SETANGKAI BUNGAKU
30
(Tien Kumalasari)
“Ada mas Bondan juga?” kata Pratiwi yang kemudian
turun dari mobil.
Ardian merasa kesal. Ada perasaan suka terhadap
Pratiwi yang barusaja disadarinya, tapi kemudian ia tahu, bahwa dia punya
saingan. Ia mengikuti turun dari mobil dan langsung masuk ke teras, di mana
Bondan sudah lebih dulu duduk bersama yu Kasnah.
“Ibu,” Pratiwi lebih dulu merangkul ibunya.
“Mengapa baru pulang? Dan mengapa nak Bondan sampai
menjemput kamu?” tegur yu Kasnah.
“Pratiwi juga bersama mas Ardian, Bu.”
“Nak Ardian?”
“Iya Yu, kebetulan kami bersama-sama menjemput Pratiwi,”
jawab Ardian yang langsung menggenggam tangan yu Kasnah erat.
“Ini sangat membuat repot orang lain. Bekerja macam
apa kamu ini Tiwi? Sejak tadi sore ibu selalu memikirkan kamu. Mas Roy yang
datang kemari dan mengabarkan bahwa kamu bekerja lembur.”
“Iya Bu. Maafkan Tiwi telah membuat Ibu cemas.”
“Benar, ibu sangat cemas. Kalau begini caranya, ibu
tidak suka kamu bekerja kantoran. Biarpun gajinya setinggi langit, tapi ketenangan
jiwa itu lebih dari segalanya. Bukankah ibu pernah mengatakannya?”
“Pratiwi juga memutuskan, untuk berhenti, Bu.”
“Benarkah? Hari ini, Nano bilang, kamu sudah bekerja
genap sebulan. Jadi tidak perlu dilanjutkan lagi. Apa kamu terpaksa
melakukannya?”
“Tidak, Bu. Tiwi tidak merasa terpaksa. Besok Tiwi
akan ke kantor untuk mengundurkan diri.”
“Besok aku akan mengantarkan kamu, Pratiwi,” kata
Ardian dan Bondan hampir bersama-sama. Pratiwi menatap keduanya berganti-ganti.
“Mengapa harus diantar Mas, Pratiwi bukan anak kecil,”
kata Pratiwi.
“Soalnya ….” Kata Bondan yang kemudian berhenti
melanjutkan ucapannya karena Pratiwi memelototinya.
“Iya, nak Bondan dan nak Ardian, kenapa harus
mengantarkannya?”
“Soalnya sepeda Pratiwi masih ditinggal di kantor, Yu,”
kata Ardian cekatan. Bondan terdiam. Ia merasa hampir saja mengatakan sesuatu
yang akan membuat yu Kasnah curiga. Padahal tampaknya Pratiwi tidak ingin
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, takut ibunya cemas.
“Oh, tapi kan tidak usah merepotkan sih Mas, biarkan saja Pratiwi mengurusya sendiri. Tidak enak sama bu Sasmi dan bu Ratna. Keluarga kami sudah cukup merepotkan,” kata yu Kasnah.
“Tidak apa-apa Yu, kasihan Pratiwi,” jawab Ardian.
“Pratiwi, kamu banyak berhutang pada mas Ardian dan
nak Bondan.”
“Iya Bu, Pratiwi menyusahkan mereka.”
“Ya sudah Bu, saya mau pamit saja, supaya Pratiwi
segera bisa beristirahat.”
“Dan Yu Kasnah juga segera bisa beristirahat,” sambung
Ardian. Dan kedua anak muda itu berdiri, menyalami yu Kasnah.
“Benar, sudah malam, sebaiknya kalian segera pulang,”
kata yu Kasnah.
“Pratiwi, aku pulang dulu ya.”
“Aku pulang, sampai ketemu besok,” sambung Bondan.
Keduanya menyalami Pratiwi dengan hangat, seperti anak kecil berebut mainan,
karena tangan mereka terayun hampir bersamaan, sehingga saling bersentuhan.
