Friday, April 30, 2021

JANGAN BAWA CINTAKU 41

JANGAN BAWA CINTAKU  41

(Tien Kumakasari)

 

Leo turun dari mobil setelah memarkir mobilnya langsung memasuki garasi. Ia turun dan mendapati isterinya sedang duduk di teras bersama Dina. Leo menahan amarahnya, dan menyuruh Dina masuk kedalam.

“Dina main di kamar dulu ya, bapak mau bicara sama ibu.”

“Bapak membawa nasi seperti tadi siang?”

“Tidak ketemu nak, ayo kedalam dulu.”

“Apa topi besar itu sudah dibawa pemiliknya?” Dina masih cerewet dengan pertanyaannya.

“Sudah bapak buang… eh.. bukan.. sudah diserahkan ke pemiliknya.”

Dina berlari-lari masuk kedalam, Leo menarik tangan isterinya, diajaknya masuk kedalam kamar.

“Ada apa sih mas, aduh.. mas mencengkeram tangan aku, sakit tahu,” kata Rina sambil berusaha melepaskan diri. Tapi Leo tak ingin melepaskannya. Rina berdebar melihat sikap suaminya. Seribu pertanyaan memenuhi benaknya. Ia juga melihat mata suaminya memerah menahan marah ketika menutupkan pintu kamar.

“Mas, ada apa sih mas? Hiih, lihat, sampai merah begini lenganku,” kata Rina sambil mengusap lengannya yang kemerahan.

Leo duduk di sofa.

“Duduk disitu,” perintahnya dingin.

Rina menurut, duduk didepan suaminya dengan alis berkerut.

“Aku tidak mengira kamu bisa memiliki hati sebusuk itu,” kata Leo tajam.

“Apa maksudmu mas ?”

“Kamu tidak sadar bahwa telah melakukan kesalahan yang sangat memalukan. Memalukan karena hanya orang jahat yang bisa melakukannya.”

“Aku tidak mengerti ! Dan jangan menatapku seperti itu,” Rina mencoba berteriak untuk mengalahkan debar jantungnya. Ia menduga-duga, kesalahan apa gerangan yang telah dilakukannya.

“Aku hanya menatapmu marah, dan tidak menghajar kamu, ini lebih baik bukan ?”

“Katakan yang jelas. Aku tidak mengerti semuanya.”

“Apa kamu mengira aku tak akan bisa mengetahuinya?”

“Katakan ada apa!” Rina mulai menjerit.

“Jangan berteriak.”

“Cepat katakan.”

“Kamu telah memfitnah seseorang. Kamu jahat. Aku tidak mengira.”

“Memfitnah apa?”

“Mengapa kamu mengatakan kepada orang lain bahwa Dian itu tak jelas siapa bapaknya?”

Rina terpaku ditempat duduknya. Bagaimana Leo bisa mengetahui semuanya? Mustahil Risma bertemu Leo lalu mengatakan itu. Siapa mengatakannya? Tapi nyatanya Leo mengetahuinya, Rina bingung harus menjawab apa. Sungguh dia menyesal karena telah melakukannya. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, wajahnya pucat, tak tahu harus menjawab apa.

“Jawab Rina !!”

“Darimana mas mengetahuinya?”

“Tidak penting darimana. Katakan mengapa kamu melakukannya? Kamu kan tahu bhahwa Dian itu darah daging aku? Mengapa kamu mengatakan bahwa Dian terlahir karena pergaulan bebas sehingga tak tahu siapa ayahnya?”

“Maafkan aku..” Rina berbisik lirih, air mata mulai mengambang.

“Aku tidak mengira bahwa dibalik sikap kamu yang baik, kamu memiliki sifat yang diluar perkiraanku. Memfitnah itu jahat. Lebih kejam dari pembunuhan. Mengapa kamu melakukannya? Jawab Rina !!”

“Aku hanya… hanya… tak ingin.. membuka aib kamu.. “

“Apa maksudnya membuka aib aku? Apa perlu kamu menceritakan tentang keberadaan Dian kepada orang lain? Untuk apa? Kalau kamu ingin menutupi aib aku, maka kamu tak akan bercerita tentang Dian kepada orang lain. Kamu bilang menutupI aib aku tapi kamu mengatakan tentang hal buruk yang sebenarnya bukan urusan orang lain. Mengapa kamu mengatakan hal keberadaan Dian? Lalu mengimbuhinya dengan fitnah yang amat kejam? Dian itu anakku ! Darah dagingku ! Dia terlahir karena aku, bukannya tak jelas siapa bapaknya. Bukan hadir karena pergaulan yang nggak bener. Bukan nggak jelas orang tuanya, tapi aku. Aku ada. Dan kamu sudah mengetahuinya. Mengapa kamu melakukannya? Apa perlunya kamu menceritakan itu kepada orang lain? Jawab !!”

“Ada yang bertanya..”

