Tuesday, October 31, 2023

BERSAMA HUJAN 30

 BERSAMA HUJAN  30

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rosi melotot memandangi anaknya, apalagi Elisa yang wajahnya sudah menjadi merah padam. Mereka menatap Romi tak berkedip. Nama itu sudah disebutkannya berkali-kali, sejak Romi masih belum sadar dari pingsannya.

“Siapa dia?”

“Kamu sadar apa yang kamu katakan, Romi? Ini adalah istri kamu, Elisa, yang menunggui kamu sejak kamu dirawat.”

“Katakan siapa gadis bernama Andin itu?”

“Dia tak sepadan denganmu,” kata Romi sengit, kemudian membalikkan tubuhnya memunggungi istrinya.

“Mama, tolong tanyakan, siapa dia sebenarnya,” rengek Elisa.

“Romi, siapa yang kamu maksudkan itu? Apa itu Kinanti?”

“Siapa pula Kinanti?” tanya Elisa yang semakin kesal ada dua nama perempuan disebutkan.

“Mama, sebaiknya tinggalkan Romi sendirian,” kata Romi tanpa menatap istrinya.

“Kamu itu ya, di rumah tidak perhatian sama aku. Di sini, saat kamu sakit, juga tidak peduli sama aku, sementara aku selalu mengkhawatirkan kamu,” keluh Elisa sambil berlinang air mata.

“Mama, tolong ajak dia pergi dari sini,” kata Romi agak keras.

“Maukah kamu mengatakan apa sebenarnya maksud kamu, Romi?” pinta sang mama.

“Ajak dia pulang, Ma. Aku tak mau dia di sini.”

“Sudah sejak dua hari yang lalu dia menunggui kamu, tolong kamu jangan bersikap begitu. Dia adalah istri kamu. Kamu pasti tidak melupakannya.”

“Romi minta bawa dia pulang, kepala Romi sakit kalau ada dia,” Romi berteriak semakin keras.

Bu Rosi menghela napas panjang. Tanpa menjawab apapun juga, digandengnya tangan Elisa, dibawanya keluar dari ruangan itu.

Elisa mengusap air matanya di sepanjang langkah mereka menuju parkiran. Bu Rosi memilih memegang kemudi karena Elisa tampak sedang kacau.

“Jangan kamu pikirkan ucapan suami kamu. Dia sedang tidak sehat, bisa saja apa yang diucapkannya adalah hal yang tidak pernah dipikirkannya. Lebih jelasnya hanya khayalan dia saja,” bujuk bu Rosi sambil mengemudikan mobilnya untuk pulang.

“Tapi berarti nama itu memang ada di dalam benaknya, bukan? Saat sehat dia tak mengucapkannya, tapi saat sakit, dan barangkali dia setengah sadar, nama itu diucapkannya. Bahkan dia ingin mengambilnya sebagai istri.”

“Nanti kalau dia sudah sehat dan pulang ke rumah, mama akan mengajaknya bicara.”

“Mengapa dia selalu menyakiti Elisa, Ma?”

“Kamu kan tahu, dia mencurigai bayi yang kamu kandung itu sebagai bukan darah dagingnya.”

“Itu omong kosong Ma.”

“Besok kalau anakmu lahir, baru Romi bisa mengerti. Pasti hubungan kalian akan menjadi baik-baik saja. Untuk sekarang ini lebih baik kamu bersabar.”

Tapi mendengar perkataan ibu mertuanya tersebut, hati Elisa terasa miris. Kalau bayi yang dikandungnya lahir, lalu apa? Tes DNA? Elisa kemudian berpikir untuk bisa menghindari hal tersebut. Tapi apa yang harus dilakukan?

“Wanita yang sedang mengandung tidak boleh banyak pikiran. Itu akan berpengaruh pada bayi yang kamu kandung.”

“Romi yang membuat Elisa tertekan, Ma.”

“Kamu kan sudah tahu, Romi itu bagaimana, jadi lebih baik kamu tidak usah memikirkannya. Yang penting kamu sehat, bayimu juga sehat. Ya kan?”

“Bagaimana kalau Elisa melahirkan di luar negri saja?”

“Apa maksudmu?” bu Rosi kaget mendengar ucapan menantunya.

“Biar ditunggin mama sama papa Elisa.”

“Jangan membuat hati mama ini khawatir. Kalau kamu melahirkan di sana, bagaimana dengan mama? Mama sangat ingin punya cucu. Dan ingin menunggui lahirnya cucu mama ini. Kamu tega meninggalkan mama?”

“Tapi Romi tidak suka sama Elisa. Lebih baik Elisa pergi saja.”

“Tidak untuk sekarang, Elisa, kamu harus bertahan. Kalau bayi ini sudah lahir, dan agak besar, kamu bisa membawanya jalan-jalan. Nanti mama akan menemani,” kata bu Rosi sambil menepuk tangan menantunya.

Elisa terdiam. Ada rasa nyaman ketika sang mama mertua mendukungnya. Elisa pun kemudian ingin bertahan. Dia berpikir akan pergi nanti saat sudah dekat saat melahirkan, agar Romi tidak perlu melakukan tes DNA atas bayinya. Kalau sekarang dia pergi, akan kelihatan dirinya seperti melarikan diri untuk menghindari tuduhan Romi. Ia akan minta kepada ibunya sendiri untuk  membantunya nanti.

***

Pagi hari itu Andin sudah berangkat kuliah, tapi dia melarang ayahnya untuk berangkat bekerja. Setelah kehujanan beberapa hari yang lalu, memang pak Harsono menderita batuk dan pilek. Memang sih, hanya batuk dan pilek, tapi alam sedang tidak bersahabat. Terkadang hujan, terkadang panas, dan itu tidak baik untuk kesehatan pak Harsono yang sudah tidak muda lagi.

Ia sedang duduk di teras, dan merasa bosan berada di kamar, ketika tiba-tiba dilihatnya sebuah taksi berhenti di depan gerbang. Ketika seseorang turun dari taksi, pak Harsono terkejut, melihat yang datang adalah pak Istijab, sahabatnya. Ada rasa senang, tapi ada rasa tak enak, kalau nanti sahabatnya itu berbicara lagi tentang perjodohan.

Pak Harsono berdiri menyambut, dan begitu dekat mereka langsung berangkulan dengan hangat.

“Mas Tijab datang tanpa kabar sih, kaget saya.”

“Memang aku ingin membuat kejutan. Tadi aku menelpon kantor kamu, katanya kamu masih sakit dan belum masuk kerja, makanya aku langsung datang kemari.”

Pak Harsono mempersilakan tamunya masuk ke dalam.

“Agak flu, Mas. Tapi sebenarnya sudah tidak apa-apa. Andin saja yang melarang saya masuk kerja hari ini. Katanya sekalian besok Senin.”

“Oh iya, mana Andin?”

“Dia kuliah Mas. Sedang ngebut dia. Supaya cepat selesai, katanya.”

“Syukurlah, cepat selesai dan segera kita merancang pernikahan mereka,” kata pak Istijab penuh semangat. Tapi ucapan itu membuat pak Harsono berdebar. Ia tak akan kuasa menolaknya.

“Kenapa kamu tidak tampak gembira, Har?”

Pak Harsono mencoba untuk tersenyum.

“Bukan tidak gembira Mas, kan Andin masih kuliah, jadi belum bisa mengatakan apa-apa tentang perjodohan itu. Andin juga belum bisa diajak bicara.”

“Waktu Luki kemari, bukankah mereka sudah bertemu?”

“Benar. Malah Luki juga makan pagi di sini, dengan lauk seadanya.”

“Syukurlah, berarti mereka sudah semakin dekat,” pak Istijab tampak sangat nekat.

“Mereka bertemu tidak lama, karena saat itu kan saya juga lagi sakit.”

“O iya, waktu itu kabarnya kamu sakit. Ya sudahlah, kita tunggu saja kapan waktunya mereka siap. Kalau orang-orang tua seperti kita kan memang sudah mempersiapkan semuanya, ya kan Har?”

Pak Harsono menelan ludahnya.

“Andin itu agak sulit.”

“Sulit bagaimana?”

“Ketika dia sedang menekuni sesuatu, dia tidak mau memikirkan yang lainnya.”

“Itu benar. Dia harus fokus pada tujuannya. Aku senang. Dia gadis yang baik dan tekun. Luki akan bahagia hidup di sampingnya.”