Pratiwi tersenyum melihat tingkah mereka. Tapi dia
hanya menyambutnya dengan senyuman.
Ardian dan Bondan menuju ke arah mobil masing-masing
tanpa saling menyapa.
***
“Apa yang terjadi? Mengapa sampai malam?” tanya Roy
yang ternyata menunggu Ardian di teras.
“Hampir saja,” jawab Ardian sambil menghempaskan
tubuhnya di kursi, di hadapan Roy.
“Pelipismu biru, berkelahi?” tanya Roy sambil
mengamati pelipis kakaknya.
“Ya. Pratiwi nyaris celaka.”
“Apa yang terjadi?”
Lalu Ardian menceritakan semuanya. Mulai ia datang
menjemput dan ternyata Pratiwi sudah dibawa mobil suruhan Sony, sampai kemudian
dia yang bersama Bondan menyusul kerumah dan ternyata Pratiwi kemudian memberi
sinyal bahwa dia dalam bahaya, lalu terjadilah kemudian mereka harus bertarung
melawan Sony dan pembantunya.
“Beruntung, anak buah Sony yang bernama Susana
ternyata telah lebih dulu menyelamatkan Pratiwi.”
“Jadi benar-benar Pratiwi bekerja sama dia?”
“Sekarang aku sudah tahu mengapa Pratiwi melakukannya.
Ia butuh uang untuk biaya operasi Nano.”
“Lalu dia pinjam uang ke perusahaan Sony, bahkan
sebelum dia menjalani pekerjaan itu?”
“Tampaknya Pratiwi menerima sejumlah uang untuk
kontrak kerja di sana, yang dipergunakannya untuk biaya operasi itu.”
“Kalau Pratiwi resign, apa harus mengembalikan uang
kontrak kerja itu?”
“Aturannya memang begitu, tapi aku sudah melaporkannya
pada polisi. Dengan akal bulus itu, Sony punya niat buruk. Semoga bisa
membatalkan perjanjian kontrak itu.”
“Berapa banyak yang diperlukan seandainya uang itu
harus dikembalikan?”
“Sekitar duaratus an juta.”
“Lumayan bukan? Apakah kita akan membantu?”
“Aku akan membantu. Kalau perlu aku akan minta agar
Pratiwi bekerja di kantor kita.”
“Wah, terlambat dong Ar, kenapa tidak dari dulu kamu
melakukannya?”
“Aku kan tidak berani menawarkan, dengan kondisi yu
Kasnah seperti itu, dan dia harus meninggalkannya untuk bekerja. Tapi kalau
ternyata itu bisa, mengapa tidak? Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Pasti
dia punya rencana setelah resign.”
“Baiklah, ayo aku obati dulu kening kamu itu. Kompres hangat
dan ada salep untuk menghilangkan memar itu,” kata Roy sambil beranjak ke
dalam, diikuti Ardian yang pastinya juga merasa sangat letih.
***
Ketika Bondan sampai di rumah, ia tak melihat Ratih,
adiknya. Rupanya dia sudah masuk ke dalam kamarnya, dan mungkin juga sudah
tertidur. Tapi ia melihat ayahnya duduk sendirian di ruang tengah, sambil
menyaksikan siaran bola yang entah siapa melawan siapa. Pak Juwono menyapa, ketika
melihat anak laki-lakinya pulang.
“Baru pulang Ndan?”
“Iya Pak,” jawabnya sambil duduk di dekat ayahnya.
“Seru pertandingan bola nya?”
“Hanya untuk bekal ngantuk saja. Dari mana kamu?”
“Dari rumah teman.”
“Kamu tampak lelah begitu, rambut kamu juga awut-awutan.”
“Tadi duduk di luar, anginnya kencang sekali,” jawab
Bondan seenaknya, sambil mengelus rambutnya.
“Tumben, pergi keluar tidak mengajak adik kamu.”
