Saturday, December 30, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 29

 BUNGA UNTUK IBUKU  29

(Tien Kumalasari)

 

Baskoro merasa dadanya bak dipukul oleh ribuan palu. Ia sudah tahu apa yang didengar Rusmi sehingga dia menjerit histeris. Pasti Hasti mengatakan kepada ibunya tentang kehamilannya. Bagaimana kalau Hasti tetap menuduh dia yang menghamilinya, sementara dia tidak yakin bahwa bayi yang dikandung Hasti adalah anaknya? Harus dengan perjuangan untuk meyakinkan Rusmi bahwa bukan dia pelakunya, atau tepatnya adalah, bukan hanya dia pelakunya.

“Apaaaa?” terdengar Rusmi menjerit lagi, dan kali ini Rusmi menatap Baskoro dengan pandangan tajam.

“Kamu pulang sekarang. Pulang! Dasar anak gembel, tidak tahu diuntung,” gerutu Rusmi sambil membanting ponselnya. Lalu ia menatap lagi Baskoro. Baskoro kelimpungan. Ia pasti menolak. Tapi Rusmi belum mengucapkan apapun. Sebenarnya Baskoro agak tertegun ketika mendengar bahwa Hasti anak gembel. Bukan anaknya? Tapi Baskoro belum menanyakannya. Ia sedang fokus kepada tuduhan Hasti bahwa dia pelakunya.

“Mengapa menatap aku seperti itu?”

“Kamu memang laki-laki brengsek!” makinya.

“Hasti bilang apa?”

“Dia hamil. Kamu pelakunya!” katanya sambil menatap Baskoro sengit.

“Bukan.”

“Kamu mau mengelak?”

“Bukan begitu. Ketika saya tidur dengan dia, dia sudah tidak perawan,” katanya gemas.

“Apa?”

“Itu benar. Apakah kamu yakin, yang dikandung adalah anakku?”

“Tapi kamu melakukannya juga kan? Sudah berapa kali? Berapa kali kalian main di belakangku? Membohongiku?” Rusmi lagi-lagi berteriak. Keinginan merebut kekuasaan di perusahaan suaminya gagal, dan sekarang Hasti menambahkan beban memalukan itu keatas kepalanya.  Rusmi benar-benar merasa sudah jatuh tertimpa tangga. Ini lebih menyakitkan. Apa yang harus dilakukannya? Menambah malu dengan memiliki cucu tanpa ada bapaknya? Tidak, bayi itu bukan cucunya.

Rusmi melangkah keluar dari kamar. Turun ke ruang tengah, menunggu kepulangan Hasti.

Baskoro mengikutinya dengan wajah lesu. Lalu duduk di samping Rusmi. Tapi kemudian Rusmi pindah duduk di sofa yang lain. Seakan jijik berdekatan dengan laki-laki yang telah menggauli anaknya entah sudah berapa kali.

“Aku minta maaf.” kata Baskoro lirih.

Sesungguhnya yang dipikirkan Baskoro adalah kehidupannya sendiri nanti. Dia sudah dipecat, dan Rusmi bukan lagi menjadi wanita yang bisa memanjakannya. Tampaknya perusahaan juga tak akan peduli pada nasib Rusmi karena tuduhan melanggar susila yang ditujukan kepada dirinya, pasti imbasnya akan ke Rusmi juga. Terbayang olehnya wajah Suri. Perempuan cantik yang dengan segala ketulusan melayaninya, kemudian terpaksa meninggalkannya. Pasti karena merasa tak dicintai. Pastilah karena kebohongan demi kebohongan yang diciptakannya telah membuatnya semakin curiga. Bukankah Suri pernah menemukan bajunya yang berlepotan lipstik? Dan wangi yang menempel adalah parfum perempuan yang digunakan Rusmi? Ternyata Suri tak sebodoh yang dibayangkannya. Sekarang Baskoro tiba-tiba ingin mrncari tahu, dimana gerangan Suri berada,

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Lalu terdengar langkah-langkah memasuki rumah. Hasti mendekat dengan wajah lusuh dan mata sembab. Rusmi menatapnya dengan mata menyala.

“Ibu ….” tiba-tiba Hasti menubruk ibunya sambil menangis. Tapi Rusmi mendorongnya sehingga Hasti jatuh terjengkang. Baskoro terkejut melihat kelakuan Rusmi. Kepada anaknya sendiri, dia begitu tega?

“Bocah sialan. Tahu begini, dulu aku tidak sudi mengangkatmu dari comberan. Dasar anak gembel, tetaplah gembel!” hardiknya.

“Ibu, maafkan Hasti.”

“Jangan memanggil aku ibu, aku bukan ibumu.”

Bukan hanya Hasti yang terkejut. Baskoro pun terkejut. Karena sebuah kesalahan, seorang ibu tidak mau mengakui anaknya sebagai anak? Bahkan merendahkannya sampai mengatakan ucapan buruk dan kasar?

“Aku khilaf Bu,” tangisnya dengan berusaha mendekat dan menubruk pangkuan ibunya, tapi lagi-lagi Rusmi mendorongnya.

 “Ibu ….” Hasti menangis pilu.

“Aku bukan ibumu. Dengar, dulu aku memungutmu dari jalanan. Biarpun kamu anak dari kakak kandungku, tapi kalian miskin sehingga hidup dijalanan. Aku memungut kamu dan Nilam yang masih bayi, lalu mengangkatmu sebagai anak. Apa kamu sudah lupa? Kamu anak kecil berumur lima tahunan lebih waktu itu. Kamu tidak mengingatnya? Lalu ibumu mati karena penyakit parah yang dideritanya. Kamu lupa? Sekarang minggatlah dari hadapanku.”

Baskoro benar-benar terkejut. Ternyata Hasti dan Nilam bukan anak kandungnya? Pantas saja ia tak peduli ketika Nilam pergi, dan sekarang tak sudi menanggung beban yang dibebankan oleh Hasti dengan hamil sebelum menikah.

Hasti masih ngelesot di lantai. Terbayang ingatan di kepalanya, ketika ia bersama adiknya yang masih bayi, dibawa oleh Rusmi yang sebenarnya adik kandung ibunya, tapi bernasib lebih baik karena bekerja di sebuah toko, dan memiliki seorang suami yang menjadi pegawai kantoran. Rusmi dan suaminya menerima Hasti dan Nilam karena wajah mereka bersih dan cantik, sedangkan mereka belum dikaruniai anak. Tapi tak lama kemudian ibu angkatnya menjadi janda karena suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan.

Beruntung ketika beberapa tahun kemudian, seorang duda yang pengusaha kaya tertarik kepada ibu angkatnya dan mengambilnya sebagai istri. Waktu itu Nilam baru masuk SD dan dia belum sampai menyelesaikannya.

Pak Raharjo, suami ibu angkatnya itu mengasihi mereka seperti kepada anak kandungnya sendiri. Tapi sebaliknya, sang ibu tidak bisa mengasihi Wijan yang anak tiri. Bertahun-tahun dia dan ibu angkatnya menyiksa Wijan saat Raharjo tak ada di rumah.

Hasti ingat sekarang pada perjalanan hidupnya. Memang benar dirinya dulu gembel yang dipungut Rusmi dari jalanan. Tapi Hasti tak mengira, ketika dia membutuhkan perlindungan, sang ibu angkat yang semula mengakuinya sebagai anak, kemudian mencampakkannya seperti sampah.

Hasti terguguk sambil masih bersimpuh di lantai.

“Kamu tuli? Pergi dari sini!! Aku tidak mau bebanku bertambah dengan persoalan kamu!”

Baskoro yang semula diam, merasa iba melihat Hasti terguguk di lantai, sedangkan ibunya mengusirnya.

“Jangan begitu, Bu. Kasihan dia,” katanya pelan.

Tapi mendengar Baskoro berkata-kata, kemarahan Rusmi memuncak. Tak bisa dipungkiri dia menyukai Baskoro. Tak rela Baskoro menaruh perhatian kepada perempuan lain, biarpun dia adalah ‘anaknya’.

“Apa kamu bilang? Kasihan? Lalu kamu mau apa? O, mau menikahi dia? Silakan, dia mengaku bahwa kamu yang menghamilinya kok. Pergilah kalian berdua. Pergi!!”