Pak Harsono menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Bahkan kalau Andin mau, menikah saja dulu, tidak apa-apa kalau dia masih ingin melanjutkan kuliah. Dengan begitu kamu tidak usah memikirkan biaya kuliahnya lagi. Ya kan? Aku juga sudah bicara tentang hal ini pada Luki, hanya saja Luki juga masih fokus menata usahanya yang rencananya akan dikembangkan juga di kota ini.”

Pak Harsono kebingungan menjawabnya.

“Kamu tampak gelisah, Har?”

“Ini, saya bingung harus menghidangkan apa, soalnya_”

“Tidak usah bingung. Bagaimana kalau kita keluar saja, untuk sekedar ngopi. Aku juga belum sarapan lho Har. Kamu sudah kuat, bukan, bagaimana kalau kita jalan sebentar?”

“Iya Mas, saya tidak apa-apa kok. Kalau begitu saya ganti baju dulu.”

“Baik, kamu ganti baju, biar saya memanggil taksinya. Nanti kita carter saja, supaya kita bisa jalan-jalan kemanapun kita mau.”

Pak Harsono masuk ke dalam rumah, tapi belum bisa mengendapkan perasaan gelisahnya, karena tampaknya pak Istijab sangat bersemangat dalam membicarakan perjodohan anak-anak mereka. Sedangkan dia sudah bilang tentang Andin yang masih ingin kuliah saja, pak Istijab  ingin tetap melangsungkan perjodohan itu, serta ingin segera menikahkannya. Bahkan ingin segera menikahkannya, dan membiarkan Andin melanjutkan kuliah.

***

Ketika mereka sedang ngopi di sebuah warung, tiba-tiba Luki menelponnya. Luki sebenarnya sudah melarang ayahnya untuk mengunjungi pak Harsono, karena dia tidak ingin kedua sahabat itu membicarakan perjodohan. Setelah bertemu Aisah, Luki merasa bahwa perasaan cintanya bukan kepada Andin, tapi kepada Aisah. Hanya saja dia belum berani mengutarakannya kepada sang ayah, soalnya dia juga belum mengatakan isi hatinya kepada Aisah.

“Luki, ada apa?” kata pak Istijab setelah mengucapkan salam.

“Bapak di mana?”

“Sedang ngopi nih, sama om kamu.”

“Katanya om Harsono sakit?”

“Tidak, hanya flu. Tapi dia tidak ke kantor hari ini. Kamu mengganggu saja, kami sedang asyik membicarakan perjodohan kalian.”

“Bapak jangan dulu bicara tentang perjodohan.”

“Memangnya kenapa?”

Pak Istijab memerlukan keluar dari ruangan itu, ketika harus menegur Luki yang tampaknya tidak suka tentang adanya perjodohan itu.

“Andin belum mau memikirkan perjodohan itu, jadi Bapak jangan mengusiknya.”

“Bapak tidak mengusik kok. Bapak kan pernah bilang sama kamu, menikah dulu tidak apa-apa, lalu kalau Andin ingin melanjutkan kuliah, juga tidak apa-apa. Bahkan kalau mau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, bapak sanggup membiayainya.”

“Tidak dulu Pak, Luki juga belum ingin.”

“Kamu bagaimana sih. Memang sejak lama bapak sudah tahu kalau kamu sebenarnya tidak suka. Kamu jangan pernah membuat orang tua kecewa. Orang tua itu memilihkan yang terbaik untuk anaknya. Apa sih yang kamu inginkan? Gadis mana yang kamu inginkan? Bukankah saat kamu mau berangkat kemari, kamu tidak membantahnya? Apa kamu kecewa setelah melihat orangnya? Apa dia kurang cantik? Apa dia terlalu sederhana, sementara kamu lebih suka yang modis, berpenampilan seksi dan menawan?”

“Bukan begitu Pak. Saya datang kemari itu kan sebenarnya ada hubungannya dengan pekerjaan. Dan kebetulan Bapak ingin Luki ketemu Andin.”

“Lalu apa? Kamu kecewa karena dia bukan type kamu?”

“Bukan Pak, kami sama-sama belum memikirkan. Jadi Bapak harus bersabar dulu ya,” Luki menjawab dengan lembut, berharap bisa menenangkan kekesalan ayahnya yang tiba-tiba terdengar sangat meluap-luap.

“Terserah kamu saja,” kata pak Istijab yang segera menutup ponselnya, lalu masuk kembali ke dalam ruangan, duduk di depan sahabatnya sambil menyeruput lagi kopinya. Tapi wajah merah padam itu tertangkap oleh mata pak Harsono.

“Ada masalah Mas?”

“Kesal aku.”

“Tentang pekerjaan?”

“Ya, tentang pekerjaan,” akhirnya kata pak Istijab, karena merasa tidak enak kalau mengatakan bahwa Luki tampaknya juga menentang perjodohan itu.

***

 Hari itu Aisah sedang santai di rumah. Ia menunggu jadwal ujian minggu depan, dan ingin main ke rumah Kinanti, karena Andin pasti sedang berada di kampus. Ia terkejut ketika tiba-tiba Luki menelponnya.

“Assalamu’alaikum,” sapa Aisah.

“Wa’alaikumussalam. Kamu di kampus?”

“Tidak, aku di rumah. Ada apa?”

“Kamu tahu kalau ayah aku ada dikota ini?”

“Oh, ya? Nggak tahu tuh, kan ayah kamu tidak datang menemui aku,” canda Aisah.”

“Kalau mau sih, aku minta agar dia datang menemui kamu.”

“Kenapa? Bukannya beliau sahabatnya pak Harsono?”

“Kalau ke rumah kamu, berarti dia melamar kamu,” canda Luki.

Aisah terkekeh geli.

“Melamar untuk siapa?”

“Untuk aku lah, masa untuk ayahku.”

Aisah masih terkekeh.

“Aku kesal sama bapak, dia nekat berbicara tentang perjodohan sama om Harsono. Sementara kami kan tidak saling suka. Andin juga sudah punya pilihan, dokter ganteng yang selalu ada di dekatnya, ya kan?”

“Tapi kalau memang orang tua menjodohkan, mau bagaimana lagi?”

“Nggak bisa begitu dong. Kami masing-masing menyukai orang lain. Andin suka sama dokter Faris.”

“Mas Luki suka sama siapa?”

“Sama kamu lah, siapa lagi.”

“Jangan bercanda.”

“Aku serius.”

“Ini ungkapan cinta kah?”

“Iya, aku cinta sama kamu.”

“Huh, nggak romantis banget.”

“Tapi kamu menerima kan?”

Aisah menelan salivanya, menata batinnya yang terguncang. Memang dia suka sama Luki, tapi pernyataan cinta yang tiba-tiba, lewat telpon pula, itu sangat mengejutkannya. Bukan karena tidak romantis sih, tapi benar-benar membuatnya gemetar. Bahkan tangan yang memegang ponsel itupun bergetar.

“Hei, kamu masih di situ? Kenapa diam?”

“Aku terkejut.”

“Kalau kamu ingin, minggu depan aku akan datang kemari.”

“Hari apa? Aku ujian hari Sabtu minggu depan.”

“Aku antar kamu saat ujian, menunggu kamu sampai selesai dan dinyatakan lulus.”

“Mas Luki serius?”

“Sangat serius.”

Sampai kemudian Aisah meletakkan ponselnya, getar itu masih ada.

***

Pak Istijab yang merasa kecewa atas sikap anaknya, langsung pulang hari itu juga. Malam harinya, begitu Luki pulang dari kantor, terkejut ketika sang ayah sudah di rumah. Wajahnya gelap, dan bertambah gelap ketika dia mendekat dan menyapanya.

“Kok Bapak sudah pulang?”

“Apa lagi yang akan bapak katakan? Kamu sangat mengecewakan.”

“Luki minta maaf.”

“Kamu akan membuat bapak malu, tahu. Bapak sudah bicara panjang lebar, tapi ternyata tanggapan kamu amat membuat bapak kecewa.”

“Luki minta maaf kalau mengecewakan Bapak. Tapi Luki mencintai gadis lain.”

“Apa kamu ingin membuat ayahmu ini malu?” kata pak Istijab dengan nada tinggi.

“Saya kira Bapak tidak perlu malu. Bukankah saat ini Andin ataupun om Harsono belum memberikan jawaban yang pasti?”

