JANGAN BAWA CINTAKU 41
(Tien Kumakasari)
Leo turun dari mobil setelah memarkir mobilnya langsung memasuki garasi. Ia turun dan mendapati isterinya sedang duduk di teras bersama Dina. Leo menahan amarahnya, dan menyuruh Dina masuk kedalam.
“Dina main di kamar dulu ya, bapak mau bicara sama ibu.”
“Bapak membawa nasi seperti tadi siang?”
“Tidak ketemu nak, ayo kedalam dulu.”
“Apa topi besar itu sudah dibawa pemiliknya?” Dina masih cerewet dengan pertanyaannya.
“Sudah bapak buang… eh.. bukan.. sudah diserahkan ke pemiliknya.”
Dina berlari-lari masuk kedalam, Leo menarik tangan isterinya, diajaknya masuk kedalam kamar.
“Ada apa sih mas, aduh.. mas mencengkeram tangan aku, sakit tahu,” kata Rina sambil berusaha melepaskan diri. Tapi Leo tak ingin melepaskannya. Rina berdebar melihat sikap suaminya. Seribu pertanyaan memenuhi benaknya. Ia juga melihat mata suaminya memerah menahan marah ketika menutupkan pintu kamar.
“Mas, ada apa sih mas? Hiih, lihat, sampai merah begini lenganku,” kata Rina sambil mengusap lengannya yang kemerahan.
Leo duduk di sofa.
“Duduk disitu,” perintahnya dingin.
Rina menurut, duduk didepan suaminya dengan alis berkerut.
“Aku tidak mengira kamu bisa memiliki hati sebusuk itu,” kata Leo tajam.
“Apa maksudmu mas ?”
“Kamu tidak sadar bahwa telah melakukan kesalahan yang sangat memalukan. Memalukan karena hanya orang jahat yang bisa melakukannya.”
“Aku tidak mengerti ! Dan jangan menatapku seperti itu,” Rina mencoba berteriak untuk mengalahkan debar jantungnya. Ia menduga-duga, kesalahan apa gerangan yang telah dilakukannya.
“Aku hanya menatapmu marah, dan tidak menghajar kamu, ini lebih baik bukan ?”
“Katakan yang jelas. Aku tidak mengerti semuanya.”
“Apa kamu mengira aku tak akan bisa mengetahuinya?”
“Katakan ada apa!” Rina mulai menjerit.
“Jangan berteriak.”
“Cepat katakan.”
“Kamu telah memfitnah seseorang. Kamu jahat. Aku tidak mengira.”
“Memfitnah apa?”
“Mengapa kamu mengatakan kepada orang lain bahwa Dian itu tak jelas siapa bapaknya?”
Rina terpaku ditempat duduknya. Bagaimana Leo bisa mengetahui semuanya? Mustahil Risma bertemu Leo lalu mengatakan itu. Siapa mengatakannya? Tapi nyatanya Leo mengetahuinya, Rina bingung harus menjawab apa. Sungguh dia menyesal karena telah melakukannya. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, wajahnya pucat, tak tahu harus menjawab apa.
“Jawab Rina !!”
“Darimana mas mengetahuinya?”
“Tidak penting darimana. Katakan mengapa kamu melakukannya? Kamu kan tahu bhahwa Dian itu darah daging aku? Mengapa kamu mengatakan bahwa Dian terlahir karena pergaulan bebas sehingga tak tahu siapa ayahnya?”
“Maafkan aku..” Rina berbisik lirih, air mata mulai mengambang.
“Aku tidak mengira bahwa dibalik sikap kamu yang baik, kamu memiliki sifat yang diluar perkiraanku. Memfitnah itu jahat. Lebih kejam dari pembunuhan. Mengapa kamu melakukannya? Jawab Rina !!”