“Apa kamu nggak bisa bilang bahwa kamu tidak tahu apa-apa? Bukankah kamu juga tidak sepenuhnya tahu? Mengapa kamu memfitnah Ika? Apa salahnya sama kamu? Dia begitu baik sama kamu, begitu menghormati kamu. Kamu lupa, dia memanggil kamu bu Rina, itu sebuah penghormatan untuk kamu. Apa kamu tidak sadar? Dia juga menyayangi Dina, apa kamu lupa..? Apa salahnya dia Rina? Dia begitu baik menjaga keutuhan rumah tangga kita. Dia tak ingin merusaknya karena keluhuran budinya, apa kamu lupa? Setan apa yang merasukimu Rina?”

Rina terisak dan tak menjawab sepatah katapun.

“Mengapa kamu tidak bisa menjawabnya? Jawab mengapa kamu melakukannya!”

Rina menata nafasnya yang tersengal, menelusuri setiap kesalahan yang telah diperbuatnya, mencari penyebab dia melakukannya, lalu tercetus suaranya diantara isak.

“Karena aku cemburu sama dia !”

Leo melotot menatap isterinya.

“Cemburu? Apa yang membuat kamu cemburu? Dia berusaha merebut aku dari kamu? Dia bersikap genit agar aku mendekatinya?”

“Tidak Mas,” isaknya, lalu menarik tissue dan dihapusnya wajahnya dari kucuran air matanya.

“Lalu apa?”

“Aku cemburu, mengapa dia lebih baik dari aku, lebih banyak yang menyukainya, lebih menarik, lebih segalanya sementara dia hanya seorang tukang sayur.”

“Bodoh !!”

Rina menarik lagi tissue dan diusapkannya lagi pada wajahnya.

“Aku bodoh, aku khilaf. Maaf mas, jangan marah lagi, aku akan meminta maaf sama dia.”

Rina terus terisak, tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi.

Hati Leo perlahan runtuh melihat penyesalan tergurat dari wajah isterinya.

“Benarkah kamu menyesalinya?”

“Sungguh aku menyesal, aku akan kesana, kalau perlu sekarang juga.”

“Tidak, lebih baik besok, ketika Dian sedang bersekolah. Masalah seperti ini jangan sampai anak kecil mendengarnya.”

“Maaf ya mas.”

“Meminta maaf pada Ika, dan mohon ampun kepada Allah atas semua yang telah kamu lakukan.”

Rina hanya bisa mengangguk, sambil tak henti mengusap air matanya.

“Ibu….” Tiba-tiba terdengar teriakan Dina dari luar, sambil menepuk-nepuk pintu dengan keras.

“Ya Dina..” yang menjawab adalah Leo, karena Rina kemudian beranjak ke kamar mandi untuk membasuh mukanya.

Leo membuka pintu, Dina langsung menerobos masuk.

“Mana ibu?”

“Lagi di kamar mandi. Ibu agak kurang enak badan. Dina mau minta apa?”

“Bapak kok belum ganti pakaian ?” tanya Dina ketika melihat masih memakai pakaian kerjanya, lengkap dengan sepatunya.

“Ooh, iya.. bapak lupa, tadi kecapekan lalu langsung tiduran di sofa.”

“O, bapak capek ya?”

“Sekarang sudah agak mendingan,” kata Leo sambil membuka sepatunya.

“Biar Dina bantu membuka sepatu bapak,” kata Dina yang kemudian langsung berjongkok, berusaha membuka tali sepatu bapaknya.

“Dina mau minta apa?”

“Dina lapar.”

“Oh, ya ampuun.. “ Leo tertawa.

“Sebentar ya, bapak ganti pakaian dulu, lalu kita akan makan bersama-sama.”

“Mana ibu?”

“Itu, masih di kamar mandi, sebentar juga akan selesai. Terimakasih, anak pintar bisa membuka sepatu bapak.”

***

“Ibu, mengapa lama sekali Dina tidak datang kemari ya?” tanya Dian malam itu setelah selesai belajar.

“Iya ya nak, mungkin bapak ibunya sedang sibuk, sehingga tidak ada yang mengantar.”

“Bolehkah Dian datang kesana dengan bersepeda?”

“Jangan nak, rumah mereka itu jauh dari sini.”

“Dian bisa kok.”

“Tidak nak, ibu tidak tega karena jauh. Coba ditunggu sampai hari Minggu, siapa tahu dia akan datang kemari.”

“Baiklah bu, soalnya buku-buku dari om Broto belum sempat Dian berikan.”

“Oh iya, sudah agak lama juga ya nak.”

“Iya, tapi sudah Dian bungkus rapi. Kalau sewaktu-waktu Dina datang tinggal diberikan.”

“Bagus nak, semoga besok hari Minggu dia akan datang. Kalau tidak datang juga, ibu akan menghubungi bu Rina agar mengambil bukunya.”

“Tapi kalau ibu menghubungi bu Rina, minta agar Dina diajak juga datang kemari.”

“Baiklah nak. Rupanya kamu kangen ya, sama Dina?”

“Iya bu, kangen sekali. Dia itu kan lucu.”