“Itu karena Andin masih harus menyelesaikan kuliah dan tidak ingin memikirkan perjodohan ini.”

“Bukan Pak. Luki harap Bapak mengerti. Andin juga mencintai laki-laki lain.”

Pak Istijab terpana.

***

Besok lagi ya.

 

Monday, October 30, 2023

BERSAMA HUJAN 29

  

BERSAMA HUJAN  29

(Tien Kumalasari)

 

Dokter Faris menatap ke arah Romi yang berbaring lemas. Beberapa perawat sedang memasang jarum infus di pergelangan tangannya. Lalu memasukkan obat dari dalam suntikan melalui selang infus itu. Semua atas perintahnya. Bibir itu tak berhenti bergerak, dan sesekali terdengar nama Andin di sebutnya.

Dokter Faris menahan gejolak cemburunya. Ia teringat ketika Andin tampak sangat mengkhawatirkannya. Ia melupakan alasan Andin tentang keadaan Romi, bahwa kalau sampai dia meninggal maka ayahnya akan kena perkara pembunuhan. Rasa cemburu yang membakar justru menghubungkan kekhawatiran Andin dengan disebutnya nama Andin oleh Romi yang berulang didengarnya.

Dokter Faris keluar dari ruangan, lalu menelpon Aisah.

“Ada apa lagi Mas? Romi meninggal?”

Ya ampun, kenapa semuanya mengkhawatirkan Romi?

“Tolong bilang kepada keluarga Romi, agar mereka membawakan baju ganti untuk Romi.”

“Ya ampun, aku nggak punya nomor kontak keluarga Romi, aku harus datang ke sana lagi nih.”

“Tolong, bajunya basah kuyup. Mungkin perawat sudah menggantikannya dengan baju rumah sakit, tapi ada baiknya kamu mengingatkan mereka.”

“Sebenarnya …._”

Aisah menghentikan kata-katanya karena dokter Faris sudah menutup pembicaraan itu. Aisah belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Tapi sekilas ketika pertama kali menelpon, dokter Faris mengatakan bahwa ia menemukan Romi tergeletak di halaman rumah Andin.

“Oh ya, lari lagi ke rumah bu Rosi deh,” katanya ketika ingat pesan kakak misannya, barusan, padahal sebenarnya dia ingin menelpon Andin. Tadi sudah dicobanya menelpon, tapi belum tersambung. Entah apa yang terjadi.

Ketika menuju rumah bu Rosi, satpam yang berjaga mengatakan bahwa bu Rosi baru saja pergi bersama Elisa.

Aisah menghela napas. Pastinya mereka buru-buru berangkat setelah mendengar berita darinya. Apa boleh buat. Aisah kembali ke rumah, dan berusaha menelpon Andin.

***

Sementara itu dokter Faris bersiap pergi ke rumah Andin, karena dia juga mengkhawatirkan keadaan pak Harsono yang mengamuk di halaman dan membiarkan tubuhnya terguyur hujan. Tapi tiba-tiba seseorang memeluknya.

Dokter Faris mendorong pelan wanita yang memeluknya.

“Elisa?”

“Bagaimana keadaan suami aku?”

Dokter Faris baru ingat wanita yang belum lama ini datang ke tempat prakteknya, kemudian dia menyatakan bahwa Elisa hamil.

“Romi ada di sini bukan?”

“Dokter, apakah anak saya ada di sini? Namanya Romi,” sambung bu Rosi dengan suara bergetar karena khawatir.

“Ya, ibu … siapanya?” tanya dokter Faris yang tidak memperhatikan Elisa.

“Saya ibunya. Anak saya kenapa?”

“Dia sedang dirawat, belum sadar.”

“Dia kenapa?”

“Nanti ibu tanyakan sama dia, kalau sudah sadar. Ibu boleh masuk, tapi sebentar saja. Dia masih dalam perawatan.

Bu Rosi masuk, diikuti Elisa. Ia segera menubruk anak semata wayangnya yang tergolek lemas. Badannya terasa panas. Wajahnya membengkak dan tampak beberapa lebam di sekitarnya.

“Romi, Romi … kamu kenapa?” tangis bu Rosi tak terbendung.

Tapi Romi tak menjawabnya. Lagi-lagi bibir pucat itu menyebutkan sebuah nama.

“Andin, maafkan aku … Andin.”

“Siapa Andin?” Elisa setengah berteriak. Bagaimanapun ia tak senang mendengar suaminya menyebut nama wanita lain, dalam keadaan tak sadar. Pasti dia wanita yang istimewa baginya, karena yang disebut dalam keadaan tak sadar, pastilah seseorang yang benar-benar ada di dalam hatinya.

“Ibu, pak Romi sedang dalam pengawasan, saya harap ibu menunggu diluar saja. Kalau ada apa-apa, kami akan menghubungi ibu,” kata seorang perawat.

“Lakukan yang terbaik untuk anak saya,” pinta bu Rosi.

Keduanya keluar. Bu Rosi bertanya ke setiap petugas yang ada, apa penyebab anaknya seperti itu, tapi tak seorangpun bisa menjawabnya. Ada seorang perawat yang mengatakan bahwa yang membawa ke rumah sakit adalah dokter Faris. Karena itulah bu Rosi mencari dokter Faris.

“Dokter Faris itu, yang tadi kita ketemu pertama kali, Ma,” kata Elisa.

Bu Rosi teringat ketika begitu datang Elisa memeluknya, tapi kemudian didorong oleh sang dokter dengan perasaan tak senang.

“Kamu kenal dia?”

“Elisa sering memeriksakan kesehatan ke sana.”

“Coba cari dia, mama ingin tahu apa yang terjadi.”

Elisa segera menghampiri petugas dan menanyakan di mana dokter Faris berada, tapi ia mendapat jawaban bahwa dokter Faris sudah pergi.

Bu Rosi duduk menunggu dengan perasaan kecewa.

“Kenapa anakku sampai seperti itu?” katanya sedih.

“Mobil Romi juga tidak kelihatan disekitar tempat ini,” kata Elisa yang rupanya mencari-cari barangkali ada diantara mobil yang diparkir adalah milik Romi.

“Ya sudah, kita menunggu saja di sini, semoga Romi segera sadar.”

***

Dokter Faris kembali ke rumah Andin. Ketika hampir memasuki halaman, dia melihat mobil terparkir di luar pagar. Dokter Faris turun dan mendekati mobil itu, ternyata tidak dikunci. Ia melongok ke dalam, dan melihat ponsel tergeletak di jok depan dan setumpuk buku tebal. Dokter Faris menyalakan lampu di dalam mobil itu, dan melihat nama Romi di buku itu. Rupanya itu adalah buku skripsi yang dibuat Romi. Dokter Faris tak melihat judulnya, segera menutup buku itu, lalu melihat bahwa kunci mobil itu masih tergantung di tempatnya.

“Beruntung tak ada orang jahat lewat. Tampaknya semuanya aman,"  Ia menutup mobil itu dan menguncinya, tanpa mengambil barang yang ada di dalamnya. Lalu dia masuk ke dalam mobilnya sendiri, dan membawanya memasuki halaman.

Sebelum dia turun, dia melihat korden di jendela depan tersingkap. Rupanya orang di dalam rumah ingin melihat siapa yang datang. Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Ia sudah tahu, bahwa yang mengintip sebelumnya adalah Andin.

“Dokter ….”

“Bagaimana keadaan bapak?” tanya dokter Faris sambil melangkah ke dalam. Ia melepas dulu sepatunya karena menginjak tanah yang becek dan berlumpur.

“Sudah tidur, tapi badannya agak panas.”

“Kamu memberinya obat?”

“Belum.”

“Aku akan melihatnya.”

Andin mempersilakan dokter Faris masuk ke kamar ayahnya. Pak Harsono tampak tertidur, tapi wajahnya sedikit pucat. Tak mungkin dia baik-baik saja setelah berhujan-hujan saat menghajar orang yang dibencinya.

Dokter Faris memeriksanya, dan itu membuat pak Harsono membuka matanya.

“Nak Dokter?”

“Iya. Bapak merasakan apa?”

“Saya baik-baik saja. Mengapa repot malam-malam datang kemari?”

“Bapak agak panas. Kenapa hujan-hujanan?” kata dokter Faris sambil tersenyum.

“Kalau Andin tidak menghentikannya, bapak sudah membunuhnya,” katanya masih dengan nada geram.

