Friday, March 31, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 09

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  09

(Tien Kumalasari)

 

Farah membuka pintu, dan melihat ‘Narita’ masih duduk bersandar pada tembok. Ia tersenyum melihat nasi yang diberikan dimakannya habis, berikut minuman yang ada di gelas.

“Non mau nambah?” tanya Farah.

Aliyah mengangkat wajahnya, melihat wajah manis itu tersenyum ramah. Ada rasa lega menghinggapinya, karena Alfian punya pembantu yang sangat baik, tidak suka membentak-bentak. Tapi Aliyah kurang senang dengan cara pembantu itu memanggilnya.

“Non, mau nambah lagi, makannya?”

“Tidak, dan jangan memanggil aku Non,” kata Aliyah sambil menyelonjorkan kakinya.

“Tidak bisa Non, saya selalu memanggil Non dengan sebutan itu, nggak enak kalau berubah.”

“Mengapa kamu tidak percaya? Namaku Aliyah. A-li-yah,” kata Aliyah dengan mengeja namanya pelan.

Tapi Farah hanya tersenyum. Majikannya sudah mengatakan, bahwa dia tak boleh mempercayai apapun yang dikatakannya.

“Mengapa kalian menganggap bahwa aku adalah Narita? Apakah wajahku sangat mirip? Lalu kalian mengira aku berbohong, melarikan harta. Ya Tuhan, aku tidak mengerti semua itu, karena aku memang bukan Narita, Aku mohon, percayalah, dan biarkan aku pergi. Aku hanyalah gadis miskin yang sebatang kara, tidak punya siapa-siapa,” kata Aliyah sedih.

Tapi lagi-lagi Farah hanya tersenyum.

“Biarkan aku pergi, aku sedang di suruh bu RT belanja, entah bagaimana nasib belanjaan itu, dan dompetku yang berisi uang kembalian, bagaimana ini?”

“Sudahlah Non, lupakan semuanya. Sekarang mandilah. Saya sudah bawakan peralatan mandi. Sabun, sikat dan sebagainya. Juga shampo untuk rambut. Lalu ini baju ganti. Tidak bagus sih, hanya baju pembantu. Tapi baju Non tampak kumal. Maaf, sebaiknya Non menggantinya dengan ini.”

“Aku tidak mau, biarkan begini.”

“Jangan begitu, nanti kalau tuan Alfi marah, Non akan disiksa lagi. Kalau sedang marah dia bisa sangat kejam. Tapi sebenarnya dia itu sangat baik. Bukankah Non tahu, bahwa tuan sangat mencintai Non?”

Aliyah menutup kupingnya. Apa itu sangat baik, apa itu sangat mencintai, dan non … non … non… telinganya terasa sakit.

“Ada apa Non ini, apa saya harus menggendong Non ke kamar mandi?” tanya Farah sambil bersiap menarik Aliyah. Aliyah terpaksa berdiri, membiarkan Farah menggandengnya ke kamar mandi.

“Nah, itu, biar saya nyalakan airnya, akan saya teteskan minyak aroma terapi, biar segar.”

“Mana gayungnya?” tanya Aliyah, yang menganggap bathup itu adalah bak mandi, jadi dia membutuhkan gayung. Tapi disekeliling ruang itu ia tak melihat gayung.

“Apa Non, gayung? Untuk apa?”

“Bukankah kamu menyuruh aku mandi? Bagaimana mengambil airnya kalau tidak ada gayungnya?”

Farah heran, tapi kemudian dia ingat, bahwa ‘Narita’ sedang berpura-pura. Pasti dia pura-pura bodoh dan tak tahu bagaimana cara mandi orang-orang kalangan atas.

“Non masuk saja ke dalam situ.”

“Apa? Memangnya aku bayi?”

Farah tertawa. Sungguh pintar sekali Non cantik ini bersandiwara. Benar-benar seperti orang bodoh sungguhan.

“Iya Non, seperti biasa lah, masuk ke dalam situ. Sekarang Non saya tinggal ya, baju ganti dan segala perlengkapannya saya siapkan di sini,” kata Farah sambil meletakkan baju dan perlengkapannya diatas meja yang ada di dalam kamar mandi itu.

Aliyah terbelalak.  Ia melihat air diisikan ke dalam bathup. Ia belum pernah melihatnya. Sekarang sudah penuh, dan dia harus masuk ke dalamnya?

“Ya ampun, kamar mandi sebesar ini? Ini luasnya sama dengan rumahku,” gumam Aliyah.

Rasa heran  itu membuatnya melupakan kesedihannya. Ia juga merasa gerah, dan barangkali mandi adalah pilihan terbaik. Ancaman yang dikatakan Farah, membuatnya sedikit khawatir. Laki-laki bernama Alfi itu memang sangat kejam. Kepalanya masih terasa pedih karena dijambak tadi.

Perlahan Aliyah melepaskan semua pakaiannya, setelah beberapa saat lamanya dia termangu. Ia mendekati kolam kecil yang kata Farah dia harus menceburkan diri ke dalam situ. Aliyah memercikkan air dari bathup itu ke kakinya, karena ia merasa kakinya kotor. Masa kaki kotor harus dibawa masuk ke situ? Pikir Aliyah. Setelah merasa bersih, perlahan Aliyah masuk ke dalamnya. Aroma segar segera tercium olehnya. Tubuhnya juga merasa segar oleh kehangatan yang mengguyur seluruh tubuhnya.

“Apa boleh buat, kalau aku tidak mandi, maka tubuhku akan terasa kotor. Aliyah juga mencuci rambutnya. Rambut sebatas bahu yang berombak, yang sekarang diguyur dengan shampo  wangi yang membuatnya kagum.

“Orang kaya memang berbeda,” gumamnya sambil membersihkan tubuhnya.

Lalu Aliyah turun dari dalam bathup, tidak tahu harus diapakan air itu. Ia berusaha mengangkatnya untuk membuang airnya, tapi tidak berhasil. Padahal sebenarnya ia ingin membilas tubuh dan rambutnya dengan air bersih, karena bukankah air itu sudah kotor karena dia menggosok-gosok rambut dan tubuhnya disitu juga. Untunglah ia melihat keran yang ada di sana, ia memutarnya, lalu air segera terguyur. Syukurlah. Aliyah membilas rambut dan tubuhnya di bawah keran itu.

Ketika ia memakai pakaian yang disediakan Farah, ia heran ketika Farah meminta maaf karena harus memberikan baju yang katanya tidak pantas.

“Ini baju bagus banget. Baunya wangi pula. Padahal hanya baju pembantu. Untunglah pas di tubuh aku. Aduh, mana sisir?” gumam Aliyah tak henti-hentinya dalam segala kekaguman melihat kamar mandi itu. Ia keluar sudah dengan pakaian yang disiapkan Farah.

Aliyah terkejut, ketika keluar dari kamar mandi itu, ia melihat sebuah kasur yang sangat tebal, digelar di lantai. Sudah dilapisi seprei berwarna pink, dan berbau harum. Ada bantal dengan sarung serupa.

“Mengapa disediakan kasur? Aku tidak mau bermalam di sini. Pasti bu RT marah sama aku karena aku pergi sangat lama, dan entah di mana barang-barang belanjaan yang aku beli. Ya Tuhan, bagaimana aku harus mengganti uang bu RT. Mengapa nasibku seperti ini?”

Aliyah mencoba mendekati pintu, dan memutar gagangnya.

“Terkunci,” rintih Aliyah sedih.

Aliyah menjatuhkan tubuhnya di lantai, menangis terisak-isak.

Tiba-tiba pintu itu terbuka, Aliyah berdebar, mengira laki-laki kejam itu yang masuk, tapi tidak, lagi-lagi Farah. Kali ini dia membawa segelas minuman lagi.

“Non, ini teh hangat. Maaf, terpaksa saya letakkan di lantai, ya.”

Aliyah menatap Farah yang meletakkan gelas di atas lantai.

“Mengapa Non duduk di lantai. Saya bawakan kasur yang enak, buat Non tidur.”

