Monday, February 27, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 30

 

SETANGKAI BUNGAKU  30

(Tien Kumalasari)

 

“Ada mas Bondan juga?” kata Pratiwi yang kemudian turun dari mobil.

Ardian merasa kesal. Ada perasaan suka terhadap Pratiwi yang barusaja disadarinya, tapi kemudian ia tahu, bahwa dia punya saingan. Ia mengikuti turun dari mobil dan langsung masuk ke teras, di mana Bondan sudah lebih dulu duduk bersama yu Kasnah.

“Ibu,” Pratiwi lebih dulu merangkul ibunya.

“Mengapa baru pulang? Dan mengapa nak Bondan sampai menjemput kamu?” tegur yu Kasnah.

“Pratiwi juga bersama mas Ardian, Bu.”

“Nak Ardian?”

“Iya Yu, kebetulan kami bersama-sama menjemput Pratiwi,” jawab Ardian yang langsung menggenggam tangan yu Kasnah erat.

“Ini sangat membuat repot orang lain. Bekerja macam apa kamu ini Tiwi? Sejak tadi sore ibu selalu memikirkan kamu. Mas Roy yang datang kemari dan mengabarkan bahwa kamu bekerja lembur.”

“Iya Bu. Maafkan Tiwi telah membuat Ibu cemas.”

“Benar, ibu sangat cemas. Kalau begini caranya, ibu tidak suka kamu bekerja kantoran. Biarpun gajinya setinggi langit, tapi ketenangan jiwa itu lebih dari segalanya. Bukankah ibu pernah mengatakannya?”

“Pratiwi juga memutuskan, untuk berhenti, Bu.”

“Benarkah? Hari ini, Nano bilang, kamu sudah bekerja genap sebulan. Jadi tidak perlu dilanjutkan lagi. Apa kamu terpaksa melakukannya?”

“Tidak, Bu. Tiwi tidak merasa terpaksa. Besok Tiwi akan ke kantor untuk mengundurkan diri.”

“Besok aku akan mengantarkan kamu, Pratiwi,” kata Ardian dan Bondan hampir bersama-sama. Pratiwi menatap keduanya berganti-ganti.

“Mengapa harus diantar Mas, Pratiwi bukan anak kecil,” kata Pratiwi.

“Soalnya ….” Kata Bondan yang kemudian berhenti melanjutkan ucapannya karena Pratiwi memelototinya.

“Iya, nak Bondan dan nak Ardian, kenapa harus mengantarkannya?”

“Soalnya sepeda Pratiwi masih ditinggal di kantor, Yu,” kata Ardian cekatan. Bondan terdiam. Ia merasa hampir saja mengatakan sesuatu yang akan membuat yu Kasnah curiga. Padahal tampaknya Pratiwi tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, takut ibunya cemas.

“Oh, tapi kan tidak usah merepotkan sih Mas, biarkan saja Pratiwi mengurusya sendiri. Tidak enak sama bu Sasmi dan bu Ratna. Keluarga kami sudah cukup merepotkan,” kata yu Kasnah.

“Tidak apa-apa Yu, kasihan Pratiwi,” jawab Ardian.

“Pratiwi, kamu banyak berhutang pada mas Ardian dan nak Bondan.”

“Iya Bu, Pratiwi menyusahkan mereka.”

“Ya sudah Bu, saya mau pamit saja, supaya Pratiwi segera bisa beristirahat.”

“Dan Yu Kasnah juga segera bisa beristirahat,” sambung Ardian. Dan kedua anak muda itu berdiri, menyalami yu Kasnah.

“Benar, sudah malam, sebaiknya kalian segera pulang,” kata yu Kasnah.

“Pratiwi, aku pulang dulu ya.”

“Aku pulang, sampai ketemu besok,” sambung Bondan. Keduanya menyalami Pratiwi dengan hangat, seperti anak kecil berebut mainan, karena tangan mereka terayun hampir bersamaan, sehingga saling bersentuhan.