“Dia sudah terhukum. Rasa sesal itu sendiri adalah hukuman.”

Pak Harsono diam. Dokter Faris mengakhiri pemeriksaannya atas pak Harsono. Ia mengambil obat yang dibawanya, diberikannya kepada Andin.

“Minumkan sekarang, selanjutnya tiga kali sehari. Kalau panasnya tidak menurun, kabari aku.”

Andin mengangguk. Ia mengambil sebutir kapsul yang diberikan dokter Faris, dan meminta ayahnya agar meminumnya. Ada segelas minuman yang masih hangat di atas nakas. Pak Harsono menurutinya.

“Bapak istirahat ya.”

“Apakah dia masih hidup?”

“Dia dalam perawatan. Bapak harus bisa mengendapkan perasaan Bapak, ya. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Dia berbuat sekali tapi membuat anakku menderita selama hidupnya,” katanya masih dengan nada geram.

Dokter Faris menepuk tangan pak Harsono pelan.

“Dia sudah terhukum. Bapak harus melupakannya. Andin tidak akan menderita selamanya. Dia akan bahagia.”

Pak Harsono menatap dokter Faris lekat-lekat. Ia ingat janji dokter itu, bahwa dia akan mencintai dan menjaga Andin, serta akan membuatnya bahagia. Seulas senyum tampak dibibirnya yang menua. Ia berharap, semoga semua ucapan dokter itu bukan hanya sekedar ucapan.

***

Andin menghidangkan minuman hangat kepada dokter Faris, karena udara begitu dingin setelah hujan mengguyur sejak sore.

Ia menemaninya duduk dan mengucapkan terima kasih karena dokter Faris selalu membantunya dalam segala kesulitan.

Dokter Faris tersenyum menanggapi.

“Itu tidak gratis,” katanya sambil menghirup minumannya dengan nikmat.

Andin terbelalak. Jadi dia harus membayarnya? Bahkan biaya rumah sakit saat ayahnya dirawat? Berapa tahun ia harus memberikan gajinya sehingga dia bisa melunasinya? Wajahnya pucat tiba-tiba.

“Berapa … berapa … saya harus … membayarnya?”

Dokter Faris tertawa mendengar pertanyaan itu.

“Banyak.”

“Dokter kan tahu, saya tidak punya apa-apa. Harta orang tua saya juga tidak banyak … jadi … saya akan mencicilnya.”

“Aku tidak mau dicicil.”

Andin ketakutan, darimana dia bisa membayar kalau tidak boleh dicicil? Itupun akan menghabiskan waktu berapa lama?

“Kami tidak punya harta, jadi ….”

“Siapa yang minta agar kamu membayarnya dengan harta?”

“Apa maksudnya?”

“Bayarlah dengan cinta,” enteng sekali dokter Faris mengucapkannya. Lalu ia meraih minumannya dan menatap wajah Andin yang kemudian bersemu merah.

“Kamu pasti punya rasa itu. Mengapa kamu menyembunyikannya? Apakah itu terlalu berat untuk kamu?

“Jadi … Dokter menjual kebaikan …. buktinya Dokter meminta bayaran.” kata Andin hati-hati.

“Tidak, kamu salah mengartikannya. Aku melakukan kebaikan kepada semua orang, tanpa imbalan sekalipun. Tapi kamu berbeda.”

“Sama saja.”

“Kamu kan bodoh dalam hal cinta? Jadi aku tahu kalau kamu tidak akan mengerti.”

Andin mengerucutkan bibirnya karena dokter Faris mengulangi kata 'bodoh dalam cinta' itu lagi.

Dokter Faris tertawa pelan. Selalu merasa lucu melihat bibir mengerucut itu. Andin kesal tapi tidak terlalu berani menumpahkannya.

Dan melihat gadisnya menahan kesal, akhirnya dokter Faris mengalah.

“Baiklah … baiklah, aku meralat kata-kata aku. Aku hanya bercanda, nanti kamu kira aku menjual kebaikan pula. Jadi nggak enak. Semuanya gratis untuk kamu. Kamu boleh tidak usah membayar apapun. Bahkan cinta yang aku minta, boleh kamu abaikan. Aku tahu bahwa kamu akan memilih Romi.”

“Apa?” Andin berteriak sangat keras. Beruntung kamar ayahnya tertutup, kalau tidak, teriakannya pasti akan membangunkannya.

Dokter Faris tidak tersenyum lagi. Ia teringat ketika Romi mengigau menyebut namanya, teringat ketika Andin menanyakan keselamatannya.

“Kalau ada orang yang paling saya benci, itu adalah dia. Bagaimana Dokter bisa mengatakan bahwa saya akan memilihnya?”

“Aku mendengar dia mengigau tadi, dia selalu memanggil-manggil nama kamu. Kamu juga mengkhawatirkan keselamatannya bukan?”

“Saya mengkihawatirkan keselamatannya, karena saya juga mengingat keselamatan bapak. Kalau dia mati, bapak pasti dipenjara.”

Dokter Faris yang dibakar cemburu baru memahami kata-kata itu, yang sudah diucapkan berulang kali oleh Andin. Bahkan sesaat setelah dia membawa Romi ke rumah sakit. Tapi ucapan Romi saat mengigau masih mengganggunya.

“Benarkah kamu tidak suka sama dia? Dia sudah menyesali perbuatannya, dan minta maaf, bahkan ingin menjadikan kamu sebagai istri.”

“Saya maafkan dia. Titik. Tidak boleh ada kelanjutannya,” kata Andin masih dengan bibir mengerucut.

“Kalau begitu, siapa yang pantas kamu cintai?”

“Dokter, sudah berkali-kali saya mengatakan bahwa_”

“Hentikan kata-kata usang itu. Aku menerima kamu dengan segala kelebihan dan kekurangan kamu. Kamu paham? Mengapa kalau cinta kamu harus menyembunyikannya? Cinta itu tidak perlu diucapkan, dari sorot mata yang terpancar, akan terlihat bagaimana isi hati seseorang.

“Masa sih?”

“Tuh, kamu melihatku begitu, itu tandanya kamu cinta sama aku,” kata dokter Faris yang tak sabar menunggu Andin mengakuinya. Dan nyatanya Andin kelabakan menolaknya. Ia berkata tidak? Bukan. Ia hanya tersipu menundukkan wajahnya yang memerah. Dokter Faris tersenyum manis. Yang diterimanya bukan jawaban melalui mulut mungilnya, tapi itu sudah cukup baginya. Rupanya seorang dokter juga bisa mendeteksi suara hati seseorang, entahlah. Dokter Faris sendiri merasa begitu, barangkali.

***

Romi sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Wajah lebamnya masih kelihatan. Bercak-bercak kebiruan juga belum lenyap sepenuhnya dari sana. Tapi dia sudah bisa diajak bicara. Hanya saja dia tak mau mengatakan penyebab dirinya mengalami luka seperti itu, bahkan hampir kehilangan nyawa.

Bu Rosi sudah menemui dokter Faris, tapi dokter Faris hanya mengatakan bahwa sebaiknya bu Rosi bertanya kepada Romi. Bahkan ketika dokter Faris mengantarkan mobil Romi yang ditinggalkan di depan rumah Andin, ia juga tak mengatakan apapun, karena hanya Romi yang bisa mengatakannya.

“Kalau Ibu ingin melaporkannya pada polisi, sebaiknya Ibu bicara dulu sama Romi,” kata dokter Faris waktu itu.

“Mengapa kamu tidak mau mengatakannya? Mama akan melaporkannya pada polisi atas perlakuannya itu. “

“Jangan. Tidak usah dilaporkan.”

“Apa maksudmu? Kamu terluka parah dan mama hampir kehilangan kamu, mengapa kamu melarang mama melaporkannya pada polisi?”

“Tidak usah. Romi yang salah.”

“Kamu salah apa?”

“Ma, tanyakan sama dia, siapa perempuan yang disebutnya bernama Andin. Mungkin dia berantem karena perempuan itu,” sambung Elisa yang waktu itu menemani ibu mertuanya menunggui Romi.

“Diam kamu. Jangan sok tahu,” hardik Romi sambil melotot ke arah istrinya.

“Bukankah ini masalah serius? Siapa sebenarnya Andin?”

“Seorang wanita yang akan Romi jadikan istri,” kata Romi lugas, membuat sang mama dan juga istrinya terkejut.

***

Besok lagi ya.

