Monday, June 27, 2022

KEMBANG CANTIKKU 06

 

KEMBANG CANTIKKU  06

(Tien Kumalasari)

 

“Maas, berhenti Maaas, Mas Wahyudiiii,” Sunthi terus mengejar sambil berteriak, tapi mana mungkin Wahyudi mendengar teriakannya? Mobil yang dikemudikan Nano semakin menjauh, dan menghilang di tikungan.

Sunthi menjatuhkan dirinya di tepi jalan, dan bersimpuh sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis terisak-isak. Orang-orang yang lewat hanya melihatnya sekilas, kemudian berlalu.

Tapi seorang pengendara sepeda motor berhenti di dekatnya.

“Apa kamu Sunthi?” tanya pengendara sepeda motor itu pelan. Ia seorang laki-laki muda bertubuh tegap.

Sunthi mengangkat kepalanya, membiarkan wajahnya basah oleh air mata.

“Sunthi? Kamu Sunthi kan?” laki-laki itu turun dari atas sepeda motornya.

“Mas Tino ?” tanya Sunthi lirih. Ia ingat Tino, karena sering ikut simboknya ke pasar, dan mengenalnya sebagai penjual bakso keliling yang mangkal di pasar itu setiap pagi.

“Iya, kamu kenapa?” tanya Tino sambil duduk di samping Sunthi. Duduk begitu saja tanpa alas. Udara memang panas, tapi tempat Sunthi duduk bersimpuh berada di bawah sebuah pohon rindang, sehingga keduanya tidak kepanasan.

“Ada apa? Kok siang-siang begini kamu ada di sini? Mana simbok? Kok kamu sendirian?” tanya Tino bertubi-tubi.

“Aak… ku … sedih … mas … “ jawabnya sambil mengusap air matanya.

“Kenapa? Dimarahi simbok? Atau bapak?”

“Bukan … dia … menghilang … tadi itu pergi begitu saja … aku melihatnya .. aku berteriak … dia tidak mendengar,” kata Sunthi begitu saja, tanpa sadar bahwa tentu saja Tino tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya.

“Kamu ngomong apa? Siapa yang kamu ceritakan itu?” tanya Tino bingung.

“Laki-laki yang lupa segala-galanya itu …”

“O, maksudmu dia? Iya, simbok penah cerita sama aku tentang laki-laki bernama Wahyudi. Dia yang kamu tangisi sampai wajahmu bengkak seperti itu?”

“Apa? Wajahku bengkak? Aku jelek sekali bukan?” tanya Sunthi sambil meraba wajahnya.

Tino tersenyum tipis. Ada rasa cemburu di hatinya karena sebenarnya dia jatuh hati sama anaknya mbok Tukiyo yang sangat dikenalnya di pasar. Dan mbok Tukiyo sendiri sudah pernah mengatakan bahwa ingin mengambilnya sebagai menantu, walau Tino tahu bahwa itu dikatakannya setengah bercanda.

“Jelek sekali,” canda Tino.

“Hmm … pantas dia tak pernah suka sama aku …” gumamnya pelan.

“Tidak, aku hanya bercanda. Kamu tampak sembab karena habis menangis. Tapi kamu tetap manis seperti gula.”

“Bohong … “

“Sungguh.”

“Aku tidak mau seperti gula, nanti aku dikerubutin semut.”

Tino tertawa.

“Semut tidak akan berani mendekati kamu, karena aku sudah melarangnya.”

“Huuhh, mana bisa kamu melarang semut mengerubutin gula?”

“Ya bisa dong, aku ini kan rajanya semut.”

Tak urung Sunthi tertawa mendengar canda yang dilontarkan Tino.

“Nah, gitu, tertawa, biar tambah cantik.”

“Mana mungkin aku cantik, kulitku kehitaman. Orang cantik itu kulitnya putih, bersih.”

“Bukan begitu. Orang cantik itu adalah orang yang punya budi pekerti luhur, baik, santun, penuh kasih sayang. Maka, jadilah orang cantik, walaupun kulitmu kehitaman.”

Mata Sunthi berbinar. Ia tidak banyak bergaul dengan pria manapun, tapi ia senang Tino memperhatikannya. Bahkan Wahyudi yang dibohonginya tentang dirinya yang calon isterinya, sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan kelihatan cuek dan tidak peduli.

“Sebenarnya Wahyudi pergi ke mana?” Tino kembali bicara tentang Wahyudi, walau hatinya sedikit panas.

