SANG PUTRI 36
(Tien Kumalasari)
“Adiknya bu Suprih?” tanya Mirah bingung.
“Iya, kami cuma dua bersaudara. Ayo masuklah, nanti aku kenalkan sama adikku juga, pasti mereka sudah didalam."
Mirah mengikuti Suprih masuk ke rumah. Lalu terdengar teriakan.
“Yu Miraaaah !!”
Mirah terkejut, demikian juga Tanti dan Suprih. Kok Nanda sudah kenal Mirah?
Lalu dengan terpana dipandanginya dua orang yang sudah dikenalnya. Priyambodo dan Nanda. Mereka bertatapan dengan bingung. Sama-sama bingung. Mirah bingung ternyata Pri adiknya bu Supri. Pri bingung ternyata yang mau dijodohkan dengannya adalah Mirah. Tapi berdebar hati Pri. Hari itu Mirah sedikit berdandan, pakai bedak, pakai baju yang lebih bagus, tidak seperti biasanya kalau dia melihatnya dirumah Palupi. Wajah cantiknya berkilat karena keringat. Tanpa bedak dan hanya dengan baju rumahan yang sederhana.
“Kalian sudah kenal?” tanya Suprih heran.
“Sudah yu, ini mbak Mirah, aku kenal di rumahnya mbak Palupi.”
Mirah mengangguk. Terbayang ‘dosa-dosa’ yang telah diperbuatnya untuk Pri. Menyiram teh panas , mengusir dengan kata-kata yang membuatnya panas. Tiba-tiba Mirah merasa malu telah melakukan semua ‘dosa’ itu. Apakah ia harus mengakuinya agar berkurang dosanya?
“Ya ampuun.. nak Mirah, ya dia inilah adikku, dan Nanda ini keponakanku. Memang usia kami terpaut jauuuh, sehingga aku sudah setengah tua, tapi dia masih muda. Tapi biarpun muda dia ini seorang duda lho nak. Duda beranak satu,” kata Suprih mengenalkan adiknya dan statusnya sementara Mirah sudah tahu.
“Ma’af, pak Pri.. “ kata Mirah pelan.
“Lho, kenapa harus minta ma’af, mbak Mirah tidak salah apa-apa kok.”
“Manggilnya mbok jangan pak gitu nak, mas gitu saja kan lebih enak.”
“Biasanya panggil pak Pri.”
“Mulai sekarang dirubah dong.”
“Mana ibu yu?” tanya Nanda tiba-tiba.
“Eh, Nanda, mulai sekarang tidak boleh memanggil yu, panggil dia ibu.”
“Kan ada ibu yang satunya?”
“Ini juga ibu. Panggil bu Mirah.”
“Bu Mirah..”
Mirah tersipu.
“Tidak apa-apa ya mas Nanda.. “
“Jangan, nanti menjadi kebiasaan. Nak Mirah seumur ibunya Nanda almarhumah. Masa dipanggil yu?”
“Bu Mirah...” panggil Nanda sambil menatap Mirah tak berkedip.
“Ya, sayang..”
“Mana ibu?”
“Ibu sedang jalan-jalan sama mas Bintang dan bapaknya..”
Lalu Nanda berlari masuk kedalam, dan tak lama kemudian keluar lagi bersama Tanti yang membawa nampan dengan beberapa gelas teh hangat.
“Silahkan, mbak Mirah,” sapa Tanti.
“Iya dik.. terimakasih.”
“Lha kalian belum berkenalan. Ini anakku nak Mirah, namanya Tanti, ini mbak Mirah, sahabatnya ibu, nduk.”
“Iya, selamat datang digubug kami, mbak Mirah.”
“Aduh, rumah begini cantik dan asri. Ini istana dik Tanti.”
“Ahh.. mbak Mirah bisa saja.”
“Iya dik, rumah adalah istana, yang penting kita bisa menikmati dan tinggal dengan nyaman,” kata Mirah dengan bijak.
Pri yang sedari tadi bengong hanya mendengarkan apa yang dikatakan Miran. Mirah memang tampak dewasa.. Walau umurnya kira-kira tak begitu jauh dari Tanti, tapi ia tampak lebih dewasa, baik dalam sikap maupun bicara. Tapi ia sangat takjub dengan kejadian yang dialaminya. Nanda yang menemukan sosok ibu dari seorang Palupi, mempertemukannya dengan Mirah sebagai pembantu Palupi, lalu kakak perempuannya ingin menjodohkannya dengan seseorang yang ternyata Mirah. Apakah Allah memang mengatur hidupnya sedemikian rupa untuk mempertemukannya dengan jodohnya? Tapi jodohnya? Apakah Mirah sudah pasti mau menikah dengan dirinya? Ini masih menjadi teka-teki baginya. Tampaknya Suprih belum mengatakan apa-apa kepada Mirah tentang keinginannya menjodohkannya dengan dirinya.
