Friday, June 30, 2023

SEBUAH PESAN 32

 SEBUAH PESAN  32

(Tien Kumalasari)

 

Damian mengutarakan semua yang dipikirkannya. Biarlah dia miskin, tapi jangan sampai orang kaya merendahkannya.

“Baiklah, aku hargai apa yang ada di dalam pikiran kamu. Kapan kamu mau melamar anakku?” tanya pak Rahman kemudian.

“Kalau keluarga Bapak sudah memikirkannya secara matang, agar tidak ada sesal dikemudian hari, dan Non Raya bersedia hidup sederhana bersama saya.”

“Aku jawab saja sekarang, kami siap menerima kamu,” kata pak Rahman tandas.

Damian menundukkan kepala. Dia merasa sudah kepalang basah. Apa yang diucapkannya sudah menunjukkan kesanggupan dirinya untuk segera melamar Raya. Seperti mimpi rasanya ketika dia melangkahkan kaki meninggalkan halaman rumah pak Rahman. Bukankah seharusnya dia bahagia? Mendapatkan istri cantik yang selalu datang disetiap mimpinya, dan membayang setiap desah napasnya. Tapi Damian sadar. Sebagai seorang laki-laki, dia pantang untuk mundur. Kepalang melangkah dan sudah basah, dia kemudian mempersiapkan diri untuk menapak ke kehidupan yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Berumah tangga.

Sepeninggal Damian, pak Rahman geleng-geleng kepala. Ia belum pernah menemui orang yang begitu keras kepala seperti Damian. Pak Rahman mengatakannya begitu, karena walau kekurangan,  Damian tak bersedia menerima sedikitpun bantuan darinya. Bukankah itu keras kepala?

“Sejak kemarin-kemarin ibu sudah bilang, dia itu laki-laki sombong. Sudah miskin, sombong pula. Nggak ada yang menarik dari dia, kecuali tampangnya. Tapi buat apa tampang ganteng tapi melarat?” omelnya ketika pak Rahman menceritakan tentang penolakan Damian.

“Ya sudah, menurut bapak, ada sisi baik yang menarik dari dia. Tampaknya dia laki-laki yang bertanggung jawab.”

“Bapak sudah benar-benar menyukai Damian. Jangan-jangan Bapak diguna-guna.”

“Jangan mempunyai pikiran buruk, itu jahat namanya.”

“Ini sebuah petaka Pak, sungguh ibu tidak suka.”

“Yang menjalani itu anak kamu. Ini bukan petaka. Bapak kan sudah bilang, bicaralah yang baik-baik untuk anak kamu.”

“Lalu apa yang akan Bapak lakukan?”

“Kita menunggu dia melamar, dia sudah sanggup, lalu kita akan menikahkan mereka. Jangan sampai kita dibebani oleh kemarahan yang membakar hati kita. Ini demi anak kita. Biarkanlah dia bahagia dengan pilihannya.”

“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi aku tidak mau melihat Raya sengsara. Ketika ibu melihat Raya hidup susah, aku akan meminta gembel itu menceraikannya,” kata bu Rahman tandas, sambil meninggalkan suaminya. Wajahnya sangat kusut. Ia beranjak ke belakang, menemui bik Sarti yang sedang menyiapkan makan malam.

“Ya Nyonya, apa yang Nyonya perlukan?”

“Buatkan jus dingin untuk aku,” katanya sambil duduk di kursi dapur.”

“Ada jus mangga. Baru saja saya membuatnya. Atau Nyonya ingin yang lain? Ada jambu sama tomat juga.”

“Tidak, yang sudah ada saja. Gerah rasanya, pengin yang dingin-dingin.”

Bik Sarti menuangkan jus nya ke dalam gelas, diletakkannya di atas nampan.

“Nyonya, ini saya letakkan di ruang makan … atau …”

“Taruh di meja sini saja. Aku mau minum di sini,” katanya dengan nada tinggi.

“Baik, Nyonya,” kata bik Sarti sambil meletakkan gelasnya di meja. Diam-diam bik Sarti tersenyum dalam hati. Ia ingat ketika bu Rahman meledek Raya saat makan di dapur. Bu Rahman seperti mengatakan bahwa Raya sedang latihan menjadi orang miskin. Tapi sekarang dia juga minum jus di dapur. Tapi bik Sarti menyembunyikan senyumnya.

“Kamu masak apa?”

“Opor ayam, Nyonya.”

“Aku ini sedang kesal. Sangat kesal.”

Bik Sarti tidak menjawab, tapi menoleh ke arah sang nyonya sambil mengaduk aduk opor nya, takut santannya pecah, lalu rasanya jadi hambar.

“Mengapa tiba-tiba Raya tergila-gila pada Damian? Kamu mengomporinya ya?”

“Nyonya, saya tidak mungkin melakukannya. Saya justru sering menasehati non Raya, supaya menjauhi Damian. Tapi saya kan hanya pembantu, mana mau non Raya mendengarkan saya.”

“Aku sangat kecewa. Dia bukan menantu idaman aku. Masa aku punya menantu bekas tukang kebun? Malu dong aku.”

“Ya, Nyonya.”

“Tapi ayahnya sudah menyetujuinya, dan akan segera menikahkan mereka.”

“Syukurlah, Nyonya,” kata bik Sarti yang meluncur begitu saja. Tidak sadar bahwa ucapannya membuat sang nyonya marah.

“Kamu mensyukurinya? Jadi benar, kamu yang mendorong mereka kan?”

“Ya ampun Nyonya, bukan itu maksud saya,” bik Sarti jadi ketakutan.

“Lalu kamu mensyukurinya, itu maksudnya apa? Kamu senang kan?”

“Bukan begitu nyonya. Maksud saya, karena tuan mengijinkannya, jadi non Raya tidak akan bersedih lagi.”

“Kamu itu memang benar-benar bodoh, Sarti. Tidak mengerti maksudku. Ya sudah, aku nggak usah ngajak omong sama kamu saja,” kata bu Rahman sambil berdiri, lalu meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja dengan keras. Bik Sarti sampai terkejut. Untung gelasnya tidak pecah.

***

Raya sedang bertelpon dengan kakaknya pagi hari itu, karena Kamila menanyakan tentang perkembangan hubungannya dengan Damian.

“Mbak doakan saja, semoga semuanya baik-baik saja.”

“Kamu benar- benar sudah siap menikah?”

“Siap Mbak.”

“Dengan Damian? Bersama kehidupannya pastinya kamu sudah tahu?”

“Tentu saja. Semua sudah aku pikirkan. Aku menunggu restu dari ibu, yang tampaknya sangat tidak suka pada Damian.”

“Ya, kamu jangan terlalu menyalahkan ibu. Orang tua itu kan selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Bahagia hidupnya, dengan kehidupan yang berkecukupan, dan pastinya juga berderajat. Ya kan?”

“Aku tidak setuju Mbak. Hidup itu adaah hidup aku. Aku sudah mengerti siapa dan bagaimana Damian. Dia baik dan sangat rendah hati. Dia bahkan tidak mau menerima apa saja yang bapak tawarkan. Barangkali juga bapak sedikit gusar. Tapi Bapak selalu mengatakan, bahwa beliau sangat mengerti. Hanya ibu yang mengatakan bahwa Damian sombong.”

“Bagaimana menurut kamu?”

“Menurut aku, dia tidak mau dikasihani. Dia juga bilang bahwa kalau aku mau, aku harus bersedia hidup sederhana, tanpa uluran tangan orang tua. Aku hargai itu.”

“Berarti kamu sudah benar-benar siap?”

Ketika itulah ada telpon masuk, dari Damian.

“Ya sudah dulu ya Mbak, nanti kita bicara lagi, Damian sedang menelpon nih.”

“Baiklah, mungkin hari MInggu ini aku akan pulang. Kalau bisa bersama mas Abi. Bapak mau mengajak kami bicara.”

“Baiklah. Aku tutup dulu ya.”

Raya menutup pembicaraannya dan beralih ke sambungan nomor kontak Damian.

Tapi Damian sudah menutup ponselnya. Hanya ada pesan yang dia tuliskan, bahwa Damian ingin bertemu besok siang.