Ucapan itu seperti mempersilakan, tapi nadanya berasa ancaman.

“Mas, tolong aku Mas, ini anakmu,” kata Hasti setelah melihat Baskoro membelanya. Tapi Baskoro memalingkan wajahnya.

“Tidak, bukan aku. Kamu bergaul dengan banyak lelaki. Mengapa aku kamu korbankan?”

Rusmi ingin mengatakan bahwa semua itu harus dibuktikan dengan tes DNA, tapi bukankah biayanya mahal? Dia harus memperhitungkan kehidupannya kelak. Pak Rangga sudah mengatakan kalau tunjangan untuknya akan dihentikan, lalu apa yang harus dilakukannya? Uang yang tinggal seberapa harus dihematnya. Rusmi sudah merasa ngeri membayangkan hidup miskin. Mana berani dia membayar biaya untuk tes DNA?

Rusmi begitu kalut, bertumpuk masalah membebani pikirannya, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Seharusnya dia juga tak ingin membuka rahasia yang sudah disimpannya bertahun-tahun, dan sudah menganggap keponakannya adalah anaknya sendiri. Tapi dalam pikirannya yang gelap, kemudian semuanya meluncur begitu saja. Ia bahkan bersikeras mengusir Hasti dari rumah.

“Kamu tidak segera pergi? Kamu tuli? Kamu tidak mendengar aku berkata-kata? Dahulu aku hidup tanpa kamu tanpa Nilam, dan sekarang mengapa kamu harus membebani aku? Pergi!! Pergiii!!” Rusmi berteriak semakin keras.

Rusmi mengambil dompetnya, mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian dilemparkannya ke arah Hasti.

“Pergi dan gugurkan kandungan kamu!” katanya tandas.

Hasti yang tak pernah berhenti mengalirkan air mata, tak lagi bisa berharap banyak. Karena merasa membutuhkan, ia meraup uang yang tersebar, dimasukkannya ke dalam tas tangannya, kemudian bangkit. Sebelum melangkah keluar rumah, ia menoleh ke arah Baskoro. Tapi Baskoro tak berani menatapnya. Hidupnya masih harus bergantung pada Rusmi, dan Baskoro, yang laki-laki gagah dan garang di ranjang, ternyata hanyalah seorang pengecut.

“Jangan bawa mobilnya!” teriak Rusmi ketika melihat Hasti mendekati mobil. Hasti dengan segera melemparkan kunci mobil ke arah teras, kemudian berlalu.

***

Baskoro duduk terpaku di kursinya. Tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia meminta maaf, tapi Rusmi mengacuhkannya. Kenyataan bahwa Baskoro sering berduaan dengan Hasti, membuat hatinya sakit. Ia membiarkannya saja ketika Baskoro merapikan kamar yang berantakan, bahkan ada pecahan botol yang entah isinya apa, pecah berserakan di lantai. Ia membersihkannya seperti seorang pembantu, hanya karena ingin agar Rusmi mengasihaninya. Pembantu yang ditemukan Rusmi setelah bibik pergi, tidak bisa datang setiap hari karena dia bekerja di beberapa tempat, Itu sebabnya Baskoro melakukan semuanya.

Ketika selesai bersih-bersih, Baskoro turun lagi ke bawah dan melihat Rusmi sedang berbaring di sofa. Baskoro bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul Rusmi, ketika menyadari bahwa dia nyaris tak punya apa-apa. Harapan yang dirangkai untuk hidup bersama dalam gelimang harta, jatuh berderai menjadi kepingan-kepingan asa tak bernilai.

Baskoro mendekat pelan. Rusmi bergeming, tapi dia menatapnya ketika Baskoro duduk di bawah sambil memijit kakinya.

“Apa kamu mau makan sesuatu?”

“Tidak,” Rusmi menjawab pelan. Tapi kemudian dia duduk lalu merapikan rambutnya yang tergerai sebatas pundak.

“Semuanya menjadi kacau,” keluhnya.

Baskoro ke belakang lalu kembali dengan segelas air dingin, yang kemudian diulurkannya pada Rusmi.

“Aku tidak mengira, Hasti dan Nilam bukan anak kandung kamu,” kata Baskoro hati-hati.

“Aku kelepasan bicara,” kata Rusmi penuh sesal.

Ia meneguk segelas air putih yang disodorkan Baskoro.

“Aku mandul.”

Baskoro menatap Rusmi tak percaya.

“Itu sebabnya aku memungut keponakan aku yang orang tuanya miskin. Tapi mereka sudah meninggal semua. Aku berharap hidupku menjadi hangat dengan adanya mereka. Tapi ternyata keduanya membuat aku kecewa. Dan akhirnya memang lebih baik mereka pergi.”

Baskoro hanya diam, tak tahu harus mengatakan apa.

“Kita lupakan dulu masalah itu. Aku sedang memikirkan hidupku selanjutnya. Kita tak akan bisa seperti dulu lagi,” katanya lirih.

Karena pikirannya dipenuhi oleh pikirannya yang kacau, maka Rusmi melupakan kemarahannya pada Baskoro.

***

Beberapa hari telah berlalu. Hari itu pak Rangga mendapat kabar bahwa Barno yang masih ditahan menderita sakit keras, dan harus dirawat di rumah sakit. Istri Barno, bu Rini yang mengabari ke kantor sambil menangis.

“Apakah sakit pak Barno parah Bu, kata dokter sakitnya apa?” tanya pak Rangga.

“Katanya sakit lever dan sudah parah Pak, sebenarnya sudah lama dia mengeluh perutnya sering mual dan sakit. Tapi tidak pernah mau pergi ke dokter.”

“Nanti saya dan beberapa karyawan akan menjenguknya,” janji pak Rangga, yang memiliki hati sebaik pak Raharjo.

“Sebenarnya ada hal penting yang ingin dia  katakan. Ini adalah pesan dari bapaknya anak-anak, bahwa sebelum meninggal dia harus mengatakannya,” kata bu Rini disertai isak.

“Pak Barno sudah dirawat, Ibu tidak usah khawatir, dia pasti akan sembuh. Mati dan hidup manusia itu ditangan Allah. Ya kan Bu,” hibur pak Rangga.

“Pesan apa yang ingin dikatakan pak Barno?” lanjutnya.

“Katanya ia ingin mengatakannya kepada pak Rangga sendiri.”

 “Oh, begitu. Baiklah, saya akan secepatnya menemui dia. Mungkin hari ini.”

Terima kasih Pak. Dia juga berpesan, kalau saya ke rumah sakit dan bisa ketemu Bapak, maka saya harus membawa sebuah bungkusan yang disimpannya di almarinya.”

“Bungkusan apa itu?”

“Saya tidak tahu, karena saya belum melihatnya. Kalau bisa, maaf, kapan Bapak mau ketemu suami saya, supaya saya bisa membawa bungkusan itu ke rumah sakit.”

“Baiklah. Sebelum jam istirahat saya akan memerlukan kesana.”

“Terima kasih Pak, saya permisi. Saya akan pulang dan mengambil bungkusan itu sekarang.”

Pak Rangga mengangguk. Sebelum pulang ia memberikan sejumlah uang untuk bu Rini, yang semula ditolak, tapi pak Rangga mamaksanya.

Pak Rangga yang penasaran, segera mengajak salah seorang anak buahnya untuk ikut bersamanya ke rumah sakit. Pesan apa dan  bungkusan apa yang akan diberikan kepadanya.

***

Pak Rangga terharu melihat wajah Barno yang sangat pucat. Begitu melihat pak Rangga datang, Barno menyalaminya dengan air mata berlinang.

“Jangan sedih, Barno, kamu dirawat untuk sembuh. Semangat ya, dan jangan lupa berdoa. Kami teman-teman kamu akan ikut mendoakan untuk kesembuhan kamu.”

“Terima kasih Pak.”

“Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Tadi istri kamu datang ke kantor.”

“Saya yang menyuruh Pak, bukan karena ingin dijenguk pak Rangga, tapi karena ada sesuatu yang ingin saya katakan.”

“Baiklah, katakan apa yang akan kamu katakan.”

“Saya ingin mengatakan, bahwa kecelakaan itu sebenarnya memang saya sengaja.”