“Tadi bersama bapak pergi ke pasar, tapi tiba-tiba dia menghilang, bapak sudah mencarinya, tetap tidak ketemu. Karena penasaran, aku berangkat sendiri mencarinya, dan tadi aku melihatnya. Tapi dia bersama seorang laki-laki, dan naik mobil. Dia tak mendengar teriakan aku, mobil itu membawanya pergi.”

“Kalau begitu barangkali dia sudah ketemu keluarganya.

“Begitukah ?”

“Mungkin saja. Nyatanya kemudian dia pergi, naik mobil bersama orang lain.”

Sunthi termenung. Kemungkinan itu memang ada. Lalu dia ketakutan sendiri. Kalau Wahyudi sudah ketemu keluarganya, pasti dia akan segera mengerti bahwa Sunthi bukan apa-apanya.

“Kalau benar begitu, apa lagi yang kamu harapkan? Kamu bukan apa-apanya dia kan? Bisa jadi dia tak akan pernah kembali ke rumahmu.”

Sunthi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Maukah aku antar pulang?”

Sunthi ragu sejenak, tapi kemudian dia sadar, bahwa hari telah menjelang sore, dan dia sangat letih karena berlarian mengejar mobil yang ditumpangi Wahyudi tadi.

“Mau nggak?”

“Sampeyan nggak jualan?”

“Daganganku sudah habis.

“Oo, laris ya Mas.”

“Laris, syukurlah, aku sudah bisa nabung untuk melamar calon istri, besok.”

“Sampeyan mau kawinan?”

“Ya pastilah, masa aku harus membujang terus?”

“Oh, selamat ya Mas.”

“Selamat apanya?”

“Katanya mau kawinan?”

“Iya, itu sudah pasti, tapi yang mau aku jadikan istri belum ada.”

“Oo, kirain …  sudah ketemu jodoh.”

“Aku sudah ketemu orangnya, cuma belum tahu, dia mau apa tidak menjadi istriku.”

“Masa sih tidak ada yang mau.”

“Kamu carikan deh … “

“Aku tidak pernah ke mana-mana, ya nggak mungkin bisa mencarikan jodoh untuk sampeyan.”

“Kalau begitu kamu saja,” kata Tino sekenanya.

“Aku?”

“Daripada kamu mengejar laki-laki yang belum pasti, apa tidak lebih baik memilih aku saja?”

Sunthi tertunduk, tersipu. Ia jarang bergaul, dan apa yang dikatakan Tino membuatnya berdebar.

“Maukah? Atau … kamu sudah benar-benar cinta mati sama laki-laki yang belum jelas asal usulnya itu?” desak Tino.

“Entahlah. Aku hanya suka, karena dia ganteng sekali.”

“Aku juga ganteng lho. Coba kamu tatap aku. Pandangi aku, kurang ganteng apa aku ini?” kata Tino sambil beralih duduk di depan Sunthi.

Sunthi menatapnya sejenak, kemudian tersipu. Ia merasa aneh tiba-tiba. Terhadap Wahyudi, ia tidak merasakan jantungnya berdebar sekencang ini. Ia hanya suka karena Wahyudi ganteng, tapi debaran aneh di dadanya tidak pernah ada.

“Hei … memandangnya kurang lama, jadi kamu belum yakin,” canda Tino.

“Mas Tino aneh ah.”

“Ya sudah, ini sudah sore, aku antar kamu pulang ya,” kata Tino sambil berdiri.

“Ayo, berdiri sendiri, atau mau aku gendong?” lanjut Tino masih sambil bercanda.

"Tadi kok kamu tahu bahwa itu aku, bukankah wajahku tidak kelihatan?" tanya Sunthi.

"Baju yang kamu pakai itu kan yang beli simbok? Aku lho yang memilihkan warnanya. Jadi aku ingat. Dan tadi hanya kira-kira saja, ternyata benar."

Sunthi bangkit dari duduknya. Sisa air mata itu sudah tak ada. Bayangan Wahyudi sirna perlahan dari ingatannya, karena ada debar aneh yang saat itu dirasakannya.

***

Tukiyo sedang memarahi istrinya karena Sunthi tiba-tiba pergi tanpa pamit, ketika tiba-tiba sepeda motor Tino memasuki halaman kecilnya.

“Lho, itu Tino. Sama Sunthi kan?” teriak mbok Tukiyo.

“Ternyata pergi sama Tino, kok tidak bilang sama orang tuanya,” kata Tukiyo sambil keluar dari dalam rumah, menyambut datangnya Tino dan Sunthi, dengan wajah masam.

