MEMANG KEMBANG JALANAN
50
(Tien Kumalasari)
“Aku mau membayar administrasi dulu ya Man,” kata
Tindy.
Tapi melihat Sarman terpaku di tempatnya berdiri,
Tindy merasa heran. Tampaknya Sarman pun juga akan ke kantor yang sama.
“Kamu juga mau kemari Man? Siapa yang sakit?” tanya
Tindy sambil menatap Sarman yang tampak kebingungan.
“Sedianya saya juga mau membayar Bu,” katanya ragu.
“Ya sudah ayo sama-sama, boleh kamu dulu atau biar aku
dulu, nggak masalah. Yang sakit saudara kamu, atau orang tua kamu?”
“Ti_ tidak Bu, saya juga mau membayar untuk … untuk … pak
Haryo.”
Tindy heran, ia mengurungkan langkahnya yang sudah hampir
sampai di antrean loket. Ia mendekati Sarman.
“Maksudmu apa Man? Pak Haryo yang kamu maksud itu …
apakah pak Haryo suamiku?”
Sarman mengangguk pelan.
“Tunggu … sini bicaralah,” kata Tindy yang kemudian
mengajak Sarman duduk.
Sarman bingung, diantara harus memegang rahasia yang
di amanatkan Haryo, atau berterus terang. Tapi kalau bu Haryo sudah mengurus
suaminya, apa yang harus dirahasiakan lagi? Ia duduk di samping Tindy. Rasanya
memang sudah saatnya dia berterus terang, karena menyimpan rahasia menurutnya
seperti sedang memikul beban.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tiba-tiba aku merasa
bahwa kamu ada hubungannya dengan keadaan pak Haryo saat ini. Lalu ketika kamu
menyerahkan amplop itu, bukankah sebenarnya kamu tahu dimana pak Haryo berada?”
Sarman tertunduk malu, karena ketahuan telah
berbohong.
“Saya mohon maaf Bu, sebenarnya saya memang berbohong
pada Ibu.”
“Baiklah, aku percaya bahwa kamu anak baik, jadi pasti
kamu punya alasan, bukan?”
Lalu Sarman menceritakan perihal pertemuannya dengan
Haryo sejak Haryo memintanya agar menjemput ke rumah sakit, untuk mengantarkannya
pulang dengan permintaan bahwa Sarman harus merahasiakan tempat tinggalnya. Dan
karena iba melihat keadaan Haryo, maka Sarman sering datang untuk membantunya.
Baik untuk membersihkan rumah maupun membelikan apa yang Haryo butuhkan. Bahkan
Haryo juga menyuruhnya menjual mobilnya lalu mengirimkan amplop kepada Tindy.
Tindy menghela napas sedih. Ia merasa bahwa suaminya
merasa sangat terbebani atas semua kesalahan yang dilakukannya, sehingga tak
punya keberanian untuk menemuinya, apalagi pulang ke rumahnya.
“Pak Haryo sangat menyesali perbuatannya. Itu membuat
saya iba, Bu,” lanjut Sarman sambil terus menundukkan wajahnya.
Kemarin sore ketika saya pulang dari bekerja, saya
mampir ke rumah pak Haryo, karena saya melihat bahwa pak Haryo seperti orang
sakit, setelah mengajak saya makan, kemudian mampir di rumah saya. Dan benar
saja, ketika saya datang, pak Haryo tampak lemas di tempat tidurnya, badannya
sangat panas. Saya berusaha mengompresnya, tapi karena ketakutan, saya
membawanya ke rumah sakit. Saya memilihkan kamar inap karena pak Haryo memang
harus rawat inap. Dokter menghawatirkan keadaannya dan harus diperiksa lengkap
keesokan harinya. Semalam saya menemaninya di ruangannya, tapi pagi tadi saya
tinggalkan pak Haryo karena saya harus bekerja. Saya menitipkannya kepada
suster perawat,” kata Sarman panjang lebar.
“Apa kamu tahu? Pagi tadi pak Haryo pulang paksa.”
