Saturday, February 26, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 50

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  50

(Tien Kumalasari)

 

“Aku mau membayar administrasi dulu ya Man,” kata Tindy.

Tapi melihat Sarman terpaku di tempatnya berdiri, Tindy merasa heran. Tampaknya Sarman pun juga akan ke kantor yang sama.

“Kamu juga mau kemari Man? Siapa yang sakit?” tanya Tindy sambil menatap Sarman yang tampak kebingungan.

“Sedianya saya juga mau membayar Bu,” katanya ragu.

“Ya sudah ayo sama-sama, boleh kamu dulu atau biar aku dulu, nggak masalah. Yang sakit saudara kamu, atau orang tua kamu?”

“Ti_ tidak Bu, saya juga mau membayar untuk … untuk … pak Haryo.”

Tindy heran, ia mengurungkan langkahnya yang sudah hampir sampai di antrean loket. Ia mendekati Sarman.

“Maksudmu apa Man? Pak Haryo yang kamu maksud itu … apakah pak Haryo suamiku?”

Sarman mengangguk pelan.

“Tunggu … sini bicaralah,” kata Tindy yang kemudian mengajak Sarman duduk.

Sarman bingung, diantara harus memegang rahasia yang di amanatkan Haryo, atau berterus terang. Tapi kalau bu Haryo sudah mengurus suaminya, apa yang harus dirahasiakan lagi? Ia duduk di samping Tindy. Rasanya memang sudah saatnya dia berterus terang, karena menyimpan rahasia menurutnya seperti sedang memikul beban.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Tiba-tiba aku merasa bahwa kamu ada hubungannya dengan keadaan pak Haryo saat ini. Lalu ketika kamu menyerahkan amplop itu, bukankah sebenarnya kamu tahu dimana pak Haryo berada?”

Sarman tertunduk malu, karena ketahuan telah berbohong.

“Saya mohon maaf Bu, sebenarnya saya memang berbohong pada Ibu.”

“Baiklah, aku percaya bahwa kamu anak baik, jadi pasti kamu punya alasan, bukan?”

Lalu Sarman menceritakan perihal pertemuannya dengan Haryo sejak Haryo memintanya agar menjemput ke rumah sakit, untuk mengantarkannya pulang dengan permintaan bahwa Sarman harus merahasiakan tempat tinggalnya. Dan karena iba melihat keadaan Haryo, maka Sarman sering datang untuk membantunya. Baik untuk membersihkan rumah maupun membelikan apa yang Haryo butuhkan. Bahkan Haryo juga menyuruhnya menjual mobilnya lalu mengirimkan amplop kepada Tindy.

Tindy menghela napas sedih. Ia merasa bahwa suaminya merasa sangat terbebani atas semua kesalahan yang dilakukannya, sehingga tak punya keberanian untuk menemuinya, apalagi pulang ke rumahnya.

“Pak Haryo sangat menyesali perbuatannya. Itu membuat saya iba, Bu,” lanjut Sarman sambil terus menundukkan wajahnya.

Kemarin sore ketika saya pulang dari bekerja, saya mampir ke rumah pak Haryo, karena saya melihat bahwa pak Haryo seperti orang sakit, setelah mengajak saya makan, kemudian mampir di rumah saya. Dan benar saja, ketika saya datang, pak Haryo tampak lemas di tempat tidurnya, badannya sangat panas. Saya berusaha mengompresnya, tapi karena ketakutan, saya membawanya ke rumah sakit. Saya memilihkan kamar inap karena pak Haryo memang harus rawat inap. Dokter menghawatirkan keadaannya dan harus diperiksa lengkap keesokan harinya. Semalam saya menemaninya di ruangannya, tapi pagi tadi saya tinggalkan pak Haryo karena saya harus bekerja. Saya menitipkannya kepada suster perawat,” kata Sarman panjang lebar.

“Apa kamu tahu? Pagi tadi pak Haryo pulang paksa.”

“Masa Bu? Saya sama sekali tidak tahu. Saya tadi mengambil uang untuk membayar sebagian beaya perawatan pak Haryo.”

“Dan aku bertemu di jalan saat dia hampir pingsan.”

“Ya Tuhan, mengapa Bapak melakukan itu?”

“Aku belum banyak bicara. Tapi nanti kita pasti akan menemukan jawabannya. Aku harus berterima kasih karena kamu telah membantunya dalam banyak hal.”

“Tidak usah berterima kasih Bu, siapapun akan melakukan hal yang sama kalau melihat keadaan seperti yang pak Haryo alami.”

“Tidak, menurutku kamu telah melakukan hal yang luar biasa. Sebentar, aku ke loket dulu, nanti kita temui pak Haryo bersama-sama. Mungkin kamarnya telah berbeda dengan kamar yang kemarin kamu pesan.”

“Maaf Bu, saya bingung. Saya pikir kelas satu sudah bagus.”

“Bukan masalah kamarnya, maksudku kalau kamu mencarinya ke kamar sebelumnya, kamu tidak akan ketemu karena mungkin aku memesan kamar yang berbeda. Sebentar ya, tunggu aku disini.”

Sarman menyandarkan tubuhnya dengan lega. Ia yakin Haryo tak akan marah karena dia mengatakan semuanya kepada isterinya. Bukankah isterinya begitu baik dan bersedia mengurusnya? Rupanya Haryo takut kepada bayangannya sendiri, atau terlalu memiliki gengsi yang tinggi, entahlah. Tapi pertemuan Haryo dan isterinya sungguh membuat Sarman lega. Ia tak usah terlalu bingung mengurusnya.

***

Desy mendekati ayahnya, ketika melihat tubuh ayahnya bergerak.

“Bapak ….” Bisiknya.

Haryo membuka matanya.

“Mengapa ibumu melakukannya?”

“Melakukan apa pak?”

“Menolongku. Kenapa tidak dibiarkannya saja aku?”

“Bapak salah menilai Ibu. Ibu tidak pernah mengabaikan Bapak. Ibu selalu bilang bahwa Bapak masih suaminya.”

Haryo menatap Desy tak percaya.

“Kata Ibu, kalau Allah saja bersedia mengampuni umatnya yang bertobat, mengapa kita tidak bisa melakukannya, sedangkan kita hanyalah umat yang sangat kecil dihadapanNya.”

“Aku merasa kecil di mata ibu kamu.”

“Tidak, Bapak tidak boleh punya perasaan seperti itu.”

“Itu kenyataannya.”

“Menangisi hal lampau yang menyakitkan itu akan terus menerus menyakiti kita. Yang terbaik adalah melupakannya, dan memperbaiki langkah kita.”

“Kamu anak kecil tahu apa.”

“Bapak lupa, Desy bukan anak kecil lhoh. Desy sudah akan menjadi dokter beneran,” jawab Desy pura-pura cemberut.

Haryo mengusap kepala Desy dengan tangannya yang terasa lemah.

“Bapak jangan coba-coba lari seperti tadi ya, awas, mulai sekarang Desy akan terus mengawasi Bapak.”

Haryo tersenyum tipis, lalu memejamkan lagi matanya.

“Apa yang sekarang Bapak rasakan?”

“Hanya demam, dan lemas. Perut terasa begah.”

“Bapak terlalu banyak pikiran.”

Seorang petugas laborat memasuki ruangan Haryo, karena harus mengambil sample darah Haryo untuk diperiksa.

“Maaf dok,” kata petugas meminta ijin.

“Silakan.”

Desy benar-benar merasa lega. Ia berjanji akan merawat ayahnya dengan sebaik-baiknya, dan akan memaksa ayahnya agar tinggal bersama-sama seperti dulu.

Ketika petugas laborat itu pergi, Tindy masuk, bersama Sarman. Desy heran, ia mengenal Sarman sebagai sopir kampus di mana ayahnya mengajar.

“Desy kenal ini kan?”

“Itu kan mas Sarman," kata Desy pelan. Tapi ucapan yang pelan itu terdengar sangat jelas di telinga Haryo. Ia membuka matanya, dan melihat pemuda tegap yang berdiri disamping isterinya sedang menatapnya. Lalu Sarman mendekat.

“Man, aku minta maaf ya.”

“Tidak usah Bapak pikirkan, saya tahu mengapa Bapak melakukannya. Dan rupanya Allah yang telah mengatur semuanya, sehingga Bapak bertemu Ibu. Saya minta maaf karena telah menceritakan semuanya.”

Haryo tak bisa berkata apa-apa. Toh akhirnya Tindy akan mengetahui semuanya. Ada banyak pertimbangan yang akan dilakukannya setelah dia sembuh nanti. Ia tak bisa sepenuhnya mengharapkan Tindy. Bukan karena Tindy masih marah, tapi karena Haryo merasa kecil di mata isterinya. Masih adakah muka? Hanya itu yang selalu dipikirkannya. Tapi sekarang tubuhnya terasa lemas, bahkan bergerakpun seperti tak mampu. Ditambah lagi permasalahan Sarman yang kemungkinan besar adalah darah dagingnya. Hal itu membuatnya semakin tak berdaya menghadapi isterinya.