Ika tersenyum. Tidak merasa heran kalau ada ikatan terselubung diantara mereka. Paling tidak ikatan darah itu yang menyebabkannya.

“Iya, Dina cantik dan lucu. Ibu yakin, Dina juga kangen sama Dian.”

“Kalau bu Rina sama Dina datang kemari, ibu siapkan roti Cinta yang rasa coklat untuk Dina. Dia suka sekali coklat.”

“Oh ya? Baiklah. Kalau kamu suka yang rasa apa? Coklat juga kan?”

“Dian suka yang rasa blueberry, atau kacang.”

“Oh, beda selera rupanya. Sayang beberapa hari ini dagangan roti selalu terjual habis. Tapi besok ibu akan membeli lebih dan akan ibu simpan saja untuk Dina dan kamu. Rasa coklat, blueberry dan kacang kan?”

“Terimakasih bu..”

Ika ingin menelpon Rina saat itu juga, tapi teringat olehnya kata-kata Risma, bahwa Rina sudah memfitnahnya. Tangan yang sudah meraih ponsel itu kemudian hanya menggenggamnya saja.

“Ibu mau menghubungi bu Rina sekarang?” tanya Dian.

“Tidak sekarang nak, ini sudah malam. Pasti bu Rina sedang beristirahat. Nggak enak jadinya.”

“Baiklah, kalau begitu besok saja ya bu.”

“Baiklah, sekarang cuci kaki tangan kamu dan pergi tidur ya, ini sudah malam.”

***

Pagi itu pembeli sayur sudah mulai menipis. Memang hari sudah agak siang. Masih ada tiga orang ibu yang belanja, ketika tiba-tiba sebuah tangan lentik meraih tas keresek dan membantu memasukkan dagangan seorang ibu.

“Ini belanjaan ibu ya, biar aku membantu memasukkannya.”

“Belum dihitung mbak, aduh, pembantu mbak Ika kok ganteng dan cantik?” celetuk ibu-ibu bersahutan.

“Bu Rina?” Ika sangat terkejut ketika tiba-tiba Rina membantunya melayani pembeli.

“Biar saja, aku ingin berjualan juga kok. Ini tadi sudah  dihitung, mbak Yanti?”

“Itu kan sudah bu, duapuluh empat ribu, tambah dagingnya seperempat, jadi.. empatpuluh sembilan ribu.”

“Nah, sudah dihitung tuh bu. Empatpuluh sembilan ribu,” kata Rina.

“Bu Rina, nanti tangan ibu kotor?”

“Sudahlah, aku ingin mencobanya.”

Ika terpana, melihat dengan cekatan Rina membantunya. Ia ingin mencegahnya, tapi pembeli yang lain menunggu dilayani.

Sepanjang melayani itu Ika terus perpikir, mengapa tiba-tiba Rina melakukannya, hampir seperti Baskoro melakukannya.

Pembeli sudah habis. Ika meminta Rina untuk mencuci tangannya dibelakang, sementara dia memasukkan dagangan yang tersisa ke keranjang, lalu dibawanya masuk kedalam.

Ketika Ika selesai menyimpan sisa dagangannya, dilihatnya Rina sudah duduk di ruang tengah. Ika berganti pakaian bersih setelah mencuci kaki tangannya, lalu keluar sambil menghidangkan secangkir teh hangat.

“Silahkan bu Rina, saya kaget tiba-tiba bu Rina datang pagi-pagi dan membantu saya berjualan.”

“Ternyata asyik berjualan ya mbak.”

“Tapi capek dan kotor bu, jarang ada orang mau melakukannya.”

“Aku akan belajar dari mbak Yanti, yang terus berjuang untuk menggapai cita-cita mbak Yanti.”

“Silahkan diminum dulu tehnya bu, masih hangat,” kata Ika mengalihkan pembicaraan. Risih juga mendapat pujian tak henti-hentinya.

Rina meneguk teh yang dihidangkan, lalu tiba-tiba duduk mendekati Ika lalu merangkulnya erat. Tentu saja Ika terkejut.

“Bu Rina.. ada apa ini?”

“Aku datang untuk meminta maaf.”

“Apa yang harus saya maafkan bu?”

Rina menarik tubuhnya, lalu mengusap setitik airmatanya yang meleleh.

“Ada apa sih bu?”

“Aku minta maaf ya mbak Yanti?”

“Apa yang harus saya maafkan? Bu Rina tidak salah apa-apa.”

“Aku telah melakukan hal buruk.. aku telah menjelekkan nama mbak Yanti dihadapan mbak Risma, aku menyesal, maaf ya mbak Yanti.”

Ika baru mengerti. Siapa menegur Rina, sehingga dia tiba-tiba meminta maaf? Risma kah?

“Saya malah tidak mengerti,” tentu saja Ika berbohong.

“Sekarang aku katakan, bahwa aku telah melakukan hal buruk untuk mbak Yanti. Tolong maafkanlah aku.”

