ADA MAKNA 35
(Tien Kumalasari)
Wahyu terbelalak. Ia mencengkeram ponselnya kuat-kuat, terbawa perasaan geram yang tiba-tiba meliputinya.
“Apa maksud Ibu? Sejak kapan Ibu mengenal judi on line?”
“Wahyu, jangan marah dulu. Tadinya ibu cuma ikutan teman, ibu mendapat uang banyak sekali. Ibu sangat senang, jadi ibu mencoba terus, tapi uang ibu habis. Ibu tidak terima, harus bisa mengembalikan uang ibu yang semula sangat banyak. Ibu memakai uang kas sekolah, berharap bisa segera mengembalikan uang itu bersama uang ibu yang hilang … lalu_”
“Cukup Ibu!!” keras suara Wahyu untuk menghentikan cerita ibunya yang semakin membuatnya kesal.
“Saya heran, Ibu seorang pendidik, bagaimana bisa melakukan hal buruk itu?”
“Wahyu, kalau beruntung kan_”
“Hentikan. Tidak ada judi yang menguntungkan. Sudah rugi, masih ditambah dosa, dan beban yang sekarang ibu tanggung. Lalu ibu akan membawa anak ibu ke dalam lobang kesulitan yang ibu buat?”
“Ibu tadinya berharap_”
“Hentikan dan saya tidak peduli.”
“Wahyu, kamu tega membiarkan ibu dipenjara? Tolong Wahyu.”
“Ibu pikir Wahyu punya uang sebanyak itu? Dari mana Wahyu mendapatkannya? Setiap bulan gaji Wahyu sudah berkurang untuk Wahyu kirimkan kepada Ibu, dimana sesungguhnya Ibu punya gaji yang cukup untuk hidup Ibu sendiri. Kecuali itu Wahyu juga ikut membantu biaya kuliah Reihan, lalu kapan Wahyu bisa menabung? Ibu pikir Wahyu punya uang bertumpuk untuk membantu Ibu membayar uang yang ibu korupsi?”
“Ibu tidak korupsi. Ibu hanya meminjam.”
“Meminjam tanpa bilang, dan entah bisa mengembalikan atau tidak, beda tipis dengan yang namanya korupsi.”
“Wahyu, jangan menambah kesedihan ibu, ibu minta tolong Nak,” memelas suara Wanda.
“Tidak Bu, maaf. Wahyu tidak bisa membantu.”
“Wahyu, kamu tega?”
“Bagaimana Wahyu bisa membantu? Mana Wahyu punya uang sebanyak itu?”
“Wahyu ….”
Wahyu menutup ponselnya dengan gemas. Lalu ia memijit-mijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut-denyut.
“Ada apa? Kenapa Mas marah-marah pada ibu?”
“Kamu tidak mendengar pembicaraan mas sama ibu tadi?”
“Mendengar Mas marah-marah, dan tentang uang, nggak jelas.”
“Ibu memakai uang kas sekolah, dipergunakan untuk berjudi.”
“Apa?”
“Jumlahnya seratus juta lebih, entah berapa lebihnya, mas nggak mau tahu.”
“Ya Allah. Ibu berjudi?”
“Ibu berjudi online, memakai uang kas sekolah dan habis.”
“Lalu apa yang akan Mas lakukan untuk membantu ibu?”
“Membantu? Kamu seperti ibu, tidak tahu masmu ini seperti apa. Bagaimana mas bisa membantu membayar uang kas sekolah yang ibu pakai?”
“Lalu akan Mas biarkan ibu menanggung itu semua?”
“Menurutmu apa yang bisa mas lakukan? Jangan bilang kamu akan membantu ibu dengan mengurangi uang kamu yang dari bapak itu.”
“Tapi ….”
“Tidak Rei, itu uang bapak yang di amanahkan untuk uang kuliah kamu. Bukannya mas tega pada ibu, tapi kalau sekali ini kamu bantu ibu, aku percaya ibu tidak akan berhenti.”
“Mas benar-benar tega?”
“Bukan masalah tega atau tidak. Ibu harus tahu bahwa anak-anaknya tidak mampu memikul beban seberat itu. Uang sebanyak itu bukan main-main.”
“Lalu?”
Apakah Wahyu orang yang tidak punya perasaan? Derita sang ibu tidak mampu menggoyahkan hatinya? Tidak. Wahyu sangat sedih, tapi dia tidak berdaya.
Reihanpun terdiam, dia punya banyak uang, tapi tidak untuk memanjakan sang ibu. Kakaknya benar, sekali mereka membantu, ibunya tidak akan berhenti.
