KEMBANG CANTIKKU
06
(Tien Kumalasari)
“Maas, berhenti Maaas, Mas Wahyudiiii,” Sunthi terus
mengejar sambil berteriak, tapi mana mungkin Wahyudi mendengar teriakannya?
Mobil yang dikemudikan Nano semakin menjauh, dan menghilang di tikungan.
Sunthi menjatuhkan dirinya di tepi jalan, dan
bersimpuh sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis
terisak-isak. Orang-orang yang lewat hanya melihatnya sekilas, kemudian
berlalu.
Tapi seorang pengendara sepeda motor berhenti di
dekatnya.
“Apa kamu Sunthi?” tanya pengendara sepeda motor itu
pelan. Ia seorang laki-laki muda bertubuh tegap.
Sunthi mengangkat kepalanya, membiarkan wajahnya basah
oleh air mata.
“Sunthi? Kamu Sunthi kan?” laki-laki itu turun dari
atas sepeda motornya.
“Mas Tino ?” tanya Sunthi lirih. Ia ingat Tino, karena
sering ikut simboknya ke pasar, dan mengenalnya sebagai penjual bakso keliling
yang mangkal di pasar itu setiap pagi.
“Iya, kamu kenapa?” tanya Tino sambil duduk di samping
Sunthi. Duduk begitu saja tanpa alas. Udara memang panas, tapi tempat Sunthi
duduk bersimpuh berada di bawah sebuah pohon rindang, sehingga keduanya tidak
kepanasan.
“Ada apa? Kok siang-siang begini kamu ada di sini?
Mana simbok? Kok kamu sendirian?” tanya Tino bertubi-tubi.
“Aak… ku … sedih … mas … “ jawabnya sambil mengusap
air matanya.
“Kenapa? Dimarahi simbok? Atau bapak?”
“Bukan … dia … menghilang … tadi itu pergi begitu saja
… aku melihatnya .. aku berteriak … dia tidak mendengar,” kata Sunthi begitu
saja, tanpa sadar bahwa tentu saja Tino tidak bisa mengerti apa yang
dikatakannya.
“Kamu ngomong apa? Siapa yang kamu ceritakan itu?”
tanya Tino bingung.
“Laki-laki yang lupa segala-galanya itu …”
“O, maksudmu dia? Iya, simbok penah cerita sama aku tentang
laki-laki bernama Wahyudi. Dia yang kamu tangisi sampai wajahmu bengkak seperti
itu?”
“Apa? Wajahku bengkak? Aku jelek sekali bukan?” tanya
Sunthi sambil meraba wajahnya.
Tino tersenyum tipis. Ada rasa cemburu di hatinya
karena sebenarnya dia jatuh hati sama anaknya mbok Tukiyo yang sangat dikenalnya
di pasar. Dan mbok Tukiyo sendiri sudah pernah mengatakan bahwa ingin
mengambilnya sebagai menantu, walau Tino tahu bahwa itu dikatakannya setengah
bercanda.
“Jelek sekali,” canda Tino.
“Hmm … pantas dia tak pernah suka sama aku …” gumamnya
pelan.
“Tidak, aku hanya bercanda. Kamu tampak sembab karena
habis menangis. Tapi kamu tetap manis seperti gula.”
“Bohong … “
“Sungguh.”
“Aku tidak mau seperti gula, nanti aku dikerubutin
semut.”
Tino tertawa.
“Semut tidak akan berani mendekati kamu, karena aku
sudah melarangnya.”
“Huuhh, mana bisa kamu melarang semut mengerubutin
gula?”
“Ya bisa dong, aku ini kan rajanya semut.”
Tak urung Sunthi tertawa mendengar canda yang
dilontarkan Tino.
“Nah, gitu, tertawa, biar tambah cantik.”
“Mana mungkin aku cantik, kulitku kehitaman. Orang
cantik itu kulitnya putih, bersih.”
“Bukan begitu. Orang cantik itu adalah orang yang
punya budi pekerti luhur, baik, santun, penuh kasih sayang. Maka, jadilah orang
cantik, walaupun kulitmu kehitaman.”
Mata Sunthi berbinar. Ia tidak banyak bergaul dengan
pria manapun, tapi ia senang Tino memperhatikannya. Bahkan Wahyudi yang dibohonginya
tentang dirinya yang calon isterinya, sama sekali tidak memperhatikannya,
bahkan kelihatan cuek dan tidak peduli.
“Sebenarnya Wahyudi pergi ke mana?” Tino kembali
bicara tentang Wahyudi, walau hatinya sedikit panas.
