Tuesday, March 28, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 06

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  06

(Tien Kumalasari)

 

Aliyah meronta, karena pak RT seperti sengaja mendekapnya. Ketika berhasil melepaskan diri, Aliyah seperti terdorong, dan kembali hampr jatuh, tapi untunglah ada bu Rt yang tiba-tiba menahan tubuhnya.

“Ada apa sih ini? Kenapa Aliyah? Bapak melakukan apa?”

“Maaf Bu, maaf,” kata Aliyah dengan napas terengah. Ia merasa jijik karena pak RT bukan hanya menahan tubuhnya saat mau jatuh, tapi juga memeluknya erat.

“Itu lho Bu, tadi Aliyah hampir jatuh karena tersandung keset. Lalu aku berhasil menangkapnya."

“Lha sampai Aliyah mendorong-dorong Bapak begitu. Bapak sengaja memeluknya ya?” tuduh bu RT curiga, melihat tatapan aneh suaminya.

“Ibu ini kenapa. Kalau aku tidak menangkapnya, pasti Aliyah sudah jatuh. Untung aku bisa memeluknya.”

“Untung bisa memeluknya? Jadi Bapak merasa beruntung karena Aliyah hampir jatuh, lalu Bapak mendapat kesempatan memeluknya, begitu?”

“Waduh, pagi-pagi sudah menuduh yang bukan-bukan,” katanya sambil ngeloyor pergi, tapi diam-diam dia nyengir menyebalkan, tapi senang berhasil memeluk gadis kencur yang sudah sekian lama diincarnya.

“Bener juga, laki-laki kalau diberi kesempatan selalu mempergunakannya dengan maksud yang tidak baik. Bapak sendiri yang mengatakan bukan, dan itu terbukti,” omel bu RT. Pak RT sempat mendengarnya, tapi tak peduli. Dia langsung masuk ke kamar, membayangkan nikmatnya berhasil mendekap Aliyah. Ia berbaring di ranjang, memeluk guling.

Sementara itu Aliyah merasa sungkan karena bu RT tiba-tiba uring-uringan sama suaminya. Ia ingin pulang saja, tapi sudah berjanji mau membantu bu RT. Ia tak tahu harus berbuat apa.

“Yah, sudah, jangan dipikirkan. Ayo ke dapur, catatan sudah aku siapkan,” kata bu RT sambil menggandeng tangan Aliyah.

“Maaf ya, perlakuan pak RT tadi? Aku yakin dia hanya ingin menolong kamu,” kata bu RT berbohong, hanya untuk menenangkan hati Aliyah, padahal dia tahu gelagat suaminya. Tadi ia sempat melihat sang suami tidak sekedar menahan tubuh Aliyah, tapi juga sengaja memeluknya dan tidak melepaskannya kalau Aliyah tidak meronta dan mendorongnya.

Aliyah diam saja. Ia menerima catatan yang diberikan bu RT dan membacanya, barangkali ada yang tidak dimengertinya.

“Ini uangnya ya Yah, aku kira cukup kok. Nanti kalau membeli daging, pilih yang bagus, jangan yang banyak lapisan-lapisan putihnya.”

“Tapi saya tidak pernah membeli daging, bagaimana kalau_”

“Nanti kamu bilang saja sama penjualnya. Serat-serat putih itu diminta agar dibuang saja. Begitu.”

Aliyah mengangguk.

“Kamu naik taksi saja, supaya cepat.”

“Saya jalan kaki saja Bu, kan pasarnya dekat. Saya sudah sering ikut nenek ke pasar, ketika nenek ingin beli sarapan nasi urap,” kata Aliyah jujur.

Bu RT tersenyum. Aliyah ini benar-benar masih polos, selalu mengatakan apapun dengan terus terang, tanpa malu atau sungkan.

“Baiklah, tapi setelah belanja pasti bawaan kamu berat, karena ini agak banyak. Naik taksi lebih enak.”

“Saya tidak tahu, bagaimana mencari taksi. Saya naik becak saja.”

