Thursday, August 29, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 42

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  42

(Tien Kumalasari)

 

Galang berhenti sejenak, tampaknya ia tertarik pada ide pak Haris. Tarian Jawa? Bukankah isterinya pintar menari tarian Jawa?

"Bagaimana Lang? Bagus tidak ideku itu? Kita sebagai orang Jawa kan harus membudayakan kebudayaan Jawa juga. Disini jarang disebuah pesta ada hiburan tarian Jawa. Ada sih, tapi jarang."

"Ide bagus pak, saya setuju."

"Oke, kalau begitu carikan pasangan untuk Raharjo, aku dengar dari Retno kalau Raharjo pintar menari Jawa."

"Bagaimana kalau isteri saya saja pak?"

"Wauuuw.... isterimu pintar menari juga? Hebat Lang, ini pasti jadi pesta yang luar biasa. Ayo Lang, segera siapkan semuanya. Aku serahkan ke kamu ya, seksi hiburannya?"

"Nanti saya coba bilang sama isteri pak, mudah-mudahan dia mau."

-"Bagus Lang, baiklah, senang aku, belum-belum sudah membayangkan  betapa meriahnya nanti."

Pak Haris tampak bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Galang melangkah keruangannya dan membayangkan melihat isterinya sedang menari. Pasti cantik sekali.

***

Ditengah perjalanan kearah ruangannya Galang berpapasan dengan Raharjo. 

"Lho mas, ada apa kok senyum-senyum sendiri?"

Galang tertawa..:" Berita gembira Jo..."

"Benarkah? Itu sebabnya saya dipanggil pak Haris sekarang ini?"

"Ya, pastinya, segera kesana, kamu pasti senang," jawab Galang sambil berlalu.  Ia masih membayangkan isterinya menari, dan kini menari bersama Raharjo. Seandainya dia tau.

***

Tak tahan berlama-lama memendam perasaannya, Galang menelpon isterinya. 

"Ada apa mas, kok kelihatannya gembira sekali?" tanya Putri dari seberang.

"Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Widi."

"Oh, syukurlah,"

"Widi sudah dipecat dan mungkin sudah kembali ke Semarang."

"Oh, kasihan mas, mengapa mesti dipecat?"

"Kesalahhannya fatal. Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Aku diangkat jadi manager keuangan."

"Aduh mas, secepat itu?"

"Pak Haris yang minta, aku sudah menolaknya, tapi baiklah, nggak apa-apa, aku akan belajar, semoga tidak mengecewakaan."

"Aku ikut senang mas, semoga mas Galang bisa melaksanakan tugas dengan baik. Dan hati=hati ya mas, jadi pimpinan itu kan berat."

"Ya, do'akan saja suamimu ini bisa melaksanakan tugasnya dengan baik."

"Ya pasti lah mas."

"Lalu ada yang lebih menyenangkan lagi."

"Apa itu?"

"Dua bulan lagi ulang tahun berdirinya perusahaan. Pak Haris ingin mengadakan acara yang lain dari biasanya. Harus ada tarian Jawa yang ditarikan oleh karyawannya."

"Wah, bagus mas, aku nanti boleh ikut nonton?"

"Bukan hanya boleh .. aku ingin kamulah yang akan menari, nanti bersama Raharjo.."

Tiba-tiba Putri terdiam.

"Bagaimana sayang? Pasti indah dan cantik kalau isteriku yang menari."

"Jangan mas, aku nggak mau."

"Lho.. kenapa? Aku jadi seksi hiburan lho, jangan kecewakan suamimu dong..Ya sudah, bicaranya nanti saja, mas Galang bekerja dulu ya. Nanti pas istirahat mas telepone lagi."

***

Tapi dirumah Putri termenung sendirian. Ia harus menari? Ingatannya segera terbang kearah satu tahun yang lalu, ketika ia masih rajin menari, berpasangan dengan Teguh, dan dia pingsan sa'at pentas. Tidaaak, Putri tak ingin menari lagi. Kenangan itu terasa sangat pahit. Tarian terakhirnya membawanya kepada nestapa dihatinya, ketika tak lama setelah itu berita kehamilan ditebarkan oleh doker rumah sakit, dan kemarahan demi kemarahan ayahnya  menghiasi seluruh rumah. Berlinang air mata Putri, teringat olehnya bayi yang dikandungnya, buah cintanya dengan Teguh.. tapi tidak, bayi yang manis dan montok ini anak Galang. Laki-laki tampan yang berbudi dan sangat melindungi serta mencintainya. Tak ada lagi Teguh dihatinya, Teguh yang mungkin telah hidup bahagia dengan perempuan lain. Dan bukankah kini ia juga bahagia bersama suaminya?

Putri mengusap air matanya ketika simbok mendekatinya.

"Jeng, ada apa?"

"Nggak apa-apa mbok, mas Galang meminta aku ikut menari di kantornya, tapi aku nggak mau."

"Mengapa nggak mau jeng? Waah.. dulu kan jeng Putri sering menari.. Ayo jeng, menarilah, nanti simbok akan ikut melihat."

"Nggak, kan aku sudah tua, sudah jadi ibu, masa ikutan menari ."

"Memangnya kalau sudah jadi ibu nggak boleh menari? Wong jeng Putri masih muda, cantik, wis ta jeng.. menari saja.. Kapan itu jeng?"