Saturday, October 28, 2023

BERSAMA HUJAN 28

 BERSAMA HUJAN  28

(Tien Kumalasari)

 

 

Bayangan yang datang itu semakin dekat, dan Andin terkejut ketika tiba-tiba tamu tak diundang itu berlutut di tanah, tepat di depan tangga teras, dimana Andin masih berdiri kaku disana.

“Andin, maafkanlah aku,” rintihnya pelan sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Laki-laki, sang tamu adalah Romi, orang yang sangat dibenci Andin, dan tak ingin dilihat selamanya. Sekarang laki-laki itu sedang berlutut di hadapannya, dan memohon maafnya. Benar apa yang dikatakan Aisah, bahwa Romi telah menyesali perbuatannya, dengan cara yang sangat memilukan. Tapi Andin bergeming di tempatnya. Ia juga tak kuasa menggerakkan tubuhnya, walau hanya untuk memintanya agar berdiri.

Kilat tiba-tiba menyambar, dan guntur bertalu menggetarkan. Langit semakin gelap, dan gerimis mulai berjatuhan. Andin melihat Romi tak bergerak. Mau tak mau dia membuka mulutnya yang terasa berat.

“Pergilah,” hanya sepatah kata yang diucapkan Andin.

“Andin, maafkanlah aku,” rintihnya lagi.

“Aku maafkan, lalu pergilah.”

“Andin, aku ingin bertanggung jawab.”

Perkataan itu mengejutkan Andini. Bertanggung jawab apa maksud laki-laki itu, sedangkan ia tak peduli rintik hujan semakin membasahi bajunya.

“Pergilah. Hujan semakin deras.”

“Aku akan menjadikan kamu istriku,” ucapannya tegas, bersamaan dengan guntur yang menggelegar.

“Jangan mimpi. Pergilah.”

“Demi dosaku sama kamu, jadilah istri aku, Andin,” suara Romi hampir tak terdengar, karena hujan semakin deras mengguyur.

“Ijinkan aku menebus dosaku dengan menikahi kamu.”

“Pergilah, hujan sudah sangat deras.”

“Andin, aku tak akan pergi sebelum kamu bersedia menerima lamaran aku.”

Gelegar guntur kembali terdengar. Andin membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintunya dengan keras.

Dari dalam rumah Andin melongok keluar, dan melihat Romi bergeming ditengah guyuran hujan. Andin duduk di sebuah kursi. Ia terus memikirkan ayahnya yang belum juga sampai di rumah. Andin mencoba menelponnya lagi, tapi sampai beberapa saatnya tak juga panggilan itu diangkat.

Andin menelpon ke kantor, tapi tak ada jawaban dari sana. Pasti kantornya telah tutup. Lalu di mana ayahnya? Apakah masih menunggu hujan dan tak mendengar panggilannya?

“Ya Allah, lindungilah ayah hamba,” desisnya pelan.

Andin merasa cemas. Gelegar guntur bersahutan diantara derasnya hujan. Dia berdiri dan bermaksud menunggu ayahnya di teras, tapi ia terkejut melihat sosok Romi yang masih berlutut di depan tangga teras, tak peduli hujan terus mengguyurnya. Andin kebingungan. Rasa kemanusiaannya tersentuh. Mana mungkin Ia membiarkan orang tetap berada di bawah hujan tanpa mengacuhkannya. Perlahan ia membuka pintu, hujan sudah agak mereda, tapi belum bisa dikatakan berhenti. Ketika itu tiba-tiba Andin melihat sepeda motor ayahnya masuk ke halaman. Dilihatnya sang ayah memakai mantel hujan. Andin mengurungkan niatnya keluar, bahkan menutup kembali pintunya. Ia melongok di balik kaca jendela dengan cemas, melihat ayahnya datang di tengah hujan.

Pak Harsono berhenti, dan melangkah menuju teras, tapi dia heran melihat laki-laki basah kuyup yang diam saja terguyur hujan.

“Siapa kamu? Mengapa ada di sini?” tanya pak Harsono yang sudah berdiri di tangga, dan menatap heran Romi yang bergeming dilanda hujan.

“Saya Romi,” gemetar suara itu terdengar.

"Romi ... keparat itu?" Pekiknya geram.

Pak Harsono tak bisa melupakan nama itu. Nama yang disimpannya sebagai duri dalam hidupnya dan tak pernah dikatakannya kepada sang anak. Dan sekarang laki-laki itu berlutut di depan rumahnya. Apa maksudnya?

“Saya mohon maaf, telah melukai Andin,” masih bergetar suara itu, atau tepatnya menggigil.

“Kamu laki-laki bangsat itu?”

“Ijinkan saya … menebus dosa saya … dengan … menikahi Andin.”

Bukannya luluh dan jatuh rasa kasihan pak Harsono ketika melihat keadaan Romi, justru kemarahannya memuncak. Ia turun selangkah dari atas tangga, dan sebelah kakinya menendang tubuh Romi yang gemetaran.

Romi terjengkang, tanpa mampu mengaduh. Tak cukup hanya itu, ia turun ke bawah dan melanjutkan tendangannya. Romi meringkuk di tanah, dan pak Harsono terus menendangnya bertubi-tubi. Hujan masih mengguyur, dan pak Harsono sudah melepas jas hujannya. Karenanya diapun basah kuyup. Tapi ia tak berhenti menendang tubuh Romi yang sudah tak berdaya, diam tak bergerak.

Andin sangat terkejut, ia keluar dan berteriak.

“Bapak, sudah Pak!!”

Pak Harsono tak mau berhenti. Ia terus menendang tubuh tak berdaya itu, sehingga kemudian Andin nekat menghampiri ayahnya dan menariknya ke dalam rumah.

“Kenapa Bapak nekat, lihat … basah kuyup begini.”

“Lepaskan aku, biar aku bunuh bangsat itu.”

Andin terkejut. Apa ayahnya tahu tentang apa yang terjadi? Apa Romi sempat mengatakan apa yang pernah dilakukannya sehingga ayahnya mengamuk?

Tak sempat berpikir lama, Andin membawa ayahnya ke kamar dan memintanya berganti baju. Andin sangat khawatir melihat keadaan ayahnya yang dingin bagai es. Setelah ayahnya berganti pakaian, Andin masih kebingungan karena ia melihat Romi masih tergeletak di tanah. Bagaimana kalau Romi meninggal? Andin ketakutan, karena ayahnya akan dituduh membunuh.

Tanpa peduli pada bajunya sendiri yang basah kuyup, Andin meraih ponselnya. Hanya satu yang harus dihubunginya, yaitu dokter Faris, yang langsung meluncur ke rumah Andin.

Begitu mobil memasuki halaman, ia terkejut melihat sesosok laki-laki meringuk diam di tanah. Ia turun dan mendengar Andin berteriak.

“Dokter, tolong bawa dia ke rumah sakit.”

Dokter Faris memegang tangan laki-laki itu, yang terasa sangat dingin, tapi nadinya masih berdenyut. Naluri dokternya menyuruhnya bekerja tanpa banyak bertanya. Ia segera mengangkat tubuh itu, lalu melarikan mobilnya ke rumah sakit.

***

Pak Harsono berbaring di ranjang. Andin sudah menggosok seluruh tubuhnya dengan minyak hangat, dan juga memberinya minum teh hangat. Lalu menyelimuti tubuhnya dari kaki sampai ke dada.

“Siapa … tadi,” tanyanya pelan.

“Dia … Romi,” jawab Andin dengan ragu.

“Bukan keparat itu, mobil itu,” kata pak Harsono lagi. Ternyata bukan Romi yang dimaksud, tapi suara mobil yang datang, kemudian pergi.

“Itu mobil dokter Faris. Andin menelponnya, lalu dia membawanya ke rumah sakit.”

“Mengapa kamu mengabari dokter Faris? Biarkan dia mati, aku ingin membunuhnya. Berbulan aku menahan kemarahan ini.”

Andin terkejut. Jadi ayahnya sudah tahu apa yang dilakukan Romi? Apakah Aisah mengatakannya? Atau dokter Faris? Mengapa ayahnya tak pernah bicara, kalau memang dia mengetahui semuanya?

Andin masih duduk di samping ayahnya, mengelus tangannya dengan lembut. Andin merasa lega, tangan ayahnya sudah terasa hangat.

“Mengapa Bapak ingin membunuhnya? Nanti akan jadi perkara yang berat,” kata Andin hati-hati.