“Aku hanya… hanya… tak ingin.. membuka aib kamu.. “
“Apa maksudnya membuka aib aku? Apa perlu kamu menceritakan tentang keberadaan Dian kepada orang lain? Untuk apa? Kalau kamu ingin menutupi aib aku, maka kamu tak akan bercerita tentang Dian kepada orang lain. Kamu bilang menutupI aib aku tapi kamu mengatakan tentang hal buruk yang sebenarnya bukan urusan orang lain. Mengapa kamu mengatakan hal keberadaan Dian? Lalu mengimbuhinya dengan fitnah yang amat kejam? Dian itu anakku ! Darah dagingku ! Dia terlahir karena aku, bukannya tak jelas siapa bapaknya. Bukan hadir karena pergaulan yang nggak bener. Bukan nggak jelas orang tuanya, tapi aku. Aku ada. Dan kamu sudah mengetahuinya. Mengapa kamu melakukannya? Apa perlunya kamu menceritakan itu kepada orang lain? Jawab !!”
“Ada yang bertanya..”
“Apa kamu nggak bisa bilang bahwa kamu tidak tahu apa-apa? Bukankah kamu juga tidak sepenuhnya tahu? Mengapa kamu memfitnah Ika? Apa salahnya sama kamu? Dia begitu baik sama kamu, begitu menghormati kamu. Kamu lupa, dia memanggil kamu bu Rina, itu sebuah penghormatan untuk kamu. Apa kamu tidak sadar? Dia juga menyayangi Dina, apa kamu lupa..? Apa salahnya dia Rina? Dia begitu baik menjaga keutuhan rumah tangga kita. Dia tak ingin merusaknya karena keluhuran budinya, apa kamu lupa? Setan apa yang merasukimu Rina?”
Rina terisak dan tak menjawab sepatah katapun.
“Mengapa kamu tidak bisa menjawabnya? Jawab mengapa kamu melakukannya!”
Rina menata nafasnya yang tersengal, menelusuri setiap kesalahan yang telah diperbuatnya, mencari penyebab dia melakukannya, lalu tercetus suaranya diantara isak.
“Karena aku cemburu sama dia !”
Leo melotot menatap isterinya.
“Cemburu? Apa yang membuat kamu cemburu? Dia berusaha merebut aku dari kamu? Dia bersikap genit agar aku mendekatinya?”
“Tidak Mas,” isaknya, lalu menarik tissue dan dihapusnya wajahnya dari kucuran air matanya.
“Lalu apa?”
“Aku cemburu, mengapa dia lebih baik dari aku, lebih banyak yang menyukainya, lebih menarik, lebih segalanya sementara dia hanya seorang tukang sayur.”
“Bodoh !!”
Rina menarik lagi tissue dan diusapkannya lagi pada wajahnya.
“Aku bodoh, aku khilaf. Maaf mas, jangan marah lagi, aku akan meminta maaf sama dia.”
Rina terus terisak, tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi.
Hati Leo perlahan runtuh melihat penyesalan tergurat dari wajah isterinya.
“Benarkah kamu menyesalinya?”
“Sungguh aku menyesal, aku akan kesana, kalau perlu sekarang juga.”
“Tidak, lebih baik besok, ketika Dian sedang bersekolah. Masalah seperti ini jangan sampai anak kecil mendengarnya.”
“Maaf ya mas.”
“Meminta maaf pada Ika, dan mohon ampun kepada Allah atas semua yang telah kamu lakukan.”
Rina hanya bisa mengangguk, sambil tak henti mengusap air matanya.
“Ibu….” Tiba-tiba terdengar teriakan Dina dari luar, sambil menepuk-nepuk pintu dengan keras.
“Ya Dina..” yang menjawab adalah Leo, karena Rina kemudian beranjak ke kamar mandi untuk membasuh mukanya.
Leo membuka pintu, Dina langsung menerobos masuk.
“Mana ibu?”
“Lagi di kamar mandi. Ibu agak kurang enak badan. Dina mau minta apa?”
“Bapak kok belum ganti pakaian ?” tanya Dina ketika melihat masih memakai pakaian kerjanya, lengkap dengan sepatunya.
“Ooh, iya.. bapak lupa, tadi kecapekan lalu langsung tiduran di sofa.”
“O, bapak capek ya?”
“Sekarang sudah agak mendingan,” kata Leo sambil membuka sepatunya.