Tino sudah turun dari motornya, mengikuti Sunthi yang segera berjalan mendekati rumah.

“Dari mana kamu?” hardik Tukiyo.

“Maaf Pak, aku …”

“Kamu juga, kalau mau membawa anak gadis orang, bilang dulu sama orang tuanya,” katanya kepada Tino tanpa ada keramahan sedikitpun.

“Maaf Pak, saya bukan membawa Sunthi dari rumah. Saya menemukan Sunthi menangis di tepi jalan, dan sekarang mengantarkannya pulang,” terang Tino, sementara Sunthi sudah lari masuk ke dalam rumah.

“Sunthi menangis di tepi jalan? Di mana?” sela mbok Tukiyo kaget.

“Di dekat pasar Mbok, di depan toko-toko pakaian.”

“Jadi Sunthi tidak pergi sama kamu?” tanya Tukiyo sambil merendahkan nada suaranya.

“Tidak Pak.”

“Bapaknya Sunthi itu, belum-belum sudah main marah saja,” gerutu istrinya.

“Sunthiiii !” teriak Tukiyo.

Sunthi datang sambil menundukkan wajahnya.

“Apa yang kamu lakukan? Mengapa menangis di tepi jalan?” kata Tukiyo kesal.

“Aku … melihat mas Wahyudi … “

“Melihat Wahyudi? Di mana?” tanya Tukiyo dan istrinya hampir bersamaan.

“Dia habis belanja … bersama seorang laki-laki., lalu naik mobil, pergi begitu saja.”

“Siapa dia?” tanya Tukiyo.

“Nggak tahu, aku panggil dia, tapi sepertinya tidak mendengar.”

"Jangan-jangan kamu salah orang," kata simboknya.

"Dia memakai bajunya bapak kok. Jadi aku yakin."

“Siapa ya yang membawanya?” gumam Tukiyo.

“Mungkin ketemu salah seorang kerabatnya,” kata istrinya.

Tukiyo menghela napas.

“Kalau benar demikian, ya syukurlah. Kasihan dia. Tapi kenapa kamu menangis?” tanya Tukiyo sambil menatap Sunthi.

“Aku berteriak-teriak, dia tidak mendengar.”

“Memalukan. Dan kamu pergi tidak pamit sama bapak, sama simbokmu?”

Sunthi tidak menjawab, hanya menundukkan wajahnya.

“Ya sudah, ini malah Tino tidak segera di suruh duduk. Ayo No, masuk dulu, simbok buatkan wedang anget,” kata mbok Tukiyo ramah.

“Sudah Mbok, terima kasih, saya mau langsung pulang saja. Sudah sore,” jawab Tino.

“Maaf lho No, aku tadi marah-marah sama kamu. Habis kami bingung tiba-tiba Sunthi menghilang begitu saja.

“Tidak apa-apa kok Pak, saya maklum. Baiklah, saya permisi, Pak, Mbok.”

“Iya No, terima kasih ya, sudah mengantarkan Sunthi,” kata Tukiyo dan istrinya serempak.

“Sama-sama, hanya kebetulan saja saya lewat,” kata Tino sambil mendekati sepeda motornya, menstarternya, kemudian berlalu.

“Dasar anak tidak tahu malu, mengapa coba kamu menangisi laki-laki yang bukan siapa-siapa kamu, dipinggir jalan pula. Pasti kamu menjadi tontonan di sana,” omel Tukiyo sambil masuk ke dalam rumah.

“Untung ketemu Tino,” sambung istrinya.

“Coba kalau tidak, lebih lama menjadi tontonan di sana.”

Sunthi hanya terdiam.

“Tino itu baik, apa dia belum punya istri?” tanya Tukiyo tiba-tiba.

“Belum Pak, dia pernah bilang sama aku, katanya pengin jadi menantuku,” jawab istrinya.

“Kalau dia bujangan, dan jelas, kenapa tidak?”

Sunthi setengah berlari masuk ke dalam kamar. Ia ingin bertanya kepada hatinya, apa yang sebenarnya terjadi. Mana yang lebih disukainya, Wahyudi, atau Tino.

***

Bu Kartiko membawa Wahyudi masuk ke dalam rumah, di ruang tengah, di mana suaminya sedang duduk di atas kursi roda, sambil melihat acara televisi.

Wahyudi sudah mandi, dan berganti pakaian bersih dan lebih pantas. Dia kelihatan gagah dan tampan.

