Tuesday, February 28, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 31

 

SETANGKAI BUNGAKU  31

(Tien Kumalasari)                

 

“Mau kamu bawa ke mana sepeda itu Mas?” sapa Ardian.

“Aku bawa ke tukang tambal lah, kan bocor dari semalam?” jawab Bondan dengan perasaan kurang senang.

“Biar aku saja yang membawanya,” kata Ardian.

“Nggak apa-apa, biar aku saja,” kata Bondan sambil terus membawa sepeda itu, keluar dari halaman.

Ardian menatapnya kesal. Ia merasa, Bondan selalu mengikutinya, dan terang-terangan menjadikannya pesaing. Lalu ia memilih kembali ke mobil, dan membiarkannya. Haruskah berantem untuk mengikuti kekesalan hati? Ardian sadar, dia bukan lagi anak kecil. Dia begitu penyabar, dan memilih mengalah saja. Itu sebabnya, kemudian ia menjalankan mobilnya, meninggalkan area kantor dimana tadinya dia bermaksud menunggu kembalinya Pratiwi.

Ia menengok jam di tangannya, lalu sadar bahwa sudah seharusnya dia berada di kantornya sendiri. Ia memacu mobilnya, berusaha melupakan kekesalan hatinya. Ada sesal ketika dia melupakan sepeda gembos yang ditinggalkan Pratiwi di ruang satpam. Dan karena itu Bondan berhasil mendahuluinya, yang pasti akan membuat Pratiwi berterima kasih padanya.

Sementara itu Pratiwi sedang berada di ruangan Susana. Susana baru saja datang, dengan wajah kuyu dan mata sembab. Barangkali semalaman dia menangis.

“Apa kabar, bu Susana?”

“Baik,” jawabnya singkat, sambil membenahi barang-barangnya.

“Bu Susana mau ke mana?”

“Aku mau pergi dari sini. Apa sekarang yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan tetap berada di sini setelah kejadian semalam?”

“Tidak. Saya menemui bu Susan, justru karena saya ingin berhenti saja. Tapi saya memikirkan uang ganti rugi karena saya akan membatalkan kontrak kerja itu.”

Pratiwi kemudian diam. Menata hatinya, karena belum menemukan jalan untuk mendapatkan uang pengganti. Semalam Ardian sudah menghiburnya, yang katanya dengan terjadinya peristiwa semalam, mungkin perjanjian kontrak itu akan tak lagi berlaku. Tapi Pratiwi belum yakin benar.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Saya sudah mengatakannya. Uang pengganti kalau saya membatalkan kontrak. Apakah saya bisa diberikan waktu untuk mengembalikan uang itu? Barangkali saya akan mencari jalan, agar bisa terlepas dari kesulitan saya. Tapi entahlah, saya baru memikirkannya.”

“Pratiwi, kamu tidak usah memikirkannya. Sony sudah merusak sendiri perjanjian kontrak itu.”

“Apa maksud Ibu?”

“Ketika Sony menanda tanganinya, ada terselip sebuah kalimat, yang mungkin dia tidak menyadarinya.”

Pratiwi menatap Susana tak mengerti.

“Ada kalimat begini ‘  perjanjian kontrak ini batal apabila pihak kedua yaitu kamu, merasa tertekan atau teraniaya karena kelakuan pihak pertama, dan pihak kedua tidak lagi berkewajiban mengembalikan uang yang sudah dia terima.’

Pratiwi mengangkat wajahnya. Ia melihat Susana mengambil sebuah berkas, yang dulu pernah ditanda tanganinya. Lalu Susana memberikan berkas itu, dan meminta agar Pratiwi membacanya lagi.

Memang benar, kalimat itu ada. Dulu dia tak sempat membaca dan memahaminya, karena yang dipikirkannya hanya uang untuk biaya operasi Nano.

“Apa kamu dulu tidak membacanya?”

Pratiwi menggeleng.

“Apakah dengan peristiwa semalam, berarti saya tidak harus mengembalikan uang itu?” kata Pratiwi dengan suara bergetar karena haru. Haru karena ternyata Susana sudah sejak lama memperhatikannya, menaruh belas kasihan kepadanya, dan menjaganya dari semua perbuatan buruk Sony.

“Tentu saja Pratiwi. Sekarang Sony sudah menjadi tahanan polisi, walau dia harus dirawat. Proses akan tetap berlangsung, dan kamu punya pegangan surat ini, seandainya Sony akan menuntut.”

“Saya akan ikut serta dalam kasus ini?”

“Tentu saja Pratiwi, kamu adalah korban. Tapi kamu tidak usah takut, aku akan selalu mendampingi kamu.”

Pratiwi merosot dari tempat duduknya, dan bersimpuh di hadapan Susana, lalu menangis di pangkuannya.

“Pratiwi, apa yang kamu lakukan? Berdirilah.”

“Saya tidak menyadari, bahwa sejak awal bu Susana sudah menaruh belas kasihan pada saya. Menjaga saya dengan segala perjuangan. Bukan hanya dengan membuat surat itu, tapi juga dengan apa yang ibu lakukan semalam, sehingga saya luput dari perbuatan biadab itu,” isak Pratiwi.

“Kamu gadis yang baik. Sejak awal aku sudah merasa kasihan melihat kamu, mendengar kisah kamu, menyaksikan pengorbanan kamu demi adik kamu. Karena itulah aku melakukannya.”

“Mengapa bu Susana melakukannya untuk saya, sementara sebenarnya bu Susana sangat dekat dengan pak Sony?”

Susana menghela napas berat. Ia menarik tubuh Pratiwi, dimintanya duduk kembali di atas sofa.

“Sesungguhnya aku sangat mencintai Sony. Tapi Sony hanya mempergunakan aku sebagai pelampias kesenangannya. Tapi cinta aku itu buta, karena aku biarkan dia bersenang-senang dengan siapapun wanita yang dipilihnya. Hanya saja terhadapmu, aku tidak rela, karena kamu gadis yang berbeda. Sony mengira aku cemburu, tapi tidak. Cinta yang aku miliki itu cinta yang tak pernah merasa cemburu. Aku biarkan dia, asalkan dia senang. Tapi kamu berbeda. Kamu gadis yang pantas dikasihani, karena kamu baik dan tulus dalam menjalani kehidupan ini.”

Susana diam, lalu mengusap air matanya.

“Bu Susana menunggui pak Sony semalaman,  di rumah sakit?”

“Tadinya iya. Tapi tengah malam itu dia mengusir aku, memecat aku.”

“Jadi ….”

“Aku tidak peduli. Aku pendam cinta itu, menggantikannya dengan kebencian. Aku merasa telah salah langkah. Aku merasa bahwa cinta itu sesungguhnya adalah sesuatu yang agung, dan tidak kotor. Tapi baiklah, semua sudah terlambat. Aku akan memulai hidup aku dengan cara yang berbeda. Mengais rejeki dengan cara yang berbeda pula.”

Mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Pratiwi?” akhirnya Susana memecahkan suasana hening itu.

“Saya adalah penjual sayur, jadi akan kembali menjadi penjual sayur,” jawab Pratiwi mantap.

“Bagus, aku akan mendukung kamu.”

“Lalu apa yang akan Ibu lakukan?”

“Mungkin berdagang, atau apa. Aku punya sedikit tabungan, tapi belum tahu akan berdagang apa. Sekarang ayo kita benahi barang-barang kita, lalu pergi dari tempat ini.”

“Baiklah.”

“Kita akan melanjutkan pembicaraan kita, lain kali.”

“Baik, Bu.”

“Aku juga akan datang ke rumah kamu. Bagaimana keadaan Nano?”

“Ibu sudah mengenal Nano?”

“Tentu saja, aku pernah membezoeknya di rumah sakit, sesaat setelah dia dioperasi.”

“Ah, ya. Saya sudah menduganya. Nano mengatakan ada teman saya yang sangat cantik dan baik, membawakan buah-buahan enak untuk dia. Pasti Bu Susana.”

Keduanya tertawa, dan masing-masing bersiap untuk meninggalkan perusahaan yang didirikan hanya karena ambisi Sony untuk menundukkan Pratiwi.

***

“Aku akan mencari taksi, kita bisa bersama-sama. Ya kan?” kata Susana setelah sampai di halaman luar kantor.