“Bapak harus tenang. Hal yang paling membahagiakan adalah bisa berkumpul dengan keluarga yang menyayangi. Tidak seperti saya. Saya ini tidak punya siapa-siapa Pak. Ibu saya sudah meninggal, dan Bapak saya entah dimana, sejak saya didalam kandungan tidak pernah memperhatikan saya,” kata Sarman pilu.

Haryo kembali merasa kepalanya semakin nyeri. Hatinya remuk bagai dirajang-rajang. Mulutnya ingin mengatakan bahwa dia lah ayahnya, tapi bibirnya terasa kelu.

“Aku bukan saja penjahat, tapi juga pengecut,” bisiknya pelan.

“Sekarang Mas beristirahat dulu saja, jangan memikirkan apapun, supaya segera sembuh,” kata Tindy yang kemudian mendekati ranjang suaminya.

“Ibu benar, Bapak harus beristirahat dan jangan memikirkan apapun, supaya segera pulih.”

“Man, pegang tanganku,” bisik Haryo lirih. Sarman menurutinya, digenggamnya tangan Haryo dan diremasnya perlahan. Tangan itu begitu panas dan lemas.

“Maukah kamu memaafkan aku?” bisiknya lagi.

“Apa yang Bapak katakan? Bapak tidak bersalah apapun sama saya.”

“Sudahlah Mas, istirahat saja dulu. Rupanya Mas terlalu banyak pikiran,” kata Tindy sambil mengajak Sarman duduk di sofa, bersama Desy juga.

Haryo menatap keduanya.

“Dia darah dagingku, Tindy,” bisikan yang sangat lirih, hanya terlihat bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang terdengar.

***

“Banarkah? Bapak bersedia pulang?” teriak Lala dari negeri seberang ketika Desy menelponnya.

Lalu Desy juga bercerita sekilas tentang pertemuan ayahnya dengan ibunya waktu itu. Tapi Lala sangat sedih mendengar ayahnya dirawat di rumah sakit.

“Bapak sakit apa?”

“Aku kan pernah cerita waktu itu, tentang keadaan Bapak. Tapi sekarang ini tampaknya Bapak sangat tertekan. Makan tidak teratur, lambungnya agak bermasalah.”

“Tapi bagaimana keadaannya sekarang?”

“Sudah lebih baik, sudah bisa tidur nyenyak, tidak gelisah seperti kemarin-kemarin, dan sudah tidak panas lagi.”

“Syukurlah, sedih aku mendengarnya. Tapi  nanti setelah sembuh Bapak mau pulang kan?”

“Semoga saja Bapak mau, sekarang belum bisa bicara banyak, tampaknya rasa tertekan itu masih ada.”

“Maukah Ibu bicara sama Bapak?”

“Ya mau dong Mbak, kan yang menemukan Bapak juga Ibu.”

“Masa sih Bapak tetap tidak mau walaupun nanti Ibu yang mengajaknya pulang?”

“Semoga saja Mbak, Ibu bilang, nanti Ibu akan bicara. Tapi menunggu keadaan dulu, kalau Bapak sudah lebih baik.”

“Semoga saja segera menjadi Baik. Besok aku akan menelpon Bapak, kalau sekarang takutnya Bapak sudah tidur. Kan sudah malam?”

“Iya benar.”

“Siapa yang menunggui Bapak, kan kamu juga sambil bertugas?”

“Mas Sarman yang setiap malam tidur di rumah sakit.”

“Ya ampun, baik benar dia.”

“Iya. Sangat telaten meladeni Bapak.”

“Ya sudah, nanti aku mengganggu, besok saja aku menelpon Ibu, sekalian sama Bapak, sekarang aku sedang sibuk juga sih.”

“Baiklah, selamat bersibuk ria, semoga berhasil.”

“Oh ya, tunggu, bagaimana kabarnya dokter Danarto?”

“Baik lah, kan dia di Jakarta.”

“Maksudku, hubungan kamu?”

“Ya ampuuun, belum ada apa-apa, kami masih bersahabat. Sudah, jangan diterusin ngomongnya tentang dia. Doakan saja yang terbaik.”

“Okey, inshaa Allah Mbak pasti mendoakan yang terbaik untuk kalian semua.”

“Terima kasih Mbak, doa kami juga untuk Mbak.”

Desy menutup ponselnya sambil tersenyum. Lala mengingatkannya tentang Danarto, dan itu membuatnya sedikit berdebar. Minggu depan Danarto akan pulang, dan mereka akan bertemu. Aduhai.

***

Setiap pulang dari kampus Tindy selalu memerlukan menunggui suaminya. Ia merasa tenang, melihat keadaan kesehatan suaminya yang tampak lebih baik. Namun sang suami tampak tak banyak bicara. Ia hanya menjawab kalau ditanya. Tindy tahu, Haryo masih dicengkeram oleh rasa bersalahnya, padahal dia sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia sudah melupakannya.

“Bagaimana keadaanmu Mas?”

“Seperti kamu lihat. Aku lebih baik pulang saja. Aku sudah tidak apa-apa.”

“Apa kamu tahu kalau anak-anak kamu ingin agar kamu pulang ke rumah?”

Haryo agak kecewa. Mengapa Tindy tidak mengatakan bahwa dia juga mengharapkannya pulang?

“Apakah aku masih pantas? Apa aku tidak akan menyusahkan kalian semua?”

“Itu kewajiban keluarga kamu kan Mas?”

“Aku merasa kecil ….”

“Kan sudah berulang kali aku mengatakan, bahwa dosa atau kesalahan akan terbalut oleh keinginan bertobat dan tekat memperbaiki diri?”

“Apa kamu juga mau kalau aku pulang?”

“Bukankah kamu masih suamiku?”

“Aku sangat kotor, banyak dosa, jahat, nista.”

“Kamu sudah mengatakannya berulang kali, dan aku juga sudah menjawabnya berulang kali pula.”

“Ada satu dosa lagi yang masih membebani pikiranku.”

Tindy menatap suaminya tajam.

“Aku tidak punya harapan untuk mendapatkan maafmu atas dosa yang satu ini, karena ini terlalu besar, dan menyangkut kehidupan sesosok manusia.”

Tindy terkejut. Ia membayangkan suaminya punya isteri lagi selain Nina yang dilihatnya beberapa hari lalu. Dan itukah sebabnya maka dia mengusir Nina?

“Kalau kamu berat meninggalkan isteri kamu yang satunya lagi, aku tidak apa-apa kok. Sudah sejak lama aku menata batinku untuk menghadapi kehidupan yang bagaimanapun menyakitkannya,” kata Tindy tanpa menatap wajah suaminya. Ia mencoba mengurai benang kusut yang kembali menjerat benaknya.

“Siapa bicara tentang isteri?”

“Siapa sesosok manusia yang Mas maksud? Perempuan kan?”

“Perempuan masa laluku, dia sudah meninggal.”

“Ibunya Danarto? Apa Danarto itu darah dagingmu?” tanya Tindy cemas, mengingat hubungan Danarto dengan Desy anaknya.

“Bukan dia. Tapi Sarman.”

Tindy benar-benar terkejut.

“Sarman? Dia anakmu Mas?”

Dengan terbata Haryo menceritakan hubungannya dengan Wulansih, yang tanpa disadarinya saat ditinggalkan telah mengandung seorang anak yang kemudian diberinya nama Sarman.

“Ya Tuhan ….” Tindy menghela napas panjang. Sangat panjang, dan kemudian dihembuskannya perlahan. Itu cara dia menata gejolak batinnya.

“Allah hu Akbar. Begitu indah Allah menata kehidupan umatnya. Bagaimanapun upaya seorang manusia berusaha menemukan darah dagingnya, belum tentu bisa bertemu. Tapi Allah melakukannya dengan sangat indah. Kalian dipertemukan dalam keadaan yang sangat tak terduga,” kata Tindy dengan lembut, dan Haryo mendengarkannya seperti mendengar sebuah kidung dari sorga.

Suara lembut isterinya, tak ada kemarahan, tapi rasa syukur. Hati malaikat kah yang bersemayam didalam jiwa isterinya?”

“Tindy, kamu tidak marah?”

Tindy tersenyum sangat tulus. Darah daging yang begitu baik, santun dan penolong, kehadirannya harus disyukuri.

“Dia akan menjadi anakku juga.”

Dan beban yang menyesak dada Haryo terasa lebih ringan.