“Biar Dina bantu membuka sepatu bapak,” kata Dina yang kemudian langsung berjongkok, berusaha membuka tali sepatu bapaknya.
“Dina mau minta apa?”
“Dina lapar.”
“Oh, ya ampuun.. “ Leo tertawa.
“Sebentar ya, bapak ganti pakaian dulu, lalu kita akan makan bersama-sama.”
“Mana ibu?”
“Itu, masih di kamar mandi, sebentar juga akan selesai. Terimakasih, anak pintar bisa membuka sepatu bapak.”
***
“Ibu, mengapa lama sekali Dina tidak datang kemari ya?” tanya Dian malam itu setelah selesai belajar.
“Iya ya nak, mungkin bapak ibunya sedang sibuk, sehingga tidak ada yang mengantar.”
“Bolehkah Dian datang kesana dengan bersepeda?”
“Jangan nak, rumah mereka itu jauh dari sini.”
“Dian bisa kok.”
“Tidak nak, ibu tidak tega karena jauh. Coba ditunggu sampai hari Minggu, siapa tahu dia akan datang kemari.”
“Baiklah bu, soalnya buku-buku dari om Broto belum sempat Dian berikan.”
“Oh iya, sudah agak lama juga ya nak.”
“Iya, tapi sudah Dian bungkus rapi. Kalau sewaktu-waktu Dina datang tinggal diberikan.”
“Bagus nak, semoga besok hari Minggu dia akan datang. Kalau tidak datang juga, ibu akan menghubungi bu Rina agar mengambil bukunya.”
“Tapi kalau ibu menghubungi bu Rina, minta agar Dina diajak juga datang kemari.”
“Baiklah nak. Rupanya kamu kangen ya, sama Dina?”
“Iya bu, kangen sekali. Dia itu kan lucu.”
Ika tersenyum. Tidak merasa heran kalau ada ikatan terselubung diantara mereka. Paling tidak ikatan darah itu yang menyebabkannya.
“Iya, Dina cantik dan lucu. Ibu yakin, Dina juga kangen sama Dian.”
“Kalau bu Rina sama Dina datang kemari, ibu siapkan roti Cinta yang rasa coklat untuk Dina. Dia suka sekali coklat.”
“Oh ya? Baiklah. Kalau kamu suka yang rasa apa? Coklat juga kan?”
“Dian suka yang rasa blueberry, atau kacang.”
“Oh, beda selera rupanya. Sayang beberapa hari ini dagangan roti selalu terjual habis. Tapi besok ibu akan membeli lebih dan akan ibu simpan saja untuk Dina dan kamu. Rasa coklat, blueberry dan kacang kan?”
“Terimakasih bu..”
Ika ingin menelpon Rina saat itu juga, tapi teringat olehnya kata-kata Risma, bahwa Rina sudah memfitnahnya. Tangan yang sudah meraih ponsel itu kemudian hanya menggenggamnya saja.
“Ibu mau menghubungi bu Rina sekarang?” tanya Dian.
“Tidak sekarang nak, ini sudah malam. Pasti bu Rina sedang beristirahat. Nggak enak jadinya.”
“Baiklah, kalau begitu besok saja ya bu.”
“Baiklah, sekarang cuci kaki tangan kamu dan pergi tidur ya, ini sudah malam.”
***
Pagi itu pembeli sayur sudah mulai menipis. Memang hari sudah agak siang. Masih ada tiga orang ibu yang belanja, ketika tiba-tiba sebuah tangan lentik meraih tas keresek dan membantu memasukkan dagangan seorang ibu.
“Ini belanjaan ibu ya, biar aku membantu memasukkannya.”
“Belum dihitung mbak, aduh, pembantu mbak Ika kok ganteng dan cantik?” celetuk ibu-ibu bersahutan.
“Bu Rina?” Ika sangat terkejut ketika tiba-tiba Rina membantunya melayani pembeli.
“Biar saja, aku ingin berjualan juga kok. Ini tadi sudah dihitung, mbak Yanti?”
“Itu kan sudah bu, duapuluh empat ribu, tambah dagingnya seperempat, jadi.. empatpuluh sembilan ribu.”