“Saya akan naik sepeda. Oh ya, itu sepeda saya bukan? Pak Satpam sudah menambalkan ban saya yang gembos semalam,” kata Pratiwi ketika melihat sepedanya bersandar di luar ruangan satpam.

“Oh, ya Pratiwi, sayang sekali ya. Kamu pasti tak akan mau meninggalkan sepeda kamu lagi di sini, kan?”

“Jangan Bu, nanti saya harus balik lagi ke sini untuk mengambilnya dong,” kata Pratiwi sambil tersenyum. Keduanya melangkah sampai di ruang satpam. Susana ingin mencari taksi sambil duduk di situ juga. Tapi tiba-tiba Pratiwi terkejut, melihat Bondan duduk di dalam ruangan satpam.

“Mas Bondan?” pekiknya kaget.

“Bu Pratiwi, pak Bondan ini yang menambalkan sepeda Ibu. Baru saja selesai,” kata satpam jaga pagi itu.

Bondan tertawa. Tapi kemudian dia terpaku pada wanita cantik yang berjalan di samping Pratiwi. Ia ingat wanita itu, yang menangisi dan meratapi Sony yang terkapar tak berdaya.

“Pratiwi, sepeda kamu sudah siap rupanya. Apa dia pacar kamu? Dia yang menolong kamu juga kan?” bisik Susana di telinga Pratiwi, membuat Pratiwi tertawa.

“Bukaaaan,” Pratiwi berteriak.

“Ini kan, Mbak Susana, yang semalam itu kan?” sapa Bondan.

“Iya, saya ingat. Semalam Mas dan siapa tuh yang satunya, juga ikut melawan Sony dan pembantunya.”

“Mas Ardian.”

“Oh ya, maaf, semalam tidak sempat berbicara banyak. Situasinya tidak memungkinkan. Tapi sekarang saya pamit dulu, mau mencari taksi,” kata Susana.

“Mbak Susana mau ke mana?”

“Mau pulang. Sama dengan Pratiwi, saya juga resign dari kantor ini.”

“Kalau begitu saya antar saja, bersama dengan Pratiwi juga,” kata Bondan.

“Lho, Mas, aku kan bawa sepeda. Jadi aku pulang naik sepeda saja, Mas Bondan mengantar bu Susana.”

“Kamu mau naik sepeda?” tanya Bondan.

“Iya dong Mas, setiap hari aku naik sepeda. Tapi ini hari terakhir saya datang kemari, jadi saya tidak bisa meninggalkan sepeda saya.”

“Tapi nggak enak juga kalau saya merepotkan, biar saya memanggil taksi,” kata Susana sungkan.

“Tidak Mbak Susana, sekalian saya juga mau pulang. Nanti sore saja saya ke rumah Pratiwi.”

“Sungguh, tidak merepotkan?”

“Tidak. Tentu saja.”

“Ya sudah, saya duluan ya Bu, Mas Bondan,” kata Pratiwi sambil menaiki sepedanya dan berlalu. Susana menatapnya iba.

“Anak itu, selalu membuat aku iba,” bisiknya pelan.

“Semoga dia segera mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sambung Bondan.”

“Aamiin.”

Ada kesan baik yang dirasakan Bondan, melihat sikap Susana yang sangat perhatian kepada Pratiwi, sama dengan dirinya.

“Ayuk, kita pergi, Mbak,” ajak Bondan kemudian.

Susana tak mampu menolaknya. Dengan rasa sungkan dia masuk ke mobil Bondan, ketika Bondan sudah membukakan pintu depan untuknya.

***

Ketika sampai di kantor, dilihatnya Roy di dalam ruangannya, sedang sibuk menyiapkan laptop di mejanya.

“Kok sudah datang? Hanya mengantarkan saja?” tanya Roy, karena tadi Ardian pamit menjemput Pratiwi dan mengantarkannya ke kantor.

“Ya, harusnya aku menunggu sampai selesai urusannya di kantor, tapi nggak jadi.”

“Kenapa?”

“Ada Bondan di sana, yang dengan baik hati kemudian menambalkan ban sepedanya, dengan senyum-senyum gitu. Aku jadi kesal, lalu aku tinggalkan dia,” kata Ardian sambil duduk di sofa ruangan kantor Roy.

“Kenapa? Kamu jangan mau kalah dong. Tetap tungguin, lalu biarkan Pratiwi memilih, mau diantar siapa, gitu.”

“Nggak ah. Kalau Pratiwi memilih Bondan, malu dong aku.”

“Lalu kamu benar-benar mau mengalah?”

“Lebih baik begitu.”

“Aduh, nanti ke sana sama aku. Kalau Bondan masih nekat nyamperin Pratiwi, biar aku yang selesaiin.”

“Kamu itu, sukanya main kasar. Aku nggak mau.”

“Jadi, bagaimana? Mengalah?”

“Itu lebih baik kan?”

“Mulutnya bicara begitu, tapi hati kamu kesal kan? Nanti biar aku hadapi dia.”

“Jangan. Aku nggak suka cara kamu.”

“Jadi, cara kamu bagaimana?”

“Ya sudah, diamkan saja. Memalukan berebut perempuan.”

“Yaah, cinta itu harus diperjuangkan. Jangan berhenti hanya karena merasa kalah bersaing. Aku akan dukung kamu,” kata Roy bersemangat.

“Aku tidak mau. Jodoh itu kan bukan kita yang menentukan.”

“Aduh, jadi laki-laki jangan lembek dong. Kejar tuh cinta, jangan lepaskan.”

Tapi Ardian hanya tertawa pelan, ia berdiri dan meninggalkan ruangan Roy, dengan perasaan kesal yang menggayuti hatinya.

“Sesungguhnya aku tidak takut. Aku hanya ingin bermain cantik dan berebut. Roy tidak mengerti. Maunya main keras saja,” gumamnya ketika kemudian memasuki ruangannya, dan bersiap mengerjakan semua tugasnya.

***

Dalam perjalanan pulang diantar Bondan itu, Susana hanya diam. Kecuali merasa sungkan telah merepotkan Bondan, ia juga masih merasa sedih, karena harus melupakan laki-laki yang sangat dicintainya, tapi juga kemudian teramat dibencinya.

Tak terasa air matanya berlinang. Bukan menangisi rasa kehilangan itu, tapi menangisi kebodohannya dan rasa sesalnya.

Bondan terkejut. Sejak tadi dia melihat, wajah wanita cantik itu sembab, dan dia sekarang melihat wanita itu menangis. Bondan mengira, Susana menangisi sakitnya Sony, karena sejak semalam dia tampak meratapinya.

“Apa keadaannya berat? Kritis?” tanya Bondan sambil menyerahkan kotak tissue.

Susana dengan cepat mengusap air matanya dengan tissue yang diulurkan Bondan.

“Siapa?”

“Sony. Luka parah kah dia?”

“Oh, dia. Sepertinya tidak. Tapi saya tidak sedang menangisi dia.”

“Maaf, saya kira ….”

“Saya menangisi kebodohan saya.”

“Maksudnya ….”

“Saya mencintai orang yang salah. Saya menyesal.”

Diam-diam Bondan merasa trenyuh. Ia melihat, Susana seperti sangat menderita.

“Bagaimana kalau kita berhenti dulu, makan atau minum di sebuah restoran, agar hati Mbak merasa lebih tenang?”

“Susana memang sedang sangat sedih. Di rumah dia sendirian, dan sesungguhnya dia butuh teman. Karena itu dia tidak menolak ajakan Bondan.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Monday, February 27, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 30

 

SETANGKAI BUNGAKU  30

(Tien Kumalasari)

 

“Ada mas Bondan juga?” kata Pratiwi yang kemudian turun dari mobil.

Ardian merasa kesal. Ada perasaan suka terhadap Pratiwi yang barusaja disadarinya, tapi kemudian ia tahu, bahwa dia punya saingan. Ia mengikuti turun dari mobil dan langsung masuk ke teras, di mana Bondan sudah lebih dulu duduk bersama yu Kasnah.

“Ibu,” Pratiwi lebih dulu merangkul ibunya.

“Mengapa baru pulang? Dan mengapa nak Bondan sampai menjemput kamu?” tegur yu Kasnah.

“Pratiwi juga bersama mas Ardian, Bu.”