“Pri, kok kamu diam saja, ajak bicara dong, nak Mirah..”
“Iya yu, aku kaget tadi.. ternyata pernah ketemu.”
“Saya juga kaget bu, tidak mengira kalau pak Pri ini adiknya bu Suprih.”
“Kok pak lagi sih nak, mas Pri.. gitu saja. Adikku ini kan masih muda.”
“Pak itu kan sebutan untuk menghormati bu..”
“Tapi kelihatan tidak akrab, gitu lho. Ya kan Pri.”
“Iya mbak, nggak apa-apa panggil saya mas Pri.”
“Baiklah, mas Pri..” kata Mirah sambil tersenyum.”
“Naa, begitu lebih enak.””Oh iya, mbak Tanti, selamat ya, atas kelulusannya. Baru tadi malam bu Suprih mengatakannya.
“Iya mbak, memang baru kemarin, terimakasih banyak.”
“mBak Tanti.. hapenya bungi tuuh..” teriak Nanda tiba-tiba.
Tanti berlari kebelakang, mengambil ponsel yang terletak dimeja dapur.
“Tanti..” suara dari seberang terdengar begitu ponsel diangkat.
“Mas Danang?”
“Iya, aduuh, apa kabar pendadaran kemarin? Lolos kan?”
“Alhamdulillah mas, atas do’a mas.”
“Horeee... aku ikut senang, Tanti. Kapan wisuda?”
“Bulan depan mas, in shaa Allah.”
“Jangan lupa, aku ikut menghadiri lho ya.”
“Iya, terimakasih banyak.”
“Tapi sebelumnya aku mau melamar kamu.”
“Aduh, jangan dulu mas..”
“Memangnya kenapa? “
“Mas harus memikirkan dulu masak-masak..”
“Sudah sangat masak Tanti, keburu busuk kalau kelamaan.”
“Memangnya mangga?” kata Tanti sambil tertawa.
“Tanti, jangan bercanda. Pokoknya aku mau bicara sama ibu dan kapan ibu siap datang kemari.”
“Tantiii.. itu pesanan kamu datang..” tiba-tiba bu Suprih berteriak dari depan.
“Sudah dulu ya mas, dirumah lagi ada tamu tuh..”
“Baiklah, nanti aku menelpon lagi.”
Tanti berlari kedepan. Priyambodo membawa nampan besar berisi nasi kuning.
“Kamu pesan ini Tanti?”
“Iya om, eh.. berapa tadi? Saya belum bayar..” kata Tanti.
“Sudah aku bayar.”
“Ya ampun om.. terimakasih ya.” Kata Tanti yang menerima tumpeng nasi kuning itu lalu diletakkannya dimeja.
“Ceritanya Tanti syukuran atas kelulusannya, nak Mirah.”
“Ooh.. alhamdulillah.. “
“Ayo silahkan semuanya, itu untuk tamu-tamu siang ini..” kata Tanti riang.
“Mari nak Mirah.. ayo Pri.. mana Nanda, sini nak.. mau makan nasi kuning?”
“Wah, nasi kuning itu rangkaiannya lengkap sekali ya bu..”
“Iya nak.. ada klengkam.. serundeng, perkedel, telurnya ada dua macam, telur pindang dan tulur rajang, ini ada sambel goreng ati juga.. ayo nak.. “
“Ini piring-piringnya.. silahkan om, mbak Mirah..” kata Tanti yang dengan bersemangat mengambilkan piring dan sendok.
“Aku mau makan sama telur..” teriak Nanda.”
“Sini, yu Mirah ambilkan..” kata Mirah.
“Bu Mirah.. kok yu lagi..”
“Iya bu, sini mas Nanda..”
Meriahnya pertemuan itu membuat hati Pri juga semringah. Rupanya ia cocog dengan pilihan kakak perempuannya. Ia tinggal menunggu, apakah Mirah juga suka?
***
“Ibu, Tanti sudah lulus.” Kata Danang sore itu pada ibunya.
“Tanti... oo.. dia?”
“Iya bu, tadi Danang sudah menelponnya.”
“Lalu... ibu harus bagaimana?”
“Lamar dong bu.. “
“Kamu benar-benar suka sama dia? “
“Danang sangat mencintai dia bu.”
“Ibu tuh nggak percaya, karena kan kamu itu sukanya main-main. Kalau belum-belum ibu melamar, lalu kamu nggak serius, bisa dimarahin orang dong ibu.”