“Tadi bersama bapak pergi ke pasar, tapi tiba-tiba dia
menghilang, bapak sudah mencarinya, tetap tidak ketemu. Karena penasaran, aku
berangkat sendiri mencarinya, dan tadi aku melihatnya. Tapi dia bersama seorang
laki-laki, dan naik mobil. Dia tak mendengar teriakan aku, mobil itu membawanya
pergi.”
“Kalau begitu barangkali dia sudah ketemu keluarganya.
“Begitukah ?”
“Mungkin saja. Nyatanya kemudian dia pergi, naik mobil
bersama orang lain.”
Sunthi termenung. Kemungkinan itu memang ada. Lalu dia
ketakutan sendiri. Kalau Wahyudi sudah ketemu keluarganya, pasti dia akan
segera mengerti bahwa Sunthi bukan apa-apanya.
“Kalau benar begitu, apa lagi yang kamu harapkan? Kamu
bukan apa-apanya dia kan? Bisa jadi dia tak akan pernah kembali ke rumahmu.”
Sunthi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Maukah aku antar pulang?”
Sunthi ragu sejenak, tapi kemudian dia sadar, bahwa
hari telah menjelang sore, dan dia sangat letih karena berlarian mengejar mobil
yang ditumpangi Wahyudi tadi.
“Mau nggak?”
“Sampeyan nggak jualan?”
“Daganganku sudah habis.
“Oo, laris ya Mas.”
“Laris, syukurlah, aku sudah bisa nabung untuk melamar
calon istri, besok.”
“Sampeyan mau kawinan?”
“Ya pastilah, masa aku harus membujang terus?”
“Oh, selamat ya Mas.”
“Selamat apanya?”
“Katanya mau kawinan?”
“Iya, itu sudah pasti, tapi yang mau aku jadikan istri
belum ada.”
“Oo, kirain … sudah ketemu jodoh.”
“Aku sudah ketemu orangnya, cuma belum tahu, dia mau
apa tidak menjadi istriku.”
“Masa sih tidak ada yang mau.”
“Kamu carikan deh … “
“Aku tidak pernah ke mana-mana, ya nggak mungkin bisa
mencarikan jodoh untuk sampeyan.”
“Kalau begitu kamu saja,” kata Tino sekenanya.
“Aku?”
“Daripada kamu mengejar laki-laki yang belum pasti,
apa tidak lebih baik memilih aku saja?”
Sunthi tertunduk, tersipu. Ia jarang bergaul, dan apa
yang dikatakan Tino membuatnya berdebar.
“Maukah? Atau … kamu sudah benar-benar cinta mati sama
laki-laki yang belum jelas asal usulnya itu?” desak Tino.
“Entahlah. Aku hanya suka, karena dia ganteng sekali.”
“Aku juga ganteng lho. Coba kamu tatap aku. Pandangi
aku, kurang ganteng apa aku ini?” kata Tino sambil beralih duduk di depan
Sunthi.
Sunthi menatapnya sejenak, kemudian tersipu. Ia merasa
aneh tiba-tiba. Terhadap Wahyudi, ia tidak merasakan jantungnya berdebar sekencang
ini. Ia hanya suka karena Wahyudi ganteng, tapi debaran aneh di dadanya tidak pernah
ada.
“Hei … memandangnya kurang lama, jadi kamu belum yakin,”
canda Tino.
“Mas Tino aneh ah.”
“Ya sudah, ini sudah sore, aku antar kamu pulang ya,” kata Tino sambil berdiri.
“Ayo, berdiri sendiri, atau mau aku gendong?” lanjut
Tino masih sambil bercanda.
"Tadi kok kamu tahu bahwa itu aku, bukankah wajahku tidak kelihatan?" tanya Sunthi.
"Baju yang kamu pakai itu kan yang beli simbok? Aku lho yang memilihkan warnanya. Jadi aku ingat. Dan tadi hanya kira-kira saja, ternyata benar."
Sunthi bangkit dari duduknya. Sisa air mata itu sudah
tak ada. Bayangan Wahyudi sirna perlahan dari ingatannya, karena ada debar aneh
yang saat itu dirasakannya.
***
Tukiyo sedang memarahi istrinya karena Sunthi
tiba-tiba pergi tanpa pamit, ketika tiba-tiba sepeda motor Tino memasuki
halaman kecilnya.
“Lho, itu Tino. Sama Sunthi kan?” teriak mbok Tukiyo.