Raya membalasnya, bahwa dia akan menemuinya saat makan siang.

Raya sudah tahu hasil pembicaraan Damian dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak menyesal, bahwa Damian menolak semua pemberian ayahnya.

Dia juga sudah bilang kepada sang ayah, bahwa dia ingin menikah di KUA saja, tidak ingin ada pesta, yang waktu itu langsung disambut oleh ibunya dengan kata-kata yang menusuk.

“Tentu saja tidak akan ada pesta, Malu ibu kalau harus punya menantu yang tidak sederajat dengan kita.”

“Baiklah Bu, yang penting Ibu juga memberikan restu untuk kami, kan?”

Waktu itu bu Rahman hanya diam, tapi pak Rahman menjawabnya.

“Kami akan merestui kalian, sepenuhnya.”

“Terima kasih Pak,” kata Raya dengan terharu.

***

Siang hari itu Damian mengajak Raya makan bakso di sebuah warung dekat bengkel. Mereka sering makan hanya di warung dekat-dekat bengkel, karena Raya khawatir Damian terlalu lama mempergunakan waktu istirahatnya.

 “Ada apa Dam? Jangan bilang kamu akan membatalkan janji kamu untuk melamar aku,” kata Raya sambil menampakkan wajah cemberut. Damian tertawa, ingin rasanya mencubit bibir tipis yang sangat menggemaskan itu.

“Tidak Non, saya sudah berjanji, dan saya tidak akan mengingkari.”

“Syukurlah.”

“Saya bingung tentang lamaran. Apa yang harus saya berikan saat lamaran?”

“Kamu tidak usah memberikan apa-apa Dam, kesanggupan kamu untuk mau memperistrikan aku itu sudah cukup membahagiakan.”

“Tapi bagaimana dengan keluarga Non?”

“Mereka sudah tahu siapa kamu. Lakukan yang kamu bisa, jangan terlalu memikirkan hal yang akan menyusahkan kamu.”

“Bagaimana kalau saya memberikan cincin untuk Non?”

“Ya ampuun, tidak usah Dam. Cincin itu kan mahal?”

“Tidak apa-apa, biarkan saya mengukur jari non,” kata Damian yang ternyata telah membawa benang.

“Damian …” Raya tersenyum lucu, melihat Damian melingkarkan benang itu di jari manisnya.

“Sudah cukup Non, ukurannya sudah saya beri tanda.”

“Jangan kamu memaksakan diri Dam, aku tidak ingin apapun dari kamu. Aku hanya ingin kamu mencintai aku.”

“Non sudah mendapatkannya. Ini hanya sebuah ikatan.”

“Emas itu kan mahal?”

“Bagaimana dengan imitasi?”

“Oh, baiklah, imitasi juga bagus dan banyak model yang indah. Aku suka apapun yang kamu pilihkan.”

Damian tersenyum, sambil memasukkan benang itu ke dalam kantung bajunya. Ada bahagia tersirat dalam senyum-senyum mereka.

“Kapan kamu akan melamar aku?”

“Secepat saya siap, saya akan melakukannya.”

“Dam, aku sudah sangat merindukan saat-saat itu,” kata Raya sambil tersenyum manja.

“Ini sebuah mimpi yang benar-benar akan menjadi nyata, saya tidak mengira, si pungguk bisa terbang ke bulan.”

“Karena bulan akan meraih tangan si pungguk agar bisa terbang mendekatinya,” jawab Raya yang tiba-tiba menjadi sangat puitis. Suasana siang yang gerah itu tiba-tiba menjadi suasana yang sangat romantis dan manis.

***

Selesai makan siang bersama Raya, Damian mendekati Agus. Kebetulan bengkel sedang sepi.

“Gus, kamu kan sudah menikah?”

“Ya, kenapa?”

“Apa dong yang diperlukan seorang laki-laki saat melamar gadis idamannya?”

“Kamu mau lamaran?” Agus berteriak, membuat Damian segera membungkam mulut sahabatnya dengan telapak tangan.

“Jangan berteriak.”

Agus tertawa.

“Benar, kamu mau melamar pacar kamu? Oh ya, anak majikan yang cantik itu?”

“Aku sudah diijinkan untuk melamarnya. Aku bingung, karena aku tidak punya siapa-siapa. Dan aku juga tidak tahu harus membawa apa.”

“Kalau sedang melamar itu ya cukup membawa oleh-oleh saja. Seperti parsel buah atau makanan, gitu. Tapi calon istri kamu kan anak orang kaya. Apa cukup hanya membawa buah dan makanan?”

“Jadi harusnya membawa apa? Berlian sekotak, dan emas sekilo?” canda Damian.

“Maksud aku, kamu harus membawa yang istimewa.”

“Tidak Gus. Mereka sudah tahu kalau aku miskin. Aku tidak ingin berlebihan. Kalaupun aku membawa sesuatu juga, belum tentu mereka menerima dengan senang hati. Jadi aku tidak harus mengada-adakan sesuatu yang tidak lazim bagi orang miskin seperti aku.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Tapi kamu kan tahu, aku tidak punya siapa-siapa lagi? Masa aku harus datang sendiri? Lucu kan?”

“Itu soal mudah. Aku akan bantu. Aku akan datang bersama istri aku, dan juga bapak dan ibu aku.”

“Benarkah?” pekik Damian dengan wajah berseri.

“Mereka sudah berpengalaman dalam hal seperti itu, Pokoknya serahkan saja semuanya sama aku. Aku yang akan mengaturnya.”

“Terima kasih banyak Gus, aku akan menyewa mobil untuk menjemput kalian.”

“Tidak usah menyewa. Orang tuaku punya mobil. Bukan mobil bagus sih, tapi pantas kok untuk acara lamaran. Nanti kami mengakui bahwa masih kerabat dekat sama kamu.”

“Baiklah. Nanti aku pesan parsel buah dan kue-kue, semampu aku. Aku juga akan memberikan sebentuk cincin.”

“Wah, hebat.  Bagus itu.”

“Hanya cincin imitasi.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Kapan kamu mau melamar””

“Setelah aku siap, nanti aku kabari.”

“Aku akan atur supaya kita bisa libur di hari yang sama.”

Damian merasa lega, ada sahabat yang akan membantunya.

***

Di hari lamaran, Kamila dan Abi memerlukan datang. Dengan dada berdebar, Damian melaksanakan lamaran itu, dibantu oleh orang tua Agus. Bu Rahman terpaksa ikut menemui tamu-tamunya, karena pak Rahman memarahinya. Dengan wajah sinis, bu Rahman melihat dua buah parsel yang dibawa rombongan Damian. Ia bertambah sinis ketika melihat Damian menyerahkan sebuah kotak kecil di acara itu. Kotak kecil yang ketika dibuka berisi sebentuk cincin yang sangat indah. Kamila kagum melihat cincin yang kemudian sudah dikenakan Raya dijari manisnya, dengan senyuman bahagia.

“Cincinnya bagus sekali ya Bu,” bisiknya kepada ibunya.

“Ah, kamu seperti tidak tahu saja. Itu kan hanya imitasi,” suaranya agak keras, bahkan Damian mendengarnya.

Pak Rahman memelototi istrinya ketika mendengar sang istri melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Bu Rahman hanya melengos ke arah lain, pura-pura tidak melihat ke arah suaminya.

***

Besok lagi ya.

Thursday, June 29, 2023

SEBUAH PESAN 31

 SEBUAH PESAN  31

(Tien Kumalasari)

 

Damian terbelalak. Sungguh dia tidak percaya, karena setelah pak Rahman  menemuinya kemudian memberikan ungkapan yang sama sekali tidak menunjukkan adanya sikap menyetujui hubungannya, tiba-tiba Raya mengatakan bahwa ayahnya minta agar dia melamar?

“Dam, mengapa menatap aku seperti itu? Aku berkata benar, sebelum aku berangkat kemari, bapak mengatakan itu.

Damian terdiam.

“Tapi semalam aku menelpon kamu dan sama sekali kamu tidak mau mengangkatnya, kenapa?”

“Itulah. Saya takut mendengar Non mengatakan bahwa tuan Rahman tidak mengijinkan Non mendekati saya.”