“Danang tidak pernah merasakan yang seperti ini bu. Dia gadis yang luar biasa. Sangat sulit ditaklukkan. Tidak seperti gadis-gadis lain yang begitu Danang dekati langsung lengket. Dia tidak bu , susah sekali, itulah sebabnya Danang suka. Dia akan menjadi isteri yang baik buat Danang.”
“Apa kamu sudah bilang sama kangmasmu Handoko?”
“Belum bu, nanti mas Handoko malah ngeledek Danang. Ibu saja yang bilang.”
“Kamu kan ketemu tiap hari. Ibu harus ketemu kapan. Kalau cuma telephone kan nggak jelas, mosok bicara so’al lamaran kok telponan.”
“Ya sudah, besok Danang mau bicara sama mas Handoko di kantor.”
“Naa.. gitu, nanti kangmasmu bilang apa, baru ngomong sama ibu.”
“Tapi benar ya, ibu nggak menyesal punya menantu Tanti?”
“Semoga seperti yang ibu lihat, dia baik dan sangat santun. “
“Ibu.. semoga Danang tidak salah pilih.”
“Ibu akan bahagia kalau anak-anak ibu bahagia. Seperti berita tentang kangmasmu dan Palupi. Ibu sangat bahagia. Kangmasmu sudah bilang sama ibu bahwa Palupi sudah kembali, dan menjadi isteri yang baik. Ibu senang mendengarnya. Ibu pernah bertemu ketika belanja, dia mencium ibu dan meminta ma’af sambil berlinang air mata.”
“Iya bu, ketika Danang kerumah mas Handoko beberapa hari yang lalu, mbak Lupi sedang menggoreng pisang didapur. Tampaknya memang mbak Lupi sudah berubah.”
“Syukurlah. Ibu belum sempat kesana. Sekarang ini ibu agak malas kemana-mana. Paling-paling menemani simbok belanja lalu pulang, hanya supaya bisa melihat-lihat saja.”
“Ibu memang tidak usah sering kemana-mana, dokter kan juga berpesan kalau ibu harus banyak istirahat? Ibu juga tidak boleh sedih, tidak boleh banyak berfikir. Pokoknya harus senang. Nah, sekarang Danang sudah menemukan calon isteri, ibu harus senang dong.”
“Iya, ibu senang, bicaralah dulu sama kangmasmu, lalu kita bicara bersama.”
***
“Lho, apa ini Rah.. kok ada nasi kuning?”
“Itu bu.. tadi dirumahnya bu Suprih sedang syukuran, putrinya bu Suprih sudah lulus sarjana bu.”
“Oh, yang namanya Tanti itu yu?”
“Iya bu, atas do’a ibu, saya sudah lega, anak saya sudah selesai sekolah.”
“Ikut senang yu Suprih, aduh tapi jadi nih bulan depan yu Suprih mau keluar?”
“Bagaimana lagi bu, itu permintaan anak saya. Kalau saya nggak nurut nanti dia kecewa.”
“Ya yu, aku bisa mengerti. Tapi sekali-sekali juga harus main kesini ya yu, nanti kami semua pasti kangen. Kalau ada waktu, aku juga mau kerumah yu Suprih.”
“Terimakasih banyak bu, pasti saya tidak akan melupakan keluarga ini.”
“Enak nasi kuningnya, siapa yang masak yu?”
“Itu anak saya yang pesan bu, mana sempat masak sendiri..?”
“Oh.. kirain yu Suprih sama Mirah sempat masak.”
“Tidak bu, kami datang , tidak lama lalu pesanan Tanti juga datang. Jadi langsung makan. Itu saya sisihkan buat ibu sama bapak.”
“Maaas.. ada nasi kuning nih.. Oh nggak deh, saya ambilkan saja dipiring, nanti kami makan diteras.”
“Biar saya siapkan bu.” kata Mirah.
“Ya Rah, baiklah, kalau untuk Bintang nggak usah pakai sambel gorengnya , kelihatannya pedas, aku yang suka.”
“Iya bu, biar nanti mas Bintang sama saya. Ibu tunggu didepan, nanti saya bawakan kesana.”
“Oke, Rah..”
Handoko ikut menikmati nasi kuning dengan suka cita.
“Ikut bersyukur untuk yu Suprih, sekarang pasti sudah lega, anaknya sudah selesai. Oh iya, kok kita lupa menelpon Widi, bukankah Widi juga pendadaran? Apa jangan-jangan dia temannya anak yu Suprih ya.”
“Coba saja mas telpon Widi..”
“Aku jadi ingat belum sempat ketemu Ryan. “
“Ya temuin cepet mas, pasti om Tarman menunggu.”
“Harusnya tadi sekalian ya..”
