jarum pertamanya, aku hampir menjerit, tapi anakku masih ada didekatku, sedikit tenang. Tapi dengan ‘kejam’ kemudian perewat meminta anakku keluar.

Huaaaaa…

“Ibu takut? Serahkan semuanya pada Allah, dan pada saya. Nggak sakit kok.”

Mulutku komat kamit melantunkan doa.

Aku disuruh duduk.

“Dibius ya bu?” Sekian detik kemudian sebuah jarum mencoblos punggungku. Mau berteriak aku malu. Ya udah.

Aku dibius dari perut sampai kaki. Telinga mendengar tapi mata ditutup. Itu sekitar jam 9.20 pagi.

Keluar dari kamar operasi jam 10 kurang.  Aku di bawa ke ruang inap. Boleh pulang ketika pengaruh bius sudah hilang.

***

Hari terus berjalan. Dan dengan tak terduga perhatian  dari banyak sahabat seperti air bah mengguyur saya dengan taliasih dan doa. Aku menangis, sungguh apalah aku ini maka bisa mendapatkan perhatian dan cinta yang demikian besar.? Dari Sragen, Jogya Klaten, Semarang, Bandung, Pekalongan, Sukoharjo, pensiunan RS Jiwa, Jakarta,  Solo, dan masih banyak lagi.Dan sebagian besar belum pernah aku lihat wajahnya sebelum ini. Aku merasa seperti bermimpi. Ya Allah, aku ini siapa? Dan air mataku tak pernah berhenti mengalir dalam sujud dan sembahku.

Dua belas hari aku absen masuk ke apotik, kemudian di hari ke tigabelas aku kembali bertugas, Tentu saja masih dengan kaki terpincang-pincang.

Tidak masalah, aku mencintai pekerjaanku.

Tanggal 1-2-3 aku masih bertugas, sebelum tgl 6 pengambilan pen. Tiga hari terakhir itu, apotik bukan main ramainya. Pembeli berjubel sampai keluar. Kebanyakan mencari vitamin dan obat untuk covid yang mulai langka.

Aku melayani dengan sabar, dan hampir lima jam selama tiga hari itu tanpa bisa duduk meletakkan pantatk atau sekedar melemaskan kaki. Tiba-tiba aku teringat sepatu roda cucuku. Dengan sepatu roda aku bisa meluncur kesana kemari tanpa harus melangkah. (Kalau tidak justru tersungkur karena kegenitan. Hahaaaa)

Sabtu malam, tiba-tiba aku merasa perutku sakit. Bukan mulas, entah apa pokoknya sakit. Aku mencari di kotak obat dan menemukan Ibuprofen 400 mg.

Aku minum, lalu sampai kapan entah aku bisa tertidur. Ketika bangun, aku melihat suamiku masih terttidur di kursi. Ya Allah ternyata aku sangat dicintai suami aku (ehem).

“Papah tidur saja, aku sudah nggak apa-apa” kataku penuh iba..

Pagi harinya aku masih belum merasakan apa-apa. Masih sempat menyiapkan kapsul Sambiloto sebanyak 24 botol.

Tapi sore hari badan saya panas. Saya masih merasa kecapaian. Lalu minum lagi turun panas. Tapi tiap 4 jam panas itu terus-terusan muncul.

Sekilas terbersit rasa,  apa ini corona? Tapi tak ada tanda-tanda untuk itu. Aku teringat dulu pernah sakit kuning dengan panas yang hilang muncul.

Pagi hari saya ke laborat. Cek ini itu semuanya normal kecuali SGOT 47, dan Widal potitip.
Astaga, aku kena tifes? Hasil laborat saya kirimkan ke dokter.

“Ini belum tentu tifes, harus cek anti Salmolella thipy,” katanya.

Aduh, padahal tidak semua laborat ada alatnya. Yang ada hanya di Prodis dan Budi Sehat.

Hasilnya, saya negatif tifes. Lhah, saya sakit apa? Kata dokternya ya karena SGOT kamu tinggi itu.

Nggak terima, aku browsing di mbah google. Ada pengaruh berbedaan hasil cek anti salmonella thipy, yaitu kira begini, mungkin penderita pengidap bronchtis, atau apa.. atau apa.. yang saja tidak semuanya, kecuali satu saat diperiksa sedang minum antibiotik.

