Thursday, June 29, 2023

SEBUAH PESAN 31

 SEBUAH PESAN  31

(Tien Kumalasari)

 

Damian terbelalak. Sungguh dia tidak percaya, karena setelah pak Rahman  menemuinya kemudian memberikan ungkapan yang sama sekali tidak menunjukkan adanya sikap menyetujui hubungannya, tiba-tiba Raya mengatakan bahwa ayahnya minta agar dia melamar?

“Dam, mengapa menatap aku seperti itu? Aku berkata benar, sebelum aku berangkat kemari, bapak mengatakan itu.

Damian terdiam.

“Tapi semalam aku menelpon kamu dan sama sekali kamu tidak mau mengangkatnya, kenapa?”

“Itulah. Saya takut mendengar Non mengatakan bahwa tuan Rahman tidak mengijinkan Non mendekati saya.”

“Mengapa kamu merasa begitu?”

“Ketika tuan Rahman menemui saya, tidak ada tanda-tanda bahwa tuan Rahman mengijinkan saya berhubungan dengan Non. Saya sudah memutuskan untuk menerima nasib, menerima garis hidup saya yang seperti ini.”

Raya mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya datang menemui Damian.

“Bapak menemui kamu?”

Damian mengangguk.

“Bapak tidak bilang sama aku. Bapak bicara apa saja?”

“Tuan Rahman menyuruh saya kuliah lagi, beliau akan membiayainya sampai selesai, dan menjanjikan kedudukan di perusahaan beliau.”

“Bagus. Itu berarti bapak menyetujuinya kan? Sesuai apa yang tadi dikatakannya sama aku. Kapan kamu akan mulai mengurus kuliah kamu?” Raya bersemangat.

“Tapi saya tidak bisa menerimanya, Non.”

“Apa? Kamu menolaknya?”

“Saya tidak bisa menerimanya, Saya tidak ingin berhutang.”

“Bapak kan tidak menghutangkannya? Tak mungkin itu.”

“Tapi saya akan merasa berhutang budi. Jadi saya berprinsip, kalau memang saya diterima, terimalah saya apa adanya saya. Saya yang tidak berpendidikan tinggi, saya yang hanya pegawai bengkel, saya yang miskin. Bukan karena saya seorang sarjana dan punya kedudukan. Apa Non menginginkan itu?”

“Tidak Dam, aku cinta kamu seperti apa adanya kamu.”

“Terima kasih Non.”

“Tapi kenyataannya, bapak tadi mengatakan itu.”

“Saya heran.”

“Dam, tapi kemudian aku mengerti. Mungkin bapak menyukai prinsip kamu, dan itulah sebabnya bapak meminta agar kamu segera melamar aku.”

Ponsel Damian berdering.

“Dari Agus,” desisnya kemudian mengangkat ponselnya.

“Ya, Gus. Tentu, aku masuk, tapi sedang ada urusan. Mohon ijin untuk terlambat datang ya? Baiklah, terima kasih Gus.”

“Terlambat ya? Aku penyebabnya. Sebenarnya tadi aku akan menemui kamu, untuk bertanya, kenapa semalam kamu tidak menjawab telpon aku. Tapi tiba-tiba Bapak menitipkan pesan itu.”

Damian menghela napas. Melamar? Apakah dia sudah siap punya istri? Seorang anak orang kaya pula.

“Kenapa diam Dam? Kamu tidak sungguh-sungguh mencintai aku?”

“Baru saja saya merasa bisa mengakui perasaan cinta saya. Tapi saya harus bertanya kepada diri saya, apakah saya siap memiliki istri? Apakah seorang putri majikan  saya bersedia hidup kekurangan bersama saya? Itu tidak mudah bagi saya Non.”

“Tapi Dam, aku sudah yakin kepada diri aku sendiri, bahwa aku siap hidup bersama kamu, apapun dan bagaimanapun ujudnya kehidupan kamu.”

“Non serius?”

“Dam, bapak tidak pernah suka, anak gadisnya berpacaran terlalu lama. Itu yang selalu dikatakannya, dan itu sebabnya bapak minta seperti itu.”

Damian menatap Raya berlama-lama. Alangkah cantiknya gadis yang selalu dipujanya. Alangkah bahagia apabila berhasil memilikinya.