Pratiwi tersenyum melihat tingkah mereka. Tapi dia hanya menyambutnya dengan senyuman.

Ardian dan Bondan menuju ke arah mobil masing-masing tanpa saling menyapa.

***

“Apa yang terjadi? Mengapa sampai malam?” tanya Roy yang ternyata menunggu Ardian di teras.

“Hampir saja,” jawab Ardian sambil menghempaskan tubuhnya di kursi, di hadapan Roy.

“Pelipismu biru, berkelahi?” tanya Roy sambil mengamati pelipis kakaknya.

“Ya. Pratiwi nyaris celaka.”

“Apa yang terjadi?”

Lalu Ardian menceritakan semuanya. Mulai ia datang menjemput dan ternyata Pratiwi sudah dibawa mobil suruhan Sony, sampai kemudian dia yang bersama Bondan menyusul kerumah dan ternyata Pratiwi kemudian memberi sinyal bahwa dia dalam bahaya, lalu terjadilah kemudian mereka harus bertarung melawan Sony dan pembantunya.

“Beruntung, anak buah Sony yang bernama Susana ternyata telah lebih dulu menyelamatkan Pratiwi.”

“Jadi benar-benar Pratiwi bekerja sama dia?”

“Sekarang aku sudah tahu mengapa Pratiwi melakukannya. Ia butuh uang untuk biaya operasi Nano.”

“Lalu dia pinjam uang ke perusahaan Sony, bahkan sebelum dia menjalani pekerjaan itu?”

“Tampaknya Pratiwi menerima sejumlah uang untuk kontrak kerja di sana, yang dipergunakannya untuk biaya operasi itu.”

“Kalau Pratiwi resign, apa harus mengembalikan uang kontrak kerja itu?”

“Aturannya memang begitu, tapi aku sudah melaporkannya pada polisi. Dengan akal bulus itu, Sony punya niat buruk. Semoga bisa membatalkan perjanjian kontrak itu.”

“Berapa banyak yang diperlukan seandainya uang itu harus dikembalikan?”

“Sekitar duaratus an juta.”

“Lumayan bukan? Apakah kita akan membantu?”

“Aku akan membantu. Kalau perlu aku akan minta agar Pratiwi bekerja di kantor kita.”

“Wah, terlambat dong Ar, kenapa tidak dari dulu kamu melakukannya?”

“Aku kan tidak berani menawarkan, dengan kondisi yu Kasnah seperti itu, dan dia harus meninggalkannya untuk bekerja. Tapi kalau ternyata itu bisa, mengapa tidak? Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Pasti dia punya rencana setelah resign.”

“Baiklah, ayo aku obati dulu kening kamu itu. Kompres hangat dan ada salep untuk menghilangkan memar itu,” kata Roy sambil beranjak ke dalam, diikuti Ardian yang pastinya juga merasa sangat letih.

***

Ketika Bondan sampai di rumah, ia tak melihat Ratih, adiknya. Rupanya dia sudah masuk ke dalam kamarnya, dan mungkin juga sudah tertidur. Tapi ia melihat ayahnya duduk sendirian di ruang tengah, sambil menyaksikan siaran bola yang entah siapa melawan siapa. Pak Juwono menyapa, ketika melihat anak laki-lakinya pulang.

“Baru pulang Ndan?”

“Iya Pak,” jawabnya sambil duduk di dekat ayahnya.

“Seru pertandingan bola nya?”

“Hanya untuk bekal ngantuk saja. Dari mana kamu?”

“Dari rumah teman.”

“Kamu tampak lelah begitu, rambut kamu juga awut-awutan.”

“Tadi duduk di luar, anginnya kencang sekali,” jawab Bondan seenaknya, sambil mengelus rambutnya.

“Tumben, pergi keluar tidak mengajak adik kamu.”

“Ke rumah teman Bondan, mana dia mau.”

“Aku senang, Ratih sudah kembali lagi kuliah. Semoga dia segera bisa menyelesaikannya.”

