Tuesday, March 30, 2021

JANGAN BAWA CINTAKU 16

 

JANGAN BAWA CINTAKU  16

(Tien Kumalasari)

 

“Mas… maaas..” Rina menggoyang-goyang tubuh suaminya yang diam tapi tubuhnya menggigil.

Rina mengambil selimut, diselimutkannya dari kaki sampai ke dadanya. Tapi tampaknya kurang tebal, Rina membuka almari, mengambil lagi selimut yang lebih tebal, diselimutkannya lagi. Lalu diambilnya guling, diletakkannya disebelah kiri dan kanan suaminya.

“Maas…” bisik Rina.

Lalu Rina menelungkupkan tubuhnya didada suaminya, agar merasa lebih hangat. Leo masih menggigil, tapi sudah berkurang. Dibukanya matanya, dilihatnya Rina menelungkup didadanya. Leo mendorongnya pelan.

“Mas, badan kamu panas.. ayo ke dokter.”

“Tidak, aku mau obat turun panas saja,” katanya lirih.

Rina kebelakang, menyeduh teh hangat, dan mengambil obat, sambil menelpon dokter Puji, langganan keluarganya.

Ia kemudian meminumkan itu, dan Leo kembali berbaring. Rina membetulkan selimutnya.

“Ikaaa…”

Rina yang sudah mau keluar berhenti melangkah. Dilihatnya suaminya memejamkan matanya. Hatinya teriris mendengar suaminya membisikkan nama Ika. Ditahannya kesal yang menghantam dadanya, mengingat suaminya yang sedang sakit.

Ketika ia keluar dari kamar, ia mendengar suara mobil memasuki halaman. Rina menengoknya, dan melihat dokter Puji sudah datang.

“Kenapa pak Leo?”

“Silahkan dokter melihatnya, badannya panas sekali, sampai menggigil.”

Rina mengajaknya memasuki kamar Leo.

“Kenapa pak Leo?” sapa dokter Puji sambil duduk di kursi yang disediakan Rina.

Leo diam saja ketika dokter memeriksanya.

“Benar, panas sekali. Sudah minum obat ?”

“Baru saja minum obat turun panas dok, ini obatnya..” sela Rina sambil menunjukkan sisa obat yang tadi diberikan.

“Baiklah, saya akan memberikan obat tambahan. Tapi kalau sampai sore juga panasnya muncul lagi, sebaiknya periksa ke laborat, saya akan memberikan pengantarnya.”

“Baiklah dok, terimakasih banyak.”

Leo tak banyak membantah, ia masih merasa seperti menggigil. Rina kembali membetulkan letak selimutnya lalu mengantarkan dokternya keluar.

“Apakah sakitnya berat?” tanya Rina sebelum dokternya pergi.

“Semoga saja tidak, tapi panasnya sangat tinggi. Itu sebabnya saya minta agar periksa laborat kalau sampai nanti panasnya tidak juga turun.”

Ketika kembali ke kamar, dilihatya Leo memejamkan mata. Rina memegang keningnya, dan merasa panasnya belum juga turun.

“Mas, aku mau ke apotik sebentar untuk mengambil obatnya.”

Leo tak menjawab, tapi Rina langsung keluar dari kamar, dan pergi ke apotik.                                                                                                                   

***

Disepanjang perjalanan Rina merasa sedih. Ia mengasihani suaminya dan mengasihinya pasti, tapi sikap Leo selalu menyakitkan. Ia juga khawatir ketika suaminya sakit, tapi perhatian yang ditunjukkannya sama sekali tak bisa meluluhkan hati suaminya.

“Baiklah, barangkali aku kurang sabar dan kurang lembut menghadapinya, seperti kata ibu, semuanya harus dihadapi dengan kelembutan. Biar hati kesal mungkin aku harus lebih bersabar.”

“Ia baru saja turun dari mobil  setelah sampai di apotik, ketika seseorang tiba-tiba sudah berhenti didepannya.

“Rina !”

“Ya ampun Bas, kamu membuat aku kaget,” omel Rina ketika melihat Baskoro.

Baskoro tersenyum lebar. Rina mengakui Baskoro masih seganteng dulu, walau badannya agak kurus. Tapi cinta untuk Baskoro sudah ditutupnya. Ada sebuah pengabdian yang harus digenggamnya erat, pengabdian kepada suami dan keluarganya.

“Siapa yang sakit?” tanya Baskoro sambil mengiringi masuk ke dalam apotik.

“Mas Leo, tadi badannya panas sekali. Kamu ngapain ke apotik?”

“Biasa, aku tuh harus minum obat rutin, kalau nggak aku bisa cepet mati,” kata Baskoro seenaknya.

“Iih, ngomong seenaknya.”

Dua-duanya menyerahkan resep ke loket penerimaan resep, lalu menunggu sambil duduk di kursi tunggu.

