MENGAIS CINTA YANG TERSERAK 37
(Tien Kumalasari)
“Maaf Indri, aku baru mengatakannya.”
Indri masih bersandar pada pintu. Menatap wanita cantik yang kemudian mendekatinya lalu mengulurkan tangannya.
“mBak Indri, biarkan aku membantu kamu. Aku tidak sekedar merebut mas Sony kok, aku akan melayaninya bersama kamu,” katanya sambil meraih tangan Indri, karena Indri diam saja.
Indri merasa semuanya berputar, ia hampir roboh, tapi wanita itu segera memapahnya untuk duduk.
Sony beranjak kebelakang untuk mengambilkan air minum, lalu diberikannya pada Indri, yang kemudian meminumnya seteguk.
“mBak, namaku Winar, Winarti lengkapnya. Marilah kita bersahabat,” kata wanita itu memperkenalkan namanya.
Indri masih diam, tubuhnya terasa lemas. Menurutnya, wanita bernama Winar itu sangat keterlaluan.
“Dia mengajak bersahabat, setelah berebut suamiku ?” kata batin Indri yang teriris.
Tiba-tiba saja beberapa kejadian yang telah lalu melintas dibenaknya. Ketika dia dengan enteng bergandengan tangan dengan Anto, dan meminta kepada Yessyta agar mengijinkan mereka menikah. Ternyata sakit sekali rasa kehilangan itu. Kehilangan suami pula. Dan dulu ia tak pernah membayangkannya, betapa sakit hati Yessyta ketika melihatnya tidur bersama Anto, dikamarnya. Sekarang wanita ini bersikap sangat manis, setelah merajang-rajang hatinya sehingga lumat tak bersisa.
“Aku mau mas Sony menikahi aku, karena katanya mbak Indri sakit dan tidak mampu melakukan apa-apa.”
Indri memandangnya dengan mata menyala. Biarpun itu benar, Indri tak suka dibilang tak mampu melakukan apa-apa.
“Mas Anto masih muda, dia butuh sesuatu yang tidak bisa mbak berikan. Kasihan bukan? Pahamilah dia, jangan dilihat dari penghianatannya, tapi lihatlah bagaimana dia kehausan ditengah padang kering yang terasa membakar.”
“Diaaam !!” Indri akhirnya bisa mengumpulkan kekuatannya lalu berteriak dengan keras dan garang.
Winar terkejut, sampai pegangan tangannya terlepas.
“Sungguh aku tidak bermaksud jahat.”
“Hentikan omong kosong itu.”
“Indri, Winar sudah menjadi isteriku. Biarkan dia tinggal disini. Kita akan hidup bersama-sama dalam satu rumah,” kata Sony .
Indri menatap Sony tak berkedip. Baru saja dia berencana untuk meminta maaf, dan berjanji akan memperbaiki kehidupan rumah tangganya, ternyata Sony justru datang bersama isteri barunya, merobek dan mengoyak batinnya.
Tiba-tiba juga ia teringat ketika dia datang bersama Anto, mengatakan pada Yessyta bahwa mereka akan tinggal serumah.
Indri berdiri, lalu menatap keduanya.
“Tinggallah disini.”
Indri melangkah keluar rumah.
“Indri, kamu mau kemana?”
Tapi Indri tak menjawab. Ia terus melangkah keluar dari halaman.
“Mas, kejarlah dia.”
“Biarkan saja, pasti nanti dia akan kembali. Dia harus tahu bahwa tidak semua kehendaknya akan bisa diwujudkannya.
***
Indri terus berjalan, menyusuri jalanan sore yang mulai temaram. Lampu jalanan mulai menyala, dan kerlip kendaraan yang berlalu lalang menghiasi awal malam dihari itu.
Indri mulai menghitung-hitung, sakit jiwa raga yang dideritanya adalah akibat dari perbuatan yang pernah dilakukannya. Ia baru sadar, betapa dulu dia menyakiti Yessyta dengan semena-mena. Mengira bahwa kenikmatan yang didambakannya akan bisa diraihnya setelah itu. Ternyata tidak. Hari-hari yang dilaluinya kemudian menjadi kelabu, lalu gelap. Rasa sakit, menderanya, rasa kecewa menyiksanya.