Pak Rangga terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Friday, December 29, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 28

 BUNGA UNTUK IBUKU  28

(Tien Kumalasari)

 

Rusmi menyilangkan kedua kakinya, menatap ruangan suaminya dengan wajah berseri-seri. Sudah lama hal ini diimpikannya. Duduk dibelakang meja pimpinan atau bahkan pemilik perusahaan besar. Sudah dibayangkannya ketika ia bisa memerintah sana, memerintah sini, lalu setiap karyawan yang datang selalu terbungkuk-bungkuk di hadapannya dengan penuh rasa hormat,

Tangannya meraih sebuah papan kecil berukir, bertuliskan nama Ir. Raharjo Purnomo. Senyum licik mengembang, lalu ia merebahkan tulisan itu dengan tulisannya dibawah.

“Bukankah kamu sudah tak ada lagi di dunia ini, Pak? Maaf ya, aku gantikan kamu, dan jangan khawatir, aku akan melakukan tugas yang tak akan membuat kamu kecewa. Kamu bahkan akan bangga karena aku bisa menjalankan usaha ini dengan baik, dan jangan takut juga, aku tak akan melupakan jasa-jasa kamu, yang telah menaikkan derajat aku dan anak-anakku, yang berangkat dari kalangan rendahan, menjadi orang terkemuka yang disegani.

Rusmi menyandarkan kepalanya dengan santai, lalu memutar-mutar kursi yang didudukinya sambil menampakkan senyuman lebar.

“Enaknya jadi orang yang berkuasa. Nanti aku akan mengatur semuanya. Karyawan yang tidak sependapat denganku, yang menentangku, harus aku singkirkan. Baskoro akan menjadi asisten pribadiku yang berkantor satu ruang denganku. Dia laki-laki menarik yang kuat, berotot, dan bisa bekerja keras. Maksudnya bekerja untuk memuaskan aku,” katanya, lalu tertawa lirih.

Rusmi sedang memutar kembali kursi yang didudukinya, ketika pak Rangga memasuki ruangan. Kening laki-laki kepercayaan Raharjo itu berkerut, melihat sikap Rusmi yang seakan sudah menjadi pimpinan. Selama pak Raharjo belum kembali, tak seorangpun berani duduk di kursi itu. Mereka semua menghormati pemilik perusahaan yang berwibawa, dan sangat baik kepada semua karyawannya.

“Selamat siang, bu Raharjo,” katanya, kemudian duduk di depan Rusmi, walau dengan perasaan yang kurang senang.

Ia meraih papan nama berukir yang bertuliskan nama atasannya, lalu di pasangnya kembali dengan penuh rasa hormat.

“Pak Rangga, apakah masih ada gunanya, tulisan itu dipasang di meja ini?”

“Maaf Bu, bukankah meja ini memang meja kerja pak Raharjo?”

“Tapi bukankah pak Raharjo sudah tidak ada lagi di sini, bahkan di dunia ini. Ya kan?”

Pak Rangga merasa dadanya sakit. Bagaimanapun Raharjo masih dianggapnya sebagai pemilik perusahaan itu.

“Mengapa ibu mengatakan hal itu? Kami masih berharap pak Raharjo akan kembali memimpin perusahaan ini,” jawab pak Rangga dengan wajah tak senang.

“Apakah dua bulan lebih masih belum cukup untuk melakukan penantian?”

“Bertahun-tahun sekalipun kami masih akan tetap menunggu.”

“Jangan bermimpi Pak Rangga. Kita harus bisa menghadapi kenyataan. Dengan tidak ditemukannya pak Raharjo selama dua bulan lebih, tidak bisa kita terus menunggu. Bukankah harus ada yang menggantikannya duduk di kursi ini sebagai pimpinan sekaligus pemilik perusahaan ini?”

Pak Rangga menatap Rusmi dengan tatapan tajam. Alangkah tidak pantasnya seorang istri yang kehilangan suami, lalu baru beberapa bulan menghilang menganggapnya sudah tidak ada, dan berpenampilan sangat menyolok, seakan tak ada lagi duka yang tersisa.

“Pak Raharjo memberikan kepada saya kekuasaan penuh untuk mengelola perusahaan ini, dan kami akan tetap berharap, suatu hari nanti pak Raharjo akan kembali. Saat ini suasana duka belum menghilang dari hati kami semua.”

“Omong kosong apa itu? Ini sebuah perusahaan, harus berjalan dan tidak akan terpengaruh oleh suasana hati.”

“Bukankah perusahaan ini masih berjalan dengan baik dan tak ada kendala yang menghalanginya?”

Rusmi mengerutkan dahinya.

“O, sekarang aku tahu. Rupanya pak Rangga ingin menguasai perusahaan ini, dan lama-lama nanti perusahaan ini akan menjadi milik pak Rangga,” ejek Rusmi dengan senyuman sinis.

“Biasanya hati yang buruk akan mencerminkan sikap seperti apa kata hatinya. Tuduhan bu Raharjo tidak beralasan, karena semua perjalanan dalam mengurus perusahaan ini ada laporannya yang diketahui oleh semua staf. Tak ada yang menyimpang. Ada laporan setiap jengkal perjalanan, yang kelak kalau pak Raharjo kembali akan menjadi petunjuk bahwa kami semua bekerja menurut rel yang ada.”

“Bagaimanapun, harus ada pengganti pak Raharjo yang akan duduk di sini, menggantikan tugas beliau sebagai pemilik. Apa yang memberatkan, menurut Anda?”

 “Maksud bu Raharjo?”

“Panggil aku bu Rusmi.”

Pak Rangga terhenyak. Rusmi benar-benar ingin menghilangkan nama Raharjo, bukan hanya di perusahaan ini, tapi juga yang menempel pada namanya.

“Rusmiati adalah namaku, bukan?”

“Baiklah, ibu Rusmiati. Saya tadi bertanya apa maksud ibu dengan perkataan ibu yang terakhir.”

“Tentang pengganti pak Raharjo di kursi ini, bukan? Apa Anda begitu bodohnya sehingga tidak tahu apa yang aku maksudkan?”

“Maaf Bu, yang bodoh adalah orang yang tidak bisa menempatkan dirinya, di mana dia harus duduk, dan di mana dia harus berdiri.”

Rusmi menatap tak senang, tapi Rangga tak peduli. Sikap Rusmi menghilangkan rasa hormatnya.

“Baiklah, begini saja. Terus terang aku harus mengatakan, bahwa aku, sebagai istri almarhum pak Raharjo_”

“Jangan sebut beliau almarhum,” potong pak Rangga, tandas.

“Oho, baiklah, aku sebagai istri Raharjo yang belum kembali, berhak menggantikannya duduk di sini, mengawasi perjalanan usaha ini, dan menentukan mana hal terbaik yang harus dilakukan.”

Pak Rangga tersenyum tipis.

“Sebuah perusahaan bukanlah benda jatuh yang berhak dimiliki seseorang ketika dia menemukannya tak bertuan.”

“Apa maksud Anda?” mata Rusmi melotot menahan marah.

“Ada aturan yang harus digenggam oleh setiap pemegang aturan itu sendiri.”

“Apa maksud anda?” Rusmi berteriak.

“Perusahaan ini tidak bisa dengan seenaknya dipindah tangankan kepada orang lain. Artinya tidak sembarang orang bisa duduk di kursi pak Raharjo seperti yang Ibu lakukan.”

Rusmi menggebrak meja dengan keras.

“Apakah Anda lupa bahwa aku adalah istrinya? Sampai dia pergi, aku adalah tetap istrinya. Anda lupa?” Rusmi masih berteriak.

“Benar. Tapi walaupun Ibu adalah istrinya, tidak serta merta kemudian Ibu berhak menguasai perusahaan ini.”

“Rangga!! Katakan kalau kamu yang ingin berkuasa di sini. Katakan kalau kamu ingin menguasai perusahaan ini!!”

Pak Rangga mencoba tersenyum sabar.

“Sebentar bu, saya akan mengambil sesuatu yang nanti bisa ibu baca,” kata pak Rangga yang kemudian berdiri, lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan Rusmi yang masih duduk dengan wajah merah padam.

“Apa yang akan kamu lakukan, Rangga! Aku adalah istrinya. Istri sah. Mengapa kamu mengatakan bahwa aku tak berhak?” gumamnya marah.