“Masa Bu? Saya sama sekali tidak tahu. Saya tadi
mengambil uang untuk membayar sebagian beaya perawatan pak Haryo.”
“Dan aku bertemu di jalan saat dia hampir pingsan.”
“Ya Tuhan, mengapa Bapak melakukan itu?”
“Aku belum banyak bicara. Tapi nanti kita pasti akan
menemukan jawabannya. Aku harus berterima kasih karena kamu telah membantunya
dalam banyak hal.”
“Tidak usah berterima kasih Bu, siapapun akan
melakukan hal yang sama kalau melihat keadaan seperti yang pak Haryo alami.”
“Tidak, menurutku kamu telah melakukan hal yang luar
biasa. Sebentar, aku ke loket dulu, nanti kita temui pak Haryo bersama-sama.
Mungkin kamarnya telah berbeda dengan kamar yang kemarin kamu pesan.”
“Maaf Bu, saya bingung. Saya pikir kelas satu sudah
bagus.”
“Bukan masalah kamarnya, maksudku kalau kamu
mencarinya ke kamar sebelumnya, kamu tidak akan ketemu karena mungkin aku
memesan kamar yang berbeda. Sebentar ya, tunggu aku disini.”
Sarman menyandarkan tubuhnya dengan lega. Ia yakin Haryo
tak akan marah karena dia mengatakan semuanya kepada isterinya. Bukankah
isterinya begitu baik dan bersedia mengurusnya? Rupanya Haryo takut kepada
bayangannya sendiri, atau terlalu memiliki gengsi yang tinggi, entahlah. Tapi
pertemuan Haryo dan isterinya sungguh membuat Sarman lega. Ia tak usah terlalu
bingung mengurusnya.
***
Desy mendekati ayahnya, ketika melihat tubuh ayahnya
bergerak.
“Bapak ….” Bisiknya.
Haryo membuka matanya.
“Mengapa ibumu melakukannya?”
“Melakukan apa pak?”
“Menolongku. Kenapa tidak dibiarkannya saja aku?”
“Bapak salah menilai Ibu. Ibu tidak pernah mengabaikan
Bapak. Ibu selalu bilang bahwa Bapak masih suaminya.”
Haryo menatap Desy tak percaya.
“Kata Ibu, kalau Allah saja bersedia mengampuni
umatnya yang bertobat, mengapa kita tidak bisa melakukannya, sedangkan kita
hanyalah umat yang sangat kecil dihadapanNya.”
“Aku merasa kecil di mata ibu kamu.”
“Tidak, Bapak tidak boleh punya perasaan seperti itu.”
“Itu kenyataannya.”
“Menangisi hal lampau yang menyakitkan itu akan terus
menerus menyakiti kita. Yang terbaik adalah melupakannya, dan memperbaiki
langkah kita.”
“Kamu anak kecil tahu apa.”
“Bapak lupa, Desy bukan anak kecil lhoh. Desy sudah
akan menjadi dokter beneran,” jawab Desy pura-pura cemberut.
Haryo mengusap kepala Desy dengan tangannya yang
terasa lemah.
“Bapak jangan coba-coba lari seperti tadi ya, awas,
mulai sekarang Desy akan terus mengawasi Bapak.”
Haryo tersenyum tipis, lalu memejamkan lagi matanya.
“Apa yang sekarang Bapak rasakan?”
“Hanya demam, dan lemas. Perut terasa begah.”
“Bapak terlalu banyak pikiran.”
Seorang petugas laborat memasuki ruangan Haryo, karena
harus mengambil sample darah Haryo untuk diperiksa.
“Maaf dok,” kata petugas meminta ijin.
“Silakan.”
Desy benar-benar merasa lega. Ia berjanji akan merawat
ayahnya dengan sebaik-baiknya, dan akan memaksa ayahnya agar tinggal
bersama-sama seperti dulu.
Ketika petugas laborat itu pergi, Tindy masuk, bersama
Sarman. Desy heran, ia mengenal Sarman sebagai sopir kampus di mana ayahnya
mengajar.
“Desy kenal ini kan?”