“Nak Ardian?”

“Iya Yu, kebetulan kami bersama-sama menjemput Pratiwi,” jawab Ardian yang langsung menggenggam tangan yu Kasnah erat.

“Ini sangat membuat repot orang lain. Bekerja macam apa kamu ini Tiwi? Sejak tadi sore ibu selalu memikirkan kamu. Mas Roy yang datang kemari dan mengabarkan bahwa kamu bekerja lembur.”

“Iya Bu. Maafkan Tiwi telah membuat Ibu cemas.”

“Benar, ibu sangat cemas. Kalau begini caranya, ibu tidak suka kamu bekerja kantoran. Biarpun gajinya setinggi langit, tapi ketenangan jiwa itu lebih dari segalanya. Bukankah ibu pernah mengatakannya?”

“Pratiwi juga memutuskan, untuk berhenti, Bu.”

“Benarkah? Hari ini, Nano bilang, kamu sudah bekerja genap sebulan. Jadi tidak perlu dilanjutkan lagi. Apa kamu terpaksa melakukannya?”

“Tidak, Bu. Tiwi tidak merasa terpaksa. Besok Tiwi akan ke kantor untuk mengundurkan diri.”

“Besok aku akan mengantarkan kamu, Pratiwi,” kata Ardian dan Bondan hampir bersama-sama. Pratiwi menatap keduanya berganti-ganti.

“Mengapa harus diantar Mas, Pratiwi bukan anak kecil,” kata Pratiwi.

“Soalnya ….” Kata Bondan yang kemudian berhenti melanjutkan ucapannya karena Pratiwi memelototinya.

“Iya, nak Bondan dan nak Ardian, kenapa harus mengantarkannya?”

“Soalnya sepeda Pratiwi masih ditinggal di kantor, Yu,” kata Ardian cekatan. Bondan terdiam. Ia merasa hampir saja mengatakan sesuatu yang akan membuat yu Kasnah curiga. Padahal tampaknya Pratiwi tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, takut ibunya cemas.

“Oh, tapi kan tidak usah merepotkan sih Mas, biarkan saja Pratiwi mengurusya sendiri. Tidak enak sama bu Sasmi dan bu Ratna. Keluarga kami sudah cukup merepotkan,” kata yu Kasnah.

“Tidak apa-apa Yu, kasihan Pratiwi,” jawab Ardian.

“Pratiwi, kamu banyak berhutang pada mas Ardian dan nak Bondan.”

“Iya Bu, Pratiwi menyusahkan mereka.”

“Ya sudah Bu, saya mau pamit saja, supaya Pratiwi segera bisa beristirahat.”

“Dan Yu Kasnah juga segera bisa beristirahat,” sambung Ardian. Dan kedua anak muda itu berdiri, menyalami yu Kasnah.

“Benar, sudah malam, sebaiknya kalian segera pulang,” kata yu Kasnah.

“Pratiwi, aku pulang dulu ya.”

“Aku pulang, sampai ketemu besok,” sambung Bondan. Keduanya menyalami Pratiwi dengan hangat, seperti anak kecil berebut mainan, karena tangan mereka terayun hampir bersamaan, sehingga saling bersentuhan.

Pratiwi tersenyum melihat tingkah mereka. Tapi dia hanya menyambutnya dengan senyuman.

Ardian dan Bondan menuju ke arah mobil masing-masing tanpa saling menyapa.

***

“Apa yang terjadi? Mengapa sampai malam?” tanya Roy yang ternyata menunggu Ardian di teras.

“Hampir saja,” jawab Ardian sambil menghempaskan tubuhnya di kursi, di hadapan Roy.

“Pelipismu biru, berkelahi?” tanya Roy sambil mengamati pelipis kakaknya.

“Ya. Pratiwi nyaris celaka.”

“Apa yang terjadi?”

Lalu Ardian menceritakan semuanya. Mulai ia datang menjemput dan ternyata Pratiwi sudah dibawa mobil suruhan Sony, sampai kemudian dia yang bersama Bondan menyusul kerumah dan ternyata Pratiwi kemudian memberi sinyal bahwa dia dalam bahaya, lalu terjadilah kemudian mereka harus bertarung melawan Sony dan pembantunya.

“Beruntung, anak buah Sony yang bernama Susana ternyata telah lebih dulu menyelamatkan Pratiwi.”

“Jadi benar-benar Pratiwi bekerja sama dia?”

“Sekarang aku sudah tahu mengapa Pratiwi melakukannya. Ia butuh uang untuk biaya operasi Nano.”

“Lalu dia pinjam uang ke perusahaan Sony, bahkan sebelum dia menjalani pekerjaan itu?”

“Tampaknya Pratiwi menerima sejumlah uang untuk kontrak kerja di sana, yang dipergunakannya untuk biaya operasi itu.”

“Kalau Pratiwi resign, apa harus mengembalikan uang kontrak kerja itu?”

“Aturannya memang begitu, tapi aku sudah melaporkannya pada polisi. Dengan akal bulus itu, Sony punya niat buruk. Semoga bisa membatalkan perjanjian kontrak itu.”

“Berapa banyak yang diperlukan seandainya uang itu harus dikembalikan?”

“Sekitar duaratus an juta.”

“Lumayan bukan? Apakah kita akan membantu?”

“Aku akan membantu. Kalau perlu aku akan minta agar Pratiwi bekerja di kantor kita.”

“Wah, terlambat dong Ar, kenapa tidak dari dulu kamu melakukannya?”

“Aku kan tidak berani menawarkan, dengan kondisi yu Kasnah seperti itu, dan dia harus meninggalkannya untuk bekerja. Tapi kalau ternyata itu bisa, mengapa tidak? Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Pasti dia punya rencana setelah resign.”

“Baiklah, ayo aku obati dulu kening kamu itu. Kompres hangat dan ada salep untuk menghilangkan memar itu,” kata Roy sambil beranjak ke dalam, diikuti Ardian yang pastinya juga merasa sangat letih.

***

Ketika Bondan sampai di rumah, ia tak melihat Ratih, adiknya. Rupanya dia sudah masuk ke dalam kamarnya, dan mungkin juga sudah tertidur. Tapi ia melihat ayahnya duduk sendirian di ruang tengah, sambil menyaksikan siaran bola yang entah siapa melawan siapa. Pak Juwono menyapa, ketika melihat anak laki-lakinya pulang.

“Baru pulang Ndan?”

“Iya Pak,” jawabnya sambil duduk di dekat ayahnya.

“Seru pertandingan bola nya?”

“Hanya untuk bekal ngantuk saja. Dari mana kamu?”

“Dari rumah teman.”

“Kamu tampak lelah begitu, rambut kamu juga awut-awutan.”

“Tadi duduk di luar, anginnya kencang sekali,” jawab Bondan seenaknya, sambil mengelus rambutnya.

“Tumben, pergi keluar tidak mengajak adik kamu.”

“Ke rumah teman Bondan, mana dia mau.”

“Aku senang, Ratih sudah kembali lagi kuliah. Semoga dia segera bisa menyelesaikannya.”

“Pak, Bondan mau minta sesuatu nih.”

“Apa tuh?”

“Apakah di kantor Bapak masih bisa menerima pegawai baru?”

“Wah, untuk apa? Sepertinya sudah cukup. Perusahaan sedang sepi, baru mau bapak benahi lagi, dan mungkin mengembangkannya dan berusaha supaya bisa berjalan lebih baik.”

“Mungkin seorang sekretaris,” kata Bondan hati-hati.

“Sekretaris? Bapak sudah punya sekretaris. Memangnya siapa yang mau kamu carikan pekerjaan itu? Kamu saja tidak mau bekerja bersama bapak, memilih membuat usaha sendiri, kenapa sekarang mencari lowongan kerja? Untuk siapa?”

“Teman Bondan.”

“Perempuan, pastinya. Kamu sambil cengar-cengir begitu?”

“Iya, benar,” kata Bondan sambil tersenyum.

“Bapak sudah punya sekretaris.”

“Mungkin di bagian lain.”

“Kalau untuk marketing, bisa saja. Lebih baik marketing, supaya bisa meluaskan jangkauan. Gajinya berdasar persentase dari keberhasilan dia. Jadi tidak menetap di kantor.”

“Jangan Pak. Di kantoran saja, kasihan kalau dia harus keluar.”

