Wednesday, September 30, 2020

BAGAI REMBULAN 26

 

BAGAI REMBULAN  26

(Tien Kumalasari)

 

Dayu terus meronta, lalu ketika Anjas berhasil mencengkeram tangan Dayu, tusuk rambut yang dipegangnya berhasil melukai lengan Anjas, membuatnya menjerit dan melepaskan cengkeramannya. Anjas berguling dilantai, lalu Dayu dengan sekuat tenaga bangkit, berlari kearah pintu..

“Mamaaa...”

Dayu berlari keluar, dan ketika itulah Lusi menangkapnya.

“Mau lari kemana kamu?”

“Biarkan aku pergi... “

“Lalu kamu akan melapor ke polisi?” Lusi tertawa gelak-gelak. Dayu merinding mendengar tawa itu. Ia merasa seperti mendengar auman iblis yang datang dari awang-awang. Tertatih Anjas keluar, darah menetes dari lukanya.

“Ada apa? Kenapa tanganmu?”

“Betina itu melukai aku mama.. hajar dia !!”

Lusi menubruk Dayu seperti banteng terluka. Dayu tetap meronta. Dan tiba-tiba sebuah hantaman keras terdengar. Hantaman itu adalah suara kaca pintu yang dipukul oleh sebuah tongkat dengan kekuatan raksasa.

Sebelum Anjas dan Lusi sadar apa yang terjadi, seorang kakek tua dengan tongkatnya berhasil memukul kepala Lusi, dan membuatnya tersungkur sambil menjerit kesakitan.

Anjas marah sekali, sakit yang terasa dilengannya tak lagi dirasakannya. Ia menubruk kakek tua itu dan memukulnya bertubi-tubi.

Dayu mengambil sebuah kursi pendek yang ada didekatnya, dan memukulkannya ke kepala Anjas, membuatnya tersungkur.

Dayu terkesiap melihat kakek tua itu meringkuk tak bergerak.

“Toloooong...” jerit Dayu.

“Aduh.. bagaimana ini.. aku harus menelpon.. lalu dilihatnya sebuah ponsel di atas meja. Untunglah hidup.. ia menelpon  nomor Aliando.

“Hallo..”

“Liando.. aku Dayu...”

“Dayu, dimana kamu?”

“Disuatu tempat, aku tidak tahu.. cepat kemari Liando.. kakek tua itu tampaknya parah.”

“Apa?”

“Liando, cepatlah...”

“Bagaimana aku bisa... hei... nyalakan GPS nya...”

Aduh, Dayu sangat panik, untunglah ponsel yang ada termasuk canggih. Ia bisa menyalakannya, lalu memasukkan ponselnya kedalam saku baju, barangkali diperlukan. Ia melihat Lusi bergerak lemah.. tapi Anjas tak berkutik.

Dayu mendekati kakek tua dengan perasaan takjub. Bagaimana kakek tua itu bisa berada dimana-mana? Ia membuka matanya, tapi seperti tak berdaya. Dayu berlari kebelakang, barangkali ada minuman yang bisa diberikan kepada sang kakek. Oh, ada aqua yang masih utuh, Dayu berlari kembali menghampiri kakek itu.

“Kakek, bangunlah kakek.. ini, minumlah dulu,” Dayu mengangkat kepala kakek, dan meminumkan beberapa teguk air.”

“Kakek harus kuat, seperti kakek telah melakukan banyak hal besar untuk kami.”

Dayu memangku kepala kakek itu, dan terus mengajaknya bicara.

“Bagaimana kakek bisa sampai ditempat ini dan kembali menyelamatkan aku?”

“Aku.. mau.. melihatt... wisuda..”

“Jadi kakek ada di kampus saya, dan melihat ketika saya dibawa pergi?”

Kakek itu memejamkan matanya, sementara Dayu menangkap sedikit kisah sang kakek sehingga sampai ditempat dimana dia nyaris celaka.

“Ya Tuhan.. kakek mau melihat acara wisuda itu?”

Tiba-tiba Dayu melihat Lusi bangkit sambil memegangi kepalanya.

“Jahanam kamu! Setan kamu ! Kamu membunuh anakku?” geramnya seperti harimau kelaparan. Dayu miris melihat mata itu. Itu bukan mata manusia, itu mata iblis, wajah iblis, geram iblis.

Ia mencari sesuatu untuk membela diri, seandainya perempuan setan itu masih mampu menyerangnya. Dan itu benar, begitu bangkit, seperti memiliki kekuatan raksasa, Lusi mengangkat sebuah kursi, siap dilemparkannya kearah Dayu yang sedang memangku kepala kakek itu.  Dayu beringsut dari tempat duduknya, bersiap menghindar, tapi kakek tua itu tiba-tiba bangkit, mengambil tongkat yang tergeletak tak jauh dari sana, dan menyabetkannya kearah kaki Lusi. Lusi memekik keras, tubuhnya jatuh dengan kursi yang semula diangkatnya telah menindih tubuhnya. Ia mengeluh lalu diam.

“Kakek, terimakasih,” Dayu kembali memeluk kakek itu dan tak lama kemudian terdengar raungan mobil polisi. Beberapa mobil masuk, dan Dayu yang masih merangkul kakek tua melihat Liando yang kemudian menubruknya serta memeluknya erat.”

“Sayangku, rembulanku.. aku merasa telah kehilangan kamu, dan ternyata kamu masih berada dipangkuanku,” saking gembiranya Liando berlinangan air mata.

“Liando, tolong bawa kakek kerumah sakit terdekat.”

“Kenapa dia?”

“Cepat Liando, ceritanya nanti.”

“Dayu.. Dayu...” teriakan Adit membuat kakek tua yang masih dalam rangkulan Dayu membuka matanya.

“Mas Adit, tolong bawa kakek ini ke mobil, “ pinta Dayu.

“Langsung kerumah sakit Dit,” kata Liando yang segera berlari kearah mobilnya.

Biarlah polisi menangani kedua penjahat yang entah pingsan atau mati, Dayu ingin sang kakek segera mendapat pertolongan. Adit menggendong sang kakek, yang kemudian meletakkan kepalanya didada Adit. Liando melarikannya kerumah sakit.

***

Surti berhenti menangis ketika mendapat kabar bahwa Dayu selamat.

“Syukurlah, apakah dia tak apa-apa?” tanya Surti kepada suaminya.

“Tidak apa-apa, ada kakek-kakek yang menolongnya, sehingga Dayu kemudian bisa menelpon Liando serta membawa polisi kesana.”

“Dayu tidak diapa-apakan?”

“Tidak Surti, jangan khawatir, dia selamat lahir batin,” kata Tikno yang tahu bahwa isterinya pasti khawatir kalau anak gadisnya mendapat perlakuan buruk seperti ketika dirinya dibawa penjahat di daerah Ngawi.

“Kalau begitu aku ingin kerumah sakit.”

Tikno terkejut. Sungguh dia ingin menutup sejarah buruk yang menimpa isterinya dimasa lalu, dan Tikno tahu siapa kakek-kakek itu. Tidak, Surti tak boleh melihatnya dan mengetahuinya, karena Tikno tak ingin luka yang telah kering kembali berdarah.

“Surti, sudahlah, kamu menunggu saja dirumah, kamu kan harus memasak, bukankah besok ada pesanan? Sebentar, Dayu akan bapak telpon supaya kamu bisa mendengar suaranya.”