Nah itu benar, aku kan habis pengambilan pin dan minum antibiotik.

Aku awam, jadi sedikit bingung. Obat dari dr pertama tetap aku minum. Suami konsul lagi ke dokter lain. Katanya INI TIFES.

Aku diberikan antibiotik yang ternyata aku nggak tahan. Levofloxacin 2 kali sehari, Baru sekali perutku rasanya nggak enak, dada berdebar-debar.

Aku berhenti, meneruskan minum antibiotik dari dokter pertama.

Aku sudah nggak panas, tapi nafsu makan hilang ntah kemana. Jeng dokter Dewiyana meminta agar di infus. Saya setuju, tapi ternyata tidak mudah mencari perawat supaya mau datang ke rumah. Lapor ke dokter, bedrest di rumah sakit saja.

Aku nggak mau. Lalu dokter memberi obat lagi untuk perut, Ramuan ada Strocain, Ondansetron, Acpulsif Clobazam.. dan lain-lain.

“Aku menjerit kepada Allah, Ya Gusti sesembahan kawula, kawula semende lan pasrah sumarah wonten ngarsa paduka, nyuwun mugi paduka entasaken kawula saking panandang punika,” bisikku sambil menangis.

Suamiku juga menangis.

“Mah, kamu tidak akan mati.”

Esok paginya saya sudah punya keinginan. Pengin ketela rebus.. hahaaa.. aku kan anak singkong… dan seterusnya aku mau makan,  kecuali nasi. Nasi sebatas lontong saya mau, tapi tanpa lauk.

Dengan berjalannya waktu, dengan sejagad doa yang datang dari para saudara saya, saya mulai memiliki kekuatan kembali.

Ya Allah, tangisku adalah rasa terimakasihku, sembahku adalah sujudku. Karena aku bersandar padaMu, maka Kau berikan kekuatan ini.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Lho iki piye, cok ceritanya beda, perasaan Suni sama Darman sudah turun dari mobil, kok jadi ganti cerita. Duuh.. orang sakit terkadang gemblung ya.

***

Besok lagi ya

 

Saturday, July 10, 2021

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 42

 

MENGAIS CINTA YANG TERSERAK  42

(Tien Kumalasari)

 

Indri bergegas melangkah, menyibakkan kerumunan didepan gubugnya simbah, wajahnya tampak panik.

“Ada apa ini? Ada apa?”

“Tadi nggak tahu dari mana, tiba-tiba pingsan dijalan sana,” kata seseorang.

Indri langsung masuk, dilihatnya seseorang sedang mengurut-urut tubuh simbah dengan minyak gosok.

“mBah.. simbah.. simbah kenapa ?” tanya Indri sambil menggoyang-goyangkan tubuh simbah.

Tapi simbah diam, matanya terpejam.

Dua orang lagi masuk, mereka adalah pak Murti dan Yessyta.

“Ada apa?”

“Indri, apa yang terjadi?”

“Tadi sepertinya simbah habis beli makanan, tapi tiba-tiba terjatuh disana,” kata yang lainnya.

“Lalu kami mengangkatnya kemari.”

“Tolong, bisakah beberapa orang mengangkat tubuh simbah ke mobil saya?” kata pak Murti yang berinisiatif membawanya ke rumah sakit.

Beberapa orang laki-laki mengangkat tubuh simbah, membawanya keluar.

“Dimana mobilnya pak?”

“Disana, dijalan besar,” kata pak Murti yang mengikuti keluar. Kepalanya hampir terantuk pintu yang sangat rendah dibandingkan tubuh pak Murti yang tinggi besar.

Indri menangis terisak, Yessyta menggandengnya.

“Aku sudah melarangnya membeli nasi, simbah nekat. Mungkin kecapekan karena tidak tidur semalaman,” kata Indri yang terus mengikuti orang-orang yang mengusung tubuh simbah.

“Bapak, jalannya pelan-pelan,” kata Yessyta sambil menuntun ayahnya, karena jalanan di lorong itu tidak beraspal, bahkan banyak bebatuan menonjol. Sementara pak Murti ingin cepat-cepat sampai ke mobilnya.

“Masukkan saja, suruh sopirnya membuka mobilnya, di belakang.. ya, tidurkan di jok belakang,” teriak pak Murti memberi aba-aba.