“Kamu itu maksudnya mencarikan pekerjaan untuk siapa? Kalau di kantor, bapak belum bisa. Menunggu kalau sudah kembali stabil. Tidak bisa sembarangan menerima karyawan, hanya karena dia kawan kamu. Tapi … kawan atau pacar sih? Kalau pacar, kenapa harus dicarikan pekerjaan. Nikahi saja langsung, kan dia bisa menerima uang penghasilan kamu, duduk manis di rumah, menjadi ibu rumah tangga. Itu bapak lebih suka.”

“Bapak ada-ada saja.”

“Itu benar kan? Ya sudah, kamu tampak letih begitu, lebih baik segera istirahat. Lupakan tentang pekerjaan untuk teman kamu itu. Tapi boleh saja kalau kamu sudah punya  pilihan, lalu kamu minta agar bapak melamarkan dia. Tapi kalau memilih istri tuh jangan asal cantik. Dia harus baik, bisa mencintai kamu dan keluarganya nanti, bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Tanyakan sama ibu, dia pasti tahu dong, kriteria istri yang baik itu yang bagaimana.”

Bondan hanya tersenyum kecut. Barangkali suasana kurang tepat untuk berbicara tentang lowongan kerja. Ayahnya memang sedang membenahi usahanya yang akhir-akhir ini agak menurun. Bondan sedang memikirkan Pratiwi, yang pastinya ingin resign dari perusahaan Sony. Ia juga belum ingin bercerita pada ayahnya tentang Sony dan kelakuannya. Lebih baik ia beristirahat. Tubuhnya sakit semua, dan ada nyeri di tulang punggungnya yang sempat terkena pululan Sony.

***

Sudah lewat tengah malam, tapi Susana masih menunggui Sony yang baru saja tersadar dari pingsannya. Ia juga sudah dipindahkan di ruang rawat. Wajahnya lebam, dan ada tulang bahunya yang retak dan entah jadi di operasi atau tidak. Sony tampak tidak bisa tidur nyenyak. Ia seperti gelisah, karena sebentar-sebentar tangannya bergerak-gerak.

Susana menatapnya iba, tapi dia merasa kesal menyaksikan Sony hampir mencelakai Pratiwi. Sony sangat digandrungi wanita, tak pernah melakukan kekerasan seperti yang dilakukannya pada Pratiwi.

Tiba-tiba Sony membuka matanya, menatap Susana yang duduk sambil bersedekap.

“Kamu? Mengapa di sini?” katanya lirih. Tapi matanya yang menyipit karena luka di sekeliling mata itu membuatnya tak bisa terbuka lebar.

“Aku prihatin melihat keadaan kamu.”

“Enyah kamu! Aku tak mau lagi melihat kamu,” hardiknya tapi dengan suara lemah.

“Sony.”

“Enyah, kamu sudah dipecat.”

“Kamu sudah menjadi tahanan polisi. Diluar ada yang berjaga.”

“Enyah!”

Susana mengusap air matanya. Barangkali ini adalah malam terakhir ia bisa menatap laki-laki yang sangat dicintainya. Ketika keluar dari ruangan, ia menyadari bahwa cintanya berlabuh di muara yang salah. Ia segera memanggil taksi, dan pulang.

***

 Ratih bangun pagi itu, dan mencari keberadaan kakaknya. Dengan kesal digelitikinya sang kakak yang masih tertidur dengan nyenyak.

Bondan menggeliat malas.

“Hei, bangun. Sudah siang. Mau shalat jam berapa?”

“Sudah. Sudah, tadi, lalu tidur lagi. Jangan mengganggu aku, aku lelah.”

“Hei, Mas belum cerita, bagaimana kemarin? Jemput kerja pulang malam, Mas ajak ke mana dia?”

Bondan diam, menarik selimutnya keatas sambil membalikkan tubuhnya. Tapi Ratih kemudian menarik selimutnya, membuat Bondan berteriak-teriak.

“Ratiiih!! Pergi kamu!” katanya sambil melempar adiknya dengan bantal. Beruntung Ratih bisa menghindarinya.

“Maaas, aku mau Mas cerita,” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya.

“Nanti, aduuuh … punggungku sakit nih.”

“Memangnya kenapa? Mas terjatuh?”

“Bukan terjatuh. Ambilkan minyak gosok, tolong gosokin.”

“Yaah, malah dapat pekerjaan nih.”

“Salahnya, kamu menggoyangkan tubuhku, sakitnya terasa lagi.”

Ratih mengambil obat gosok di laci nakas, lalu membuka baju di bagian punggung kakaknya.

“Haah, kok biru begini? Jatuh ya?”

“Tidak, gosok saja dulu, nanti aku ceritain.”

Ratih yang sangat menyayangi kakaknya kemudian menggosokkan minyak ke punggung kakaknya, sementara Bondan kemudian menceritakan semua yang terjadi.

Ratih sangat terkejut mendengarnya.

“Ya Tuhan, kasihan mbak Pratiwi.”

“Untunglah pembantu setianya yang namanya Susana, menyelamatkannya.”

“Aku sudah merasa, bahwa mas Sony punya maksud buruk. Aku sempat melarang Mbak Tiwi bekerja di sana, tapi ketika dia bertanya, rupanya dia sudah terlanjur menjalaninya.”

“Semuanya sudah lewat. Semalam aku bilang pada bapak, supaya mau menerima karyawan baru, maksudku untuk Pratiwi. Tapi rupanya bapak tidak bisa menerima.”

“Perusahaan bapak sedang dibenahi. Barangkali nanti, kalau semuanya sudah membaik.”

“Bagaimana menurut kamu, kalau aku jatuh cinta pada dia?”

“Dia itu siapa? Mbak Pratiwi?”

“Iya lah, memangnya siapa lagi?”

“Kalau aku sih, tidak apa-apa. Tapi Mas punya saingan berat. Tampaknya mas Ardian juga suka sama mbak Tiwi.”

“Iya, aku tahu. Tapi semuanya tergantung Pratiwi kan? Bagaimana kalau dia memilih aku?”

“Lebih baik Mas mengalah. Kalau Mas nekat, bisa terjadi perselisihan.”

“Enak saja aku harus mengalah, cinta itu harus diperjuangkan. Kalau bisa dengan taruhan nyawa.”

“Gombal ah! Mas ketularan mas Sony ya? Mengejar cinta sampai melakukan hal yang sangat buruk.”

“Ya enggak lah, aku bukan dengan cara curang dan penuh rekayasa seperti itu. Aku harus merebutnya dengan cara laki-laki.”

“Asal jangan sampai memutuskan tali persaudaraan ya.”

“Memangnya dia saudara kita? Oh, ya … aku tahu, karena kamu sudah jadian sama Roy?”

“Ihh, sudah gosoknya. Sekarang mandi, minuman hangat Mas keburu dingin.”

***

Bondan yang terlambat menjemput Pratiwi, langsung mengejarnya ke kantor Sony. Rupanya Ardian sudah lebih dulu sampai di sana. Ia sedang menunggu di mobil, yang diparkir di luar gerbang kantor.

Bondan merasa kesal, karena selalu kalah berebut. Semalam tidak bisa mengantar, sekarangpun tidak. Tapi seperti janjinya, dia akan memperjuangkan cintanya. Ia tak ingin kelihatan kalah. Semalam dia tahu dari satpam yang berjaga, bahwa ban sepeda Pratiwi gembos. Ia harus bisa melakukan sesuatu untuk Pratiwi. Ia turun dari mobil, dan langsung masuk mendekati ruang satpam. Kebetulan yang berjaga adalah satpam yang semalam.

“Mas, masih ingat saya kan?” sapa Bondan.

“Oh, ini mas yang semalam menjemput bu Pratiwi?”

“Nah, bagus kalau masih ingat. Aku kemari mau mengambil sepeda Pratiwi, biar aku bawa ke tukang tambal sekarang juga.”

“Oh, saya baru mau suruhan untuk membawa sepeda ini ke tukang tambal. Baiklah, kalau begitu. Bu Pratiwi belum lama masuk, apa saya harus memberi tahunya lebih dulu?”

“Tidak usah, biar aku langsung membawanya.”