“Saya minta Non memikirkannya sekali lagi. Jadi orang miskin itu tidak enak. Kalau pada suatu hari menginginkan sesuatu, dan tidak bisa mencapainya, maka ia akan merasa sengsara.”

“Kamu selalu berbelit-belit.”

“Ini bukan masalah suka ataupun cinta. Terkadang cinta bisa menyesatkan.”

"Mana bisa cinta menyesatkan, selama dia tahu jalan?”

“Tidak semudah itu. Pada awalnya cinta, setelah mengalami hidup susah, maka dia akan merasa tersesat.”

Raya merengut. Ia kesal pada jawaban Damian.

Tiba-tiba Raya berdiri.

“Aku mau pulang saja.”

“Non, apa Non marah?”

“Tidak, aku kesal sama kamu.”

“Non, jangan begitu, aku mengatakan hal yang_”

“Aku pulang dulu.”

Raya melangkah keluar, bergegas mendekati sepeda motornya, lalu menaikinya dan menghidupkan mesinnya.

Damian mengejarnya. Memegang stang motor dan menatap Raya dengan tersenyum.

“Kenapa ya, orang cantik kalau marah wajahnya semakin cantik?”

Raya menatap Damian. Pandangan mereka bertemu dan sebuah bunga api memercik. Damian mengalihkan pandangan ke arah lain. Sekilas saling pandang itu meluluhkan hati Raya. Ia masih saja menatap Damian, dan merasa, alangkah tampan laki-laki yang dicintainya.

Tapi kemudian Raya pun mengalihkan pandangannya ke arah motor yang mesinnya sudah dihidupkannya.

“Pergilah bekerja,” katanya sambil tersenyum.

Damian melepaskan pegangannya pada stang motor itu.

“Nanti kita bicara lagi,” kata Damian.

Raya memutar motornya, kemudian keluar dari halaman.

Damian menatapnya sampai sang Dewi yang dicintainya menghilang dari balik pagar rumahnya.

Damian menghela napas panjang, lalu mendekati sepeda motornya sendiri, sambil terus-terusan bergumam.

“Melamar … melamar … melamar? Mimpi barangkali aku ini, tapi itu kan nyata? Apa aku siap? Benarkah dia mau hidup miskin bersamaku?:

***

Agus memperhatikan Damian sejak dia mulai melakukan tugasnya. Ada yang berbeda, tapi dia tak tahu apa yang membuat Damian berbeda.

Saat makan siang, tak taha Agus menanyakannya. Damian tersnyum cerah.

“Apa sih, aku masih seperti biasanya, apanya yang berbeda?

”Nggak tahu aku, makanya aku bertanya sama kamu, apa yang terjadi sehingga membuat kamu berbeda.”

“Yang berbeda tuh apanya?”

“Wajah kamu itu, tampak sangat cerah, berseri-seri, tidak seperti beberapa hari terakhir ini. Murung, nggak nafsu makan.”

“Bisa aja kamu Gus,” kata Damian sambil tertawa.

“Benar kok. Ada berita baik rupanya.”

“Biasa saja kok. Tapi sebenarnya ada hal serius yang ingin aku katakan sama kamu.”

“Apa tuh?”

“Bagaimana kalau pada suatu saat nanti, aku minta agar diijinkan bekerja paruh waktu?”

“Memangnya kenapa? Ada pekerjaan lain?”

“Tidak, aku ingin kuliah.”

“Wouw, hebat sekali. Kapan?”

“Belum tahu pastinya kapan, aku sedang mengurusnya, barangkali ada kuliah sore hari. Itu sebabnya aku mau minta ijin agar boleh bekerja paruh waktu.”

“Nanti akan aku sampaikan pada pimpinan. Dia teman baik aku kok. Semoga saja bisa. Tapi aku salut sama kamu, yang masih bersemangat untuk kuliah lagi.”

“Dulu almarhum ayah aku yang ingin agar aku melanjutkan kuliah, tapi kan biayanya banyak, ayahku mana mampu?”

“Ya, aku mengerti. Aku akan berusaha bilang kepada pimpinan agar permintaan kamu diijinkan. Kan kamu butuh biaya. Ya kan?”