“Nah, sudah dihitung tuh bu. Empatpuluh sembilan ribu,” kata Rina.
“Bu Rina, nanti tangan ibu kotor?”
“Sudahlah, aku ingin mencobanya.”
Ika terpana, melihat dengan cekatan Rina membantunya. Ia ingin mencegahnya, tapi pembeli yang lain menunggu dilayani.
Sepanjang melayani itu Ika terus perpikir, mengapa tiba-tiba Rina melakukannya, hampir seperti Baskoro melakukannya.
Pembeli sudah habis. Ika meminta Rina untuk mencuci tangannya dibelakang, sementara dia memasukkan dagangan yang tersisa ke keranjang, lalu dibawanya masuk kedalam.
Ketika Ika selesai menyimpan sisa dagangannya, dilihatnya Rina sudah duduk di ruang tengah. Ika berganti pakaian bersih setelah mencuci kaki tangannya, lalu keluar sambil menghidangkan secangkir teh hangat.
“Silahkan bu Rina, saya kaget tiba-tiba bu Rina datang pagi-pagi dan membantu saya berjualan.”
“Ternyata asyik berjualan ya mbak.”
“Tapi capek dan kotor bu, jarang ada orang mau melakukannya.”
“Aku akan belajar dari mbak Yanti, yang terus berjuang untuk menggapai cita-cita mbak Yanti.”
“Silahkan diminum dulu tehnya bu, masih hangat,” kata Ika mengalihkan pembicaraan. Risih juga mendapat pujian tak henti-hentinya.
Rina meneguk teh yang dihidangkan, lalu tiba-tiba duduk mendekati Ika lalu merangkulnya erat. Tentu saja Ika terkejut.
“Bu Rina.. ada apa ini?”
“Aku datang untuk meminta maaf.”
“Apa yang harus saya maafkan bu?”
Rina menarik tubuhnya, lalu mengusap setitik airmatanya yang meleleh.
“Ada apa sih bu?”
“Aku minta maaf ya mbak Yanti?”
“Apa yang harus saya maafkan? Bu Rina tidak salah apa-apa.”
“Aku telah melakukan hal buruk.. aku telah menjelekkan nama mbak Yanti dihadapan mbak Risma, aku menyesal, maaf ya mbak Yanti.”
Ika baru mengerti. Siapa menegur Rina, sehingga dia tiba-tiba meminta maaf? Risma kah?
“Saya malah tidak mengerti,” tentu saja Ika berbohong.
“Sekarang aku katakan, bahwa aku telah melakukan hal buruk untuk mbak Yanti. Tolong maafkanlah aku.”
“Dalam hidup, saya tidak akan pernah mendendam kepada seseorang. Kebaikan dan keburukan saya, hanya Allah yang mengetahuinya. Saya juga banyak salah, dan saya selalu ingin memperbaikinya. Saya juga selalu mohon petunjukNya, agar saya bisa melangkah dengan baik, mengarungi hidup saya dengan baik, dan juga bersikap selalu baik kepada siapapun. Walau begitu, saya merasa bahwa saya masih banyak memiliki kekurangan. Barangkali saya juga melakukan kesalahan kepada bu Rina, saya mohon maaf, semoga hari-hari saya mendatang akan bisa saya lalui dengan nyaman.”
Rina memeluk Ika dengan hangat. Lalu Rina benar-benar sadar, betapa baiknya Ika yang telah difitnahnya.
“Aku akan banyak belajar dari mbak Yanti.”
“Dalam hidup ini, seseorang akan selalu belajar dari apapun yang ditemuinya. Pengalaman adalah guru yang terbaik.”
Rina mengerjapkan matanya dengan takjub. Hati perempuan sederhana ini pastilah terbuat dari emas dan permata. Begitu indah dan gemerlap.
Rina berada disana sampai Dian pulang dari sekolah.
Dian terkejut melihat ibunya sedang menemani Rina duduk diruang tengah. Matanya mencari-cari.
“Mana Dina?”
“Dina sekolah kan, tadi bu Rina hanya mampir. Kamu kangen ya sama adik kamu?” kata Rina ramah.