Satpam itu mengambil sepeda Pratiwi yang masih bersandar di dalam ruangannya, lalu menyerahkannya pada Bondan. Setelah mengucapkan terima kasih, Bondan menuntunnya keluar.

Tapi ditengah jalan, Ardian mencegatnya.

***

Besok lagi ya.


Saturday, February 25, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 29

SETANGKAI BUNGAKU  29

(Tien Kumalasari)

 

“Ternyata itu yang kamu lakukan? Kamu singkirkan aku ke Jakarta, supaya kamu bisa berbuat semau kamu?”

“Susan. Mengapa kamu kemari? Banyak tugas yang harus kamu selesaikan di sana,” kata Sony yang kemudian melepaskan obat yang tadi digenggamnya.

Pratiwi membenahi bajunya, turun dari ranjang.

“Berhenti!!” hardik Sony sambil menatap tajam Pratiwi.

Ngeri Pratiwi memandanginya. Mata Sony sudah berubah merah menyala, bagai menyemburkan api. Ia sangat marah keinginannya tak terpenuhi, ditambah kedatangan Susana yang sangat mengecewakannya.

“Kamu itu laki-laki busuk yang menjijikkan!!” maki Susana.

Sony bertambah marah. Dua kali ia mendengar mulut memakinya busuk. Dari mulut Pratiwi, dan sekarang dari mulut Susana.

“Jaga mulut kamu. Kamu berani menghalangi aku, karena cemburu? Bodoh!! Kamu mengira bisa menguasai aku? Baiklah, teruslah membakar hatimu dengan api cemburu. Aku akan berterus terang, aku memang mencintai dia! Kamu mau apa?” tantangnya.

Sony berharap Susana akan menangis karena dibakar cemburu, tapi tidak. Ia menatap Sony dengan tatapan tajam.

“Aku tidak cemburu Sony, aku mencegah kamu merusak gadis polos yang pantas dikasihani ini. Hentikan dan aku akan terus menjaganya,” kata Susana yang kemudian menarik Pratiwi ke dekatnya.

“Lepaskan!! Kamu tidak berhak menghalangi aku. Kamu bukan siapa-siapa bagiku. Detik ini juga, aku pecat kamu, dan jadilah gelandangan!!” bentak Sony meluap-luap.

“Baiklah, pecat saja aku, siapa takut? Tapi biarkan aku membawanya,” kata Susana sambil menarik Pratiwi ke arah pintu. Tapi tiba-tiba Sony memburunya dan menjambak rambut Susan dari belakang.

Susana menjerit keras.

“Aaauuuch," dan tak pelak pegangannya pada lengan Pratiwi terlepas. Melihat penolongnya kesakitan, Pratiwi juga bertambah marah. Ketakutan yang tadi membelenggunya, tak ada lagi. Matanya mencari-cari, barangkali ada sesuatu yang bisa dipergunakan untuk memukul Sony. Tapi sesuatu yang diperlukan sebagai senjata itu tak ditemukannya. Ia melihat kursi yang terletak di dekat pintu, disamping meja bundar berukir. Tanpa berpikir panjang diraihnya kursi itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, diangkatnya dan dilemparkannya ke arah kepala Sony. Sony yang tak menduga mengaduh ke sakitan karena lemparan kursi kecil itu melukai kepalanya, membuat darah menetes dari sela-sela rambutnya.

“Setan alas. Kucing kecil, kamu berani melawan aku?”

Walaupun kepalanya terluka, Sony masih bisa melompat kehadapan Pratiwi dan mendekapnya. Susana mendekat, mencakar-cakar kedua tangan Sony. Tapi Sony tak merasakannya. Sebelah kakinya menendang Susana, dan dia melompat ke pintu sambil kedua tangannya mendekap Pratiwi.

“Lepaskaaaan!!” teriak Pratiwi, tapi mana mungkin Sony mempedulikannya? Dengan sebelah tanggannya dia berhasil mengunci pintu dari luar, membuat Susana berteriak-teriak dari dalam.

Sony menyeringai penuh ejekan. Ia ingin menarik Pratiwi ke arah salah sebuah kamar yang lain, tapi sebelum dia berhasil mencapai pintu, sebuah tendangan mengenai tengkuknya.

“Aaaughhh!” dan dekapan ke tubuh Pratiwi itupun terlepas. Pratiwi menjauh, ia ingin bersorak ketika melihat Ardian berhasil membuat Sony kesakitan dan mundur.

“Kamu? Bagaimana bisa sampai di sini?”

“Sejak awal aku sudah tahu bahwa kamu adalah manusia busuk!!”

Sony memelototkan matanya. Umpatan ‘busuk’ lagi ?

Ia mulai merasa resah. Beberapa waktu yang lalu laki-laki ganteng itu pernah menghajarnya. Bahkan dibantu Marsam, ia tak berhasil menundukkannya. Tapi bagaimanapun ia memerlukan Marsam. Dimana tikus itu? Mengapa tak mau datang membantu? Kata batin Sony sambil mengelus tengkuknya. Belum sempat Sony membalas hajaran Ardian, datang lagi seorang laki-laki, yang amat dikenalnya.

“Sony? Kamu melakukan apa?”

Khawatir dimaki busuk lagi, Sony melompat ke arah laki-laki yang baru datang, yang ternyata Bondan. Rupanya Bondan sudah bersama Ardian, karena ia terus mengikutinya.

Tapi Sony gagal menyentuh tubuh Bondan karena kembali Ardian menendangnya. Kali ini Sony roboh.

“Marsaaaaam!!” karena kewalahan Sony berteriak. Ia mengira Marsam ketiduran.

Tiba-tiba Pratiwi mendengar pintu didobrak dari dalam, ia ingat, Susana ada di dalam. Ia terkunci karena kemarahan Sony. Pratiwi mengendap-endap menjauhi kedua laki-laki yang sedang bertarung melawan Sony. Ia mendekati pintu, dan beruntung, ia bisa membukanya. Susana menghambur dari dalam dengan rambut awut-awutan. Pratiwi memeluknya.

“Bu Susana tidak apa-apa?” tanya Pratiwi khawatir.

“Harusnya aku yang bertanya, apa kamu tidak apa-apa?” tapi kemudian Susana melihat Sony sedang bertarung melawan dua orang pemuda. Ia menatap Pratiwi.

“Teman kamu?”

Pratiwi mengangguk, tapi kemudian Susana menariknya menjauh.

Tiba-tiba seorang laki-laki lagi muncul. Tubuhnya yang tinggi besar berjalan dengan gontai. Tampaknya dia kesakitan.

Sony menatapnya marah, sambil berguling-guling ia berteriak.

“Apa kamu tuli, Marsam?”

“Mereka menghajar saya sampai pingsan,” keluh Marsam, tapi kemudian dia sadar bahwa dia harus membantu majikannya.

Marsam ikut masuk ke dalam pertarungan itu. Tapi ia merasa lemah, dengan sekali tendangan dari Bondan, Marsam tersungkur, tubuhnya menabrak meja yang alasnya kaca. Meja itu pecah berantakan.

Pratiwi ketakutan, Susana menariknya keluar dari ruangan.

“Bu Susan tidak apa-apa?” Pratiwi bukan memikirkan dirinya sendiri, malah bertanya lagi.

“Pratiwi, harusnya aku yang bertanya. Apa kamu tidak apa-apa?” pertanyaan-pertanyaan yang berulang, dan masing-masing belum menjawabnya.

“Hampir saja saya celaka, bagaimana bu Susan bisa ada di tempat ini? Bukankah bu Susan ke Jakarta?”

“Aku terbang sore tadi, karena curiga Sony tiba-tiba pergi tanpa pamit sama aku. Aku sudah tahu, karena ini rumah Sony juga. Begitu mendapat keterangan bahwa kamu lembur dan pulang diantar Marsam, aku sudah curiga. Aku langsung kemari, dan ternyata benar, Marsam membawa kamu ke sini.”

Pratiwi kemudian bercerita tentang apa yang dilakukan Marsam, yang sebelumnya dia mengira bahwa yang mengantarnya adalah sopir perusahaan. Ternyata Marsam membawa kemari dan sudah ada Sony yang rupanya siap menunggu.

Pratiwi yang khawatir dengan adanya pertarungan itu, melongok ke dalam. Suara gaduh masih terdengar, lalu tiba-tiba tubuh Marsam terlempar keluar, terkapar di lantai teras. Pratiwi ketakutan. Dilihatnya Susana sudah melapor polisi melalui ponselnya.