“Terima kasih Gus, kamu memang baik. Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikan yang telah kamu berikan untuk aku.”

“Sudah, kebaikan itu tidak usah dihitung-hitung, kita kan teman, dan akan tetap menjadi teman. Tentu saja teman baik.”

“Selamanya Gus,” kata Damian sambil merangkul pundak Agus.

***

Bik Sarti terkejut ketika Raya tiba-tiba masuk ke dapur dan merangkulnya dari belakang.

“Bibiiiikkk.”

“Ya ampun Non, jantung bibik hampir jatuh tuh, Non membuat bibik terkejut saja.”

“Aku lapar Bik, kenapa Bibik tidak memberi aku makan sih?”

“Lhoh, tadi ketika bibik menyiapkan makan, non sedang tidur. Mana berani bibik membangunkan. Tapi bibik senang, Non bilang lapar. Biasanya, belum makan juga, kalau ditawarin makan selalu bilang sudah kenyang, padahal belum makan apa-apa.”

“Ya sudah Bik, jangan memarahin aku dong, sekarang aku mau makan.”

“Bibik tata dulu di meja.”

“Nggak mau, aku mau makan di dapur saja.”

“Di dapur? Baiklah, bibik ambilkan dulu.”

 Raya duduk di kursi dapur, mencomot sebutir tomat yang ada di depannya, lalu digigit dan dikunyahnya dengan nikmat.

“Lhoh, Non, baru mau dibikin jus sama bibik,” kata bik Sarti sambil meletakkan piring dan nasi beserta lauknya.

“Nggak apa-apa kan, aku cuma makan sebutir, tapi nanti aku masih mau lagi.”

“Baik Non, bagus kalau Non suka. Buah tomah itu sehat. Bibik baru tahu, Non Raya cantik karena rajin minum jus tomat. Tahu begitu, dulu waktu masih muda bibik banyakin makan tomat, biar cantik.”

Raya tertawa.

“Sekarang saja bibik makan tomatnya, biar jadi cantik.”

“Kalau sekarang ya sudah terlambat Non, kulit terlanjur keriput begini. Ya sudah Non, sekarang makan. Yang banyak ya Non.”

“Iya, aku makan banyaksekarang. Ini semur kentang, bukan?”

“Iya Non. Bibik tinggalin cuci piring-piring dulu ya.”

Raya benar-benar lapar. Rasanya seperti sudah seminggu tidak makan. Tapi kan memang sudah berhari-hari Raya susah makan?

“O, makan di dapur? Latihan kalau besok di rumah kamu nggak ada ruang makan ya?” tiba-tiba saja bu Rahman muncul di dapur, melihat Raya makan di situ, lalu menyindirnya dengan pedas.

Raya hanya menoleh sejenak ke arah ibunya, lalu melanjutkan makan.

“Bagus, memang lebih baik latihan, meskipun pastinya dapur ini jauh lebih bagus dari dapur kamu nantinya,” kata bu Rahman lagi sambil tetap berdiri di tengah-tengah pintu dapur.

“Hanya pengin makan ditemani bibik,” jawab Raya singkat, tanpa  menoleh lagi ke arah ibunya.

Bu Rahman beranjak pergi. Bik Sarti melongok, dan mendekati Raya setelah bayangan nyonya majikan tak kelihatan lagi.

“Non sih, pakai acara makan di dapur segala, diomelin nyonya kan?”

“Biarin saja Bik, ibu memang lagi kesal sama Raya.”

“Jangan suka membuat kesal orang tua Non.”

“Maksudku juga begitu.”

“Non bandel ya.”

“Bik, aku cinta mati sama Damian, tapi ibu tidak suka,” kata Raya membela diri.

“Semoga Non tidak akan menyesal nanti.”

“Doakan yang baik untuk Raya dong Bik.”

“Doa terbaik selalu buat Non.”

“Terima kasih ya Bik,” kata Raya sambil menyudahi makan siangnya.

***

Pak Rahman baru saja pulang dari kantor. Ia ingin tahu, apa jawaban Damian setelah Raya menyampaikan keinginannya. Tapi bu Rahman menjawab bahwa dia tidak tahu menahu.

