Friday, August 23, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 36

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  36

(Tien Kumalasari)

"Apa kamu bilang?" Galang memeloototi Widi.

"Aku serius, kamu kira aku main-main? Kamu begitu ssombong, angkuh, susah dirobohkan, tapi kenyataannya kemarin malam kamu sudah jatuh kedalam pelukanku. Kamu menikmatinya, tapi kamu ingkar. Jangan pura-pura tidak sadar Galang, aku punya buktinya."

"Perempuan laknat kamu. Murahan kamu!! Tak tau malu, kamu yang meracuni aku bukan? Kamu meninggalkan botol minuman yang sudah kamu isi dengan obat tidur, atau obat apalah namanya, sehingga aku tidak sadar."

Widi tertawa. Bagi Galang suara tawa itu terdengar seperti suara iblis. Galang duduk dikursinya. Benar kata Raharjo, Widi bisa mengancamnya dengan akan mengatakannya pada isterinya. 

"Minuman apa, aku tidak bisa berjalan dan aku meracuni kamu? Jangan mengada ada Galang, kalau kamu suka bilang saja suka. Laki-laki mana sih yang tidak tergoda melihat perempuan terbaring disisinya?"

"Pergi kamu Widi, enyah dari hadapanku."

"Galang, aku ini atasanmu, kamu berani mengusirku?"

"Tidak sebagai atasan, aku usir kamu sebagai iblis yang menggangguku. Pergi, atau aku laporkan kamu kepada pak Haris? Kelakuanmu sungguh tidak pantas. Kamu seperti perempuan murahan. Memang kamu murahan kan?"

"Apa kamu bilang tadi? Melapor kepada pak Haris? Kamu lupa pak Haris itu siapa? Dia adalah omku Galang, salah-salah kamu bisa dipecatnya."

"Siapa takut? Aku lebih baik keluar dari sini daripada melihat ujudmu setiap hari. Baiklah, aku keluar sejak detik ini."

Galang membuka lacinya, mengemasi barang-barangnya.

Melihat Galang mengemasi barang-barangnya, Widi mendekat lagi kearah Galang.

"Baiklah, pulang dan temui isteri kamu setelah aku mengirimkan gambar-gambar ini. Ia pasti senang melihatnya."

Galang menghentikan kegiatannya.

"Apa sebenarnya yang kamu inginkan ?" hardik Galang kasar.

"Galang, bersikaplah lembut padaku, seperti ketika kamu mencumbu aku."

Galang merasa muak mendengarnya. Ia tak tau harus berbuat apa. Ia tak ingin isterinya mendapatkan rekaman yang dibuat Widi. Rekaman yang ia tak sudi melihatnya. Ia merasa tak melakukan apa-apa, mungkin Widi hanya menggertaknya.Jangan-jangan dalam rekaman itu tampak bahwa ia tak melakukan apapun, atau Widi membuatnya seolah olah hal itu benar-benar  terjadi?

Galang berfikir akan memeriksakan sisa air yang pastinya sudah disimpan isterinya ke laboratorium seperti usul Raharjo. Ia juga akan melaporkannya pada polisi, tapi ia harus berterus terang dulu kepada isterinya. Bagaimana kalau Widi lebih dulu memberikan rekaman itu? Galang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Widi masih berdiri dihadapannya. Tampaknya Galang harus mengalah sampai ia berhasil mendapatkan buktinya dan mempersiapkan segalanya untuk menghancurkan Widi.

"Galang, bersikaplan manis padaku," kata Widi lembut. Tapi Galang merasa mual dan ingin muntah disa'at itu juga.Susah payah ia mencoba menekan gejolak kemarahannya.

"Ayo kita makan siang.."

"Aku sudah makan bersama Raharjo."

"Kalau begitu temani aku saja, okey?" ajakan itu begitu memaksa, dan kalau dia menolaknya pasti ancaman Widi akan segera dibuktikannya.

Tapi sebelum Galang berdiri, ponsel Widi berdering.

"Ya om," jawab Widi setelah mengangkat telepone itu.