“Terserah kamu saja, yang penting kamu tidak keberatan. Sudah kamu baca semuanya? Ada yang nggak jelas?”

“Sudah Bu, saya sudah mengerti.”

“Baiklah, berangkatlah sekarang.”

Sepeninggal Aliyah, bu RT masuk ke kamar, dan kesal melihat suaminya meringkuk sambil memeluk guling.

“Bapak ini apa-apaan sih? Pagi-pagi tidur?” omelnya sambil menarik guling yang didekapnya.

“Ibu apa-apaan juga sih.”

“Ini pagi, mengapa tidur?”

“Habis, kamu mengomel terus. Menuduh yang bukan-bukan,” jawab pak RT sambil bangkit.

“Aku tuh punya mata ya Pak. Aku tahu bagaimana tadi perlakuan Bapak. Menemukan kesempatan memeluk daun muda, seneng kan? Aku juga melihat mata Bapak berkilat-kilat penuh nafsu.”

“Perempuan itu suka ngawur. Bicara semaunya, menuduh semaunya.”

“Menuduh itu kan ya ada alasannya. Ada asap pasti ada api lah Pak. Makanya, Bapak rajin ke rumah Aliyah. Nasi goreng, diantar sendiri, Aliyah ada tamu laki-laki, dicurigai, tadi pas Aliyah mau jatuh, mendapat kesempatan peluk-peluk. Hayo, mengelak!”

“Tuh kan, semakin ngawur,” kata pak RT sambil ngeloyor pergi.”

“Mau ke mana?” pekik bu RT.

“Kan kamu mau ada tamu nanti sore, aku mau menata kursi.”

Mendapat jawaban suaminya, bu RT diam. Ia memang butuh dibantu dengan menata kursi untuk tamu-tamu nanti sore. Tapi ia tetap mencatat kelakuan suaminya, dan merasa bahwa mulai sekarang  sang suami harus selalu diawasi.

***

 Aliyah berjalan ke arah pasar, sambil mengingat-ingat pesan bu RT. Tapi pikirannya selalu terganggu akan perlakuan pak RT kepadanya. Nanti ia harus kembali ke rumah itu, dan pastinya ketemu pak RT lagi. Aliyah ingin menolak saja permintaan bu RT, tapi sungkan. Bu RT selalu bersikap baik padanya. Aliyah merasa risih dan jijik ketika tubuhnya disentuh pak RT. Sebenarnya ia ingin pulang terlebih dulu dan mandi, tapi bu RT kelihatannya berharap dirinya bisa buru-buru kembali ke rumah dengan membawa belanjaan. Akhirnya Aliyah harus bersabar. Tapi dia berjanji akan mencuci tubuhnya bersih-bersih. Kalau perlu akan dihabiskan semua sabun mandinya agar tak terasa lagi sentuhan laki-laki yang menjijikkan itu. Sekarang ia sangat berharap agar segera bisa mendapatkan pekerjaan, sehingga ia tak harus sering-sering pergi ke rumah pak RT, walau bu RT membutuhkan pertolongannya.

“Aliyah!!”

Aliyah berhenti melangkah. Ia mengenal suara orang yang memanggilnya. Rupanya dia melewati rumah makan, di mana Pinto bekerja.

“Mas Pinto?” panggilnya dengan wajah berseri. Pinto seperti kakaknya, selalu menjaga dan memperhatikannya. Dengan Pinto, ia merasa tak sendirian.

“Mau ke mana?”

“Ke pasar, bu RT meminta aku untuk belanja.”

“Jalan kaki saja?”

“Pasar kan tidak jauh? Pulangnya saja, karena membawa belanjaan, aku mau naik becak.”

“Ya sudah, kamu hati-hati ya.”

“Tugas pagi Mas?”

“Iya. Sedianya nanti sore aku mau ke rumah kamu, tapi sungkan sama pak RT.”

“Memangnya kenapa? Aku bukan anaknya. Dia tak berhak melarang aku berteman dengan siapapun dong,” kata Aliyah kesal.