Rusmi ingin memanggil Baskoro untuk diajaknya mendengarkan debat yang membuatnya kesal. Bagaimanapun ia harus bisa menguasai perusahaan ini. Dan hal pertama yang akan dilakukannya, adalah memecat Rangga dengan tidak hormat. Ia belum jadi menelpon Baskoro, karena pak Rangga sudah muncul kembali dengan membawa sebuah map berisi berkas. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk seperti semula.

“Apa ini?”

“Ini adalah salinan sebuah surat, yang bisa ibu baca.”

“Untuk apa aku membaca semua ini? Satu hal yang harus Anda ingat ialah, bahwa aku adalah istri sah pemilik perusahaan ini.”

“Tapi Ibu harus membacanya, supaya ibu tahu, di mana seharusnya ibu duduk,” kata pak Rangga tandas.

Rusmi menarik map itu dengan kasar.

Pak Rangga hanya menunjukkan salinan surat-surat itu, karena kalau ia membwa aslinya, maka khawatir Rusmi akan merobek-robeknya karena marah.

Rusmi membacanya juga, karena dia melihat tanda tangan suaminya di sana.

“Apakah ini wasiat tentang warisan yang ditinggalkan suamiku untuk aku?” kata batin Rusmi yang tetap ingin menjadi penguasa di kantor itu.

Tapi semakin membaca, wajah Rusmi menjadi pucat. Ia menarik surat itu dan merobek-robeknya, persis seperti dugaan pak Rangga.

“Itu surat penting yang Ibu harus tahu, mengapa ibu tidak punya etika dengan merobek-robek surat itu?” tegur pak Rangga marah.

“Ini surat palsu buatan kamu! Kamu memang ingin menguasai perusahaan ini, bukan? Aku akan melaporkannya pada polisi,” teriak Rusmi.

“Silakan ibu melapor.”

“Kamu membuat surat palsu!”

“Surat ini dibuat oleh notaris, ditanda tangani oleh pak Raharjo. Ibu harus tahu bahwa yang berhak menjadi pemilik usaha ini adalah yang bernama Wijanarko. Ibu mengenal nama itu, bukan?”

“Aku akan memecat kamu!!” teriaknya tak terkendali.

“Atas hak apa, ibu bisa memecat saya? Sekarang silakan keluar. Ibu tak berhak berada disini.”

“Kamu setan alas keparat!!”

“Selama pak Raharjo pergi, tak seorangpun berani duduk di kursi itu. Ibu telah lancang melakukannya. Sekarang keluarlah, saya yang mengusir ibu. Mohon maaf kalau saya kurang sopan, soalnya ibu juga tidak bisa menghargai orang lain.”

“Aku pecat kamu.”

“Yang akan dipecat setelah ini adalah Baskoro.”

“Apa?”

“Semuanya sudah dicatat, dan akan dilaksanakan sesegera mungkin. Mohon segera keluar, sebelum satpam memaksanya.”

“Kurangajar kamu!! Setan alas kamu!!” Rusmi berteriak-teriak marah.

“Tunjangan untuk ibu akan dihentikan, karena ketahuan ibu berselingkuh.”

“Jahanam!! Kamu orang kepercayaan yang busuk!!”

Pak Rangga memanggil satpam, yang segera menyeret Rusmi keluar dari ruangan, dan membawanya keluar dari area kantor.

Diruangannya, Baskoro menatap nanar punggung Rusmi yang meronta-ronta karena diusir paksa.

***

Baskoro juga melihat pak Rangga keluar dari ruangan Raharjo dengan wajah gelap. Ia berdebar, apa yang dilakukan Rusmi sehingga satpam menariknya pergi dengan paksa, Pasti dia bicara seenaknya seperti kalau sedang di rumahnya sendiri. Baskoro ingin menanyakannya kepada pak Rangga, tapi melihat wajah pak Rangga yang gelap, dia mengurungkannya. Sejak kemarin dipanggil ke ruangannya, sikap pak Rangga tampak berubah. Baskoro merasa bahwa sudah banyak kelakuan buruknya bersama Rusmi yang tercium oleh pak Rangga. Itu sebabnya dia mengatakan semuanya kepada Rusmi, berharap Rusmi bisa melakukan sesuatu untuk melawan pak Rangga, tapi apa yang baru saja dilihatnya, membuat hatinya ciut. Ia terus bekerja, tapi tidak sepenuhnya konsentrasi kepada pekerjaannya. Ingin ia menelpon Rusmi, tapi takut ketahuan pak Rangga. Karenanya dia hanya mengirim pesan singkat kepadanya.

{“Ada apa?”}

Tapi untuk waktu yang lama, pesan itu tidak terjawab. Dibacapun tidak. Baskoro menjadi gelisah. Ketika waktu istirahat siang, dia hanya makan di kantin, sendirian. Ia tak melihat pak Rangga. Rupanya pak Rangga makan di luar dengan stafnya. Baskoro merasa lebih tidak enak lagi. Tampaknya hal buruk akan terjadi terhadap dirinya. Sambil makan, dia melihat ke arah ponselnya, tapi dengan kecewa ia melihat bahwa pesan untuk Rusmi belum dibaca juga.

Baskoro tak menghabiskan makanan yang dipesannya. Ia ingin pulang ke rumah Rusmi, tapi nanti akan membuat dia terlambat kembali, dan keadaan akan menjadi semakin parah. Akhirnya Baskoro memilih untuk bersabar, sampai jam kerja sudah selesai.

Tapi sebelum itu seorang sekretaris pak Rangga masuk ke ruangannya, dengan memberikan sebuah surat. Baskoro tertegun. Dengan gemetar dia meraih amplop itu dan membukanya. Ia lebih gemetar lagi ketika membaca isinya. Baskoro telah dipecat dengan tidak hormat karena pelanggaran susila yang dilakukannya. Setan alas mana yang melaporkan semuanya?

***

Rusmi sedang berbaring di ranjangnya setelah lelah mengamuk dengan membanting semua barang yang ada di kamarnya. Ia kesal dan kecewa karena ternyata ia tak berhasil menguasai perusahaan suaminya, yang sudah dihibahkannya kepada Wijanarko.

“Anak keparat itu sudah minggat, untuk apa diberi kepercayaan yang begitu besar? Ternyata Raharjo telah mengatur semuanya, dan aku terlambat menyingkirkannya. Apa dia sudah merasa kalau aku akan membuatnya mampus?” omelnya berkali-kali sambil membuang semuanya yang ada didekatnya. Kegiatan mengamuk itu berhenti ketika tiba-tiba Baskoro masuk begitu saja ke kamarnya.

Baskoro terbelalak melihat barang-barang berserakan di lantai. Hatinya yang kusut karena dipecat, bertambah kusut melihat semua kekacauan yang ada di depannya.

“Ada apa Bu?” tanyanya sambil mendekat ke arah ranjang.

Rusmi menatap Baskoro tak berkedip. Tak ada kemesraan yang terjadi pada pertemuan itu, karena  dua-duanya sedang dilanda beliung yang memorakporandakan semua mimpi dan harapan.

Baskoro melihat bekas air mata di wajah Rusmi.

“Apa yang terjadi?” Baskoro duduk di tepi ranjang. Ia belum sempat mengatakan tentang pemecatan atas dirinya. Bisakah Rusmi menolongnya setelah pagi tadi diseret keluar oleh satpam perusahaan? Apakah yang sebenarnya terjadi?

“Ibu tadi ke kantor, bukan?”

“Kamu sudah tahu, kenapa bertanya?” jawab Rusmi kasar.

“Ibu belum mengatakan semuanya.”

“Tak ada harapan untuk kita. Raharjo menghibahkan perusahaan itu untuk Wijan. Aku bisa apa?” teriaknya sambil menangis.

Baskoro merasa dunianya sudah berhenti berputar. Apa lagi yang bisa diharapkannya dari perempuan yang tak berharta ini?

Tiba-tiba ponsel Rusmi berdering. Baskoro berdebar ketika melirik ke arah ponsel Rusmi yang berdering, dan melihat siapa pengirimnya.

Rusmi meraihnya dengan kasar.

“Kamu? Kemana saja kamu, sehingga sampai sekarang tidak pulang?” hardiknya sebelum Hasti yang ada di seberang mengatakan sesuatu.