“Mengapa kamu merasa begitu?”

“Ketika tuan Rahman menemui saya, tidak ada tanda-tanda bahwa tuan Rahman mengijinkan saya berhubungan dengan Non. Saya sudah memutuskan untuk menerima nasib, menerima garis hidup saya yang seperti ini.”

Raya mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya datang menemui Damian.

“Bapak menemui kamu?”

Damian mengangguk.

“Bapak tidak bilang sama aku. Bapak bicara apa saja?”

“Tuan Rahman menyuruh saya kuliah lagi, beliau akan membiayainya sampai selesai, dan menjanjikan kedudukan di perusahaan beliau.”

“Bagus. Itu berarti bapak menyetujuinya kan? Sesuai apa yang tadi dikatakannya sama aku. Kapan kamu akan mulai mengurus kuliah kamu?” Raya bersemangat.

“Tapi saya tidak bisa menerimanya, Non.”

“Apa? Kamu menolaknya?”

“Saya tidak bisa menerimanya, Saya tidak ingin berhutang.”

“Bapak kan tidak menghutangkannya? Tak mungkin itu.”

“Tapi saya akan merasa berhutang budi. Jadi saya berprinsip, kalau memang saya diterima, terimalah saya apa adanya saya. Saya yang tidak berpendidikan tinggi, saya yang hanya pegawai bengkel, saya yang miskin. Bukan karena saya seorang sarjana dan punya kedudukan. Apa Non menginginkan itu?”

“Tidak Dam, aku cinta kamu seperti apa adanya kamu.”

“Terima kasih Non.”

“Tapi kenyataannya, bapak tadi mengatakan itu.”

“Saya heran.”

“Dam, tapi kemudian aku mengerti. Mungkin bapak menyukai prinsip kamu, dan itulah sebabnya bapak meminta agar kamu segera melamar aku.”

Ponsel Damian berdering.

“Dari Agus,” desisnya kemudian mengangkat ponselnya.

“Ya, Gus. Tentu, aku masuk, tapi sedang ada urusan. Mohon ijin untuk terlambat datang ya? Baiklah, terima kasih Gus.”

“Terlambat ya? Aku penyebabnya. Sebenarnya tadi aku akan menemui kamu, untuk bertanya, kenapa semalam kamu tidak menjawab telpon aku. Tapi tiba-tiba Bapak menitipkan pesan itu.”

Damian menghela napas. Melamar? Apakah dia sudah siap punya istri? Seorang anak orang kaya pula.

“Kenapa diam Dam? Kamu tidak sungguh-sungguh mencintai aku?”

“Baru saja saya merasa bisa mengakui perasaan cinta saya. Tapi saya harus bertanya kepada diri saya, apakah saya siap memiliki istri? Apakah seorang putri majikan  saya bersedia hidup kekurangan bersama saya? Itu tidak mudah bagi saya Non.”

“Tapi Dam, aku sudah yakin kepada diri aku sendiri, bahwa aku siap hidup bersama kamu, apapun dan bagaimanapun ujudnya kehidupan kamu.”

“Non serius?”

“Dam, bapak tidak pernah suka, anak gadisnya berpacaran terlalu lama. Itu yang selalu dikatakannya, dan itu sebabnya bapak minta seperti itu.”

Damian menatap Raya berlama-lama. Alangkah cantiknya gadis yang selalu dipujanya. Alangkah bahagia apabila berhasil memilikinya.

“Saya minta Non memikirkannya sekali lagi. Jadi orang miskin itu tidak enak. Kalau pada suatu hari menginginkan sesuatu, dan tidak bisa mencapainya, maka ia akan merasa sengsara.”

“Kamu selalu berbelit-belit.”

“Ini bukan masalah suka ataupun cinta. Terkadang cinta bisa menyesatkan.”

"Mana bisa cinta menyesatkan, selama dia tahu jalan?”

“Tidak semudah itu. Pada awalnya cinta, setelah mengalami hidup susah, maka dia akan merasa tersesat.”

Raya merengut. Ia kesal pada jawaban Damian.

Tiba-tiba Raya berdiri.

“Aku mau pulang saja.”

“Non, apa Non marah?”

“Tidak, aku kesal sama kamu.”

“Non, jangan begitu, aku mengatakan hal yang_”

“Aku pulang dulu.”

Raya melangkah keluar, bergegas mendekati sepeda motornya, lalu menaikinya dan menghidupkan mesinnya.

Damian mengejarnya. Memegang stang motor dan menatap Raya dengan tersenyum.

“Kenapa ya, orang cantik kalau marah wajahnya semakin cantik?”

Raya menatap Damian. Pandangan mereka bertemu dan sebuah bunga api memercik. Damian mengalihkan pandangan ke arah lain. Sekilas saling pandang itu meluluhkan hati Raya. Ia masih saja menatap Damian, dan merasa, alangkah tampan laki-laki yang dicintainya.

Tapi kemudian Raya pun mengalihkan pandangannya ke arah motor yang mesinnya sudah dihidupkannya.

“Pergilah bekerja,” katanya sambil tersenyum.

Damian melepaskan pegangannya pada stang motor itu.

“Nanti kita bicara lagi,” kata Damian.

Raya memutar motornya, kemudian keluar dari halaman.

Damian menatapnya sampai sang Dewi yang dicintainya menghilang dari balik pagar rumahnya.

Damian menghela napas panjang, lalu mendekati sepeda motornya sendiri, sambil terus-terusan bergumam.

“Melamar … melamar … melamar? Mimpi barangkali aku ini, tapi itu kan nyata? Apa aku siap? Benarkah dia mau hidup miskin bersamaku?:

***

Agus memperhatikan Damian sejak dia mulai melakukan tugasnya. Ada yang berbeda, tapi dia tak tahu apa yang membuat Damian berbeda.

Saat makan siang, tak taha Agus menanyakannya. Damian tersnyum cerah.

“Apa sih, aku masih seperti biasanya, apanya yang berbeda?

”Nggak tahu aku, makanya aku bertanya sama kamu, apa yang terjadi sehingga membuat kamu berbeda.”

“Yang berbeda tuh apanya?”

“Wajah kamu itu, tampak sangat cerah, berseri-seri, tidak seperti beberapa hari terakhir ini. Murung, nggak nafsu makan.”

“Bisa aja kamu Gus,” kata Damian sambil tertawa.

“Benar kok. Ada berita baik rupanya.”

“Biasa saja kok. Tapi sebenarnya ada hal serius yang ingin aku katakan sama kamu.”

“Apa tuh?”

“Bagaimana kalau pada suatu saat nanti, aku minta agar diijinkan bekerja paruh waktu?”

“Memangnya kenapa? Ada pekerjaan lain?”

“Tidak, aku ingin kuliah.”

“Wouw, hebat sekali. Kapan?”

“Belum tahu pastinya kapan, aku sedang mengurusnya, barangkali ada kuliah sore hari. Itu sebabnya aku mau minta ijin agar boleh bekerja paruh waktu.”

“Nanti akan aku sampaikan pada pimpinan. Dia teman baik aku kok. Semoga saja bisa. Tapi aku salut sama kamu, yang masih bersemangat untuk kuliah lagi.”

“Dulu almarhum ayah aku yang ingin agar aku melanjutkan kuliah, tapi kan biayanya banyak, ayahku mana mampu?”

“Ya, aku mengerti. Aku akan berusaha bilang kepada pimpinan agar permintaan kamu diijinkan. Kan kamu butuh biaya. Ya kan?”

“Terima kasih Gus, kamu memang baik. Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikan yang telah kamu berikan untuk aku.”

“Sudah, kebaikan itu tidak usah dihitung-hitung, kita kan teman, dan akan tetap menjadi teman. Tentu saja teman baik.”

“Selamanya Gus,” kata Damian sambil merangkul pundak Agus.

***

Bik Sarti terkejut ketika Raya tiba-tiba masuk ke dapur dan merangkulnya dari belakang.

“Bibiiiikkk.”

“Ya ampun Non, jantung bibik hampir jatuh tuh, Non membuat bibik terkejut saja.”

“Aku lapar Bik, kenapa Bibik tidak memberi aku makan sih?”