“Mengapa aku harus tidur di sini? Aku mau pulang. Biarkan aku pulang,” rintihnya.

“Ini sudah sore, tuan Alfi masih ingin bicara sama Non.”

“Apa? Dia tidak percaya sama aku, aku bukan Naritaaaaa!” kali ini Aliyah berteriak.

“Tenanglah Non, nanti Non bicara sendiri saja sama tuan, Ya.”

Aliyah melihat Farah keluar dari pintu, dan lagi-lagi Aliyah mendengar pintu itu dikunci.

“Toloonglaaaaah,” Aliyah berteriak lagi, tapi Farah sudah tak mendengarnya lagi.

***

“Kamu melayani dia, seperti dia itu masih calon istriku saja. Mandi wangi, kamu bawakan springbed, untuk apa? Biar dia merasakan sakit, tersiksa, karena dia telah menyiksa aku juga,” omel Alfian ketika tahu bahwa Farah menyuruh Kirman menaruh kasur ke dalam kamar kosong itu.

 “Ya ampun, Tuan. Kamar itu kan dingin. Nanti kalau dia masuk angin, bagaimana?”

“Memangnya kenapa kalau dia masuk angin? Peduli apa aku?”

“Jangan begitu Tuan, bagaimanapun, dia juga manusia. Kasihan kan. Sekarang dia sudah mandi, sudah wangi, kalau Tuan mau menemui dia, pasti suasananya sudah lebih nyaman.”

“Farah. Kamu itu pembantu aku, atau pembantunya Narita?” kata Alfian dengan mata menyala.

“Ya pembantu Tuan. Masa Tuan lupa sih?”

“Kalau kamu kasihan sama dia, kenapa tidak kasihan sama aku? Dengar ya, aku sangat mencintai dia, bahkan sampai detik ini, cinta itu masih ada. Tapi apa yang dia lakukan sama aku? Dia kabur yang pastinya dengan laki-laki itu. Bukan hanya kabur, dia juga mengembat semua uangku, perhiasan aku. Aku hancur Farah, kenapa kamu tidak kasihan sama aku?”

“Tuan, kalau saya kasihan sama Tuan, apa saya harus bilang juga sama Tuan?”

“Kamu kasihan sama aku? Setiap hari kamu selalu membantah apa yang aku katakan.”

“Ya nggak mungkin Tuan, masa pembantu membantah perkataan tuannya?”

“Lha itu, dari tadi kamu menjawab apa yang aku katakan, seperti tidak mau kalah sedikitpun.  Namanya apa itu, kalau tidak membantah?”

“Tuan, kalau Tuan bisa bersabar sedikit saja, maka Tuan pasti akan merasa lebih tenang,” kata Farah sambil duduk bersimpuh di hadapan tuannya.

Alfian menatap Farah dengan kesal.

“Aku tidak bisa bersabar. Orang yang aku benci sudah ada ditanganku, aku siap membalasnya, membuatnya sakit yang lebih dari sakit.”

“Sebentar Tuan, saya kok bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Tadi Tuan bilang sangat mencintai dia, kok sekarang mengatakan benci?”

“Rasa benci aku lebih besar dari cinta itu, Farah. Mengertilah, aku adalah korban kejahatan dan kelicikan perempuan itu. Perempuan yang seharusnya aku cintai, tapi sekaraang cinta itu berubah menjadi benci.”

“Tuan.

“Sudah, pergi sana, kamu membuat aku muak.”

“Ya ampun Tuan, kalau begitu biar saya pergi saja.”

“Apa katamu?”

“Tuan bilang muak sama saya, kalau begitu saya mau pergi.”

“Awas saja kalau kamu benar-benar melakukannya. Sudah sana, pergi. Siapkan makan untuk aku, aku belum makan sejak siang, dan ini sudah hampir malam.”

“Kan saya sudah menyiapkan makan untuk Tuan sejak tadi siang. Tuan bilang nanti … nanti “

“Ya sudah Farah, siapkan sekarang. Setelah itu aku mau menghajar perempuan itu lagi.”

“Tuan!”

“Pergi kamu, lakukan apa yang aku minta.”

Farah meninggalkan tuannya sambil mengomel pelan.

“Karena patah hati, jadi stress …”

***

Pinto heran, ketika sore hari itu dia mau pulang karena waktu tugasnya sudah habis, dilihatnya pak RT berdiri di depan rumah makan tempatnya bekerja.

Pinto menghampiri.

“Pak RT kok ada di sini.”

“Kamu sudah mendengar, bagaimana kabarnya Aliyah?”

“Kok pak RT bertanya pada saya. Justru saya sebenarnya mau ke rumah pak RT untuk menanyakannya.”

Pak RT tampak mengeluh sedih.

“Aku menyesal, kenapa waktu istriku menyuruh ke pasar, aku tidak mengantarkannya saja dengan sepeda motorku.”

“Yang membuat saya heran, mengapa Aliyah diculik.”

“Polisi juga belum mengabari apa-apa tentang Aliyah,” keluh pak RT.

“Barangkali karena belum menemukan tanda-tanda tentang siapa penculik itu. Bukankah orang-orang disekitar tak ada yang memperhatikan mobil yang dikendarai penculik. Merknya apa, apalagi nomor polisinya.”

“Sepertinya susah," pak RT mengeluh lagi.

“Yang harus kita lakukan adalah berdoa. Semoga segera ada titik terang tentang hilangnya Aliyah, dan polisi segera bisa menemukannya.”

“Nak Pinto mau ke mana?”

“Mau pulang Pak, tadi saya dinas pagi.”

“Ya sudah, pulang saja sana.”

“Bapak mau ke mana?”

“Jalan-jalan saja, siapa tahu aku bisa menemukan titik terang tentang hilangnya Aliyah.”

“Iya Pak, saya pulang dulu dan mandi. Nanti saya susul Bapak.”

“Benar ya, aku mau jalan di sekitar pasar, dimana katanya Aliyah diculik.”

“Baik Pak.”

***

Pak RT terus saja berjalan, menyusuri jalanan yang mulai remang. Ia harus mengakui, Aliyah adalah gadis yang membuatnya tergila-gila. Hilangnya Aliyah membuat hatinya hancur, tak bersemangat. Merasa bersaing dengan Pinto, yang tampaknya juga menyukai Aliyah, pak RT berharap bisa memenangkan persaingan itu.

“Aku memang sudah tua, tapi kan belum terlampau tua? Aku masih gagah dan ganteng. Dan aku punya uang. Kalau aku kalah dalam hal penampilan dari Pinto, tapi aku menang karena aku punya harta lebih banyak. Bukankah Aliyah ingin agar bisa tercukupi kebutuhannya? Aku yakin Aliyah nanti akan mau menerima lamaranku. Tapi kapan dia kembali?”

Pak RT terus melangkah, bayangan wajah Aliyah tak bisa lepas dari pikirannya.

Tiba-tiba ia merasa sangat lapar. Ia lupa, sejak siang dia belum makan. Bahkan ketika istrinya sudah menyiapkan makan siangnya, dia menolak dengan alasan masih kenyang.

“Kenapa sih, akhir-akhir ini Bapak sangat malas makan?”

Tapi pak RT tidak mengacuhkannya. Ketika istrinya pamit pergi entah ke mana, pak RT malah ke rumah makan di mana Pinto bekerja. Lalu sekarang berjalan-jalan tanpa tujuan.

Karena lapar itulah, maka pak RT menghampiri sebuah warung makan di pinggir jalan. Walaupun hatinya sedih, dia harus makan.

Tapi baru saja dia mau duduk, seseorang melintas, tapi tidak sendiri. Pak RT membelalakkan matanya.

“Aliyaaahh!” akhirnya berteriak.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Thursday, March 30, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 08

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  08

(Tien Kumalasari)

 

Mata bengis iti tidak sepadan dengan wajahnya yang tampan. Harusnya wajah seperti itu bermata teduh, tersenyum lembut. Tidak, mata itu sangat garang. Bagai mata singa yang siap memangsa.

Aliyah beringsut. Mau lari kemana kalau pintu itu terkunci, dan mata garang itu melangkah mendekatinya?