“Pak, Bondan mau minta sesuatu nih.”

“Apa tuh?”

“Apakah di kantor Bapak masih bisa menerima pegawai baru?”

“Wah, untuk apa? Sepertinya sudah cukup. Perusahaan sedang sepi, baru mau bapak benahi lagi, dan mungkin mengembangkannya dan berusaha supaya bisa berjalan lebih baik.”

“Mungkin seorang sekretaris,” kata Bondan hati-hati.

“Sekretaris? Bapak sudah punya sekretaris. Memangnya siapa yang mau kamu carikan pekerjaan itu? Kamu saja tidak mau bekerja bersama bapak, memilih membuat usaha sendiri, kenapa sekarang mencari lowongan kerja? Untuk siapa?”

“Teman Bondan.”

“Perempuan, pastinya. Kamu sambil cengar-cengir begitu?”

“Iya, benar,” kata Bondan sambil tersenyum.

“Bapak sudah punya sekretaris.”

“Mungkin di bagian lain.”

“Kalau untuk marketing, bisa saja. Lebih baik marketing, supaya bisa meluaskan jangkauan. Gajinya berdasar persentase dari keberhasilan dia. Jadi tidak menetap di kantor.”

“Jangan Pak. Di kantoran saja, kasihan kalau dia harus keluar.”

“Kamu itu maksudnya mencarikan pekerjaan untuk siapa? Kalau di kantor, bapak belum bisa. Menunggu kalau sudah kembali stabil. Tidak bisa sembarangan menerima karyawan, hanya karena dia kawan kamu. Tapi … kawan atau pacar sih? Kalau pacar, kenapa harus dicarikan pekerjaan. Nikahi saja langsung, kan dia bisa menerima uang penghasilan kamu, duduk manis di rumah, menjadi ibu rumah tangga. Itu bapak lebih suka.”

“Bapak ada-ada saja.”

“Itu benar kan? Ya sudah, kamu tampak letih begitu, lebih baik segera istirahat. Lupakan tentang pekerjaan untuk teman kamu itu. Tapi boleh saja kalau kamu sudah punya  pilihan, lalu kamu minta agar bapak melamarkan dia. Tapi kalau memilih istri tuh jangan asal cantik. Dia harus baik, bisa mencintai kamu dan keluarganya nanti, bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Tanyakan sama ibu, dia pasti tahu dong, kriteria istri yang baik itu yang bagaimana.”

Bondan hanya tersenyum kecut. Barangkali suasana kurang tepat untuk berbicara tentang lowongan kerja. Ayahnya memang sedang membenahi usahanya yang akhir-akhir ini agak menurun. Bondan sedang memikirkan Pratiwi, yang pastinya ingin resign dari perusahaan Sony. Ia juga belum ingin bercerita pada ayahnya tentang Sony dan kelakuannya. Lebih baik ia beristirahat. Tubuhnya sakit semua, dan ada nyeri di tulang punggungnya yang sempat terkena pululan Sony.

***

Sudah lewat tengah malam, tapi Susana masih menunggui Sony yang baru saja tersadar dari pingsannya. Ia juga sudah dipindahkan di ruang rawat. Wajahnya lebam, dan ada tulang bahunya yang retak dan entah jadi di operasi atau tidak. Sony tampak tidak bisa tidur nyenyak. Ia seperti gelisah, karena sebentar-sebentar tangannya bergerak-gerak.

Susana menatapnya iba, tapi dia merasa kesal menyaksikan Sony hampir mencelakai Pratiwi. Sony sangat digandrungi wanita, tak pernah melakukan kekerasan seperti yang dilakukannya pada Pratiwi.

Tiba-tiba Sony membuka matanya, menatap Susana yang duduk sambil bersedekap.

“Kamu? Mengapa di sini?” katanya lirih. Tapi matanya yang menyipit karena luka di sekeliling mata itu membuatnya tak bisa terbuka lebar.

“Aku prihatin melihat keadaan kamu.”

