Tuesday, December 29, 2020

SANG PUTRI 36

SANG PUTRI  36

(Tien Kumalasari)

 

“Adiknya bu Suprih?” tanya Mirah bingung.

“Iya, kami cuma dua bersaudara. Ayo masuklah, nanti aku kenalkan sama adikku juga, pasti mereka sudah didalam."

Mirah mengikuti Suprih masuk ke rumah. Lalu terdengar teriakan.

“Yu Miraaaah !!”

Mirah terkejut, demikian juga Tanti dan Suprih. Kok Nanda sudah kenal Mirah?

Lalu dengan terpana dipandanginya dua orang yang sudah dikenalnya. Priyambodo dan Nanda. Mereka bertatapan dengan bingung. Sama-sama bingung. Mirah bingung ternyata Pri adiknya bu Supri. Pri bingung ternyata yang mau dijodohkan dengannya adalah Mirah. Tapi berdebar hati Pri. Hari itu Mirah sedikit berdandan, pakai bedak, pakai baju yang lebih bagus, tidak seperti biasanya kalau dia melihatnya dirumah Palupi. Wajah cantiknya berkilat karena keringat. Tanpa bedak dan hanya dengan baju rumahan yang sederhana.

“Kalian sudah kenal?” tanya Suprih heran.

“Sudah yu, ini mbak Mirah, aku kenal di rumahnya mbak Palupi.”

Mirah mengangguk. Terbayang ‘dosa-dosa’ yang telah diperbuatnya untuk Pri. Menyiram teh panas , mengusir dengan kata-kata yang membuatnya panas. Tiba-tiba Mirah merasa malu telah melakukan semua ‘dosa’ itu. Apakah ia harus mengakuinya agar berkurang dosanya?

“Ya ampuun.. nak Mirah, ya dia inilah adikku, dan Nanda ini keponakanku. Memang usia kami terpaut jauuuh, sehingga aku sudah setengah tua, tapi dia masih muda. Tapi biarpun muda dia ini seorang duda lho nak. Duda beranak satu,” kata Suprih mengenalkan adiknya dan statusnya sementara Mirah sudah tahu.

“Ma’af, pak Pri.. “ kata Mirah pelan.

“Lho, kenapa harus minta ma’af, mbak Mirah tidak salah apa-apa kok.”

“Manggilnya mbok jangan pak gitu nak, mas gitu saja kan lebih enak.”

“Biasanya panggil pak Pri.”

“Mulai sekarang dirubah dong.”

“Mana ibu  yu?” tanya Nanda tiba-tiba.

“Eh, Nanda, mulai sekarang tidak boleh memanggil yu, panggil dia ibu.”

“Kan ada ibu yang satunya?”

“Ini juga ibu. Panggil bu Mirah.”

“Bu Mirah..”

Mirah tersipu.

“Tidak apa-apa ya mas Nanda.. “

“Jangan, nanti menjadi kebiasaan. Nak Mirah seumur ibunya Nanda almarhumah. Masa dipanggil yu?”

“Bu Mirah...” panggil Nanda sambil menatap Mirah tak berkedip.

“Ya, sayang..”

“Mana ibu?”

“Ibu sedang jalan-jalan sama mas Bintang dan bapaknya..”

Lalu Nanda berlari masuk kedalam, dan tak lama kemudian keluar lagi bersama Tanti yang membawa nampan dengan beberapa gelas teh hangat.

“Silahkan, mbak Mirah,” sapa Tanti.

“Iya dik.. terimakasih.”

“Lha kalian belum berkenalan. Ini anakku nak Mirah, namanya Tanti, ini mbak Mirah, sahabatnya ibu, nduk.”

“Iya, selamat datang digubug kami, mbak Mirah.”

“Aduh, rumah begini cantik dan asri. Ini istana dik Tanti.”

“Ahh.. mbak Mirah bisa saja.”

“Iya dik, rumah adalah istana, yang penting kita bisa menikmati dan tinggal  dengan nyaman,” kata Mirah dengan bijak.

Pri yang sedari tadi bengong hanya mendengarkan apa yang dikatakan Miran. Mirah memang tampak dewasa.. Walau umurnya kira-kira tak begitu jauh dari Tanti, tapi ia tampak lebih dewasa, baik dalam sikap maupun bicara. Tapi ia sangat takjub dengan kejadian yang dialaminya. Nanda yang menemukan sosok ibu dari seorang Palupi, mempertemukannya dengan Mirah sebagai pembantu Palupi, lalu kakak perempuannya ingin menjodohkannya dengan seseorang yang ternyata Mirah. Apakah Allah memang mengatur hidupnya sedemikian rupa untuk mempertemukannya dengan jodohnya? Tapi jodohnya? Apakah Mirah sudah pasti mau menikah dengan dirinya? Ini masih menjadi teka-teki baginya. Tampaknya Suprih belum mengatakan apa-apa  kepada Mirah tentang keinginannya menjodohkannya dengan dirinya.