“Mengapa ibu tidak menanyakannya? Ketika dia kembali kan aku sudah berangkat ke kantor.”

“Dia juga tidak cerita, jadi ibu ya diam saja,” jawab bu Rahman dengan wajah keruh.

“Ibu kan memang tidak suka sama Damian.”

“Memang iya. Sejujurnya ibu tidak suka. Ibu sudah membayangkan bagaimana kehidupan Raya nantinya.”

“Kehidupan seseorang itu tidak bisa kita bayangkan seperti yang ibu lakukan. Dunia itu kan seperti roda. Dia terus berputar. Yang tadinya diatas bisa menjadi di bawah, demikian juga sebaliknya."

“Apa yang akan terjadi pasti sudah bisa dibayangkan dari sekarang.”

“Dunia itu kan penuh dengan kemungkinan. Sebaiknya kita pasrah saja.”

“Jadi Bapak benar-benar akan menikahkan mereka?”

“Kalau bisa secepatnya.”

“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi awas ya, kalau sampai anakku hidup sengsara.”

Pak Rahman baru mendapat jawabannya ketika menanyakannya kepada Raya. Rupanya Damian masih belum yakin akan apa yang harus dilakukannya.

“Dia minta Raya berpikir kembali. Dia tidak yakin, Raya sanggup menjalani hidup bersamanya.”

“Soalnya kamu sudah tergila-gila,” sela bu Rahman.

“Karena dia baik, Bu.”

“Ya sudah, tanya pada dia kapan mau menemui bapak. Atau begini saja, bilang sama dia, bahwa bapak ingin bertemu dia, besok sore.”

“Nanti akan Raya sampaikan,” jawab Raya.

***

Damian menghadap pak Rahman karena pak Rahman memanggilnya. Agak gemetar ketika dia sudah berhadapan dengan majikannya.

Damian hanya ditemui pak Rahman, sedangkan bu Rahman pergi keluar dengan alasan belanja kebutuhannya sendiri.

“Kamu tahu mengapa aku memanggil kamu?”

“Sejatinya … saya ingin mengerti, mengapa Tuan memanggil saya.”

“Raya sudah mengatakan sama kamu, tentang keinginan aku?”

“Tentang …” Damian agak susah meneruskannya.

“Aku minta kamu segera melamar Raya.”

Damian terdiam, dia sudah mendengarnya dari Raya.

“Kenapa diam? Apa kamu tidak mencintai anakku?”

“Saya minta Non Raya agar memikirkannya lagi. Saya orang miskin, jauh dari harapan para orang tua yang ingin menerima saya sebagai menantu.”

“Raya siap menjalaninya. Apa jawabmu?”

Damian kembali terdiam.

“Saya tidak ingin kalian hanya berhubungan tanpa status. Kalau kamu memang mencintai Raya, aku akan segera menikahkan kalian.”

“Saya tidak punya orang tua.”

“Itu aku sudah tahu. Yang penting adalah kesanggupan kamu. Jangan khawatir, aku akan membantu untuk menegakkan ekonomi kalian nantinya.”

Damian kembali terhenyak. Hal yang tidak disukainya adalah dengan berkali-kali pak Rahman ingin memberi apapun demi kehidupan layak. Itu sudah pasti.

“Baiklah, Tuan. Saya akan melamar non Raya, tapi dengan satu syarat.

“Katakan. Aku punya segalanya, aku akan berikan semuanya. Rumah bagus, dan aku akan mengijinkan kamu magang di kantor aku, karena kamu sudah menolak untuk aku sekolahkan.”

“Tidak. Justru permintaan saya adalah, jangan sedikitpun memberi apapun untuk kehidupan kami nantinya.”

“Apa?”

“Maaf, Tuan, kalau Non Raya benar-benar bersedia menjadi istri saya, maka dia harus bersedia hidup sederhana bersama saya, tanpa bantuan Tuan.”

Pak Rahman terhenyak. Perjanjian pernikahan yang aneh.

***

Besok lagi ya.

33 comments:

  1. Replies
    1. Selamat buat bu Tingting Bekasi..... malam ini berhasil menjadi juara 1.

      “Katakan. Aku punya segalanya, aku akan berikan semuanya. Rumah bagus, dan aku akan mengijinkan kamu magang di kantor aku, karena kamu sudah menolak untuk aku sekolahkan.”