“Baiklah, kan kita tidak melakukan apa-apa?”

“Kita kan hanya bersahabat, dan Mas Pinto sudah aku anggap sebagai kakak aku.”

Pinto kehilangan senyumnya. Mengapa dirinya hanya dianggap kakak? Sebenarnya Pinto ingin lebih dekat sama Aliyah, bukan sekedar sahabat, atau kakak dan adik. Ia ingin lebih. Aliyah yang lugu, tapi cantik dan baik hati, adalah wanita yang diidamkannya. Ia harus mengakui, bahwa dia jatuh cinta sama dia.

“Ya sudah Mas, nanti sore saja kita ketemu, soalnya aku harus buru-buru.”

“Baiklah Aliyah, sama aku ingin mengabarkan sama kamu, bahwa pembantu di dapur berkurang satu karena ibu pembantu itu sakit di kampung. Aku sedang mengajukan kepada manager, agar kamu bisa diterima.”

Aliyah berjingkrak. Wajahnya berseri, matanya berbinar.

“Benarkah?” dan karena kegembiraan itu, Aliyah memegangi tangan Pinto, meremasnya erat, membuat Pinto berdebar kemudian dengan halus melepaskan pegangan itu. Aliyah segera sadar diri.

“Maaf. Saking gembiranya aku, Mas.”

“Semoga permintaanku dikabulkan. Itu sebabnya aku nanti sore bermaksud ke rumah kamu.”

“Iya Mas, sore nanti, aku pasti sudah ada di rumah. Aku tunggu ya Mas,” kata Aliyah sambil berlalu.

Pinto menatap punggung Aliyah dengan mata meredup. Dalam hati ia berharap, Aliyah tidak sekedar menganggapnya sebagai kakak.

***

Sebuah mobil mewat melintas, menyusuri jalanan yang mulai ramai, karena di hari Minggu, banyak orang bepergian untuk berlibur.

“Tuan, kita mau ke mana lagi? Sudah sejak pagi buta kita berputar-putar,” kata Kirman sang sopir, mengingatkan majikannya.

“Entahlah. Pikiranku kacau. Aku berharap bisa bertemu Narita.”

“Tuan mencari non Narita? Menurut tuan, apakah dia masih berada di kota ini? Kalau dia kabur, berarti dia sudah pergi jauh. Jadi sebaiknya tuan menyerahkannya kepada polisi.”

Alfi, laki-laki ganteng yang menjadi majikannya, terdiam. Wajahnya tampak gelisah.

“Man, apa kamu pernah jatuh cinta?” tanya Alfian tiba-tiba.

“Mengapa tuan menanyakannya?”

“Hanya bertanya, kamu tinggal menjawab. Susah kah?”

“Tidak susah sih tuan.”

“Kalau begitu jawablah.”

“Ya, saya pernah jatuh cinta, sama gadis sekampung saya.”

“Dilamar dong.”

“Sudah kedahuluan orang, tuan.”

“Bodoh. Kamu terlalu gemuk, jadi gerakan kamu kurang lincah. Pantas kalau sampai kedahuluan orang lain.”

“Ya karena saya gemuk, lalu tidak tampan, maka kalah sama yang badannya ramping, tubuhnya tinggi besar, ganteng, walaupun tidak begitu kaya.”

“Kamu itu gemuk, tapi kamu kuat. Bukankah kamu pernah jadi jago karate?”

“Iya sih tuan, tapi tidak bisa dong, melamar gadis dengan menunjukkan sertifikat sebagai jago karate. Itu kan saya sertakan ketika saya melamar menjadi sopir tuan.”