“Tapi dia belum tahu semuanya. Aku belum berani mengatakannya, karena dia pernah berkata bahwa sangat membenci ayahnya.

“Waktu yang akan berbicara,” jawab Tindy sambil tersenyum, dan itu sangat melegakan hati Haryo. Ingin rasanya ia menghambur dan memeluk isterinya penuh terima kasih, tapi ditahannya. Rasa tinggi hati itu masih ada. Tapi Tindy bersyukur, Haryo tak menolak ketika Desy dan Tutut mengajaknya pulang.

***

Ketika Tindy pulang mengajar sore itu, dilihatnya Haryo sedang duduk di sebuah bangku diantara kebun melati yang berjajar,  mendominasi semua tanaman bunga milik Tindy. Tongkat penyangga tubuhnya bersandar disisi bangku itu. Tindy melihat tanah basah disekeliling pohon-pohon perdu dengan kuncup-kuncup putih yang terserak diantara daun-daun menghijau.

“Apa yang Mas lakukan?”

“Menyirami tanaman-tanaman melati kamu, seperti aku menyirami hati-hati yang gersang karena kemarau yang terlalu panjang.”

Tindy melangkah mendekat, lalu duduk disampingnya, menunggu malam tiba, saat kuncup-kuncup itu bermekaran dan menebarkan aroma wangi.

******* T A M A T *******

*************************

Biarkan anak-anak muda menyelesaikan tugasnya. Hari masih panjang untuk menorehkan kisah-kisah indah diantara mereka. Nanti ya…

 

Sepasang manusia remaja sedang duduk disebuah bangku taman. Tapi wajah mereka tidak diwarnai oleh bahagia seperti yang tampak pada pasangan lainnya. Sang gadis tampak menangis dan berkali-kali mengusap air matanya.

“Sungguh ini bukan mauku mas. Aku memutuskan hubungan kita karena aku dijodohkan dengan seseorang. Tolong mengertilah.”

“Aku akan merebutmu!” geram sang pemuda dengan mata merah.

 

ADUHAI, ada cerita baru yang semoga seru ya. Tungguin, BUKAN MILIKKU.

**********

 

 

 

 

 

Friday, February 25, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 49

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  49

(Tien Kumalasari)

 

“Kok tidak ada? Apa aku salah kamar?”

Desy keluar, menatap tulisan di dekat pintu, dimana ada catatan nama pasien yang dirawat.

“Betul ini kamarnya. Kok nggak ada?”

“Dok, pasien bernama Suharyo pulang paksa. Ia minta dibelikan tongkat penopang tubuhnya, lalu ia ke bagian administrasi sendiri untuk mengurus kepulangannya,” kata perawat yang semula merawat Haryo.

“Sakit apa beliau?”

“Dia datang dalam keadaan pingsan, panasnya tinggi. Dokter meminta agar hari ini pak Haryo diperiksa secara lengkap, tapi ternyata pak Haryo tidak mau.”

Desy berlarian ke arah depan, tapi suster Reni mencegatnya.

“Dok, saya hampir menelpon untuk mengabari. Pak Suharyo sudah pulang.”

Desy menghela napas sedih.

“Pulang paksa. Setelah membayar semua beaya, dia langsung pulang, kami tak bisa menahannya,” lanjut suster Reni.

“Sudah lama?”

“Kata teman saya baru kira-kira setengah jam yang lalu.”

Desy berlari ke arah depan, mencari-cari. Tapi ia tak menemukan siapapun. Desy berlari ke arah jalan, seperti orang kebingungan.

“Dengan siapa Bapak pulang?  Apa ada yang menjemputnya? Apa orang yang yang kabarnya dulu menjemputnya? Siapa dia?”

Desy kembali masuk ke rumah sakit. Ia bertanya kepada bagian administrasi, barangkali ada yang tahu ayahnya bersama siapa. Tapi mereka mengatakan bahwa pak Suharyo membayar sendiri semua beaya, lalu pergi.

“Tampaknya tak ada seorangpun bersamanya dok,” kata petugas itu.

Barangkali nama yang sama juga, pikir Desy penuh harap. Suharyo bukan satu-satunya nama. Bisa jadi ada Suharyo yang lain. Tapi petugas mengatakan alamatnya yang ternyata sama seperti alamat rumahnya dimana Desy juga tinggal bersama ibunya.

Lalu Desy bertanya ke petugas UGD, mengapa ayahnya dirawat, tapi mereka hanya mengatakan bahwa pak Suharyo datang dalam keadaan pingsan, badannya panas sekali. Itu sama seperti kata suster yang ada di ruang rawat ayahnya tadi.

“Siapa yang mengantarnya?”

“Seorang laki-laki muda, tampaknya keluarganya. Dia mengakui sebagai ayahnya,” kata perawat yang sore kemarin menerima pasien bernama Suharyo.

“Apa Bapak punya anak angkat?” pikir Desy sambil berjalan ke arah parkiran.

Desy mengambil mobilnya, menyusuri jalan yang kira-kira dilalui ayahnya, tapi mana dia tahu ke arah mana ayahnya pergi? Desy juga tidak tahu kalau mobil ayahnya sudah dijual, jadi dipikirnya ayahnya pasti pulang naik mobil. Tapi apakah ayahnya sudah bisa mengendarai mobil? Atau bersama laki-laki yang mengantarnya itu? Mengapa dibiarkan ayahnya pergi kalau memang masih sakit?

Desy memijit keningnya yang tiba-tiba terasa berdenyut pusing.

***

Haryo berjalan tertatih, ia tak mau terlalu lama berada di rumah sakit untuk menunggu taksi yang akan dipangginya. Ia berjalan menjauh, tertatih, menahan rasa sakit di badannya. Ia tiba-tiba merasa bahwa ia belum sembuh benar. Badannya terasa lemas, dan rasa panas membuatnya kembali menggigil. Sebelah tangannya membawa tas yang semalam dibawakan Sarman, sebelahnya lagi memegang tongkat yang menopang tubuhnya karena sebelah kakinya tak mampu bergerak.

Ia terus berjalan, dan setelah agak jauh dari rumah sakit, ia mengambil ponselnya. Ia ingin memanggil Sarman tapi diurungkannya. Kalau Sarman datang, pasti dia akan memaksanya agar kembali ke rumah sakit.

“Lebih baik aku memanggil taksi saja,” katanya sambil membuka ponselnya. Tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya.

“Mas Haryo !”

Haryo menoleh ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang wanita berdiri dibalik sebuah gerobag berisi dagangan gorengan.

Haryo mengerutkan keningnya, ketika wanita itu mendekat. Ia seperti mengenalnya. Tapi wajahnya  berbeda. Ada carut marut bekas luka yang memenuhi wajah itu.

“Mas Haryo,” wanita itu menubruk dan merangkulnya.

“Kamu …?”

“Haryo baru sadar bahwa dia adalah Nina.

“Kamu tidak mengenali aku Mas, karena wajahku seperti ini? Ini karena Mas tidak melindungi aku dari orang jahat. Aku diserang orang-orang jahat Mas. Tanpa Mas aku tidak berdaya. Lihat, aku sampai berjualan seperti itu di pinggir jalan demi mencari makan. Kamu tega Mas.”

Haryo mendorong tubuh Nina dengan sebelah tangannya, sehingga Nina hampir terjatuh.

“Jangan lagi merasa bahwa kamu isteri aku. Aku sudah menceraikanmu sejak aku pergi dari rumah itu.”

“Kamu tega Mas? Benar-benar tega?”

“Bukankah anak-anakmu sudah bisa mencukupi hidupmu? Aku mendengar dia mengejek aku di saat terakhir aku melihat kalian.”

“Mas, itu kan kata Endah, dia masih kanak-kanak, belum bisa menata ucapannya. Maafkan dia Mas, ingatlah aku yang masih selalu mengharapkanmu,” rintihnya.

Tapi Haryo tak peduli. Dia juga tak ingin bertanya apa yang terjadi sehingga wajah Nina penuh bekas luka. Ia yakin itu karena perbuatan Nina yang tidak benar. Ketika sekali lagi Nina mendekat, Haryo lagi-lagi mendorong, kali ini lebih keras, sehingga Nina benar-benar terjatuh.

Haryo terus melangkah melewatinya, setelah mengambil tas yang tadi diletakkannya di tanah. Langkahnya semakin sempoyongan karena tubuhnya menggigil. Ketika itu ia hanya ingin segera memanggil taksi, tapi ia sendiri terhuyung dan nyaris terjatuh, kalau tidak ada sebatang pohon waru yang ada didekatnya. Haryo bersandar. Diambilnya ponselnya dengan tangan gemetar.

Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepannya. Seorang wanita turun, dan bersama dengan itu Nina yang  mengejarnya telah  sampai di dekat Haryo.