Kejadian itu membuat keduanya tak bisa tidur semalaman.
***
Walau begitu, pagi harinya, Wahyu mengantarkan Reihan ke bank. Uang itu harus diselamatkan, jangan dipakai sembarangan, agar tidak mengecewakan ayah Guntur.
Gemetar tangan Reihan ketika menyerahkan uang itu ke bank. Bayangan sang ibu melintas, alangkah menyedihkan. Bagaimanapun Wanda adalah ibu kandungnya, yang betapa menyebalkannya kelakuan sang ibu, tetap saja ada kasih sayang di antara mereka. Tapi Wahyu selalu memberi semangat dan mengingatkan bahwa uang itu ada pertanggungan jawabnya, karena di dalamnya berisi sebuah harapan seorang ayah agar putranya bisa meraih cita-citanya.
Ponsel Wahyu berkali kali berdering tapi Wahyu tak pernah mengangkatnya. Hanya saja tetap terasa perih dihatinya setiap kali dering itu menggelitik telinganya. Ingin menolongnya tapi tak kuasa. Barangkali Wahyu juga berharap agar apapun yang terjadi semoga menjadi pelajaran bagi sang ibu.
Hanya Wahyukah yang merasa tertekan dengan perbuatan sang ibu?
Tidak. Saat kuliah Reihan lebih banyak termenung. Rasa kehilangan seorang ayah masih terasa menyiksa, kemudian ditambah dengan peristiwa yang menimpa sang ibu.
"Heii.. dari kemarin kamu selalu menyendiri di sini. Masih memikirkan ayah Guntur ya? Tahu nggak sih Rei, aku juga merasa sedih.”
Reihan terkejut melihat Emma tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
“Aku hanya sebentar bertemu bapak. Saat di rumah sakit aku dilarang tinggal karena harus sekolah. Saat bisa bertemu lagi .. hanya bisa sebentar. Lalu ketika ingin bertemu yang terakhir kali, bapak sudah pergi." kata Emma sambil berlinang air mata, membuat Reihan jadi ikut terbawa perasaan.
"Mbak Emma jangan menangis. Nanti aku ikut nangis …" kata Reihan sambil memegangi lengan kakaknya.
Emma tersenyum tipis.
"Kamu tidak sendiri Rei, aku juga merasakan perasaan yang sama."
Reihan mengangguk. Tapi beratnya duka yang ditanggung tidaklah sama. Ia bukan hanya memikirkan sang ayah tapi juga sang ibu.
Terkadang dia berfikir bahwa kakaknya terlalu kejam. Tapi ketika kemudian sang kakak menakutinya dengan amanah yang diberikan ayahnya, Reihan tak berdaya menolaknya.
Hari yang berlalu tanpa ada sikap dan kepedulian untuk sang ibu.
Wahyu dan Reihan seakan tak peduli akan nasib sang ibu. Wahyu juga membiarkan setiap pesan dari sang ibu, yang selalu sesambat tentang penderitaannya. Hanya Wahyu yang selalu dikirimi pesan ataupun ditelpon, karena menurutnya Reihan tak mungkin bisa membantunya, walau ternyata sebenarnya Reihan punya uang sebanyak yang dibutuhkannya.
Walau begitu Wahyu tak pernah membalasnya. Kecuali dia sendiri memang tak mampu, ia juga ingin memberi pelajaran kepada ibunya, karena apa yang dilakukan ibunya dianggapnya sangat keterlaluan. Main judi, tak pernah terbayangkan oleh Wahyu bahwa sang ibu mampu melakukannya. Ia kesal, dan juga sangat marah, tapi dia juga sedih.
Pernah suatu hari Reihan mengingatkannya, tapi Wahyu menguatkan hatinya untuk tidak terpengaruh oleh rengekan sang adik yang hatinya lebih lembut dari dirinya sendiri.
“Mas biarkan ibu masuk penjara? Bukan hanya itu, ibu pasti juga akan dipecat dari sekolah karena perbuatannya yang bukan hanya merugikan sekolah dalam hal uang, tapi juga mencoreng nama baik sekolah dengan kelakuannya yang tidak terpuji.”
“Kamu sudah tahu bukan, kalau itulah yang akan terjadi nanti? Mas bukannya tega, tapi Mas ingin membuat efek jera bagi ibu. Biarlah ibu tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang akhirnya membuatnya menderita.”