“Narita !!” hardiknya.

Aliyah merasa ia salah mendengar. Apa serigala itu meneriakkan sebuah nama? Dan itu bukan namanya?

“Narita!!” suaranya semakin keras.

Aliyah segera mengerti, bahwa laki-laki itu salah orang. Namanya bukan Narita. Pasti dia akan segera dilepaskan dan dia akan segera berlari pulang, walau dia tidak mengerti sedang berada di mana. Harapan itu membuatnya sedikit tenang. Dimana pun dia berada, dia akan berusaha pulang, kalau laki-laki garang itu melepaskannya.

“Namaku bukan Narita,” lirihnya.

“Apa? Kamu merasa bahwa kamu bisa kabur dari aku dengan membawa hartaku? Walau kamu merubah penampilan kamu, tatanan rambutmu, pakaian lusuh seperti pelayan, tapi aku tetap mengenali kamu, Narita!” teriak laki-laki itu keras.

“Tolong, aku bukan Narita.”

Tiba-tiba laki-laki itu menjambak rambutnya, lalu menghempaskannya ke lantai. Aliyah kesakitan, dan merasa pusing.

“Tolong lepaskan aku, aku bukan Narita.”

“Aku akan mengambil semua yang kamu bawa, dan membalas semua perbuatan kamu dengan kejam!”

Aliyah terisak.

“Namaku Aliyah,” suaranya gemetar.

“Persetan dengan apapun yang kamu tutupi dari aku. Bagiku, kamu adalah Narita. Ya Tuhan, Narita, kalau kamu tahu, betapa aku mencintai kamu. Bahkan sampai detik ini, Narita,” suara laki-laki itu berubah pelan. Ia berjongkok, meraih dagu Aliyah dengan lembut.

“Aku sangat mencintai kamu,” lalu dielusnya wajah Aliyah. Aliyah bergidik. Ia belum pernah disentuh pria, apalagi dengan suara lembut dan senyuman manis seperti itu.

Tapi tak lama. Tiba-tiba mata itu kembali garang, senyuman manis itu berubah menjadi seringai yang mengerikan. Aliyah gemetar. Lalu laki-laki itu kembali menjambak rambutnya. Diangkatnya wajah Aliyah dengan rambut masih dalam genggaman tangannya.

“Tolong, Anda salah orang,” rintih Aliyah, hampir tak terdengar,

“Kemana kamu sembunyikan hartaku? Kamu berikan kepada laki-laki bedebah itu kan? Katakan, dimanaaaa!!!”

Aliyah hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, yang terasa sangat nyeri.

“Kamu lupa, ketika kamu membodohi aku dengan suara lembutmu, “Alfi, hanya kamu laki-laki yang aku cintai” …Kamu lupa?” Laki-laki yang memang adalah Alfian itu berteriak lebih keras.

“Ya Tuhan, namaku bukan Narita, aku Aliyah,” rintih Aliyah, memelas, sambil air matanya bercucuran.

“Perempuan busuk!”

“Dengar aku, kamu salah orang, aku bukan Narita, biarkan aku pergi.”

“Diaaamm! Aku sudah tahu, betapa pintarnya kamu! Tapi kali ini aku tak mau mendengar apa-apa yang kamu katakan.”

Alfian melepaskan rambut Aliyah, kemudian beringsut mundur, lalu duduk bersandar di tembok, persis di hadapan Aliyah, yang sudah bangkit dan menahan seluruh rasa sakit yang menggigit di tubuhnya.

Tiba-tiba Aliyah terkejut, melihat sepasang mata garang itu meneteskan air mata. Amarah yang menggelegak di hati Aliyah tiba-tiba runtuh. Aliyah gadis yang lembut hati dan penuh kasih sayang. Ia sudah disakiti, tapi ia merasa trenyuh melihat kesedihan yang tersirat di wajah laki-laki yang menyiksanya.

“Mengapa kamu tega? Tega menyakiti Alfi mu yang dulu kamu bilang sangat kamu cintai? Aku masih cinta, Narita, sampai detik ini, aku masih cinta sama kamu,” suara itu seperti merintih.

Aliyah mendengar bisikan lirih dari bibir yang sekarang tampak pucat, dan seperti meremas perasaannya. Ingin sekali dia mendekat dan menghiburnya. Ia sekarang tahu, laki-laki aneh itu bernama Alfi.

“Pak Alfi, Anda harus percaya, saya bukan Narita. Nama saya Aliyah, biarkan saya pergi, ya,” kata Aliyah memberanikan diri.

Tanpa diduga, Alfi mengangkat wajahnya, lalu mengusap matanya dengan kasar. Tiba-tiba dia berdiri, dan kembali menatap Aliyah dengan garang.

“Perempuan pembohong!!” teriaknya.

Lalu dia melangkah ke arah pintu, membukanya.

“Kamu akan tetap aku kurung di sini, sampai kamu mengaku, dimana kamu simpan semua harta yang kamu larikan. Selama itu juga, aku akan selalu menyakiti kamu,” katanya tandas, penuh ancaman.

Aliyah ingin membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Aliyah, tapi Alfi sudah keluar lalu menutup kembali pintunya dengan kasar, lalu terdengar suara kunci diputar.

Aliyah putus asa.

“Aku bukan Naritaaaaa!!” jeritnya yang kembali hanya menimbulkan gema di ruangan itu.

***

Alfian duduk bersandar di sofa, sendirian. Ia merasa lelah dan kesal. Narita, gadis yang dicarinya dan dianggapnya sudah ditemukannya, tak mau mengakui siapa sejatinya dirinya. Ia menyamar menjadi gadis lusuh bernama Aliyah, dan itu membuatnya semakin jengkel.

“Faraaaahhh,” tiba-tiba Alfian berteriak.

Seorang gadis, hitam manis, bergegas mendekat.

“Ya, tuan.”

“Ambilkan aku minum.”

“Tuan mau minum apa? Ada jus tomat, atau teh manis, atau_”

“Air putih !!” Alfian berteriak.

“Baik, jangan berteriak, tuan. Telinga saya jadi sakit,” kata Farah mengomel.

“Diaaaam!!”

Farah bergegas ke belakang untuk mengambilkan pesanan tuannya.

Farah adalah anak dari pembantu orang tua Alfian, yang sejak kecil menjadi teman bermain bagi Alfian. Setelah dewasa, dan Alifian punya rumah sendiri, Farah diminta Alfian agar melayaninya di rumah itu. Karena mengenal dekat sejak masih kanak-kanak itulah, Farah berani mengomeli Alfian, walau selalu tunduk pada apapun yang menjadi perintahnya.

“Faraaaaahhh!” Alfian berteriak lagi, karena dianggapnya Farah terlalu lama.

Farah hampir berlari, mendekat sambil membawa nampan. Segelas air putih ada di atasnya. Farah belum sempat meletakkannya, Alfian sudah meraihnya, dan meneguknya habis.

Farah merengut kesal, sambil beranjak ke belakang.

“Heeii, siapa menyuruh kamu pergi?” teriak Alfi lagi.

Farah berhenti melangkah .

“Sini kamu!”

“Baiklah, tapi tolong jangan berteriak-teriak. Kenapa sih, akhir-akhir ini suka sekali berteriak?” omel Farah lagi. Tapi Alfian tidak pernah marah walau Farah mengomelinya panjang pendek. Farah adalah pembantu kesayangannya, yang selalu menemaninya bermain, kala masih kanak-kanak dulu. Terkadang Alfian tersenyum sendiri. Dia suka nakal dan jahil pada Farah. Menyembunyikan boneka mainannya, lalu memasukkannya ke dalam parit yang ada di luar pagar rumahnya. Tentu saja Farah menangis menjerit-jerit.

“Duduk, jangan berdiri di situ.”

Farah menjatuhkan tubuhnya ke lantai, bersimpuh di depan tuannya, tak mengucapkan apapun, hanya menunggu perintah.

“Kamu sudah tahu? Aku sudah menemukan Narita.”

“Ya, mas Kirman sudah cerita. Kenapa tuan menguncinya di kamar depan?”