“Indri yang sudah berjalan lebih dulu ikut mengatur mereka yang menidurkan simbah di jok belakang.

“Indri, kamu naik saja, jagain simbah, langsung ke rumah sakit,” teriak Yessyta yang sudah dekat.

“Bapak naik ya. Didepan.”

“Yessyta  membantu bapaknya naik ke mobil, lalu dia sendiri naik dibelakangnya, dengan mengangkat kaki simbah, sementara Indri memangku kepalanya.

“Cepat ke rumah sakit,” perintah pak Murti.

Mobil itu berlalu diiringi perasaan heran pada orang-orang yang tadi membantu simbah.

“Hebat, siapa orang itu, begitu perhatian sama simbah?”

“Seorang dermawan pastinya,” kata yang lainnya.

“Beruntung sekali simbah, dibantu oleh orang kaya.”

“Semoga simbah tertolong, dia tak kelihatan sejak kemarin sore, katanya pergi ke pernikahan cucu keponakannya.”

“Kecapekan barangkali. Mungkin ikut bantu-bantu apa, gitu.”

“Kasihan, semoga tertolong, dia orang baik.”

“Benar, biarpun miskin suka sekali memberi. Anak-anak kecil yang lewat suka diberinya uang.”

“Ya, benar, dia orang baik, makanya ditolong oleh orang baik juga.”

“Beberapa hari terakhir ini ada yang menemani dia, wanita cantik yang cacat tangannya.”

“Kata simbah dia cucu jauh, aku pernah bertemu dan menanyakannya.”

“O.. baru sekarang aku melihatnya.

***

Simbah sudah dibawa ke UGD, pak Murti duduk menunggu ditemani Yessyta dan Indri yang diam dengan wajah cemas. Sesekali dia mengusap air matanya.

“Tenang Indri, simbah akan ditangani.”

“Dia seperti orang tua saya. Dia penolong saya. Jangan sampai saya kehilangan dia, ya Tuhan, tolonglah,” isak Indri.

“Dia akan tertolong, mungkin hanya capek.”

“Simbah punya uang tabungan sebanyak tiga juta, saya lupa membawanya, kan bisa untuk membayar biaya perawatan simbah.”

“Oh, simbah punya tabungan juga?”

“Baru tadi pagi dia menyerahkan uang itu pada saya. Katanya dia menabung uang itu selama bertahun-tahun.”

“Luar biasa dia.”

“Apa boleh saya mengambilnya dulu? Simbah kan butuh biaya?”

“Jangan memikirkan itu, biarkan saja uang simbah, aku yang membawanya kemari, jadi aku yang akan membayar semuanya,” kata pak Murti.

“Ya Allah… Bapak sungguh baik, terimakasih pak,” kata Indri sambil merangkapkan tangannya.

“Jangan memikirkan apapun, seandainya dia harus dirawat, itu tanggung jawab saya.”

“Terimakasih, pak,” kata Indri sambil mengusap air matanya.

“Bapak maukah diantar pulang dulu ? Biar Yessy sama Indri menunggui simbah.”

“Aku menunggu hasil pemeriksaan simbah dulu.”

“Nanti bapak capek ? Atau biar di jemput mas Gunawan?”

“Tidak, dia sedang bekerja, jangan ganggu dia. Begini, bukankah simbah itu kerabatnya Darman ?”

“Iya benar, Yessy harus menelpon Suni untuk mengabarkan keadaannya ya pak,” kata Yessyta.

“Nah, itu kamu pintar.”

Lalu Yessyta menelpon Suni.

“Maksud bu Yessy mbah Marto? Buliknya mas Darman ?” tanya Suni ketika Yessyta menelponnya.

“Iya, benar, yang semalam ikut nonton wayang di pernikahan kamu.”

“Lhoh, yang benar. Kok bu Yessy tahu ?”

“Ya tahulah, pokoknya ceritanya nanti saja, yang penting segera kabari suami kamu dan keluarganya. Dia dirawat di rumah sakit dimana bapak dulu dirawat.”

“Oh iya bu, baiklah, saya akan segera bilang sama mas Darman. Agar kami segera bisa kesana.

Begitu selesai menelpon, Yessyta melihat dokter keluar dari ruang UGD, Yessyta memburunya, diikuti Indri.

“Dokter, bagaimana keadaan simbah?”