“Pri, kok kamu diam saja, ajak bicara dong, nak Mirah..”

“Iya yu, aku kaget tadi.. ternyata pernah ketemu.”

“Saya juga kaget bu, tidak mengira kalau pak Pri ini adiknya bu Suprih.”

“Kok pak lagi sih nak, mas Pri.. gitu saja. Adikku ini kan masih muda.”

“Pak itu kan sebutan untuk menghormati bu..”

“Tapi kelihatan tidak akrab, gitu lho. Ya kan Pri.”

“Iya mbak, nggak apa-apa panggil saya mas Pri.”

“Baiklah, mas Pri..” kata Mirah sambil tersenyum.”

“Naa, begitu lebih enak.””Oh iya, mbak Tanti, selamat ya, atas kelulusannya. Baru tadi malam bu Suprih mengatakannya.

“Iya mbak, memang baru kemarin, terimakasih banyak.”

“mBak Tanti.. hapenya bungi tuuh..” teriak Nanda tiba-tiba.

Tanti berlari kebelakang, mengambil ponsel yang terletak dimeja dapur.

“Tanti..” suara dari seberang terdengar begitu ponsel diangkat.

“Mas Danang?”

“Iya, aduuh, apa kabar pendadaran kemarin? Lolos kan?”

“Alhamdulillah mas, atas do’a mas.”

“Horeee... aku ikut senang, Tanti. Kapan wisuda?”

“Bulan depan mas, in shaa Allah.”

“Jangan lupa, aku ikut menghadiri lho ya.”

“Iya, terimakasih banyak.”

“Tapi sebelumnya aku mau melamar kamu.”

“Aduh, jangan dulu mas..”

“Memangnya kenapa? “

“Mas harus memikirkan dulu masak-masak..”

“Sudah sangat masak Tanti, keburu busuk kalau kelamaan.”

“Memangnya mangga?” kata Tanti sambil tertawa.

“Tanti, jangan bercanda. Pokoknya aku mau bicara sama ibu dan kapan ibu siap datang kemari.”

“Tantiii.. itu pesanan kamu datang..” tiba-tiba bu Suprih berteriak dari depan.

“Sudah dulu ya mas, dirumah lagi ada tamu tuh..”

“Baiklah, nanti aku menelpon lagi.”

Tanti berlari kedepan. Priyambodo membawa nampan besar berisi nasi kuning.

“Kamu pesan ini Tanti?”

“Iya om, eh.. berapa tadi? Saya belum bayar..” kata Tanti.

“Sudah aku bayar.”

“Ya ampun om.. terimakasih ya.” Kata Tanti yang menerima tumpeng nasi kuning itu lalu diletakkannya dimeja.

“Ceritanya Tanti syukuran atas kelulusannya, nak Mirah.”

“Ooh.. alhamdulillah.. “

“Ayo silahkan semuanya, itu untuk tamu-tamu siang ini..” kata Tanti riang.

“Mari nak Mirah.. ayo Pri.. mana Nanda, sini nak.. mau makan nasi kuning?”

“Wah, nasi kuning itu rangkaiannya lengkap sekali ya bu..”

“Iya nak.. ada klengkam.. serundeng, perkedel, telurnya ada dua macam, telur pindang dan tulur rajang, ini ada sambel goreng ati juga.. ayo nak.. “

“Ini piring-piringnya.. silahkan om, mbak Mirah..” kata Tanti yang dengan bersemangat mengambilkan piring dan sendok.

“Aku mau makan sama telur..” teriak Nanda.”

“Sini, yu Mirah ambilkan..” kata Mirah.

“Bu Mirah.. kok yu lagi..”

“Iya bu, sini mas Nanda..”

Meriahnya pertemuan itu membuat hati Pri juga semringah. Rupanya ia cocog dengan pilihan kakak perempuannya. Ia tinggal menunggu, apakah Mirah juga suka?

***

“Ibu, Tanti sudah lulus.” Kata Danang sore itu pada ibunya.

“Tanti... oo.. dia?”

“Iya bu, tadi Danang sudah menelponnya.”

“Lalu... ibu harus bagaimana?”

“Lamar dong bu.. “

“Kamu benar-benar suka sama dia? “

“Danang sangat mencintai dia bu.”

“Ibu tuh nggak percaya, karena kan kamu itu sukanya main-main. Kalau belum-belum ibu melamar, lalu kamu nggak serius, bisa dimarahin orang dong ibu.”