“Leo sakit apa? Sakit hati ‘kali..” kata Baskoro.

“Ketika aku pulang, badannya panas sekali, sampai menggigil, lalu aku panggil dokter. Nanti kalau masih panas juga harus periksa laborat segala.  Aku nggak yakin mas Leo akan mau, susah dia itu kalau disuruh periksa-periksa.”

“Laborat kan bisa dipanggil ke rumah, kalau sudah di rumah mana bisa bilang nggak mau.”

“Iya, kamu benar. Tadi aku juga memanggil dokternya tanpa bilang terlebih dulu,  so’alnya ketika bilang dia jawabnya nggak mau.”

“Bagus, ada cara untuk memaksa.”

“Kamu sakit apa?”

“Depresi..”

“Apa?”

“Kalau nggak minum obat aku seperti orang bingung..”

“Bas, apa yang terjadi sama kamu? Terima hidup ini dengan sabar, ikhlas, kalau tidak, bisa memicu penyakit.”

“Ngomong itu gampang..”

“Aku tahu.. tapi kamu harus mencobanya.”

“Sudah aku coba.. hasilnya apa.. ini.. seperti aku ini. Aku nggak pernah bisa tidur nyenyak tanpa obat.”

“Itu ketergantungan. Cobalah mengurangi dari sedikit Bas. Sayangi hidupmu.”

“Sayangnya sama kamu.”

“Jangan begitu Bas. Cinta tidak harus memiliki. Kalau kamu memang cinta sama seseorang, kamu harus bahagia melihat dia bahagia.”

“Itu adanya di cerita-cerita. “

“Jangan begitu Bas.. kita bisa menjalani kok.”

“Bp. Leo Ardiansyah.. “ petugas apotik memanggil, lalu Rina bergegas ke loket.

Baskoro termenung ditempatnya. Rina bukan wanita sembarangan. Dia sangat mencintai keluarganya. Tak mungkin bisa diraihnya lagi. Ada sakit mengiris, karena begitu susah Baskoro melupakannya.

“Bp. Baskoro,” petugas apotik memanggil lagi, pertanda obat untuk Baskoro juga sudah disiapkan.

Ketika keluar dari apotik, keduanya berjalan beriringan.

“Aku pulang ya Bas, salam untuk mbak Risma.”

Baskoro mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

“Cepatlah sembuh, jangan tergantung obat-obatan ya..” pesan Rina sambil tersenyum. Dan senyuman itu tak pernah bisa dilupakan Baskoro.

***

Rina memacu mobilnya, ingin segera meminumkan obat untuk suaminya.

Ketika memasuki kamar, dilihatnya Leo masih terbaring, tapi selimutnya sudah tersingkap. Rina memegang tangannya, sudah berkeringat, jadi tidak lagi panas seperti tadi. Rina menghela nafas lega. Diletakkannya dua macam obat yang baru saja dibelinya, lalu dia mengganti bajunya.

Rina kebelakang, membuatkan lagi minum untuk suaminya, lalu membawanya ke kamar.

“Mas, maukah makan dulu , lalu minum obatnya?”

“Nggak usah, aku sudah sembuh. Tadi bisa berjalan kekamar mandi sendiri.”

“Jangan begitu mas. Ini obat yang diberikan dokter tadi. Mas harus meminumnya.”

“Lihat saja, aku sudah sembuh, tidak panas lagi,” kata Leo dengan nada kesal.

“Ya sudah, makan saja dulu ya, tadi aku beli sup di jalan, karena aku belum sempat masak.”

“Kamu kan tahu bahwa aku nggak suka makan makanan  dari luar ?”

“Baiklah, kalau begitu biar aku masak sebentar untuk mas,” kata Rina sambil beranjak keluar dari kamar. Leo membalikkan tubuhnya menghadap dinding, sambil memeluk guling.

Rina berkutat didapur, memasak sup ayam untuk suaminya. Ia menahan rasa kesal yang sudah mulai menyesak dadanya.

“Sabaaar.. sabaaar…” desisnya sambil mengaduk sayur yang sudah dibumbuinya.

Lalu dia menyiapkan mangkuk untuk wadah sayur, sepiring nasi yang hangat, lalu dibawanya kembali ke kamar. Leo masih tidur miring menghadap dinding.

“Mas, makan dulu ya.. lalu minum obatnya, biar benar-benar sehat.”

Tapi Leo tak bergerak, pura-pura tidur atau tidur beneran, entahlah.

Rina keluar dari kamar setelah meletakkan nampan berisi makanan dimeja, lalu kembali ke dapur.