“Dia sudah membohongi aku. Kamu kan sudah mengerti? Orang tua aku malu karena resepsi yang akan digelar menjadi batal. Dan dia melarikan semua uang yang ada di dalam ATM aku?”

“Lalu akan tuan apakan dia?”

“Akan aku siksa dia, sampai dia mau menunjukkan di mana harta yang dia larikan.”

“Tuan, mengapa harus menyiksa dia? Tuan bisa memaksanya dengan ancaman, misalnya lapor ke polisi. Pasti dia mau mengaku.”

“Tidak. Aku harus menyiksanya, karena dia juga membuat aku tersiksa.”

 “Kasihan, tuan. Bagaimana tuan menyiksanya?”

“Aku jambak rambutnya, aku banting dia, aku maki-maki dia.”

“Ya ampun tuan, kejam sekali. Apakah dia kemudian mengaku?”

“Dia itu perempuan licik. Dia mengaku bahwa namanya bukan Narita. Dia berpakaian kumuh saat belanja kepasar, tapi aku tidak tertipu oleh penampilan palsunya.”

“Tuan masukkan dia ke kamar kosong itu, dan menguncinya?”

“Ya. Tapi tolong beri dia makan. Jangan sampai dia mati sebelum dia mengakui semuanya.”

Farah melangkah menuju ke arah kamar kosong yang terletak di bagian depan rumah itu. Tapi ia tak bisa membukanya.

“Tuan, mana kuncinya?” teriak Farah di depan pintu kamar kosong itu.

“Ini, kemari kamu! Malah berteriak-teriak,” kesal Alfian.

Farah kembali mendekati tuannya untuk mengambil kuncinya.

“Bawakan minum, dan makan, jangan yang enak-enak,” perintah Alfian.

“Iya, saya bawakan sekalian,” jawab Farah sambil beranjak ke belakang.

Farah mengambil segelas minum dan makanan.

“Jangan sekali-sekali kamu percaya apa yang dikatakannya. Dia itu pembohong besar. Seperti ketika dia membohongi aku dengan kata-kata manis. Jangan lupa kunci kembali pintunya kalau kamu sudah keluar dari sana,” kata Alfian ketika Farah melintas di sampingnya. Farah tak menjawab, dia terus saja melangkah lalu membuka pintu kamar kosong itu.

“Awas kalau sampai dia lari, kamu harus menggantikannya,” masih terdengar lagi pesan Alfian, saat dia membuka pintu kamar itu.

Farah terkejut melihat keadaan Aliyah, yang bersandar di tembok dengan rambut awut-awutan. Ia mendekat setelah kembali menutup pintunya.

“Non, mengapa menjadi seperti ini?”

Aliyah menatap siapa yang mendekat. Farah meletakkan nampan berisi makan dan minum itu di lantai, kemudian bersimpuh di depan Aliyah.

“Minumlah dulu Non,” kata Farah sambil mengangsurkan gelasnya.

Aliyah ingin mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya terasa kering. Karenanya dia menerima gelas yang di angsurkan gadis manis itu, lalu meminumnya separuh.

Farah menerima gelasnya, lalu mendekatkan piring berisi nasi dan lauk pauknya itu ke depan Aliyah.

“Makanlah Non. Maaf, hanya ada itu lauknya.”

Aliyah agak risih dengan panggilan Non itu.

“Jangan panggil aku Non,” katanya lirih.

“Makanlah dulu, Non tampak pucat.”

Sejak pagi Aliyah belum makan apapun. Perutnya kosong, ditambah kejadian yang membuatnya terkejut, dan sakit. Ia tak ingin menyentuh makanan itu, tapi perutnya terasa melilit.

“Kamu siapa?”

“Ya ampun Non, masa Non lupa, atau pura-pura lupa? Saya Farah, pembantu tuan Alfian.”

“Tapi aku tidak pernah mengenal kamu.”

Farah diam. Ia sudah diberi tahu oleh majikannya, bahwa Narita yang ditemukannya pandai berpura-pura, jadi dia diam saja ketika Aliyah mengatakan nggak mau dipanggil Non, bahkan pura-pura lupa pada dirinya. Tapi sebenarnya Farah heran. Non Narita sangat cantik, dan selalu berpakaian modis, selalu mengenakan make up tebal untuk lebih mempercantik wajahnya. Kenapa gadis di sepannya ini, walau cantik tapi kelihatan lusuh dan pakaiannya juga kumuh? Dan lagi-lagi Farah percaya bahwa Narita sedang berpura-pura.

“Non, lebih baik Non makan saja dulu, supaya tuan Alfi tidak bertambah marah. Ayo Non, makan. Masa harus saya suapin?”

“Tapi aku bukan Non, namaku Aliyah,” Aliyah mencoba menerangkan siapa dirinya.

“Baiklah, tapi makanlah dulu. Non sangat pucat. Setelah ini, akan saya ambilkan Non baju ganti. Oh ya, mandi dulu saja supaya segar. Itu ada kamar mandi, nanti saya ambilkan sabun dan semua keperluan mandi.”

“Biarkan aku pergi saja.”

“Non, daripada Non di siksa lagi, lebih baik Non menurut saja. Sekarang makanlah, saya akan mengambilkan semua keperluan Non untuk mandi dan baju ganti.”

Aliyah merasa putus asa. Tubuhnya terasa lemas. Ia teringat ketika hampir pingsan karena kelaparan, lalu Pinto menolongnya. Air matanya berlinang teringat kebaikan Pinto. Tahukah Pinto apa yang terjadi? Akankah dia menolongnya? Kata hati Aliyah.

“Non, makanlah.”

Aliyah meraih piring berisi nasi, ada ikan goreng dan ca sayur. Kalau saja dia tidak sedang tersiksa, makanan itu pasti dianggapnya makanan mewah, karena jarang sekali dia makan ikan. Sekali makan daging rendang, ketika Pinto memberikannya. Aduhai, lagi-lagi teringat Pinto.

Aliyah menyibakkan rambutnya yang awut-awutan. Farah merasa lega ketika melihat Aliyah menyuap makanannya. Kemudian dia berdiri, dan beranjak keluar dari kamar itu. Batin Aliyah teriris ketika mendengar suara kunci di pintu itu. Sadar bahwa dia terkunci lagi di kamar itu. Tapi kemudian ia juga sadar, bahwa dia harus makan, supaya punya kekuatan. Siapa tahu dia bisa melarikan diri.

***

“Kasihan sekali, tuan,” kata Farah ketika melintas disamping Alfian, yang masih saja termangu di atas sofa.

“Sudah aku bilang, jangan terpengaruh penampilannya, atau apa yang dikatakannya. Dia itu ular.”

Farah tak menjawab, lalu beranjak ke belakang. Dia mengambil sabun di almari persediaan, sikat gigi dan pasta giginya, lalu mengambilkan baju di kamarnya sendiri. Di rumah itu, hanya dia yang perempuan, jadi kalau mau memberikan baju ganti, pastinya juga harus mengambil di almari pakaiannya sendiri.

“Agak sungkan sih, masa non Narita aku beri baju ganti seperti ini,” gumam Farah sambil membuka almari bajunya dan memilih-milih.

“Tapi daripada pakaian yang tadi dipakainya? Hm, memang pintar sekali ya Non Narita berpura-pura. Hanya mau ke pasar saja, menyamar menjadi orang miskin, supaya tidak ketahuan tuan Alfian. Tapi wajahnya kan tidak bisa menipu. Kecuali kalau dia melakukan oplas. Kenapa tidak melakukannya ya,” Farah bergumam terus sambil mengambil salah satu baju terbaiknya, lalu membawa semuanya itu kembali ke kamar, dimana ‘Narita’ berada.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, March 29, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 07

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  07

(Tien Kumalasari)

 

“Kemana anak itu? Masa sih, dia mau menipu aku, melarikan uang belanja yang aku berikan? Masa, seandainya iya, dia sama sekali nggak takut, sementara rumahnya dekat rumahku? Tidak, pasti ada sesuatu,” gumam bu RT sambil melangkah pulang ke rumah.