“Kok ya tidak menelpon dari tadi,” keluh Surti.

“Tadi dia masih sibuk membawa penolongnya itu ke rumah sakit. Sebentar ya.”

“Hallo bapak, Dayu belum bisa menelpon, masih mengurusi kakek tua, tapi sekarang semuanya sudah selesai. Mas Adit dan Liando sudah mengurus semuanya dan sekarang kakek sudah dirawat. Mana ibu, bapak?”

“Ini, ibumu juga menunggu kamu, menangis dari tadi siang.”

“Hallo ibu, masihkah ibu menangis?”

“Dayu, kamu nakal ya, mengapa tidak segera menelpon ibu?”

“Ma’af ibu, kakek itu ketika dibawa keadaannya kritis. Jadi Dayu belum memikirkannya, tapi kan ibu sudah mendengar dari mas Adit bahwa Dayu baik-baik saja.”

“Belum lega karena belum mendengar suara kamu. Kamu baik-baik saja?”

“Dayu baik-baik saja ibu, tak kurang suatu apa.”

“Apa berandal itu tidak menyentuhmu ?”

“Ketika menyentuh Dayu, Dayu menusukkan tusuk konde yang Dayu pakai ketika itu, mengenai lengannya sampai dia berguling-guling kesakitan.”

“Oh, syukurlah nduk.”

“Ketika Dayu mau melarikan diri, Anjas hampir menangkap Dayu, tapi kakek tiba-tiba datang dan menghajarnya.

“Ya Tuhan. Bagaimana kakek itu bisa selalu bisa menjadi penolong kamu?”

“Rupanya dia ada didepan auditorium ketika itu, dan melihat ketika Dayu dijemput orang tak dikenal. Lalu dia mengikuti sampai ketempat dimana Dayu dianiaya.”

“Oh, Tuhanku, terimakasih. Kok ya suatu kebetulan yang luar biasa menurut ibu.”

“Karena  ibu yang selalu mendo’akan bagi keselamatan kami, maka Allah mengutus sang kakek tua menjadi penolong.”

“Bagus sekali nak, sampaikan salam ibu kepada kakek, dan rasa terimakasih ibu dan bapak ya,”

“Iya ibu, nanti setelah sadar akan Dayu sampaikan.”

“Siapa nama kakek itu?”

“Dia itu orang aneh bu, nggak pernah mau mengatakan nama dan dimana rumahnya.”

“Oh, ya sudah nak, segera pulang ya, ibu ingin memeluk kamu.”

“Iya ibu, segera.”

Surti menyerahkan ponsel suaminya dan tersenyum lega.

“Aku heran kakek itu, apakah dia malaikat yang disuruh Allah untuk menjaga anak-anakku?”

“Kalaupun dia bukan malaikat, tapi dia adalah sang penolong. Besok saja bapak kerumah sakit.”

“Ibu ikut ya?”

“Jangan bu, besok-besok saja, ibu kan banyak pekerjaan.”

***

Kakek tua itu sudah sadar, tapi tubuhnya sangat lemah. Kata dokter, ada pukulan keras didadanya yang membuat paru-parunya terluka. Nafasnya sesak, karenanya ada selang oksigen untuk membantunya bernafas.

Adit dan Dayu selalu duduk disampingnya, Aliando mendampingi Dayu sambil mengelus pundaknya. Tampaknya membayangkan kehilangan Dayu membuat hati Liando sangat terguncang, dan sekarang tak sedikitpun dia mau meninggalkannya.

Mata kakek itu masih terpejam.

“Kakek...” Adit memanggilnya pelan, membuat mata kakek itu terbuka.

Kakek mengulurkan tangan, disambut oleh Adit.

“Selamat,” katanya sangat pelan.

Adit mengangguk.

“Terimakasih kakek..”

Lalu kakek itu mengulurkan lagi tangannya, seakan ingin memeluk Adit.  Adit membungkukkan tubuhnya, sehingga kakek itu bisa merangkulnya.

“Anak baik, teruslah menjadi baik.” Bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

“Ya, kakek. Sekarang istirahatlah, biar cepat pulih.”

Kakek itu melepaskan pelukannya, lalu memejamkan matanya. Tampak letih dan nafasnya terengah-engah.

“Dayu, kamu pulanglah dulu, ibu dan bapak menunggu kamu bukan?”

“Iya. Mas Adit masih mau disini ?”

“Iya, biar aku disini dulu. Katanya Yayi juga mau kesini.”

“Naya dan Susan juga mau kesini, tapi Dayu harus segera ketemu bapak sama ibunya, mereka pasti ingin sekali segera ketemu Dayu.”

“Tolong antarkan Dayu pulang, Liando.”

“Baiklah, kalau ada apa-apa kabari aku. Aku sudah menitipkan uang untuk perawatan kakek, sampai sembuh.”

“Terimakasih Liando.”

***

“Sayang... syukurlah kamu baik-baik saja, tapi lihat, baju kamu kusut dan kotor. Ayo.. ibu mandiin ya?” kata Surti sambil menggandeng anaknya ke kamar mandi.

Liando dan Tikno menatapnya terharu. Seperti dirinya, tadi juga serasa enggan melepaskan Dayu.

“Terimakasih ya nak Liando, gerak cepat itu segera menyelesaikan semuanya, dan kakek tua juga segera mendapat pertolongan.”

“Iya bapak, kasihan, tulang tuanya sampai matang biru. Kebangeten berandal itu, sama sekali tidak punya peri kemanusiaan.”

“Benar nak, tapi untunglah, mereka sudah ditangkap. Banyak kejahatan telah dilakukannya, dan mereka harus menebusnya.”

“Semoga setelah ini semuanya baik-baik saja.”

“Aamiin. Besok bapak juga mau kerumah sakit, bapak perlu mengucapkan terimakasih. Semoga besok keadaannya sudah lebih baik.”

“Iya pak, tadi nafasnya masih terengah-engah, tapi dia bisa bercakap dengan Adit, walau patah-patah.”

Tikno terdiam, ia semakin meyakini siapa sebenarnya kakek tua itu. Biarlah semuanya berlalu, karena waktu telah menggulungnya, lalu menjadikannya lembaran baru yang semoga lebih baik dari hari-hari terdahulu.

“Nanti bolehkah saya mengajak Dayu kerumah? Ibu pasti juga menunggu beritanya.”

“Oh, ibu juga dberi tahu?”

“Tidak secara langsung pak, tapi pak Karjo pasti bilang sama ibu ketika saya mencari-cari Dayu.”

“Baiklah, nak.. para orang tua harus segera tenang, agar tidak terus-terusan merasa was-was.”

Dayu keluar bersama ibunya, tersenyum cerah karena bahagia.

“Tahu nggak sih, aku seperti bayi, ibu memandikan aku lalu mendandani aku..” kata Dayu sambil tertawa.

“Biar bersih dari segala aura jahat yang tadi sempat menempel ditubuh kamu,” kata Surti.

“Dan itu membuat Dayu lebih cantik lho bu,” kata Liando sambil menatap Dayu lekat-lekat.

“Iih..  berarti biasanya nggak cantik dong,”

“Cantik kok, cuma ini semakin cantik, berkat ibu.”

“Ya sudah, ibu siapkan makan ya,” kata Surti.