“Siapa peduli?”

“Bapak, apakah yang bapak ketahui tentang Romi?”

“Kamu pikir bapakmu ini bodoh? Ketika kamu dirawat, kamu keguguran setelah dihamili bangsat itu.”

Mata Andin terbelalak. Bibirnya gemetar, tapi tak sepatah katapun mampu diucapkannya.

“Bapak menyimpannya hanya untuk menjaga perasaan kamu. Bapak tahu kamu menyimpan juga rahasia ini untuk menjaga perasaan ayahmu ini, bukan?”

Andin masih terdiam.

“Bapak tahu kamu sangat menderita, tapi menyembunyikannya dari ayahmu, supaya ayahmu yang tua ini tidak bersedih, tidak marah dan tidak terluka,” kali ini suara pak Harsono bergetar, seakan menahan tangis.

Andin memeluknya, jatuh di dada ayahnya, dan terisak di sana.

“Maafkan Andin, Pak,”  isaknya.

“Kamu kehilangan masa depan kamu gara-gara dia. Apa tidak pantas kalau ayahmu membunuhnya?”

“Manusia tidak berhak menentukan mati dan hidup atas dirinya ataupun diri orang lain, bukan? Kalau Bapak melakukannya, Bapak bukan hanya terlibat dalam sebuah pembunuhan dan hukumannya hanyalah penjara, tapi Bapak juga berdosa karena mengakhiri hidup yang sebenarnya bukan hak manusia untuk menentukannya.”

Tiba-tiba ponsel berdering, milik Andin, yang masih tertinggal diluar kamar. Andin bergegas menghampiri dan mengangkatnya dengan hati berdebar. Matikah Romi?

“Ya, Dokter,” sapa Andin setelah mengangkatnya.

“Apa yang terjadi?”

“Apakah dia selamat?” Andin justru menanyakan keselamatannya.

“Sedang ditangani. Dia Romi kan?”

“Ya.” jawab Andin yang sedikit merasa lega. Jawaban dokter Faris menunjukkan bahwa Romi selamat.

“Mengapa dia ada di sana dan dalam keadaan seperti itu? Terlambat sedikit saja dia pasti meninggal."

Andin merinding mendengarnya.

“Tolonglah dia, selamatkan dia.”

“Kamu sangat menghawatirkannya?” tiba-tiba rasa cemburu memenuhi benaknya.

“Kalau dia meninggal, bapak bakal dihukum karena pembunuhan.”

“Apa? Jadi bapak menghajar dia?”

Lalu Andin menceritakan semua yang terjadi kepada dokter Faris, yang membuat dokter Faris juga mengkhawatirkan keadaan pak Harsono.

“Bagaimana keadaan bapak sekarang?”

"Sudah lebih baik. Tadi kedinginan, saya sangat khawatir."

"Setelah keadaan Romi stabil, aku akan melihat keadaan Bapak.”

“Kelihatannya sudah baikan.”

“Kamu keberatan kalau aku datang ke rumah?”

“Tidak, bukan begitu, mm … baiklah … “ kata Andin pada akhirnya.

Dokter Faris tersenyum di seberang sana. Sejauh ini dia belum pernah mendengar jawaban Andin tentang pernyataan cintanya, walau dia sudah berterus terang kepada ayahnya. Tapi dari sikap Andin setelahnya, dia tahu bahwa gadis lugu itu tidak menolak. Entah mengapa dia seperti tampak sangat berat mengakuinya.

***

Bu Rosi kebingungan ketika sudah malam Romi belum juga pulang. Ia melihat Elisa tampak santai di ruang tengah, sambil ngemil makanan yang dihidangkan bibik, dan sesekali menatap ke arah televisi. Bu Rosi kesal melihat sikap menantunya.

“Elisa, apa Romi sudah pulang?” tanyanya kepada sang menantu.

“Sepertinya belum Ma,” jawabnya enteng.

“Kok sepertinya sih El,”

“Elisa belum melihat mobilnya kembali pulang, jadi menurut Elisa dia belum pulang.”

“Hujan deras tadi, apa kamu tidak berusaha menelponnya?”

“Elisa sudah capek berbaik-baik sama mas Romi, Ma. Dia nggak pernah perhatian sama Elisa. Kalau Elisa menelpon, paling juga jawabnya kasar.”

Bu Rosi menghela napas sedih. Ia menyesal rumah tangga anaknya sepertinya akan berakhir buruk. Ia heran, dulu setengah memaksa minta dinikahkan, tapi begitu menikah, sudah tampak tanda-tanda tidak harmonisnya hubungan mereka.

Bu Rosi mulai berpikir, apa benar tuduhan Romi, bahwa yang dikandung Elisa adalah bukan anaknya? Tampaknya memang hal itulah yang menjadi penyebab sikap Romi begitu dingin terhadap istrinya.

Dari mana Romi berpikir bahwa Elisa mengandung anak orang lain?

Bu Rosi ingin bertanya kepada sang menantu, tapi takut menantunya tersinggung, soalnya pertanyaannya pasti dianggap tidak mendasar. Berbeda dengan Romi, yang pastinya punya alasan untuk menuduh.

“Ma, saya lapar, bolehkah saya makan sekarang?” Elisa yang tak tahan menunggu kedatangan Romi mulai merasa lapar, sementara sang mertua masih belum mengajaknya makan. Barangkali masih menunggu kepulangan Romi.

“Ya sudah, makan dulu saja sana. Kamu kan lagi hamil, kasihan anak kamu kalau kamu sampai terlambat makan.”

“Mama tidak makan sekalian?”

“Biar Mama menunggu Romi dulu.”

Tanpa sungkan, Elisa kemudian berdiri dan langsung beranjak ke belakang. Di ruang makan dia berteriak memanggil bibik.

“Bik, aku mau makan sekarang ya.”

Bu Rosi duduk di ruang tengah sendirian. Sebentar-sebentar melongok ke halaman, berharap melihat bayangan mobil Romi segera datang. Tapi yang ditunggu tidak juga tampak batang hidungnya.

Ia menelpon sekali lagi, tapi panggilan itu tidak segera tersambung.

“Ada nada panggil, tapi kok dari tadi tidak diangkat ya.”

Ketika itulah tiba-tiba bu Rosi melihat bayangan seseorang. Tapi dia bukan Romi. Seorang wanita. Langit yang gelap belum bisa memantulkan wajah siapa yang baru datang, dan bu Rosi baru mengenalnya ketika bayangan itu mendekat.

“Aisah?”

“Selamat malam, Bu.”

“Tumben malam-malam datang kemari, Nak.”

“Saya mendapat berita dari rumah sakit, bahwa Romi dirawat di sana.”

“Apa? Romi dirawat? Kenapa? Kecelakaan?” bu Rosi berteriak khawatir.

“Saya juga belum jelas Bu, kakak saya kan dokter di sana. Dia tahu bahwa Romi tetangga saya. Makanya dia menghubungi saya, soalnya Romi tidak membawa identitas apapun. Ponsel juga tidak dibawanya,” terang Aisah.

“Ya Allah, anakku kenapa?”

Bu Rosi segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam, bahkan lupa mengucapkan terima kasih karena Aisah sudah mengabari. Tapi kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berteriak memanggil Aisah yang sudah siap untuk pergi.

“Aisah!”

Aisah menoleh lalu menghentikan langkahnya.”

“Di rumah sakit mana?”

“Pusat, Bu.”

Bu Rosi kembali masuk ke rumah, dan kembali lupa mengucapkan terima kasih. Ia melewati ruang makan dan mengabari Elisa yang masih asyik makan.

“Elisa, suami kamu ada di rumah sakit. Kita harus segera ke sana.”

“Romi kecelakaan?”

“Ibu tidak tahu, cepat kita pergi ke sana.”

Elisa dengan malas meninggalkan piringnya yang masih berisi separuh nasi yang tadi diambilnya. Ia sungkan melanjutkannya, walau perutnya masih terasa lapar.

***

Dokter Faris sedang ikut menangani Romi yang belum tampak sadarkan diri. Badannya sangat panas.

Beberapa luka lebam tampak di sekujur wajahnya. Pakaiannya masih basah.

Dokter Faris ingin menelpon lagi Aisah, agar keluarga Romi juga membawakan baju ganti untuknya, ketika tiba-tiba dari mulut Romi terucap sebuah nama.

“Andini ….”