Ia duduk di kursi dan merasa sangat lelah. Bukan hanya raganya, juga jiwanya. Batinnya menimbang-nimbang, apakah ia akan mengatakan tentang pertemuannya dengan Ika, atau merahasiakannya demi memenuhi permintaan Ika. Barangkali kalau dia mengatakannya, amarah Leo akan reda, tapi dia pasti akan segera ingin menemui Ika, lalu bagaimana dengan dirinya? Tampaknya Leo sangat mencintai Ika, dan tak peduli dengannya.

“Dia suami kamu, pertahankan itu. Jangan biarkan orang lain mengambilnya.”

Itu pesan ibunya, bagaimana dia harus melakukannya? Leo hanya mengingat Ika, bahkan dalam mengigaupun nama Ika yang disebutnya. Mestinya Rina sakit hati, dan memang sakit. Adakah seorang isteri yang rela suaminya menyukai perempuan lain?

Sesa’at ingin sekali dia mengamuk. Membanting apa saja yang ada didekatnya. Mengobrak-abrik semua tatanan rapi diruangan itu, agar kesal dan amarahnya terobati. Tapi tidak, Rina seorang wanita yang penyabar, dan bisa mengendalikan dirinya sebegitu rupa, sehingga kemarahan tak harus terlampiaskan dengan tindakan brutal.

Rina menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan, ditariknya lagi dan dihembuskannya lagi, itu dilakukannya berkali-kali.

“Semua kebaikan aku, sikap lembut dan penuh perhatian yang aku lakukan, sama sekali tidak bisa meluluhkan hatinya,” keluh Rina sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan, yang ditumpukannya diatas meja. Matanya berlinang, lalu bergulir bagai alir sungai bening, membasahi pipinya.. Dan Rina membiarkannya.

Dibiarkannya air matanya terus mengalir, sehingga membasahi meja. Rina tak ingin mengusapnya. dan tangisan itu kemudian menjadi isak yang tersendat karena tangis itu  ditahannya.

Lalu tiba-tiba didengarnya Leo terbatuk-batuk, keras dan lama. Rina ingin membiarkannya, tapi lagi-lagi tak tega.

Ia mengusap air matanya kemudian berjalan ke kamar.

Dilihatnya Leo telah duduk ditepi pembaringan, dan masih juga terbatuk-batuk. Rina mendekat, lalu mengulurkan air minum kearahnya. Kali ini Leo menerimanya, dan meneguknya habis. Rina menerima gelas kosong yang diulurkan Leo, meletakkannya dimeja, kemudian dia mengambil obat gosok di laci dekat almari, digosokkannya ke punggung suaminya, dan juga dadanya. Leo masih terbatuk-batuk, walau sudah berkurang. Tapi Rina agak khawatir, karena ketika menggosok itu ia merasa tubuh Leo kembali panas.

“Mas, mas tidak mau minum obatnya sih, badan mas panas lagi.”

Leo tak menjawab, tapi merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang. Rina menyelimutinya.

“Makan ya mas, sedikit juga nggak apa-apa, setelah itu minum obatnya.

Leo tak menjawab.

“Ini bukan penyakit biasa mas, jangan merasa biasa-biasa saja. Menurutlah apa kata dokter. Biar aku suapin ya.”

“Nggak mau..” katanya lemah.

“Mas harus periksa ke laborat..”

“Nggak usaaah… nggak mau,” kali ini walau lemah tapi suaranya agak keras. Rina ingat apa yang dikatakan Baskoro. Petugas laborat bisa dipanggilnya datang ke rumah. Hanya itu satu-satunya cara.

Rina keluar dari kamar dan mengambil surat pengantar dokter yang tadi diberikannya. Ada nomor kontak laboratorium yang dimaksud.

Setelah pihak laborat menyanggupinya, Rina kembali masuk ke kamar. Leo tidur meringkuk, kembali dia menggigil.

Rina cemas sekali.

Ia mengambil sup yang tadi dihidangkan dimeja dan sudah dingin, membawanya ke belakang untuk dipanaskan.

“Aku akan mencobanya sekali lagi, membujuknya agar dia mau makan dan minum obatnya.”

Rina kembali ke kamar dengan membawa nasi dan sup yang sudah hangat.

“Mas harus makan. Setelah itu minum obat. Kalau mas tidak menurut, aku akan menelpon rumah sakit agar mas dirawat,” katanya tandas.

“Sedikit saja..” kali ini ia menjawab.

Rina mendekat, menumpuk satu bantal lagi agar kepala Leo terletak agak tinggi. Perlahan dia menyendokkan nasi dan sup hangat.

Rina merasa lega Leo mau menerimanya. Tapi baru tiga suap, Leo sudah menggoyang-goyangkan tangannya.

“Satu lagi ya?”

Leo menggeleng.

“Ya sudah, minum dulu obatnya.”

Rina meminumkan dua butir obat yang tadi diambilnya dari apotik. Lega rasanya karena Leo mau meminumnya. Lalu Leo kembali meringkuk, dan Rina membetulkan selimutnya.