“Ibu …,” sekarang suara Hasti terdengar menangis.

“Mengapa menangis? Jangan lebih memberatkan aku dengan masalahmu juga!” bentaknya.

“Ibu, aku hamil.”

“Apaaaa?” Rusmi menjerit.

***

Besok lagi ya.

Thursday, December 28, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 27

 BUNGA UNTUK IBUKU  27

(Tien Kumalasari)

 

Hasti merasa kesal. Baskoro mendorongnya, dan berarti berita itu tidak membuatnya senang. Hasti lupa bahwa status Baskoro adalah masih seorang suami, dan sekarang adalah selingkuhan ibunya sendiri. Tentu saja Baskoro kebingungan. Tapi hal itu tidak lama. Baskoro ingat bahwa Hasti tidak hanya berhubungan dengan dirinya. Ditatapnya Hasti tajam. Ada kekesalan di sana.

“Kenapa Mas, ini berita mengejutkan bukan? Tapi kenyataan ini harus kita hadapi bersama,” katanya enteng.

“Apa maksudmu harus kita hadapi bersama?”

“Apa boleh buat, Mas harus bertanggung jawab.”

“Kamu jangan bicara seenak kamu sendiri. Ketika kita berhubungan, kamu sudah tidak perawan. Mengapa aku harus bertanggung jawab?”

“Mas!” Hasti terkejut.

“Siapa saja laki-laki yang berhubungan denganmu. Mengapa aku harus bertanggung jawab?”

“Tapi akhir-akhir ini aku hanya sama Mas. Tidak ada yang lain.”

“Apa aku harus mempercayai kamu?”

“Mas!”

Baskoro berusaha turun dari dalam mobil, tapi Hasti menarik tangannya.

“Mas tidak boleh begitu. Mas harus bertanggung jawab.”

“Silakan bermimpi. Aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan.”

Baskoro mengibaskan tangan Hasti, kemudian keluar dari dalam mobil, dan menutup pintunya keras, meninggalkan Hasti yang menangis terisak-isak.

Baskoro menghampiri parkiran dan mencari sepeda motornya. Kesenangan bersama gadis yang membuatnya terlena, yang semula dibayangkannya, musnah sudah. Biarpun tidak mempercayainya, kenyataan bahwa Hasti hamil, telah mengusik perasaannya. Bagaimana kalau benar bahwa itu anaknya? Tapi Baskoro kemudian mengibaskannya.

Ia mengambil sepeda motornya, membayar parkiran kemudian kabur menuju rumah Rusmi. Dibiarkannya Hasti berteriak-teriak dari jendela mobil yang dibukanya. Baskoro terus memacu sepeda motornya.

***

Rusmi sangat senang melihat Baskoro datang lebih cepat dari yang dijanjikannya. Saat itu ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi, dan seperti biasa, Baskoro nyelonong begitu saja masuk ke kamar. Rusmi menjerit genit, berharap Baskoro memeluknya dengan penuh gairah. Tapi tidak. Baskoro langsung menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Bahkan tanpa membuka sepatunya.

Rusmi terkejut. Ia mendekati ranjang dengan hanya memakai handuk membelit tubuhnya. Dengan gerakan memikat, Rusmi berharap Baskoro menyambutnya. Tapi Baskoro bergeming. Hal itu membuat Rusmi kesal.

“Ada apa?”

“Aku sedang banyak pikiran, perempuan memang menjengkelkan,” katanya tanpa menatap Rusmi yang berdiri menantang di sampingnya.

Semangat yang menyala di dada Rusmi menurun tiba-tiba. Ia mengira Baskoro sedih memikirkan istrinya yang kabur beberapa bulan yang lalu.

Ia membalikkan tubuhnya dan mengambil pakaian yang lebih pantas, kemudian duduk di sofa sambil mengurai rambutnya yang masih basah. Aroma wangi menyegarkan memenuhi kamar itu, tapi Rusmi kesal melihat Baskoro tak terpengaruh oleh sambutan yang disiapkannya.

Bahkan bau keringat Baskoro yang biasanya dianggap aroma merangsang yang disukainya, kali ini membuatnya mual.

“Mandilah, dan bicara apa yang terjadi,” katanya dingin.

Baskoro menoleh ke arah sofa, melihat Rusmi duduk dengan santai. Wajahnya  gelap. Baskoro baru sadar bahwa Rusmi tak harus mengetahui persoalan Hasti yang mengganggunya. Ia bangkit, lalu berjalan mendekati Rusmi. Tapi ketika ia duduk di sampingnya, Rusmi mendorongnya.

“Mandilah, bau tubuhmu nggak enak.”

“Tumben nggak enak,” katanya sambil mencium ketiaknya sendiri, lalu meringis karena memang ia berkeringat setelah sejak pagi berkutat di kantornya.

Baskoro mencopot sepatunya, melepas pakaiannya, kemudian beranjak ke kamar mandi. Rusmi memunguti pakaian Baskoro yang berbau tak sedap, memasukkannya ke keranjang kotoran, lalu membawanya keluar. Berbagai pemikiran yang membuatnya kesal memenuhi benaknya.

Yang dipikirkannya hanya satu, Baskoro sedang menyesali kepergian istrinya. Bukankah tadi dia menyebutkan tentang perempuan? Karena itulah ketika kembali masuk ke kamar, wajahnya menjadi gelap.

Ia duduk lagi di sofa, dan tak sedikitpun menatap Baskoro yang keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di tubuh bagian bawahnya.

“Mana bajuku?” tanya Baskoro. Ia sudah biasa bertanya seperti itu, karena setiap saat Rusmi sudah menyiapkan baju ganti untuknya.

Rusmi hanya menunjuk kearah tumpukan baju di atas nakas, tanpa mengucapkan apapun. Baskoro memakai bajunya tanpa sungkan saat melepaskan handuk yang melilit di tubuhnya. Rusmi bergeming. Baskoro sadar bahwa kedatangannya tidak menampakkan sikap manis seperti biasanya. Pasti Rusmi tersinggung. Baskoro berusaha mengibaskan perasaan gelisahnya, lalu melangkah mendekati Rusmi, duduk di sampingnya.

“Maaf, aku sedang banyak pikiran,” katanya sambil meraih gelas berisi minuman di depannya.

“Kalau kamu menyesali kepergian istri kamu, jangan datang kemari,” kata Rusmi datar.

“Apa maksudmu? Siapa menyesali kepergian siapa?”

“Bukankah kamu sedang memikirkan istri kamu? Siapa perempuan yang kamu maksud? Istrimu bukan?”

Baskoro tersenyum. Ia menyibakkan rambut Rusmi yang masih basah, dan terjuntai di keningnya.

“Aku bahkan lupa kalau aku punya istri selain kamu,” katanya mencoba merayu.

Dan rayuan itu mengena. Wajah kaku itu memudar.

“Sikap kamu yang menjengkelkan itu, bukan karena istri kamu? Siapa perempuan yang kamu maksudkan?”

“Apa aku menyebutkan ‘perempuan’?”

“Kamu lupa?”

Baskoro menggelengkan kepalanya. Ia ingin mengatakan tentang kehamilan Hasti, tapi diurungkannya. Kalau Rusmi juga menuduh dirinya yang membuat Hasti hamil, bisa gawat.

“Tadi kamu menyebutkannya.”

“Ya ampun, itu perempuan bagian packing di gudang.”

“Jadi … kenapa?”

“Hanya karena pekerjaan.”

“Pekerjaan?”

“Aku capek. Katanya aku kepala gudang, tapi urusanku lebih banyak, karyawan perempuan itu tak bisa membantu,” katanya berbohong. Tak ada alasan yang lebih tepat selain pekerjaan. Ia tak ingin membicarakan Hasti dan kehamilannya. Kalau Rusmi harus tahu, biarlah Hasti sendiri yang mengatakannya.

“Jangan pikirkan pekerjaan. Sebentar lagi akulah penguasa di perusahaan itu, dan tak akan aku biarkan kamu mengerjakan banyak pekerjaan. Kamu adalah tangan kananku, pekerjaan kamu hanyalah membuat aku senang.”