“Dia sudah sadar, kalau bisa sebaiknya dirawat untuk beberapa hari.”

“Tentu dokter, kalau itu memang harus. Tapi bagaimana keadaannya? “

“Parahkah sakitnya?” sambung Indri.

“Dia sudah tua, tapi dia kuat kok. Hanya saja dia kelelahan. Tidak sakit apa-apa,” kata dokter sambil berlalu.

Indri menarik napas lega, lalu ia menghambur masuk ketika perewat jaga mengijinkan.

“Simbah… simbah…” tangisnya.

“Lha kamu itu mengapa menangis? Trus aku dimana ?”

“Simbah dirumah sakit..”

“Jadi aku ini sakit? Mana nasi yang tadi aku beli? Buat makan kamu sama aku, nasi kucing enak lho.”

“Simbah pingsan ketika membeli nasi, lalu digotong orang-orang kerumah, terus pak Murti membawanya ke rumah sakit.”

“Pak Murti itu siapa? Suami kamu?”

“Simbah ada-ada saja…”

“Aku yang namanya pak Murti,” kata pak Murti yang tiba-tiba muncul.

“Lho.. ini kan.. ini kan.. dia.. dermawan itu..”

“mBah, syukurlah simbah masih ingat aku, aku mencari simbah kemana-mana.”

“Mengapa mencari saya pak? Orang tua yang sudah renta, mau diapakan? Aduh, nduk, aku mau pulang saja, nggak mau aku, ini apa, lenganku diberi selang-selang apa ini?”

“Simbah jangan bandel, itu dokter yang kasih, supaya simbah kembali kuat. Awas ya, jangan dilepas.”

“Ribet sekali. Mana nasi bandeng yang aku beli, aku lapar menunggu kamu pulang,” kata simbah tak peduli pada pak Murti yang berdiri sambil memegang tongkat dan tersenyum-senyum melihat ulah simbah.”

“Biar Indri membelikan simbah nasi, kalau simbah lapar.” kata pak Murti.

“Indri itu siapa ?”

“Lhoh, simbah itu gimana, bukankah ini .. teman simbah ini.. namanya Indri?”

“Namamu Indri ? Aku tidak tahu, wong aku tidak pernah bertanya siapa namanya.”

“Haa, benarkah ?”

“Benar pak, kami bersama-sama selama berhari-hari, tapi tidak pernah saling menanyakan nama, dia juga tidak bertanya siapa saya dan kenapa saya ini.”

“Orang aneh..” lalu pak Murti tertawa terkekeh.

“Bapak dermawan ini juga aneh, nggak kenal nggak apa, tapi membawa saya kemari, apa disini ini tidak bayar?”

“Tidak mbah, disini semua gratis. Simbah mau apa juga gratis.”

“Wah, berarti ini juga rumah sakit dermawan?”

Pak Murti kembali terkekeh.

“Tapi aku tidak suka, kasurnya terlalu empuk.”

“mBah, simbah sedang dirawat supaya simbah sehat dan kuat, jadi nggak boleh bandel.”

“Aku tidak suka..”

“Harus suka, nanti aku selalu nungguin simbah disini.”

“Pokoknya simbah harus menurut, kalau tidak.. nanti akan disuntik dengan jarum yang lebih besar,” canda pak Murti sambil berjalan keluar.

“Hiih.. dermawan tapi suka nakut-nakutin orang,” gerutu simbah.

“mBak, kamar sedang disiapkan, simbah akan dipindahkan segera,” kata petugas UGD.

“Oh, iya, baiklah.”

“Hei, aku mau dipindah kemana ?”

“Simbah, akan dipindahkan ke kamar yang lebih nyaman.”

“Lebih nyaman itu apa? Lebih nyaman itu pulang ke rumah.”

“Tidak, simbah harus nurut, paling hanya sehari dua hari.”

Indri keluar karena perawat sudah siap membawa simbah untuk pindah ke kamar rawat, yang sudah dipesan Yessyta.

Ketika Indri keluar, dilihatnya pak Murti hanya sendirian.

“Dimana mbak Yessy?”

“Sedang ke warung diluar itu, membeli nasi, katanya simbah lapar,” kata pak Murti yang sangat perhatian pada simbah.