“Apa … dia … mati?” kata Pratiwi sambil menjauhi tubuh Marsam yang diam tak bergerak. Tiba-tiba suasana di dalam sudah mereda. Susana melongok ke dalam, dan melihat Sony juga terkapar, dengan wajah penuh darah. Susana menghambur ke arah tubuh Sony. Bagaimanapun Sony adalah laki-laki yang sangat dicintainya. Walau marah, melihat kekasihnya terluka dan diam tak bergerak, runtuh pula rasa belas kasihannya. Ia merangkul tubuh Sony, meratapi perbuatannya.

“Sony, mengapa kamu salah langkah seperti ini? Kariermu bakal hancur, kamu tak akan lagi bisa berdiri tegak. Mengapa kamu melakukannya?” isak Susana.

Sementara itu Bondan dan Ardian segera menghampiri Pratiwi yang ketakutan, duduk sambil menutupi wajahnya di kursi teras.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ardian.

“Apa yang dilakukan bedebah itu sama kamu, Pratiwi?”

Pratiwi belum bisa bicara. Ia sedang teringat ibunya, yang pasti cemas menantinya.

“Ibu … tolong ibu …”

“Kenapa yu Kasnah?” tanya Ardian yang merasa khawatir.

“Tolong beri tahu dia, bahwa saya tidak apa-apa,” rintihnya.

“Baiklah, aku akan mengabari Roy.”

Sementara Ardian menulis pesan kepada Roy, Bondan menghibur Pratiwi, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Apa wanita itu teman Sony?” tanya Bondan.

“Dia tangan kanannya. Tapi bu Susana sangat baik sama saya. Dia lah yang menyelamatkan saya. Saya hampir celaka,” lirih kata Pratiwi.

“Kamu gadis yang baik. Tuhan melindungi kamu dari segala arah,” kata Bondan.

“Roy sudah menjawab pesan aku, dia akan menemui yu Kasnah,” kata Ardian.

“Terima kasih Mas.”

Tiba-tiba sirene polisi terdengar.  Mereka bersiap menunggu. Susan keluar menemui polisi itu, dan berharap kedua korban yang sedang pingsan segera dibawa ke rumah sakit.

Polisi memeriksa mereka dan menerima apa yang mereka laporkan, kemudian membawa kedua korban ke rumah sakit.

***

Ketika Pratiwi melihat Susana mengikuti mobil ambulans, Pratiwi mendekatinya. Susana tampak sedih. Lalu Pratiwi mengerti, bahwa Susana menyayangi Sony, bukan karena dia atasannya. Ada ikatan yang sangat erat mengikat mereka, setidaknya bagi Susana, walaupun tadi sempat memaki-maki.

“Bu Susan, apakah Ibu baik-baik saja?” pertanyaan ke sekian kalinya yang dilontarkan Pratiwi tadi, tapi dalam situasi yang berbeda. Tadi ketika Susana berhasil membebaskannya, dan yang baru saja adalah dalam suasana sedih melihat keadaan Sony yang luka parah.

“Aku baik-baik saja, sekarang kamu pulanglah, jangan pikirkan apapun.”

Pratiwi mengangguk, lalu Susana ikut masuk ke dalam mobil ambulans itu.

Ia masih terpaku, sampai ambulans itu menghilang di balik gerbang.

“Tiwi, ayo kamu aku antarkan pulang,” kata Ardian.

“Pratiwi akan pulang bersama Mas Ardian?”

“Rumahnya dekat rumah aku.”

“Baiklah. Jaga diri kamu, Pratiwi,” kata Bondan.

“Terima kasih, Mas Bondan.”

Pratiwi menghampiri mobil yang tadi ditumpanginya.

“Pratiwi, kamu mau apa?”

“Tas saya ada di dalam mobil itu.”

“Oh, baiklah.”

***

Yu Kasnah masih ditemani Roy, yang mengatakan bahwa Pratiwi masih ada di kantor, karena pekerjaan menumpuk. Yu Kasnah hanya mengangguk, dan merasa heran, ada pekerja yang lembur sampai jauh malam.

“Itu perusahaan apa ya Mas Roy, memperkerjakan karyawan sampai malam. Anak gadis pula. Apa di sana ada temannya?”

“Ya ada Yu, ada satpam yang menjaga.”

“Aku kok kurang suka kalau bekerja dengan cara seperti itu.”

“Kalau Yu Kasnah tidak suka, lebih baik Yu Kasnah minta agar Pratiwi berhenti saja. Pasti ada pekerjaan lain yang lebih bagus.”

“Sudah baik-baik jualan sayur, saya bisa mendengar suaranya setiap saat, hanya kalau dia sedang ke pasar saja, maka tak ada di rumah.”

“Nanti kalau dia pulang, yu Kasnah minta agar dia berhenti saja.”

“Iya Mas Roy. Pasti nanti saya suruh dia berhenti.”

Sementara itu dalam perjalanan pulang, Pratiwi selalu diam. Ardian merasa kasihan, tapi dia lega, Pratiwi selamat dari cengkeraman manusia jahat seperti Sony.

“Kamu tidak usah bersedih. Bahaya sudah berlalu. Berterima kasihlah pada wanita itu, karena telah menyelamatkan kamu.”

“Namanya Susana. Dia tangan kanan pak Sony. Mereka sangat dekat. Tapi dia baik sama saya. Dia juga telah melindungi saya.”

“Baiklah, Kamu harus percaya bahwa semua akan baik-baik saja.”

Pratiwi terdiam. Banyak yang dipikirkannya. Bahwa ia harus resign dari pekerjaan itu, tapi ada yang harus dilakukannya, yaitu mengembalikan uang yang pernah diterimanya, sebanyak sepuluh kali lipat. Tersirat olehnya, akan menjual rumahnya, lalu mempergunakan rumah kecil yang dipakainya sebagai warung sayur. Tapi bagaimana mengatakannya pada ibunya? Rumah itu bukan rumahnya, tapi rumah orang tuanya. Apa sampai hati dia menjualnya, seperti yang pernah dibayangkannya? Pratiwi menyandarkan kepalanya. Tubuh dan hatinya terasa lemas, tanpa daya.

“Mas Ardian, bisakah aku minta tolong?”

“Tentu saja. Apa yang bisa aku lakukan untuk kamu?”

“Saya bermaksud keluar dari pekerjaan saya.”

“Itu bagus. Memang sebaiknya kamu lepas dari ikatan pekerjaan itu, agar kamu merasa nyaman. Kalau kamu tetap ingin bekerja di kantor, aku bisa menolongmu. Ayahku pasti mengijinkan aku untuk mencari seorang sekretaris. Kamu bisa melakukannya. Walaupun gajinya tak sebesar yang diberikan Sony untuk kamu.”

“Ah, pekerjaan itu kan tidak sangat saya pikirkan. Saya bisa kembali menjual sayuran.”

“Lalu apa yang kamu pikirkan lagi?”

“Saya sudah menanda tangani sebuah kontrak kerja. Yang berat saya lakukan adalah, apabila saya mengingkari kontrak itu, maka saya harus mengembalikan uang yang saya terima pada awal saya bekerja.”

“Jadi kamu menerima uang sebelum mulai bekerja?”

“Saya membutuhkan uang untuk biaya operasi Nano,” katanya pilu.

“Ooo ….” Ardian mengangguk-angguk. Sekarang dia mengerti, bagaimana Pratiwi bisa membayar biaya operasi adiknya. Dia juga tahu mengapa Pratiwi memutuskan untuk bekerja.

“Berapa yang harus kamu bayar untuk membatalkan kontrak itu?”

“Sekitar duaratusan juta. Tapi saya tidak akan minta uang itu pada siapapun. Saya sebenarnya menemukan sebuah jalan untuk itu.”

“Oh ya?”

“Bagaimana kalau saya menjual rumah itu, cukupkah uangnya? Tapi saya bingung, karena saya tidak berani mengatakannya pada ibu. Karena itu kan bukan rumah saya,” katanya sedih.