Indri terus berjalan, sampai kakinya lelah. Rambutnyaa yang awut-awutan oleh angin malam yang sedikit kencang, dibiarkannya. Lalu dia duduk di sebuah bangku panjang, entah bekas orang jualan apa. Kakinya terasa ngilu karena letih yang menderanya. Lalu ia memijit-mijit kakinya dengan tangan kirinya. Sesungguhnya dia lapar, tapi tak di pedulikannya.
Tiba-tiba banyak orang lalu lalang disekitarnya, dan tanpa diduga seseorang meletakkan uang duaribuan didekatnya, lalu diikuti oleh orang-orang lainnya. Indri ingin berteriak bahwa dia bukan pengemis, tapi mulutnya kelu, tak mampu berkata-kata. Bahkan ketika angin menerbangkan lembaran-lembaran uang itu, kemudian dia memungutnya, lalu memasukkannya kedalam saku bajunya.
Ia kehilangan rasa malu dan menerima setiap denting uang dan lembaran-lembaran yang ditaruh disisinya.
“Biarkan saja. Toh mereka tidak mengenal aku. Lagi pula aku tidak membawa uang sepeserpun.”
Lalu Indri teringat akan perutnya yang terasa lapar. Ia bangkit, lalu mendekati penjual nasi dipinggir jalan, meminta sebungkus dan segelas teh hangat yang dimasukkannya kedalam plastik.
“Ya Tuhan, aku benar-benar seperti pengemis jalanan,” bisiknya sambil berlinangan air mata, ketika ia membuka bungkusan nasinya ditempat sepi, memakannya dan meminumnya sampai habis.
“Harus kemana aku sekarang? Pulang? Tidak, dirumah ada Sony dan perempuan itu. Mana bisa aku hidup serumah dengan perempuan sok ramah itu. Dasar gila, berbaik-baik sama wanita yang suaminya dia rebut? Lebih baik aku pergi. Kemana? Aku ingin pulang ke rumah ibu bapakku, tapi aku takut, bapak sangat marah sama aku, aku bisa dihajarnya.
“Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan ?”
Indri kembali duduk, kali ini disebuah emperan toko. Hari sudah malam dan toko-toko sudah tutup.
“Aku benar-benar seperti gelandangan? Ooh, ini karena dosaku.. aku akan mencari Yessyta dan meminta maaf, barangkali ini bisa mengurangi bebanku.”
Lalu Indri terus berjalan. Ia tahu jarak dia berada sekarang dan rumah Yessyta lumayan jauh. Tak ada angkuta lewat. Becak juga jarang. Kalau berjalan, rasanya kakiku tak kuat lagi. Indri berhenti ditempat sepi, merogoh kantongnya, menghitung uang yang diberikan orang lewat karena mengira dia pengemis, biarlah, ia terus menghitung. Ada duapuluh ribu saja, selebihnya adalah uang receh limaratusan. Hanya ada beberapa. Cukupkah untuk membayar becak?
Indri, perempuan cantik yang dulu teramat seksi dan menarik, selalu ingin diantar mobil kemanapun dia pergi, selalu ingin makan enak saat perutnya lapar, sekarang berjalan dengan pakaian kusut dan rambut semrawut, menerima uang receh dan lembaran uang kecil yang dilemparkan oleh orang-orang lewat, benar-benar seperti gelandangan.
Indri menangis sedih. Ia terduduk kembali di sebuah emperan toko yang lain.
“nDuk, kenapa menangis?” sebuah sapa perempuan tua mengejutkannya.
Indri mengangkat kepalanya. Seorang perempuan tua duduk mendekatinya, rambutnya sudah putih, dimulutnya ada susur masih tersumpal, karenanya bicaranya sedikit pelo.
“Kamu lari dari rumah ?” tanya perempuan tua itu lagi.
Indri mengangguk pelan. Bau kinang menyengat hidungnya.