Baskoro tersenyum, berusaha menyembunyikan kegelisahan di hatinya. Kalau benar Hasti mengandung anaknya, habislah dirinya. Ia bisa dikeluarkan dari pekerjaan kalau Rusmi berkuasa, dan ia akan menjadi gembel. Ngeri membayangkan dirinya menjadi gembel, setelah beberapa lamanya menjadi tuan yang dimanjakan.

Lalu kegelisahan itu sirna ketika Rusmi menghidangkan makanan enak, dan lebih daripada itu, seperti keinginan Rusmi, di hari ulang tahunnya harus ada yang istimewa. Keduanya tenggelam dalam lautan maksiat, tanpa Rusmi sadar bahwa Hasti tidak pulang semalaman.

***

Di kantor pada keesokan harinya, pak Rangga marah karena Baskoro kedapatan tidur di kantornya. Maklum, semalaman dia tak tidur. Kecuali itu, pak Rangga yang mencurigai hubungan Baskoro dan bu Raharjo mulai mengadakan penyelidikan. Ketika mendatangi rumah Baskoro, orang suruhan mengatakan bahwa sudah dua bulan Baskoro tidak lagi mengontrak rumah itu.

Lalu diketahuinya bahwa Baskoro tinggal di rumah pak Raharjo.

Masalah itu belum sempat membuat pak Rangga menegurnya. Dan pagi ini dengan kesal ia menggebrag meja, dimana Baskoro menelungkupkan tubuhnya sambil mendengkur.

Braakkkk!

Baskoro terlonjak. Ia mengucek matanya dan dengan terkejut melihat pak Rangga berdiri di depannya sambil menatapnya marah.

“Apa yang kamu lakukan? Akhir-akhir ini banyak hal yang membuatku kecewa atas semua kelakuan buruk kamu.”

“Maaf Pak, semalam saya tidak tidur, karena_”

“Jangan membuat alasan yang tidak bisa saya terima. Banyak yang kamu sembunyikan, dan banyak kelakuan kamu yang membuat aku kecewa.”

“Sungguh saya minta maaf. Banyak yang harus saya lakukan semalam, ada tetangga yang sedang punya gawe, dan saya_”

 “Hentikan omong kosong kamu. Aku sudah tahu apa yang kamu lakukan.”

“Tapi pak….”

“Aku tunggu kamu di ruangan aku,” kata pak Rangga yang kemudian membalikkan tubuhnya, dan keluar dari ruangan Baskoro.

Baskoro terpaku di tempat duduknya. Ia belum pernah melihat pak Rangga semarah ini. Hanya gara-gara dia ketiduran, dan dia tak mau menerima alasan yang dikatakannya?

Dengan enggan Baskoro berdiri, lalu melangkah perlahan ke ruangan pak Rangga. Baskoro benar-benar lelah. Rusmi tak memberinya kesempatan untuk tidur semalaman, dan ketika kemudian kantuk tak bisa ditahannya, hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.

Baskoro melompat ke kamar mandi, tak sempat makan sarapan walau sepotong roti pun yang disediakan Rusmi di meja kamar.

Dan kemudian dia benar-benar tak bisa menahan kantuknya setiba di kantor.

Baskoro memasuki ruang pak Rangga, melihat atasannya itu duduk menghadapi laptop dengan wajah kaku.

Tanpa disuruh, Baskoro duduk didepan meja kerja pak Rangga. Kantuknya hilang ketika tadi pak Rangga menggebrak meja kerjanya.

“Kamu tahu apa kesalahan kamu, sehingga aku harus memanggil kamu pagi ini?”

“Karena saya tertidur saat jam kerja, dan itu karena_”

“Bukan hanya itu.”

Baskoro mengangkat wajahnya.

“Ke mana istri kamu?”

Baskoro terkejut. Kenapa tiba-tiba pak Rangga menanyakan di mana istrinya.

“Mengapa dengan … istri saya?” Baskoro berlagak bodoh.

“Aku bertanya, di mana istri kamu.”

“Pastinya dia di rumah, memangnya ada apa?”

“Tidak. Kamu bohong.”

Baskoro mengangkat wajahnya, lalu menundukkannya tiba-tiba. Mata pak Rangga sangat tajam menghunjam perasaannya. Ada apa ini?

“Rumah kontrakan kamu sudah ditempati orang lain.”

Baskoro terkejut. Sejauh apa pak Rangga mengetahui kehidupannya?

“Di mana istri kamu?”

Baskoro menghela napas. Apapun yang terjadi, dia harus berterus terang, karena berbohong memang tidak ada gunanya. Bukankah hanya soal istrinya?”

“Istri saya sudah pergi dari rumah. Tapi saya tidak tahu kemana dia pindah.”

“Bagus sekali. Istri pergi dan suami tidak tahu ke mana dia pergi? Apakah kamu juga tidak tahu penyebab dia pergi?”

Baskoro menggelengkan kepalanya.

“Entahlah. Dia menuntut sangat banyak. Gaji kurang, atau … entahlah.”

“Lalu kamu sekarang tinggal di mana?” pak Rangga sudah tahu, tapi dia pura-pura menanyakannya.

“Saya … menyewa di sebuah rumah,” katanya tanpa berani menatap atasannya.

“Menyewa … atau gratis?”

“Saya ….”

“Aku sudah tahu kamu tinggal di mana, dan apa yang kamu lakukan. Apa kamu juga tahu, dimana Wijan?”

“Wijan … bukankah dia pergi setelah pak Raharjo mengalami kecelakaan? Sampai sekarang kami tidak tahu ke mana perginya.”

“Dan Nilam?”

“Dia juga pergi. Saya … tidak tahu, sebaiknya Bapak menanyakannya pada bu Raharjo,” kata Baskoro. Ia punya keyakinan, bahwa Rusmi mempunyai kekuasaan di perusahaan ini, yang memang belum diurusnya. Jadi mana mungkin pak Rangga akan berani menekan calon majikan barunya?

“Baiklah. Sekarang kamu boleh kembali ke ruangan kamu. Sudah saatnya aku juga bicara pada bu Raharjo.”

Pak Rangga mempersilakan Baskoro kembali ke ruangannya. Ia ingin segera mengatakan kepada Rusmi tentang apa yang dikatakan pak Raharjo, tapi bukan di ruangannya. Barangkali nanti, saat istirahat, ketika banyak waktu luang untuk bertelpon.

***

Rusmi sedang berusaha menelpon Hasti yang semalam tidak pulang ke rumah. Bahkan di siang hari itupun, Hasti belum tampak batang hidungnya. Tapi rupanya Hasti mematikan ponselnya.

Rusmi mencobanya berkali-kali, tapi tidak berhasil. Ia membanting ponselnya, dan terkejut ketika ponsel itu berdering. Ada sebuah panggilan masuk, dari Baskoro? Rusmi cemberut saat menerima panggilan itu, pasti Baskoro akan mengatakan bahwa dia akan lembur lagi.

“Ada apa?” jawabnya kesal.

“Kok jawabannya kaku begitu?”

“Aku sedang kesal. Hasti sampai sekarang belum pulang. Ponselnya mati, tidak bisa dihubungi. Kamu mau mengatakan bahwa kamu mau lembur lagi?”

Baskoro terdiam. Ia teringat kembali tentang kehamilan Hasti. Kenapa Hasti tidak pulang? Tapi Baskoro belum ingin bicara tentang Hasti. Ia harus mengatakan tentang pembicaraannya dengan pak Rangga.

“Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mau lembur lagi, kan?” ulangnya.

“Tidak. Tadi pak Rangga memanggil aku ke ruangannya.”

“Kenapa?”

Lalu Baskoro mengatakan semuanya. Bahwa kelihatannya pak Rangga mencurigai hubungan dirinya dengan Rusmi. Kepergian Wijan dan Nilam juga ditanyakannya.

Rusmi mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa sudah saatnya dia menguasai perusahaan suaminya, setelah dua bulan lebih dia belum juga kembali. Mau atau tidak, pak Rangga harus menganggap bahwa Raharjo sudah mati.

“Kamu tidak perlu khawatir Bas. Aku akan segera ke kantor dan menemui Rangga yang sok berkuasa itu.”

***

Pagi harinya Rusmi datang ke kantor suaminya. Ia berdandan sangat anggun, berpakaian mewah, dan melenggang seperti seorang ratu.