“Danang tidak pernah merasakan yang seperti ini bu. Dia gadis yang luar biasa. Sangat sulit ditaklukkan. Tidak seperti gadis-gadis lain yang begitu Danang dekati langsung lengket. Dia tidak bu , susah sekali, itulah sebabnya Danang suka. Dia akan menjadi isteri yang baik buat Danang.”

“Apa kamu sudah bilang sama kangmasmu Handoko?”

“Belum bu, nanti mas Handoko malah ngeledek Danang. Ibu saja yang bilang.”

“Kamu kan ketemu tiap hari. Ibu harus ketemu kapan. Kalau cuma telephone kan nggak jelas, mosok bicara so’al lamaran kok telponan.”

“Ya sudah, besok Danang mau bicara sama mas Handoko di kantor.”

“Naa.. gitu, nanti kangmasmu bilang apa, baru ngomong sama ibu.”

“Tapi benar ya, ibu nggak menyesal punya menantu Tanti?”

“Semoga seperti yang ibu lihat, dia baik dan sangat santun. “

“Ibu.. semoga Danang tidak salah pilih.”

“Ibu akan bahagia kalau anak-anak ibu bahagia. Seperti berita tentang kangmasmu dan Palupi. Ibu sangat bahagia. Kangmasmu sudah bilang sama ibu bahwa Palupi sudah kembali, dan menjadi isteri yang baik. Ibu senang mendengarnya. Ibu pernah bertemu ketika belanja, dia mencium ibu dan meminta ma’af sambil berlinang air mata.”

“Iya bu, ketika Danang kerumah mas Handoko beberapa hari yang lalu, mbak Lupi sedang menggoreng pisang didapur. Tampaknya memang mbak Lupi sudah berubah.”

“Syukurlah. Ibu belum sempat kesana. Sekarang ini ibu agak malas kemana-mana. Paling-paling menemani simbok belanja lalu pulang, hanya supaya bisa melihat-lihat saja.”

“Ibu memang tidak usah sering kemana-mana, dokter kan juga berpesan kalau ibu harus banyak istirahat? Ibu juga tidak boleh sedih, tidak boleh banyak berfikir. Pokoknya harus senang. Nah, sekarang Danang sudah menemukan calon isteri, ibu harus senang dong.”

“Iya, ibu senang, bicaralah dulu sama kangmasmu, lalu kita bicara bersama.”

***

“Lho, apa ini Rah.. kok ada nasi kuning?”

“Itu bu.. tadi dirumahnya bu Suprih sedang syukuran, putrinya bu Suprih sudah lulus sarjana bu.”

“Oh, yang namanya Tanti itu yu?”

“Iya bu, atas do’a ibu, saya sudah lega, anak saya sudah selesai sekolah.”

“Ikut senang yu Suprih, aduh tapi jadi nih bulan depan yu Suprih mau keluar?”

“Bagaimana lagi bu, itu permintaan anak saya. Kalau saya nggak nurut nanti dia kecewa.”

“Ya yu, aku bisa mengerti. Tapi sekali-sekali juga harus main kesini ya yu, nanti kami semua pasti kangen. Kalau ada waktu, aku juga mau kerumah yu Suprih.”

“Terimakasih banyak bu, pasti saya tidak akan melupakan keluarga ini.”

“Enak nasi kuningnya, siapa yang masak yu?”

“Itu anak saya yang pesan bu, mana sempat masak sendiri..?”

“Oh.. kirain yu Suprih sama Mirah sempat masak.”

“Tidak bu, kami datang , tidak lama lalu pesanan Tanti juga datang. Jadi langsung makan. Itu saya sisihkan buat ibu sama bapak.”

“Maaas.. ada nasi kuning nih.. Oh nggak deh, saya ambilkan saja dipiring, nanti kami makan diteras.”

“Biar saya siapkan bu.” kata Mirah.

“Ya Rah, baiklah, kalau untuk Bintang nggak usah pakai sambel gorengnya , kelihatannya pedas, aku yang suka.”

“Iya bu, biar nanti mas Bintang sama saya. Ibu tunggu didepan, nanti saya bawakan kesana.”

“Oke, Rah..”

Handoko ikut menikmati nasi kuning dengan suka cita.

“Ikut bersyukur untuk yu Suprih, sekarang pasti sudah lega, anaknya sudah selesai. Oh iya, kok kita lupa menelpon Widi, bukankah Widi juga pendadaran? Apa jangan-jangan dia temannya anak yu Suprih ya.”

“Coba saja mas telpon Widi..”

“Aku jadi ingat belum sempat ketemu Ryan. “

“Ya temuin cepet mas, pasti om Tarman menunggu.”

“Harusnya tadi sekalian ya..”