“Kenapa ?”
Indri menggeleng-gelengkan kepalanya.
Apa kamu mau tidur disini?”
Indri mengangguk pelan, walau masih ragu akan tidur dimana.
“Nanti kalau ada orang jahat, lalu kamu di perkosa bagaimana?”
Mata Indri terbelalak. Kata-kata diperkosa membuatnya ngeri. Iya juga, bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi ?
“Mau tidur dirumah simbah?”
“Bolehkah?” kata Indri bersemangat, sambil mengusap air matanya.
“Rumah simbah tak jauh dari sini. Masuk ke gang itu, tapi itu sebuah gubug, temboknya dari anyaman bambu, alas tidurnya juga bangku dari bambu.”
“Simbah sendirian ?”
“Simbah tak punya anak. Suami sudah lama sekali meninggal. Simbah hidup dari memulung. Ya sekuatnya saja, yang penting bisa makan.”
“Ya Tuhan, sudah setua simbah, bekerja sebagai pemulung?”
“Memangnya kenapa? Burukkah pekerjaan memulung?”
“Bukan buruk. Tapi simbah kan sudah tua?”
“Memangnya kalau tua nggak boleh bekerja? Makan apa aku kalau disuruh duduk-duduk saja. Mengemis? Emoh aku menadahkan tanganku untuk meminta-minta.”
Indri terbelalak. Baru saja dia makan dengan uang yang didapatnya dari pemberian orang.
“Ah, tapi aku kan tidak mengemis, mereka sendiri yang memberi,” katanya untuk menghibur dirinya sendiri.
“Ayo, kalau mau ikutlah aku,” kata simbah tua itu sambil berdiri. Jalannya sudah terbungkuk bungkuk, tapi dia bisa melangkah dengan cepat. Mau tidak mau Indri mengikutinya.
“Tak ada jalan lain, ini sebuah pertolongan untuk aku, apapun bentuknya,” gumamnya dalam hati.
Indri mengikuti simbah tua itu memasuki sebuah lorong kecil yang ada diantara pertokoan itu, dan berjalan agak jauh untuk mencapai sebuah gubug kecil, yang memang benar terbuat dari anyaman bambu.
“Ini rumahku,” kata simbah tua sambil membuka pintunya, dan terdengar sebuah derit ketika pintu itu terbuka.
“Berhenti dulu, aku harus menyalakan lampu minyak, nanti kamu menubruk sesuatu,” lanjut simbah yang kemudian merogoh sesuatu dari saku bajunya yang lebar. Ia menyelipkan sebuah kantong disitu, dan mengambil sesuatu dari kantong itu yang ternyata sebuah korek api. Ia menyalakannya, dan Indri menutupi wajahnya karena silau ketika simbah menyalakan sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding.
“Nah, sudah terang. Apa kamu sudah makan ?”
Indri mengangguk. Ada bau pengap yang menusuk hidungnya. Rupanya simbah tua itu menumpuk barang-barang yang dipulungnya disudut ruangan. Ia ingin menutup hidungnya, tapi khawatir simbah tersinggung, sementara dia sudah ditolongnya. Jadi bagaimanapun ia harus menghisapnya walau dengan hidung dikernyitkan.
“Dibelakang ada kamar mandi, yang pagarnya juga dari bambu, dan ada ember yang sudah berisi air, kalau sewaktu-waktu aku ingin membersihkan diri atau kencing di waktu malam. Kalau mandi, di sebelah rumah ada kamar mandi untuk umum, kalau mau mandi harus membayar seribu rupiah, disana juga ada WC umumnya,” kata nenek panjang lebar.
Ini ada bangku, tidurlah, simbah punya bantal dua, aku tidur disana, kamu disini,” kata simbah sambil menunjuk ke arah bangku yang kosong, lalu mengambilkan sebuah bantal dan diletakkan disitu. Tak tampak ada kamar digubug itu.
“Aku mau ke belakang dulu mbah,” kata Indri sambil melangkah ke belakang.