“Ibu, bagaimana kalau makannya nanti saja? Liando mau mengajak Dayu menemui ibu, supaya ibu juga nggak khawatir,” kata Liando.

“Baiklah, kalau begitu, tapi jangan lupa makan disini ya.”

“Baiklah ibu.”

***

Susan terkulai sedih melihat hasil perbuatan mama dan kakaknya. Tak terbayangkan mereka bisa melakukan hal yang begitu sadis dan membahayakan nyawa manusia, bahkan hampir saja Anjas memperkosa Dayu.

Naya mendekatinya, menepuk-nepuk tangannya.

“Ada apa San?”

“Aku ini ikut merasa berdosa.. kenapa sampai begini..”

“Itu bukan kamu Susan, sudahlah, mama dan kakak kamu sudah mendapatkan hukuman. Semoga ini adalah pelajaran bagi mereka, supaya selanjutnya bisa melangkah kejalan yang lebih baik.”

“Naya...”

“Sudahlah Susan.. tidak usah menyesali apapun. Kamu adalah kamu dan bukan siapapun.”

“Terimakasih Naya..”

Walau begitu perasaan menyesal masih juga meliputi hatinya.

“Kalau kamu ingin menengoknya ditempat tahanan, aku akan mengantarkan kamu.”

“Tidak Naya, aku tak mau.”

“Bagaimanapun mereka adalah keluarga kamu.”

“Tapi aku tak ingin bertemu mereka. Menatap wajah mereka bisa menambah guratan luka dihati aku, Naya.”

“Baiklah, barangkali kamu butuh menenangkan pikiranmu terlebih dulu, tapi nanti ketika kamu ingin menemui mereka, aku akan mengantarkan kamu.”

***

Malam itu Adit menunggui kakek tua dirumah sakit. Tak tega membiarkannya sendirian, Ia tidur sudah larut, karenanya ia masih terlelap ketika pagi mulai menjelang. Adit tidur disofa panjang, antara sadar dan tidak.. ia melihat sang kakek berjalan mendekati dia. Adit menegurnya karena ia yakin sang kakek masih sakit.

“Kakek, tidurlah saja..”

“Jangan panggil aku kakek..”

“Apa?”

“Panggil aku bapak..”

“Bapak?”

“Karena kamu anakku.”

“Bohong ! Penipu. Berhenti disitu, selangkah lagi kamu maju,  aku hajar kamu.”

“Adit...”

“Hentikan!”

“Adit..”

Tiba-tiba Adit merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Adit membuka matanya, dan melihat bapaknya berdiri menatapnya.

“Oh, bapak? Ini jam berapa?”

“Kamu tidur sampai jam setengah delapan pagi, dan mengigau tidak karuan.”

“Ya ampun bapak, memangnya Adit mengigau?”

“Mimpi apa kamu?”

Adit mengucek matanya, ditempat tidur, dilihatnya kakek masih terbaring. Kok tadi bangun ya?”

“Mimpi apa nak?”

“Mimpi aneh. Dalam mimpi itu, kakek sudah bisa berdiri tegak dan mengahampiri Adit, lalu Adit panggil dia kakek, tapi dia tidak mau. Dia mau saya panggil bapak. Lalu Adit marah-marah,” Adit menghela nafas.

“Untunglah hanya mimpi. Masa aku membentak-bentak kakek yang baik hati itu.”

Tikno tertegun. Ada pesan didalam mimpi itu, dan itu benar adanya. Hanya Adit yang tak mau menerimanya. Tikno mengelus kepala Adit.

“Pergilah kekamar mandi dan basuh wajahmu. Kamu sudah shalat?”

“Tadi sudah, lalu kembali tidur, so’alnya Adit tidur sangat larut. Duduk disamping kakek sampai melihat kakek itu pulas.”

“Anak baik..”

“Kakek itu terus menerus berkata seperti itu, anak baik.. teruslah menjadi baik..”

Tikno mengangguk. Adit sama sekali tidak mengerti, ada ikatan darah diantara mereka,  dan barangkali ada kebanggan dihati kakek itu melihat Adit tumbuh dewasa, gagah, tampan dan pintar. Ya Tuhan, bahkan kakek itu sebenarnya ingin menghadiri acara wisuda Adit. Tikno mengusap air matanya.

“Mengapa bapak?”

“Cuci mukamu dulu, bapak mau menemui kakek itu.”

Tikno menghampiri ranjang, kakek tua masih memejamkan matanya. Nafasnya tampak tersengal. Keadaan ini masih seperti yang diceritakan Dayu semalam.

Wajah keriput itu tampak lelah, Tikno menatapnya tak berkedip.

Laki-laki yang membuat isterinya sengsara, menderita, ternoda, sekarang tergolek tak berdaya. Barangkali segunung sesal selalu menindihnya dalam perjalanan hidupnya. Dia berkeliaran disekitar rumah Tikno, menyaksikan dari jauh si Adit kecil dalam gendongannya, lalu bersekolah bersama adiknya, lalu kuliah, dan berhasil menggondol predikat sarjana. Tak semua orang merasakannya, dan kakek tua itu menelan kebanggaannya dalam hati. Menelan kerinduannya yang tak pernah pudar selama bertahun-tahun.

Tikno kembali mengusap air matanya. Kebenciannya mendadak sirna, penderitaan panjang yang disandang laki-laki tua ini sudah cukup menebus semua dosanya. Semoga...

“Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu, pak Sardiman,” bisiknya pelan. Tapi yang pelan itu berhasil membuka mata si kakek. Bola mata yang layu, menatap Tikno lekat, lalu bibirnya membisikkan sebuah kata.

“Ma’af...”

Lalu tiba-tiba nafas kakek Sardiman tersengal. Adit baru keluar dari kamar mandi, mendekat dan merasa khawatir.

“Susteeerr...tolong suster..”

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 



 

Tuesday, September 29, 2020

BAGAI REMBULAN 25

BAGAI REMBULAN  25

(Tien Kumalasari)

 

 Mobil itu terus melaju, dan Dayu merasa heran, karena salon yang dimaksud sudah lewat.

“Lho, dimana salonnya? Bukan itu tadi?”

“O.. disana mbak.. agak kesana.”

“Mengapa Liando ke salon dulu? Masa dia tidak membawa jas ketika ke kantor?”

“Saya nggak tahu mbak, mungkin ketinggalan.”

“Aneh.. dia itu sudah rencana mau datang mengapa tidak disiapkan sejak awal?”

“Itulah.. pak Liando..”

“Lho.. kok jauh banget ini?” tiba-tiba Dayu merasa curiga. Mobil itu semakin jauh meninggalkan kampus..

“Kemana kita?”

“Sudahlah mbak, jangan bawel.”

Dayu terkejut melihat perubahan sikap orang yang duduk disampingnya. Ia menoleh, dan melihat orang itu melepas jas yang tadi dipakainya. Bau apak tercium olehnya. Dayu mulai curiga, melihat senyum menyeringai dari lelaki disampingnya. Senyum dengan deretan gigi kuning karena endapan nikotin. Bulu kuduk Dayu meremang.

“Tolong, saya turun disini saja,” kata Dayu bergetar.

“Lho.. turun bagaimana, kita belum sampai kok turun."

Hati Dayu menciut. Dia sadar sedang berada ditangan orang-orang jahat. Tangannya meraih tombol kunci pintu, tentu saja tak berhasil.