“Ke rumah teman Bondan, mana dia mau.”
“Aku senang, Ratih sudah kembali lagi kuliah. Semoga dia segera bisa menyelesaikannya.”
“Pak, Bondan mau minta sesuatu nih.”
“Apa tuh?”
“Apakah di kantor Bapak masih bisa menerima pegawai
baru?”
“Wah, untuk apa? Sepertinya sudah cukup. Perusahaan
sedang sepi, baru mau bapak benahi lagi, dan mungkin mengembangkannya dan
berusaha supaya bisa berjalan lebih baik.”
“Mungkin seorang sekretaris,” kata Bondan hati-hati.
“Sekretaris? Bapak sudah punya sekretaris. Memangnya
siapa yang mau kamu carikan pekerjaan itu? Kamu saja tidak mau bekerja bersama bapak,
memilih membuat usaha sendiri, kenapa sekarang mencari lowongan kerja? Untuk siapa?”
“Teman Bondan.”
“Perempuan, pastinya. Kamu sambil cengar-cengir
begitu?”
“Iya, benar,” kata Bondan sambil tersenyum.
“Bapak sudah punya sekretaris.”
“Mungkin di bagian lain.”
“Kalau untuk marketing, bisa saja. Lebih baik
marketing, supaya bisa meluaskan jangkauan. Gajinya berdasar persentase dari
keberhasilan dia. Jadi tidak menetap di kantor.”
“Jangan Pak. Di kantoran saja, kasihan kalau dia harus
keluar.”
“Kamu itu maksudnya mencarikan pekerjaan untuk siapa?
Kalau di kantor, bapak belum bisa. Menunggu kalau sudah kembali stabil. Tidak
bisa sembarangan menerima karyawan, hanya karena dia kawan kamu. Tapi … kawan
atau pacar sih? Kalau pacar, kenapa harus dicarikan pekerjaan. Nikahi saja
langsung, kan dia bisa menerima uang penghasilan kamu, duduk manis di rumah,
menjadi ibu rumah tangga. Itu bapak lebih suka.”
“Bapak ada-ada saja.”
“Itu benar kan? Ya sudah, kamu tampak letih begitu,
lebih baik segera istirahat. Lupakan tentang pekerjaan untuk teman kamu itu.
Tapi boleh saja kalau kamu sudah punya pilihan, lalu kamu minta agar bapak melamarkan
dia. Tapi kalau memilih istri tuh jangan asal cantik. Dia harus baik, bisa
mencintai kamu dan keluarganya nanti, bisa mengurus rumah tangga dengan baik.
Tanyakan sama ibu, dia pasti tahu dong, kriteria istri yang baik itu yang
bagaimana.”
Bondan hanya tersenyum kecut. Barangkali suasana
kurang tepat untuk berbicara tentang lowongan kerja. Ayahnya memang sedang
membenahi usahanya yang akhir-akhir ini agak menurun. Bondan sedang memikirkan
Pratiwi, yang pastinya ingin resign dari perusahaan Sony. Ia juga belum ingin
bercerita pada ayahnya tentang Sony dan kelakuannya. Lebih baik ia beristirahat. Tubuhnya sakit semua, dan ada nyeri di tulang punggungnya yang
sempat terkena pululan Sony.
***
Sudah lewat tengah malam, tapi Susana masih menunggui
Sony yang baru saja tersadar dari pingsannya. Ia juga sudah dipindahkan di
ruang rawat. Wajahnya lebam, dan ada tulang bahunya yang retak dan entah jadi
di operasi atau tidak. Sony tampak tidak bisa tidur nyenyak. Ia seperti
gelisah, karena sebentar-sebentar tangannya bergerak-gerak.
Susana menatapnya iba, tapi dia merasa kesal menyaksikan
Sony hampir mencelakai Pratiwi. Sony sangat digandrungi wanita, tak pernah
melakukan kekerasan seperti yang dilakukannya pada Pratiwi.