“Pratiwi, sudah. Kamu jangan memikirkan itu lagi. Saya akan berusaha membebaskan kamu dari ikatan kontrak itu, karena perbuatan Sony. Dia sekarang sedang dirawat, tapi dia akan menjadi tersangka perbuatan asusila atas seorang karyawannya. Polisi akan memprosesnya secara hukum. Semoga hal itu bisa membebaskan kamu dari ikatan itu.”

“Benarkah?”

Ada secercah harapan yang membuat Pratiwi merasa lega. Ia tak lagi begitu cemas sampai ketika Ardian menghentikan mobilnya di depan pagar rumahnya. Tapi Ardian terkejut, ketika ia ingin memasukkan mobilnya ke halaman, ia melihat mobil Bondan sudah terparkir di sana. Ada perasaan kesal di hati Ardian. Cemburu kah menyaksikan perhatian Bondan yang juga sangat besar terhadap Pratiwi?.

***

Besok lagi ya.

 


Friday, February 24, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 28

 

SETANGKAI BUNGAKU  28

(Tien Kumalasari)

 

Dua buah mobil yang berhenti di luar gerbang kantor Megah Perkasa itu sudah sejak lama tak bergerak. Tapi kemudian setelah ada mobil keluar dari halaman, seperti saling kontak, pengemudinya turun. Dua orang laki-laki gagah, yang kemudian ternyata saling mengenal.

“Mas Bondan?”

“Ini kan mas Ardian?”

Lalu keduanya berjabatan tangan.

“Kok kita sama-sama berhenti di sini?” tanya Bondan.

“Saya tidak tahu kalau ada mas Bondan, jadi saya diam saja. Saya mau menjemput Pratiwi, tapi tadi bertanya pada satpam yang di dalam, katanya Pratiwi lembur, jadi saya menunggu.

“Kok sama, saya juga tadi bertanya. Tapi lihat, kok sepedanya di bawa ke ruang satpam?” tanya Ardian yang kemudian memasuki halaman sambil berjalan kaki, diikuti Bondan.

“Mas Satpam, kok sepeda Pratiwi ada di sini?” tanya Ardian.

“Lhoh, ini sepedanya gembos, dia diantar mobil perusahaan, belum lama.”

“Mobil yang barusan keluar?”

“Tanpa menunggu jawaban. Ardian berlari ke luar, menghampiri mobilnya. Demikian juga Bondan. Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan tak enak diantara keduanya. Mereka memacu mobilnya ke arah rumah Pratiwi.

Satpam itu geleng-geleng kepala, lalu kembali duduk di dalam ruangannya. Tapi baru saja ia meletakkan pantatnya di kursi, sebuah mobil meluncur, dan berhenti persis di depan ruangannya.

“Kok sepeda Pratiwi ada di sini?” tanya penumpang mobil yang kemudian turun.

“Oh, Bu Susan sudah kembali?”

“Aku bertanya, kenapa sepeda Pratiwi ada disini?” kata Susana dengan nada tinggi.

“Iya Bu, ban sepeda bu Pratiwi gembos dua-duanya. Tadi barusan pulang karena lembur.”

“Pratiwi pulang naik apa?”

“Tadi diantar sopir, eh … sopirnya pak Sony.”

“Apa?”

“Ya, pak Marsam yang kebetulan ada di sini.”

“Bersama pak Sony?”

“Tadi sama pak Sony, tapi pak Sony hanya sebentar, kemudian pergi lagi, pastinya ke hotel. Saya tidak tahu.”

Susana langsung memasuki mobilnya, dan memerintahkan kepada sopir untuk segera membawanya pergi, tentu saja ke rumah Pratiwi.

Sang satpam semakin heran akan kejadian di awal malam itu. Beberapa orang bertanya tentang Pratiwi. Tapi ia tak begitu memusingkan semuanya, karena dia sudah letih, dan sedang menunggu petugas lain yang menggantikannya berjaga malam itu.

***

Pratiwi baru saja mau memberi tahu kepada sopir yang mengantarkannya, bahwa jalan menuju ke rumahnya adalah belok kiri di perempatan di depan mereka, ketika tiba-tiba mobil itu dibelokkannya ke arah yang berlawanan.

“Lho, Mas, kok ke sini, rumah saya belok ke sana.”

“Oh, iya Mbak, maaf, sebenarnya saya di suruh mengantarkan barang yang di belakang itu untuk saudaranya pimpinan kita, jadi saya harus ke sana dulu. Maaf tidak langsung memberi tahu sama Mbak, tadi.”

“Ke mana? Jauhkah?”

“Tidak begitu jauh kok, sebentar juga sampai.”

Tapi tiba-tiba perasaan tak enak segera menyeruak ke dalam benaknya.

“Pak, kalau begitu saya turun di sini saja, rumah saya sudah dekat, saya bisa naik taksi.”

“Jangan Mbak. Saya nanti bisa kena tegur oleh pimpinan, menurunkan karyawan di jalan, sembarangan. Sabar dulu ya Mbak.”

“Saya lebih baik turun saja, saya harus segera sampai di rumah, ibu saya sudah menunggu.”

“Mbak ini bagaimana? Kalau Mbak turun, kemudian memanggil taksi, lalu Mbak kan harus menunggu taksinya datang? Sama saja dengan menunggu saya menyampaikan pesanan, baru mengantarkan Mbak. Ya kan?” kata si pengemudi yang ternyata adalah Marsam itu, sambil memacu mobilnya lebih cepat.

Pratiwi berdebar. Jalanan ramai, tapi sang sopir memacu kendaraannya seperti sedang dikejar setan.

“Ya ampun Mas, pelan-pelan,” kata Pratiwi ketakutan.

“Mbak kan sedang terburu-buru?”

“Saya turun saja Mas, tidak usah ikut mengantarkan pesanan, entah pesanan apapun itu.” kata Pratiwi sambil memegang handel pintu. Tapi pintu itu, tentu saja terkunci.

“Jangan main-main dengan pintu lho Mbak, nanti Mbak terjatuh, bagaimana?” kata Marsam yang sudah tahu bahwa Pratiwi tak akan bisa membukanya, tapi dia tetap mengingatkannya.

Pratiwi diam, tapi perasaannya tetap tak enak.

“Sabar sebentar Mbak, ini hampir sampai.”

Pratiwi yang sudah mengetahui banyak hal, tiba-tiba merasa dirinya tidak akan nyaman, apalagi aman. Diam-diam dia mengambil ponselnya, menulis pesan singkat, kepada Ardian. Entah kenapa kepada Ardian, dia tidak tahu. Ia berpikir bahwa keluarga Luminto dekat dengan keluarganya. Jadi kalau ada apa-apa, ibunya akan segera tahu.

“Saya memasang GPS.” Tulisnya .

Barangkali pesan singkat itu bisa dimengerti, atau entahlah. Pratiwi sangat panik, ketika sang sopir menoleh ke arahnya.

“Menelpon siapa Mbak?”

“Itu … mengabari ke rumah, bahwa saya pulang terlambat,” jawabnya sekenanya.

“Oh …”

Pratiwi semakin panik, karena yang katanya sudah hampir sampai, ternyata tidak sampai-sampai.

Sementara itu Ardian dan Bondan sudah sampai di depan gang yang menuju ke arah rumah Pratiwi. Ardian terkejut mendapat pesan Pratiwi. Ia segera tahu, Pratiwi sedang dalam bahaya. Ia dengan cepat memutar balik mobilnya. Bondan yang curiga, segera mengikutinya. Walaupun dia tak menerima pesan apapun, tapi sikap Ardian yang tiba-tiba memutar mobilnya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat penting, bahkan gawat.

“Kok lama sekali ya Mas, saya mau turun saja. Tolong turunkan saya,” kata Pratiwi yang semakin cemas, karena sikap sang sopir. Kalaupun ada pesanan, mestinya dia mengantarkannya pulang dulu, karena rumahnya lebih dekat, bukannya mengantarkan pesanan dulu yang ternyata jauh.

“Itu, sudah hampir sampai, tenanglah Mbak.”

Sopir itu turun, dan mengambil dua bungkusan besar di jok belakang.

“Mbak, maukan menolong membawa bungkusan yang satunya? Ini sangat berat, yang tertinggal itu sangat ringan. Tolong Mbak, supaya kita bisa cepat kembali dan mengantarkan Mbak.”