“Mana bisa kamu membuka pintunya cantik, itu kan dikunci dari depan. Sudahlah, jangan rewel, menurut saja. Seseorang sedang menunggu disana.”

“Tolong biarkan aku turun...”

“Nanti kita akan turun kalau sudah sampai. Sudahlah diam.”

“Toloooong....” Tolooooong..” Dayu berteriak-teriak sekeras kerasnya sambil memukul-mukul kaca jendela.

“Hahahahaaaa...” laki-laki disampingnya tertawa gelak. Tawa itu  terdengar seperti merobek isi dadanya.

“Ya Tuhan... Toloooong...” Dayu terus berteriak.

“Hahaa... teruslah memanggil Tuhanmu, cantik... aku yakin dia pun tak akan bisa mendengar teriakanmu.

“Tolooong... “ Dayu mulai menangis, tangannya yang memukul-mukul kaca jendela mulai terasa sakit. Dan tawa laki-laki disampingnya terasa semakin mengiris.

“Diam cantik..” kata laki-laki itu sambil memegang lengannya.

Dayu mengibaskannya dengan jijik. Lalu dia mengambil ponselnya. Ia harus mengabari Liando. Tapi baru saja dia mengeluarkan ponselnya, laki-laki itu merebutnya.

“Eitt.. jangan coba-coba menghubungi siapapun cantik, diam dan tenanglah, nanti kamu akan senang setibanya disana.”

“Mana ponselkuuuuu !”

“Jangan berteriak, lihat, ponselmu sudah mati,” kata si penjahat yang sudah mengambil simcard dari ponsel Dayu dan membuangnya.

“Tolooong... turunkan aku.. tolonglaaah..” Dayu meratap-ratap.. tapi tak seorangpun perduli.

Dayu mencoba meraih kedepan, mencengkeram pengemudi mobil itu.

“Tolong hentikan..”

“Heeiii.. jangan mengganggu pengemudi, kalau kita jatuh ke jurang bagaimana?” kata laki-laki disampingnya sambil kembali menarik lengan Dayu.

Dayu mulai putus asa.

“Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini..” ratapnya.

***

Mobil Aliando memasuki halaman auditorium. Matanya mencari-cari, apakah Dayu menunggunya disuatu tempat.

“Dimana Dayu menunggu aku? Kok nggak kelihatan ?”

Aliando memarkir mobilnya, turun sambil terus mencari-cari..

“Apa dia sudah masuk ?”

Karena diluar tak ada, Aliandopun masuk. Diatas panggung acara wisuda sudah dimulai.

“Karena ingin melihat kakaknya diwisuda, maka Dayu pasti memilih masuk lebih dulu,” pikir Liando.

Ia terus melangkah kearah depan. Dideretan depan ia melihat Indra, Seruni, Tikno dan Surti, lalu Yayi dan Susan juga ada. Tapi ia tak melihat Dayu.

Ada kursi kosong disebelah Yayi, dia duduk disitu.

“Eh, Liando? Mana Dayu?” tanya Yayi, dan mereka semua menoleh kearah Liando. Pertanyaan itu mengejutkan Liando.

“Dia belum masuk ?”

“Kami sedang menunggu.”

“Apa tidak bareng sama kamu?” tanya Indra.

“Tidak pak, Dayu berangkat duluan, pak Karjo saya suruh nganter,  takutnya  nggak keburu bisa menyaksikan sa’at kakaknya diwisuda, so’alnya saya masih ada urusan dikantor, sebentar. Tapi kok dia belum sampai disini ?”

“Kok aneh, barangkali agak dibelakang, coba cari,” saran Indra.

“Pak Karjo saja ditanya, Dayu sudah diantar belum?” usul Susan.

Liando berdiri dan melangkah keluar. Ia harus bertanya pada pak Karjo, tapi didalam kan suaranya berisik, jadi dia harus keluar.

“Hallo, pak Karjo?”

“Ya mas , saya sudah dirumah. Ibu mau belanja sama simbok.”

“Tadi pak Karjo sudah mengantar Dayu?”

“Sudah mas, mas telpon langsung saya berangkat.”

“Turun dimana dia?”

“Didepan auditorium mas.”

“Dia langsung masuk ?”

“Saya tidak tahu mas, ketika saya pergi, mbak Dayu masih berdiri didepan, sepertinya menunggu mas Liando.

“Oh, ya sudah pak, terimakasih.”

Liando menutup ponselnya dengan rasa cemas. Kok tidak ada ya. Lalu ia dengan nekat mendekat kearah MC, tapi mikrofon sedang dipergunakan untuk acara wisuda. Liando berjalan mondar mandir kearah depan dan belakang, berharap seandainya Dayu duduk disuatu tempat maka pasti bisa melihat dia. Tapi tak ada yang memanggil namanya, dan tak tampak yang dicarinya.

Melihat Liando mondar mandir, Indra berdiri menghampiri. Liando keluar lagi. Ada penerima tamu yang menghadapi meja dengan buku tamu, Liando bertanya.

“Adakah tadi Dayu sudah masuk?”

“Dayu ?”

“Anandayu..”

“Lho, bukankah tadi dijemput sama seseorang?” kata salah seorang yang kebetulan melihat ketika Dayu dijemput.

“Apa?” Liando terkejut.

“Dijemput? Siapa?”

“Tadi ada seseorang naik mobil, katanya karyawan mas Liando. Dia bilang disuruh menjemput Dayu.”

“Lho.. kok Dayu mau? Sementara saya memintanya menunggu disini ?”

“Katanya ditunggu di salon, supaya bisa datang bareng, gitu.”

Liando merasa lemas, ia terduduk dikursi yang ada didekat situ. Indra yang mendengarkan percakapan itu ikut-ikutan cemas.

“Apakah sebaiknya lapor polisi?”

“Saya bingung pak,” kata Liando lemas.

“Ayo aku antar melapor saja. Eh mbak, mobilnya tadi mobil apa?”

“Warna hitam pak, tapi jangan tanya nomornya, kan kami sambil menerima tamu jadi nggak sempat mencatat. Lagi pula kami tidak mencurigai apapun."

***

Liando merasa jiwanya melayang-layang. Barangkali kalau tubuh itu tidak kokoh pasti sudah terjatuh ditanah.  Indra memegang bahunya.

“Liando, kamu harus kuat. Kita akan terus berusaha,” kata Indra yang terus menuntun Liando kearah mobil. Indra tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang ada didalam, karenanya ia tak ingin mengatakan apapun sa’at mengantar Liando kekantor polisi.

Tapi Seruni yang tiba-tiba ditinggalkan Indra merasakan sesuatu yang tak enak.

“Pasti sesuatu telah terjadi. Sejak tadi Dayu tak kelihatan,” pikir Seruni.

“Ada apa bu?” tanya Yayi.

“Nggak tahu ibu, tiba-tiba bapak mengikuti Liando dan sekarang entah pergi kemana.”

Gempita bahagia memecah suasana siang itu. Membuat ruang ber AC tetap terasa pengap. Para wisudawan sudah menghambur turun, mencari orang tua dan orang-orang yang dicintainya.

Adit bersimpuh, merangkul kaki bapak dan ibunya sambil menitikkan air mata haru. Tikno menariknya berdiri, memeluknya erat, demikian juga Surti. Sementara itu Naya yang bersimpuh dihadapan ibunya, mencari-cari.