“Hm, Bintang capek, seharian nggak pulang.”
“Kalau begitu sekarang saja, kamu mau ikut?”
“Nggak ah.. “
“Kalau mau ikut nggak usah sungkan..” kata Handoko sambil tersenyum nakal.
“Mas Handoko maunya apa sih.. nggak suka aku..”
“Aku kan cuma bercanda, serius amat..”
***
“Mas Ryan, aku mau bicara,” kata Handoko ketika sudah ketemu Ryan.
“Iya mas, aku berharap mas Handoko membawa kabar baik. Tentang hubungan saya sama Widi kan?”
“Benar, aku sudah bertemu om Tarman dan bicara banyak.”
“Iya mas, bapak bilang apa?”
“Tampaknya ada ganjalan dihati om Tarman pada mas Ryan.”
“Apa ya mas, saya kan tidak kenal sebelumnya.”
“Tapi om Tarman kenal sama bapak mas Ryan, pak Kamto.”
“Oh ya? Gimana ceritanya?”
Lalu Handoko mengatakan apa yang dibicarakan dengan pak Tarman beberapa hari yang lalu. Dan Ryan sangat terkejut mendengarnya.
“Mas, sungguh saya tidak mengerti tentang perjodohan itu. Dan hubungan saya dengan Palupi hanya teman biasa. Memang dekat, tapi tidak ada hubungan cinta, apalagi sampai mau menikah sama dia. Omongan tetangga itu hanya karena sering melihat saya bersama Palupi. Waktu itu saya masih miskin mas, belum bekerja, kemana-mana naik sepeda motor butut punya almarhum bapak saya. Mana mau Palupi sama saya?”
“Ya.. Palupi juga sudah mengatakannya.”
“Waktu bapak meninggal Palupi memang melayat. Tapi saya tidak tahu kalau bapaknya Widi ada diantara para pelayat. Sungguh saya tidak pernah mengenal sebelumnya. Mungkin karena bapak saya bersahabat dengan pak Tarman sa’at masih dikota ini dan saya masih kecil. Lalu bapak dipindahkan di Malang sampai ibu meninggal disana, dan saya kemudian kembali kemari karena harus kuliah disini. Ketika kembali kemari , tak lama kemudian bapak meninggal. Jadi saya tidak tahu tentang persahabatan itu.
“Berarti sebelum meninggal, bapak tidak sempat berpesan apa-apa?”
“Tidak, bapak stroke dan tidak bisa bicara seminggu sebelum meninggal.”
“Ada kesalah pahaman disini, dan om Tarman sudah terbawa emosinya sejak mendengar dari tetangga bahwa mas Ryan sudah memiliki calon isteri. Lalu om Tarman mengira setelah mas Ryan putus baru mau mendekati Widi.”
“Sedih mendengar cerita mas Handoko,” kata Ryan pilu.
“Jangan sedih, kesalah pahaman ini harus diluruskan.”
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Datanglah kerumah om Tarman dan ceritakan semuanya.”
“Benarkah nanti bapak mau menerima saya? Takut diusir mas.”
“Tidak, begitu datang mas Ryah harus bilang bahwa mau meminta ma’af dan ingin menjelaskan semuanya.”
“Baiklah mas, saya memang harus berani. Terimakasih banyak ya mas.”
***
“Nak Mirah..” kata Suprih malam harinya
“Ya bu..”
“Bagaimana menurut nak Mirah.. adikku Pri itu lho..”
“Lha bagaimana apanya bu?”
“Orangnya baik atau tidak?”
“Yaa.. baik sih bu. Memangnya kenapa..”
“Aduuh.. nak Mirah kok nggak ngerti-ngerti juga sama maksudku ya,” kata batin bu Suprih.
“Heran juga, mas Nanda kok ya mau saya suapin. Ingat kalau lagi bersama mas Bintang.”
“Sesungguhnya saya punya maksud yang baik nak Mirah.”
“Maksud apa ya bu?”
“Bagaimana kalau.. kalau.. Pri suka sama nak Mirah?”
Mirah terkejut. Sesa’at ia tak bisa berkata-kata. Ia sibuk mencerna arti kata ‘suka’ yang diucapkan Suprih.
“Nak Mirah.. bagaimana?” ulang Suprih.
“Eh.. apa bu?”
“Pri itu seorang duda, saya kasihan sama dia. Anaknya juga membutuhkan seorang ibu. Saya melihat nak Mirah itu wanita yang sangat baik dan penuh kasih sayang. Saya ingin nak Mirah menjadi ipar saya,” akhirnya Suprih bicara terus terang, dan semakin mengejutkan Mirah.
***
Besok lagi ya.