“Enyah kamu! Aku tak mau lagi melihat kamu,” hardiknya tapi dengan suara lemah.

“Sony.”

“Enyah, kamu sudah dipecat.”

“Kamu sudah menjadi tahanan polisi. Diluar ada yang berjaga.”

“Enyah!”

Susana mengusap air matanya. Barangkali ini adalah malam terakhir ia bisa menatap laki-laki yang sangat dicintainya. Ketika keluar dari ruangan, ia menyadari bahwa cintanya berlabuh di muara yang salah. Ia segera memanggil taksi, dan pulang.

***

 Ratih bangun pagi itu, dan mencari keberadaan kakaknya. Dengan kesal digelitikinya sang kakak yang masih tertidur dengan nyenyak.

Bondan menggeliat malas.

“Hei, bangun. Sudah siang. Mau shalat jam berapa?”

“Sudah. Sudah, tadi, lalu tidur lagi. Jangan mengganggu aku, aku lelah.”

“Hei, Mas belum cerita, bagaimana kemarin? Jemput kerja pulang malam, Mas ajak ke mana dia?”

Bondan diam, menarik selimutnya keatas sambil membalikkan tubuhnya. Tapi Ratih kemudian menarik selimutnya, membuat Bondan berteriak-teriak.

“Ratiiih!! Pergi kamu!” katanya sambil melempar adiknya dengan bantal. Beruntung Ratih bisa menghindarinya.

“Maaas, aku mau Mas cerita,” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya.

“Nanti, aduuuh … punggungku sakit nih.”

“Memangnya kenapa? Mas terjatuh?”

“Bukan terjatuh. Ambilkan minyak gosok, tolong gosokin.”

“Yaah, malah dapat pekerjaan nih.”

“Salahnya, kamu menggoyangkan tubuhku, sakitnya terasa lagi.”

Ratih mengambil obat gosok di laci nakas, lalu membuka baju di bagian punggung kakaknya.

“Haah, kok biru begini? Jatuh ya?”

“Tidak, gosok saja dulu, nanti aku ceritain.”

Ratih yang sangat menyayangi kakaknya kemudian menggosokkan minyak ke punggung kakaknya, sementara Bondan kemudian menceritakan semua yang terjadi.

Ratih sangat terkejut mendengarnya.

“Ya Tuhan, kasihan mbak Pratiwi.”

“Untunglah pembantu setianya yang namanya Susana, menyelamatkannya.”

“Aku sudah merasa, bahwa mas Sony punya maksud buruk. Aku sempat melarang Mbak Tiwi bekerja di sana, tapi ketika dia bertanya, rupanya dia sudah terlanjur menjalaninya.”

“Semuanya sudah lewat. Semalam aku bilang pada bapak, supaya mau menerima karyawan baru, maksudku untuk Pratiwi. Tapi rupanya bapak tidak bisa menerima.”

“Perusahaan bapak sedang dibenahi. Barangkali nanti, kalau semuanya sudah membaik.”

“Bagaimana menurut kamu, kalau aku jatuh cinta pada dia?”

“Dia itu siapa? Mbak Pratiwi?”

“Iya lah, memangnya siapa lagi?”

“Kalau aku sih, tidak apa-apa. Tapi Mas punya saingan berat. Tampaknya mas Ardian juga suka sama mbak Tiwi.”

“Iya, aku tahu. Tapi semuanya tergantung Pratiwi kan? Bagaimana kalau dia memilih aku?”

“Lebih baik Mas mengalah. Kalau Mas nekat, bisa terjadi perselisihan.”

“Enak saja aku harus mengalah, cinta itu harus diperjuangkan. Kalau bisa dengan taruhan nyawa.”

“Gombal ah! Mas ketularan mas Sony ya? Mengejar cinta sampai melakukan hal yang sangat buruk.”

“Ya enggak lah, aku bukan dengan cara curang dan penuh rekayasa seperti itu. Aku harus merebutnya dengan cara laki-laki.”