“Dimana bapak?”

Seruni menarik tangan Naya, yang kemudian disambut pelukan pula oleh Susan.

“Selamat ya sayang,” bisik Susan.

“Terimakasih, mana bapak ?”

“Mungkin dibelakang, sebentar .. nanti pasti kembali,” kata Seruni yang sebenarnya juga tak yakin akan kata-katanya sendiri, karena sudah terlalu lama Indra pergi bersama Liando, sementara Dayu tak kelihatan sejak awal mereka datang.

“Selamat, mas Adit..” Kata Yayi..

“Terimakasih, cinta.”

“Mana Dayu ?”

“Itulah, sejak tadi kami juga mencari cari. Malah bapak ikut menghilang bersama Liando.” Kata Yayi.

Ketika acara berfoto bersama, suasana kehilangan Dayu masih belum terasa.  Mereka masih mengira Dayu pergi bersama Liando. Tapi ketika kemudian Indra juga lama tak kembali, kepanikan mulai tampak pada wajah-wajah mereka.

“Kemana sih bapak?”

“Tadi keluar bersama Liando. Sepertinya Liando mencari Dayu tanpa hasil.”

Wajah Surti sudah pucat pasi oleh rasa khawatir. Tikno menuntunnya agar duduk, lalu mengambilkannya segelas minuman dari hidangan yang disediakan.

Seruni mempersilahkan semuanya makan dulu, sementara dia menelpon suaminya.

“Dimana sih mas, kok tiba-tiba menghilang.”

“Acara sudah selesai ?” tanya Indra dari seberang.

“Sudah, tapi kami semua bingung mencari mas dan Dayu.”

“Itulah, tadi Liando mencari Dayu, yang sudah diantar pak Karjo sopirnya kerena Liando terlambat datang. Liando meminta agar Dayu menunggu, tapi dia tak ada. Kata penerima tamu didepan, Dayu dijemput oleh seseorang yang mengaku karyawannya Liando. Dia bilang Liando sedang menunggu Dayu di salon.

“Ya Tuhanku.. sekarang belum ketemu?”

“Belum, kami sedang melaporkannya ke kantor polisi setempat.”

“Aduh, bagaimana ini, semua panik.”

“Aku juga tak bisa meninggalkan Liando, dia sangat shock, aku terus mendampinginya.”

“Ya mas, sekarang sedang pada makan, aku akan membawa mereka pulang kerumah saja ya?”

“Ya, aku segera menyusul.”

 Naya dan Susan mendekati Seruni.

“Bagaimana bu?”

“Tampaknya Dayu diculik.”

“Apa?” teriak keduanya bersamaan.

“Penculiknya mengaku anak buahnya Liando yang  disuruh menjemput Liando di salon.”

“Lalu bagaimana bu? Kasihan Dayu, dibawa kemana dia?”

“Bapak dan Liando sedang melaporkannya ke polisi.”

“Jangan-jangan ini ulah mama sama Anjas.”

“Addduh.. mama kamu tuh,,” omel Seruni, membuat hati Susan semakin tak enak.

“Naya, ayo ikut aku kerumah mama, semoga belum terlambat.”

Susan menarik tangan Naya, yang segera mengambil mobilnya lalu dipacunya kerumah Lusi.

***

“Sedih aku mikirin mama.. kenapa nggak mau berhenti.. terus saja membuat susah orang lain.”

“Jangan dulu mengumpat mama, Susan.. belum tentu itu perbuatan mama kamu.”

“Naya, kamu belum tahu mama aku..”

“Ya sudah, kita buktikan saja dulu..”

“Hati kamu terlalu baik Naya, itulah sebabnya walau aku lebih tua dari kamu, tapi aku sangat mencintai kamu. Aku ingin kamu bisa membimbing aku dalam melangkah, karena aku berangkat dari dunia yang kotor.”

“Susan...”

“Itu benar.”

Mobil Naya segera sampai dirumah Lusi, tapi rumah itu tampak terkunci. Susan turun, dan membuka pintu rumah, karena diantara Susan, Anjas dan mamanya, masing-masing memiliki kunci rumah yang sama, sehingga setiap pulang entah dari mana tidak perlu berteriak kedalam minta dibukakan pintu.

Tapi rumah itu kosong. Naya mengikutinya dari belakang.

“Kosong.. dan seperti sudah berhari-hari tidak ditinggali.”

“Benar, bisakah kamu menghubungi mama atau kakak kamu, barangkali bisa mengatakan sesuatu?”

“Tidak mungkin bisa, pasti mereka sudah berganti nomor, dan aku hampir yakin memang merekalah pelakunya.”

“Mengapa harus Dayu ?”

“Karena Dayu, maka Aliando menolak aku. Jadi mama sangat membenci Dayu.”

“Apa kamu tidak membencinya?”

“Tidak, Dayu anak baik, dan aku tidak suka sama Liando.”

Keduanya keluar dari rumah itu karena tak menemukan apapun.

“Kemana kira-kira mereka?”

“Mana aku tahu?”

Tapi Susan juga mencoba menghubungi mama dan kakaknya.

“Tuh kan, nomornya mati. Pasti sudah ganti pula.,”

“Dua-duanya?”

“Dua-duanya.”

Keduanya pergi dengan kecewa. Tapi Susan merasa sangat tidak enak. Ia hampir yakin kalau mamanya atau Anjas berperan dalam kejadian itu.

“Kamana kita?” tanya Naya.

“Aku tidak tahu harus mencari kemana. Kalau dia melakukannya, dia pasti bersembunyi disuatu tempat yang tak seorangpun bisa menduganya.”

“Bagaimana ini..”

“Aku berharap Tuhan segera memperingatkan mama, entah seperti apa ujud dari peringatan itu.”

***

“Kemana ini.. mau dibawa kemana aku?” teriak Dayu tak henti-hentinya.

“Diam, kalau tidak aku perkosa kamu disini juga.”

Dayu terkesiap. Kata-kata itu membuat perutnya mual. Hatinya semakin miris.

“Toloooong..!” teriaknya lagi.

“Diam ! Kita hampir sampai. Jangan takut aku memperkosamu yang pertama kali, aku hanyalah anak buah, pasti akan mendapat sisa-sisanya,” kata-kata itu membuat pengemudi mobil ikut tertawa terkekeh.

Dayu merasa dunianya sudah selesai.

” Kalau benar mereka akan melakukannya, lebih baik aku mati.” Kata Dayu dalam hati. Sekarang Dayu benar-benar lemas. Mobil itu memasuki sebuah halaman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar, sehingga sebuah rumah seperti tersembunyi dibaliknya.

Ketika mobil itu berhenti, Dayu tetap duduk ditempatnya, tapi laki-laki itu menarik tangannya kuat-kuat. Dayu meronta-ronta, tapi apa dayanya?

Mereka melemparkannya kedalam rumah dan membuat Dayu tersungkur dilantai. Tiba-tiba dari dalam rumah muncul dua orang. Anjas dan Lusi, dengan penampilan yang berbeda.  Anjas dengan rambut gondrong yang diikat kebelakang, dan Lusi dengan potongan rambut cepak seperti laki-laki, dan berwarna kecoklatan. Kemarahan Dayu memuncak. Matanya menatap Anjas dan Lusi berganti-ganti, dengan amarah yang menyala-nyala. Tapi hatinya menjadi kecut, manakala disadari bahwa dirinya hanya sendirian ditempat itu.