“Hm, Bintang capek, seharian nggak pulang.”

“Kalau begitu sekarang saja, kamu mau ikut?”

“Nggak ah.. “

“Kalau mau ikut nggak usah sungkan..” kata Handoko sambil tersenyum nakal.

“Mas Handoko maunya apa sih.. nggak suka aku..”

“Aku kan cuma bercanda, serius amat..”

***

“Mas Ryan, aku mau bicara,” kata Handoko ketika sudah ketemu Ryan.

“Iya mas, aku berharap mas Handoko membawa kabar baik. Tentang hubungan saya sama Widi kan?”

“Benar, aku sudah bertemu om Tarman dan bicara  banyak.”

“Iya mas, bapak bilang apa?”

“Tampaknya ada ganjalan dihati om Tarman pada mas Ryan.”

“Apa ya mas, saya kan tidak kenal sebelumnya.”

“Tapi om Tarman kenal sama bapak mas Ryan, pak Kamto.”

“Oh ya? Gimana ceritanya?”

Lalu Handoko mengatakan apa yang dibicarakan dengan pak Tarman beberapa hari yang lalu. Dan Ryan sangat terkejut mendengarnya.

“Mas, sungguh saya tidak mengerti tentang perjodohan itu. Dan hubungan saya dengan Palupi hanya teman biasa. Memang dekat, tapi tidak ada hubungan cinta, apalagi sampai mau menikah sama  dia. Omongan tetangga itu hanya karena sering melihat saya bersama Palupi. Waktu itu saya masih miskin mas, belum bekerja, kemana-mana naik sepeda motor butut punya almarhum bapak saya. Mana mau Palupi sama saya?”

“Ya.. Palupi juga sudah mengatakannya.”

“Waktu bapak meninggal Palupi memang melayat. Tapi saya tidak tahu kalau bapaknya Widi ada diantara para pelayat. Sungguh saya tidak pernah mengenal sebelumnya. Mungkin karena bapak saya bersahabat dengan pak Tarman sa’at masih dikota ini dan saya masih kecil. Lalu bapak dipindahkan di Malang sampai ibu meninggal disana, dan saya kemudian kembali kemari karena harus kuliah disini. Ketika kembali kemari , tak lama kemudian bapak meninggal. Jadi saya tidak tahu tentang persahabatan itu.

“Berarti sebelum meninggal, bapak tidak sempat berpesan apa-apa?”

“Tidak, bapak stroke dan tidak bisa bicara seminggu sebelum  meninggal.”

“Ada kesalah pahaman disini, dan om Tarman sudah terbawa emosinya sejak mendengar dari tetangga bahwa mas Ryan sudah memiliki calon isteri. Lalu om Tarman mengira setelah mas Ryan putus baru mau mendekati Widi.”

“Sedih mendengar cerita mas Handoko,” kata Ryan pilu.

“Jangan sedih, kesalah pahaman ini harus diluruskan.”

“Apa yang harus saya lakukan?”

“Datanglah kerumah om Tarman dan ceritakan semuanya.”

“Benarkah nanti bapak mau menerima saya? Takut diusir mas.”

“Tidak, begitu datang mas Ryah harus bilang bahwa mau meminta ma’af dan ingin menjelaskan semuanya.”

“Baiklah mas, saya memang harus berani. Terimakasih banyak ya mas.”

***

“Nak Mirah..” kata Suprih malam harinya

“Ya bu..”

“Bagaimana menurut nak Mirah.. adikku Pri itu lho..”

“Lha bagaimana apanya bu?”

“Orangnya baik atau tidak?”

“Yaa.. baik sih bu. Memangnya kenapa..”

“Aduuh.. nak Mirah kok nggak ngerti-ngerti juga sama maksudku ya,” kata batin bu Suprih.

“Heran juga, mas Nanda kok ya mau saya suapin. Ingat kalau lagi bersama mas Bintang.”

“Sesungguhnya saya punya maksud yang baik nak Mirah.”

“Maksud apa ya bu?”

“Bagaimana kalau.. kalau.. Pri suka sama nak Mirah?”

Mirah terkejut. Sesa’at ia tak bisa berkata-kata. Ia sibuk mencerna arti kata ‘suka’ yang diucapkan Suprih.

“Nak Mirah.. bagaimana?” ulang Suprih.

“Eh.. apa bu?”

“Pri itu seorang duda, saya kasihan sama dia. Anaknya juga membutuhkan seorang ibu. Saya melihat nak Mirah itu wanita yang sangat baik dan penuh kasih sayang. Saya ingin nak Mirah menjadi ipar saya,” akhirnya Suprih bicara terus terang, dan semakin mengejutkan Mirah.

***

Besok lagi ya.

