Thursday, August 22, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 35

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  35

(Tien Kumalasari)

Galang sudah sampai di kantornya. Widi belum tampak ada dimejanya. Barangkali baru hari ini dia berangkat dari Medan, Galang tak ingin bertanya pada siapapun, dan juga tak ingin tau. Ia sibuk mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, sampai sa'at istirahat tiba. Seseorang mengetuk pintunya, dan ternyata dia Raharjo. Galang tersenyum senang. Entah mengapa walau belum lama berkenalan, ia merasa sudah sangat dekat dengan Raharjo, sehingga apa yang membebani pikirannyapun ia curahkan pada Raharjo.

"Mas Galang sudah kelihatan segar, pasti setelah bertemu isteri mas Galang jadi lebih tenang."

"Ada benarnya Jo, tapi setiap kali aku masih saja terbayang kejadian kemarin malam itu. Sungguh itu sangat mengganggu. Kalau nanti isteriku tau entah apa yang akan terjadi."

"Menurut aku mas, bagaimana kalau kejadian itu dikatakan terus terang saja pada bu Galang."

 "Apa? Mengatakan semuanya pada isteriku? Ya ampun Jo... mana mungkin... hancur aku nanti."

"Tapi itu jalan terbaik. Daripada bu Galang mendengar dari orang lain, apalagi kalau mbak Widi nanti memaksa melakukan sesuatu dan mengancam akan mengatakan semuanya pada bu Galang, atau jangan-jangan bu Widi telah merekam adegan malam itu.. lalu dipergunakannya untuk memaksa mas Galang karena bisa jadi ia akan membeberkan rekaman itu pada bu Galang."

"Ya Tuhan... ya Tuhan..." Galang memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

"Kalau bu Galang benar mencintai mas Galang, ia pasti bisa menerima keadaan itu."

"Alangkah beratnya Jo..."

Galang masih memgangi kepalanya dengan kedua tangan, yang sikunya bertumpu pada meja didepannya.

"Bagaimana kalau aku melaporkannya pada polisi?"

"Apakah mas Galang punya bukti? Seandainya air yang mas Galang minum itu masih ada sisanya, mungkin bisa dijadikan alat bukti."

Galang terperanjat. Sisa air itu, bukankah kemarin ia masukkan kedalam koper? Galang merasa sayang membuang sisa air dalam botol itu. Dalam kehidupannya yang sekarang ini, Galang harus lebih hemat karena merasa belum bisa hidup layak seperti yang diimpikannya. Itulah sebabnya walau hanya air, ia belum ingin membuangnya. Siapa tau dalam perjalanan ia merasa harus. Tapi apakah benar air itu yang mengandung obat yang membuatnya terkapar tak sadarkan diri?

"Air... sisa air itu masih ada.. apakah air itu penyebabnya?"

"Benakah mas? Kita bisa memeriksakannya ke laboratorium, zat apa yang terkandung dalam air itu. Kalau benar berisi semacam obat bius atau obat tidur, kita bisa melaporkannya pada polisi."

"Sebentar, aku akan menelpon isteriku."

Galang memutar nomor isterinya.

"Hallo mas, sudah makan siang?"

"Belum, ini mau makan sama Raharjo. Tunggu sayang, kamu sudah membongkar isi koper yang mas bawa kemarin?"

"Sudah mas, baju-baju kotor, sudah dicuci sama simbok. Ada uang didalam saku mas? Aduh, aku lupa memeriksa saku-sakunya mas. Berapa banyak?" tanya Putri nyerocos tanpa memberi kesempatan Galang untuk bicara.

 "Bukan uang, bukan baju-baju itu. Kamu menemukan botol berisi air setengahnya?"

"Oh, ada, sudah aku buang mas."

"Apa? Kamu buang? Celaka, kamu buang dimana?"

"Di tempat sampah lah mas, habis air tinggal separo, apa mas masih ingin meminumnya? Nanti aku belikan lagi.."

"Bukan itu, aduh... coba suruh simbok untuk mencari botol itu, dan ambil kembali."

"Mas, kan sudah ditempat sampah.."

"Coba simbok suruh nyari, barangkali tukang sampah belum mengambilnya."

"Tapi mas..."

"Sayang, tolong dengar dan turuti kata-kataku, ini sangat penting."

"Kenapa mas?"

"Aduuh, sudah jangan banyak bertanya. Cepat suruh simbok mencarinya, nanti mas akan mengatakan semuanya. Ini menyangkut hidup dan matiku."

"Apaa?"

Galang merasa kesal. Tanpa menjawab lagi pertanyaan Putri ia langsung menutup ponselnya. Ia yakin Putri pasti sudah menyuruh simbok mencarinya. Tapi masih adakah? Bagaimana kalau sudah diambil oleh petugas sampah?

"Tenanglah mas, semoga air itu masih ada. Sekarang mas harus pikirkan, berterus terang kepada bu Galang atau membiarkan mbak Widi yang mengatakannya. Perempuan seperti itu pasti punya pikiran seperti yang aku katakan."

Galang mengangguk, ia akan menata batinnya, dan memang benar, lebih baik berterus terang saja kepada isterinya. Keringat dingin mengucur pada seluruh tubuhnya, bagaimana kalau isterinya marah dan tak mempercayai apa yang dikatakannya?

"Ayo sekarang kita makan mas, sudahlah, orang baik pasti akan ditolong Allah. Aku akan membantu berdo'a untuk mas Galang.