“Ya, buka saja pintunya, biar aku bawakan lampunya supaya kelihatan mana ember dan mana gayungnya,” kata simbah sambil mengambil lampu dan mengikuti Indri yang melangkah ke belakang, lalu membuka pintu yang kembali mengeluarkan suara berderit.
Bau pesing segera menyengat hidungnya.
“Adduh, simbah kurang bersih menyiramnya nih,” desisnya pelan.
“Ini, lampunya aku taruh disini, nanti kalau masuk dibawa lagi ya, simbah hanya punya satu lampu.”
Indri butuh buang air kecil, dan menyiram kakinya agar terasa segar.
“Ini sebuah kehidupan yang tak pernah diimpikannya. Hidup papa, serba kekurangan, dan nanti kalau tidur juga pasti kedinginan. Ya sudah, ini adalah hidupku,” bisiknya pelan sambil mengusap air matanya.
Ketika membaringkan tubuhnya, Indri merasa penatnya sedikit terobati. Bisa merebahkan tubuhnya dan menyelonjorkan kakinya. Tapi bau anyir dari barang-barang bekas yang ada diruangan itu sangat mengganggunya, dan sekarang bantal apak yang mengalasi kepalanya juga membuatnya tak bisa tidur.
“Tidurlah, memang inilah gubugnya simbah.”
Indri tak menjawab, ia memejamkan matanya sampai akhirnya benar-benar pulas karena kelelahan.
***
“Bagaimana? Tidak ketemu?” tanya Winar yang menunggu Sony kembali dari mencari Indri.
“Tidak, barangkali dia pergi kerumah orang tuanya,” kata Sony yang merasa letih karena sejak sore sampai larut mencari Indri kemana-mana.
“Mas tidak pergi kesana?”
“Aku ragu-ragu, mungkin juga tidak kesana, karena sudah lama orang tuanya selalu menolak kedatangan Indri.”
“Memangnya kenapa? Bagaimana ada orang tua yang tega terjadap anaknya sendiri?”
“Mereka kecewa atas perbuatan Indri. Aku sudah menceritakan semuanya kan?”
“Kasihan. Sebenarnya aku ingin menemani dia, dan membantu dia. Tapi tampaknya dia tak bisa menerima.”
“Iya, itu salah dia sendiri. Harusnya dia mengerti.”
“Besok mas harus mencarinya lagi.”
“Aku kan harus bekerja, kamu juga kan?”
“Mulai besok aku akan memasak pagi-pagi sebelum berangkat kerja, sehingga kita tidak perlu beli makanan di warung setiap hari.”
“Ya, bagus sekali. Kamu juga sangat baik. Aku senang bisa menemukan kamu.”
“Kita dipertemukan karena kita berjodoh. Aku tak ingin merebut kamu dari mbak Indri sebenarnya. Aku ingin kami bisa berteman.”
“Tampaknya dia tak bisa menerima.”
“Bagaimana kalau dia tetap tak bisa menerima?”
“Aku bebaskan dia, apa maunya. Aku tak bisa terus-terusan hidup dalam situasi yang sangat menyiksa.”
“Aku merasa bersalah.”
“Tidak, jangan berkata begitu. Kamu telah mengisi hari-hari aku yang senyap oleh rasa bahagia. Aku juga tak ingin meninggalkan Indri kalau dia mau menerima keadaan ini. Entahlah nanti bagaimana, sekarang aku letih, ingin beristirahat.”
“Tapi besok teruslah berusaha untuk mencari tahu kemana perginya mbak Indri.”
“Baiklah, kalau terpaksa aku juga akan menemui kedua orang tuanya, barangkali dia ada disana, dan menanyakan apa maunya.”
“Lakukan yang terbaik mas.”
Sony mengangguk sambil tersenyum. Ia bahagia bisa menemukan Winar yang baik hati dan penuh pengertian. Gadis yang sering ditemuinya ketika makan di warung, yang semula hanya berbincang sekadarnya, kemudian menjadi jodohnya. Apa boleh buat, dari Winar dia menemukan kembali hidup normalnya.