“Ternyata pergi sama Tino, kok tidak bilang sama orang
tuanya,” kata Tukiyo sambil keluar dari dalam rumah, menyambut datangnya Tino
dan Sunthi, dengan wajah masam.
Tino sudah turun dari motornya, mengikuti Sunthi yang
segera berjalan mendekati rumah.
“Dari mana kamu?” hardik Tukiyo.
“Maaf Pak, aku …”
“Kamu juga, kalau mau membawa anak gadis orang, bilang
dulu sama orang tuanya,” katanya kepada Tino tanpa ada keramahan sedikitpun.
“Maaf Pak, saya bukan membawa Sunthi dari rumah. Saya
menemukan Sunthi menangis di tepi jalan, dan sekarang mengantarkannya pulang,”
terang Tino, sementara Sunthi sudah lari masuk ke dalam rumah.
“Sunthi menangis di tepi jalan? Di mana?” sela mbok
Tukiyo kaget.
“Di dekat pasar Mbok, di depan toko-toko pakaian.”
“Jadi Sunthi tidak pergi sama kamu?” tanya Tukiyo
sambil merendahkan nada suaranya.
“Tidak Pak.”
“Bapaknya Sunthi itu, belum-belum sudah main marah
saja,” gerutu istrinya.
“Sunthiiii !” teriak Tukiyo.
Sunthi datang sambil menundukkan wajahnya.
“Apa yang kamu lakukan? Mengapa menangis di tepi
jalan?” kata Tukiyo kesal.
“Aku … melihat mas Wahyudi … “
“Melihat Wahyudi? Di mana?” tanya Tukiyo dan istrinya
hampir bersamaan.
“Dia habis belanja … bersama seorang
laki-laki., lalu naik mobil, pergi begitu saja.”
“Siapa dia?” tanya Tukiyo.
“Nggak tahu, aku panggil dia, tapi
sepertinya tidak mendengar.”
"Jangan-jangan kamu salah orang," kata simboknya.
"Dia memakai bajunya bapak kok. Jadi aku yakin."
“Siapa ya yang membawanya?” gumam
Tukiyo.
“Mungkin ketemu salah seorang
kerabatnya,” kata istrinya.
Tukiyo menghela napas.
“Kalau benar demikian, ya syukurlah.
Kasihan dia. Tapi kenapa kamu menangis?” tanya Tukiyo sambil menatap Sunthi.
“Aku berteriak-teriak, dia tidak
mendengar.”
“Memalukan. Dan kamu pergi tidak
pamit sama bapak, sama simbokmu?”
Sunthi tidak menjawab, hanya
menundukkan wajahnya.
“Ya sudah, ini malah Tino tidak
segera di suruh duduk. Ayo No, masuk dulu, simbok buatkan wedang anget,” kata
mbok Tukiyo ramah.
“Sudah Mbok, terima kasih, saya mau
langsung pulang saja. Sudah sore,” jawab Tino.
“Maaf lho No, aku tadi marah-marah
sama kamu. Habis kami bingung tiba-tiba Sunthi menghilang begitu saja.
“Tidak apa-apa kok Pak, saya maklum.
Baiklah, saya permisi, Pak, Mbok.”
“Iya No, terima kasih ya, sudah
mengantarkan Sunthi,” kata Tukiyo dan istrinya serempak.
“Sama-sama, hanya kebetulan saja saya
lewat,” kata Tino sambil mendekati sepeda motornya, menstarternya, kemudian berlalu.
“Dasar anak tidak tahu malu, mengapa
coba kamu menangisi laki-laki yang bukan siapa-siapa kamu, dipinggir jalan
pula. Pasti kamu menjadi tontonan di sana,” omel Tukiyo sambil masuk ke dalam
rumah.
“Untung ketemu Tino,” sambung
istrinya.
“Coba kalau tidak, lebih lama menjadi
tontonan di sana.”
Sunthi hanya terdiam.
“Tino itu baik, apa dia belum punya
istri?” tanya Tukiyo tiba-tiba.
“Belum Pak, dia pernah bilang sama
aku, katanya pengin jadi menantuku,” jawab istrinya.
“Kalau dia bujangan, dan jelas,
kenapa tidak?”
Sunthi setengah berlari masuk ke
dalam kamar. Ia ingin bertanya kepada hatinya, apa yang sebenarnya terjadi.
Mana yang lebih disukainya, Wahyudi, atau Tino.
***
Bu Kartiko membawa Wahyudi masuk ke
dalam rumah, di ruang tengah, di mana suaminya sedang duduk di atas kursi roda,
sambil melihat acara televisi.