 

Monday, December 28, 2020

SANG PUTRI 35

SANG PUTRI  35

(Tien Kumalasari)

 

Handoko menatap pak Tarman lekat-lekat. Ryan pernah menyakiti om nya? Kapan pernah bertemu sebelumnya?

“Kamu pasti tidak percaya.”

“Saya tidak mengerti om.”

“Aku mau cerita, supaya kamu mengerti. Widi itu hanya menggenggam cintanya. Tidak tahu siapa orang yang dicintainya.”

Handoko menunggu tanpa menjawab sepatah katapun.

"Aku punya sahabat. Pak Kamto namanya. Kami sama-sama duda, setelah isteri masing-masing meninggal hampir bersamaan di tahun yang sama. Dia punya anak laki-laki, aku punya anak perempuan. Bertahun-tahun kami tak pernah ketemu, karena ia tinggal dikota yang berbeda. Tapi menjelang meninggalnya, kami dipertemukan kembali. Dia sudah sakit parah ketika mengatakan ingin berbesan denganku. Aku setuju. Dia bilang juga akan mengatakan tentang perjodohan itu kepada anak laki-lakinya. Ya Ryan itu anaknya.  Aku juga belum pernah bertemu Ryan ketika sudah dewasa. Aku hanya mengenal fotonya. Sa’at aku melayat ketika dia meninggal, aku ingin bertemu Ryan dan mengatakan tentang pesan almarhum ayahnya. Tapi sa’at itu aku melihat Ryan sedang digandeng seorang gadis cantik. Sebelum aku menyapanya, seorang yang duduk disampingku menunjuk ke arah Ryan dan mengatakan : “ Itu satu-satunya putera pak Kamto, namanya Ryan.”

“Lalu siapa gadis itu?”

“Itu calon isterinya.”

Aku terkejut sekali. Mengapa tiba-tiba Ryan sudah punya calon isteri.  Lalu aku tak jadi menemuinya, dan pergi begitu saja.  Sakit sekali hatiku . Yang disebut calon isteri Ryan itu ya Palupi isterimu itu le.”

“Palupi?”

“Ya.. entah mengapa.. lalu kemudian Palupi menjadi isteri kamu.”

“Yah, mungkin yang namanya jodoh om. Lalu apa yang salah dengan kejadian itu?”

“Yang salah adalah, setelah putus dengan Palupi, kok Ryan malah memacari anakku. Siapa yang tidak kesal? Dulu menolak dijodohkan, memilih gadis lain. Tapi setelah putus dengan gadis itu, dia memacari anakku. Tidak, aku tidak mau  anakku dikesampingkan kemudian dipungut lagi begitu saja. Banyak laki-laki baik didunia ini, bukan hanya Ryan.”

“Oo...” lalu Handoko kemudian mengerti. Jadi omnya sakit hati, mengira dulu Ryan sudah menolak Widi dan memilih gadis lain, tapi setelah putus dengan gadis itu, baru menoleh kepada Widi lagi. Rupanya om Tarman sakit hati karena kejadian itu.

“Saya bisa mengerti kalau om sakit hati. Tapi apakah om sudah bicara dengan Ryan mengenai semua itu?”

“Aku? Bicara? Nggak ah, nggak mau aku. Anakku perempuan, masa aku harus membicarakan so’al perjodohan itu sama dia. Apalagi setelah aku tahu dia sudah punya calon."

“Bukan begitu,  siapa tahu Ryan tidak mengerti tentang perjodohan itu.”

“Bapaknya bilang bahwa Ryan akan diberi tahu kok.”

“Waktu itu bapaknya Ryan sedang sakit kan? Siapa tahu tidak sempat memberitahukannya pada Ryan.”

Pak Tarman diam. Mungkin juga Ryan tidak tahu.

“Dan tentang Palupi sebagai calon isteri Ryan, saya kira juga mungkin hanya issue tetangga saja. Ketika saya melamar Palupi, dia tidak punya pacar kok.”

“Itu kan bisa-bisanya Palupi berbohong. Kan kamu ganteng, perempuan mana yang tidak suka sama laki-laki ganteng?”

“Om bisa saja..” kata Handoko sambil tersenyum.

“Itu benar kan?”

“Begini om, sebaiknya om tidak langsung memvonis Ryan sebagai laki-laki yang ingkar. Saya juga akan bertanya pada Palupi tentang hubungannya dengan Ryan. Katanya sih cuma teman sekolah.”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Pokoknya selama Ryan tidak bisa menerangkan adanya perjodohan itu, jangan harap aku ijinkan dia mendekati anakku.”