Widi berjalan kearah mejanya, mengambil setumpuk map sambil berbicara di telepone. Galang tak ingin mendengarnya. Ia justru sedang mereka-reka apa yang ingin diperbuatnya.

"Baiklah, Widi kesitu om."

Widi menutup pembicaraan itu, lalu mengambil map yang tadi ada dimejanya.

"Om Haris memanggilku, nanti aku kembali dan jangan lupa temani aku," kata Widi sambil melangkah keluar dari ruangan.

Galang menarik nafas lega. Ia menumpukan kedua siku tangannya dimeja, sambil memegangi kepalanya. Tiba-tiba dilihatnya diatas meja Widi ada sebotol  air minum. Galang berdebar, botol itu persis seperti botol air yang diminumnya sebelum kejadian malam itu. Ia sungguh tak merasa aneh ketika menemukan sebotol air, lalu selagi haus meneguknya. Ia tak berfikir bahwa itu botol yang ditinggalkan Widi dengan sengaja. 

"Bodoh!!Bodoh!! Bodoh!!" Galang memaki dirinya yang sangat ceroboh sore itu. Ia mengambil ponselnya dan memotret botol itu, barangkali suatu hari diperlukan.

***

Raharjo sedang melanjutkan pekerjaannya ketika tiba-tiba ponselnya berdering

"Hallo, mas Galang," sapanya setelah mengetahui yang menelpon adalah Galang.

"Hallo Jo, lagi sibuk?"

"Nggak, lagi membaca file pengiriman bulan ini, ada apa?"

"Kamu betul Jo, dia mengancam akan mengakatannya pada isteriku. Aku ketakutan Jo, sungguh."

"Itu pasti mas, perempuan seperti itu pasti akan melakukan apapun tanpa mengenal malu."

"Jadi bagaimana Jo, sisa air minum itu sudah diketemukan, besok aku akan membawanya ke laborat."

"Bagus mas, itu bisa kita jadikan bukti kalau mas jadi melaporkannya pada polisi."

"Beruntung sisa air itu tidak aku minum lagi Jo, soalnya letaknya dibawah. Padahal waktu pulang itu kepalaku juga masih puyeng, rasanya seperti tidak menapakkan kaki ditanah. Pengaruh obat tidur itu masih terasa ketika aku sampai dikantor."

"Tapi setelah sampai dirumah sudah tidak kan? Habisnya sudah ketemu isteri tercinta," goda Raharjo.

"Ah, kamu itu Jo, besok kalau kamu sudah menikah pasti bisa merasa bagaimana senangnya bertemu isteri setelah beberapa hari kamu tinggalkan," Galang ganti menggodanya. Galang heran, begitu bertemu Raharjo bebannya seperti sedikit berkurang.

"Mas Galang tuh, do'akan agar ada perempuan yang mau sama aku ya."

"Ya pasti ada lah Jo, laki-laki ganteng pasti banyak yang suka. Awas ya, jangan bilang miskin lagi."

Raharjo tertawa renyah. Teringat olehnya ketika Retno melayaninya sa'at sakit. Ah, mengapa membayangkan Retno, bukankah Raharjo takut jatuh cinta pada Retno? Tapi bukankah rasa cinta itu tak mengenal takut?

"Jo, kok diam, ya sudah, itu dibicarakan besok-besok ya, ini ada berita lagi. Aku menemukan dimeja Widi, botol air minum yang sama dengan merk seperti yang aku minum sore itu."

"Haa..bagus mas, fotoin saja."

"Sudah Jo, tapi ini aku sedang tak ingin membuat dia kesal Jo, kalau dia marah, ancamannya adalah rekaman itu. "

"Makanya mas Galang harus segera mengatakan apa yang terjadi pada isteri, supaya ketika mbak Widi benar-benar mengirimkan rekaman itu, dia sudah tau bahwa itu bohong."

"Ya Jo, walau berdebar ketakutan, aku tetap akan mengatakannya pada isteriku. Ya sudah Jo, takutnya orangnya tiba-tiba muncul.Ma'af sudah mengganggumu, habis hatiku belum tenang kalau belum ngomong sama kamu."

"Baiklah mas, tenangkan hati mas Galang, aku akan mendukungmu."