Ketika Rina keluar dari kamar, didengarnya bel tamu berdering, dan dari pintu kaca rumahnya, Rina tahu bahwa ternyata petugas laborat yang datang.

Rina meletakkan nampan yang dibawanya diatas meja terdekat, lalu bergegas membuka pintu.

“Dari laborat ya? Ayo silahkan masuk.”

Leo ingin memprotes, tapi sungkan karena petugas sudah mengeluarkan alat-alatnya. Ia hanya mengambil darah Leo, kemudian pergi. Hasilnya akan dikirim secepatnya.

“Mengapa sih, pakai memanggil petugas laborat segala. Sepertinya aku ini sakit parah."

“Kalau tidak begitu, mana mau mas aku ajak pergi ke laborat,” omel Rina yang mulai ingin menumpahkan kekesalannya.

“Aku sakit parah kah ?”

“Sangat parah. Coba, sekarang mas panas lagi kan ?” kata Rina yang kembali membetulkan selimut suaminya lalu keluar dari kamar.

Leo kembali tidur meringkuk. Memang benar, ia mulai menggigil lagi.

“Apa aku kelamaan mengguyur tubuhku tadi ?” pikir Leo sambil mendekap guling untuk mengurangi rasa dingin yang mulai kembali menggigit.

***

Pagi itu Rina menemui dokter untuk menyerahkan hasil lab suaminya. Hasilnya sangat membuatnya sedih.

Radang tenggorokan yang parah. Dan itu sangat menular.

“Kalau bu Leo tidak keberatan, saran saya adalah lebih baik pak Leo dirawat. Apalagi pak Leo punya anak kecil. Kemungkinan menular sangat besar. Apalagi saya juga mencurigai adanya penyakit lain yang serius. Tapi harus ada pemeriksaan lebih lanjut.”

Rina pulang ke rumah dengan tubuh terasa lemas. Apalagi ketika Leo enggan dirawat dirumah sakit.

“Aku nggak mau.”

“Mas, kalau mas tetap dirawat dirumah, sementara ada Dina, aku khawatir Dina akan ketularan juga.”

“Dimana Dina, aku tidak melihatnya sejak kemarin..”

O, jadi Leo tidak memperhatikan bahwa anaknya sejak kemarin tak ada dirumah.

“Dia ada dirumah ibu.”

“Bagus, biarkan dia disana dulu, tak akan ketularan.”

“Tapi kalau dirumah sakit kan ada penanganan yang serius, lalu penyakit apa yang diderita mas bisa ketahuan, sehingga jelas juga pengobatannya,” bujuk Rina.

“Aku tidak mau, pokoknya tidak mau,” kata Leo sambil membelakangi isterinya.

Rina menghela nafas sedih. Leo bukan anak kecil yang kalau membangkang bisa digendong paksa lalu langsung dibawa.

Kalau benar sakit suaminya serius, apa yang bisa dilakukannya?

***

“Mengapa bu Rina belum datang kemari bu?” tanya Dian kepada ibunya.

Ika tahu, pasti Dian sangat ingin ketemu Dina. Apalagi kemarin Rina menjanjikan akan mengajaknya bertemu Dina.

“Jam berapa ya, kira-kira bu Rina datang ?”

“Ibu tidak tahu nak, mungkin bu Rina masih sibuk memasak atau apa, sehingga tidak bisa buru-buru datang.”

“Iya juga ya.”

“Sekarang ayo bantu ibu dulu menata kamar. Kasurnya belum dialasi, kamu bisa kan?” kata Ika untuk membuat agar Dian bisa menghabiskan waktu menunggu sambil melakukan sesuatu.

“Baiklah,” kata Dian sambil menerima sarung bantal yang diulurkan ibunya. Tapi dalam memasang sarung bantal dan guling serta mengalasi kasur itu ingatannya akan bu Rina terus membayanginya. Sudah beberapa hari tidak ketemu Dina, dan Dian ingin sekali bertemu serta bercanda. Dina cantik dan lucu, selalu membuatnya tertawa. Ia ingat ketika Dina selalu memaksa memberikan separuh roti agar dia mau menerimanya.

Tapi ketika sampai lewat tengah hari bu Rina tidak juga datang, sementara kamar sudah selesai ditatanya, Dian kembali gelisah.

“Mungkin bu Rina hanya ingin menyenangkan aku saja, tidak sungguh-sungguh ingin mengajak aku,” omelnya.

Ketika ponsel ibunya berdering, Dian lari mendekati. Ia mengira itu dari bu Rina, padahal ibunya tidak pernah memberikan nomor kontaknya.

Dian mencari ibunya, rupanya ibunya baru ada di kamar mandi. Karena telpon berdering terus, Dian mengangkatnya, tanpa membaca siapa penelpon itu.