Para karyawan sudah tahu, bahwa dia adalah bu Raharjo, karena pak Raharjo pernah mengajaknya ke kantor pada acara resmi. Mereka yang berpapasan mengangguk hormat sambil menyapa dengan manis.

“Selamat pagi Bu,” sapa nereka bergantian.

Rusmi mengangguk sekilas, tapi dia berjalan dengan angkuh dan tampak tak menghargai semua sapaan itu. Ia masuk ke ruangan suaminya yang tetap tertata rapi, dan duduk di kursi kerjanya. Dengan angkuh pula  dia menyuruh sekretaris agar memanggil pak Rangga ke ruangannya.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, December 27, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 26

 BUNGA UNTUK IBUKU  26

(Tien Kumalasari)

 

Nenek tua itu berdiri menunggu, bertopang pada satu buah tongkat di tangan kanan. Senyuman pada wajah keriput itu mengembang, ketika melihat anak laki-lakinya melangkah mendekati dengan membawa bungkusan.

“Lama sekali Jo, aku sudah sangat khawatir,” katanya ketika si anak merangkul pundaknya, dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Hanya ditinggal sebentar, kenapa khawatir, Mbok?”

“Simbok teringat ketika kamu hanyut di sungai, saat banjir. Semua orang mengatakan bahwa kamu sudah mati, nyatanya kamu bisa simbok temukan, dan masih hidup, biarpun napas kamu sudah kempas-kempis. Kamu memang belum ditakdirkan mati, Jo. Gusti Allah tak mau kalau simbok ini hidup sendirian. Simbok hanya punya kamu. Kalau kamu mati, simbok juga harus ikut mati,” katanya dengan suara yang sedikit pelo, karena mulutnya yang tak bergigi.

“Bejo tidak ingin mati, Mbok, selama Simbok masih hidup, Bejo akan selalu menjaga Simbok.”

“Cah bagus, terima kasih ya. Ayo dimakan. Buburnya mana? Simbok kan tidak bisa makan nasi.”

“Ini Mbok, sudah Bejo sendirikan, makanlah.”

Nenek itu meraih bungkusan bubur, lalu Bejo mengambilkan sendok untuk emboknya. Sendok plastik yang sudah usang, dan sudah berkali-kali dipakai oleh mereka.

“Kenapa kamu tidak makan?” kata simbok ketika Bejo mengusap mulut emboknya yang berlepotan bubur.

“Simbok makanlah dulu, baru nanti Bejo makan.”

“Kamu selalu begitu,” kata simbok sambil meneruskan makannya.

“Besok kamu petik kacang panjang di kebun, serahkan saja pada Sutiyem, biar dia membayar berapa, asalkan cukup untuk kita makan sehari.”

“Iya Mbok.”

“Setelah makan, simbok mau tidur, tapi kamu jangan pergi ke mana-mana,” kata simbok yang tampaknya sangat khawatir kehilangan anaknya. Kejadian dua bulan yang lalu, dimana Bejo anak semata wayangnya hanyut, sangat membekas dalam hatinya. Ketika semua orang mengatakan bahwa anaknya mati dan sudah dikuburkan, simbok menemukan anaknya yang ternyata masih hidup. Terkapar di tepi sungai. Dalam kegembiraan yang meluap, entah dari mana datangnya kekuatan itu, simbok menyeret tubuh Bejo yang jauhnya kira-kira satu kilometer dari sungai ke rumahnya. Rumah gubug yang terpencil dari rumah lainnya.

Simbok merebus air, lalu dengan sebuah lap kumuh, ia membersihkan tubuh Bejo dari kotoran lumpur yang membalut tubuhnya. Ia melepaskan semua baju Bejo dan menggantikannya dengan yang bersih.

“Kamu tidak boleh mati Jo, kamu tidak boleh meninggalkan simbok sendirian di sini. Simbok hanya punya kamu,” kata simbok waktu itu, dengan air mata bercucuran. Ia menekan-nekan perut Bejo yang sepertinya penuh air, kemudian membalikkan tubuhnya pelan, lalu merasa lega ketika Bejo tersadar dan memuntahkan air yang memenuhi perutnya.

Bejo terbatuk-batuk berkali-kali.

“Aku sudah bilang, kamu hidup Jo. Bukannya mati seperti yang dikatakan orang-orang,” katanya lagi sambil melepas sepatu anaknya.

Bejo terbatuk-batuk lagi, lalu berusaha duduk.

“Dapat dari mana kamu sepatu ini? Kenapa hanya sebelah?” katanya sambil menyingkirkan sepatu itu mepet ke dinding. Dinding bambu yang melingkupi rumah tinggalnya.

“Kamu … siapa?” tanya Bejo yang seperti orang bingung.

“Hei, jangan membuat lelucon. Aku ini kan embokmu,” kata simbok sambil tersenyum lebar, menampakkan mulutnya yang tak bergigi.

Bejo menatapnya seperti orang bingung. Ia juga menatap celana bergaris biru yang sudah kumal, dan kedodoran di tubuhnya, juga baju putih kecoklatan yang dipakaikan simbok kepadanya. Ia kedinginan.

“Kamu, embokku?”

“Iya Jo, dan kamu Bejo, anakku. Kenapa kamu seperti orang bingung?”

“Aku … Bejo?”

“Iya. Duh, Gusti Allah, anak hamba hidup, tapi dia melupakan semuanya. Tidak apa-apa, terima kasih Gusti, anak hamba masih hidup,” ucapnya berkali-kali, sambil mengambilkan air hangat, yang masih tersisa, di sebuah cangkir kaleng.

“Minum dulu Jo, biar tubuhmu hangat,” katanya. Biarpun matanya agak kabur, tapi ia masih bisa melakukan sesuatu.

Bejo menerima cangkir itu, dan meneguknya sampai habis. Tubuhnya yang semula kedinginan, kemudian perlahan terasa hangat.

Lalu simbok pergi lagi ke belakang, membawa sepiring singkong rebus.

“Makanlah, bukankah sejak kemarin kamu belum makan?”

Dengan linglung Bejo memakannya, karena perutnya memang terasa lapar.  Ia masih belum sadar apa yang telah terjadi. Ia hanya tahu, dihadapannya adalah simbok, dan dirinya adalah Bejo.

Lambat laun Bejo bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang seperti baru ditemukannya, yang semula terasa asing.

Dua bulan yang lalu, simbok masih tampak kuat. Ia ke kebun, memetik sayur, dijual ke pasar, sendirian. Lalu belanja seberuk beras, dan lauk yang kemudian dimasaknya. Matanya yang sedikit rabun, tidak menghalangi dia menjalankan aktifitasnya.

Tapi dua hari yang lalu, simbok terjatuh dan kakinya terkilir, sehingga tidak bisa berjalan cepat dan bekerja seperti biasanya. Jadi Bejo lah yang kemudian menggantikannya. Memetik sayur, menjual ke pasar, lalu dibelikannya nasi atau bubur yang tidak usah harus memasaknya. Bejo memotong kayu yang bisa dipergunakan untuk menopang tubuh simbok saat berjalan, karena selalu dikatakannya kakinya lemah dan sulit melangkah.

Simbok yang sangat ketakutan setelah peristiwa Bejo hanyut itu, selalu berpesan agar Bejo jangan lama-lama meninggalkannya.  Ia sangat takut anak laki-lakinya tak akan kembali dan membiarkannya hidup sendiri.

Sore hari itu, saat simbok tertidur, Bejo duduk di atas balai-balai didepan gubugnya, menatap sepatu yang hanya sebelah, dan teronggok di sudut ruangan.

Ada sesuatu yang melintas saat dipandangnya sepatu itu. Tapi Bejo tak bisa menangkap, apakah sesuatu itu. Ia sering merasa pusing dan seperti orang bingung, tapi simbok yang sangat mengasihinya, selalu menghiburnya dan mengatakan bahwa Bejo berubah karena kecelakaan itu.

“Kamu hanyut beberapa hari, ketika simbok menyuruh kamu memancing ikan. Beruntung kamu masih hidup Jo, sementara orang-orang mengatakan bahwa kamu sudah mati, tapi Gusti Allah tidak membiarkan kamu mati. Simbok menemukanmu dan bisa merawatmu. Mulai sekarang jangan lagi pergi ke sungai, dan jangan pergi meninggalkan simbok terlalu lama. Biarpun ingatanmu belum sepenuhnya kembali, tapi simbok bersyukur kamu masih hidup,” itu yang selalu dikatakan simbok setiap kali melihat Bejo termenung dan terlihat bingung.