Merinding Reihan membayangkan sang ibu mendekam dalam sebuah bilik kecil, mungkin juga pengap dan kotor, dan tidak cukup hanya sehari dua hari. Mungkin bisa berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Tapi ia tak bisa melawan kehendak sang kakak. Wahyu yang lebih tegar bermaksud memberi pelajaran bagi sang ibu, walau sebenarnya dalam hati ia juga merasa miris dan sakit.
Pada suatu hari, ketika sebuah dering terdengar, Wahyu terpaksa mengangkatnya. Ia ingin tahu perkembangan kasus sang ibu. Apakah ada yang menolongnya?
“Wahyu, kamu sungguh tega pada ibu,” ternyata sang ibu hanya kembali menangis.
“Besok pihak sekolah akan memeriksa keuangan kas, karena memang akan digunakan untuk pembangunan sekolah. Aku harus bagaimana, Wahyu?” lanjutnya.
“Apa yang bisa Wahyu lakukan? Uang Reihan yang ATM nya dipegang ibu masih ada kan?”
“Sudah habis, Wahyu.”
“Astaga. Ibu juga menghabiskan uang Reihan yang tidak seberapa itu.”
“Memang hanya sedikit, sepuluhan juta, sudah ibu pergunakan juga Wahyu. Ibu berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tolong ibu.”
“Wahyu tidak bisa melakukan apa-apa. Mobil Ibu masih ada kan, dijual saja kalau begitu.”
“Mobil itu juga sudah ibu jual, Wahyu.”
“Apaa?” kali ini Wahyu berteriak. Ia sedang ada di kantor ketika itu, dan teriakannya membuat orang yang kebetulan lewat di depan ruangan menoleh ke arah dalam, yang kebetulan pintu ruangannya adalah pintu kaca.
“Maaf Wahyu ….”
“Mohon maaflah kepada Allah, karena berjudi adalah perbuatan maksiat. Maaf Ibu, Wahyu sungguh-sungguh tidak bisa membantu.”
Wahyu kemudian menutup ponselnya, dan mematikannya, sehingga sang ibu tidak bisa lagi menghubunginya.
“Tidak makan di kantin?” sebuah sapa mengejutkannya, karena Wahyu memang sedang melamun. Tia tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
“Oh, eh, iya. Sebentar lagi,” jawab Wahyu yang memang karena kegelisahannya maka ia tak merasa lapar sedikitpun.
“Sekarang saja, kan sudah waktunya istirahat. Ayuk, temani aku. Aku yang traktir.”
Bukan karena janji traktir itu yang kemudian membuat Wahyu kemudian bangkit, tapi karena tak bisa mencari alasan lain untuk tidak ingin makan siang saat itu, dan ia tak ingin menceritakaan perihal apa yang telah dilakukan ibunya.
***
Wahyu makan apa saja yang dipesan Tia, hanya karena untuk membuat Tia merasa senang.
“Kamu sedang memikirkan sesuatu? Masalah pekerjaan atau pribadi?”
“Ah, tidak apa-apa kok.”
“Wahyu, kalau masalah pekerjaan, aku akan membantu, tapi tidak untuk masalah pribadi.”
“Tidak apa-apa, Tia. Mungkin aku hanya merasa lelah.”
“Yang aku lihat, wajah kusam yang terlihat, bukan sekedar lelah secara fisik. Ada yang mengganggu perasaanmu? Bukan masalah pekerjaan bukan?”
“Bukan, sungguh aku tidak apa-apa.”
“Masalah ibumu?”
“Apa?”
“Aku membaca sebuah berita, sebuah sekolah kehilangan uang kas ratusan juta rupiah karena dipergunakan untuk berjudi online oleh seorang guru berinisial ‘W’. Aku pernah mendengar bu Wanda mengatakan di mana dia mengajar, dan kejadiannya di sekolah itu. Aku takut itu adalah ibu kamu. Semoga hanya inisialnya saja yang sama.”
“Ya Tuhan ….”
Wahyu mengusap wajahnya kasar. Berita itu ada di medsos? Dan ada yang mengenal ibunya? Apakah dia harus malu? Tentu saja, dia juga merasa sedih.
“Maaf Wahyu, aku hanya menyampaikan berita yang aku baca. Semoga bukan bu Wanda yang aku kenal.”
“Memang dia ibuku,” kata Wahyu yang tak mungkin bisa menutupinya lagi.
“Astagfirullah. Benarkah? Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Apa? Tidak ada.”
“Maksudmu, kamu biarkan ibumu masuk penjara?”
“Entahlah.”
“Wahyu, kalau kamu bisa mengembalikan uang itu, barangkali pihak sekolah bisa mencabut laporannya. Lakukan pendekatan dan_”
“Tidak, Tia. Biarkan saja. Lagi pula mana mungkin aku punya uang sebanyak itu?”