“Ada kan?” tanya pak RT.

“Tidak ada. Rumahnya masih terkunci.”

“Lhah, dia pergi kemana?”

“Itulah yang aku tidak tahu. Kemana anak itu? Dia bilang oasarnya dekat, pasti ke pasar dimana aku selalu belanja. Perjalanan sambil berjalan kaki saja tidak sampai seperempat jam. Aku suruh naik taksi dia nggak mau, katanya mau naik becak saja.”

“Ini sudah hampir jam sebelas,” sambung pak RT.

“Maka dari itu. Pasti ada sesuatu. Aku akan menyusul ke pasar, barangkali dia masih di sana dan bingung bagaimana caranya pulang.”

“Bisa berangkat, masa nggak bisa pulang?” gumam pak RT.

“Mungkin ada sesuatu yang terjadi.”

“Aku tahu jawabannya.”

“Apa maksud Bapak?”

“Anak itu. Laki-laki bernama Pinto itu.”

“Maksudnya, Aliyah pergi ke sana?”

“Dia, laki-laki itu membawa lari Aliyah.”

“Mengapa juga dia membawa lari Aliyah? Tidak ada yang melarang dia mendekati Aliyah. Aliyah sudah dewasa, dan kalau Aliyah juga mau, siapa yang melarang?”

“Siapa tahu, dia merasa bahwa aku menghalangi niatnya, lalu saat dia membawa uang, dia ajak Aliyah kabur.”

“Uang cuma tiga ratus ribu. Masa uang segitu dipakai alasan untuk melarikan anak gadis?”

“Laki-laki itu bukan orang kaya. Hanya pegawai restoran. Paling juga pelayan. Uang tigaratus ribu itu bagi dia kan banyak.”

“Bapak ada-ada saja.”

“Percaya saja sama aku. Biar aku mencari ke tempat laki-laki itu.”

“Memangnya rumah dia di mana? Bapak tahu?”

“Kata Aliyah, dia bekerja di restoran dekat sini. Hanya ada beberapa restorah yang dekat dengan kampung kita, aku bisa bertanya-tanya,” kata pak RT sambil bersiap-siap. Dia berganti baju, lalu mengambil sepeda motornya.”

“Bapak yakin?”

“Sangat yakin. Pasti laki-laki itu menyembunyikannya, supaya bebas melakukan apa saja tanpa ada yang mengganggu,” kata pak RT lagi sambil keluar dari halaman dengan menuntun motornya, lalu mengendarainya menjauh.

“Suamiku itu pikirannya aneh-aneh saja. Aku kok malah berpikir, Aliyah mengalami kecelakaan. Ya Tuhan, kalau itu benar … tak seorang pun tahu di mana alamat Aliyah. Kecuali kalau Aliyah sadar dan bisa mengatakan di mana rumahnya. Tapi nyatanya tak ada yang mengabari ke mari. Kalau memberi kabar, pastinya ke rumah RT nya dulu, nyatanya tidak.  Kasihan anak itu, aku akan ke pasar sekarang juga.”

Bu RT memanggil taksi yang membawanya pergi ke pasar, menyusul Aliyah.

***

Sementara itu, Pak RT sudah bertanya-tanya tentang karyawan rumah makan yang ada di sekitar kampungnya, yang akhirnya menemukan Pinto, sedang melayani pelanggan. Pinto terkejut melihat pak RT datang. Ia mengira pak RT mau makan di rumah makan itu, tapi Pinto melihat dia hanya petentang-petenteng di depan pintu, sambil menatap ke arahnya. Begitu selesai melayani pembeli, Pinto segera menemuinya di luar.

“Pak RT mau makan?”

“Makan kepalamu itu,” makinya sangat kasar. Pak RT sangat membenci  Pinto yang dianggap saingannya dalam memperebutkan Aliyah..

Mata Pinto menyala mendengar umpatan kasar itu.

“Bisakah Bapak bicara lebih sopan?” kata Pinto sambil mengajaknya menjauh dari depan rumah makan itu,  di mana ada beberapa pelanggan yang sedang makan.

“Aku bisa bicara halus, tapi kepada orang yang mengerti tata krama. Kepada kamu, tak perlu aku berbasa basi. Mana Aliyah?”

Pinto tersentak.

“Bapak menanyakan Aliyah kemari? Aliyah belum mulai bekerja, saya baru akan mengabarinya sore nanti, bahwa dia diterima bekerja di rumah makan ini.”

“Apa maksudmu? Jangan berpura-pura menjadi pahlawan di depan aku. Bukankah kamu membawa lari Aliyah?”

“Membawa lari bagaimana maksud Bapak? Sejak pagi saya bekerja di sini. Saya tadi memang ketemu Aliyah yang lewat di depan sini, katanya mau belanja ke pasar, karena disuruh bu RT. Kenapa Bapak mengira saya membawa lari? Apa Aliyah belum kembali sejak ke pasar pagi tadi?” tanya Pinto yang tiba-tiba merasa khawatir.

“Kamu jangan banyak alasan. Aku bisa melaporkan kamu kepada polisi.”

“Laporkan saja. Sekarang, saya tunggu.”

Menyaksikan ada orang yang tampaknya ribut dengan karyawan rumah makan, Satpam yang sedang berjaga kemudian mendekatinya.

“Ada apa, Mas Pinto?”

“Bapak ini menuduh saya melarikan seorang gadis. Mas Satpam tahu kan, sejak pagi saya bertugas di sini dan tidak pergi ke mana-mana?”

“Iya. Mas Pinto ini bertugas sejak pagi, mengapa Bapak menuduhnya?” kata Satpam.

“Karena saya tahu gelagat yang tidak baik dari dia,” pak RT tetap bersikukuh menuduhnya.

“Dia mau melaporkannya pada polisi, saya persilakan. Saya tunggu di sini,” tantang Pinto, yang sebenarnya mengkhawatirkan Aliyah. Kalau pak RT menuduhnya membawa lari Aliyah, berarti Aliyah belum kembali sejak ke pasar tadi. Kemana dia? Pikir Pinto.

“Ayo, mengapa Bapak tidak segera pergi? Kantor polisi tak jauh dari sini. Saya tunggu. Dan jangan lupa, nama saya Pinto Rahmadi. Catat Pak.”

“Iya, lebih baik begitu. Kalau Bapak mau lapor, silakan lapor saja,” sambung satpam yang merasa kurang senang dengan sikap pak RT.

Tanpa menjawab sepatahpun, pak RT segera menaiki sepeda motornya, menuju ke arah kantor polisi. Padahal sebenarnya dia mulai ragu, karena dengan berani Pinto menantangnya. Apa berarti Pinto tidak melakukannya? Pikir pak RT.

Sementara itu Pinto melanjutkan tugasnya dengan pikiran dipenuhi rasa was-was. Ke mana Aliyah, sampai pak RT mencak-mencak menuduhnya melarikannya?

***

Ditengah jalan, pak RT bertemu sang istri yang sedang menaiki becak.

“Paaak … paaak, mau ke mana?”

Pak RT berhenti, lalu membalikkan motornya, menyeberang dan mengikuti becak yang ditumpangi sang istri.

Bu RT menyuruh pengemudi becak itu berhenti.

“Kamu dari mana?”

“Bapak yang dari mana saja, dan mau ke mana?” kesal bu RT karena sudah tahu kalau suaminya menuduh orang dengan membabi buta.

“Aku mau ke kantor polisi. Pinto, bocah itu, menantangku lapor polisi, akan aku lakukan.”

“Jangan gegabah, Bapak bisa dituduh melakukan laporan palsu. Bapak bisa dihukum, tahu.”

“Kamu kok malah memarahi aku sih, aku curiga pada laki-laki bernama Pinto itu.”

“Aku sudah tahu apa yang terjadi pada Aliyah. Seorang langgananku melihat Aliyah diculik oleh seorang pengendara mobil.”

“Apa? Aliyah diculik ?”

“Aliyah sedang membawa belanjaan, sedang mencari becak untuk pulang, tapi seorang pengendara mobil menariknya, memaksanya masuk ke dalam mobil itu. Kasihan Aliyah,” kata bu RT sedih.