Ketika telephone ditutup, tiba-tiba Retno muncul dengan wajah pucat.

"Jo, punya obat pusing ngak?"

"Lho, kamu sakit? Di almari obat kan ada."

"Aku sudah minta, habis katanya."

"Waduuh, duduklah sebentar, aku akan suruhan membelinya untuk kamu."

"Nggak usah Jo, obat gosok saja. Kamu punya kan?"

"Ada, sejak sakit kemarin aku selalu membawanya."

Raharjo mengambil obat gosok itu, dan diberikannya pada Retno.

"Terimakasih Jo," Retno menerimanya lalu menggosokkannya pada pelupis, lalu lehernya. Raharjo melihat sekilas leher jenjang itu, lalu memalingkan mukanya. Ia pura-pura membaca apapun yang ada dihadapannya untuk menenangkan hatinya. Sebenarnya ia ingin membantu menggosokkannya, mana patut? Retno kan bukan Widi yang dengan berani mengganggu laki-laki, dan pasti Retno akan menolak seandainya dia melakukannya.

"Ma'af ya Jo, mengganggu kamu," kata Retno sambil mengosok juga bagian bekalang lehernya.

"Nggak apa-apa, kok kamu tiba-tiba pusing, tadi pagi baik-baik saja." 

"Diruangannya, pak Haris lagi marah-marah sama mbak Widi," kata Retno sambil mengembalikan obat gosoknya kemeja Raharjo.

"Marah-marah? Memangnya kenapa?"

"Nggak tau, mbak Widi kan memegang keuangan juga, kelihatannya ada yang nggak beres, Mendengar orang marah-marah kepalaku langsung berdenyut. Aku juga merasa nggak enak sih, lalu keluar menemui kamu."

"Pak Haris tampaknya sabar, ternyata bisa marah juga ya?"

"Wah, kalau marah menakutkan Jo, dia nggak pandang saudara atau bukan. Mudah-mudahan mbak Widi bisa  menyelesaikan masalah itu. Aku duduk disini dulu ya Jo, sampai hatiku tenang."

"Silahkan Ret, masih pusing?Aku belikan obat ya?"

"Sudah berkurang. Nggak apa-apa, jangan khawatir Jo, tapi aku senang kamu menghawatirkan aku," kata Retno sambil tersenyum. Raharjo menangkap senyum iu, dan heran sendiri mengapa hari ini senyuman Retno manis sekali. Hai cinta, bukankah masih ada sekping rasa untuk kekasihnya yang hilang? Entahlah, Raharjo sendiri tak tau. Kalau benar itu cinta, lalu kemudian ditolak, aduhai, Raharjo tak ingin mengalaminya lagi.

***

"Widi, aku mempercayai kamu karena kamu keponakanku, tapi akhir-akhir ini aku merasa kamu bekerja nggak becus.Mengapa ada laporan diganti ganti begini? Ini tidak sesuai dengan laporan kamu sesungguhnya," kata pak Haris dengan wajah marah.

Wajah Widi pucat pasi. Hari itu pak Haris terlihat sangat menakutkan. 

"Sebentar om, Widi akan membetulkannya."

"Dari tadi kamu bilang membetulkan, tapi kembali lagi ini tidak sesuai. Aku sudah membaca laporan kamu dua bulan lalu, okey.. aku tau itu bagus, tapi sebulan kesini.. kok nggak nyambung sama laporan sebelumnya."

"Ma'af om, baiklah nanti Widi betulkan. Bolehkah Widi mengerjakannya diruangan Widi?"

"Kenapa kalau disini?"

"Widi punya beberapa catatan yang mungkin masih bisa dipergunakan untuk kelengkapan laporan."

"Yang jelas, aku minta pertanggung jawaban kamu tentang ini, selisih yang tidak sedikit disini. Lihat. Lihat, jangan melihat kemana mana."

"Ya om, pasti ada yang salah."

"Sudah pasti ada yang salah, pertama, selisih limabelas juta. Ini tidak sedikit. Katakan untuk apa uang keluar sebanyak limabelas juga pada akhir bulan lalu."

***

besok lagi ya.









No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...