“Kalian boleh pergi dan jangan datang kalau aku tidak memanggilmu!” perintah Anjas yang kemudian membuat laki-laki yang bersama Dayu beserta pengemudi mobil itu pergi.

Ketika keluar dari halaman, dilihatnya seorang laki-laki tua sedang berjongkok.

“Pengemudi mobil membuka kacanya dan berteriak.

“Hei.. ngapain kamu ??”

“Oh.. ini.. sepeda motor.. ngadat..”

Bawa saja pergi dari sini, jangan jongkok disitu!” kata pengemudi mobil dan berlalu.

Mata laki-laki tua itu berkilat.

***

Anjas menutup pintu rumah dan menguncinya.

“Mama, calon permaisuriku sudah dandan dengan sangat cantik bukan?” tanya Anjas sambil cengar cengir lalu mengelus rambut Dayu. Dayu menghindar.

“Jauhkan tangan kotormu dariku, berandal!” hardik Dayu.

“Ya ampun, cantik.. kamu bisa galak rupanya? Apa kamu tahu, bahwa kamu akan terus berada disini selama menurut, atau kamu aku habisi kalau tidak menurut?” kata Lusi sambil mengelus pipi Dayu.

“Aku tidak mengira, perempuan secantik kamu ternyata memiliki hati yang busuk seperti kotoran !” umpat Dayu. Sekarang Dayu tak bisa melawan, itu pasti, jadi Dayu sudah memilih kematian daripada terhina dengan kelakuan Anjas yang tidak bermoral.

“Cantik, bukankah kamu berdandan cantik karena sudah tahu bahwa akan menjadi pengantin aku?”

Dan tanpa diduga Anjas segera membopong tubuh Dayu, lalu membawanya masuk kekamar dan melemparkannya keatas ranjang.

Air mata Dayu mulai menitik.

“Ini adalah akhir hidupku. Dayu mencari-cari, dan ingat ada tusuk konde dihiasan rambutnya. Ia mencabutnya dan menggenggamnya erat ditangannya.

Ia bangkit dari ranjang dan melawan sejadi jadinya.

“Heiii.. ya ampuun... kamu seperti kuda binal ya.. mama.. tolong pegangi dia mamaa” teriak Anjas.

***

Besok lagi ya.

 

 

Monday, September 28, 2020

BAGAI REMBULAN 24

 BAGAI REMBULAN  24

(Tien Kumalasari)


Seruni berteriak dan memegangi lengan suaminya.

“Mengapa? Memangnya  suamiku salah apa?”

“Ada tuduhan penculikan, aku menculik siapa?” kata Indra sambil menepuk tangan isterinya, setelah membaca surat yang diberikan polisi tadi.

“Bapak bisa menerangkannya nanti di kantor polisi.”

“Baiklah, tapi saya akan mengendarai mobil saya sendiri. Kalau bapak takut saya kabur, salah satu dari bapak ini boleh ikut dimobil saya,” kata Indra.

“Sebaiknya bapak ikut saya saja,” polisi itu tampaknya keberatan.

“Ya sudah, saya ikut bapak, Seruni kamu tak usah khawatir, suami kamu tak melakukan sebuah kejahatanpun.”

“Baiklah, tapi tunggu, aku akan membawa mobil kamu,” kata Seruni yang kemudian masuk kedalam, berganti pakaian sekenanya lalu mengunci pintu rumah dan mengikuti mobil polisi itu. mBak Darmi sedang kepasar, dia membawa kunci sendiri, jadi Seruni tak usah khawatir.

“Ini pasti ulah Lusi. Ia menuduh mas Indra menculik Susan. Dasar orang yang tidak pernah waras,” gumam Seruni sambil terus mengikuti mobil polisi itu.

Ketika itu Naya ada dirumah sakit, dan Yayi sudah berangkat ke kampus. Seruni tak ingin mengabari kejadian itu kepada Yayi.

“Jangan sampai Yayi juga panik. Tapi tampaknya aku harus mengabari Naya. Naya bersama Susan, nanti Susan yang akan bisa membebaskan mas Indra dari tuduhan,” gumam Seruni sambil terus memacu mobilnya. Ia belum sempat mengabari Naya karena jalanan sedang ramai. Sa’atnya anak-anak masuk sekolah dan orang pergi ke kantor.

Seruni mencoba menenangkan hatinya. Bagaimanapun, berurusan dengan polisi sangat membuatnya takut. Namun dengan keyakinan bahwa suaminya tak bersalah, Seruni merasa agak lebih tenang.

Ketika tiba di kantor polisi Indra sudah menghadap polisi , dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.

Seruni duduk agak jauh, dan mencoba menghubungi Naya, tapi diurungkannya, karena tampaknya polisi akan menemui Susan di rumah sakit.

***

“Bagaimana sekarang rasanya ?” tanya Naya yang setia menunggui kekasihnya.

“Lebih merasa  enak, tapi aku masih merasa lemas. Tekanan darahku belum naik juga ya?”

“Kalau kamu tenang, senang, kamu pasti akan segera pulih. Apa rencanamu setelah ini? Maukah tinggal dirumahku?”

“Tidak Naya, mana mungkin aku tinggal dirumah kamu, nggak enak aku.”

“Bapak sama ibu tak akan keberatan.”

“Tapi kita tak bisa tinggal serumah Naya, aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut ada setan lewat..” dan Naya tertawa lucu.

“Lalu apa rencana kamu setelah ini?”

“Aku akan mencari tempat kost saja.”

“Sebenarnya mengapa kamu disekap mama kamu? Bukankah kamu baru kembali dari rumah sakit?”

Susan menghela nafas sedih, teringat kejahatan yang dilakukan mamanya. Ia memang belum sempat bicara banyak tentang awal kejadian itu, dan melihat kebaikan keluarga Naya, ia memang harus  berterus terang, walau itu kejahatan ibu kandungnya.

“Mama kamu melarang kamu bekerja?”

“Kalau melarang bekerja, itu memang sudah lama. Ini hal yang berbeda. Ketika aku memasuki rumah sepulang dari rumah sakit dan kamu sudah pergi setelah mengantar aku, aku melihat mama sedang bersama Anjas dan teman-temannya yang berandalan. Aku sangat terkejut mendengar percakapan itu, karena ketahuan bahwa yang mengeroyok ketika kita keluar dari rumah makan itu adalah mereka, atas perintah mama.”

“Haaa? Tapi mengapa?”

“Aku tidak tahu, mereka ingin menghajar kamu, tapi aku ikut terkena, itu membuat mama memarahi mereka dan aku mendengar kata-katanya. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Aku membenahi pakaian yang pantas aku bawa, dan semua uang, tapi ketika aku mau keluar, mama menyuruh mereka menghalangi aku, lalu mereka menyekapku didalam kamar.”

“Ya Tuhan, sayang, pasti kamu sedih sekali,” kata Naya iba.

“Aku menangis meraung-raung tapi mama tak mau mendengar. Dua hari aku disekap dan mama entah lupa atau sengaja, tidak memberi aku makan dan minum.”

“Ya Tuhan..”