Galang berdiri dan berjalan berdampingan dengan Raharjo. Tangannya menggandeng erat lengan Raharjo. 

***

Putri kalang kabut mengorek tempat sampah. Ia tak menyuruh simbok karena simbok sedang menggendong Adhit. Tapi hanya ada sedikit sampah disitu, rupanya sampah pagi sudah diambil oleh petugas sampah, dan yang ada hanyalah sebungkus daun-daun bekas pembungkus bumbu dan sayur yang dibuang simbok setelah petugas sampah mengambilnya.  Tak ada botol tempat minuman disana.

Putri kebelakang, mencuci tangannya bersih-bersih. Dalam hati ia heran, mengapa botol air itu harus ditemukan? Apakah isi yang ada didalam botol itu? Sepertinya hanya air. Tapi suaminya wanti-wanti dengan sangat tegas bahwa botol itu harus diketemukan. Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi? Putri menghempaskan tubuhnya di kursi tamu. Ia ingin menelpon suaminya bahwa botol itu sudah tak lagi diketemukan.  Tapi tiba-tiba simbok mendekat.

"Jeng, mas Adhit sudah simbok tidurkan. Simbok menyiapkan makan siang dulu."

"Ya mbok,"

"Jeng Putri kelihatan sedih, ada apa?"

"Nggak apa-apa mbok, tadi mas Galang menelpon, apa didalam koper ada botol minuman yang masih berisi separo. Ya sudah aku buang kan mbok. Simbok sendiri membuangnya ketempat sampah didepan bersama sampah-sampah lainnya kan?"

"Botol apa jeng?"

"Botol yang tadi ada ditempat sampah yang ada dikamarku mbok, sedih aku, tampaknya itu penting banget, botolnya harus diketemukan."

"O, botol yang tadi dari tempat sampah didalam kamar? Botolnya bagus..?"

"Iya mbok, pasti sudah dibuang sama petugas sampah, ya kan, aku sudah mencarinya disana, sudah nggak ada."

"Owalah jeng, botol itu masih simbok simpan dibelakang."

Putri bangkit dari duduknya.

"Benarkah mbok? Mana botol itu..?"

"Dibelakang, maksud simbok mau simbok pakai untuk tempat minyak, habis botolnya bagus."

"Bawa kemari cepat mbok."

"Sebentar, simbok cuci dulu, airnya juga masih ada belum simbok buang. Belum sempat nyuci, habis masak langsung nggendong mas Adhit.Memangnya itu obat? Masih mau diminum?"

"Jangan dibuang dan jangan dicuci. Biarkan utuh seperti semula. Ya Tuhan, terimakasih..."

"Sebentar jeng."

Simbok kebelakang mengambil botol itu. Putri menerimanya, dan mengamati isinya. Hanya air biasa. Putri membuka tutupnya dan membukanya, lalu mencium baunya.

"Baunya... apa ya.. walaupun tipis aromanya, tapi seperti air biasa. Ah, entahlah. Ya sudah mbok, terimakasih, ayo kita siap-siap makan, biar aku simpan dulu botol ini dikamar." kata Putri sambil melangkah kekamar. Dalam hati ia bertanya tanya, mengapa suaminya mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan hidup dan mati? Ah, membingungkan..

***

Ketika Galang kembali keruangannya setelah makan siang, dilihatnya Widi sudah duduk dibangkunya. Galang hanya melihatnya sekilas, lalu duduk di depan mejanya sendiri, dan melanjutkan pekerjaannya.

"Galang," tak tahan akan kebisuan yang menyelimuti ruangan ditempat mereka bekerja, Widi menyapanya lebih dulu. Galang hanya mendongakkan kepalanya. Menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Kamu tidak menyapaku Galang."

Galang kembali menunduk, membuka laptop dan mencari cari data yang akan dikerjakannya.

"Galang, kamu masih marah sama aku? Apakah aku samasekali tidak berarti bagimu? Tak adakah yang menarik dari tubuhku? Kamu menikmatinya Galang."

Galang tetap membisu. Ingin ia mendekati Widi dan menamparnya sekali lagi. Tapi ia tak ingin membuat keributan dikantor. Widi terkadang tak punya rasa malu, dan sering menunjukkan kemesraannya terhadap Galang ketika mereka kebetulan sedang berjalan diantara karyawan lainnya. Waktu itu Galang mengacuhkannya, tapi setelah kejadian malam itu, kemarahan Galang sudah sampai diujung ubun-ubunnya.

"Kamu tidak waras Galang, kamu melukai aku," tak tahan Widi berdiri mendekati meja Galang dengan membawa ponselnya.

"Lihat Galang, aku merekam semua kejadian malam itu. Lihatlah," kata Widi sambil menunjukkan ponselnya kehadapan Galang. Kemarahan Galang memuncak, ditepiskannya ponsel itu sehingga jatuh dan berhamburan dilantai.

"Galang!!!" Widi menjerit marah.

"Beruntung bukan kamu yang aku banting dilantai." hardik Galang dengan mata menyala.

"Kamu menyakiti aku Galang. Dengar, aku akan mengirimkan rekaman itu kepada isterimu.!"

Galang pucat seketika.

*** 

besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 















No comments:

Post a Comment

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 03

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  03 (Tien Kumalasari)   Melihat wajah pak Truno yang tampak tidak bersahabat, hati Sutris menciut. Ia ingin p...