“Baiklah om. Om sabar ya, dan jangan dulu memarahi Widi. Kan Widi tidak tahu apa-apa? Kalau om memarahi terus, lalu mengganggu konsentrasinya, sementara dia mau pendadaran lho om. Kalau tidak bisa lulus kan kasihan.”

“Iya, baiklah aku mengerti. Untunglah anaknya lagi tidak ada dirumah, katanya mau beli sayur untuk makan malam. Tapi ya karena Widi tidak ada, kamu tidak aku suguhin minum lho le."

“Tidak usah om, saya dari kantor dan harus segera pulang.”

“Oh, benar.. .benar, kamu memang harus segera pulang. Dan aku senang isteri kamu sekarang baik. Tidak suka keluyuran lagi kan?”

“Tampaknya tidak om. Semoga terus menjadi baik.”

“Iya le, kalau kalian bahagia, om juga ikut senang. Ibumu juga pasti akan senang.”

***

“Tadi Danang kemari, menghabiskan separo piring pisang gorengnya,” kata Palupi sambil melayani minum coklat susu dan pisang goreng yang masih hangat.

“Oh iya, tasku ketinggalan. Syukurlah kalau sudah disusulkan.”

“Tadi om Tarman bilang apa? Tampaknya tentang Widi, sudah dilamar?”

“Justru belum. Sekarang aku mau tanya sama kamu. Apa kamu dulu pernah hampir menjadi isteri Ryan?”

“Apa?” jawab Palupi terkejut.

“Kamu pernah pacaran sama dia, kemudian hampir menjadi isterinya, lalu putus gara-gara aku?”

“Tidak.. bukan begitu. Kami teman, lalu dekat, tidak pacaran sih.. cuma sahabatan, lalu dia pergi keluar kota. Dia tidak berani pacaran karena belum bekerja. Ketika ayahnya meninggal aku juga datang. Tapi ya cuma begitu-begitu saja.”

“Pasti adalah rasa cinta ketika itu..” kata Handoko sedikit cemburu.

“Nggak lucu ah, itu kan masa lalu, dan kami tidak pacaran kok.”

“Baiklah, masa lalu.. “ kata Handoko sambil menggigit pisang goreng yang sejak tadi dipegangnya.

“Yaah.. aku tuh nanya so’al apa yang dibicarakan om Tarman, kok kamu malah mengungkit masa lalu yang nggak penting,” kata Palupi cemberut.

“Aku khawatir saja, barangkali cinta itu masih ada..”

“Nggak ada, cinta aku cuma sama kamu...”

“Bohooong..” kata Handoko agak keras.

“Kok nggak percaya sih...”

“Bapak sama ibu berantem?” tiba-tiba Bintang mendekat, dan menatap ibunya yang cemberut. Agak kaget mendengar suara keras bapaknya.

“Oh.. kata siapa bapak sama ibu berantem..”

“Tuh, ibu mau menangis..”

“Nggaaak.. mana.. ?” kata Handoko yang kemudian memeluk pundak Palupi.

“Ibu mau menangis?”

“Tidak.. kata siapa? Ini merah karena kena debu, sayang.”

Lalu Bintang berlari lagi kebelakang.

“Benar kamu mau menangis?” tanya Handoko sambil menyibakkan anak rambut Palupi yang berjuntai di kening.

Palupi tak menjawab. Ia tak ingin melukai perasaan suaminya. Benar, bahwa  sesungguhnya dia pernah mencintai Ryan. Ryan tidak menanggapinya karena tahu bahwa Palupi lebih menyukai laki-laki yang banyak harta. Itulah sebabnya dia memilih Handoko. Namun sekarang Palupi sudah berubah. Dia hanya  ingin mengabdi pada keutuhan rumah tangganya. Dan dengan rela meninggalkan kebiasaan hura-hura dengan ibu-ibu yang lainnya.

Kehidupan sekarang ini terasa lebih nyaman. Palupi bahagia menjalaninya. Dia menyesal, terlambat menyadarinya, dan hampir saja rumah tangganya berantakan.

“Percayalah sama aku,” bisiknya lirih.

“Baiklah, aku percaya,” kata Handoko sambil mencium rambut isterinya. Rambut yang selalu wangi walau tubuhnya berpeluh.

“Mm.. kembali ke om Tarman, intinya dia menganggap Ryan mengingkari perjodohan yang diikat oleh orang tuanya dan om Tarman.

“Jadi mereka sesungguhnya dijodohkan?”

“Ya, entah Ryan tahu atau tidak, yang pasti om Tarman sakit hati melihat Ryan dekat sama kamu, dan tetangganya mengatakan bahwa kamu adalah calon isterinya.”

“Ah... bohong itu..”