“Lhoh, tadi ketika bibik menyiapkan makan, non sedang tidur. Mana berani bibik membangunkan. Tapi bibik senang, Non bilang lapar. Biasanya, belum makan juga, kalau ditawarin makan selalu bilang sudah kenyang, padahal belum makan apa-apa.”

“Ya sudah Bik, jangan memarahin aku dong, sekarang aku mau makan.”

“Bibik tata dulu di meja.”

“Nggak mau, aku mau makan di dapur saja.”

“Di dapur? Baiklah, bibik ambilkan dulu.”

 Raya duduk di kursi dapur, mencomot sebutir tomat yang ada di depannya, lalu digigit dan dikunyahnya dengan nikmat.

“Lhoh, Non, baru mau dibikin jus sama bibik,” kata bik Sarti sambil meletakkan piring dan nasi beserta lauknya.

“Nggak apa-apa kan, aku cuma makan sebutir, tapi nanti aku masih mau lagi.”

“Baik Non, bagus kalau Non suka. Buah tomah itu sehat. Bibik baru tahu, Non Raya cantik karena rajin minum jus tomat. Tahu begitu, dulu waktu masih muda bibik banyakin makan tomat, biar cantik.”

Raya tertawa.

“Sekarang saja bibik makan tomatnya, biar jadi cantik.”

“Kalau sekarang ya sudah terlambat Non, kulit terlanjur keriput begini. Ya sudah Non, sekarang makan. Yang banyak ya Non.”

“Iya, aku makan banyaksekarang. Ini semur kentang, bukan?”

“Iya Non. Bibik tinggalin cuci piring-piring dulu ya.”

Raya benar-benar lapar. Rasanya seperti sudah seminggu tidak makan. Tapi kan memang sudah berhari-hari Raya susah makan?

“O, makan di dapur? Latihan kalau besok di rumah kamu nggak ada ruang makan ya?” tiba-tiba saja bu Rahman muncul di dapur, melihat Raya makan di situ, lalu menyindirnya dengan pedas.

Raya hanya menoleh sejenak ke arah ibunya, lalu melanjutkan makan.

“Bagus, memang lebih baik latihan, meskipun pastinya dapur ini jauh lebih bagus dari dapur kamu nantinya,” kata bu Rahman lagi sambil tetap berdiri di tengah-tengah pintu dapur.

“Hanya pengin makan ditemani bibik,” jawab Raya singkat, tanpa  menoleh lagi ke arah ibunya.

Bu Rahman beranjak pergi. Bik Sarti melongok, dan mendekati Raya setelah bayangan nyonya majikan tak kelihatan lagi.

“Non sih, pakai acara makan di dapur segala, diomelin nyonya kan?”

“Biarin saja Bik, ibu memang lagi kesal sama Raya.”

“Jangan suka membuat kesal orang tua Non.”

“Maksudku juga begitu.”

“Non bandel ya.”

“Bik, aku cinta mati sama Damian, tapi ibu tidak suka,” kata Raya membela diri.

“Semoga Non tidak akan menyesal nanti.”

“Doakan yang baik untuk Raya dong Bik.”

“Doa terbaik selalu buat Non.”

“Terima kasih ya Bik,” kata Raya sambil menyudahi makan siangnya.

***

Pak Rahman baru saja pulang dari kantor. Ia ingin tahu, apa jawaban Damian setelah Raya menyampaikan keinginannya. Tapi bu Rahman menjawab bahwa dia tidak tahu menahu.

“Mengapa ibu tidak menanyakannya? Ketika dia kembali kan aku sudah berangkat ke kantor.”

“Dia juga tidak cerita, jadi ibu ya diam saja,” jawab bu Rahman dengan wajah keruh.

“Ibu kan memang tidak suka sama Damian.”

“Memang iya. Sejujurnya ibu tidak suka. Ibu sudah membayangkan bagaimana kehidupan Raya nantinya.”

“Kehidupan seseorang itu tidak bisa kita bayangkan seperti yang ibu lakukan. Dunia itu kan seperti roda. Dia terus berputar. Yang tadinya diatas bisa menjadi di bawah, demikian juga sebaliknya."

“Apa yang akan terjadi pasti sudah bisa dibayangkan dari sekarang.”

“Dunia itu kan penuh dengan kemungkinan. Sebaiknya kita pasrah saja.”

“Jadi Bapak benar-benar akan menikahkan mereka?”

“Kalau bisa secepatnya.”

“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi awas ya, kalau sampai anakku hidup sengsara.”

Pak Rahman baru mendapat jawabannya ketika menanyakannya kepada Raya. Rupanya Damian masih belum yakin akan apa yang harus dilakukannya.

“Dia minta Raya berpikir kembali. Dia tidak yakin, Raya sanggup menjalani hidup bersamanya.”

“Soalnya kamu sudah tergila-gila,” sela bu Rahman.

“Karena dia baik, Bu.”

“Ya sudah, tanya pada dia kapan mau menemui bapak. Atau begini saja, bilang sama dia, bahwa bapak ingin bertemu dia, besok sore.”

“Nanti akan Raya sampaikan,” jawab Raya.

***

Damian menghadap pak Rahman karena pak Rahman memanggilnya. Agak gemetar ketika dia sudah berhadapan dengan majikannya.

Damian hanya ditemui pak Rahman, sedangkan bu Rahman pergi keluar dengan alasan belanja kebutuhannya sendiri.

“Kamu tahu mengapa aku memanggil kamu?”

“Sejatinya … saya ingin mengerti, mengapa Tuan memanggil saya.”

“Raya sudah mengatakan sama kamu, tentang keinginan aku?”

“Tentang …” Damian agak susah meneruskannya.

“Aku minta kamu segera melamar Raya.”

Damian terdiam, dia sudah mendengarnya dari Raya.

“Kenapa diam? Apa kamu tidak mencintai anakku?”

“Saya minta Non Raya agar memikirkannya lagi. Saya orang miskin, jauh dari harapan para orang tua yang ingin menerima saya sebagai menantu.”

“Raya siap menjalaninya. Apa jawabmu?”

Damian kembali terdiam.

“Saya tidak ingin kalian hanya berhubungan tanpa status. Kalau kamu memang mencintai Raya, aku akan segera menikahkan kalian.”

“Saya tidak punya orang tua.”

“Itu aku sudah tahu. Yang penting adalah kesanggupan kamu. Jangan khawatir, aku akan membantu untuk menegakkan ekonomi kalian nantinya.”

Damian kembali terhenyak. Hal yang tidak disukainya adalah dengan berkali-kali pak Rahman ingin memberi apapun demi kehidupan layak. Itu sudah pasti.

“Baiklah, Tuan. Saya akan melamar non Raya, tapi dengan satu syarat.

“Katakan. Aku punya segalanya, aku akan berikan semuanya. Rumah bagus, dan aku akan mengijinkan kamu magang di kantor aku, karena kamu sudah menolak untuk aku sekolahkan.”

“Tidak. Justru permintaan saya adalah, jangan sedikitpun memberi apapun untuk kehidupan kami nantinya.”

“Apa?”

“Maaf, Tuan, kalau Non Raya benar-benar bersedia menjadi istri saya, maka dia harus bersedia hidup sederhana bersama saya, tanpa bantuan Tuan.”

Pak Rahman terhenyak. Perjanjian pernikahan yang aneh.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, June 28, 2023

SEBUAH PESAN 30

 SEBUAH PESAN  30

(Tien Kumalasari)

 

 

Damian merasa, bahwa memang seperti yang diduganya, bahwa keluarga pak Rahman menganggapnya tidak berharga untuk mendampingi Raya. Memang, dikatakannya bahwa dia bisa mengerti tentang cinta putrinya, dan tidak akan menghalanginya, tapi syaratnya ada, yaitu dirinya harus kuliah dulu, agar sedikit ada kesetaraan kedudukannya dengan Raya. Paling tidak Raya pacaran dengan seseorang dengan status mahasiswa, bukan seorang tukang kebun. Damian tidak perlu merasa sakit hati, karena dia tahu bahwa sebagian besar orang kaya pasti punya pikiran semacam itu. Sehingga kalau ada yang bertanya, siapa menantu anda, maka jawabnya bukan mengatakan apa yang menjadi pekerjaannya, tapi statusnya di kampus, sebagai mahasiswa. Itu keren bukan?