“Asal jangan sampai memutuskan tali persaudaraan ya.”

“Memangnya dia saudara kita? Oh, ya … aku tahu, karena kamu sudah jadian sama Roy?”

“Ihh, sudah gosoknya. Sekarang mandi, minuman hangat Mas keburu dingin.”

***

Bondan yang terlambat menjemput Pratiwi, langsung mengejarnya ke kantor Sony. Rupanya Ardian sudah lebih dulu sampai di sana. Ia sedang menunggu di mobil, yang diparkir di luar gerbang kantor.

Bondan merasa kesal, karena selalu kalah berebut. Semalam tidak bisa mengantar, sekarangpun tidak. Tapi seperti janjinya, dia akan memperjuangkan cintanya. Ia tak ingin kelihatan kalah. Semalam dia tahu dari satpam yang berjaga, bahwa ban sepeda Pratiwi gembos. Ia harus bisa melakukan sesuatu untuk Pratiwi. Ia turun dari mobil, dan langsung masuk mendekati ruang satpam. Kebetulan yang berjaga adalah satpam yang semalam.

“Mas, masih ingat saya kan?” sapa Bondan.

“Oh, ini mas yang semalam menjemput bu Pratiwi?”

“Nah, bagus kalau masih ingat. Aku kemari mau mengambil sepeda Pratiwi, biar aku bawa ke tukang tambal sekarang juga.”

“Oh, saya baru mau suruhan untuk membawa sepeda ini ke tukang tambal. Baiklah, kalau begitu. Bu Pratiwi belum lama masuk, apa saya harus memberi tahunya lebih dulu?”

“Tidak usah, biar aku langsung membawanya.”

Satpam itu mengambil sepeda Pratiwi yang masih bersandar di dalam ruangannya, lalu menyerahkannya pada Bondan. Setelah mengucapkan terima kasih, Bondan menuntunnya keluar.

Tapi ditengah jalan, Ardian mencegatnya.

***

Besok lagi ya.


34 comments:

  1. Replies
    1. 🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾

      Alhamdulillah......

      🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

      Delete
    2. Selamat Uti Nabi juara 1 disusul dgn jam yang sama:
      Saya, jeng Isdar, jeng Sari Usman, jeng Yati Tasik

      Delete
  2. ⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘
    Alhamdulillah SB 30 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Salam sehat, bahagia
    dan tetap Aduhai...
    ⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘🦋⚘

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun inggih mbakyu Tienkumalasari dear...Salam aduhaai dan tetep semangat dariku di Cibubur

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  6. Owh uti Yanik Surabaya juga pkl 21.42 WIB Jadi 6 orang juaranya...... 😊😊😊💕

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah .....
    Yang ditunggu tunggu sdh datang
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat .....

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    Terimakasih Bu Tien...

    ReplyDelete

  9. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  10. Terima kasih Bu Tien...
    Wah seru ini Ardian vs Bondan
    Salam sehat selalu....

    ReplyDelete
  11. Benar saja ada persaingan, Ardian atau Bondan ya... jangan jangan malah tidak semua.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah..
    Terima kasih Bu Tien..
    Semoga Ibu sehat selalu..

    ReplyDelete
  13. He.he..persaingan ketat ini.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah SB-30 sdh hadir
    Wah..seru.. Bondan bersaing dg Adrian
    Adrian aja deh utk Pratiwi...
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  15. Alhamdullilah bunda..mksi SB nya..makin penasaran..smg endingnya pratiwi dgn ardian y bunda..slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat 🤗🥰

    Seru ,,,,aduhaiii ,Tiwi mau yg mana tinggil pilih 🤭

    ReplyDelete
  17. Terima kasih, bu Tien...sedikit masukan, kalau Pratiwi menyebut diri sendiri ke ibunya, lebih baik konsisten ditulis 'Tiwi' saja, kalau lengkap seperti agak kaku ya...salam sehat selalu, bu.🙏😘

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...