“Iya bu, lagi pula ada titipan buku dari om Broto untuk Dina. Nanti ibu bawa sekalian ya?”
“Baiklah, dan besok Minggu ibu akan ajak Dina kemari. Dia ingin mengajak kakaknya jalan-jalan.”
“Benarkah?” kata Dian dengan wajah berseri.
“Lho, ini apa Dian? Ini kan jatah untuk pak tua, mengapa dibawa pulang lagi?” tanya Ika heran ketika Dian membawa keresek untuk pak tua itu kembali pulang.
“Iya bu, tadi pak tua tidak ada. Dian sudah mencari-cari, tidak ada.”
Tiba-tiba mata Rina menangkap bungkusan itu.
“Apa itu mbak?”
“Ini, Dian selalu membawa sebungkus nasi dan segelas minum untuk seorang tua yang sering duduk didepan sekolah. Tapi hari ini katanya pak tua tidak kelihatan.”
“Rina tergoda untuk meraih bungkusan itu. Lalu teringat pada bungkusan semacam yang ditemukannya di mobil suaminya. Mengapa Ika mengatakannya sebagai jatah untuk pak tua? Dan mengapa juga suaminya pernah membawa bungkusan seperti ini? Apakah pak tua itu menjualnya lalu dibeli oleh suaminya?”
“mBak Yanti, baunya sedap, ini untuk saya ya?”
“Aduh jangan bu, kalau mau akan saya bawakan ditempat yang lebih bagus,” kata Ika sambil meraih kembali keresek itu, tapi Rina menahannya.
“Tidak, entah mengapa aku ingin makanan ini. Nggak tahu kenapa ya, bawaan orang hamil barangkali,” kata Rina sambil tertawa.
***
Sore itu Leo baru pulang dari kantor. Ia tak ingin lagi nongkrong di taman seperti biasanya. Entah mengapa setelah bertemu Baskoro perasaannya jadi ringan.
Tapi ketika melewati taman itu, Leo terkejut melihat si tukang roti duduk di kursi tempat mereka ngobrol kemarin sorenya.
Leo membelokkan mobilnya memasuki taman, lalu turun dan menghampiri si tukang roti.
“Hei, apa yang kamu lakukan disini?” sapa Leo.
“Nongkrong lah, memangnya cuma kamu yang boleh nongkrong disini?”
“Mengapa masih jualan roti ?”
“Lalu aku harus jualan apa? Ogah kalau harus menjual diri.”
Leo terbahak. Ia senang, sesungguhnya Baskoro itu kocak. Apakah Ika tidak tertarik sama dia?
“Sebagai orang yang sedang jatuh cinta, kamu kelamaan mengutarakannya. Keburu disabet orang, tahu.”
“Yang penting bukan kamu yang menyabet dia. Awas saja kalau kamu. Langkahi dulu mayat aku.”
Lalu keduanya tertawa terbahak.
“Aku tuh sebagai laki-laki, sudah termasuk yang kadalu-warsa. Maksudnya sudah tidak pantas jatuh cinta. Aku hampir punya dua orang anak, eh.. tiga. Hampir aku lupa, kan yang satu lagi akan aku titipkan sama kamu?”
“Kamu yakin akan menitipkannya sama aku dengan ikhlas?”
“Kamu akan mewakili aku, menjadi ayah yang baik untuk Dian. Lakukan yang terbaik untuk dia,” kata Leo sambil matanya berkaca-kaca.
Baskoro si tukang roti mengangguk mantap. Menatap Leo dengan iba. Lalu ditepuknya bahu Leo hangat.
“Akan aku lakukan, do’akan aku berhasil merebut hati si tukang sayur.”
“Kamu sudah mengutarakan lagi bahwa si tukang roti sedang jatuh cinta sama dia?”
“Belum.”
“Segera lakukan. Aku ingin anakku bahagia menemukan seorang ayah.”
“Aku akan membuatnya bahagia, Leo. Dan pada suatu hari nanti aku akan mengatakan bahwa kamu adalah ayah yang sesungguhnya.”
***
Besok lagi ya.