Harusnya itu adalah hal baik. Disekolahkan, disediakan biayanya, untuk bisa mendampingi anak bungsunya. Damian tersenyum tipis.

“Bagaimana Dam? Aku serius, bagiku tidak masalah menyekolahkan kamu lagi, lalu setelah lulus nanti kamu bisa bekerja kantoran, bahkan bisa membantu pekerjaan aku. Kamu tidak usah ragu, kamu akan menjadi keluarga Rahman yang punya kedudukan, dan terhormat. Raya pasti senang mendengar kesanggupan kamu.”

Damian menatap ke arah halaman kecilnya, melihat cuaca semakin redup. Udara juga tak sepanas sebelumnya. Tapi Damian merasa gerah. Bukan karena dia punya uang banyak lalu meremehkan tawaran yang menggiurkan ini, tapi Damian merasa punya harga diri. Kalaupun dia tak punya uang seperti dulu pun, dia pasti menolak tawaran itu.

“Susah menjawabnya? Jangan khawatir, kamu tak perlu berhutang untuk itu. Aku memberikannya dengan tulus.”

Damian menatap pak Rahman sekilas, tapi kemudian dia menundukkan muka.

“Saya minta maaf Tuan.”

“Kamu tidak perlu minta maaf. Manusia memiliki garis hidup masing-masing. Jangan menyesali sebuah kemiskinan, seperti aku tidak bersorak karena aku punya segalanya. Kita anggap saja semuanya adalah wajar, dan lumrah.”

Kata-kata halus pak Rahman memang sama sekali tidak menunjukkan sebuah kesombongan, Tapi yang ditawarkannya adalah sebuah tuntutan.

“Sekali lagi saya minta maaf, Tuan. Saya harus berterima kasih atas perhatian Tuan yang begitu besar terhadap diri saya. Saya merasa tersanjung karena Tuan sangat mengerti bagaimana seorang miskin seperti saya membutuhkan kehidupan yang lebih layak. Tapi … maaf ….”

Pak Rahman agak kesal karena Damian berulang kali meminta maaf.

“Langsung saja kamu jawab. Setiap saat aku bersedia memenuhi keinginan kamu.”

“Maaf,” lagi-lagi maaf, membuat pak Rahman kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi, menunggu jawaban Damian sambil menatap langit-langit rumah beratap genting yang sudah bolong di sana-sini.

“Saya tidak bisa menerima tawaran Tuan.”

Pak Rahman menegakkan tubuhnya, seakan tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Ditatapnya Damian dengan pandangan tajam, menusuk.

“Saya adalah orang yang sederhana. Saya hanya ingin mencapai sesuatu yang bisa saya raih dengan tangan saya. Saya tidak ingin menyusahkan orang lain untuk memberikan kemudahan demi pencapaian itu. Kalau saya mampu, saya akan meraihnya, tapi kalau tidak mampu, saya akan meletakkannya. Biarlah hidup saya berjalan seperti apa adanya.”

Pak Rahman tertegun. Ia harus mengakui, Damian berhati teguh. Damian kuat menerima garis hidupnya walau miskin dan sengsara. Damian ingin berdiri diatas kakinya sendiri dan tak ingin orang lain menopangnya.

Mata tajam itu kemudian berisikan kekaguman. Iming-iming untuk bisa menjadi menantunya dengan mengharuskannya  kuliah, dan menjanjikan sebuah kedudukan, sedikitpun tak menggoyahkan hatinya.

“Damian, kamu yakin dengan jawaban kamu?”

“Saya sangat yakin, Tuan, sekali lagi, maafkanlah saya.”

“Dengan resiko kamu tak bisa hidup bersama Raya?”

“Sejak awal saya sudah menyadari, bahwa saya hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Saya tidak akan menyesalinya, walau harus kehilangan non Raya.”

“Tapi sesungguhnya kamu mencintainya kan?”

“Tuan tidak perlu menanyakannya lagi. Saya sudah menyiratkannya sejak awal percakapan kita.”

Pak Rahman kembali pulang dengan berbagai perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa kagum, ada rasa kecewa, ada sesal kenapa putri bungsunya harus jatuh cinta kepada laki-laki seperti Damian. Memang sih, Damian itu ganteng, gagah, baik, dan baru saja pak Rahman menyadarinya bahwa Damian punya pendirian yang teguh. Tak ingin menyusahkan orang lain. Ingin meraih sesuatu dengan kekuatannya sendiri. Luar biasa si bekas tukang kebun ini.

***

Damian masuk kedalam kamarnya, dan berpikir tentang tawaran pak Rahman. Ia takut dikira sombong, tapi dia bukannya sombong. Sikap pak Rahman menunjukkan bahwa dirinya yang seperti ini memang tak pantas berdampingan dengan non Raya yang sangat dicintainya. Harus ada peningkatan status, tapi peningkatan yang dipaksakan. Ini membuatnya sedih. Tapi dia tak menyesalinya, walau resikonya adalah akan kehilangan Raya.

Ia masuk ke kamar mandi dan berwudhu, barangkali ia akan merasa lebih tenang setelah bersujud.

Ia sedang bersiap untuk makan malam, dari sisa lauk yang tadi dibelinya saat menemani Alex makan sebelum mengantarkannya ke bandara, ketika ponselnya berdering. Ia melihat, dari Raya. Hatinya menjadi sedih. Pasti pak Rahman sudah mengatakan bahwa dia tak mau menerima dan memaksa Raya melupakannya. Damian membiarkan ponsel itu berdering, karena tak sanggup mendengar keputusan keluarga Rahman yang akan dikatakan Raya.

Ia mengambil nasi dan lauknya, terus melahap makanannya, mengacuhkan dering  bertubi-tubi yang tak ingin diangkatnya.

“Maaf Non, saya tidak berani mendengar berita buruk ini,” gumamnya pelan sambil terus makan, walau hatinya gundah.

***

Raya menutup wajahnya dengan bantal, menangis terisak-isak. Tak biasanya Damian menolak telponnya. Apa dia marah? Ia tak tahu bahwa ayahnya datang menemui Damian. Sehingga dia sebenarnya tak ingin membicarakan tentang kedatangan ayahnya. Mengapa ya Damian tidak mau mengangkat telponnya?

Sementara itu pak Rahman termenung di serampi teras, memikirkan penolakan Damian yang membuatnya sedikit kecewa. Tapi sesungguhnya dia memuji Damian yang tak tergiur oleh iming-iming yang dilontarkannya.

“Bapak sudah pulang?”

“Ya.”

“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya sang istri ketika melihat suaminya seperti melamun.

“Aku dari rumah Damian.”

“Apa? Mengapa Bapak ke sana? Jadi, seperti rencana Bapak itu? Dia senang dong,” kata bu Rahman sinis, sambil duduk di depan suaminya.

“Dia menolak.”

“Apa? Bapak menawarkan untuk membeayai kuliah, dan dia menolak? Sombong sekali dia. Huh, apa mau lebih? Uang yang banyak … dan_”

“Tidak, dia tidak minta apapun. Dia hanya ingin hidup sederhana seperti dirinya sekarang ini. Dia tak ingin meraih cita-citanya dengan merepotkan orang lain.”

“Kasihan Raya. Kita sudah berusaha memenuhi permintaannya, dan menyekolahkan si tukang kebun itu, tapi ditolak? Aku yakin dia ingin lebih. Mungkin rumah yang bagus, kendaraan, atau apa?”

“Tidak, aku kan sudah bilang bahwa dia tak menginginkan apapun?”

“Dia menolak, begitu saja?”

“Ya. Aku kagum sama pendiriannya.”

“Dia itu sombong. Apa yang Bagak kagumi dari dia?”

“Dia tidak mau apapun. Mana mungkin mau lebih. Dia sudah bilang, dirinya adalah dirinya yang sekarang. Sederhana. Atau katakanlah miskin, tapi dia tak ingin lebih.”

“Bapak bilang dong sama Raya, hidupnya akan sengsara nanti.”

“Jangan begitu dong Bu, doakan yang baik-baik, untuk anak sendiri.”