Pemikiran ‘supaya cepat kembali dan diantar pulang’, membuat Pratiwi kemudian turun, mengambil satu bungkusan yang tersisa, dan mengikuti Marsam memasuki sebuah rumah kecil yang tampak bagus, tapi pintunya tertutup.

“Ayo Mbak, tolong bawa masuk.”

Pratiwi terpaksa mengikuti sang sopir, yang kemudian membuka pintu dengan mudah, kemudian meletakkan bungkusan besar di dalamnya.

Namun begitu Pratiwi meletakkan bungkusan yang dibawanya, sang sopir kemudian mengunci pintunya.

Pratiwi terbelalak kaget.

“Ke … kenapa … dikunci?” tanyanya panik.

“Iya Mbak, kita keluar lewat pintu samping saja,” katanya sambil berjalan masuk semakin ke dalam. Pratiwi tegak di tempatnya. Perkataan sang sopir sangat susah diterimanya. Mengapa harus mengunci pintu, lalu harus lewat pintu samping? Itu tampak mengada-ada. Pratiwi nekat mendekati pintu, dimana dia masuk, tapi ia tak berhasil membukanya, sementara sang sopir sudah tak kelihatan batang hidungnya. Lewat pintu samping seperti yang dikatakannya? Pratiwi masih menggerak-gerakkan handel pintu dengan gemetar dan perasaan cemas. Ia masih memegangi handel pintu, ketika tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya, dan memegangnya erat.

Pratiwi membalikkan tubuhnya, dan melihat sosok orang yang amat dibencinya.

“Kamu?”

“Selamat bertemu, Pratiwi,” kata Sony lembut.

“Kk … kamu?”

“Hei, sapa aku dengan lembut, kamu belum tahu kalau aku adalah atasan kamu?”

Pratiwi tiba-tiba menangkap bahaya yang akan terjadi. Wajahnya menjadi pucat pasi.

“Biarkan ssaya pergi.”

“Pratiwi, sejak dulu kamu itu tidak pernah menaruh perhatian sama aku. Sekarang, bahkan setelah aku memberikan segala kebaikan untuk kamu, memberi kamu kemudahan dalam hal apapun, saat adik kamu operasi, saat kamu membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan kamu. Mana rasa terima kasih yang ingin kamu berikan

 sama aku?”

“Aaku … akan mengembalikan semuanya …” gemetar Pratiwi ketika mengucapkannya, tanpa tahu bagaimana cara dia harus mengembalikan semua uang yang diterimanya dari perusahaan, yang tentu saja karena kemurahan hati Sony. Kemurahan? Atau jerat yang dipasang olehnya?”

Sony terbahak keras sekali. Sikap lembut yang pada awalnya ditampakkannya, lenyap seketika. Ia melihat mata singa memancar, dan siap menerkamnya dengan gigi-gigi tajamnya.

“Kamu akan mengembalikannya? Dengan apa sayang? Apa kamu punya uang sebanyak itu? Bahkan di dalam perjanjian tertulis, kalau kamu ingkar maka kamu akan mengembalikan sepuluh kali lipat dari tiga bulan gaji pertama kamu. Kamu punya?”

Pratiwi mundur kebelakang, sampai tubuhnya tersandar pada pintu.

“Pratiwi, dengar. Kamu tidak usah mengembalikan uang kamu, tapi tetaplah bekerja untuk aku, dan menjadi kekasihku.”

“Tidaaaak,” Pratiwi menjerit.

 “Heiii, mengapa  berteriak? Aku ini kurang baik apa sih Pratiwi. Aku ini ganteng, kaya raya, berkuasa, perempuan mana yang tidak tergila-gila sama aku? Coba tatap aku, hei … tatap wajahku, Pratiwi. Kamu selalu berpaling kalau berada di depanku. Coba pandang aku Pratiwi,” kata Sony sambil mencengkeram dagu Pratiwi dan memaksanya agar menatapnya. Tapi Pratiwi memejamkan matanya.

“Kamu ini benar-benar kurangajar ya. Sama sekali tak pernah peduli pada kebaikan orang?”

“Kebaikan yang berbau busuk, karena kamu punya maksud tersembunyi.”

Sony meradang. Gadis cantik yang menjadi karyawannya ini, yang mendapatkan perlakuan istimewa darinya, sama sekali tak peduli padanya, bahkan memakinya. Tangan Sony terayun, kearah pipi Pratiwi.

Plaaakkk!!

Pratiwi menggigit bibirnya. Ia tak sudi mengeluh. Bahkan tak sudi ia menitikkan air mata. Sekarang ia menatap wajah Sony yang memerah. Menatap dengan kemarahan yang meluap. Ia melakukan semuanya demi adiknya. Demi keluarganya, dan dia tidak ingin menyesalinya. Terbayang rumah orang tuanya, yang akan dijualnya, untuk mengembalikan uang haram yang diberikan Sony.

“Kamu itu bodoh atau apa? Ada solusi terbaik agar bebanmu ringan. Kamu hanya memberikan senyuman, dan kepasrahan sama aku, dan semuanya selesai. Ayo kita berdamai, mulai malam ini, Pratiwi. Lalu kamu pulanglah. Semuanya akan baik-baik saja,” Sony masih bisa mengendapkan kekesalannya, dan mencoba merayu dengan lembut. Tapi Pratiwi bergeming. Ia menepiskan tangan Sony yang berusaha memeluknya.

“Jangan sentuh tubuhku,” pekiknya.

“Jangan berteriak Pratiwi. Memalukan,” lalu Sony tertawa menjijikkan.

“Seberapa besar kekuatan kamu untuk melawan aku? Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya Marsam, yang menunggui jauh dari rumah. Dia yang mengantarkan kamu kemari.”

Pratiwi baru sadar. Pengemudi mobil kantor tadi Marsam. Ia tak begitu memperhatikan wajah Marsam, hanya sekilas. Lalu Pratiwi menyesali semuanya. Kalau saja dia tahu, dia tak akan mau masuk ke mobilnya. Tapi semuanya sudah terlambat. Dia merasa seperti anak kelinci di depan seekor singa. Melompatpun, apa dayanya?

Dan itu benar, tiba-tiba saja Sony sudah melompat dan menerkam tubuhnya. Pratiwi meronta, tapi tak berdaya ketika Sony mengangkatnya ke dalam sebuah kamar. Kamar yang bagus, dan wangi, dengan kasur yang sangat empuk, sehingga bisa membuat tubuhnya mendat ketika Sony melemparkan keatasnya.

Pratiwi meronta, dan berusaha menjauhi Sony yang berdiri di samping ranjang.

“Kamu seperti ikan koi yang menggelepar di dalam kolam. Aku suka itu.”

Sony meraih baju Pratiwi dan menariknya keras sehingga robek. Untunglah hanya baju luar semacam jas yang meninggalkan blous putih yang masih setia menutupi tubuhnya. Pratiwi menggeser tubuhnya, dan melompat ke sisi tempat tidur yang lain.

“Aku suka gadis liar. Tapi dengar Pratiwi, aku tidak suka memperkosa. Aku ingin kamu menyerah dengan manis. Kalau kamu masih melawan, aku masih punya cara lain untuk menundukkan kamu, agar kamu menyerah dan melayani aku dengan manis.”

Pratiwi pucat pasi. Ia melihat Sony menjauh, dan membuka sebuah almari kecil yang mengambil sesuatu didalam almari itu. Ia segera tahu, Sony akan mencekokinya obat. Lalu Pratiwi teringat pesan singkatnya kepada Ardian. Mengapa Ardian tak segera menyusulnya? Tidak membaca pesannya? Atau …

Sony sudah mendekat, naik ke atas tempat tidur sambil menggenggam sesuatu di tangannya.

Kali ini Pratiwi benar-benar meneteskan air mata.

“Tolong jangan lakukan. Tolonglah aku,” ratapnya memelas.

Sony tertawa.

"Akhirnya kamu harus mengakui kekuatanku, Pratiwi. Kamu tahu? Aku benci kesombonganmu, sekarang aku ingin kamu memohon-mohon belas kasihan di hadapanku. Tapi semuanya sudah terlambat. Hukuman bagi kamu sudah aku jatuhkan.”

“Toloonglah aku… “

Tiba-tiba terdengar pintu ditendang dari luar. Sony terkejut melihat siapa yang datang, sambil menatapnya dengan mata garang.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...