Tiba-tiba Sony membuka matanya, menatap Susana yang
duduk sambil bersedekap.
“Kamu? Mengapa di sini?” katanya lirih. Tapi matanya
yang menyipit karena luka di sekeliling mata itu membuatnya tak bisa terbuka
lebar.
“Aku prihatin melihat keadaan kamu.”
“Enyah kamu! Aku tak mau lagi melihat kamu,” hardiknya
tapi dengan suara lemah.
“Sony.”
“Enyah, kamu sudah dipecat.”
“Kamu sudah menjadi tahanan polisi. Diluar ada yang
berjaga.”
“Enyah!”
Susana mengusap air matanya. Barangkali ini adalah
malam terakhir ia bisa menatap laki-laki yang sangat dicintainya. Ketika keluar
dari ruangan, ia menyadari bahwa cintanya berlabuh di muara yang salah. Ia
segera memanggil taksi, dan pulang.
***
Bondan menggeliat malas.
“Hei, bangun. Sudah siang. Mau shalat jam berapa?”
“Sudah. Sudah, tadi, lalu tidur lagi. Jangan mengganggu aku, aku lelah.”
“Hei, Mas belum cerita, bagaimana kemarin? Jemput
kerja pulang malam, Mas ajak ke mana dia?”
Bondan diam, menarik selimutnya keatas sambil
membalikkan tubuhnya. Tapi Ratih kemudian menarik selimutnya, membuat Bondan
berteriak-teriak.
“Ratiiih!! Pergi kamu!” katanya sambil melempar
adiknya dengan bantal. Beruntung Ratih bisa menghindarinya.
“Maaas, aku mau Mas cerita,” katanya sambil
menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya.
“Nanti, aduuuh … punggungku sakit nih.”
“Memangnya kenapa? Mas terjatuh?”
“Bukan terjatuh. Ambilkan minyak gosok, tolong
gosokin.”
“Yaah, malah dapat pekerjaan nih.”
“Salahnya, kamu menggoyangkan tubuhku, sakitnya terasa
lagi.”
Ratih mengambil obat gosok di laci nakas, lalu membuka
baju di bagian punggung kakaknya.
“Haah, kok biru begini? Jatuh ya?”
“Tidak, gosok saja dulu, nanti aku ceritain.”
Ratih yang sangat menyayangi kakaknya kemudian
menggosokkan minyak ke punggung kakaknya, sementara Bondan kemudian
menceritakan semua yang terjadi.
Ratih sangat terkejut mendengarnya.
“Ya Tuhan, kasihan mbak Pratiwi.”
“Untunglah pembantu setianya yang namanya Susana,
menyelamatkannya.”
“Aku sudah merasa, bahwa mas Sony punya maksud buruk.
Aku sempat melarang Mbak Tiwi bekerja di sana, tapi ketika dia bertanya,
rupanya dia sudah terlanjur menjalaninya.”
“Semuanya sudah lewat. Semalam aku bilang pada bapak,
supaya mau menerima karyawan baru, maksudku untuk Pratiwi. Tapi rupanya bapak
tidak bisa menerima.”
“Perusahaan bapak sedang dibenahi. Barangkali nanti,
kalau semuanya sudah membaik.”
“Bagaimana menurut kamu, kalau aku jatuh cinta pada
dia?”
“Dia itu siapa? Mbak Pratiwi?”
“Iya lah, memangnya siapa lagi?”
“Kalau aku sih, tidak apa-apa. Tapi Mas punya saingan
berat. Tampaknya mas Ardian juga suka sama mbak Tiwi.”
“Iya, aku tahu. Tapi semuanya tergantung Pratiwi kan?
Bagaimana kalau dia memilih aku?”
“Lebih baik Mas mengalah. Kalau Mas nekat, bisa
terjadi perselisihan.”
“Enak saja aku harus mengalah, cinta itu harus
diperjuangkan. Kalau bisa dengan taruhan nyawa.”