 “Kita ingin yang terbaik untuk anak kita, bukan Pak? Lalu kalau dia memilih sendiri, dan pilihannya salah?”

“Tampaknya kita tidak bisa menghentikan Raya.”

“Jadi … kita tetap akan menerima gembel itu?”

“Bu, namanya Damian, bukan gembel,” kesal pak Rahman.

“Ya Tuhan, bagaimana nanti kehidupan anakku ;;; “ keluh bu Rahman sedih.

“Sudah, tidak usah menyesali lagi. Bahwa kehidupan manusia itu sudah berada dalam garis takdirnya. Kita hanya bisa berserah dan mensyukuri semuanya,” kata pak Rahman yang sesungguhnya juga sedih.

“Tapi nanti Raya akan hidup kekurangan, aku tidak rela Pak.”

“Kita bisa membantunya. Sudahlah. Sekarang panggil Raya kemari.”

“Dia tidur, ibu baru saja menjenguk ke kamar. Wajahnya ditutup bantal.”

“Coba telpon ke Kamila, dia harus kita ajak bicara. Kalau memang Damian serius, dia harus segera melamar. Aku tidak suka anak-anak muda pacaran semaunya.”

Kamila yang sedang bersantai dengan suaminya, terkejut ketika mendengar dari ibunya, bahwa ayahnya mengijinkan Raya menikah dengan Damian.

“Benarkah Bu?”

“Itu keinginan ayah kamu. Ibu tidak. Ibu tetap tidak suka.”

“Bu, kalau bapak sudah mengijinkan, berarti sudah diperhitungkan semuanya masak-masak, mengapa ibu tetap tidak suka?”

“Kamila, kamu seperti tidak tahu saja. Damian itu siapa?”

“Damian laki-laki yang baik, dan Raya mencintainya. Saya kira ibu tidak boleh begitu. Restu ibu itu penting untuk kehidupan anaknya lhoh.”

“Jadi kamu setuju adikmu menikah sama dia?”

Pak Rahman yang mendengar istrinya bicara, segera mengambil ponselnya.

“Mila.”

“Bapak, saya sudah mendengar dari ibu.”

“Ibumu tidak suka, tapi apakah dia tega melihat anaknya menangis setiap hari? Dia bisa jatuh sakit lagi, dan itu akan membuat kita lebih susah, ya kan?”

“Raya bukan anak kecil. Pasti ada yang istimewa pada Damian sehingga dia bisa sangat mencintainya.”

“Itu benar. Damian hanya miskin. Tapi dia punya pribadi yang baik. Aku akan mempercayakan adikmu pada dia. Bagaimana menurut kamu?”

“Kalau itu memang yang terbaik, dan Bapak menyetujuinya, Mila akan mendukungnya.”

Baiklah, ini baru awal dari pembicaraan aku sama ibumu, nanti kita bicara lagi.”

“Kalau bisa, besok hari Minggu saya akan ajak mas Abi pulang kemari.”

“Syukurlah kalau bisa, jadi akan lebih jelas rencana-rencana yang akan kita bicarakan. Aku juga belum bicara sama Raya. Apalagi Damian. Tadi aku menemui dia, bermaksud menyekolahkannya, tapi dia menolak.”

“Ah, sayang sekali. Kenapa menolak?”

“Pastinya  dia punya harga diri. Jelasnya nanti kita bicara kalau ketemu.”

Ketika pak Rahman mengakhiri pembicaraan itu, bu Rahman sudah tidak lagi berada di depannya.

***

Pagi-pagi sekali, Raya sudah tampak bersiap akan pergi. Pak Rahman dan bu Rahman yang sedang duduk sambil menghirup minuman pagi nya, segera memanggilnya. Pak Rahman melihat wajah Raya sembab, barangkali dia menangis semalaman.

“Raya, mau kemana,” tanya pak Rahman.

“Mau keluar sebentar,” jawabnya dengan hanya menghentikan langkahnya sebentar, tapi ketika ia mau melanjutkan langkahnya, sang ayah memanggilnya lagi.

“Tunggu sebentar Ray, bapak mau bicara.”

Raya sebenarnya ragu. Sesungguhnya ia ingin ke rumah Damian, dan tak ingin terlambat, keburu dia masuk kerja. Tapi melihat ayahnya seperti ingin bicara penting, ia terpaksa berhenti.

“Duduk di sini sebentar.”

“Kamu harusnya sarapan dulu kalau mau pergi,” tegur ibunya.

“Nanti saja.”

“Duduklah, bapak mau bicara.”

Raya duduk, wajahnya yang pucat tampak tegang.

“Bapak sudah memikirkannya masak-masak. Kalau kamu memang cinta sama Damian, dan Damian juga mencintai kamu, bapak minta agar Damian segera melamar kamu” kata pak Rahman langsung pada pokok pikiran.

Raya terhenyak. Seperti mimpi dia mendengar perkataan ayahnya. Dia menatap tak percaya.

“Kamu siap menjalani hidup sederhana seandainya sudah menjadi suami istri?”

Raya mengangguk, bulir air mata kembali terjatuh dari mata kuyu nya.

“Kamu siap tidak, hidup sengsara?” sambung ibunya tandas.

“Kalau kamu sudah mantap dan betul-betul mantap, temui dia dan katakan keinginan bapak ini. Bapak tidak suka anak-anak bapak pacaran terlalu lama. Kamu mengerti maksudku?”

Raya, lagi-lagi mengangguk.

“Sebenarnya kamu mau menemuinya, bukan?” kata pak Rahman.

Raya hanya mengangguk, tak bisa mengelak.

“Baiklah, rasanya bapak tidak usah berpanjang lebar lagi. Hal yang akan kamu jalani kalau kamu nekat menjalani hidup bersama Damian, sudah pernah kita bicarakan. Kamu akan risih mendengarnya. Dan sejatinya semua yang akan kamu jalani adalah pilihan hidup kamu. Bapak tak bisa apa-apa.”

“Terima kasih, Pak. Saya pergi dulu sekarang.”

Raya berdiri, mencium tangan ayah ibunya, yang semula tak dilakukannya karena nggak mau ditanya kemana dia akan pergi.

Pak Rahman menepuk bahu Raya, tapi bu Rahman menerimanya dengan acuh.

***

Damian sudah mengeluarkan sepeda  motor bututnya, ketika melihat Raya memasuki halamannya dengan sepeda motor pula.

Damian berdebar. Ia menstandarkan sepeda motornya, lalu melangkah menyamburtnya.

Wajah Raya berseri, walau matanya tampak sebab. Ijin yang diberikan ayahnya telah memulihkan semangatnya, dan membuat matanya berbinar.

“Sudah mau berangkat ya?” tanya Raya sambil turun dari sepeda motornya.

“Iya sih, kok Non datang kemari pagi-pagi?”

“Aku boleh minta waktu kamu sebentar Dam?”

“Kalau begitu mari duduk dulu,” jawab Damian dengan hati berdebar.

“Nanti terlambat?”

“Saya akan minta ijin untuk datang terlambat, silakan duduk dulu.”

“Aku hanya ingin berkata singkat. Bapak mengijinkan kita hidup bersama.”

Damian terbelalak.

“Dam, aku sangat mencintai kamu, aku tak akan menikah kalau harus berpisah dari kamu.”

“Tapi Non, tadi_”

“Bapak minta agar kamu segera melamar aku.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

Tuesday, June 27, 2023

SEBUAH PESAN 29

 SEBUAH PESAN  29

(Tien Kumalasari)

 

Raya terkejut mendengar ayahnya mau menemui Damian. Ia sangat khawatir, Damian akan tersinggung apabila sang ayah mengucapkan kata-kata menyakitkan.

“Mau apa Bapak ketemu dia?”

“Ini urusan laki2,” canda pak Rahman.

“Nggak usah ketemu.”

“Kenapa?”

“Raya tidak ingin, Bapak menyakiti dia.”

“Raya, begitu besarkah cinta kamu sama dia?”

“Bapak sudah tahu, karena Raya sudah sering mengatakannya.”

“Bapak hanya ingin, agar kamu menjatuhkan cinta kamu pada orang yang benar.”