“Kamu bisa meminjam di bank dengan bantuan kantor_”
“Tidak usah.”
“Tidak?”
“Ibu sudah sering melakukan hal yang membuat aku malu. Kelakuannya tidak terkendali, dan susah diatur. Biarlah ini menjadi pelajaran buat ibuku.”
Tia menatap Wahyu dengan perasaan iba. Ia baru tahu bahwa Wahyu tidak seburuk ibunya. Wahyu punya tanggung jawab besar untuk menjadikan adiknya agar punya pendidikan tinggi, sehingga rela tidur di rumah kost yang sempit dan sederhana. Itu membuatnya kagum dan suka. Suka? Benarkah? Tia mengibaskan perasaan yang dulu pernah dirasakannya lalu kemudian tiba-tiba kembali muncul.
“Aku ikut prihatin, Wahyu, aku tidak bisa membantu, kecuali hanya saran, agar ibumu terbebas dari hukuman berat.”
“Terima kasih banyak. Aku jadi merasa rendah di hadapan kamu.”
“Mengapa kamu berkata begitu? Kamu tetap menjadi teman baikku, aku akan melupakan semuanya yang telah lalu. Sekarang habiskan makanan kamu. Jangan biarkan karena pikiran terganggu lalu kamu mengabaikan kesehatan kamu. Bukankah kamu adalah tulang punggung yang akan memikul tanggung jawab sebagai seorang kakak yang baik?”
“Terima kasih, Tia.”
***
Di hari dimana pihak sekolah mengurus masalah uang kas, Wanda tak bisa apa-apa. Ia sudah tak punya apapun untuk membayarnya, dan sang anak tak bisa membantunya. Pada akhirnya pihak sekolah melaporkannya kepada yang berwajib, sehingga Wanda akhirnya juga ditahan untuk menunggu proses hukum yang akan menanganinya.
Wahyu menutup telinga dan perasaannya mendengar hal itu. Tangis yang mengharu biru hanya ditahannya dalam hati sekuat ia bisa melakukannya.
Tapi pada suatu hari Reihan mendekatinya.
“Mas, sebenarnya aku menyisihkan uang seratusan juta di tabunganku.”
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAda Makna 35 sdh tayang.
Terima kasih Bu Tien, saya doakan semoga Allah SWT memberikan kesehatan yang prima, buat Bu Tien dam Pa Tom
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSami2 pak Apip
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima kasih Bunda Tien... cerbung Ada Makna 35..sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
Selamat temu kangen dengan Sedulur PCTK di Jogja Bunda
Aamiin Yaa Robbal'a lamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Gayeng sekali tadi
🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 35
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🌻🐞🌻🐞🌻🐞🌻🐞
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu nggih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 35 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah ADA MAKNA~35 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pakDjodhi
Wanda parah ... bu Guru kok ikut JudOl😭😭😭😭😭...jangan dibantu Reihan ben kapok
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteHeheee
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Ada makna sudah tayang
Semoga bunda sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Rndah
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 35" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri Maryani
Aduhai 2x
Hmmm... Reihan tidak tega juga kalau sang ibu masuk penjara. Tapi harus dengan diplomasi yang tepat. Kalau Wanda sampai tahu Reihan punya uang banyak bisa hancur cita" jadi dokter.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief.
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 35* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hmmm...Wanda..
ReplyDeleteMemang tidak kuat nyandang drajat
Jeng Iyeng .. apa kabar?
DeleteAlhamdulillah, ADA MAKNA (AM),35 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖
ReplyDeleteMantab cerita nya, benar² bikin gemes dg Wanda, dlm kenyataan memang ada guru yg bermain Judi online.
Apakah Reihan & Wahyu akan menyerahkan uang 100jtnya , yuuuk kita baca besok lagi , penasaran
Sami2 ibu Ika
DeleteUntuk apa dibantu lagi, toh kasusnya sudah terbongkar?...
ReplyDeleteMeskipun uang sudah dikembalikan, Wanda tetap dipecat karena merusak nama sekolah. Sem ua orang sudah tahu, dan tak akan bisa ditutupi. Penjara memang lebih baik bagi Wanda sehingga nama sekolah dan sifat Wanda bisa direhabilitasi...
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteHatur nuhun bunda🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteMenunggu Ada Makna 36
ReplyDeleteSemoga bunda Tien, selalu dalam keadaan sehat wal afiat 🙏
Aamiin
Delete