Dokter Faris urung mencari nama Aisah di ponselnya, menatap bibir kebiruan yang beberapa kali menyebut nama Andin.

***

Besok lagi ya.

Friday, October 27, 2023

BERSAMA HUJAN 27

BERSAMA HUJAN  27

(Tien Kumalasari)

 

Aisah menatap Kinanti yang tiba-tiba wajahnya menjadi keruh. Aisah menyesal mengatakannya, padahal dia sebenarnya bermaksud baik, menyampaikan keinginan Romi yang semula tersesat, kemudian menemukan jalannya kembali.

“Mbak Kinan, saya minta maaf, ya. Saya tidak bermaksud melukai hati mbak Kinan kok, barangkali ada sebuah pilihan terbaik untuk hidup Mbak bersama si kecil, nantinya. Tapi kalau itu membuat Mbak Kinanti marah, saya sekali lagi minta maaf,” kata Aisah sambil memegangi tangan Kinanti.

Kinanti tersenyum kembali. Ia sadar, bahwa kemarahan yang ditunjukkannya sangat tidak beralasan. Kemudian ia balas menggenggam tangan Aisah dan meremasnya perlahan.

“Lupakan saja. Aku juga tidak bermaksud marah sama kamu kok.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Apa kamu datang kemari hanya untuk mengatakan itu?”

“Tidak. Akhir-akhir ini aku sibuk mengurus kuliah aku, jadi lama nggak ketemu Mbak. Kangen rasanya.”

“Terima kasih, Aisah. Aku tahu kamu sibuk, dan aku juga tak ingin mengganggu kok. Aku senang kalau kamu segera bisa menyelesaikan kuliah kamu. Terus … setelah selesai … apa? Menikah?”

Aisah terkekeh.

“Menikah sama siapa?”

Tapi tiba-tiba wajah berkumis itu melintas. Wajah yang dulu saat masih kecil sering memboncengkannya dengan sepeda, jalan-jalan melalui tepian sawah, mencari cacing untuk umpan memancing. Hiiih, sekarang kalau mengingat binatang menjijikkan itu bulu kuduknya langsung berdiri. Sangat menjijikkan, sementara waktu dulu Luki dengan tenangnya memegangi binatang itu, dikaitkan pada ujung pancingnya. Tiba-tiba Aisah  menampakkan bibir yang aneh, seperti sedang melihat sesuatu yang menjijikkan.

“Aisah, ada apa?”

“Ya ampun, aku ingat cacing ….”

“Apa? Aku mengingatkan kamu tentang sebuah pernikahan, tapi kamu malah membayangkan cacing?”

“Hiiih, sudah, jangan bicara tentang binatang itu lagi.”

“Ada suatu kenangan tentang cacing?”

“Mbak Kinan, jangan sebut nama binatang itu, aku sungguh jijik.”

Kinanti terkekeh geli, melihat Aisah yang tiba-tiba enggan mengingat cacing. Ia tidak mengerti, apa hubungan pembicaraannya dengan cacing itu.

“Maukah bercerita tentang cacing itu?” Kinanti malah seperti menggodanya.

“Iiih, Mbak Kinan gitu ya. Nggak mau.”

“Habis … aku heran, aku bicara tentang ‘menikah’, kamu membayangkan cacing. Apa hubungannya coba?”

Aisah tersenyum kecut.

“Nggak ada. Aku mau pulang dulu ya. Bukankah sebentar lagi Mbak Kinan harus berangkat kerja?”

“Masih satu jam lagi aku bersiap-siap. Oh ya, bagaimana keadaan pak Harsono? Aku belum bisa bezoek nih.”

“Sudah membaik, tapi masih harus dirawat di rumah sakit. Mbak Kinan repot ya, bekerja sendirian?”

“Tidak, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Sebelum ada aku, Andin juga bisa mengerjakannya sendiri kan? Jadi tidak masalah, kalau selama ayah nya sakit, Andin tidak bekerja dulu. Dokter Faris pasti juga bisa mengerti.”

“Iya, tentu. Mas Faris orangnya penuh pengertian kok. Tapi bener ah. Aku pulang sekarang, supaya walaupun satu jam, mbak Kinan bisa beristirahat."

“Baiklah, kalau begitu. Tapi lain kali kamu harus bercerita tentang cacing itu,” canda Kinanti.

Aisah terkekeh, sambil mendekati motornya.  

“Kalau aku sedang tidak ada pekerjaan, aku bantuin mencatat pasien-pasien mas Faris. Sambil ngobrol, tentu menyenangkan,” katanya setelah menaiki motornya dan menstarternya.

***

Hari Sabtu itu, hari masih pagi ketika Luki sudah sampai di rumah Aisah. Ketika ia datang, Aisah sudah selesai mandi dan sudah rapi.

Ketika Aisah keluar, Luki menatapnya tak berkedip. Aisah mendekat dan melambaikan tangannya di depan Luki.

“Hei, kamu melihat apa?”

“Pagi ini kamu cantik sekali.”

Aisah terkekeh. Ia memakai celana panjang dan kaos lengan panjang yang longgar berwarna merah jambu berbunga-bunga biru dibawahnya. Kerudung senada dikenakannya, tampak sangat menarik.

“Kenapa baru sekarang bilang cantik? Perasaan aku cantiknya sudah lama lhoh.”

“Aku juga sudah bilang sejak lama, cuma di dalam hati saja. Mau ngomong takut. Kamu kan galak?”

“Enak saja, gadis lemah lembut seperti aku dibilang galak?”

“Tapi aku suka, kalau lagi marah kamu lucu”

“Sudah, ngobrolnya, jadi pergi nggak?”

“Jadi dong. Ayuk, sudah pamit sama bibik?”

“Sudah. Jadi hanya berdua nih, kita perginya?”

“Nggak apa-apa cuma berdua, memangnya kenapa?”

“Dikira orang lagi pacaran,” kata Aisah sambil naik ke dalam mobil.

Luki segera masuk ke sampingnya, di belakang kemudi.

“Memangnya kenapa kalau kita beneran pacaran?”

Aisah terkekeh.

“Kemana kita?”

“Terserah kamu saja. Kan kamu yang ingin jalan-jalan.”

“Mancing yuk!”

“Apa?” Aisah berteriak keras sekali, karena tiba-tiba bayangan binatang menjijikkan itu melintas di hadapannya.

“Mancing, sambil mengenang masa kecil kita, pasti asyik.”

“Nggak mau. Nggaaaak,” tandas Aisah, masih dengan berteriak.

“Hei, kamu kok aneh? Kenapa sih? Bukankah kenangan masa kecil itu indah? Sepasang anak laki-laki dan perempuan, menyusuri parit, mencari cacing … lalu…”

”Nggak mau, itu yang aku nggak mau!”

“Kita bisa beli umpannya. Tidak usah mencarinya di parit.”

“Jangan. Kalau pengin ikan, beli di pasar saja, atau di warung yang menjual ikan. Ada goreng, ada bakar, atau dimasak apapun juga semau kamu.”

Luki terkekeh, agak heran melihat sikap Aisah.

“Kamu nggak suka kita mengenang masa kecil kita?”

“Suka, tapi jangan memancing, aku geli mengingat cacing. Hiih, itu menjijikkan.”

Luki terbahak keras sekali.

“Ooh, itu masalahnya. Dulu kamu memang nggak suka pegang-pegang cacingnya, tapi suka pegang pancingnya, dan berteriak setiap dapat ikannya.”

“Kenangan yang lainnya saja, nggak mau yang mancing-mancing.”

“Baiklah, naik sepeda saja yuk. Di mana ya, bisa cari sepeda sewaan? Lalu kita muter-muter, berboncengan, asyik tuh …”

“Aku tahu, kita ke sebuah tempat wisata, ada sepeda di sewakan di sana.”

“Tuh, mana tempatnya?”

“Terus saja, nanti aku kasih tahu jalannya, jauh di luar kota,” kata Aisah dengan wajah berseri. Alangkah menyenangkan masa-masa itu.

Celoteh mereka sangat heboh terdengar, dan kadang-kadang disertai tawa yang tak putus-putusnya.

Luki saat masih kecil bukan anak yang nakal dan suka mengganggu. Dia terlalu serius dalam mengerjakan pekerjaan sekolah. Tapi dia sangat dekat dengan Aisah. Mereka sering belajar bersama, tapi juga main bersama setiap liburan. Dalam setiap perdebatan, ataupun pertengkaran, Luki selalu mengalah. Itu sebabnya Aisah sangat suka berteman dengannya. Dan sekarang, saat sama-sama dewasa dan dipertemukan kembali, tiba-tiba masa-masa indah itu kembali terbayang.