Alfian tertawa, lirih, merasa sedikit lucu. Tapi kelucuan itu sama sekali tidak menghibur. Dia kehilangan. Bukan hanya harta benda, tapi juga cintanya. Ia sadar bahwa dirinya sangat mencintai Narita. Kehilangan dia, ia merasa separuh jiwanya sudah pergi, membuatnya tak bersemangat. Tapi kepergian itu juga membuat kemarahannya memuncak. Marah karena dikhianati, marah karena dibohongi. Bodohnya dirinya, karena terlalu terbius oleh kecantikannya, kemudian lupa segalanya. Apapun yang diminta sang kekasih, diberikannya. Karti kredit sudah dihabiskannya, perhiasan yang serba mahal, sekotak penuh, sudah diberikannya, mobil? Sudah dibawanya pula. Sekarang dimana? Di mana harta? Di mana cinta? Alfian menggaruk kepalanya dengan sedih dan marah.

Kirman menoleh, menatap majikannya dengan iba.

“Tuan, mengapa tuan bersedih? Harta ayah tuan masih berlimpah. Gadis cantik ada di mana-mana. Tuan tinggal memilih, siapa yang akan menolak tuan?”

Alfian menghela napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kasar.

“Kamu tahu Man? Aku sangat mencintai Narita.”

“Banyak gadis lain yang lebih cantik tuan.”

“Cinta dan senang itu berbeda Man. Sulit menghilangkan cinta. Tapi aku juga sangat membecinya. Dia penghianat busuk! Penipu jahat. Aku menyesal telah jatuh cinta sama dia.”

“Ketika seseorang sakit, semuanya memang kemudian terasa sakit. Tapi sakit itu perlahan akan sembuh dengan sendirinya.”

“Ini bukan sakit perut atau sakit kepala Man,” kesal Alfian.

“Saya tahu, ini sakit cinta. Tapi cinta itu tak bisa dikejar, tuan. Ketika gadis yang saya cintai memilih laki-laki lain, saya juga merasa sakit. Tapi sekarang sakit itu telah sembuh. Saya sudah melupakannya. Cinta itu seperti angin. Dia bisa datang, tapi juga bisa lewat begitu saja.”

Alfian tak menjawab. Kirman bisa mengatakannya, karena dia tak terlibat dalam cinta itu. Yang jatuh cinta adalah dirinya, mana mungkin Kirman bisa mengerti?

“Narita … Narita … “

“Kalau seandainya tuan bertemu dia, apa yang akan tuan lakukan? Memaafkannya, dan menerima dia kembali?”

“Tidak.”

“Lalu.”

“Aku akan menghajarnya, menyiksanya, sampai dia meminta ampun, lalu aku minta semua hartaku, kemudian menendangnya dari kehidupan aku.”

“Katanya tuan cinta?”

“Cinta tidak mengenal penghianat. Walau cinta, tapi penghianatan harus dibalas dengan kejam.”

“Tuan sadis sekali.”

“Apa katamu? Yang sadis itu si penipu, mengapa aku?”

“Iya sih, tapi kalau benar tuan melakukannya, menyiksanya, bukankah itu kejam?”

“Dia juga berlaku kejam sama aku. Aku harus membalasnya dengan kekejaman yang berlipat,” geram Alfian.

Kirman terdiam. Tuan ganteng majikannya sedang diamuk kemarahan. Karena cinta yang dikhianati. Karenanya dia tak lagi menambah komentar, agar sang tuan bisa mengendapkan perasaannya.

Tapi tiba-tiba Alfian berteriak.

“Man … Man … Berhenti Man!!”

Kirman mengerem mobilnya tiba-tiba, sehingga mengeluarkan bunyi berderit yang mengejutkan orang di sekelilingnya.

***

Bu RT sedang meracik bumbu-bumbu, dan memasak apapun yang bahannya sudah tersedia. Ia menoleh ke arah jam dinding.

“Jam sepuluh? Kenapa Aliyah belum kembali?”

Bu RT bergegas ke depan, di mana pak RT sedang memasang taplak-taplak di meja yang sudah ditata.

“Pak, kok Aliyah belum kembali ya?”

“Kok tanya sama aku? Aku nggak ikutan, nanti kamu marah lagi.”

“Tapi ini sudah jam sepuluh. Jam tujuh tadi Aliyah sudah berangkat. Masa dia belum kembali?”

“Barangkali pulang ke rumahnya dulu.”