Indri sangat terharu, sebuah kemuliaan hati yang pantas diteladani. Ia kemudian duduk dan kembali mengusap air matanya.

“Sudah, jangan menangis lagi, simbah kamu akan dirawat dengan baik. Dan dengar, nanti setelah simbah itu sembuh, dilarang lagi memulung. Dia akan berjualan apa saja yang dia suka, nanti aku carikan tempat, sekaligus tempat simbah tinggal setelahnya. Kamu bisa memasak ?”

“Tidak pak,” jawab Indri lirih, tersipu.

“Belajar masak sama Suni, Suni itu kalau masak enak sekali. Kalau kamu pintar masak, kamu bisa membantu simbah jualan. Kamu yang masak, simbah yang jual. Bagaimana?”

“Baiklah, saya akan belajar pak.”

“Bagus sekali, tapi sebelumnya kamu harus perbaiki dulu tangan kamu itu, mungkin agak lama, tapi pasti bisa.”

“Terimakasih, pak.. Saya menangis, lebih karena semua kebaikan bapak, yang sangat perhatian kepada simbah. Saya merasa bahwa saya ternyata manusia yang sangat kotor dan tidak berharga.”

“Haa, mengapa kamu berkata begitu? Kotor dan tidak berharga? Tahukah kamu harga sebuah kebaikan? Harga sebuah kesadaran? Kamu sadar akan semua kesalahanmu, dan itu sangat berharga. Kamu meminta maaf, itu juga sangat berharga. Jangan menghitung sesuatu dengan materi. Jangan. Kekayaan materi bukan ukuran berharga atau tidaknya manusia. Jangan salah mengartikannya, dan lupakan kalau aku melakukan sesuatu untuk kalian, aku tak ingin punya harga atas semua itu. Biarlah Yang Diatas Sana yang menghargainya. Bukan kamu, bukan siapapun. Mengerti maksudku?”

Indri mengangguk mengerti, dan air matanya semakin deras mengalir.

Sementara itu simbah sudah dibawa ke ruang rawat, Indri berdiri bermaksud mengikutinya, tapi pak Murti tidak.

“Kamu saja yang ikut kesana, kalau aku ikut, nanti simbah kamu itu akan ngomong yang macam-macam dan banyak protes. Lakukan yang terbaik dan jangan pikirkan biayanya. Bilang sama simbah bahwa disini semuanya gratis. Mengerti?”

“Ya pak, sekali lagi terimakasih.”

“Sudah sana.. kebanyakan terimakasih aku nanti.”

Ketika Yessyta datang, pak Murti segera menyuruhnya membawa ke ruang inap untuk simbah. Biarpun bukan ruangan VIP tapi simbah mendapat ruangan yang baik.

“Berikan saja nasinya, biar mereka makan dan minum, lalu kita pulang,” kata pak Murti.

***

“Gun, kamu masih ingat ruko yang dulu kita beli untuk tempat tinggal pak Man, sopir kita?” kata pak Murti ketika menelpon Gunawan dalam perjalanan pulang.

“Iya pak, masih ada, mau dijual kah?”

“Tidak, suruh orang membersihkan tempat itu, dan atur supaya pantas ditinggali lagi.”

“Perabot yang dulu dipakai pak Man masih ada disana.”

“Bagus, suruh orang membersihkannya.”

“Siapa yang mau tinggal disana pak?”

“Simbah.”

“Simbah siapa pak?”

“Seharian ini ada kejadian luar biasa, aku sudah ketemu simbah, nanti sore kalau kamu pulang saja ceritanya. Pokoknya heboh.”

“Bapak mau agar nanti simbah tinggal disana ?”

“Ya, dan berjualan apa saja yang dia suka.”

“Ah, syukurlah, kelihatannya benar-benar heboh.”

“Tapi sekarang dia ada dirumah sakit.”

“Lhah, kenapa pak? Sakit apa?”

“Nanti saja ceritanya, hari ini kamu sibuk kan, nanti sore kamu akan mendengar semuanya. Tapi urus dulu itu, ruko yang tidak dipakai lagi. Besok harus sudah mulai di bersihkan.

“Baik lah, sekarang juga saya akan mencari orang untuk membersihkan semuanya.”

“Haa.. bagus.”

***

“nDuk.. siapa tadi namamu.. Indri ya?”

“Iya, mbah. Simbah kan mbah Marto?”