“Dalam hidup, saya tidak akan pernah mendendam kepada seseorang. Kebaikan dan keburukan saya, hanya Allah yang mengetahuinya. Saya juga banyak salah, dan saya selalu ingin memperbaikinya. Saya juga selalu mohon petunjukNya, agar saya bisa melangkah dengan baik, mengarungi hidup saya dengan baik, dan juga bersikap selalu baik kepada siapapun. Walau begitu, saya merasa bahwa saya masih banyak memiliki kekurangan. Barangkali saya juga melakukan kesalahan kepada bu Rina, saya mohon maaf, semoga hari-hari saya mendatang akan bisa saya lalui dengan nyaman.”

Rina memeluk Ika dengan hangat. Lalu Rina benar-benar sadar, betapa baiknya Ika yang telah difitnahnya.

“Aku akan banyak belajar dari mbak Yanti.”

“Dalam hidup ini, seseorang akan selalu belajar dari apapun yang ditemuinya. Pengalaman adalah guru yang terbaik.”

Rina mengerjapkan matanya dengan takjub. Hati perempuan sederhana ini pastilah terbuat dari emas dan permata. Begitu indah dan gemerlap.

Rina berada disana sampai Dian pulang dari sekolah.

Dian terkejut melihat ibunya sedang menemani Rina duduk diruang tengah. Matanya mencari-cari.

“Mana Dina?”

“Dina sekolah kan, tadi bu Rina hanya mampir. Kamu kangen ya sama adik kamu?” kata Rina ramah.

“Iya bu, lagi pula ada titipan buku dari om Broto untuk Dina. Nanti ibu bawa sekalian ya?”

“Baiklah, dan besok Minggu ibu akan ajak Dina kemari. Dia ingin mengajak kakaknya jalan-jalan.”

“Benarkah?” kata Dian dengan wajah berseri.

“Lho, ini apa Dian? Ini kan jatah untuk pak tua, mengapa dibawa pulang lagi?” tanya Ika heran ketika Dian membawa keresek untuk pak tua itu kembali pulang.

“Iya bu, tadi pak tua tidak ada. Dian sudah mencari-cari, tidak ada.”

Tiba-tiba mata Rina menangkap bungkusan itu.

“Apa itu mbak?”

“Ini, Dian selalu membawa sebungkus nasi dan segelas minum untuk seorang tua yang sering duduk didepan sekolah. Tapi hari ini katanya pak tua tidak kelihatan.”

“Rina tergoda untuk meraih bungkusan itu. Lalu teringat pada bungkusan semacam yang ditemukannya di mobil suaminya. Mengapa Ika mengatakannya sebagai jatah untuk pak tua? Dan mengapa juga suaminya pernah membawa bungkusan seperti ini? Apakah pak tua itu menjualnya lalu dibeli oleh suaminya?”

“mBak Yanti, baunya sedap, ini untuk saya ya?”

“Aduh jangan bu, kalau mau akan saya bawakan ditempat yang lebih bagus,” kata Ika sambil meraih kembali keresek itu, tapi Rina menahannya.

“Tidak, entah mengapa aku ingin makanan ini. Nggak tahu kenapa ya, bawaan orang hamil barangkali,” kata Rina sambil tertawa.

***

Sore itu Leo baru pulang dari kantor. Ia tak ingin lagi nongkrong di taman seperti biasanya. Entah mengapa setelah bertemu Baskoro perasaannya jadi ringan.

Tapi ketika melewati taman itu, Leo terkejut melihat si tukang roti duduk di kursi tempat mereka ngobrol kemarin sorenya.

Leo membelokkan mobilnya memasuki taman, lalu turun dan menghampiri si tukang roti.

“Hei, apa yang kamu lakukan disini?” sapa Leo.

“Nongkrong lah, memangnya cuma kamu yang boleh nongkrong disini?”

“Mengapa masih jualan roti ?”

“Lalu aku harus jualan apa? Ogah kalau harus menjual diri.”

Leo terbahak. Ia senang, sesungguhnya Baskoro itu kocak. Apakah Ika tidak tertarik sama dia?

“Sebagai orang yang sedang jatuh cinta, kamu kelamaan mengutarakannya. Keburu disabet orang, tahu.”

“Yang penting bukan kamu yang menyabet dia. Awas saja kalau kamu. Langkahi dulu mayat aku.”

Lalu keduanya tertawa terbahak.

“Aku tuh sebagai laki-laki, sudah termasuk yang kadalu-warsa. Maksudnya sudah tidak pantas jatuh cinta. Aku hampir punya dua orang anak, eh.. tiga. Hampir aku lupa, kan yang satu lagi akan aku titipkan sama kamu?”

“Kamu yakin akan menitipkannya sama aku dengan ikhlas?”

“Kamu akan mewakili aku, menjadi ayah yang baik untuk Dian. Lakukan yang terbaik untuk dia,” kata Leo sambil matanya berkaca-kaca.

Baskoro si tukang roti mengangguk mantap. Menatap Leo dengan iba. Lalu ditepuknya bahu Leo hangat.