“Ternyata kamu sakit Mas, ayo pulang bersamaku, aku akan merawatmu Mas,” pintanya memelas.

“Pergi ! Aku bukan siapa-siapa kamu lagi.” Hardik Haryo sambil terengah.

Sedangkan wanita yang turun dari mobil itu terpaku sejenak melihat adegan itu. Ia juga melihat Haryo menuding wanita yang mendekatinya dan menyuruhnya pergi.

Wanita itu mendekat. Haryo mengerjapkan matanya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tangannya terangkat lemah. Tiba-tiba Nina mendekat dan memelototi wanita yang baru saja turun dari mobil.

“Dia suami aku, mau apa kamu mendekatinya?”

“Perempuan tak tahu malu. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi,” Haryo terengah.

Wanita pendatang itu mendekat dan memegang tangan Haryo.

“Heiii..” Nina berteriak.

Dan wanita itu memapah Haryo mendekati mobilnya.

“Aku isterinya,” kata wanita itu dengan tersenyum lembut, lalu membukakan pintu  mobil dibagian depan, membantu Haryo masuk. Haryo yang merasa lemas tak berdaya, mengikuti saja kemauan wanita itu, yang ternyata Tindy adanya.

Nina terpana di tempatnya berdiri.

“Dia … dia … Tindy ?”

Dan mulutnya masih menganga ketika mobil Tindy berlalu, membawa laki-laki setengah tua yang masih diharapkan bisa menjadi penopang hidupnya. Tapi harapan itu tiba-tiba pupus. Air matanya menetes, dia tak peduli ketika seorang gadis mendekatinya dan menegurnya.

“Ibu kemana sih, dagangan ditinggal begitu saja. Untung aku sama Ana sudah datang membawa belanjaan yang akan dijual besok. Ada yang beli tuh,” omel Endah yang ternyata membantu ibunya berjualan.

“Ada pak Haryo ….” Bisiknya lirih.

“Mana ?”

“Sudah pergi bersama isterinya,” jawabnya pilu.

“Ya sudah, tuh Ana yang melayani pembeli, nanti kemurahan lagi seperti kemarin.”

Nina manatap wajah anaknya. Seperti dirinya, ada bekas luka di wajahnya, tak berbeda dengan Ana yang sedang sibuk membungkus pesanan pembeli. Nina dan Endah mendekat. Tak ada lagi harapan, karena kehidupan inilah yang memang harus mereka jalani.

***

Haryo duduk membisu. Rasanya tak mampu mengucapkan apapun. Tubuhnya terasa lemas, dan menggigil.

“Kalau sakit mengapa berjalan-jalan?” tegur Tindy yang merasa cemas melihat keadaan Haryo.

Haryo tak menjawab, kepalanya terkulai pada sandaran jok mobil.

Tindy memacu mobilnya, dan kembali membawa Haryo ke rumah sakit, dimana dia tadi pulang paksa dari sana.

Tindy berhenti di lobi rumah sakit, dan meminta agar petugas membawa brankar untuk menolong suaminya.

Haryo didorong kembali ke UGD. Petugas terheran-heran melihat kembalinya Haryo dengan diantar oleh seorang wanita.

“Bapak Haryo ini tadi pulang paksa,” kata salah seorang perawat.

Tindy terkejut.

“Maksudnya dia sudah dirawat dan pulang paksa?”

“Iya. Ibu tidak mengetahuinya? Ibu saudaranya?”

“Saya isterinya, tolong rawat dia,” kata Tindy yang tidak ingin banyak pertanyaan atas dirinya.

Setelah Haryo ditangani, Tindy kembali ke mobilnya dan memarkirnya di tempat parkir, kemudian kembali ke ruang UGD dan duduk di ruang tunggu.

Terbayang olehnya ketika seorang wanita mengejar-ngejar Haryo dan Haryo menghardiknya. Tindy agak lupa juga walau pernah melihat wajah Nina dalam sebuah foto yang dikirimkan temannya. Wajah itu penuh parut luka di wajahnya. Tapi kemudian Tindy yakin bahwa itulah Nina. Haryo sudah mengusirnya. Tadi dia menghentikan mobilnya ketika melihat Haryo terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak keburu bersandar di pohon waru. Ia akan pergi kalau Haryo ternyata bersama Nina, tapi tidak, Haryo sudah mengusirnya, berarti ia harus menolongnya. Dalam keadaan sakit seperti itu, mana mungkin dia membiarkannya. Barangkali walau sedikit saja, cinta itu masih ada.

Dering ponsel mengejutkannya. Ternyata dari Desy.

“Ibu, apa Ibu sudah pulang? Maaf Desy baru dalam perjalanan, karena ada sesuatu.”

“Ada apa?”

“Ibu sudah pulang, atau masih di kampus?”

“Ibu di rumah sakit.”

“Lho, akhirnya bezoek sendiri ? Katanya sudah di rumah? Ibu sudah ada teman membezoek?”

“Bukan membezoek, ibu mengantarkan orang sakit.”

“Oh, teman ibu itu? Aduh Desy bingung deh. Siapa lagi yang sakit sampai Ibu mengantarkannya?”

“Ayahmu,” jawab Tindy ringan.

“Apa?” sekarang Desy memekik keras karena terkejut.

“Bagaimana Ibu bisa ketemu Bapak?”

“Datang ke rumah sakit, dan kita bicara. Ayahmu baru ditangani.”

“Ya Tuhan, aku mencari kemana-mana, Ibu yang menemukan,” gumam Desy yang terdengar oleh Tindy sebelum Ponsel itu tertutup. Tapi ada rasa lega dihati Desy. Lega atau bahagia barangkali, karena sang ibu bertemu sendiri dengan sang ayah. Lalu sebuah harapan timbul. Harapan akan terwujudnya sebuah keluarga yang bahagia. Semoga. Pinta Desy dalam hati.

***

 “Untunglah Ana sudah pintar sekarang. Biasanya kalau berjualan pasti terlalu murah,” tegur Endah.

“Aku kan belum hafal harga-harganya.”

“Lain kali harus dihafalkan, kalau kamu jualnya murah, kita rugi. Mana bisa buat makan?”

Nina hanya diam melihat perbincangan anak-anaknya. Ia merasa sedih ketika gagal mendekati Haryo kembali. Malah dia melihat Haryo sudah bersama Tindy, isteri sahnya.

“Mengapa ibu melamun?” tanya Ana.

“Ibu melihat pak Haryo,” jawab Endah.

“Ibu gagal lagi mendekatinya?”

“Dia bersama Tindy,” kata Endah lagi.

“Wah, kalau begitu sulit kalau Ibu ingin merayunya. Jadi dia benar-benar sudah pulang ke rumah isterinya?”

“Sangat sulit. Tapi kemudian Ibu malu karena harus berjualan gorengan dipinggir jalan, sementara pak Haryo tidak peduli lagi sama Ibu.”

“Salah Ibu sendiri, mengapa menyapa dia sementara dia bersama isterinya.”

“Tadinya dia berjalan sendiri pakai tongkat, makanya Ibu menyapanya. Memang dia menolak Ibu, dan mendorong Ibu sampai terjatuh. Tapi melihat dia berjalan sempoyongan dan hampir terjatuh, ibu yakin dia sedang sakit. Ibu mengejarnya, dan berusaha membujuknya agar mau Ibu rawat di rumah, tapi dia tetap mengusir ibu. Lalu ada sebuah mobil berhenti, ternyata pengendara mobil itu Tindy. Ia turun dan membawa pak Haryo pergi,” sedih Nina.

“Yah … itu namanya nasib Bu. Ya sudah, namanya sudah terlanjur, besok kita jangan lagi jualan disini, kalau pak Haryo atau isterinya melihat kita lagi, kita akan lebih merasa malu,” kata Endah.

“Iya, kita jualan didekat sekolahan atau kantor, atau di pasar, besok Ana akan mencari lokasinya yang bagus.”

***

Desy bercerita dengan menggebu-gebu, tentang pencarian atas ayahnya. Dia sangat takjub dengan cara Allah mempertemukan ibu dan ayahnya.

“Bukan main kalau Allah sudah menghendaki. Ini awal dari kebahagiaan kita kan Bu?” kata Desy dengan wajah berseri, walau sebetulnya juga prihatin karena ayahnya sakit.

“Allah yang akan mengaturnya. Kita manusia hanya menjalani takdir yang sudah dituliskanNya,” kata Tindy yang lagi-lagi berucap dengan suara yang lembut dan manis.

Haryo kembali dirawat. Tindy memilihkan kamar terbaik untuk suaminya.

“Harusnya kamu biarkan saja aku,” kata Haryo dengan suara lemah, melihat isterinya menolongnya ketika itu.