“Itu kan mas Sarman," kata Desy pelan. Tapi ucapan
yang pelan itu terdengar sangat jelas di telinga Haryo. Ia membuka matanya, dan
melihat pemuda tegap yang berdiri disamping isterinya sedang menatapnya. Lalu
Sarman mendekat.
“Man, aku minta maaf ya.”
“Tidak usah Bapak pikirkan, saya tahu mengapa Bapak
melakukannya. Dan rupanya Allah yang telah mengatur semuanya, sehingga Bapak
bertemu Ibu. Saya minta maaf karena telah menceritakan semuanya.”
Haryo tak bisa berkata apa-apa. Toh akhirnya Tindy akan
mengetahui semuanya. Ada banyak pertimbangan yang akan dilakukannya setelah dia
sembuh nanti. Ia tak bisa sepenuhnya mengharapkan Tindy. Bukan karena Tindy
masih marah, tapi karena Haryo merasa kecil di mata isterinya. Masih adakah
muka? Hanya itu yang selalu dipikirkannya. Tapi sekarang tubuhnya terasa lemas,
bahkan bergerakpun seperti tak mampu. Ditambah lagi permasalahan Sarman yang
kemungkinan besar adalah darah dagingnya. Hal itu membuatnya semakin tak
berdaya menghadapi isterinya.
“Bapak harus tenang. Hal yang paling membahagiakan
adalah bisa berkumpul dengan keluarga yang menyayangi. Tidak seperti saya. Saya
ini tidak punya siapa-siapa Pak. Ibu saya sudah meninggal, dan Bapak saya entah
dimana, sejak saya didalam kandungan tidak pernah memperhatikan saya,” kata
Sarman pilu.
Haryo kembali merasa kepalanya semakin nyeri. Hatinya
remuk bagai dirajang-rajang. Mulutnya ingin mengatakan bahwa dia lah ayahnya,
tapi bibirnya terasa kelu.
“Aku bukan saja penjahat, tapi juga pengecut,”
bisiknya pelan.
“Sekarang Mas beristirahat dulu saja, jangan memikirkan
apapun, supaya segera sembuh,” kata Tindy yang kemudian mendekati ranjang
suaminya.
“Ibu benar, Bapak harus beristirahat dan jangan
memikirkan apapun, supaya segera pulih.”
“Man, pegang tanganku,” bisik Haryo lirih. Sarman
menurutinya, digenggamnya tangan Haryo dan diremasnya perlahan. Tangan itu
begitu panas dan lemas.
“Maukah kamu memaafkan aku?” bisiknya lagi.
“Apa yang Bapak katakan? Bapak tidak bersalah apapun
sama saya.”
“Sudahlah Mas, istirahat saja dulu. Rupanya Mas
terlalu banyak pikiran,” kata Tindy sambil mengajak Sarman duduk di sofa,
bersama Desy juga.
Haryo menatap keduanya.
“Dia darah dagingku, Tindy,” bisikan yang sangat
lirih, hanya terlihat bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang terdengar.
***
“Banarkah? Bapak bersedia pulang?” teriak Lala dari
negeri seberang ketika Desy menelponnya.
Lalu Desy juga bercerita sekilas tentang pertemuan
ayahnya dengan ibunya waktu itu. Tapi Lala sangat sedih mendengar ayahnya dirawat
di rumah sakit.
“Bapak sakit apa?”
“Aku kan pernah cerita waktu itu, tentang keadaan
Bapak. Tapi sekarang ini tampaknya Bapak sangat tertekan. Makan tidak teratur,
lambungnya agak bermasalah.”
“Tapi bagaimana keadaannya sekarang?”
“Sudah lebih baik, sudah bisa tidur nyenyak, tidak gelisah
seperti kemarin-kemarin, dan sudah tidak panas lagi.”
“Syukurlah, sedih aku mendengarnya. Tapi nanti
setelah sembuh Bapak mau pulang kan?”
“Semoga saja Bapak mau, sekarang belum bisa bicara
banyak, tampaknya rasa tertekan itu masih ada.”