“Akan aku lakukan, do’akan aku berhasil merebut hati si tukang sayur.”

“Kamu sudah mengutarakan lagi bahwa si tukang roti sedang jatuh cinta sama dia?”

“Belum.”

“Segera lakukan. Aku ingin anakku bahagia menemukan seorang ayah.”

“Aku akan membuatnya bahagia, Leo. Dan pada suatu hari nanti aku akan mengatakan bahwa kamu adalah ayah yang sesungguhnya.”

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, April 29, 2021

JANGAN BAWA CINTAKU 40

JANGAN BAWA CINTAKU  40

(Tien Kumalasari)

 

“Maas… ini apa mas?”

Leo keluar dari dalam kamar. Terkejut melihat Rina membawa keresek yang diacungkannya kearahnya.

“Ini apa mas? Punya siapa?”

“Oo.. itu.. tadi itu .. ada orang  itu.. orang.. jualan.. “

“Lalu mas beli?”

“Iy.. iya.. aku beli..”

“Ini ada teh, roti.. lalu sebungkus nasi.. coba aku buka… ayo kita sekalian makan..” kata Rina sambil melangkah ke ruang makan. Leo mengikuti dengan hati berdebar.

Leo melihat Rina membuka bungkusan itu.

“Biasanya aku langsung memakannya, tadi karena si tukang roti seperti mengenali aku, aku langsung kabur, menjemput Dina, lupa menyembunyikannya,” kata batin Leo sambil memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kalau Rina mendesaknya.

“Ini nasi oseng, dan sepotong paha, hm.. baunya sedap. Enakkah rasanya?”

“Mana aku tahu, aku kan belum memakannya.”

“Mengapa mas beli nasi bungkus dan minuman ini, sementara mas sudah mau pulang untuk makan?”

“Itu.. tadi.. ada.. ada orang jualan, aku.. merasa kasihan.. lalu aku beli.”

“Kelihatannya enak. Hm.. bener kan, enak.. osengnya sedap, paha gorengnya juga enak, bumbunya sampai meresap ke dalam. Dimana mas membelinya? Pintar benar penjual ini memasaknya,” kata Rina sambil mengambil sendok dan memakan nasi bungkus itu dengan lahap. Leo menahan senyuman dalam hati. Rina mana tahu siapa yang memasak makanan itu.

“Mas, besok kalau mas pulang, aku tolong dibelikan dong.”

“Ya nggak tahu aku, ketemu lagi apa enggak,” kata Leo sambil mengambil nasi dan menyendokkan sayur ke piringnya.

“Enak bener. Lebih enak masakan ini daripada masakan aku.”

“Iya sih..” kata Leo sekenanya.

“Jadi menurut mas, masakanku nggak enak?” tiba-tiba Rina kesal karena secara tidak langsung Leo mengatakan bahwa masakannya kurang enak.

“Lho.. apa sih.. aku hanya meng ‘iya’ kan omongan kamu, kok marah.”

“Biasanya mas kan memuji masakanku?”

“Iya, masakan kamu enak..”

“Lebih enak mana masakan aku sama nasi bungkus ini ?”

“Mana aku tahu, aku kan belum memakannya?”

Rina terdiam, memang benar, mana bisa Leo membandingkan, sedangkan dia belum merasakannya?

“Benarkah masakanku enak?”

“Hm mh..” kata Leo sambil mengacungkan jempolnya.

“Apa ibu marah?” tiha-tiba Dina yang sejak tadi diam nyeletuk.

“Tidak sayang, ibu hanya ingin bercanda sama bapak.”

“Tadi bapak bilang, ibu marah.”

“Iya, tapi hanya bercanda,” kata Rina. Leo hanya tersenyum.

“Mas, kalau besok ketemu lagi penjual nasi ini, aku mau ya, dibelikan.”

Leo mengangguk-angguk, karena mulutnya penuh nasi.

***

“Ika..” itu sapaan Risma ketika menelpon Ika.

“Ya mbak.. bagaimana? Sudah dijawab ?”

“Tidak. Aku kirimkan ucapan itu kembali kepadanya, tapi dia tidak merespon sama sekali. Barangkali dia bukan Baskoro.”

“Ooh, bukan ya? Tapi…”

“Apa menurut kamu kalimat seperti itu adalah ucapan Baskoro?”

“Itu…” Ika ragu-ragu menjawabnya.

“Apa kamu mengenalinya sebagai gaya Baskoro ketika mengungkapkan cinta?”

“Saya.. saya rasa.. seperti iya, tapi kalau bukan…”

“Apa kamu punya pecinta yang lain..?”

“Apa? Tidak.. tidak pernah ada..”

“Mungkin benar dia Baskoro, yang masih marah sama aku, tapi mungkin juga orang lain yang suka sama kamu.”

“Tidak ada kok.”

“Nanti aku mencobanya dengan cara yang lain. Tapi kamu juga boleh menelponnya, siapa tahu dia mau mengangkatnya.

“Baiklah, akan saya coba.”