Ia segera membayar becaknya, lalu meminta agar suaminya memboncengkannya pulang,

Disepanjang perjalanan, bu RT terus mengucapkan kata-kata penuh rasa kasihan kepada Aliyah.

***

 Pak RT menstandarkan motornya, lalu masuk ke dalam rumah. Sangat penasaran dia, mendengar Aliyah diculik. Siapa penculik itu?”

Bu RT yang mengikutinya masuk, langsung duduk di sofa, dengan wajah kusut.Pak RT mengikutinya, duduk di depan istrinya

“Jadi kamu tadi belanja lagi, untuk keperluan kamu?”

“Tidak, itu belanjaan Aliyah.”

“Kok bisa ?”

“Tadi tuh Aliyah sedang menunggu becak yang dipanggil, tiba-tiba seorang pengendara menariknya masuk ke mobil, belanjaannya berserakan, juga dompetnya. Tapi penjual buah yang ada di luar pasar kemudian mengambil semua belanjaan yang berserakan, juga dompet Aliyah. Ini di serahkannya sama aku. Karena aku bilang bahwa gadis itu aku suruh belanja. Dia mengatakan bahwa polisi sudah menanganinya, dan dompet Aliyah dibawa sebagai barang bukti. Tapi belanjaannya ditinggal di tukang buah, karena ada daging mentah segala, lalu tidak dibawa oleh polisi itu, atau entahlah, yang jelas tukang buah itu menyimpannya, berharap ada yang datang mencari Aliyah, baru dia menyerahkannya..”

“Apa tidak ada orang yang berteriak atau mencegahnya?”

“Kejadiannya begitu cepat, orang-orang hanya terkejut, lalu mobil itu sudah menghilang entah ke mana.”

“Kok aneh. Ya nggak mungkin kalau Aliyah punya musuh?”

“Ini membingungkan. Aliyah pasti sedih.”

“Pasti Aliyah akan dijual. Kan wajahnya cantik.”

“Aku menyesal menyuruhnya belanja.”

“Tahu begitu, tadi aku antar dia ke pasar. Aku kan bisa memboncengkan dia.”

“Bapak itu, dari tadi selalu memperhatikan Aliyah. Terus tadi Bapak mau ke kantor polisi ngapain. Orang tidak bersalah, tidak tahu apa buktinya kok melaporkan pada polisi. Apa Bapak kira polisi itu gampang menerima laporan? Bapak membawa bukti apa, coba? Polisi tak akan bertindak kalau tak ada bukti. Malah Bapak nanti bisa dituduh membuat laporan palsu. Bisa-bisa masuk penjara. Kalau bertindak itu dipikir. Tidak terburu nafsu. Gara-gara cemburu kan, sama Pinto, lalu sembarangan menuduh?”

“Kok jadi aku cemburu. Ngapain aku cemburu?”

“Memangnya aku ini bodoh? Cara Bapak memperlakukan Aliyah itu beda. Lebih-lebih cara memandangnya. Hm, dasar laki-laki tidak tahu diri. Ngaca pak, ngaca, Bapak itu sudah tua, sudah peot, mana mau Aliyah sama Bapak. Lha wong yang namanya Pinto itu ganteng. Dibandingkan sama Bapak, ya jauuh.”

“Ibu mengomel tidak karuan, dan ngawur. Ini permasalahannya kok merembet ke mana-mana. Malah aku yang dituduh macam-macam. Harusnya kita pikirkan, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan.”

“Bapak lapor polisi saja sana. Aku juga sedih memikirkan anak itu. Tapi jangan membawa-bawa nama Pinto. Kalau nanti Pinto marah, Bapak dihajar, Bapak berani melawan?”

***

Bu RT memasak dengan perasaan tak menentu. Ia harus meminta tolong salah seorang tetangganya, untuk mempersiapkan segalanya, karena arisan yang akan diadakan sore harinya juga akan membahas soal penting. Maklum, bu RT adalah penggerak para wanita di kampung itu, dan sangat aktif dalam setiap aksi sosial.

Walau begitu hati bu RT merasa tidak tenang. Pak RT sudah pergi ke kantor polisi yang ada di sekitar pasar untuk mencari keterangan tentang Aliyah.

Ketika itulah, tiba-tiba Pinto datang. Bu RT menemuinya di teras depan.

“Bagaimana Bu, saya bingung ketika pak RT mencari Aliyah ke tempat kerja saya, bahkan menuduh saya membawa lari Aliyah, padahal sejak pagi saya bekerja,” kata Pinto yang minta ijin untuk bekerja setengah hari saja, karena hatinya merasa tidak tenang.

“Pak RT itu memang orangnya begitu. Tidak bisa berpikir panjang dalam bertindak. Padahal dia kan ketua RT yang harusnya lebih bijaksana. Biasanya dia tidak begitu, pasti karena hatinya diliputi rasa panas.”

“Lalu sebenarnya Aliyah pergi ke mana? Ibu sudah menemuinya? Tadi saya ke rumahnya, pintunya terkunci.”

“Memang Aliyah belum pulang, Ia mendapat musibah.”

“Kecelakaan?” tanya Pinto cemas.

“Bukan kecelakaan. Kata orang yang melihatnya, dia sedang menunggu becak, tapi tiba-tiba ada mobil berhenti, lalu seorang laki-laki dalam mobil itu menarik paksa Aliyah, langsung memasukkannya ke dalam mobil, lalu mobil itu kabur.”

“Ya Tuhan, siapa laki-laki itu?”

“Tidak ada yang tahu. Kejadian ini sangat membingungkan. Aku juga pusing memikirkannya, sekaligus kasihan sama Aliyah. Dia itu tidak pernah bergaul sama siapa-siapa, kok tiba-tiba diculik, dosa dia itu apa, coba.”

“Sudah lapor polisi?”

“Tampaknya setelah kejadian itu polisi juga datang dan orang-orang melaporkan apa yang terjadi. Tapi tak seorangpun bisa memberi keterangan tentang mobil itu. Maklum, orang-orang pasar, ditanya mobilnya merk apa juga tidak ada yang tahu, apalagi ketika ditanya berapa nomor polisinya. Yah, polisi juga bingung. Mereka hanya bilang, mobilnya warna hitam. Kejadiannya begitu cepat.”

“Saya sangat prihatin mendengar kabar ini. Kami bersahabat belum lama, tapi sudah sangat dekat.”

“Nak Pinto pacaran sama Aliyah?”

“Tidak Bu, atau belum, entahlah. Kami baru bersahabat saja.”

“Sekarang ini kita hanya bisa menunggu. Semoga polisi bisa menguak peristiwa ini dan Aliyah segera kembali,” kata bu RT dengan wajah prihatin.

***

Aliyah sedang menangis di sebuah kamar yang terkunci. Ia tidak mengerti mengapa dibawa ke tempat itu. Kamar itu tidak begitu besar. Kosong tak ada perabot di dalamnya, jadi Aliyah hanya duduk bersandar pada tembok sambil mengalirkan air mata, tak henti-hentinya.

“Tolong keluarkan aku, aku salah apa? Tolooong,” Aliyah berteriak-teriak sambil menangis.

Tapi suaranya hanya menimbulkan gema yang membuatnya pusing, karena sepertinya tak ada seorangpun yang mendengar jerit dan tangisnya.

Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan kasar, lalu seseorang masuk, kemudian menutupkan pintunya dengan kasar pula.

Aliyah mengangkat wajahnya, seorang laki-laki berwajah tampan tapi bermata garang menatapnya sengit.

“Apa salahku? Biarkan aku pergi,” rintihnya.

Laki-laki itu mendekat, matanya seperti menyemburkan api. Aliyah sangat ketakutan.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, March 28, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 06

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  06

(Tien Kumalasari)

 

Aliyah meronta, karena pak RT seperti sengaja mendekapnya. Ketika berhasil melepaskan diri, Aliyah seperti terdorong, dan kembali hampr jatuh, tapi untunglah ada bu Rt yang tiba-tiba menahan tubuhnya.