“Hallo…”

“Hallo, ini Dian kan?”

“Siapa ya?”

“Yaaah, Dian sudah lupa sama om Broto ya?”

“Oh, iya om.. ma’af, ibu baru ada di kamar mandi.”

“Ya sudah tidak apa-apa. Bagaimana rumahnya? Sudah rapi ?”

“Kemarin tukang yang mengecat rumah juga membantu mengangkat barang-barang, lalu ibu menatanya. Sekarang sudah rapi.”

“Syukurlah, om ingin membantu, tapi om tidak bisa meninggalkan pekerjaan om.”

“Telpon dari siapa Dian?”

“Oh, itu ibu. Ini bu.. dari om Broto.”

“Mas Broto ?” sapa Ika ketika menerima ponselnya.

“mBak Ika, apa kabar, rumahnya sudah rapi?”

“Lumayan rapi mas, tinggal membenahi disana- sini, kan tidak banyak barang yang saya bawa.”

“Syukurlah. Setelah ini mbak Ika masih mau melanjutkan jualan?”

“Iya lah mas, kalau tidak begitu bagaimana saya bisa memberi makan dan menyekolahkan Dian?”

“mBak Ika hebat. Bolehkah Dian bersekolah di Jakarta?”

“Apa?” tanya Ika terkejut.

“Kalau mau sih..”

“Kalau Dian ke Jakarta, saya sama siapa dong? Mas Broto ada-ada saja, saya kan tidak bisa berpisah dari Dian.”

“Bagaimana kalau sama ibunya sekalian?”

“Apa ?”

“Saya serius, sangat serius.”

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, March 27, 2021

JANGAN BAWA CINTAKU 14

 

JANGAN BAWA CINTAKU  14

(Tien Kumalasari)

 

Rina menatap wajah tampan yang tampak pucat itu. Ada rasa iba mengusik hatinya. Begitu besarkah penderitaan suaminya sampai membawa gundah hatinya dengan menumpahkan kata-kata yang menyakitkan, dan sekarang membawanya dalam dunia mabuk-mabukan? Sesungguhnya dia ingin tahu, sejauh apa sih hubungan suaminya dengan si tukang sayur itu? Benarkah dirinya yang merusak hubungan mereka sehingga suaminya mengatakan bahwa masuknya dirinya dalam hidup suaminya adalah kesalahan ?

Rina perlahan melepas sepatu suaminya, sambil menatap wajah pucat yang tampak menderita dan diam tak bergerak di ranjangnya. Ia juga membetulkan letak kaki suaminya yang sebagian nyaris tergantung disisi ranjang.

“Aku sangat mencintai kamu mas, tapi kalau kamu merasa bahwa aku hanya merusak hidup kamu, aku rela apabila kamu ingin melepaskan aku,” bisiknya lirih.

Ditariknya selimut yang terletak disamping ranjang, lalu diselimutinya suaminya. Ia tak ingin membangunkannya. Lalu ia keluar dari sana dengan perasaan tak menentu.

“Ibu, Dina mandi sekarang ya.”

“Iya nak, mandi yang bersih ya, ibu juga mau mandi.”

“Nanti jadi ke rumah simbah ?”

“Jadi, menunggu kalau bapak sudah berangkat ke kantor,” kata Rina padahal sesungguhnya dia tak yakin suaminya akan berangkat ke kantor.

Setelah mandi dia membuka pintu garasi. Mobil suaminya masih hangat, berarti belum lama dia pulang.

“Hampir pagi baru dia pulang,” gumamnya.

Ia mengeluarkan mobil suaminya, lalu mobilnya sendiri.

Banyak hal yang ingin dibicarakan dengan suaminya, tapi ia tak ingin Dina mendengarnya. Rina ingin mengajak Dina kerumah ibunya, lalu meninggalkannya disana sampai perso’alan dengan suaminya selesai, jadi seburuk apapun nanti hasilnya, Dina tak akan terganggu kejiwaannya.

Rina memasuki kamar lagi, tapi suaminya masih terbaring dengan posisi yang sama. Nafasnya yang teratur menandakan bahwa tidurnya sangat nyenyak. Tapi Rina benci aroma menyengat dari nafas itu. Ia keluar lagi mendapati Dina sudah memakai baju, dan sedang menyisir rambutnya.

“Anak pintar, mari ibu sisir rambut kamu..”

Dina mngulurkan sisirnya, dan membiarkan ibunya mengatur rambutnya. Dina suka sekali ada kucir dua di kepalanya, dan hanya ibunya yang bisa melakukannya.

“Sudah cantik sekarang,” kata Rina. Ia tertawa melihat Dina menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga kucirnya seperti melompat ke kiri dan ke kanan.