“Pak, ini yang namanya Wahyudi. Dia akan menemani dan melayani Bapak,” kata bu Kartiko sambil meminta Wahyudi agar duduk di sofa, di depan pak Kartiko.

Pak Kartiko menatap Wahyudi, dari kepala sampai kaki.

“Hm, kamu lumayan tampan. Namamu Wahyudi?” tanya pak Kartiko tanpa melepaskan pandangannya ke arah Wahyudi.

“Ya Pak,” jawab Wahyudi sambil menganggukkan kepalanya.

“Istriku bilang, kamu tidak ingat apapun?”

“Benar Pak.”

“Bagaimana bisa terjadi?”

“Maaf Pak, itu juga saya tidak bisa menjawabnya. Saya lupa semuanya.”

“Hm, baiklah, berarti tidak banyak yang bisa aku tanyakan sama kamu, bukan?”

“Saya mohon maaf.”

“Kamu tahu, bahwa kamu harus melayani aku?”                     

“Ya Pak, itu yang Ibu katakan sama saya.”

“Aku ini lumpuh, tidak bisa berjalan. Apapun harus dilayani. Dari makan, mandi, bahkan menjelang tidurpun aku butuh seseorang untuk membantu aku. Sebelum ini, ada perawat yang dibayar oleh istriku. Perawat laki-laki, pastinya, tapi aku tidak suka. Dia suka mengeluh dan sering lupa mengingatkan aku untuk makan dan minum obat. Akhirnya selama sebulan ini istriku sendiri yang melayani aku. Aku kasihan sama dia. Dia itu kan tua nya sama saja seperti aku. Kalau terlalu capek, jangan-jangan dia juga akan jatuh sakit, lalu kami sama-sama sakit. Bagaimana, susah kan?”

Wahyudi mengangguk.

“Aku mau mencarikan perawat lain, tapi bapak tidak mau Nak, semoga sampeyan bisa meladeninya,” sambung bu Kartiko.

“Saya akan mencobanya Bu, tapi saya mohon, panggil nama saya saja, tidak usah pakai ‘nak’. Saya jadi tidak enak.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Nanti akan aku beri kamu catatan, tentang jam tidur bapak, jam makan, dan obat-obat yang harus di minum.”

“Baiklah.”

“Kalau hari Minggu kamu boleh libur. Demikian juga Nano, supir di rumah ini. Kecuali ada hal-hal mendesak yang mengharuskan kami membatalkan liburan kalian. Dan untuk itu ada uang lembur bagi kalian.”

“Bagi saya, tidak mendapat uang juga tidak apa-apa, karena saya sudah mendapat tempat tinggal yang layak dan makan cukup.”

“Tidak, jangan begitu. Mana mungkin kami tidak membayar tenaga orang yang bekerja untuk  kami. Oh ya, kamar kamu bersebelahan dengan kamarnya Nano. Nano itu sebenarnya namanya Marno, kami cari enaknya saja. Nano, lebih gampang,” kata bu Kartiko.

Wahyudi mengangguk. Ia berharap bisa melakukan tugasnya dengan baik, sehingga tidak mengecewakan orang yang sudah menolongnya.

“Baiklah, kamu boleh istirahat dulu sekarang, mulailah bekerja besok pagi, sementara aku akan membuatkan catatan tugas kamu dulu.

“Baik … Bu.”

“Oh ya, satu lagi, kalau siang, cucuku Karmila ada di sini bersama pengasuhnya, karena ayah dan ibunya bekerja dari pagi sampai sore. Sepulang bekerja, mereka menjemput anaknya kemari.

Wahyudi mengangguk. Pantas ketika pulang dari belanja dia tak lagi melihat Mila di rumah itu.

“Mereka mengendalikan usaha kami, karena pak Kartiko sudah tidak lagi mampu bekerja.”

“Anakku, laki-laki, namanya Wisnu. Istrinya Aqila namanya," sambung pak Kartiko.”

Wahyudi terkejut mendengar nama itu. Qila … Qila … dan gadis kecil berkepang dua itu kembali terbayang di benaknya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 



40 comments:

  1. Replies
    1. Selamat jeng Iin, penjaga gawang blogspot tienkumalasari22,.

      Matur nuwun bunda, sugeng dalu sehat terus dan terus sehat, nggih bun. Salam santun kagem mas Tom

      Delete
  2. Alhamdulillah.. sdh tayang..🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien Salam sehat selalu buat mbak Tien dan semuanya, Aamiin

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari...salam ADUHAI selalu...🙏

    ReplyDelete
  5. Alhandulillah... maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 06 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah.. terima kasih bunda Tien, salam sejat dan aduhai..