Tiba-tiba pintu kamar Raya terbuka, bu Rahman masuk.

“Ternyata Bapak sudah pulang. Tumben masih sore sudah pulang.”

“Iya, sedang tidak banyak yang aku lakukan.”

“Minuman Bapak sudah siap. Bapak juga belum ganti baju sih.”

“Iya, ingin melihat keadaan Raya terlebih dulu.”

“Masih susah makan, bandel sekali anak itu. Mau dimasukkan rumah sakit lagi, biar diinfus, barangkali,” omel bu Rahman.

Raya merengut, menutupkan bantal pada wajahnya.

“Raya, kamu belum makan?” tanya sang ayah.

“Belum,” si ibu yang menjawab.

“Sudah Pak, tanya bik Sarti kalau nggak percaya."

“Bik Sarti bilang hanya beberapa sendok. Itu tidak mengenyangkan. Lihat, badannya semakin kurus,” bu Rahman masih mengomel.

“Raya sudah kenyang.”

“Raya, kamu harus makan banyak. Memang benar, kamu sangat kurus. Wajah kamu juga kelihatan pucat. Hilang cantiknya lhoh,” seloroh ayahnya.

Raya masih menutupi wajahnya dengan bantal.

“Ya sudah, bapak mau ganti pakaian dulu, nanti kita bicara lagi,” kata pak Rahman sambil beranjak keluar, diikuti bu Rahman.

Bu Rahman duduk di ruang tengah, menunggu suaminya membersihkan diri dan berganti pakaian.

Tak lama kemudian pak Rahman sudah memakai pakaian rumah, lalu duduk di depan bu Rahman. Diteguknya kopi susu yang dihidangkan bik Sarti.

“Bapak tadi bicara apa sama Raya?”

Pak Rahman terdiam beberapa saat lamanya. Ia punya rencana untuk menemui Damian, dan harus dikatakannya juga pada istrinya.

“Aku akan menemui Damian.”

“Bagus lah. Bapak harus memperingatkannya supaya tidak lagi berhubungan dengan Raya. Ibu sangat tidak setuju. Memalukan.”

“Kita tidak bisa berbuat begitu.”

“Apa maksud Bapak?”

“Rupanya kita tidak bisa menghentikan Raya.”

“Apa? Maksud Bapak, kita akan menyetujui hubungan mereka? Bapak serius? Apa sudah Bapak pikirkan dengan masak-masak? Bapak lupa, Damian itu siapa? Dia hanya bekas tukang kebun kita, dan juga anak bekas tukang kebun kita pula,” geram bu Rahman.

“Aku akan menyuruh dia kuliah.”

“Apa? Bapak ingin menyekolahkan dia? Jadi Bapak menyetujui hubungan mereka, dengan menyekolahkan dia terlebih dulu?”

“Apakah itu buruk?”

”Hanya buang-buang waktu, dan juga uang.”

“Ibu harus tahu, Raya tak bisa dihentikan. Menurut bapak, Damian itu baik.”

“Bapaaaak??” bu Rahman berteriak, membuat bik Sarti yang sedang membereskan ruang makan melongok ke arah depan. Tapi kemudian dia cepat-cepat pergi, karena tak ingin disangka mengintip pembicaraan majikannya.

“Mengapa kamu berteriak?”

“Jadi Bapak setuju mereka berhubungan?” katanya sengit.

“Raya itu sangat ringkih. Tertekan sedikit saja dia sakit, dan itu selalu terjadi sejak dia masih kecil, bukan?”

“Kali ini dia mempergunakan sakitnya itu untuk senjata meluluhkan hati kita. Tapi ibu tetap tidak setuju. Ingat dong, dia itu siapa?”

“Anak kita sangat mencintai Damian.”

“Menjijikkan!”

“Bu, kamu jangan terlalu merendahkan seseorang hanya karena kedudukannya. Ingatlah bagaimana perilakunya.”

“Ya Tuhan … ya Tuhan …,” keluh bu Rahman berkali-kali sambil menutupi wajahnya.

“Kita bisa menaikkan derajatnya. Menyekolahkannya, memberinya kedudukan di kantor aku.”

“Tidaaak. Ibu tetap tidak setuju.”

“Ibu tahu, dia bilang tidak akan menikah selamanya kalau harus putus sama Damian.”

Bu Rahman bergeming.

“Dia juga bicara, mungkin dia akan mati muda.”

Bu Rahman melepaskan kedua tangan dari wajahnya. Kata-kata ‘mati’ membuatnya terkejut. Siapa yang ingin anaknya mati?

“Dia akan bunuh diri?”

“Dia tidak mengatakan itu. Tapi aku sangat menghawatirkannya. Ibu harus bisa mengerti, kalau memang Ibu menyayangi anak Ibu, Jadi besok atau lusa aku akan menemuinya di bengkel tempat dia bekerja. Atau kalau tidak ya ke rumahnya saja. Aku kan sudah tahu di mana rumahnya, ketika pada suatu hari mengantarkan Timan pulang.”

Bu Rahman tak menjawab apapun. Rasa kecewa ditahannya di dalam hati.

***

Kamila sedang duduk diruang tengah sambil melihat televisi, setelah masak. Ia juga sedang menunggu kedatangan suaminya, yang selalu pulang saat makan siang.

Tiba-tiba ia mendengar suara bel tamu dibunyikan bertalu-talu. Kamila bergegas melangkah ke arah depan, dan melihat wanita yang pernah dikenalnya, sudah berdiri di teras. Tangannya masih memegang tombol bel tamu dan siap dipencetnya lagi. Ia segera melepaskannya setelah melihat Kamila membuka pintu.

“Mencari siapa?” tanya Kamila yang tak suka melihat kedatangannya.

“Bolehkah saya masuk?” tanya sang tamu yang ternyata adalah Juwita.

“Di teras saja ya, rumah sedang saya bersihkan,” jawab Kamila mengutarakan alasan agar tamunya tak masuk ke dalam rumah.

“Tidak masalah, yang penting saya bisa duduk,” katanya sambil menuju ke arah kursi yang ada di teras itu.

“Orang hamil sering merasa pegal-pegal kalau terlalu lama berdiri,” lanjutnya.

“Ada keperluan apa datang kemari?” tanya Kamila.

“Mas Abi sudah pulang?”

“Ini masih jam kantor. Mengapa tidak menemuinya di kantor saja?”

“Mereka selalu menolak aku masuk setiap kali aku datang ke kantor. Keterlaluan juga sih, padahal aku kan istri mas Abi.”

Kamila ingin mengusir Juwita karena sebal dengan lagaknya, tapi diurungkannya, karena sesungguhnya dia ingin tahu ada keperluan apa dia ingin menemui Abi lagi.

“Ada perlu apa sih?” tanya Kamila, dingin.

“Aku ingin marah sama dia. Dia telah mengingkari perjanjian yang sudah dia buat, di mana dia baru akan menceraikan aku selama setahun, setidaknya sampai bayi ini lahir. Tapi baru tiga bulan berjalan, aku sudah menerima surat panggilan cerai. Apa maksudnya ini? Apakah Anda yang membujuknya?” tuduh Juwita.

“Ada perjanjian dibuat, karena sebuah ketulusan. Ada pejanjian dibuat, ternyata ada kebohongan di dalamnya, dan ini membuat perjanjian menjadi batal. Bukan karena mas Abi ingkar, tapi karena Anda sudah membohonginya,” jawab Kamila.

Juwita mengangkat wajahnya, menatap Kamila dengan marah.

“Apa maksud Anda dengan kebohongan itu? Siapa … membohongi siapa?”

“Anda, membohongi suami saya.”

Juwita tampak kaget, pandangan matanya menurun ke lantai, ia tentu saja tidak mengira bahwa rahasianya telah terbongkar. Ia kemudian kembali menatap Kamila dengan tajam.

“Anda boleh membenci dan cemburu pada saya, tapi Anda harus tahu, bahwa mas Abi telah meneteskan benihnya di rahim saya, dan dia harus bertanggung jawab. Bukankah itu wajar? Dan Anda harus menerimanya, mau atau tidak.”