Ika termenung ketika pembicaraan itu berhenti. Siapa yang mampu mengucapkan kata-kata itu selain Baskoro? Broto tidak mungkin, dia tak pernah berbicara tentang cinta. Leo? Mana mungkin Leo berani?

Dan seperti menjawab kebingungan hatinya, terdengar sebuah panggilan pesan singkat. Gemetar Ika membukanya. Tuh kan, dia lagi.. dia lagi..

“Mengapa ungkapan cinta aku disebarkan ke orang lain? Aku malu dong..!”

Dan sebuah emotikom lucu berderet-deret dibawah pesan itu.

Ika tersenyum. Hanya Baskoro yang memiliki kekonyolan seperti ini.

“Jangan bersembunyi dibalik pesan singkat. Tunjukkan siapa anda.”

Tapi ia kemudian tak mengatakan apa-apa. Dialog aneh itu terhenti hanya dalam sepatah dua patah kata. Lalu si pengirim pesan itu menghilang begitu saja.

Dan Ika tak mau mengejarnya. Biarkan saja apa maunya.

Ia juga tak ingin mengatakannya kepada Risma. Kalau dicecar soal ucapan cinta itu, Ikalah  yang benar-benar malu. Tapi ada sedikit perasaan lega. Sepertinya dia memang Baskoro, dan dengan demikian Baskoro entah ada dimana, ia selamat tak kurang suatu apa. Ika menyembunyikan senyumnya, seperti ia ingin menyembunyikan rindu yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

***

“Belum bisa menghubungi dia ?” tanya Broto ketika sedang makan siang bersama Risma.”

“Aku yakin, Ika tahu kalau dia Baskoro. Tapi tampaknya Ika juga belum begitu yakin. Pesan singkat itu masih merupakan teka-teki.”

“Cuma sebenarnya sudah ketahuan ?”

“Belum yakin seratus persen, tapi tampaknya memang benar dia.”

“Sekarang kamu tidak perlu sedih lagi. Sudah ada gambaran yang hampir meyakinkan.”

“Tapi belum puas rasanya kalau belum berbicara dengan dia.”

“Mungkin dia masih kesal sama kamu, Dan mengira kamu masih akan memarahinya, atau tidak menyetujui apabila dia mencintai Ika.”

“Begitu ya?”

“Coba kamu hubungi lagi, dengan menunjukkan bahwa kamu setuju Ika menjadi ipar kamu.”

“O.. iya mas, kamu benar.”

“Kamu hanya menanyakan siapa dia, dan mem forward WA dia yang ditujukan ke Ika, tapi kamu tidak menunjukkan bahwa kamu sudah tidak marah, dan berharap Baskoro benar-benar bisa menjadi pendamping Ika.”

“Sebentar, aku baru memikirkan kalimat yang bagus untuk itu. Atau.. langsung menelponnya?”

“Tidak, dia tak akan mau mengangkatnya.”

“Baiklah, mm.. ya.. aku menemukannya. Sebentar akan aku tulis..”

“Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu?”

“Begini mas bagus nggak?” kata Risma sambil menunjukkan tulisan dia di pesan singkat, tapi belum dikirimkannya.

“Lumayan..”

“Kok lumayan sih, bagus atau tidak?”

“Bagus, tapi itu belum menunjukkan sikap kamu yang sebenarnya.”

“Harus ditambah ya?”

“Baiknya begitu.”

“Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu? Jangan terlalu lama, nanti keburu tua. Jangan lupa aku adalah kakak kamu. Bawalah aku serta ketika kamu akan melamarnya, karena aku sudah menyiapkan pesta meriah untuk menyambut calon iparku yang ternyata sangat baik. Kamu tidak salah memilih, aku ingin kamu berbahagia disampingnya.”

“Begini mas?”

“Ya.. ini bagus. Kirimkan segera.”

Risma tersenyum senang, lalu mengirimkan pesan itu.

“Lihat, dia langsung membacanya. Pasti ia akan sangat antusias untuk kemudian menelpon aku,” kata Risma dengan wajah berseri.

Lalu sebuah pesan kembali terkirim.

Terburu Risma membukanya, tapi wajahnya keruh seketika.

Broto mengambil ponsel Risma dan membaca pesan itu.

“Salah kamar.”

“Haa? Kok salah kamar ?”

“Celaka dua belas mas, ternyata bukan Baskoro.”

“Aduh, bukan ya?”

“Maaf..”

Broto mengirimkan permintaan maaf itu.

Wajah Risma seperti tertutup mendung. Harapan akan bisa menemukan adik kandungnya pupus seketika. Broto melihat mata Risma mulai berkaca-kaca.

“Lalu siapa dia? Mengapa mengatakan cinta kepada Ika? Berarti Baskoro punya saingan. Tapi ketika aku bertanya, dia bilang tidak ada orang lain yang jatuh cinta sama dia,” kata Risma lemas.

“Ya sudah, selesaikan dulu makannya, nanti kita pikirkan lagi.”