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 06 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah bisa mengikuti dg lancar lg kisah2 menarik dari B Tien. Makasih. Semoga sehat selalu dan lancar terus.

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah berkunjung.
    Ternyata Sunthi belok arah, ada Tino Abang Penjual Bakso.
    Yaa masih belum jelas semua.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah sudah tayang episode 06
    Terimakasih bunda Tien Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Semoga ajeg sehat
    Matur nuwun buTien

    ReplyDelete
  15. Puji Tuhan, KC 06 yg di tunggu2 sudah hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Semoga Sunthi berbahagia sama Tino dan Wahyudi juga berbahagia dalam kerja melayani bpk Kartiko.

    Semoga Wahyudi bisa segera ketemu dgn mama papanya Aqila yg kemungkinan itu adalah Retno dan Sapto.

    Monggo dilanjut aja, penasaran nih.
    Matur nuwun, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  16. Ya sudah Sunthi jadian sama Tino saja...😊
    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  17. “Anakku, laki-laki, namanya Wisnu. Istrinya Aqila namanya," sambung pak Kartiko.”

    Wahyudi terkejut mendengar nama itu. Qila … Qila … dan gadis kecil berkepang dua itu kembali terbayang di benaknya.

    Jika benar Aqila yang ini anak Retno/Sapto, berarti Wahyudi sudah tua dong blm nikah, sementara Qila saja sdh menikah dengan Wisnu anak pak Kartiko.
    Lanjoooooot bunda...... sabar menunggu

    ReplyDelete
  18. P E N G U M U M A N

    Telah Terbit NOVEL CINTAKU DI ANTARA MEGA karya TIEN KUMALASARI 335 halaman (tayang 25 Juni sd 03 Juli 2020)
    Harga Rp, 110,000/eksp, belum termasuk ongkos kirim.
    Harga Rp.100.000/eksp untuk pembelian minimal 5 eksp atau lebih, belum termasuk ongkos kirim.
    Dapat dipesan :
    1. Ibu Tien Kumalasari
    082226322364;
    2. Ibu Iyeng Santoso
    08179226969;
    3. Bpk. Djoko Budi Santoso. 085101776038.

    Tinggal 18 belas buku lagi "CINTAKU_DI_ANTARA MEGA" Cetakan Perdana. Siapa cepat dapat dan siap lambat gak kebagian. Buruan......... order.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat semua ya bu 🤗🥰

    ReplyDelete
  20. Waduh sorry aku terlalu baper, ini Qila yg sdh bersuami dan sdh punya anak .
    Agak rumit juga hubungan dgn cerbung yll.

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, KC 06 sdhtayang. Matursuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu.... SALAM ADUHAI

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien.
    Semakin seruu..
    Salam sehat selalu...aduhai

    ReplyDelete
  23. Terima kasih bundaTien..slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  24. Duh bener gak ya Aqila anak sapto Retno.....apa ada Aqila yang lain hanya Bu tienlah yg tau....trims Bu Tien

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun, bu Tien...sudah mulai asyik nih ceritanya. Aqila sama nama saja mestinya, karena Qila anak Retno kan belum dewasa ya?😅

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah Novel Cintaku Ada Di Antara Mega (CADM) Cetakan Perdana 50 buku sdh habis terjual.
    Bagi Anda yang berminat koleksi cerbung CADM karya bu Tien Kumalasari, kami buka lagi pemesanan buku CADM kloter 2.
    Akan dikirim mulai tgl 2 Juli 2022.

    Jumlah buku 50
    Transfer ke BNI Norek 0249117018
    a.n Sri Setiawati
    Alamat kirim dan bukti transfer dijapri ke Iyeng Santoso 08179226969.

    ReplyDelete
  27. Assalamu'alaikum, selamat pagi ..terimakasih ya bu Tien

    ReplyDelete
  28. Assalamu'alaikum, selamat pagi dan Terima kasih ya bu Tien

    ReplyDelete
  29. “Tadi bersama bapak pergi....
    Bukankah perginya kemarin? bukan tadi....

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 04

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  04 (Tien Kumalasari Widayat)   Sejenak Satria tertegun, melihat Sinah tiba-tiba duduk di sampingnya dan ik...