“Menurutmu aku sekejam itu?” kesal Tindy.

“Aku hanya merasa tidak pantas. Dosaku terlalu banyak.”

“Aku atau kamu tidak berhak menghitung dosa masing-masing, karena semuanya ada ditangan Allah. Terlalu banyakkah dosamu, atau bahkan dosaku, bagaimana kita menghitungnya? Walau dosa setinggi langit, banyak cara untuk menghapus dosa itu. Bertobat, memohon ampun kepadaNya. Maaf, bukan aku menggurui, aku kan hanya seorang wanita, mana pantas menggurui suami yang pastinya lebih pintar,” kata Tindy.

Haryo menghela napas, lalu memejamkan matanya. Tindy merasa kasihan. Haryo masih tampak kesakitan dan dia merasa telah mengomelinya.

“Maaf, istirahatlah, aku akan keluar sebentar,” kata Tindy.

“Biar aku menunggui Bapak, Bu," kata Desy yang sedari tadi diam.

“Ya, Ibu akan ke kantor administrasi dulu, ada yang harus dibayar tadi,” kata Tindy pelan, khawatir Haryo mendengarnya.

Tindy keluar dari kamar untuk menuju ke kantor administrasi. Tapi dia terkejut melihat seseorang yang dikenalnya.

“Sarman ?” sapanya.

Sarman terkejut.

“Bu Haryo? Siapa yang sakit?”

“Pak Haryo,” jawab Tindy.

Sarman terpana.

***

Besok lagi ya.

 

 

Thursday, February 24, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 48

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  48

(Tien Kumalasari)

 

“Aduh, badannya panas sekali. Bagaimana ini?”

Sarman bingung, ia berlari kebelakang, mencari mangkuk atau apa, lalu diisinya dengan air dingin.

“Lap.. aduh … mana lap … ya sudah, ini saja ….”

Sarman mengambil sebuah serbet yang tersampir di kursi, dimasukkannya kedalam mangkuk, lalu ia kembali ke kamar, mengompres kening pak Haryo dengan lap dingin itu. Haryo tak bergerak Ia terus menggigil, Bibirnya membisikkan sesuatu yang tak jelas. Sarman mendekatkan telinganya ke bibir Haryo, tapi tetap saja suara itu tak terdengar jelas. Ia ingin memanggil seseorang, tapi siapa? Sarman mondar mandir keluar dan masuk kamar. Dipegangnya kening Haryo, lalu ia mengganti kompresnya.

“Pak … Pak ….” panggilnya.

Sarman mengambil ponselnya, ia harus memanggil taksi, untuk membawa Haryo ke rumah sakit. Ia bukan perawat, apalagi dokter. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya jalan hanyalah membawanya ke rumah sakit.

Ia sudah memanggil taksi, tapi bingung juga, akankah dia kuat menggotong tubuh Haryo yang lumayan besar, sedangkan Haryo sama sekali tidak bergerak.

“Gampang lah, nanti minta tolong pengemudi taksi agar membantu mengangkatnya, pasti dia mau lah,” gumamnya sambil sekali lagi menggantikan kompres yang ada di kening Haryo.

“Anakku … “

Sarman memasang telinganya kembali, ketika didengarnya Haryo bersuara.

“Kamu … anakku ….”

“Ah, rupanya pak Haryo kangen sama anaknya. Mengapa juga pakai nggak mau pulang ke rumah.”

“Pak, Bapak sudah sadar?” bisik Sarman. Tapi Haryo masih tak bergerak.

“Anakku … maaf ….”

Sarman mendengar taksi memasuki halaman. Dia beranjak keluar, dan meminta pengemudi itu untuk membantu mengangkat Haryo.

Sarman merasa lega, ketika taksi itu meluncur ke arah rumah sakit. Sarman membawanya ke rumah sakit, dimana dulu Haryo pernah dirawat.

Menunggu penanganan atas Haryo, Sarman duduk dengan gelisah.

“Semalam pak Haryo tidak apa-apa. Makan dengan wajah berseri-seri, mungkin lega sudah memberikan uang pensiunnya kepada isterinya, dan juga membayar hutangnya, entah hutang untuk apa. Tapi sepulang dari mampir ke rumahku itu, tiba-tiba pak Haryo tampak lesu tak bersemangat. Ternyata dia sakit seperti ini.”

“Keluarga tuan Suharyo?”

Sarman bangkit, dan bergegas menghampiri perawat yang memanggilnya.

“Saya sus.”

“Menurut dokter pak Suharyo harus dirawat. Panasnya tinggi, dan diperlukan pemeriksaan lanjutan.”

“Baiklah sus, lakukan yang terbaik.”

“Mas boleh memilih kamar untuk rawat inap, agar petugas mempersiapkannya.”

“Baiklah, kamar yang baik sus, klas satu saja.”

“Baiklah.”

“Apa Bapak Haryo sudah sadar?”

“Sudah, Mas boleh menemuinya,” kata perawat sambil berlalu, untuk memesankan kamar seperti diinginkan Sarman.

Sarman bergegas masuk. Dilihatnya Haryo sudah sadar, ada selang infus terhubung ke lengan Haryo.

“Pak, bagaimana keadaan Bapak? Sudah lebih baik?”

“Man, dimana aku ini?”

“Di rumah sakit Pak, saya bingung harus membawa Bapak ke rumah sakit mana. Ini rumah sakit di mana dulu Bapak dirawat lalu menyuruh saya menjemput.”

“Mengapa kamu membawa aku kemari? Aku baik-baik saja, minta agar aku boleh pulang Man.”

“Tidak Pak. Bapak tidak baik-baik saja. Dokter mengatakan bahwa Bapak harus dirawat, jadi berarti Bapak memang sakit.”

“Aku merasa sehat sekarang.”

“Bapak masih panas. Tadi saya sampai ketakutan. Bapak menyebut-nyebut ‘anakku … anakku … Apa bapak rindu pada anak Bapak?” 

“Tidak … tidak ….”

“Mengapa Pak, kalau Bapak kangen, obatnya adalah Bapak harus ketemu. Bolehkah saya mengabari bu Haryo?”

“Jangan Man, tolong jangan lakukan. Aku mau pulang saja.”

“Mas, Pak Haryo akan dipindahkan ke ruang inapnya, semuanya sudah siap.,” kata salah seorang perawat yang menyiapkan brankar untuk membawa Haryo ke kamarnya.

“Baik suster, silakan.”

Haryo merasa ketakutan. Di rumah sakit ini ia bisa bertemu Desy setiap saat, dan itu tidak diinginkannya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Sarman sudah membawanya dan sekarang ia sedang dibawa ke kamar inap.

***

Sarman menunggui Haryo sampai menjelang malam. Ia merasa lega, panas badan Haryo sudah mulai menurun.

Ia memegang tangan Haryo yang berkeringat, dilihatnya Haryo membuka matanya.

“Pak, saya akan ke rumah Bapak, kalau boleh saya akan mengambilkan baju ganti Bapak dan apa saja yang Bapak perlukan.”

“Baiklah Man, kunci rumah kamu bawa?”

“Ya pak.”

“Tolong ambilkan juga ponsel dan dompetku, ada di nakas disamping tempat tidur. Kalau baju ganti kamu boleh membuka almari, aku tidak menguncinya. Ambil selembar atau dua lembar saja.”

“Baiklah Pak, saya ke rumah Bapak sekarang.”

“Dengan apa kamu tadi membawa aku kemari?”

“Saya pakai taksi pak, sepeda motor saya masih di rumah Bapak.”

“Kamu bersusah payah untuk laki-laki yang tak berguna dan jahat ini.”

“Bapak, mengapa Bapak mengatakan itu? Semua yang sudah berlalu tidak usah dipikirkan lagi. Dosa masa lalu itu, Allah pasti akan mengampuni kalau kita bertobat dan selalu mohon ampunanNya.”

Haryo menatap anak muda tampan yang sangat santun dan berbudi baik ini. Alangkah jauh dengan dirinya yang kotor berselimut dosa. Tanpa bisa ditahan, merebak matanya oleh air mata yang memenuhinya.

“Mengapa Bapak menangis?”

“Apakah sebuah kata maaf bisa menghapus dendam dan kemarahan?”

“Tentu saja Pak, mengapa tidak? Kalau Allah itu Maha pengampun, mengapa manusia tidak bisa memaafkan sebuah kesalahan?”

Ada rasa lega melintas mendengar kata-kata Sarman. Tapi itu kan kalau bukan tentang dirinya? Kalau kesalahan itu terhadap dirinya, akan mudahkah kata maaf diberikan?

“Man, bolehkah aku memeluk kamu?”