“Anak itu sungguh keterlaluan. Suka sekali melihat kakaknya bingung dan sedih.”

Tiba-tiba ponsel Risma kembali berdering. Ada pesan masuk lagi.

“Ini,” kata Broto sambil mengangsurkan ponsel Risma.

“Buka saja, aku sedang malas membaca pesan.

Broto membuka pesan itu.

“Astaga…” pekik Broto.

“Ada apa ?”

“Ini dari Ika, tapi yang dikirimkannya adalah pesan kamu tadi,” kata Broto sambil menyerahkan ponselnya.

“Mengapa kamu pergi? Apa kamu tidak sadar bahwa Ika sedang menantikan kamu? Jangan terlalu lama, nanti keburu tua. Jangan lupa aku adalah kakak kamu. Bawalah aku serta ketika kamu akan melamarnya, karena aku sudah menyiapkan pesta meriah untuk menyambut calon iparku yang ternyata sangat baik. Kamu tidak salah memilih, aku ingin kamu berbahagia disampingnya.”

“Lhoh, apa maksudnya ini?”

“Orang itu mem forward WA kamu ke Ika, lalu Ika meneruskannya kemari.”

Tak sabar Risma menelpon Ika.

“Ya mbak.. “ jawab Ika dari seberang.

“Apa maksudnya ini ?”

“Orang itu mengirimkan ini, saya tidak tahu ini asalnya dari mana, dan mengapa dikirimkannya ke saya?”

“Itu dari aku.”

“Dari mbak Risma?”

“Aku pikir dia Baskoro. Tapi dia menjawab ‘salah kamar’, begitu.”

“Orang aneh.”

“Tadinya aku sudah senang, dan yakin bahwa dia Baskoro, sekarang harapanku patah lagi,” kata Risma sedih.

“Sabar mbak, bagaimanapun saya ingin tahu, siapa dia sebenarnya.”

“Ini semua gara-gara Rina !”

“Gara-gara bu Rina?” sambut Ika terkejut.

“Rina telah menjelek-jelekkan kamu, sehingga aku mengira kamu perempuan nggak bener. Ketika aku menegur Baskoro, dia marah lalu pergi.”

“Ya ampuun, bu Rina sangat baik, bagaimana dia bisa menjelek-jelekkan saya? Apa yang dikatakannya?”

“Sudah, aku tidak perlu mengatakannya secara gamblang. Yang jelas dia memfitnah kamu, lalu semuanya menjadi seperti ini.”

“Ini aneh, mengapa bu Rina yang sangat baik bisa berubah sikap seperti itu?”

“Terkadang orang bisa bersikap baik, tapi sesungguhnya hal itu bertentangan dengan apa yang ada didalam hatinya.”

Ika masih termenung beberapa saat lamanya. Rina yang baik, dan kebaikan itu ternyata palsu?

“Apa salahku? Apa karena dulu aku mempunyai hubungan dengan Leo? Tapi aku kan tidak bermaksud merebut Leo darinya? Bahkan aku menolak ketika Leo ingin menikahi aku? Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya?

***

Sore itu Leo duduk ditaman seperti biasanya. Bukan karena ingin merutuki nasibnya yang serba membingungkan, karena setelah menceritakan semuanya kepada si tukang roti, maka perasaannya sedikit merasa lega. Ia ingin menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi pertemuannya dengan tukang roti siang tadi membuatnya penasaran. Tukang roti itu  seperti sudah tahu tentang dirinya. Siapa dia sebenarnya? Leo kesal karena setiap kali disuruh membuka helmnya dia selalu menolak.

Matahari sudah condong ke arah barat. Begitulah setiap sore yang dilakukannya sepulang dari kantor.

“Mana dia, mengapa tidak lewat sudah jam segini?”

Leo menoleh kesana kemari, berharap si tukang roti itu lewat seperti kemarin.

“Jangan-jangan dia tidak lewat sore ini. Baiklah, besok siang pasti dia berjualan didepan sekolah. Aku harus menemuinya dan menanyakan siapa dirinya,” gumamnya sambil terus melihat kearah jalanan.

Dan tiba-tiba yang ditunggu itu benar-benar lewat.

“Rotiiiii!!” Leo berteriak.

Tukang roti itu menoleh, lalu membelokkan sepeda motornya kearah Leo.

“Lho pak, kok masih disini? Roti dagangan saya tinggal dua bungkus. Masih mau ? Siang tadi saya memberikannya kepada pak tua dengan caping lebar didepan sekolahan, setelah itu dagangan saya laris sekali. Benar kata orang-orang tua, ketika kita mendermakan sedikit yang kita miliki, maka Allah akan memberikan gantinya dengan berlipat-lipat. Pak tua itu tampak menyedihkan, jadi…”

“Berhentilah menyebut pak tua,” kata Leo memotong ucapannya.

Leo gemas sekali pada tukang roti itu. Pak tua yang dimaksud adalah dirinya, tapi dia pura-pura tak mengenalinya.

“Duduklah disini, mari ngobrol sebentar,” pinta Leo sambil menepuk-nepuk bangku disebelahnya.