“Gombal ah! Mas ketularan mas Sony ya? Mengejar cinta
sampai melakukan hal yang sangat buruk.”
“Ya enggak lah, aku bukan dengan cara curang dan penuh
rekayasa seperti itu. Aku harus merebutnya dengan cara laki-laki.”
“Asal jangan sampai memutuskan tali persaudaraan ya.”
“Memangnya dia saudara kita? Oh, ya … aku tahu, karena
kamu sudah jadian sama Roy?”
“Ihh, sudah gosoknya. Sekarang mandi, minuman hangat
Mas keburu dingin.”
***
Bondan yang terlambat menjemput Pratiwi, langsung
mengejarnya ke kantor Sony. Rupanya Ardian sudah lebih dulu sampai di sana. Ia
sedang menunggu di mobil, yang diparkir di luar gerbang kantor.
Bondan merasa kesal, karena selalu kalah berebut.
Semalam tidak bisa mengantar, sekarangpun tidak. Tapi seperti janjinya, dia
akan memperjuangkan cintanya. Ia tak ingin kelihatan kalah. Semalam dia tahu
dari satpam yang berjaga, bahwa ban sepeda Pratiwi gembos. Ia harus bisa
melakukan sesuatu untuk Pratiwi. Ia turun dari mobil, dan langsung masuk
mendekati ruang satpam. Kebetulan yang berjaga adalah satpam yang semalam.
“Mas, masih ingat saya kan?” sapa Bondan.
“Oh, ini mas yang semalam menjemput bu Pratiwi?”
“Nah, bagus kalau masih ingat. Aku kemari mau
mengambil sepeda Pratiwi, biar aku bawa ke tukang tambal sekarang juga.”
“Oh, saya baru mau suruhan untuk membawa sepeda ini ke
tukang tambal. Baiklah, kalau begitu. Bu Pratiwi belum lama masuk, apa saya
harus memberi tahunya lebih dulu?”
“Tidak usah, biar aku langsung membawanya.”
Satpam itu mengambil sepeda Pratiwi yang masih
bersandar di dalam ruangannya, lalu menyerahkannya pada Bondan. Setelah
mengucapkan terima kasih, Bondan menuntunnya keluar.
Tapi ditengah jalan, Ardian mencegatnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDelete🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾
DeleteAlhamdulillah......
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Selamat Uti Nabi juara 1 disusul dgn jam yang sama:
DeleteSaya, jeng Isdar, jeng Sari Usman, jeng Yati Tasik
Typo...Nani ya pak.😅
DeleteMyrnwn
ReplyDelete⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 30 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Salam sehat, bahagia
dan tetap Aduhai...
⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun inggih mbakyu Tienkumalasari dear...Salam aduhaai dan tetep semangat dariku di Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Owh uti Yanik Surabaya juga pkl 21.42 WIB Jadi 6 orang juaranya...... 😊😊😊💕
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYang ditunggu tunggu sdh datang
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien...
ReplyDeleteWah seru ini Ardian vs Bondan
Salam sehat selalu....
Benar saja ada persaingan, Ardian atau Bondan ya... jangan jangan malah tidak semua.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga Ibu sehat selalu..
He.he..persaingan ketat ini.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-30 sdh hadir
ReplyDeleteWah..seru.. Bondan bersaing dg Adrian
Adrian aja deh utk Pratiwi...
Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Alhamdullilah bunda..mksi SB nya..makin penasaran..smg endingnya pratiwi dgn ardian y bunda..slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSehat wal'afiat 🤗🥰
Seru ,,,,aduhaiii ,Tiwi mau yg mana tinggil pilih 🤭
Seru....trims Bu riwn
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...sedikit masukan, kalau Pratiwi menyebut diri sendiri ke ibunya, lebih baik konsisten ditulis 'Tiwi' saja, kalau lengkap seperti agak kaku ya...salam sehat selalu, bu.🙏😘
ReplyDelete