Sarman sangat terharu mendengar permintaan Haryo. Ia mendekat, dan membiarkan Haryo merangkulnya. Begitu erat, dan tangis itu tiba-tiba tak terbendung. Sarman sedikit merasa aneh dengan sikap Haryo. Tapi ia tak menolak pelukan itu, dan membiarkannya sampai Haryo melepaskannya.

“Mengapa Bapak menangis?”

“Sekarang ini aku hanya memiliki kamu Man, hanya kamu yang ada didekat aku. Dan kamu begitu memperhatikan aku.”

Sarman menatap mata tua yang masih berlinang air mata. Ia mengambil tissue dan mengusapnya dengan lembut.

“Bapak jangan bersikap berlebihan begitu. Kalau saya melakukan ini semua, itu karena Bapak adalah orang yang sebenarnya baik. Dalam sebuah perjalanan hidup, orang bisa saja tersesat dalam gelap. Kalau dia segera menyadari kekeliruannya, maka ia akan berjalan kembali ke tempat semula, dan melanjutkan langkahnya ke jalan terang. Disitulah kesadaran itu muncul. Dan kita wajib mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, agar selalu menuntun kita kejalan yang baik dan diridhoiNya.”

“Sarman, kamu seorang anak muda, bagaimana bisa mengucapkan semua itu?”

“Almarhumah ibu saya selalu mengajarkan kebaikan itu. Saya hanya meniru apa yang pernah dikatakannya.”

Haryo mendesah. Wulansih telah mengajari anaknya dengan ucapan-ucapan sederhana namun begitu agung dan bijak. Itulah yang menuntunnya menjadi laki-laki baik dan berbudi.

“Ya Tuhan ….” desah Haryo.

“Bapak jangan bersedih ya? Bapak telah menemukan jalan kembali, berarti Bapak akan bisa menentukan arah mana jalan terbaik bagi hidup Bapak, supaya Bapak mendapatkan ketenangan hidup.”

Haryo mengangguk, dan semakin mengagumi Sarman. Ia menggenggam tangan Sarman erat-erat. Darah dagingnya, yang tak pernah disadari kehadirannya. Anak laki-laki yang pernah hadir dalam mimpinya. Rupanya perjalanan hidup itu pula yang membuat mereka  akhirnya bertemu.

“Sekarang saya pamit dulu ya pak. Apa ada pesan Bapak yang lain lagi?”

“Tidak ada Man, seperti yang aku katakan itu saja. Setelah itu kamu boleh pulang, kamu pasti capek sekali, sejak bekerja belum pulang karena mengurus aku.”

“Tidak apa-apa Pak, nanti saya juga akan mengambil baju kerja sekalian. Saya akan tidur disini malam ini, dan berangkat bekerja dari sini juga. Semoga bapak semakin baik, sehingga saya bisa meninggalkan Bapak sendiri dengan perasaan tenang.”

“Man, kamu banyak berkorban untuk aku,” bisik Haryo lirih, penuh haru.

“Sudah, sekarang Bapak istirahat saja dulu dan jangan memikirkan apa-apa,” kata Sarman sambil berdiri, kemudian berlalu.

“Darahku mengalir dalam tubuhmu, nak, itulah sebabnya kita semakin akrab dan seperti telah pernah bertemu bertahun-tahun lalu. Maafkan Bapak ya, jangan marah ketika saatnya kamu menyadari, bahwa akulah ayahmu, laki-laki yang kamu benci. Laki-laki jahat yang membuat ibumu menderita sampai akhir hayatnya,” bisiknya pelan ketika Sarman sudah pergi untuk mengambil barang-barang yang diperlukannya.

***

Sore itu Tindy dan anak-anaknya sedang duduk di ruang keluarga, berbincang dengan santai tentang banyak hal. Tentang Lala yang semalam menelpon ibunya,  tentang Desy yang tak lama lagi menjadi dokter sepenuhnya, tentang Tutut yang masih menunggu kuliahnya selesai.

“Besok kamu masuk apa Des?”

“Besok Desy dinas malam Bu, jadi bisa santai di rumah sampai sore.”

“Bagus. Besok Ibu akan pulang agak pagi. Kamu mau kan menemani Ibu ke rumah teman Ibu yang sedang sakit?”

“Mau bu, dimana rumahnya?”

“Tidak jauh sih, tapi kalau Ibu datang sendiri tuh agak sungkan, karena dia seorang pria. Kalau bersama kamu kan lebih enak.”

“Tidak apa-apa Bu, besok Desy temani. Jam berapa ibu mau bezoek?”

“Ya agak siang lah, kalau Ibu sudah pulang pastinya.”

“Di rumah sakit?”

“Tidak, sudah pulang dari rumah sakit. Kemarin-kemarin ketika teman-teman Ibu membezoek, Ibu belum bisa ikut karena waktu itu bersamaan dengan jadwal mengajar, jadi Ibu minta tolong kamu.”

“Iya Bu, baiklah.”

“Sayangnya Tutut pulang agak sore, jadi nggak bisa mengantar,” sambung Tutut.

“Iya, Ibu tahu. Itu sebabnya Ibu bertanya sama kakakmu.”

“Nanti sebelum Ibu pulang, Mbak Desy harus belajar masak sama Simbok.”

“Kenapa tiba-tiba kamu menyarankan begitu?” tanya Desy.

“Kan Mbak Desy sudah punya pacar. Nanti begitu sudah jadi dokter, pasti segera menikah, lha kalau sudah punya suami kan harus pinter masak juga?” kata Tutut sambil cengar-cengir.

“Hiih, kamu itu nggemesin ya, sukanya ngomong yang enggak-enggak,” kesal Desy sambil berusaha mencubit adiknya, tapi dengan sigap Tutut menghindar dibalik punggung ibunya.

“Yang enggak-enggak gimana? Kalau pacaran ya ngaku saja pacaran, kenapa juga pakai malu segala. Kan pacarnya ganteng, sebentar lagi jadi dokter spesialis. Pasangan yang cocok. Ya kan Bu?” Tutut masih meneruskan ocehannya, tak peduli Desy memelototinya.

“Dasar tukang ngawur.”

“Ya sudah, kalian itu tinggal berdua saja kok berantem terus ya,” kata Tindy sambil merangkul kedua anaknya, satu di lengan kiri, satu lagi di lengan kanan.

“Kalau Tutut itu selalu baik Bu, tapi Mbak Desy suka galak.”

“Nggak, Mbak Desy itu bukannya galak. Dia itu sebenarnya sayang sama kamu, kamunya yang suka mengganggu,” kata Tindy sambil tersenyum.

“Weeeek, tuh dengar, ibu membela aku kan?” ejek Desy sambil memonyongkan mulutnya.

“Yah, ibu kok membela Mbak Desy sih?” protes Tutut.

“Ibu bukan membela siapa-siapa. Memangnya terjadi perang beneran nih, ada bela membela segala?”

“Nggak bu, Tutut hanya bercanda,” kata Tutut sambil tertawa.

“Nah, gitu dong, damai,” kata Tindy sambil mempererat pelukannya kepada kedua anaknya.

“Tapi ngomong-ngomong aku kok merasa lapar ya?” kata Desy.

“Iya, aku juga,” sambung Tutut.

“Coba lihat kebelakang, simbok sudah selesai belum?”

***

Sudah agak siang ketika Desy selesai mandi, kemudian berganti pakaian rapi sambil menunggu Ibunya yang katanya akan mengajaknya membezoek temannya.

“Jam berapa ya Ibu mau pulang? Tapi ini baru jam sembilan, aku baca-baca buku dulu ah,” gumam Desy sambil beranjak ke kamarnya.

Tapi belum sampai menyentuh buku yang dimaksud, ponselnya berdering.

“Dari siapa nih, nggak ada namanya? Tapi siapa tahu penting,” Desy segera membuka ponselnya.

“Hallo, selamat pagi,” sapa Desy.

“Selamat pagi dok, ini saya Reni, dari rumah sakit.”

“Oh, sus Reni yang di bagian pendaftaran?”

“Iya. Saya ingat pesan dokter, kalau ada pasien bernama Suharyo agar mengabari kemari. Saya lihat jadwal dokter masih malam nanti, jadi saya menelpon.”

Desy berdebar.

“Pak Suharyo kontrol ?”

“Tidak dok, beliau dirawat.”

“Dirawat?” pekik Desy terkejut.

“Baru kemarin sore, saya dinas pagi dan baru membaca laporannya.”

“Baiklah, terima kasih sus, saya segera kesana. Di kamar apa, nomor berapa, kirimkan supaya saya tidak usah bertanya-tanya lagi nanti.”

“Baiklah, akan saya kirimkan.”

Desy menutup ponselnya dengan perasaan cemas, tapi bersyukur karena ia akan bisa menemui ayahnya.