“Baiklah, sekarang aku harus ketemu Ryan dan mengatakan semuanya, karena dia sama sekali tak tahu apa sebabnya om Tarman sangat membencinya. Tapi sungguh lho, aku cemburu sama Ryan,” kata Handoko menggoda isterinya.

“Iihh.. “

“Katakan sekarang, ganteng mana aku sama Ryan?”

“Ih mas Handoko kayak remaja yang lagi pacaran saja. Sudah tua, tahu.”

Lalu handoko terbahak sambil mengacak rambut isterinya.

***

Begitu sampai dirumah, Suprih langsung menarik tangan anaknya, karena buru-buru ingin tahu mengapa Tanti tiba-tiba ingin ketemu.

“Ada apa nduk, kamu kan nggak sakit?”

“Nggak bu, lihat, Tanti sangat sehat..”

“Lalu ada apa, tiba-tiba ingin ketemu ibu?”

“Bu, aku tuh bingung. Ada salah satu pimpinan aku dikantor, bilang suka sama aku.”

“Lho.. kok bingung kenapa?”

“Tiba-tiba saja aku diajak makan di rumahnya, ketemu sama ibunya.”

“Ibunya baik kah?”

“Ibunya baik bu, tapi kan aku takut. Mereka itu keluarga kaya, sedangkan kita ini hanya orang biasa. Nanti kalau akhirnya mereka menyia-nyiakan aku bagaimana?”

“Iya nduk, kita ini menjadi orang tak punya, harus bisa membawa diri. Kalau kamu ragu-ragu ya jangan sanggup. Bukan karena mereka kaya lalu kamu merasa bangga dan menerimanya dengan suka cita."

“Bukan bu, itu sebabnya aku bicara sama ibu. Jadi aku bisa menentukan langkah selanjutnya. Menerima atau menolak. Tapi dia itu nekat banget bu, setengah memaksa agar aku mau menerima.”

“Pikirkan masak-masak. Yakinlah bahwa dia benar-benar suka dan mau menerima kamu dan keluargamu yang tak punya ini.”

“Iya bu, aku juga belum mengatakan kalau suka sama dia.”

“Tapi sebenarnya kamu suka?”

“Dia ganteng bu..” kata Tanti malu-malu.

“Wee.. lha.. ternyata..”

“Habis aku harus begaimana bu?”

“Yakinkan hati kamu bahwa dia bersungguh-sungguh. Hanya itu pesan ibu. Jangan sampai kamu dikira suka karena dia kaya.”

“Iya bu, aku tahu.”

“Ibu nanti tidur disini kan? Ini sudah hampir maghrib.”

“Iya, tadi aku juga disuruh menginap karena sudah sore.”

“Tapi bulan depan ibu sudah harus berhenti ya bu, jangan bekerja lagi.”

“Iya, ibu sudah bilang kalau bulan depan mau berhenti.”

***

 “Besok saya pamit boleh?”

“Pamit kemana?”

“Pendadaran mas..”

“Oh iya, aku lupa.. tapi ingat ya,  nanti kalau wisuda aku harus ikut hadir.”

“Do’akan lulus dulu dong.”

“Iya pastilah, masa sih nggak dido’akan.. aku suka dong kalau calon isteriku sudah lulus dan jadi sarjana.”

“Iih.. calon isteri? Sejak kapan ?”

“Sejak aku bilang cinta sama kamu.”

“Tapi saya belum pernah mengatakan cinta lho.”

“Pasti kamu akan mengatakannya, selama ini kan sudah dikatakan didalam hati. Ya nggak?”

“Ge er..”

“Dari dulu bilang begitu.”

“Emang iya..”

“Ah, aku tahulah, perempuan sukanya pura-pura..”

“O iya aku lupa, mas Danang kan sudah sering bergaul dengan banyak perempuan.”

“Eiitt... kok gitu..”

“Kan aku sudah tahu..”

“Itu.. si galak hanya memanas-manasi kamu.. jangan percaya.”

“Masa aku harus lebih percaya pada orang yang belum lama aku kenal?”

“Yaaah.. kan sudah berbulan-bulan..”

“Aku kenal sama Widi sudah bertahun-tahun..”

“Tapi dia itu kelewat cerewet.”

“Tapi dia sahabat terbaikku..”

“Baiklah, sekarang sa’atnya makan siang, ayuk ikut.”

“Nggak mas, sungkan saya, saya makan di kantin saja.”

“Kok gitu, nanti ibu nanya, seperti kemarin itu ibu nanya lho. Kok Tanti nggak diajak makan disini lagi sudah berhari-hari... gitu.”

“Masa?”

“Nggak percaya.. coba saja nanti kalau ketemu kamu tanya sama ibu.”

“Aku takut mas.. “

“Mengapa takut? Ibuku kan tidak menggigit?”