“Siapa meneteskan benih di rahim Anda? Kepada mas Abi Anda bilang benih mas Abi, lalu kepada mas Rama, Anda juga bilang bahwa itu benih mas Rama?” kata Kamila dengan nada tinggi.

Juwita terbelalak. Ia tidak mengira Kamila mengenal Rama.

“Apa?”

“Dan bayi itupun bukan benih diantara mas Abi atau mas Rama. Anda melayani berapa orang pria selain mas Abi dan mas Rama?”

“Omong kosong apa itu?”

Ketika itulah mobil Abi memasuki halaman. Mata Juwita berkilat. Apa yang dikatakan Kamila sama sekali tidak diduganya. Sekarang dia mengerti kalau rahasianya telah diketahui banyak orang.

Saat Abi menginjakkan kakinya di teras, Juwita menundukkan kepalanya. Tapi kemudian timbul kekuatan darinya untuk mengelak. Ia tak harus diam saja.

“Ada apa kamu kemari?” tanya Abi dingin.

“Kemarin aku menerima surat panggilan perceraian. Apa maksudnya? Istri Mas ini menuduh aku melayani banyak pria, sementara mas Abi mengakuinya. Ya kan?”

 “Itu benar. Aku menceraikan kamu.”

“Mas. Mengapa Mas ingkar? Baru tiga bulan lebih Mas menikahi aku, bayi ini belum lahir.”

“Aku ingkar, karena kamu bohong.”

“Mas, aku tidak bohong, aku benar-benar hamil.”

“Kamu memang hamil, tapi bukan karena aku. Kamu pembohong. Kamu juga membohongi Rama, bukan? Sekarang pergilah. Dan aku masih bermurah hati, untuk membiarkan kamu menempati apartemen itu sampai habis kontrak.”

“Mas, kenapa Mas kejam? Menuduhku seperti itu? Mas Rama tergila-gila sama aku, itu bukan salah aku.”

"Diam dan pergilah. Aku bukan menuduh kamu sembarangan. Aku dan Rama sudah melakukan tes DNA atas bayi kamu, dan bukan kami ayahnya. Kamu pembohong.”

“Mas bohong!!”

“Kamila, sayang, ambilkan hasil tes DNA yang sudah aku foto kopi itu,” perintahnya kepada Kamila, yang kemudian berdiri untuk memenuhi permintaan suaminya.

“Mengapa menjadi begini?” Juwita menangis.

“Kalau kamu masih bersikeras menyangkal, kami akan melaporkan kamu ke polisi, dan kamu akan dipenjara.”

Tiba-tiba, entah karena ketakutan atau apa, Juwita berdiri, kemudian setengah berlari menjauh. Sebelum ia sampai di gerbang, Kamila telah keluar. Ia juga melihat Juwita beranjak keluar dengan cepat.

“Kemana dia? Ini surat keterangan itu.”

“Biarkan saja, dia sudah tahu kalau kita memiliki bukti. Jadi dia memilih kabur.”

“Mas akan melaporkannya?”

”Aku dan Rama sepakat memaafkannya.”

“Syukurlah, kasihan juga kalau dia dipenjara, sedang hamil pula.”

“Entah siapa ayah dari bayi itu, tapi aku tak akan memusingkannya. Sekarang aku lapar. Apakah istriku sudah menyiapkan makan siang untuk suaminya yang ganteng ini?” canda Abi.

“Hmh, ganteng ya. Dan itu sebabnya Juwita tergila-gila.”

“Hei, kenapa membawa nama dia juga? Aku lebih suka kalau kamu yang tergila-gila,” kata Abi sambil merangkul istrinya, lalu mereka beranjak ke ruang makan.

Apapun cacat cela sang suami, Kamila sudah memaafkannya, karena Abi mengakui kesalahannya sejak awal.

***

Alex memberi banyak nasehat kepada keponakannya, sebelum meninggalkannya. Mereka sempat menitikkan air mata lagi ketika berziarah ke makam pak Timan dan istrinya. Tapi Damian merasa lebih kuat, karena ia masih punya keluarga.

“Kapan-kapan aku akan kembali kemari dan menjemput kamu, agar kamu mengenal lebih dekat saudara-saudara kamu di sana,” kata Alex ketika Damian mengantarkannya ke bandara.

“Baiklah Om. Sekarang saya akan bersiap menata hidup saya, dan terima kasih telah membuat saya lebih bangkit dari kehidupan yang semula tampak terpuruk dan penuh sepi, setelah bapak pergi.”

“Kamu harus tahu, bahwa kamu tidak sendiri. Kami selalu ada untuk kamu.”

“Terima kasih Om.”

Ketika Damian kembali pulang, ada sesuatu yang membesarkan hatinya, yaitu bahwa dia tidak sendirian. Ada yang mengentaskannya dari rasa rendah diri. Sekarang dia bersiap untuk memulai kehidupannya yang akan ditata dengan baik. Mungkin dia akan terus bekerja dan kuliah di sore hari. Ia akan membicarakannya nanti pada Agus, sahabatnya, tentang keinginannya untuk kuliah.

Damian tak ingin mengandalkan uang yang dimilikinya untuk kemudian berleha-leha tanpa melakukan apapun. Uang yang tercipta karena tetesan keringat lebih terasa nikmat. Damian yang sederhana tak ingin berubah, walau memiliki harta berlimpah.

***

Sore itu ketika sedang duduk santai di teras rumah, Damian terkejut melihat mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Ia mengenali mobil itu, mobil bekas majikannya. Dada Damian berdegup kencang melihat kedatangan tuan Rahman ke rumahnya. Bayangan Raya melintas, lalu hatinya merasa cemas.

Pasti tuan Rahman akan memarahinya, walau dia menjawab apapun juga. Ia tahu Raya amat nekat dan tampaknya kedua orang tuanya sudah mengetahuinya.

Walau bagaimanapun, Damian menyambutnya dengan turun dari teras.

“Tuan, selamat bertemu kembali,” katanya sambil mengulurkan tangan, kemudian menciumnya.

“Kamu sudah pulang dari bekerja?”

“Kebetulan hari ini saya tidak bekerja, Tuan.”

Melihat sikap tuan Rahman yang lunak, debar di jantung Damian berkurang. Tadinya dia mengira bahwa bekas majikannya akan menyemprotnya habis-habisan.

“Silakan masuk Tuan, saya tidak mengira Tuan akan datang ke gubug saya ini.
Pak Rahman mengangguk.

Duduk di teras sini saja, hawanya lebih segar, katanya sambil duduk di salah satu kursi tua di teras itu.

Damian akan beranjak ke belakang, tapi pak Rahman memanggilnya.

“Dam, kamu mau apa?”

“Saya buatkan minum untuk Tuan.”

“Tidak usah, kita omong-omong saja di sini.”

Jantung Damian berdebar kencang lagi. Omong-omong apa ya yang akan diutarakan sang bekas majikan ini?

“Damian, sebenarnya aku sedang memikirkan keinginan Raya.”

Deg. Jantung Damian terasa bagai dipukul palu sebesar gajah.

“Kamu mencintai Raya?”

Kaki Damian bergetar. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Damian bukan penakut, tapi sekarang dia benar-benar takut.

“Kamu harus berterus terang, aku akan mendengarnya dan tidak akan memarahi kamu. Kamu kan tahu, Raya amat mencintai kamu?”

Damian menghela napas berat. Ia menata batinnya, hingga mampu mengucapkan beberapa patah kata.

“Kalaupun saya mencintai Non Raya, saya tidak akan mengganggunya. Saya harus tahu diri, dan berkali-kali saya mohon agar non Raya melupakan saya.”

“Baiklah, sebenarnya aku tidak melarang sebuah hubungan cinta, jadi aku tidak akan menghalangi kalian.”

Damian mengangkat wajahnya, tak percaya akan apa yang didengarnya.

“Tapi ada syaratnya.”

Damian hanya menatap bekas majikannya, tanpa menjawab apapun.

“Aku ingin menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi.”

Mata Damian terbelalak.

“Dana sudah aku siapkan, kamu tak usah memikirkannya.”

Apakah Damian bahagia? Ataukah merasa sakit hati karena pernyataan itu hanya menunjukkan bahwa tuan Rahman masih menganggap bahwa dirinya rendah.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...