“Ayo kita makan bu..” teriak Dina sambil berlari keruang makan.

Rina mengikutinya, lalu duduk didepan anaknya.“

“Mana bapak?”

“Bapak masih tidur, tidak apa-apa, bapak sangat lelah. Kita makan saja, lalu berangkat ke rumah simbah.”

“Meninggalkan bapak sendiri ?”

“Tidak apa-apa. Tampaknya bapak tak akan berangkat ke kantor hari ini,” kata Rina sambil menyendokkan nasi untuk anaknya.

“Pasti simbah akan bertanya, kalau bapak tidak ikut,” celoteh Dina.

“Simbah pasti tahu kalau bapak lagi sibuk. Dengar Dina, nanti Dina ibu tinggalkan dirumah simbah saja, sedangkan ibu mau kembali ke rumah. Dina suka kan ?”

“O, ibu harus ngurusin bapak juga kan ?”

“Betul Dina, nggak apa-apa kan Dina tinggal dirumah simbah beberapa hari? Selama liburan ini?”

“Iya, Dina suka, kan ada teman main disana, yang rumahnya disebelah simbah itu.”

“Benar. Kalau begitu segera habiskan sarapan kamu, ibu mau menata baju dan semua keperluan kamu selama disana.”

“Jangan lupa buku-buka bacaan Dina ya bu.”

“Baiklah, pasti akan ibu siapkan.”

Rina memasuki kamarnya lagi, tapi dilihatnya posisi tidur suaminya belum berubah.

Sebelum berangkat Rina menuliskan pesan di selembar kertas, diletakkannya di meja yang ada disamping ranjang.

***

“Apakah ada masalah dengan suami kamu, maka kamu menitipkan anak kamu disini?”

“Tidak bu, Dina ingin liburan disini.”

“Tapi wajah kamu kelihatan tidak gembira seperti biasanya. Dan biasanya juga, kamu selalu datang bersama suami kamu.”

“Mas Leo sedang banyak pekerjaan bu.”

“Tapi wajah pucat kamu tidak bisa kamu tutup-tutupi. Biasanya kamu berdandan cantik, tapi sekarang ini pakai bedak pun tidak. Ibu ini orang tua, dan seorang ibu. Seorang ibu itu memiliki rasa yang lebih tajam, dan bisa menjenguk kearah hati anaknya apabila si anak sedang dalam masalah.”

Rina menghela nafas panjang, digenggamnya tangan ibunya erat-erat, seakan dari tangan itulah dia akan mendapatkan kekuatan.

“Mau mengatakannya pada ibu ?”

“Rina tidak ingin membebani ibu dengan perso’alan Rina. Tidak apa-apa, ini masalah biasa kok bu.”

“Kamu tidak membebani ibu dengan ucapan, tapi kamu membebani itu dengan perasaan kamu yang kamu pendam. Berbagilah pada ibu, agar bebanmu lebih ringan, dan  beban ibu juga ringan karena tahu permasalahan kamu.”

Rina kembali menghela nafas dan tidak juga melepaskan genggamannya pada tangan ibunya. Ia melongok kedepan, melihat Dina sudah bermain dengan anak tetangga sebelah yang seumuran dengannya.

“Biar ibu tebak. Suami kamu selingkuh ?”

Rina ingin mengangguk, tapi itu kurang tepat bukan? Leo tidak selingkuh, atau belum selingkuh, karena sedang menemukan seseorang yang katanya dulu adalah pacarnya.

“Benar ?”

“Tidak bu. Mas Leo ketemu dengan mantan pacarnya sebelum menjadi suami Rina.”

“Hanya ketemu, lalu kamu cemburu ? Marah?”

“Tidak sesederhana itu bu, tampaknya mas Leo masih mencintainya. Sampai dia berkata kasar pada Rina, apapun yang Rina lakukan tidak berkenan di hatinya. Semalam dia mabuk.”

“Oh ya?”

“Rina menitipkan Dina disini, agar Rina bisa berbincang dengan mas Leo. Rina tidak ingin Dina mendengar ketika mas Leo bicara kasar.”

“Rina, apapun yang terjadi, itu kan masa lalu suami kamu. Sekarang dia sudah menjadi suami kamu, jadi kamu berhak memilikinya, dan jangan membiarkan orang lain merebutnya.”

“Mas Leo tidak sungguh-sungguh mencintai Rina. Rina tak akan tahan bu.”

“Kemarahan yang seperti apapun pasti akan luluh apabila dihadapi dengan perilaku yang lembut menawan.”

Rina diam. Permasalahannya bukan karena sikap Rina yang tidak benar, tapi karena perasaan Leo yang sebenarnya tidak mencintainya.

“Mas Leo masih mencintai perempuan itu.”