“Maukah Ibu bicara sama Bapak?”
“Ya mau dong Mbak, kan yang menemukan Bapak juga Ibu.”
“Masa sih Bapak tetap tidak mau walaupun nanti Ibu
yang mengajaknya pulang?”
“Semoga saja Mbak, Ibu bilang, nanti Ibu akan bicara.
Tapi menunggu keadaan dulu, kalau Bapak sudah lebih baik.”
“Semoga saja segera menjadi Baik. Besok aku akan
menelpon Bapak, kalau sekarang takutnya Bapak sudah tidur. Kan sudah malam?”
“Iya benar.”
“Siapa yang menunggui Bapak, kan kamu juga sambil
bertugas?”
“Mas Sarman yang setiap malam tidur di rumah sakit.”
“Ya ampun, baik benar dia.”
“Iya. Sangat telaten meladeni Bapak.”
“Ya sudah, nanti aku mengganggu, besok saja aku
menelpon Ibu, sekalian sama Bapak, sekarang aku sedang sibuk juga sih.”
“Baiklah, selamat bersibuk ria, semoga berhasil.”
“Oh ya, tunggu, bagaimana kabarnya dokter Danarto?”
“Baik lah, kan dia di Jakarta.”
“Maksudku, hubungan kamu?”
“Ya ampuuun, belum ada apa-apa, kami masih bersahabat.
Sudah, jangan diterusin ngomongnya tentang dia. Doakan saja yang terbaik.”
“Okey, inshaa Allah Mbak pasti mendoakan yang terbaik
untuk kalian semua.”
“Terima kasih Mbak, doa kami juga untuk Mbak.”
Desy menutup ponselnya sambil tersenyum. Lala
mengingatkannya tentang Danarto, dan itu membuatnya sedikit berdebar. Minggu
depan Danarto akan pulang, dan mereka akan bertemu. Aduhai.
***
Setiap pulang dari kampus Tindy selalu memerlukan
menunggui suaminya. Ia merasa tenang, melihat keadaan kesehatan suaminya yang
tampak lebih baik. Namun sang suami tampak tak banyak bicara. Ia hanya menjawab
kalau ditanya. Tindy tahu, Haryo masih dicengkeram oleh rasa bersalahnya,
padahal dia sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia sudah melupakannya.
“Bagaimana keadaanmu Mas?”
“Seperti kamu lihat. Aku lebih baik pulang saja. Aku
sudah tidak apa-apa.”
“Apa kamu tahu kalau anak-anak kamu ingin agar kamu pulang
ke rumah?”
Haryo agak kecewa. Mengapa Tindy tidak mengatakan
bahwa dia juga mengharapkannya pulang?
“Apakah aku masih pantas? Apa aku tidak akan menyusahkan
kalian semua?”
“Itu kewajiban keluarga kamu kan Mas?”
“Aku merasa kecil ….”
“Kan sudah berulang kali aku mengatakan, bahwa dosa atau
kesalahan akan terbalut oleh keinginan bertobat dan tekat memperbaiki diri?”
“Apa kamu juga mau kalau aku pulang?”
“Bukankah kamu masih suamiku?”
“Aku sangat kotor, banyak dosa, jahat, nista.”
“Kamu sudah mengatakannya berulang kali, dan aku juga
sudah menjawabnya berulang kali pula.”
“Ada satu dosa lagi yang masih membebani pikiranku.”
Tindy menatap suaminya tajam.
“Aku tidak punya harapan untuk mendapatkan maafmu atas
dosa yang satu ini, karena ini terlalu besar, dan menyangkut kehidupan sesosok
manusia.”
Tindy terkejut. Ia membayangkan suaminya punya isteri lagi selain Nina yang dilihatnya beberapa hari lalu. Dan itukah sebabnya maka dia mengusir Nina?
“Kalau kamu berat meninggalkan isteri kamu yang
satunya lagi, aku tidak apa-apa kok. Sudah sejak lama aku menata batinku untuk
menghadapi kehidupan yang bagaimanapun menyakitkannya,” kata Tindy tanpa
menatap wajah suaminya. Ia mencoba mengurai benang kusut yang kembali menjerat
benaknya.