“Mbok, aku pamit keluar sebentar ya.”

“Mbak mau kemana? Katanya menunggu Ibu.”

“Ada yang penting Mbok, ke rumah sakit sebentar. Nanti kalau ibu bertanya, bilang bahwa aku ke rumah sakit ya,” kata Desy sambil tergesa pergi.

Simbok hanya menatapnya heran.

***

Desy bergegas memasuki rumah sakit, tanpa bertanya kepada petugas, dimana pak Suharyo dirawat karena dia telah diberi tahu. Setengah berlari Desy memasuki kamar yang dimaksud. Tapi betapa terkejutnya ketika melihat kamar itu kosong

***

Besok lagi ya.

 

Wednesday, February 23, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 47

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  47

(Tien Kumalasari)                               

 

“Itu ibu saya bersama saya, ketika saya sudah lulus SMA,” terang Sarman tanpa ditanya.

Haryo hanya mengangguk, tapi matanya tetap menatap ke arah foto yang dipajang. Ia tidak lupa wajah itu. Wajah cantik yang lugu, yang pernah mengisi hatinya, saat dia masih perjaka. Namanya Wulansih. Tapi benarkah dia? Banyak wajah mirip di dunia ini. Penasaran, Haryo berdiri, mendekat ke arah foto. Seorang laki-laki muda tampan, bersama seorang wanita berwajah cantik, dengan dandanan Jawa yang begitu luwes dan menawan. Dulu Haryo mengenalnya, ketika Wulan menjadi peladen di sebuah perhelatan teman sekolahnya. Ia juga berpakaian seperti itu, dengan beberapa teman gadis lainnya. Gadis itu menumpahkan minuman dan membasahi bajunya.

Maaf … maaf, aduh bagaimana ini,” kata Wulan kebingungan, Wajahnya menampakkan wajah takut. Serta merta dia meletakkan baki yang sudah kosong di sebuah meja yang ada di dekatnya, lalu melepaskan selendang yang mengikat pinggangnya, kemudian mengelap baju Haryo dengan tangan gemetar.

“Sudah, sudah … tidak apa-apa, kata Haryo sambil menahan tangan Wulan, dan menatapnya kagum.

“Ss_saya tidak .. tidak sengaja …” katanya terbata.

“Ya, tidak apa-apa, tidak kelihatan basah kok. “

Seorang laki-laki yang mengenakan pakaian Jawa juga, mendekati Wulan dan menegurnya.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Ss_say_ya ….”

“Tidak apa-apa kok Mas, kan dia tidak sengaja. Biarlah. Ini tidak kelihatan basah,” kata Haryo membela Wulan ketika itu. Saat itu Haryo mengenakan batik  berdasar hitam, berkembang warna kecoklatan. Memang tidak kelihatan basah. Haryo merasa kasihan pada gadis yang tadi tampak ketakutan.

“Maaf ya Mas, ss_saayya … tidak sengaja.”

“Iya, sudah sana, lanjutkan pekerjaan kamu.”

Haryo tersenyum, lalu pura-pura menikmati acara sungkeman pengantin di atas panggung, sementara di gadis kemudian berlalu. Tentu dengan perasaan sangat bersalah.

Ketika pulang, Haryo mengendarai mobilnya seorang diri, ia melihat seorang gadis sedang berdiri di tepi jalan. Tampaknya dia sedang menunggu tumpangan atau apa. Ia  berpakaian Jawa. Haryo mengenalnya, dia gadis yang menumpahkan minuman di bajunya.

Serta merta dia menghentikan mobilnya tepat di depan gadis itu.

Wulan mundur beberapa langkah, tapi Haryo kemudian turun menghampirinya.

“Mbak, menunggu siapa?” tanya Haryo lembut.

Gadis itu menatap Haryo, dan tersipu ketika melihat Haryo. Ia tidak lupa bahwa dia telah membuat baju Haryo basah.

“Menunggu angkot. Saya sedang di kamar mandi ketika teman-teman saya pulang, jadinya saya harus pulang sendiri.

“Ayo aku antar,” tawar Haryo.

“Tidak. Saya menunggu angkot saja.”

“Ini sudah malam, jarang ada angkot lewat. Bahkan mungkin sudah tidak ada. Lihat, mendung sangat tebal, sebentar lagi hujan.”

Wulan menatap ke atas, dan melihat awan hitam bergumpal di langit.

“Ayolah, sudah malam sendirian di tepi jalan, kalau diculik orang bagaimana?” Haryo menakut-nakuti.

Akhirnya Wulan menurut. Haryo membukakan pintu samping, dan karena Wulan memakai kain, maka agak sukar untuk naik, sehingga dengan suka rela Haryo membantunya.

Tapi itu bukan pertemuan terakhir. Pertemuan demi pertemuan berlanjut, sehingga mereka saling jatuh cinta. Saat itu Haryo masih kuliah. Haryo sedang patah hati karena cintanya kepada Tindy kandas gara-gara kalah bersaing. Tapi karena hubungan yang semakin akrab, orang tua Wulan menuntut agar Haryo segera menikahinya. Haryo yang tak siap menikah, hanya bersedia menikah siri.

Saat itu tiba-tiba Haryo menyadari bahwa dia tidak sungguh-sungguh mencintai Wulan. Ia tak bisa melupakan Tindy dan berkeras untuk berusaha mendapatkannya.

Perlahan tapi pasti, Haryo benar-benar meninggalkan Wulan.

“Bapak pernah mengenal ibu saya?” pertanyaan Sarman mengejutkannya.

Haryo mengusap peluh yang mendadak membasahi keningnya, wajahnya, lehernya, kemudian dia kembali duduk.

“Seperti pernah mengenalnya, tapi kan banyak orang mirip di dunia ini?” Haryo mengambil tissue yang ada didepannya, lalu mengusap keringat yang membasah.

“Ibu saya bernama Wulansih.”

“Oh ….” Keringat itu kembali membanjir. Dalam hati dia bertanya, apakah Sarman darah dagingnya? Ataukah Wulan menikah lagi dan Sarman adalah anak suaminya?

“Ibu saya sangat menderita. Setelah kakek dan nenek meninggal dunia, ibu membesarkan saya seorang diri.”

Haryo menatap lekat wajah Sarman.

“Bapak tidak bertanya kemana ayah saya?”

“Eh … iya, kemana ayah kamu?” Haryo menahan getar hatinya.

“Ayah saya meninggalkan ibu ketika saya masih dalam kandungan. Meninggalkan ibu saya, bukan meninggal dunia. Ibu tak pernah menikah lagi sampai saat meninggalnya, lima tahunan yang lalu,” ujar Sarman sendu. Ia terus menatap foto yang dipajangnya.

“Tapi sampai sekarang saya tidak tahu siapa nama ayah saya. Ibu saya yang patah hati mengatakan bahwa jangan bertanya siapa namanya. Saya juga tak pernah melihat foto ayah saya karena ibu membakar semua foto-foto saat menikah dan semua kenangan atasnya.

Haryo tak menjawab.

“Laki-laki itu begitu kejam. Saya sangat membencinya.”

Haryo merasa dadanya bagai dipukul dengan palu godam sebesar pohon kelapa tua yang tumbuh di halaman itu.

“Apa yang Bapak pikirkan tentang laki-laki kejam itu?”

Haryo mengeluh lemah.

“Aku juga bukan laki-laki yang baik,” katanya pelan sambil kembali mengusap keringat di wajahnya.

***

Malam itu Haryo tak bisa tidur. Ia teringat akan mimpinya, dan tiba-tiba wajah anak laki-laki yang memakinya didalam mimpi itu terbayang kembali. Lalu Haryo sadar bahwa wajah itu adalah wajahnya Sarman.

“Ya Tuhan … Ya Tuhan … apa yang telah aku lakukan? Dan apa yang harus aku lakukan?” bisiknya berkali-kali.

“Benarkah Sarman adalah anakku? Itukah sebabnya maka sekarang ini kami begitu dekat?”

Tapi mendengar bahwa Sarman amat membanci ayahnya, hatinya hancur berkeping-keping. Satu lagi dia menemukan buah dosa yang pernah dilakukannya. Lalu apa selanjutnya? Haryo merasa bahwa hidupnya dikepung oleh laksaan dosa. Menghantamnya dalam rasa yang sakit dan menggigit. Ia merasa hidupnya akan tenang setelah menyendiri, ternyata tidak. Kali ini ia tak kuasa menghadapinya. Kebencian anak-anak gadisnya telah terurai ketika pertemuannya yang terakhir di rumah sakit. Tapi sekarang? Apakah Sarman akan begitu mudah memaafkannya? Memaafkan seorang laki-laki yang membuat hidup ibunya menderita sampai akhir hayatnya? Haryo memijit keningnya, karena kepalanya terasa sangat pusing. Ia bangun dan bermaksud mengambil obat, tapi ia terjatuh karena ia lupa bahwa kakinya harus ditopang saat berjalan, sementara dia langsung turun dari tempat tidur dan melangkah.