Ketika aku sadar, aku sudaah ada dirumah sakit. Mungkin mama menyesal membuat aku pingsan gara-gara tak makan minum selama dua hari. Tapi begitu aku sadar, dan mama sedang tak ada didekatku, aku kabur dari rumah sakit. Aku pulang kerumah, dan untunglah rumah itu kosong, mungkin mama dan Anjas sedang ke rumah sakit atau kemana entahlah, aku masuk rumah, mengambil kopor yang untunglah belum berubah tempatnya, dan untung pula tas tanganku masih tergeletak di kamar. Aku naik taksi tak tentu arah, lalu minta diberhentikan di hotel. Tuhan menolong aku karena ada Aliando disana. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu kan?”

“Aku tak bisa mengerti mama kamu bisa melakukan hal sekejam itu,” kata Naya sambil  meremas tangan Susan dan menciumnya lembut.

Tiba-tiba Naya melihat ibunya masuk keruangan itu. Naya terkejut karena ibunya tidak sendiri. Ada polisi mengikutinya.

 Naya berdiri dan menghadapi ibunya.

“Ibu, ada apa?”

“Bapak kamu ditangkap polisi.”

“Apa?”

“Lusi menuduhnya telah menculik Susan.”

“Ya Tuhan.. mama..” pekik Susan.

“Aku mengantarkan bapak-bapak ini untuk bertemu Susan, agar semuanya menjadi jelas.”

“Bapak-bapak, ini yang bernama Susan, yang bapak kira telah diculik oleh suami saya. Silahkan bertanya tentang kebenarannya,” kata Seruni.

“Bapak mana bu, tanya Naya khawatir.

“Bapak masih ada di kantor polisi, nanti setelah semuanya menjadi jelas, bapak baru boleh pulang.”

“Biarlah Naya menemani bapak.”

“Baiklah, kasihan bapak kamu.”

“Itu siapa?” tanya salah satu dari polisi yang datang bersama Seruni.

“Itu Naya, anak saya. Dia yang selalu menemani Susan disini, bergantian dengan anak saya yang perempuan.”

“Ibu, Naya pergi dulu.”

“Ya nak, biarlah bapak-bapak ini berbicara dengan Susan. Susan, katakan semuanya apa yang terjadi kepada bapak-bapak ini.”

“Iya bu Indra, saya minta ma’af telah menyusahkan pak Indra dan bu Indra,” kata Susan sedih.

“Tidak apa-apa Susan, kebenaran harus dipegang, kejahatan harus diungkapkan. Ma’af kalau nanti mama kamu terbawa dalam kasus ini.”

“Tidak apa-apa..bu Indra.”

“Silahkan bapak-bapak, saya akan menunggu disini,” kata Seruni yang kemudian duduk menjauh dari ranjang Susan.

***

“Lega aku sekarang Njas, sa’at ini Indra pasti sudah ditangkap polisi.”

“Biar dia rasakan ma, dia kan tidak berhak mengatur hidupnya Susan.”

“Benar, Susan anakku, bukan anak dia. Kalau dia menguasai Susan, itu salah, dia tak berhak apapun atas Susan.”

Tiba-tiba suara dering ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Tomy menelpon Anjas.

“Ada apa? Jangan bilang kamu minta uang lagi gara-gara luka kamu belum sembuh.”

“Tidak, aku hanya ingin memberitahu, diluar ada polisi.”

“Polisi ? Mau apa dia?”

“Aku tidak tahu bos. Aku baru mau masuk kemari tapi melihat mereka berhenti disebelah timur pagar.

“Bagaimana ini ma, katanya ada polisi datang kemari.”

“Jangan bodoh, polisi datang kemari kan karena laporan mama itu. Pasti mereka akan mempertemukan mama dengan Indra yang sudah ditangkap duluan.”

“Tapi mama harus hati-hati. Indra bukan orang bodoh. Menurut Anjas, lebih baik mama bersembunyi saja.”

“Bersembunyi kemana? Aduh, mengapa kamu membuat mama takut?”

“Mama lari saja, dibelakang ada kebun, dan pagar belakang kan dari pohon-pohon perdu, mama lari dari sana. Cepat ma, perasaanku tidak enak. Eh.. tidak.. tidak... masuk ke bagasi mobil saja.. cepat ma..” kata Anjas yang kemudian juga merasa takut.

Tak urung tiba-tiba Lusi merasa panik. Ia mengambil tas dari dalam kamar lalu masuk kedalam bagasi mobil, meringkuk disana.

Anjas mengunci pintu, dan pura-pura tidur.

Ketika suara pintu digedor, Anjas berjalan kedepan dengan pelan-pelan.

Gedoran pintu masih terdengar, ketika Anjas membuka pintu sambil menguap.

“Oh, ada tamu... mau mencari siapa bapak?” tanya Anjar pura-pura bangun dari tidur, dengan mengucek matanya sampai merah.

“Ini rumah ibu Lusiana?”

“Ya, benar, ada apa ya, mama lagi pergi.”

“Pergi kemana ?”

“Saya tidak tahu pak, mama kan banyak bisnisnya. Jadi terkadang pergi sampai malam, atau kadang menginap sehari atau dua hari.”

“Itu mobilnya ada..”

“Mobil itu saya yang pakai pak..”

Salah seorang polisi mendekati mobil, melongok-longok kedalam. Anjas dengan berdebar menatapnya.

“Kapan ya kembalinya?”

“Sungguh saya tidak tahu pak..”

***

Indra sudah bisa pulang, karena orang yang katanya diculik sama sekali tak berhubungan dengan Indra sebelumnya. Mungkin sekarang polisi justru sedang memburu Lusi atas laporan palsunya.

“Ma’af saya jadi merepotkan bapak,” kata Susan kepada Indra yang langsung datang menemui Susan dirumah sakit sepulangnya dari kantor polisi.

“Tidak Susan, jangan pikirkan.. kamu kan sudah menjadi anakku..”

Titik air mata Susan mendengar kata-kata Indra. Susan, si anak terbuang, dipungut dari kehidupan yang keras dan membuatnya gundah, oleh keluarga terhormat yang berhati mulia.

“Jangan menangis nak.. tenangkan saja hatimu, supaya sehat, dan bisa kembali berkarya, kantor sepi tanpa kamu.”

“Masa sih pak?”

“Iya benar.”

“Pasti karena saya cerewet...”

“Aku senang kamu sudah nampak segar. Semoga satu dua hari lagi bisa pulang.”

“Saya minta tolong Naya agar mencarikan tempat kost buat saya.”

“Tidak mau dirumahku?”

“Jangan pak, kurang bagus kelihatannya. Lebih baik saya kost sendiri saja dan itu akan lebih nyaman buat saya.”

“Baiklah, nanti aku bilang sama Naya. Ya sudah.. oh ya, Yayi ssudah kesini? Kalau aku pulang siapa yang mau menemani?”

“Saya pak Indra,” tiba-tiba Surti muncul bersama Dayu.

“Ya ampun, lihat, bu Tikno sudah datang untuk kamu Susan,” kata Indra sebelum pergi.

“Ada pak Indra, mana bu Indra?” tanya Surti.

“Mungkin nanti mau kesini, aku mau langsung ke kantor. Dayu.. anak baik.. temani mbak Susan ya.”

“Iya pak, sudah dari kemarin. Sama Yayi juga.”