Tukang roti itu turun, lalu menstandard kan sepeda motornya, kemudian duduk disamping Leo.

“Tolong lepaskan helmnya mas,” pinta Leo.

“Biarkan begini saja pak, maaf,” kata tukang roti sambil memegangi helmnya.

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Bapak ingin mengobrol tentang apa lagi?”

“Bagaimana sampeyan tahu bahwa laki-laki tua itu aku?”

“Itu mudah bagi saya, karena saya melihat topi lebar disamping tempat duduk bapak sore kemarin, dan saya memang sudah curiga karena saya melihat didepan sekolahan itu bapak kelihatan terbungkuk-bungkuk, kemudian setelah agak jauh bapak berjalan tegak, lalu memasuki mobil,” kata tukang roti sambil tertawa.

Leo menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Aku ingin melihat anakku setiap hari,” kata Leo lirih.

“Ooh… sangat memprihatinkan..” bisik  si tukang roti.

“Kamu sudah tahu siapa aku, dan tahu apa yang aku lakukan. Tapi aku belum tahu siapa kamu itu sebenarnya.”

Tukang roti itu tertawa.

“Itu tidak adil bukan?” lanjut Leo.

“Baiklah, tapi saya minta, bapak tidak akan menonjok wajah saya begitu melihat siapa saya.”

Leo tertawa.

“Mengapa pula aku harus menonjok wajah kamu? Bukankah kamu orang baik?”

“Saya orang baik, dan berusaha selalu baik, tapi belum tentu bagi bapak saya juga baik.”

“Sudahlah, lepaskan helm kamu, aku tak akan menghajar orang tanpa alasan. Lagi pula tubuh kamu lebih tinggi besar, mana berani aku menghajar?”

Keduanya tertawa keras. Dan tukang roti itu pelan-pelan membuka helm nya.

Leo terbelalak. Disampingnya, duduk laki-laki yang dibencinya karena mencurigai bahwa masih ada hubungan cinta antara isterinya dan dia.

“Baskoro ?” pekiknya.

“Ya, ini aku. Ingin menghajar aku?”

“Mengapa kamu menjadi tukang roti?”

“Karena pacarku seorang tukang sayur.”

Leo semakin membulatkan matanya.

“Ika ? Kamu pacaran sama Ika?”

“Tidak, dia menolak aku. Katanya aku terlalu tinggi. Itu sebabnya aku menjadi tukang roti keliling, supaya aku tidak terlalu tinggi di matanya.”

Leo mengangguk-angguk mengerti. Rasa kesal di hati Leo terhadap Baskoro telah memudar. Ia kagum melihat seorang laki-laki seperti Baskoro rela berkorban demi cintanya kepada Ika.

“Aku baru tahu bahwa Dian itu darah daging kamu. Beberapa bulan yang lalu mbak Risma memarahi aku gara-gara ada yang memfitnah Ika. Aku baru tahu cerita yang sebenarnya ketika kamu tanpa sadar siapa aku, lalu menceritakan semuanya.”

“Allah telah mengatur semuanya.”

“Tapi kamu belum mengatakan, mengapa kamu pura-pura jadi pengemis?”

“Sudah sebulan Rina menolak ketika Dina ingin mengajak Dian jalan-jalan. Alasannya adalah kehamilannya. Pusing lah, mual lah. Aku nggak enak kalau kesana sendiri. Rina kelihatan nggak suka. Aku ingin melihat Dian dari dekat, lalu aku menempuh cara gila itu, sehingga setiap hari bisa mengelus kepalanya, memandangi wajahnya.”

Baskoro menatapnya iba. Lalu dia teringat ketika Leo sakit, dan perawat mengatakan bahwa Leo selalu menyebut nama Ika ketika sedang mengigau. Jadi Ika yang dimaksud adalah Yanti?

“Apakah kamu masih mencintai Ika?” tanya Baskoro sambil menatap tajam Leo.

Leo menghela nafas panjang.

“Cinta itu kan sebuah perasaan. Tapi aku lebih merasa dibebani dosa karena membuatnya menderita selama bertahun-tahun.”

“Kamu tidak marah mendengar aku mencintai dia?”

“Aku percaya karena kamu memiliki cinta yang begitu agung. Aku hanya bisa menitipkan anakku, kalau kau berhasil mendampingi hidupnya.”

Baskoro mengangguk.

“Aku menyayangi keduanya.”

“Tapi tunggu, kamu tadi bilang ada yang memfitnah Ika. Siapa dia, dan memfitnah bagaimana?”

“Dia mengatakan bahwa hadirnya Dian disebabkan karena pergaulan bebas, sehingga tak jelas siapa bapaknya.”

“Kurangajar dia. Katakan siapa?!”

“Tidak usah.. yang jelas aku sudah tahu hal yang sebenarnya.”

“Tolong, katakan siapa dia,” pinta Leo.

“Tanyakan pada isteri kamu.”

***

Besok lagi ya.

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...