"Masih jauh kah?”

“Tidak, kira-kira 3 kilometer dari sini.”

Ketika sampai di tempat tujuan, benar saja, ada yang menyewakan sepeda. Luki memilih sepeda tandem, supaya bisa dikayuh berdua.

“Ini bukan sepeda masa kecil kita,” protes Aisah.

“Nggak apa-apa, beda dikit. Dulu kita masih kecil, boncengan biasa, sekarang sudah dewasa, harus meningkat dong.”

Akhirnya Aisah mengalah. Tak apa-apa sepeda tandem, yang penting bisa bersama Luki dan itu sekarang membuat hatinya berbunga-bunga. Ada perasaan aneh dirasakannya. Apakah Luki juga merasakan hal yang sama?

Setelah melalui proses sewa menyewa, mereka berdua mengambil satu sepeda tandem dan dikayuh bersama dengan riang.

Wajah mereka berseri-seri karena gembira.

“Ada sayangnya nih,” tiba-tiba Luki nyeletuk.

“Apa tuh?”

“Kamu nggak bisa pegangan di pinggang aku dong.”

“Huh, emang nggak boleh dong, enak aja,” sergah Aisah yang disambut tawa Luki.

“Iya, aku tahu. Bercanda tadi tuh.”

Mereka menghabiskan waktu bersenang-senang sampai matahari condong ke barat. Ketika mengantarkan Aisah pulang, Luki masih memerlukan duduk di teras sambil menikmati suguhan wedang jahe dari bibik.

“Cocokkah di udara panas begini minum wedang jahe?” tanya Luki yang tak urung menyeruputnya dengan nikmat.

“Udara mendung. Guntur sudah terdengar. Sebentar lagi hujan, wedang jahe sangat cocok diminum sekarang ini,” balas Aisah.

“Mendung itu membuat kita merasa gerah.”

Tapi seperti menjawab perkataan Luki, tiba-tiba hujan datang tiba-tiba.

“Tuh kan.”

“Kok tiba-tiba hujan, tanpa gerimis pula.”

“Suka-suka dia, mau didahului gerimis atau enggak,” kata Aisah.

“Aku nggak bisa segera pulang dong.”

“Kamu kan naik mobil, dan aku punya payung, nanti pas mau menuju ke mobil kamu, aku payungin kamu deh.”

“Menyenangkan ….” gumam Luki sambil tersenyum nakal.

“Hei, apa yang kamu pikirkan?”

“Di bawah payung ku berlindung,” Luki menyenandungkan sebuah lagu.

Aisah tersenyum lucu.

“Sebenarnya aku ingin berlama-lama di sini. Masih kangen sama kamu.”

“Ya sudah, nggak usah pulang saja,” canda Aisah.

“Jadi boleh, aku tidur di sini?”

“Boleh, di teras sini, nggak boleh masuk.”

“Yeee, kedinginan dong.”

Aisah terkekeh.

“Suatu hari nanti aku ingin mengulang saat-saat manis seperti tadi,” kata Luki sambil menatap tajam Aisah.

“Besok-besok, semoga sudah bisa bersama Andin.”

“Aku ingin hanya sama kamu. Jangan mengganggu Andin. Atau tepatnya, jangan sampai kita terganggu,” kata Luki polos.

“Apa maksudnya tuh?”

“Sudah gede masa nggak tahu maksudnya sih?”

Luki pulang saat hujan sedikit reda, dan meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab atas ucapan Luki yang terakhir. Terjawab sih, hanya saja Aisah malu mengakuinya. Bahwa ada ikatan yang tiba-tiba membelenggu hatinya, itu benar. Dan tampaknya Luki juga menunjukkan sikap yang sama. Apakah mereka berjodoh? Bukankah Luki dijodohkan dengan Andini?

***

 Hari Senin itu, Aisah pergi ke kampus, dan tanpa sengaja bertemu Andin.

“Hai, bagaimana keadaan Bapak? Kemarin mas Luki pamit ke rumah sakit kan?” tanya Aisah.

“Tidak, ia bilang terburu-buru, dan hanya pamit melalui telpon.”

“Oh, gimana sih mas Luki,” gerutu Aisah.

“Nggak apa-apa. Memang waktunya yang sudah mepet. Bapak juga tidak mengeluh soal itu. Bagaimana acara hari Sabtu? Asyik kan?”

“Sayang nggak ada kamu, Ndin.”

“Nggak apa-apa, yang penting mas Luki bisa menikmati liburan di sini, dan ada yang mengantarnya.”

“Iya sih, tapi akan lebih menyenangkan lagi kalau ada kamu.”

“Sama saja ah.”

“Oh ya, apakah aku pernah cerita tentang Romi, sama kamu?”

Wajah Andin langsung gelap.

“Maaf, bukan maksud aku mengingatkan kamu tentang kejadian menyakitkan itu. Tapi aku melihat Romi seperti sangat menyesal.”

“Benarkah? Apa yang membuatnya menjadi menyesal? Kedengarannya aneh.”

“Mungkin setelah tahu bahwa dia juga ditipu istrinya.”

“Ditipu?”

“Kan kamu bilang bahwa saat itu Elisa periksa ke mas Faris, dan kamu bilang sama aku bahwa Elisa sudah hamil sebelum sampai di Indonesia.”

“Aduh, aku pernah bilang ya. Maaf sekali. Barangkali karena pikiran gelapku, aku jadi salah bicara. Maksudku, salah membicarakannya sama kamu.”

“Apa maksud kamu?”

“Sesungguhnya aku kan tidak boleh membawa keluar tentang sebuah penyakit atau apa pun yang diderita oleh pasien, dan aku dengan lancang mengatakannya sama kamu. Aku salah, barangkali karena itu ada hubungannya dengan Romi, jadi aku ngomong begitu saja.”

“Oh, apakah itu salah, kan cuma sama aku.”

“Apa  pun itu, harus menjadi rahasia antara dokter dan pasien. Tapi karena sudah terlanjur, aku harus minta maaf, dan tolong jangan katakan lagi itu kepada siapapun.”

“Baiklah. Aku akan menyimpannya di dalam hati. Sekarang aku akan melanjutkan bicaraku, maaf juga kalau kamu tersinggung. Aku hanya ingin menyampaikan, bahwa dia ingin menemui kamu.”

“Untuk apa?”                                                                      

"Meminta maaf, pastinya.”

“Ah, sudahlah, aku mau ke kelas dulu.”

“Dia juga menanyakan tentang mbak Kinanti.”

“Nah, itu lebih penting, supaya bayi yang dikandungnya punya status yang jelas.”

“Tapi mbak Kinanti juga nggak mau, jadi aku tidak mengatakan di mana dia bisa menemui mbak Kinanti.”

“Ya sudah, aku mau ke kelas dulu ya, nanti kita ketemu dan ngomong lagi. Tapi bukan tentang orang itu,” kata Andin sambil melangkah menjauh.

Aisah menghela napas panjang. Ia bisa memaklumi, mengapa Andin bersikap begitu.

***

Hari-hari berlalu begitu cepat. Pak Harsono sudah sembuh dari sakit, dan mulai bekerja kembali. Pernyataan dokter Faris yang berjanji akan mencintai dan menjaga Andin, masih disimpannya di dalam hati. Ia masih diam, karena Andin juga tidak menanyakannya. Andin bahkan tak pernah menunjukkan bahwa ada hubungan khusus antara dirinya dan sang dokter ganteng itu.

Hari itu hari Sabtu. Andin tak bekerja, tapi pak Harsono sudah mulai bekerja sejak seminggu yang lalu.

Andin termangu di rumah, dan mengkhawatirkan ayahnya, karena mendung begitu menggantung, dan gelegar guntur bertalu-talu. Ia berkali-kali menelpon sang ayah, tapi tidak terjawab. Barangkali sudah di jalan, atau sedang sibuk menekuni pekerjaannya.

Andin berdiri termangu di teras, berharap ayahnya segera pulang. Tiba-tiba Andin terkejut, melihat seseorang memasuki halaman. Seorang laki-laki yang sangat dikenalnya. Andin ingin berlari tapi kakinya terasa kaku, tak mampu digerakkannya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...