      “Tidak. Justru permintaan saya adalah, jangan sedikitpun memberi apapun untuk kehidupan kami nantinya.”

      “Apa?”

      Matur nuwun bu Tien episode 31 Sebuah Pesan sudah ditayangkan....... Tambah bikin pinisirin jalan ceritanya.

      Delete
    2. Terima kasih Pak Djoko๐Ÿ™

      Delete
    3. Jreeeeeng
      Tik tok tik tokkkk
      Jreeeengggggg

      Selamat pagi Bunda Tien
      Matur nuwun..

      Semoga Bunda sehat selalu
      Aamiin

      Salam ADUHAI dari Kalimantan


      ๐Ÿ’œ๐Ÿ’™๐Ÿ’š๐Ÿ’›❤

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sudah tayang
    Jam brapapun tetap menunggu.
    Trimakasih bunda
    Moga sehat sll

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah....walaupun banyak kegiatan tetep tayang mb Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~31 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  6. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    ๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah sdh kluar episode 31
    Trimakasih bu Tien semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun mbak Tien
    Sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah SP-31 sudah hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dsn bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  11. Itulah Damian, tidak mau menerima bantuan yang mungkin menjadi hutang. Tentunya nanti kuliahnya lancar, dapat berusaha menjadi bos karena usaha sendiri.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Mbak Tien memang luar biasa...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun mbak Tien, Algamdulillah SB eps. 31 sudah tayang. Salam sehat & bahagia

    ReplyDelete
  14. Terimakasih....Bu Tien .... penasaran kehidupan Damian dan Raya setelah menikah

    ReplyDelete
  15. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  16. Terima kasih ibu Tien...atas konsistensinya dalam berkarya...walaupun hari besar tetap tayang. Salam sehat.๐Ÿ™๐Ÿ˜Š

    ReplyDelete
  17. Hamdallah..SB 31 sdh tayang...Bu Tien... mature Nuwun nggih... Salam Sehat penuh semangat ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ’ช

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Mbu Tien... gemes sama Damian luar biasa.....

    ReplyDelete
  19. Bu Tien.....luaar biasaaaah. Matur nuwun ibuuu kesayangaaaan.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien ..Semoga kita semua dalam keadaan sehat wal afiat Aamiin..๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  21. Terima kasih bu Tien SP 31 sdh tayang ... salam hangat dan aduhai serta doa semoga bu tien selalu sehat aamiin yra

    ReplyDelete
  22. Damian gila lho, sama aja suruh buang anak; terus Raya nggak boleh nerima warisan dari aku, dan itu kamu anggap intervensi gitu?!
    Jian bocah kuwi omonganรฉ empuk watu.
    Alus kementhus.
    Terlanjur begitu yang sudah dijalani aja.
    Tuh kan ngelunjak; maknya tepuk ame ame,
    jadi pikiran babe tambah pusing, mau menyelesaikan masalah malah tambah masalah.
    Adu gengsi, gengsin campur brebet, kebanyakan olie.
    Maunya anak ini; terserah elo, mau kamu sia-siain, mau kamu siksa, itu maunya dia.
    Kalau kamu tahu sebenarnya itu berkah, yang kadang banyak godaan dan gangguan dari pihak ketiga; tinggal kamu aja respon nerimanya gimana, mau bersyukur apa enggak itu pertanggung jawab mu pada Nya.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke tiga puluh satu sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun Bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ

    Oh so sweetnya Damian ,, maukah Raya ,, aduhaiiii deh bu Tienku ๐Ÿค—

    ReplyDelete
  24. Terima kasih bunda SPnya..slm Seroja dan aduhai unk bunda ๐Ÿ™๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐ŸŒน

    ReplyDelete
  25. Terima kasih Mbak Tien SP 31 telah hadir di hatiku. Salam hangat dan aduhai serta doa semoga bu tien sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  26. Terima kasih Bu Tien, maaf kakek terlambat baca karena semalam minum obat terus ketiduran, pagi HP untuk mainan cucu, baru bisa baca setelah cucu tidur siang, sekali lagi matur nuwun, semoga Bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...