“Ada apa sih ini? Kenapa Aliyah? Bapak melakukan apa?”

“Maaf Bu, maaf,” kata Aliyah dengan napas terengah. Ia merasa jijik karena pak RT bukan hanya menahan tubuhnya saat mau jatuh, tapi juga memeluknya erat.

“Itu lho Bu, tadi Aliyah hampir jatuh karena tersandung keset. Lalu aku berhasil menangkapnya."

“Lha sampai Aliyah mendorong-dorong Bapak begitu. Bapak sengaja memeluknya ya?” tuduh bu RT curiga, melihat tatapan aneh suaminya.

“Ibu ini kenapa. Kalau aku tidak menangkapnya, pasti Aliyah sudah jatuh. Untung aku bisa memeluknya.”

“Untung bisa memeluknya? Jadi Bapak merasa beruntung karena Aliyah hampir jatuh, lalu Bapak mendapat kesempatan memeluknya, begitu?”

“Waduh, pagi-pagi sudah menuduh yang bukan-bukan,” katanya sambil ngeloyor pergi, tapi diam-diam dia nyengir menyebalkan, tapi senang berhasil memeluk gadis kencur yang sudah sekian lama diincarnya.

“Bener juga, laki-laki kalau diberi kesempatan selalu mempergunakannya dengan maksud yang tidak baik. Bapak sendiri yang mengatakan bukan, dan itu terbukti,” omel bu RT. Pak RT sempat mendengarnya, tapi tak peduli. Dia langsung masuk ke kamar, membayangkan nikmatnya berhasil mendekap Aliyah. Ia berbaring di ranjang, memeluk guling.

Sementara itu Aliyah merasa sungkan karena bu RT tiba-tiba uring-uringan sama suaminya. Ia ingin pulang saja, tapi sudah berjanji mau membantu bu RT. Ia tak tahu harus berbuat apa.

“Yah, sudah, jangan dipikirkan. Ayo ke dapur, catatan sudah aku siapkan,” kata bu RT sambil menggandeng tangan Aliyah.

“Maaf ya, perlakuan pak RT tadi? Aku yakin dia hanya ingin menolong kamu,” kata bu RT berbohong, hanya untuk menenangkan hati Aliyah, padahal dia tahu gelagat suaminya. Tadi ia sempat melihat sang suami tidak sekedar menahan tubuh Aliyah, tapi juga sengaja memeluknya dan tidak melepaskannya kalau Aliyah tidak meronta dan mendorongnya.

Aliyah diam saja. Ia menerima catatan yang diberikan bu RT dan membacanya, barangkali ada yang tidak dimengertinya.

“Ini uangnya ya Yah, aku kira cukup kok. Nanti kalau membeli daging, pilih yang bagus, jangan yang banyak lapisan-lapisan putihnya.”

“Tapi saya tidak pernah membeli daging, bagaimana kalau_”

“Nanti kamu bilang saja sama penjualnya. Serat-serat putih itu diminta agar dibuang saja. Begitu.”

Aliyah mengangguk.

“Kamu naik taksi saja, supaya cepat.”

“Saya jalan kaki saja Bu, kan pasarnya dekat. Saya sudah sering ikut nenek ke pasar, ketika nenek ingin beli sarapan nasi urap,” kata Aliyah jujur.

Bu RT tersenyum. Aliyah ini benar-benar masih polos, selalu mengatakan apapun dengan terus terang, tanpa malu atau sungkan.

“Baiklah, tapi setelah belanja pasti bawaan kamu berat, karena ini agak banyak. Naik taksi lebih enak.”

“Saya tidak tahu, bagaimana mencari taksi. Saya naik becak saja.”

“Terserah kamu saja, yang penting kamu tidak keberatan. Sudah kamu baca semuanya? Ada yang nggak jelas?”

“Sudah Bu, saya sudah mengerti.”

“Baiklah, berangkatlah sekarang.”

Sepeninggal Aliyah, bu RT masuk ke kamar, dan kesal melihat suaminya meringkuk sambil memeluk guling.

“Bapak ini apa-apaan sih? Pagi-pagi tidur?” omelnya sambil menarik guling yang didekapnya.

“Ibu apa-apaan juga sih.”

“Ini pagi, mengapa tidur?”

“Habis, kamu mengomel terus. Menuduh yang bukan-bukan,” jawab pak RT sambil bangkit.

“Aku tuh punya mata ya Pak. Aku tahu bagaimana tadi perlakuan Bapak. Menemukan kesempatan memeluk daun muda, seneng kan? Aku juga melihat mata Bapak berkilat-kilat penuh nafsu.”

“Perempuan itu suka ngawur. Bicara semaunya, menuduh semaunya.”

“Menuduh itu kan ya ada alasannya. Ada asap pasti ada api lah Pak. Makanya, Bapak rajin ke rumah Aliyah. Nasi goreng, diantar sendiri, Aliyah ada tamu laki-laki, dicurigai, tadi pas Aliyah mau jatuh, mendapat kesempatan peluk-peluk. Hayo, mengelak!”

“Tuh kan, semakin ngawur,” kata pak RT sambil ngeloyor pergi.”

“Mau ke mana?” pekik bu RT.

“Kan kamu mau ada tamu nanti sore, aku mau menata kursi.”

Mendapat jawaban suaminya, bu RT diam. Ia memang butuh dibantu dengan menata kursi untuk tamu-tamu nanti sore. Tapi ia tetap mencatat kelakuan suaminya, dan merasa bahwa mulai sekarang  sang suami harus selalu diawasi.

***

 Aliyah berjalan ke arah pasar, sambil mengingat-ingat pesan bu RT. Tapi pikirannya selalu terganggu akan perlakuan pak RT kepadanya. Nanti ia harus kembali ke rumah itu, dan pastinya ketemu pak RT lagi. Aliyah ingin menolak saja permintaan bu RT, tapi sungkan. Bu RT selalu bersikap baik padanya. Aliyah merasa risih dan jijik ketika tubuhnya disentuh pak RT. Sebenarnya ia ingin pulang terlebih dulu dan mandi, tapi bu RT kelihatannya berharap dirinya bisa buru-buru kembali ke rumah dengan membawa belanjaan. Akhirnya Aliyah harus bersabar. Tapi dia berjanji akan mencuci tubuhnya bersih-bersih. Kalau perlu akan dihabiskan semua sabun mandinya agar tak terasa lagi sentuhan laki-laki yang menjijikkan itu. Sekarang ia sangat berharap agar segera bisa mendapatkan pekerjaan, sehingga ia tak harus sering-sering pergi ke rumah pak RT, walau bu RT membutuhkan pertolongannya.

“Aliyah!!”

Aliyah berhenti melangkah. Ia mengenal suara orang yang memanggilnya. Rupanya dia melewati rumah makan, di mana Pinto bekerja.

“Mas Pinto?” panggilnya dengan wajah berseri. Pinto seperti kakaknya, selalu menjaga dan memperhatikannya. Dengan Pinto, ia merasa tak sendirian.

“Mau ke mana?”

“Ke pasar, bu RT meminta aku untuk belanja.”

“Jalan kaki saja?”

“Pasar kan tidak jauh? Pulangnya saja, karena membawa belanjaan, aku mau naik becak.”

“Ya sudah, kamu hati-hati ya.”

“Tugas pagi Mas?”

“Iya. Sedianya nanti sore aku mau ke rumah kamu, tapi sungkan sama pak RT.”

“Memangnya kenapa? Aku bukan anaknya. Dia tak berhak melarang aku berteman dengan siapapun dong,” kata Aliyah kesal.

“Baiklah, kan kita tidak melakukan apa-apa?”

“Kita kan hanya bersahabat, dan Mas Pinto sudah aku anggap sebagai kakak aku.”

Pinto kehilangan senyumnya. Mengapa dirinya hanya dianggap kakak? Sebenarnya Pinto ingin lebih dekat sama Aliyah, bukan sekedar sahabat, atau kakak dan adik. Ia ingin lebih. Aliyah yang lugu, tapi cantik dan baik hati, adalah wanita yang diidamkannya. Ia harus mengakui, bahwa dia jatuh cinta sama dia.