“Siapa bicara tentang isteri?”
“Siapa sesosok manusia yang Mas maksud? Perempuan kan?”
“Perempuan masa laluku, dia sudah meninggal.”
“Ibunya Danarto? Apa Danarto itu darah dagingmu?”
tanya Tindy cemas, mengingat hubungan Danarto dengan Desy anaknya.
“Bukan dia. Tapi Sarman.”
Tindy benar-benar terkejut.
“Sarman? Dia anakmu Mas?”
Dengan terbata Haryo menceritakan hubungannya dengan
Wulansih, yang tanpa disadarinya saat ditinggalkan telah mengandung seorang
anak yang kemudian diberinya nama Sarman.
“Ya Tuhan ….” Tindy menghela napas panjang. Sangat
panjang, dan kemudian dihembuskannya perlahan. Itu cara dia menata gejolak
batinnya.
“Allah hu Akbar. Begitu indah Allah menata kehidupan umatnya.
Bagaimanapun upaya seorang manusia berusaha menemukan darah dagingnya, belum
tentu bisa bertemu. Tapi Allah melakukannya dengan sangat indah. Kalian
dipertemukan dalam keadaan yang sangat tak terduga,” kata Tindy dengan lembut,
dan Haryo mendengarkannya seperti mendengar sebuah kidung dari sorga.
Suara lembut isterinya, tak ada kemarahan, tapi rasa
syukur. Hati malaikat kah yang bersemayam didalam jiwa isterinya?”
“Tindy, kamu tidak marah?”
Tindy tersenyum sangat tulus. Darah daging yang begitu
baik, santun dan penolong, kehadirannya harus disyukuri.
“Dia akan menjadi anakku juga.”
Dan beban yang menyesak dada Haryo terasa lebih ringan.
“Tapi dia belum tahu semuanya. Aku belum berani
mengatakannya, karena dia pernah berkata bahwa sangat membenci ayahnya.
“Waktu yang akan berbicara,” jawab Tindy sambil
tersenyum, dan itu sangat melegakan hati Haryo. Ingin rasanya ia menghambur dan
memeluk isterinya penuh terima kasih, tapi ditahannya. Rasa tinggi hati itu
masih ada. Tapi Tindy bersyukur, Haryo tak menolak ketika Desy dan Tutut
mengajaknya pulang.
***
Ketika Tindy pulang mengajar sore itu, dilihatnya
Haryo sedang duduk di sebuah bangku diantara kebun melati yang berjajar, mendominasi semua tanaman bunga milik Tindy. Tongkat penyangga tubuhnya
bersandar disisi bangku itu. Tindy melihat tanah basah disekeliling pohon-pohon
perdu dengan kuncup-kuncup putih yang terserak diantara daun-daun menghijau.
“Apa yang Mas lakukan?”
“Menyirami tanaman-tanaman melati kamu, seperti aku
menyirami hati-hati yang gersang karena kemarau yang terlalu panjang.”
Tindy melangkah mendekat, lalu duduk disampingnya, menunggu
malam tiba, saat kuncup-kuncup itu bermekaran dan menebarkan aroma wangi.
******* T A M A T *******
*************************
Biarkan anak-anak muda menyelesaikan tugasnya. Hari
masih panjang untuk menorehkan kisah-kisah indah diantara mereka. Nanti ya…
Sepasang manusia remaja sedang duduk disebuah bangku
taman. Tapi wajah mereka tidak diwarnai oleh bahagia seperti yang tampak pada
pasangan lainnya. Sang gadis tampak menangis dan berkali-kali mengusap air
matanya.
“Sungguh ini bukan mauku mas. Aku memutuskan hubungan
kita karena aku dijodohkan dengan seseorang. Tolong mengertilah.”
“Aku akan merebutmu!” geram sang pemuda dengan mata
merah.
ADUHAI, ada cerita baru yang semoga seru ya. Tungguin,
BUKAN MILIKKU.
**********