“Kalian sudah punya seorang anak. Mustahil kalau suamimu tidak cinta pada anaknya. Anak itulah yang akan merekatkan rumah tangga kalian. Ingat Rina, perkawinan bukan hanya masalah suka atau tidak suka. Perkawinan adalah suatu bentuk ikatan untuk membentuk sebuah rumah tangga. Dia bisa runtuh atau hancur berkeping kalau kalian tidak memeliharanya, menjaganya.”

Rina mengangguk pelan. Semuanya tampak seperti mudah. Bisakah dia menjalaninya? Bukankah memelihara dan menjaga harus dilakukan berdua? Tapi Rina tak akan membantah apa kata ibunya. Seorang tua akan melakukan hal sama, mendidik dan menuntun anak-anaknya agar berjalan di jalan yang benar.

***

Rina mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumah. Dilihatnya mobil suaminya masih terparkir ditempat semula dia mengeluarkannya. Rina bergegas masuk, lalu melihat suaminya duduk diruang tengah. Ketika dia datang, Leo  menatapnya dengan mata merah.

Rina berhenti sejenak.

“Mau aku buatkan minum ? Kopi, barangkali, atau teh saja?”

“Tidak. Aku sudah membuatnya sendiri,” katanya dingin.

Rina meneruskan langkahnya, masuk kekamar, mencuci kaki tangannya. Ia harus belanja, tapi ia ingin melayani suaminya terlebih dulu. Perilaku manis akan bisa meluluhkan hati siapapun. Yang sedang marah sekalipun.

Lalu didekatinya lagi suaminya.

“Mau aku buatkan sarapan?”

“Ini sudah siang. Adakah sarapan sesiang ini?” masih dingin suara itu. Ternyata suara yang dilembutkannya bak suara bidadari menyanyi pun tidak membuat suaminya terpesona.

“Baiklah, terserah kamu menamainya apa, maukah aku buatkan makan?”

“Tidak.”

“Kamu mabuk semalaman, ada apa sebenarnya?”

“Apa yang aku lakukan, terserah aku.”

“Mas, kamu itu suami aku. Aku akan ingatkan kalau kamu melakukan hal buruk. Mabuk itu buruk, kamu bisa melakukan apa saja dalam keadaan mabuk.”

“Diaaaamm!” Lalu Leo menjadi bertambah marah karena ucapan Rina mengingatkan peristiwa dimana dia mabuk lalu melakukan hal buruk tanpa disadarinya, lalu dia kehilangan Ika.”

“Baiklah, aku mau belanja.”

“Kamu sudah pergi sejak pagi, lalu pulang, sekarang mau pergi lagi dengan alasan mau belanja? Bukankah kamu kencan dengan Baskoro, pacar lama kamu?”

“Kalau ingin marah.. marah saja, jangan menuduh yang bukan-bukan untuk membuat kemarahan kamu mendapatkan alasan.”

“Aku heran, darimana kamu belajar berani sama suami kamu?”

“Apakah kamu menganggap aku isteri kamu?” kata Rina keras. Ia lupa petuah ibunya agar memperlakukan suami dengan lembut dan penuh perhatian. Semuanya tak ada gunanya ketika sang suami tak peduli lagi pada isterinya.

“Apa katamu ?”

“Aku sekarang ingin bertanya sama kamu. Sekarang Dina tak ada dirumah. Selama ini aku menahannya karena ada Dina diantara kita, dan aku tak ingin Dina mendengar kata-kata kasar kamu yang menyakiti aku.”

“Lalu apa?”

“Katakan apa yang kamu inginkan. Kamu sudah mengatakan bahwa keberadaan aku adalah sesuatu yang salah, lalu bagaimana?”

“O, kamu menantang aku? Karena ada Baskoro bukan ?”

“Mengapa membawa nama Baskoro ?”

“Kamu berani, karena ada Baskoro, pacar lama kamu.”

“Ngaco !”

“Kamu meninggalkan ponsel kamu. Lihat saja, tadi dia menelpon kamu.”

Rina menghampiri ponselnya. Memang ada telpon masuk dari Baskoro. Rina menyesal lupa membawa ponselnya.

“Jawab dan jangan hanya diam saja.”

“Aku tak ingin berdebat dengan kamu.”

Rina melangkah keluar, menghampiri mobilnya, lalu memacunya keluar dari halaman.

Leo bergeming ditempat duduknya. Menjambak rambutnya dan membuatnya awut-awutan.

“Ika.. Ika.. Ika.. Katakan sesuatu dan jangan membuat aku gila. Dimana kamu Ikaaa!”

***

Rina bukannya ingin belanja. Ia ingin mengendapkan perasaannya karena suaminya tak bisa diajaknya bicara. Ia tak lagi ingin mengadu kepada ibunya, karena toh dia juga akan disalahkannya. Ia berhenti dideretan pertokoan, memarkir mobilnya disana.