“Ya sudah Mas, nanti sore saja kita ketemu, soalnya aku harus buru-buru.”

“Baiklah Aliyah, sama aku ingin mengabarkan sama kamu, bahwa pembantu di dapur berkurang satu karena ibu pembantu itu sakit di kampung. Aku sedang mengajukan kepada manager, agar kamu bisa diterima.”

Aliyah berjingkrak. Wajahnya berseri, matanya berbinar.

“Benarkah?” dan karena kegembiraan itu, Aliyah memegangi tangan Pinto, meremasnya erat, membuat Pinto berdebar kemudian dengan halus melepaskan pegangan itu. Aliyah segera sadar diri.

“Maaf. Saking gembiranya aku, Mas.”

“Semoga permintaanku dikabulkan. Itu sebabnya aku nanti sore bermaksud ke rumah kamu.”

“Iya Mas, sore nanti, aku pasti sudah ada di rumah. Aku tunggu ya Mas,” kata Aliyah sambil berlalu.

Pinto menatap punggung Aliyah dengan mata meredup. Dalam hati ia berharap, Aliyah tidak sekedar menganggapnya sebagai kakak.

***

Sebuah mobil mewat melintas, menyusuri jalanan yang mulai ramai, karena di hari Minggu, banyak orang bepergian untuk berlibur.

“Tuan, kita mau ke mana lagi? Sudah sejak pagi buta kita berputar-putar,” kata Kirman sang sopir, mengingatkan majikannya.

“Entahlah. Pikiranku kacau. Aku berharap bisa bertemu Narita.”

“Tuan mencari non Narita? Menurut tuan, apakah dia masih berada di kota ini? Kalau dia kabur, berarti dia sudah pergi jauh. Jadi sebaiknya tuan menyerahkannya kepada polisi.”

Alfi, laki-laki ganteng yang menjadi majikannya, terdiam. Wajahnya tampak gelisah.

“Man, apa kamu pernah jatuh cinta?” tanya Alfian tiba-tiba.

“Mengapa tuan menanyakannya?”

“Hanya bertanya, kamu tinggal menjawab. Susah kah?”

“Tidak susah sih tuan.”

“Kalau begitu jawablah.”

“Ya, saya pernah jatuh cinta, sama gadis sekampung saya.”

“Dilamar dong.”

“Sudah kedahuluan orang, tuan.”

“Bodoh. Kamu terlalu gemuk, jadi gerakan kamu kurang lincah. Pantas kalau sampai kedahuluan orang lain.”

“Ya karena saya gemuk, lalu tidak tampan, maka kalah sama yang badannya ramping, tubuhnya tinggi besar, ganteng, walaupun tidak begitu kaya.”

“Kamu itu gemuk, tapi kamu kuat. Bukankah kamu pernah jadi jago karate?”

“Iya sih tuan, tapi tidak bisa dong, melamar gadis dengan menunjukkan sertifikat sebagai jago karate. Itu kan saya sertakan ketika saya melamar menjadi sopir tuan.”

Alfian tertawa, lirih, merasa sedikit lucu. Tapi kelucuan itu sama sekali tidak menghibur. Dia kehilangan. Bukan hanya harta benda, tapi juga cintanya. Ia sadar bahwa dirinya sangat mencintai Narita. Kehilangan dia, ia merasa separuh jiwanya sudah pergi, membuatnya tak bersemangat. Tapi kepergian itu juga membuat kemarahannya memuncak. Marah karena dikhianati, marah karena dibohongi. Bodohnya dirinya, karena terlalu terbius oleh kecantikannya, kemudian lupa segalanya. Apapun yang diminta sang kekasih, diberikannya. Karti kredit sudah dihabiskannya, perhiasan yang serba mahal, sekotak penuh, sudah diberikannya, mobil? Sudah dibawanya pula. Sekarang dimana? Di mana harta? Di mana cinta? Alfian menggaruk kepalanya dengan sedih dan marah.

Kirman menoleh, menatap majikannya dengan iba.

“Tuan, mengapa tuan bersedih? Harta ayah tuan masih berlimpah. Gadis cantik ada di mana-mana. Tuan tinggal memilih, siapa yang akan menolak tuan?”

Alfian menghela napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kasar.

“Kamu tahu Man? Aku sangat mencintai Narita.”

“Banyak gadis lain yang lebih cantik tuan.”

“Cinta dan senang itu berbeda Man. Sulit menghilangkan cinta. Tapi aku juga sangat membecinya. Dia penghianat busuk! Penipu jahat. Aku menyesal telah jatuh cinta sama dia.”

“Ketika seseorang sakit, semuanya memang kemudian terasa sakit. Tapi sakit itu perlahan akan sembuh dengan sendirinya.”

“Ini bukan sakit perut atau sakit kepala Man,” kesal Alfian.

“Saya tahu, ini sakit cinta. Tapi cinta itu tak bisa dikejar, tuan. Ketika gadis yang saya cintai memilih laki-laki lain, saya juga merasa sakit. Tapi sekarang sakit itu telah sembuh. Saya sudah melupakannya. Cinta itu seperti angin. Dia bisa datang, tapi juga bisa lewat begitu saja.”

Alfian tak menjawab. Kirman bisa mengatakannya, karena dia tak terlibat dalam cinta itu. Yang jatuh cinta adalah dirinya, mana mungkin Kirman bisa mengerti?

“Narita … Narita … “

“Kalau seandainya tuan bertemu dia, apa yang akan tuan lakukan? Memaafkannya, dan menerima dia kembali?”

“Tidak.”

“Lalu.”

“Aku akan menghajarnya, menyiksanya, sampai dia meminta ampun, lalu aku minta semua hartaku, kemudian menendangnya dari kehidupan aku.”

“Katanya tuan cinta?”

“Cinta tidak mengenal penghianat. Walau cinta, tapi penghianatan harus dibalas dengan kejam.”

“Tuan sadis sekali.”

“Apa katamu? Yang sadis itu si penipu, mengapa aku?”

“Iya sih, tapi kalau benar tuan melakukannya, menyiksanya, bukankah itu kejam?”

“Dia juga berlaku kejam sama aku. Aku harus membalasnya dengan kekejaman yang berlipat,” geram Alfian.

Kirman terdiam. Tuan ganteng majikannya sedang diamuk kemarahan. Karena cinta yang dikhianati. Karenanya dia tak lagi menambah komentar, agar sang tuan bisa mengendapkan perasaannya.

Tapi tiba-tiba Alfian berteriak.

“Man … Man … Berhenti Man!!”

Kirman mengerem mobilnya tiba-tiba, sehingga mengeluarkan bunyi berderit yang mengejutkan orang di sekelilingnya.

***

Bu RT sedang meracik bumbu-bumbu, dan memasak apapun yang bahannya sudah tersedia. Ia menoleh ke arah jam dinding.

“Jam sepuluh? Kenapa Aliyah belum kembali?”

Bu RT bergegas ke depan, di mana pak RT sedang memasang taplak-taplak di meja yang sudah ditata.

“Pak, kok Aliyah belum kembali ya?”

“Kok tanya sama aku? Aku nggak ikutan, nanti kamu marah lagi.”

“Tapi ini sudah jam sepuluh. Jam tujuh tadi Aliyah sudah berangkat. Masa dia belum kembali?”

“Barangkali pulang ke rumahnya dulu.”

“Masa sih belanja untuk kita, dia malah pulang ke rumahnya dulu?”

“Barangkali dia beli sesuatu dan meletakkannya di rumah terlebih dulu. Biar aku lihat?” kata pak RT bersemangat.

“Tidak … tidak … biar aku saja. Bapak ke dapur dulu, aku sedang menggoreng pisang, jaga dan entas kalau sudah warna kekuningan, awas, jangan sampai gosong,” kata bu RT tanpa menunggu persetujuan suaminya. Pak RT kemudian beranjak ke dapur dengan lesu.

Bu RT sampai di rumah Aliyah, tapi rumah itu masih tertutup. Bahkan terkunci.

“Haah? Kemana Aliyah?”

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...