“Aku bangga sama kalian. Yuk.. aku ke kantor dulu. Susan, bahagialah, banyak cinta diantara kamu.”

Indra melangkah menjauh, diiringi untaian air mata mengaliri pipi Susan.

“Nak Susan, mengapa menangis?”

Susan menatap wanita cantik bermata teduh disampingnya. Inilah ibunya Dayu, yang mamanya bilang adalah bekas pembantu.. tapi yang punya kebaikan tak terhingga, dan membuat jiwanya terpuruk oleh sesal yang membebaninya.

“Bu Tikno...ma’afkan saya..” isaknya.

“Sayang, sudahlah, untuk apa ma’af itu. Kamu tidak bersalah. Kamu anak baik yang sedang tersesat, tapi sekarang sudah kembali melangkah di jalan terang. Kami akan terus bersamamu nak,” kata Surti sambil mengelus kepala Susan, dan membuat air mata Susan semakin deras mengalir.

“Sudahlah, apa yang kamu fikirkan?”

“Saya minta ma’af ya bu.. besar dosa saya pada ibu dan keluarga ibu...” tangisnya sambil sebelah tangannya memeluk Surti. Susan ingat bahwa dia juga pernah ikut-ikutan ibunya mengumpat keluarga Surti. Sekarang rasa sesal itu memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Rasa kotor dan rendah menyelimuti perasaannya.

“Sudah nak, tak ada yang perlu dima’afkan. Saya yang minta ma’af karena baru sekarang bisa menjenguk nak Susan.”

“Ibu.. benarkah ibu mau mema’afkan saya ?”

“Kamu tidak bersalah nak, tidak ada yang harus dima’afkan. Dalam setiap langkah, pasti ada saja sandungannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita sadar bahwa jalanan itu berbatu, temukan jalan lain yang lurus, yang lapang, yang lempeng. Dan kalau sudah ditemukan jalan lempeng itu, maka kamu harus melepaskan semuanya.”

“Ibu sungguh bijak. Saya menemukan banyak keluarga yang  berhati mulia.. saya menemukan dunia yang begitu indah dan penuh kebaikan serta cinta.”

“Inilah jalan dimana kamu bisa melangkah dengan penuh wangi bunga.” Kata Surti sambil mencium kening Susan.

“Aku akan melangkah dengan penuh wangi cinta...” bisik Susan sambil mengusap air matanya.

***

“Mama jangan pulang dan jangan pernah menampakkan diri, karena polisi sedang mencari mama, kata Anjas disebuah rumah terpencil diluar kota yang dipergunakan untuk bersembunyi, kedua-duanya.

“Jadi aku kamu taruh didalam rumah terpencil ini,  tanpa boleh keluar rumah, tanpa boleh bertemu siapapun biarpun itu kawan-kawan mama?”

“Sebaiknya jangan dulu.”

“Mama akan mengubah penampilan mama saja. Potong rambut mama lebih pendek dan mengecat rambut mama dengan warna coklat,” kata Lusi kesal.

“Terserah mama saja, pokoknya aku sudah memperingatkan, jadi mama harus berhati-hati.”

“Aku benci kehidupan ini, aku benci semua kegagalan, aku marah kepada setiap orang,  aku ingin menghancurkan apapun yang ada dihadapanku.”

“Sabar ma, sa’at untuk bertindak itu pasti ada.”

“Dan kebencianku kepada Dayu juga tak pernah berakhir. Gadis itulah yang mematahkan harapanku untuk berbesan dengan keluarga Diana.”

“Dayu itu bagianku ma, mama tenang saja. Kesempatan itu pasti ada.”

  “Aku tidak sabar Anjas, belum puas rasanya kalau belum menyiksa dia dan keluarganya.”

***

Susan sudah boleh pulang, dan kost disebuah rumah yang tak jauh dari kantornya. Naya merasa lega, ketika membantu bapaknya bisa seringkali bertatap muka dengan gadis yang dicintainya.

Tapi Adit ragu-ragu ketika Indra menawarinya pekerjaan di kantornya.

“Mengapa menolak Dit?” tanya Tikno.

“Nggak enak saja bapak, masa sih aku harus merepotkan pak Indra lagi?”

“Tidak merepotkan Adit, kamu bekerja, kamu dibayar atas pekerjaan kamu. Tapi bapak tidak memaksa, kalau kamu bersedia ya baguslah, kalau mau cari sendiri ya bapak tetap mendukung kamu.”

“Ya nanti Adit pikirkan, kan belum wisuda juga.”

“Sebentar lagi kalian wisuda. Bapak sama ibu tidak lupa itu. Hm.. akhirnya anak-anak bapak tumbuh dewasa dan berhasil menyelesaikan pendidikan yang bukan main. Bapak bangga atas kamu.”

“Terimakasih bapak, ini semua atas dorongan dan do’a yang tak pernah henti dari bapak dan juga ibu.”

“Do’a orang tua tak akan pernah berhenti nak. Sukseslah dan segera cari isteri yang baik yang bisa mendampingi kamu selamanya.”

“Bapak membuat Adit berdebar. Besok kalau Adit sudah bekerja, Adit ingin melamar Yayi, apakah bapak setuju ?”

“Apapun yang membuat kamu bahagia, bapak akan mendukungnya. Bahagia kamu juga bahagia bapak dan ibu.”

Adit memeluk ayahnya dengan terharu.

***

Hari untuk wisuda telah tiba. Susan berdandan cantik untuk menemani Naya. Demikian juga Yayi. Dua pasang orang tua bersiap dengan kebahagiaan yang meluap.

Keluarga Indra dengan senang hati menjemput keluarga Tikno, agar bisa berangkat dan pulang bersama. Namun Dayu memilih berangkat sendiri, karena Aliando akan menjemputnya.

Tapi tiba-tiba Liando menelpon, bahwa ada urusan mendadak di kantor. Ia menyuruh pak Karjo untuk menjemput Dayu.

“Ma’af mbak Dayu, mas Liando menyuruh saya mengantarkan mbak Dayu sampai ke kampus, nanti mas Liando akan menyusul, kira-kira setengah jam an lagi.”

“Baiklah pak Karjo, terimakasih.”

Walau sedikit kecewa, Dayu pun berangkat diantar pak Karjo. Namun setelah sampai disana, Dayu belum ingin masuk kedalam. Ia akan tetap menunggu Liando.

Ia duduk disebuah kursi yang terletak agak kepinggir, sehingga bisa melihat kalau sewaktu-waktu Liando datang.

Tamu yang datang sudah banyak. Yang mau diwisudah sudah bersiap di baris depan.

Dayu menoleh kearah jalan, tapi Liando belum tampak nongol. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti didepan, seseorang dengan pakaian perlente turun dari taksi.

“Saya mau ketemu mbak Dayu, apa sudah ada didalam?”

Mendengar itu Dayu langsung berdiri.

“Saya Dayu, ada apa?”

“Saya anak buahnya pak Liando, diminta menjemput mbak Dayu.”

“Lho, menjemput bagaimana? Dia katanya akan menyusul kemari.”

“Mas Liando hanya ada disalon dekat situ, dia ingin datang bersama mbak Dayu.”

“Oh, dasar manja,” gerutu Dayu, tapi dia tetap saja naik kedalam taksi itu, yang kemudian membawanya melaju keluar dari kawasan kampus.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...