Ia berjalan menyusuri jalanan, sementara pikirannya melayang kemana-mana. Benarkah suaminya tak pernah mencintainya? Mengapa tiba-tiba Leo tampak begitu kacau dan kehilangan kendali sehingga mengucapkan kata-kata diluar yang pernah dibayangkannya?

“Baru kali ini mas Leo tampak kacau. Apakah dia sadar akan apa yang diucapkannya?”

“Rina !”

Rina terkejut ketika seseorang menepuk bahunya.

“mBak Risma?”

“Kemana kamu? Tadi aku menelpon kamu, tampaknya suami kamu yang menerima. Belum juga aku bicara, dia sudah menjawab dan bilang dengan kasar bahwa kamu tidak ada dirumah.”

“Jadi tadi mbak Risma yang menelpon aku?”

“Pakai nomornya Baskoro?” lanjut Rina.

“Iya, aku belum sempat menyalinnya di ponsel aku. Aku pakai nomornya Baskoro. Leo marah ya?”

“Dia memang lagi uring-uringan..”

“Nah, kelihatan dari wajah kamu tuh..”

“Kenapa wajah aku ?”

“Pucat, kamu nggak dandan ya?”

“Iya.. lagi males juga.. “

“Ayo mampir minum-minum disitu,” kata Risma yang langsung menarik Rina masuk ke sebuah restoran.

“Ayo mau minum apa.. atau mau makan apa..”

“Es jeruk saja, aku nggak makan."

“Ya sudah.. ayo cerita, apa yang terjadi.”

“Nggak ada apa-apa.. lagi suntuk saja, lalu pengin jalan-jalan.”

“Kamu bilang suami kamu lagi uring-uringan..”

“Nggak tahu tuh. Biasa ‘kali kalau laki-laki lagi nggak suka sesuatu lalu bawaannya pengin marah. Daripada aku meladeni dia, lebih baik aku jalan-jalan, sambil belanja, kalau ada yang bisa aku beli.”

“Belanja baju? Yuk aku antar..”

“Nggak lah, belanja bahan masakan. Aku tuh sekarang harus belanja sendiri, so’alnya tukang sayur langganan aku....” ucapan Rina terhenti, karena tiba-tiba teringat ucapan suaminya bahwa tukang sayur itu dulu pacarnya.

“Kenapa tukang sayur langganan kamu?” tanya Risma sambil menghirup minuman pesanannya yang sudah terhidang dimeja.

“Mm.. itu.. nggak jualan.”

“Kamu itu rajin.. pintar, cantik. Pantas Baskoro cinta mati sama kamu.”

“Ah, sudahlah mbak, itu kan masa lalu.. “

“Tapi dia belum bisa melupakan kamu.”

“Harus bisa dong mbak, aku kan sudah punya suami, punya anak.”

“Ya sih, mana anak kamu? Nggak ikut?”

“Dia ada dirumah mbahnya. So’alnya sekolah lagi libur.”

“O.. enak dong, tinggal berdua sama suami.. “ kata Risma bercanda.

“Ah.. sudahlah..”

“Sebenarnya aku tadi sama Baskoro mau kerumah kamu. Pengin makan masakan kamu. Tapi ternyata suamimu ada dirumah dan menjawab telpon aku dengan nada kasar begitu.”

“Itu karena dia mengira yang menelpon Baskoro.”

“Oh, gitu ya. Apa itu penyebab suami kamu uring-uringan?”

“Nggak, bukan itu.. “

“Sebenarnya aku lagi sama Baskoro, tapi dia lagi beli apa tadi, nggak tahu, lalu aku tinggal jalan, tapi aku sudah mengirim pesan bahwa aku ada disini sama kamu, jadi sebentar lagi pasti dia akan datang kemari.”

“Rinaa..” tiba-tiba Baskoro sudah muncul disitu.

“Cepet sekali sampai disini,” tegur Risma.

“Habis, mbak bilang ada Rina, aku langsung menyusul kemari.

“Kamu tuh.. jangan begitu, nanti Rina takut sama kamu,” kata Risma lagi.

“Masa Rina takut sama aku? Hei, apa yang terjadi? Wajah kamu pucat sekali.” tiba-tiba Baskoro menatap Rina dan berteriak.

“Pucat ya?” tanya Rina.

“Tapi tetap cantik kok..”

“Rina lagi tidak ingin berdandan, tahu.”

“Aku ingin sekali ketemu kamu Rin, sebelum aku kembali ke luar negeri, aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”

“Aku baik-baik saja kok.”

“Benar?”

Tapi tiba-tiba Rina yang duduk menghadap ke arah pintu keluar, melihat sesuatu. Ia berdiri dan setengah berlari menuju keluar.

“Diaaan !!”

***

Besok lagi ya

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...