Wahyudi sudah mandi, dan berganti
pakaian bersih dan lebih pantas. Dia kelihatan gagah dan tampan.
“Pak, ini yang namanya Wahyudi. Dia
akan menemani dan melayani Bapak,” kata bu Kartiko sambil meminta Wahyudi agar
duduk di sofa, di depan pak Kartiko.
Pak Kartiko menatap Wahyudi, dari kepala
sampai kaki.
“Hm, kamu lumayan tampan. Namamu
Wahyudi?” tanya pak Kartiko tanpa melepaskan pandangannya ke arah Wahyudi.
“Ya Pak,” jawab Wahyudi sambil
menganggukkan kepalanya.
“Istriku bilang, kamu tidak ingat
apapun?”
“Benar Pak.”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Maaf Pak, itu juga saya tidak bisa
menjawabnya. Saya lupa semuanya.”
“Hm, baiklah, berarti tidak banyak yang
bisa aku tanyakan sama kamu, bukan?”
“Saya mohon maaf.”
“Kamu tahu, bahwa kamu harus melayani
aku?”
“Ya Pak, itu yang Ibu katakan sama
saya.”
“Aku ini lumpuh, tidak bisa berjalan.
Apapun harus dilayani. Dari makan, mandi, bahkan menjelang tidurpun aku butuh
seseorang untuk membantu aku. Sebelum ini, ada perawat yang dibayar oleh
istriku. Perawat laki-laki, pastinya, tapi aku tidak suka. Dia suka mengeluh
dan sering lupa mengingatkan aku untuk makan dan minum obat. Akhirnya selama
sebulan ini istriku sendiri yang melayani aku. Aku kasihan sama dia. Dia itu
kan tua nya sama saja seperti aku. Kalau terlalu capek, jangan-jangan dia juga akan
jatuh sakit, lalu kami sama-sama sakit. Bagaimana, susah kan?”
Wahyudi mengangguk.
“Aku mau mencarikan perawat lain,
tapi bapak tidak mau Nak, semoga sampeyan bisa meladeninya,” sambung bu Kartiko.
“Saya akan mencobanya Bu, tapi saya mohon,
panggil nama saya saja, tidak usah pakai ‘nak’. Saya jadi tidak enak.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Nanti akan
aku beri kamu catatan, tentang jam tidur bapak, jam makan, dan obat-obat yang
harus di minum.”
“Baiklah.”
“Kalau hari Minggu kamu boleh libur.
Demikian juga Nano, supir di rumah ini. Kecuali ada hal-hal mendesak yang
mengharuskan kami membatalkan liburan kalian. Dan untuk itu ada uang lembur
bagi kalian.”
“Bagi saya, tidak mendapat uang juga
tidak apa-apa, karena saya sudah mendapat tempat tinggal yang layak dan makan
cukup.”
“Tidak, jangan begitu. Mana mungkin
kami tidak membayar tenaga orang yang bekerja untuk kami. Oh ya, kamar kamu bersebelahan
dengan kamarnya Nano. Nano itu sebenarnya namanya Marno, kami cari enaknya
saja. Nano, lebih gampang,” kata bu Kartiko.
Wahyudi mengangguk. Ia berharap bisa
melakukan tugasnya dengan baik, sehingga tidak mengecewakan orang yang sudah
menolongnya.
“Baiklah, kamu boleh istirahat dulu
sekarang, mulailah bekerja besok pagi, sementara aku akan membuatkan catatan
tugas kamu dulu.
“Baik … Bu.”
“Oh ya, satu lagi, kalau siang,
cucuku Karmila ada di sini bersama pengasuhnya, karena ayah dan ibunya bekerja
dari pagi sampai sore. Sepulang bekerja, mereka menjemput anaknya kemari.
Wahyudi mengangguk. Pantas ketika
pulang dari belanja dia tak lagi melihat Mila di rumah itu.
“Mereka mengendalikan usaha kami,
karena pak Kartiko sudah tidak lagi mampu bekerja.”
“Anakku, laki-laki, namanya Wisnu. Istrinya Aqila namanya," sambung pak Kartiko.”
Wahyudi terkejut mendengar nama itu.
Qila … Qila … dan gadis kecil berkepang dua itu kembali terbayang di benaknya.
***
Besok lagi ya.
Horéé
ReplyDeleteSelamat jeng Iin, penjaga gawang blogspot tienkumalasari22,.