Simbah tertawa, menampakkan giginya yang ompong.

“Aku ini orang yang tidak pernah peduli pada apapun, siapa nama aku, nama kamu, yang penting bisa berhubungan baik.” katanya walau dengan pelan. Sesungguhnya simbah memang merasa lemas.

“Iya mbah.”

“Mengapa aku ditidurkan di sini? Kasurnya terlalu empuk.. dan lenganku ini.. pegal rasanya, bagaimana kalau selangnya kamu copot saja?”

“Oo, jangan mbah, dicopot bagaimana? Itu kerjaan dokter. Kalau saya atau simbah mencopotnya, bisa berbalik darah simbah yang keluar sampai habis,” kata Indri menakut-nakuti.

“Haahh? Begitukah ?”

“Ya iyalah mbah, itu kan kerjaan dokter. Namanya itu infus. Itu isinya obat, yang bisa membuat simbah kuat.”

“Simbah itu sudah mau mati, dibawa kerumah sakit ya percuma saja.”

“Darimana simbah tahu kalau simbah mau mati ? Simbah sudah ketemu malaikat pencabut nyawa ?”

“Aah, ya bukan begitu, ingat, simbah itu sudah delapanpuluh tahun. Lhaah.. mana KTP simbah? Disitu ada catatan umurnya.”

"Simbah tahu nggak, pak Murti tadi bilang, besok kalau simbah sudah sembuh, simbah nggak boleh lagi memulung.”

“Lhah, memangnya dia itu siapa kok melarang simbah memulung?”

“Bukan karena dia siapa mbah, dia itu kasihan melihat simbah yang sudah tua masih menelusuri jalan untuk memulung.”

“Kamu kan tahu bahwa itu kehidupan aku?”

“Ada jalan lain untuk mencari nafkah.”

“Hahh.. kata siapa?”

“Simbah bisa duduk manis sambil berjualan. Mungkin jualan makanan, atau jualan apa lah, yang penting bisa mendapat penghasilan dari itu.”

“Enak saja kamu ngomong, apa orang jualan bisa tanpa modal? Jualan apa coba? Tak ada yang menarik dari yang simbah punya. Jualan dirumah gubug itu, apapun yang simbah jual mana bisa laku? Gubug buruk dan kotor, untuk jualan makanan orang juga nggak suka, jijik lah. Jualan apapun nggak akan menarik, ya sudah biarkan begini saja. Repot amat.”

“Nanti pak Murti yang akan mengaturnya.”

“Pak Murti lagi? Sudah jangan ngomong saja, mana KTP aku?”

“Masih ada dirumah, nanti kalau simbah sudah tidur saya mau pulang sebentar, mengambil KTP simbah, dan baju simbah untuk ganti, dan uang simbah juga.”

“Uang untuk apa? Katamu disini semuanya gratis?”

“Barangkali simbah mau beli sesuatu.”

“Oh iya, tolong belikan aku kinang ya, mulutku pahit kalau tidak nginang.”

“mBah, dirumah sakit tidak boleh nginang, nanti kotor kasur dan bantalnya. Bisa merah semua.”

“Kalau begitu aku mau pulang saja, nggak mau aku kalau nggak boleh nginang.”

“Ya sudah, nanti saya belikan.”

“Sekarang saja, aku penginnya sekarang, atau aku mau beli sendiri saja? Susah aku kalau apa-apa dilarang.”

“Baiklah, baiklah… biar saya pulang dulu sama beli kinang, tapi simbah tidur ya, kalau nggak mau tidur nanti disuntik lagi lho.”

“Ya sudah, sana pergi, mengapa tiba-tiba kamu cerewet?”

Simbah sebenarnya sangat kuat, ia masih bisa bicara lancar, tapi sebenarnya ada yang terasa nggak enak ditubuhnya. Entah apa penyakitnya, tapi simbah tak mau mengakuinya. Ia juga kesal banyak di atur. Lalu tiba-tiba simbah melirik kearah selang yang terasa menjerat lengannya.

“Benarkah kalau aku copot selang itu lalu darahku akan habis? Pasti dia bohong, Ini sangat menyiksa, terkadang terasa perih,” gumamnya. Lalu dengan sebelah tangannya, simbah meraba jarum yang menancap di lengannya.

***

Besok lagi ya

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...