Bejo menatap lagi sepatu yang hanya sebelah itu, dimana simbok selalu ingin membuangnya. Tapi Bejo mencegahnya. Entah mengapa, dia suka sekali memandangi sepatu itu.

“Kamu menemukan sepatu, walau hanya sebelah, kamu suka memakainya, ya kan Jo. Tapi kan nggak lucu memakai sepatu hanya sebelah, nanti jalanmu bisa terpincang-pincang,” kata simbok menertawakannya ketika melihat Bejo sangat menyukai sepatu itu.

Bejo hanya tersenyum tipis, tak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rupanya kecelakaan sehingga membuat ia terhanyut itu telah membuatnya lupa ingatan.

***

Siang hari itu, ketika Baskoro sedang sibuk bekerja, tiba-tiba ponselnya berdering. Agak kesal dia mengangkatnya, ketika mengira yang menelpon adalah Rusmi. Soalnya dia sudah berpesan agar Rusmi tidak mengganggunya di saat jam kerja, agar atasan tak mencurigainya. Tapi ia terkejut ketika melihat si penelpon adalah Hasti. Pasti gadis itu sudah sangat merindukannya, karena sudah jarang ada kesempatan untuk berdua setelah sang ibu selalu mengawasinya.

“Ada apa? Bisakah nanti saja menelponnya? Aku masih banyak pekerjaan,” katanya pelan ketika menjawab panggilan itu.

“Nanti sepulang kerja, temui aku di tempat biasa.”

“Tidak bisa Hasti, ibumu sudah berpesan kalau aku harus sampai di rumah tepat waktu, khusus hari ini.”

“Cari alasan apapun, aku menunggu.”

“Hasti.”

Tapi Hasti sudah menutup ponselnya. Baskoro mengangkat bahu. Senang kalau bisa lagi berduaan dengan gadis yang baginya sangat menggairahkan itu. Tapi ia masih membutuhkan Rusmi. Kemudian Baskoro mencari-cari akal untuk bisa menemui Hasti tanpa dicurigai selingkuhannya itu.

Pekerjaan di kantor masih menumpuk, ia harus segera menyelesaikannya. Tapi alasan apa yang akan dikatakannya kepada Rusmi kalau ia pulang terlambat?

Ketika saat istirahat, Baskoro menelpon Rusmi.

“Ada apa? Aku sedang mempersiapkan sesuatu untuk acara kita malam nanti. Makan di rumah seperti seorang suami istri, karena hari ini adalah ulang tahunku, jadi kamu harus ikut merayakannya dengan membuat malam kita ini menjadi lebih indah dari biasanya. Aku memasak sendiri semua makanan kita nanti.”

Baskoro baru tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Rusmi. Tapi itu bukan masalah baginya. Bagaimanapun Hasti jangan sampai dikecewakan.

“Bu, hari ini pekerjaan menumpuk. Aku harus lembur, barangkali pulang agak malam. Jadi_”

“Tidak bisa begitu Bas, kamu tidak boleh pulang terlambat. Pulang tepat waktu, lalu mandi, ganti baju yang sudah aku persiapkan, lalu makan malam di kamar saja, lalu menghabiskan malam seperti yang aku inginkan.”

“Tapi aku benar-benar harus lembur. Kalau aku tidak bisa menyelesaikannya, aku bisa kena tegur.”

“Baiklah, mau lembur berapa jam?” akhirnya Rusmi mengalah.

“Belum bisa mengatakannya sekarang Bu, tapi aku akan berusaha secepatnya.”

“Satu jam ya.”

“Pastinya lebih, Bu. Pekerjaanku banyak.”

“Dua jam.”

“Bu …”

Tapi Rusmi sudah menutup ponselnya.

Baskoro mengangkat bahu pertanda kesal.

“Janda satu ini lama-lama membuat aku bosan juga,” gumamnya perlahan.

Janda, Baskoro menyebutnya dengan senyuman tipis. Lalu tiba-tiba teringat olehnya sopir perusahaan yang dikorbankannya.

Barno. Ternyata Barno benar-benar tidak melibatkannya. Ia sudah dihukum, entah berapa lama. Hal itu membuatnya merasa lega.

Lalu tiba-tiba ia merasa harus lebih mementingkan Hasti. Karena itu ia meminta ijin kepada pak Rangga agar bisa pulang cepat, karena ada urusan. Biarpun curiga, pak Rangga mengijinkannya. Baskoro tersenyum senang. Terbayang olehnya wajah Hasti dan segala polahnya yang membuatnya terkesan dan susah melupakannya.

***

Rusmi sedang memesan beberapa jenis makanan, yang nanti akan diakuinya kepada Baskoro bahwa itu adalah hasil masakannya. Baskoro harus tahu bahwa calon istrinya bukan wanita yang pintar melayaninya di ranjang, tapi juga bisa membuat lidahnya menari-nari karena kelezakan makanan yang dihidangkannya. Ia juga menata kamarnya agar tampak lebih menarik, dengan meletakkan seikat bunga wangi yang dimasukkan ke dalam vas, dan diletakkan di meja sofa.

Diletakkannya piring, sendok dan minuman di meja itu, sambil menunggu makanan yang dipesannya datang. Ini ulang tahunnya yang ke empat puluh. Tidak muda lagi, tapi dia merawat tubuhnya dengan sangat teliti. Tak ada kerutan dan tanda bahwa dia mulai menua. Tidak. Ia masih ingin dikagumi, jangan sampai kalah dengan yang muda-muda.

Tiba-tiba ponselnya berdering, Rusmi mengangkatnya cepat, berharap Baskoro tak jadi lembur. Tapi tidak. Hasti lah yang menelponnya.

“Ada apa?”

“Bu, aku baru ingat kalau ibu ulang tahun hari ini. Aku sudah membelikan hadiah untuk itu. Tapi ada teman yang sakit, dan aku harus mengantarkannya ke rumah sakit.”

“Tidak apa-apa, antarkan teman kamu itu dan jangan meninggalkannya sampai dia terlihat baik-baik saja. Ibu juga akan merayakannya di rumah saja, tidak akan ke mana-mana.”

“Terima kasih Bu, memang dia teman baik aku.”

Rusmi menutup ponselnya dengan senang hati. Kalau Hasti tidak pulang maka tak akan ada yang mengganggunya. Lagipula ia juga akan merayakannya di dalam kamar, bukan untuk makan diluar atau berpesta di suatu tempat.

Setelah merasa semuanya sempurna, Rusmi beranjak ke kamar mandi. Ah, tidak, ia harus mengingatkan Baskoro bahwa waktu lembur yang dimintanya hanyalah dua jam, dan itu sudah terlalu lama.

Ia mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkannya, barulah ia masuk ke kamar mandi. Berendam berlama-lama dan mengguyur tubuhnya dengan wewangian yang akan membuat Baskoro mabuk semalaman.

***

Baskoro sudah mengirimkan pesan singkat kepada Hasti, bahwa dia akan pulang lebih awal, agar tak terlalu lama terlambat memenuhi permintaan ibunya.

Ketika saatnya tiba, Baskoro menuju ke tempat yang ditentukan oleh Hasti. Ia berhenti dan melihat mobil Hasti di tepi jalan. Baskoro segera memarkir kendaraannya, dan mendekat ke arah mobil. Hasti ada di dalam mobil itu dan membukakan pintunya untuk Baskoro.

Begitu ia duduk dan menutup pintu, Hasti segera merangkulnya erat, seakan sudah bertahun-tahun tidak ketemu.

“Hei, kenapa kamu tidak sabaran? Kemana kita siang ini? Waktuku tak lama, karena ibumu menunggu.”

“Aku sedang bingung.”

“Kenapa? Aku sudah di sini, dan akan aku buat kamu senang sore ini.”

“Mas, aku benar-benar sedang bingung. Aku harus mengatakan kepada Mas sesegera mungkin.”

“Memangnya ada apa?”

“Tampaknya aku hamil.”

Baskoro terhenyak. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Didorongnya Hasti yang masih merengkuhnya erat.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...