“Masa sih belanja untuk kita, dia malah pulang ke rumahnya dulu?”

“Barangkali dia beli sesuatu dan meletakkannya di rumah terlebih dulu. Biar aku lihat?” kata pak RT bersemangat.

“Tidak … tidak … biar aku saja. Bapak ke dapur dulu, aku sedang menggoreng pisang, jaga dan entas kalau sudah warna kekuningan, awas, jangan sampai gosong,” kata bu RT tanpa menunggu persetujuan suaminya. Pak RT kemudian beranjak ke dapur dengan lesu.

Bu RT sampai di rumah Aliyah, tapi rumah itu masih tertutup. Bahkan terkunci.

“Haah? Kemana Aliyah?”

***

Besok lagi ya.

 

31 comments:

  1. Alamdulillah CeBeE_06 sdh tayang....
    Matur nuwun, bu Tien.
    Mugi enggal dhangan padaranipun... Kersa dahar sing lahap gitu, lhoh.....
    Salam SEROJA dan tetap berkarya....

    ReplyDelete
  2. Maturnuwun Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun Bu Tien, mugi enggal dhangan

    ReplyDelete
  4. πŸŒ·πŸŒΏπŸŒ·πŸŒΏπŸ¦‹πŸŒΏπŸŒ·πŸŒΏπŸŒ·
    Alhamdulillah CBE 06 telah
    hadir.Matur nuwun Bu Tien.
    Semoga sehat selalu &
    tetap smangaats.
    Salam Aduhai...
    πŸŒ·πŸŒΏπŸŒ·πŸŒΏπŸ¦‹πŸŒΏπŸŒ·πŸŒΏπŸŒ·

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah terima kasih bu tien CBE 6 sdh tayang... semoga bu tien selalu sehat

    ReplyDelete
  6. Terima kasih, ibu Tien cantiik.... semoga sehat sekeluarga dan lancar puasanya...

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah Maturnuwun.semoga selalu Sehat tetap semangat nggih Bunda

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah bunda..slmt mlm..KBE nya sdh tayang..slm seroja unk bunda..sht sll y bundaπŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, smlt menjalankan iibadah saum Ramadhan smg sehat2 selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu
    Dan tetap semangat

    ReplyDelete
  13. Waduh
    Aliyah diculik.
    Ketemu orang gila lagi; semoga orang yang ada didekat Aliyah ada yang mbantu, dengar teriakan Aliyah minta tolong, mengejar penculik yang pakai mobil.
    Nggak tahu tuh mau dibawa kemana, kasihan sengsara banget, baru sercercah harapan berharap dapat kerja, eh malah disamber orang gila dipinggir jalan, ini yang pusing tambah pusing.
    Kemana dia..
    Apa neneknya nggak cerita kalau Iyah punya kemiripan wajah pada salah satu saudaranya, waktu rumahnya kesapu banjir bandang yang kebetulan ditemukan orang laen.
    Salah asuh lagi
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku, jaga kesehatan.
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~06 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..πŸ™

    ReplyDelete
  15. Adakah orang yang melihat Aliyah diculik?? Mudah mudahan ada, terus lapor ke yang berwajib. Tapi kalau tidak ada yang peduli...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Nah ini yg saya tunggu...bu RT mulai curiga dengan tingkah laku suaminya...πŸ˜€

    Trmksh bu Tien...pasti seru nih liku2nya.πŸ‘πŸ‘

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah CBE-06 sdh hadir
    Aliyah belum datang, jangan2 diculik Alfian
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun mbak Tien, mugi enggal Dangan

    Reply

    ReplyDelete
  19. Terima kasih mbak Tien, salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  21. Terima kasih Bu Tien
    Semoga Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat
    Aliyah diculik ,,,,😌

    ReplyDelete
  24. Terimakasih Bu Tien yang selalu setia memberikan bacaan kepada kami, sehat2 selalu ya Bu dalam menjalankan puasa Ramadhan, salam aduhaaiiiiii

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...