Tubuhnya terjerembab ke lantai, keningnya terasa nyeri karena beradu dengan lantai yang pastinya amatlah keras. Haryo berusaha bangkit dengan susah payah, dan kali ini ia meraih tongkatnya. Napasnya terengah-engah. Ia meraih segelas air yang selalu disediakannya dalam nakas. Meneguknya sampai habis.

“Ya Tuhan … ya Tuhan … “ keluhnya berkali-kali.

Tak jadi mengambil obat, Haryo kembali membaringkan tubuhnya. Keinginannya berdamai dengan semua yang membencinya, kandas karena ada yang sangat membencinya dan entah dengan cara apa dia akan mendapatkan maafnya.

Haryo tak bisa tidur sampai pagi menjelang. Ia ingin berwudhu, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Badannya terasa panas, dan dia menggigil. Ia menarik selimut tebalnya, dan meraih bantal disampingnya yang kemudian diletakkannya di atas dadanya, bermaksud mengurangi demam yang menderanya.

***

Tutut memasuki kamar Desy, bermaksud mengambil ponselnya yang tertinggal ketika berbincang dengan kakaknya. Tapi dilihatnya Desy belum tidur. Ia masih belum mematikan lampu kamarnya, telentang di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar.

“Mbak, belum tidur ?”

“Belum bisa tidur. Kamu mau mengambil ponsel kamu?”

“Iya, ketinggalan. Tuh di depan cermin.”

“Ambillah.”

“Mbak melamunkan apa? Kangen sama mas dokter ya?”

“Ngawur kamu. Itu saja yang kamu pikirkan.”

“Habis, mbak Desy kelihatan kalau sedang melamun.”

“Aku memikirkan Bapak.”

“Yah, kan tadi kita sudah membahasnya. Memang uang pensiun Bapak diberikan ke kita. Tepatnya kepada Ibu, tapi diberikan kepada kita.”

“Yang aku pikirkan adalah, kalau uang Bapak diberikan kepada kita, Bapak makan apa? Bapak juga punya kebutuhan kan?”

“Pastinya Bapak sudah memikirkannya.”

“Tapi dengan apa? Aku sedih Tut. Bagaimana ya caranya agar bisa menemukan Bapak?”

“Mbak kan co-ass di rumah sakit, Bapak pernah dirawat disana, apakah Mbak tidak bisa menemukan data dimana Bapak tinggal?”

“Menurutmu aku tidak memikirkan itu? Sudah aku lakukan Tut, tapi Bapak mempergunakan alamat rumah ini. Bukan rumah barunya. Mungkin karena KTP Bapak juga masih beralamat di rumah ini.”

“Aduh, sayang ya Mbak.”

“Bapak kontrol di rumah sakit, beberapa hari yang lalu. Tapi aku tidak bertemu. Entah bagaimana caranya, aku sampai tidak bisa bertemu Bapak.”

“Rumah sakit kan luas Mbak, ada bagian-bagian untuk setiap penyakit. Tidak menjadi satu dalam satu ruangan.”

“Jadi Mbak harus berpesan kepada bagian pendaftaran, kalau ada pasien bernama Suharyo, Mbak minta dikabari.”

“Aku juga sudah melakukannya.”

“Kalau begitu kita harus menunggu, suatu hari Bapak pasti kontrol lagi. Ya kan?”

“Mudah-mudahan kali itu aku bisa bertemu. Ya sudah, kembalilah ke kamar kamu, ini sudah malam.”

“Baiklah, selamat tidur Ibu Dokter yang cantik,” goda Tutut.

Desy tersenyum, dan tiba-tiba dia teringat kepada Danarto. Ia selalu menyapanya dengan sebutan dokter yang cantik.

“Ah ….” Desy mendesah. Ternyata tidak setiap hari dia bisa berbincang dengan Danarto. Barangkali karena kesibukannya. Pastilah. Danarto sudah berjanji akan menyelesaikan studinya tepat waktu.

Dan seperti sebuah magnet yang saling tarik menarik, tiba-tiba Danarto menelpon.

Desy tersenyum lebar, melihat gambar laki-laki ganteng yang tersenyum begitu menawan di layar ponselnya. Untunglah Tutut sudah keluar dari kamar. Kalau tidak, pasti dia sudah menggodanya habis-habisan.

“Hallo, assalamu’alaikum,” sapa Desy.

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabnya dengan salam yang lebih lengkap.

“Apa kabar Mas?”

“Baik, tapi aku selalu kangen sama kamu.”

“Ah ….”

“Yeeeey, dapat ‘ah’ diawal percakapan, sangat indah.”

“Gombal ah.”

“Lagi ngapain nona dokter yang cantik.”

“Lagi ngomong sama kamu.”

“Yah, pinter ngeles nih. Sebelum ngomong sama aku, maksudnya.”

“Aku juga kangen.”

“Aduhai, senengnya dikangenin.”

“Bukan sama kamu.”

“Duuh, jahatnya, kamu selingkuh ya?” kesal Danarto.

“Kangen sama Bapak, tahu.”

“Oh, ya ampuun, aku hampir menangis nih.”

“Kok menangis sih.”

“Habis, tadi mengira kamu selingkuh sama siapaaa … gitu.”

“Belum menemukan kabar dimana Bapak berada, jadi aku cuma bisa kangen.”

“Iya Des, maaf. Aku juga tidak bisa menghubungi Bapak karena nomor kontaknya sudah tidak aktif lagi. Pastinya Bapak sudah menggantinya dengan nomor baru.”

“Iya, benar.”

“Ya sudah, berdoa saja dan menunggu, semoga Bapak segera bisa kita temukan.”

“Iya.”

“Minggu depan aku libur, aku mau pulang.”

“Benarkah?”

“Iya, nggak tahan lagi nih, kangen melihat dokter mudaku yang cantik.”

“Ah ….”

“Aduh Des, bener-bener deh. Suka banget mendengar ‘ah’ dari bibir kamu. Kalau bisa kamu buat agar saat aku pulang, kamu juga libur.”

“Kalau jadwalnya jaga, bagaimana?”

“Tukeran dong sama yang lain.”

“Akan aku usahakan.”

“Malam ini bulan sedang penuh. Dan aku sedang memandanginya di luar.”

“Oh ya?”

“Keluarlah, agar kita bisa menatap rembulan yang sama.”

“Baiklah,” kata Desy sambil bangkit. Ia keluar dari kamar dan berjalan ke arah taman yang ada di samping rumah.

Ada bangku dari batu, yang dulu dibuat oleh ayahnya. Desy duduk disana.

“Aku sudah diluar.”

“Kamu melihat bulan itu bukan?”

“Ya.”

“Aku juga sedang memandanginya.”

“Aku juga.”

“Aku sedang berpesan kepada bulan, apa kamu mendengarnya?”

“Yah, mengapa harus berpesan kepada bulan? Kamu kan bisa bicara di ponsel ini?”

“Ya ampun Des, kamu kenapa tidak romantis sih? Biarpun ada ponsel, tapi bicara melalui rembulan itu lebih romantis. Awas, kali ini jangan bilang ‘ah’ lagi. Katakan itu kepada rembulan.”

Dan Desy tertawa geli mendengar Danarto berbincang sok romantis.

Walau Desy selalu mengatakan bahwa dia tak ingin jatuh cinta, nyatanya dia selalu meladeni setiap kali Danarto berbicara tentang cinta. Aduhai, Desy sebenarnya takut, tapi kok suka ya. Entahlah, barangkali waktu yang akan menentukan, kapan perasaan cinta itu sampai kepada muaranya.

***

Sepulang dari kampus, Sarman mengunjungi Haryo di rumahnya. Saat mengantarnya pulang, Sarman melihat bahwa Haryo sepertinya sedang sakit. Ia bicara cuma sepotong-sepotong, itupun kalau Sarman mengajaknya bicara. Itu sebabnya Sarman khawatir.

Ketika memarkir sepeda motornya di halaman, Sarman melihat lampu di teras masih menyala. Dan itu berarti Haryo tidak mematikannya pagi tadi. Sarman berdebar. Apakah Haryo benar-benar sakit?

Sarman membuka pintu, dan ternyata tidak terkunci. Ia juga heran melihat lampu di semua ruangan masih menyala. Dengan berdebar Sarman membuka pintu kamar Haryo, dan melihat Haryo meringkuk di ranjang, dengan tubuh tertutup selimut.

Sarman mendekat, dan meraba tubuh Haryo. Panas sekali.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...