DeleteMatur nuwun bunda, sugeng dalu sehat terus dan terus sehat, nggih bun. Salam santun kagem mas Tom
Kebetulan aj kakek
DeleteAlhamdulillah.. sdh tayang..🙏🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terima kasih mbak Tien Salam sehat selalu buat mbak Tien dan semuanya, Aamiin
ReplyDeleteJeng Iin nomer siji
ReplyDeletematur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari...salam ADUHAI selalu...🙏
ReplyDeleteAlhandulillah... maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 06 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Hatur nuhun.
ReplyDeleteYessss
ReplyDeleteAlhamdulillah.. terima kasih bunda Tien, salam sejat dan aduhai..
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 06 sudah tanyang. Matur nuwun mbak Tien Komalasari, semoga mbak Tien tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
ReplyDeleteAlhamdulilah bisa mengikuti dg lancar lg kisah2 menarik dari B Tien. Makasih. Semoga sehat selalu dan lancar terus.
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah berkunjung.
ReplyDeleteTernyata Sunthi belok arah, ada Tino Abang Penjual Bakso.
Yaa masih belum jelas semua.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah sudah tayang episode 06
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien Semoga bunda Tien selalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin
Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin 🤲
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSemoga ajeg sehat
Matur nuwun buTien
Puji Tuhan, KC 06 yg di tunggu2 sudah hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga Sunthi berbahagia sama Tino dan Wahyudi juga berbahagia dalam kerja melayani bpk Kartiko.
Semoga Wahyudi bisa segera ketemu dgn mama papanya Aqila yg kemungkinan itu adalah Retno dan Sapto.
Monggo dilanjut aja, penasaran nih.
Matur nuwun, Berkah Dalem.
Ya sudah Sunthi jadian sama Tino saja...😊
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
“Anakku, laki-laki, namanya Wisnu. Istrinya Aqila namanya," sambung pak Kartiko.”
ReplyDeleteWahyudi terkejut mendengar nama itu. Qila … Qila … dan gadis kecil berkepang dua itu kembali terbayang di benaknya.
Jika benar Aqila yang ini anak Retno/Sapto, berarti Wahyudi sudah tua dong blm nikah, sementara Qila saja sdh menikah dengan Wisnu anak pak Kartiko.
Lanjoooooot bunda...... sabar menunggu
P E N G U M U M A N
ReplyDeleteTelah Terbit NOVEL CINTAKU DI ANTARA MEGA karya TIEN KUMALASARI 335 halaman (tayang 25 Juni sd 03 Juli 2020)
Harga Rp, 110,000/eksp, belum termasuk ongkos kirim.
Harga Rp.100.000/eksp untuk pembelian minimal 5 eksp atau lebih, belum termasuk ongkos kirim.
Dapat dipesan :
1. Ibu Tien Kumalasari
082226322364;
2. Ibu Iyeng Santoso
08179226969;
3. Bpk. Djoko Budi Santoso. 085101776038.
Tinggal 18 belas buku lagi "CINTAKU_DI_ANTARA MEGA" Cetakan Perdana. Siapa cepat dapat dan siap lambat gak kebagian. Buruan......... order.
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua ya bu 🤗🥰
Waduh sorry aku terlalu baper, ini Qila yg sdh bersuami dan sdh punya anak .
ReplyDeleteAgak rumit juga hubungan dgn cerbung yll.
Alhamdulillah, KC 06 sdhtayang. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu.... SALAM ADUHAI
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seruu..
Salam sehat selalu...aduhai
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bundaTien..slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteDuh bener gak ya Aqila anak sapto Retno.....apa ada Aqila yang lain hanya Bu tienlah yg tau....trims Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien...sudah mulai asyik nih ceritanya. Aqila sama nama saja mestinya, karena Qila anak Retno kan belum dewasa ya?😅
ReplyDeleteAlhamdulillah Novel Cintaku Ada Di Antara Mega (CADM) Cetakan Perdana 50 buku sdh habis terjual.
ReplyDeleteBagi Anda yang berminat koleksi cerbung CADM karya bu Tien Kumalasari, kami buka lagi pemesanan buku CADM kloter 2.
Akan dikirim mulai tgl 2 Juli 2022.
Jumlah buku 50
Transfer ke BNI Norek 0249117018
a.n Sri Setiawati
Alamat kirim dan bukti transfer dijapri ke Iyeng Santoso 08179226969.
Assalamu'alaikum, selamat pagi ..terimakasih ya bu Tien
ReplyDeleteAssalamu'alaikum, selamat pagi dan Terima kasih ya bu Tien
ReplyDelete“Tadi bersama bapak pergi....
ReplyDeleteBukankah perginya kemarin? bukan tadi....