***
Pagi ketika Indri bangun, ia merasa bingung, bagaimana bisa tidur ditmpat seperti itu. Lalu dilihatnya simbah sudah rapi. Maksudnya sudah mandi dan sudah mengumpulkan barang-barang di pintu depan.
“Oh, aku sudah mengingatnya, aku ikut kerumah simbah yang seorang pemulung itu ke rumahnya.”
Ketika duduk, di meja kecil di dekat bangku dimana dia berbaring, Indri melihat dua bungkusan, dan dua gelas plastik berisi teh. Simbah mendekat begitu melihat Indri sudah bangun.
“Nak, itu, simbah beli nasi liwet sama teh hangat. Satu untuk simbah, satu untuk sampeyan.”
“Terimakasih mbah,” jawabnya sambil bangkit, lalu berjalan ke belakang, kearah ‘kamar kecilnya’ simbah.
Ketika berjongkok, bau pesing itu sudah jauh berkurang, karena mungkin simbah sudah mengguyurnya dengan air sebanyak-banyaknya. Lalu Indri hanya membersihkan wajahnya.
“Apa kamu seorang muslim?” tanya simbah mengejutkannya.
“Saya.. saya..” Indri bingung menjawabnya. Tulisan agama di KTP nya memang menunjukkan agamanya, tapi apakah dia pernah beribadah?”
“Kalau kamu muslim, bersholatlah. Aku sudah selesai. Rukuh dan sajadahnya ada diatas bangku itu.”
Indri menghampiri sajadah dan rukuhnya, dan dengan gemetar dia menggelarnya. Ia berbalik ke belakang dan mengambil wudhu.
Ketika bersujud, tangisnya tiba-tiba meledak tak tertahankan.
“Ya Allah, kemana hamba selama ini, jangan meninggalkan hamba ya Allah, hambaMu akan bersujud kepadaMu.”
Simbah hanya menatapnya dengan iba. Tapi sedikitpun dia tak mau bertanya, apa yang terjadi dengan Indri. Bahkan namanya pun dia tak pernah menanyakannya. Simbah merasa bahwa itu bukan urusannya.
“Kalau mau mandi, itu ada sabun, ada handuk kecil bekas simbah, disitu. Ini uang seribu, nanti masukkan kedalam kotak. Tapi makan saja dulu,” kata simbah sambil mengambil segelas teh dan menghirupnya.
Indri mendekati bangku dan mengambil segelas teh yang masih hangat. Didalam situasi yang sangat menyedihkan itu, segelas teh sederhana terasa sangat nikmat.
“Ini makanlah, aku sudah memanggil becak langganan yang akan mengantar barang-barang itu ke tempat pengepul. Tapi ayo sarapan dulu.”
Indri mengambil bungkusan nasi liwet. Hanya nasi, beberapa suwir ayam, dan sambal goreng jepan. Itupun terasa nikmat. Indri menghabiskannya. Lalu ia merogoh sakunya dan meletakkan beberapa lembar uang yang diletakkan dimeja.
“Ini untuk apa?”
“Untuk simbah, pengganti beli nasi dan teh.”
“Tidak, aku tidak mau. Ambil kembali uang kamu. Ambil.. sungguh aku tidak mau,” kata simbah sambil mendorong-dorong uang itu.
“Terimakasih mbah.”
Indri sangat terharu. Simbah itu sangat miskin, tapi hatinya sangat baik. Lalu Indri teringat, pernahkah dia berderma? Kalau ada pengemis datang kerumah saja dia mengusirnya dengan kata-kata kasar.
“Ya Allah.”
“Kalau kita berbaik hati kepada orang lain, maka Allah akan menggantikannya dengan berlipat ganda,” kata simbah sambil mengumpulkan bekas bungkusan nasi itu dan membuangnya ke tempat sampah.
“Simbah akan berangkat sekarang, kalau kamu mau tinggal, silahkan saja. Rumah simbah tak pernah terkunci. Tak ada barang-barang berharga yang menarik bagi pencuri.
“mBah, bolehkah aku ikut?” tiba-tiba kanta Indri.
“Apa?”
***
Besok lagi ya