“Mas dulu ketika mengajak aku kan bilang cuma sekali itu saja.”

“Sekarang aku juga mau bilang, sekali ini saja..”

Tanti tertawa.

“Mas, sudahlah, mas pulang sendiri saja, saya sudah terlanjur janjian makan bareng dikantin sama teman.”

“Siapa?”

“Teman kerja, orang gudang juga.”

“Tapi besok mau ya?”

“Saya nggak janji. Saya cuma ingin mas memikirkan niat mas itu masak-masak. Saya tak ingin kemudian ada sesal dan hidup saya akan menderita.”

“Tidak Tanti, aku janji tidak akan menyesal. Nanti selesai ujian aku akan langsung melamar kepada orang tua kamu.”

“Minta pada ibunya mas, agar memikirkan juga masak-masak. Sudah mas, saya mau ke kantin dulu, takutnya sudah ditungguin,” kata Tanti sambil melangkah pergi.

Danang menatap punggung semampai dari gadis yang benar-benar membuatnya tergila-gila itu. Dalam hati dia berjanji tidak akan melepaskannya.

***

“Bu Suprih beneran nih, bulan depan akan berhenti?” tanya Mirah ketika keduanya sedang beristirahat siang itu.

“Iya nak, habis bagaimana lagi, Tanti melarang aku terus-terusan bekerja.”

“Iya sih bu, memang seharusnya ibu beristirahat,  mengurus rumah dan memasak yang enak untuk puteri tercinta.”

“Hari ini dia katanya ujian nak, do’akan lulus ya.”

“Iya bu, pasti saya do’akan.”

“Jangan lupa besok Minggu ikut kerumahku ya nak, dari dulu belum kesampaian, nanti keburu nggak kenal sama anakku.”

“Iya bu, mau.. nanti kita pamit saja sama ibu.”

“Nah, gitu dong nak. Supaya kalau pada suatu waktu nanti nak Mirah ingin ketemu , sudah tahu dimana gubugnya bu Suprih.”

“Iya bu, benar.”

“Lagian sekarang ibu lebih suka memasak sendiri, ya kan, jadi pekerjaan nak MIrah juga tidak begitu berat.”

“Nggak apa-apa bu, kalau so’al pekerjaan. Sebelum ada bu Suprih  saya juga mengerjakan semuanya sendiri.”

“Iya ya nak, nak Mirah memang hebat, bisa mengurus semuanya dengan baik.”

“Sekarang juga sudah banyak berkurang, karena mas Bintang sudah dekat dengan ibunya.”

“Syukur ya nak, aku ikut senang.”

“Siapa yang ingin liburan besok Minggu?” tiba-tiba Palupi masuk kedapur untuk mengambil air minum.

“Mana bu, saya ambilkan,” kata Mirah.

“Sudah, biar aku saja, kan cuma mengambil air? Tapi ngomong-ngomong besok Minggu pada mau liburan ya?”

“Ibu mendengar rupanya. Iya bu, bukan liburan, saya ingin main kerumahnya bu Suprih, kalau nggak sekarang kapan lagi, keburu bu Suprih keluar dari sini bu,” kata Mirah.

“Iya benar, nggak apa-apa, main saja kesana, nanti kalau aku juga ingin main kesana kamu bisa jadi penunjuk jalan, ya kan Rah?”

“Ah, ibu, mana mau main ke gubugnya Suprih,” kata Suprih tersipu.

“Lho.. boleh tidak kalau aku ingin main kesana?”

“Ya boleh sih bu, terimakasih banyak kalau ibu mau kesana.”

“Iya, pasti aku kesana. Tapi besok Minggu nggak usah ngajak Bintang ya, aku mau mengajaknya jalan-jalan sama bapak.”

“Iya bu.

***

Dan Minggu itu Mirah benar-benar pergi bersama Suprih dengan naik angkot.

“Tapi rumahku jelek lho nak, benar-benar gubug,” kata Suprih ketika mereka sudah turun dari angkot dan berjalan kearah rumah bu Suprih.

“Bu Suprih gimana sih, kan aku bukan butuh rumahnya, tapi butuh pemilik rumahnya.”

“Semoga Tanti sudah siap menerima tamu istimewa,” gumam bu Suprih.

“Aduuh.. bu Suprih.. tamu istimewa itu apa, ada-ada saja.”

Ketika kemudian bu Suprih menggandeng tangan Mirah untuk memasuki sebuah halaman kecil,  Mirah melihat ada sebuah mobil box diparkir disana.

Mirah agak terkejut. Ia seperti mengenali mobil itu.

“Ada.. tamu rupanya bu.”

“Oh, bukan.. itu adikku nak.”

***

Besok lagi ya

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...