"Nanti di ulang tahun kantornya mas Galang mbok, masih dua bulan lagi."

"Ah, masih lama, menarilah jeng, pokoknya menari ya," kata simbok menyemangati. Tapi Putri hanya tersenyum.

***

"Waduh, ini pak Haris ada-ada saja," kata Raharjo kepada Retno ketika makan siang bersama. 

"Kenapa Jo?"

"Besok pas pesta ulang tahun perusahaan ini, masa aku disuruh menari.."

"Wah, bagus Jo.. 

"Dia akan menari bersama isteriku,"kata Galang 

"Hebaaat... ayo Jo, semangat, kamu kan pinter nari.."

"Pak Haris bilang, kamu yang mengakatakan bahwa aku pintar menari.."

"Memang iya kan..?"

"Sudahlah Jo, nanti aku akan merayu isteriku supaya juga mau menari sama kamu. Pak Haris minta berpasangan, jadi aku usulkan isteriku. Mudah-mudahan dia mau."

Tapi sama sedengan Putri, ingatan Teguh lari ke masa setahun lalu. Ketika pentas, lalu Putri pingsan, lalu ia menggendongnya, dan itulah sa'at terakhir bertemu dia. Sampai sekarang tak terdengar lagi beritanya. Mata Teguh berkaca-kaca. 

"Ada apa Jo, kok tiba-tiba kelihatan sedih begitu?"

Teguh tersenyum, mengambil tissue dan mengusap kedua matanya.

"Jangan sedih Jo, ingatan masa lalu itu harus bisa ditepiskan, supaya tidak mengganggu pikiran kamu setiap sa'at," tegur Retno yang merasa iba melihat Raharjo tampak sedih.

"Memangnya ada apa?" tanya Galang yang melihat Raharjo tiba-tiba tampak sedih.

"Ah, nggak apa-apa mas, aku hanya terharu mengingat masa lalu aku, sa'at masih rajin-rajinnya menari, indah memang tarian Jawa itu."

"Ya jangan terus jadi melow begitu dong Jo, semangat. Pak Haris akan membuat kamu kembali ke masa-masa kamu dahulu. Bukankah kenangan ini intah?" kata Galang menghibur.

Kenangan itu indah? Ada yang indah, ada yang menyakitkan. Pikiran Raharjo kembali menelusuri masa-masa itu, yang indah bersama Putri, yang kemudian menyakitkan ketika bertemu ayahnya Putri. 

"Jo !!" Retno menepuk tangan Raharjo yang ada diatas meja. Sangat keras sehingga Raharjo meringis kesakitan.

"Sakit tau?! " pekik Raharjo sambil meringis.

"Biarin. Habis kamu kok jadi sedih begitu."

"Ada kenangan yang membuaat sedih ketika menari?" tanya Galang.

"Nggak, nggak ada mas, hanya terharu seandainya aku bisa menari lagi."

"Ok, jadi mau ya?" teriak Galang keras-keras. Tak sadar Galang karena gembiranya.

"Baiklah, tapi harus mengingat ingat lagi mas."

"Yang penting kamu setuju, sekarang aku tinggal merayu isteriku. Mudah2an dia mau."

"Enaknya tari apa ya?"

"Itu Jo, Permadi sama Sembadra..yang..." kata Retno terhenti karena Raharjo berteriak menolaknya.

"Jangaaan... aku nggak mau!!"

"Ssst... kok jadi saling berteriak, tuh pada melihat kearah sini," tegur Retno.

Permadi sama Sembadra kan tarian terakhirnya bersama Putri? Retno bisa saja membangkitkan lagi kenangan tentang tarian itu, padahal Raharjo sudah berusaha melupakannya.

"Ya sudah, terserah kamu saja Jo, yang penting bagus. Atau kamu mau bicara dulu sama isteriku?"

"Ya mas, gampang nanti kalau sudah dekat waktunya. Aku mau berfikir dulu bagusnya tari apa. Karonsih juga bagus."

"Bagus Jo.. aku dukung kamu, hidup Raharjo,"teriak Retno senang.

"Eh, kok kamu jadi ikutan berteriak?" tegur Raharjo.

Lalu ketiganya tertawa renyah.

***

"Adhit, bilang sama ibu supaya mau menari lagi ya?" kata Galang sambil memangku anaknya ketika malam itu Adhitama masih terjaga.

"Nggak bapak, ibu sudah nggak pantas lagi menari, ya kan Dhit?" sahut Putri yang duduk disamping suaminya.

"Masih pantas kok, ibu kan masih cantik le?"

"Sudah lupa semuanya, bapak, jangan paksa ibu, kasihan ibuku, bapak," sahut Putri lagi.

"O, sayangnya bapak, ibu itu masih pantas menari, ibu itu cantik, luwes, bapak pengin liat ibu menari Adhit Nanti Adhit boleh ikut melihatnya kok."

Adhitama yang memandangi ulah bapaknya seperti mengerti apa yang dikatakannya. Bayi molek itu tartawa tawa sambil menggerak gerakkan kakinya.

"Tuh, Adhitama setuju.." kata Galang sambil menciumi anaknya. Bahagia itu indah, bahagianya Putri melihat kasih sayang Galang kepada Adhitama.  Dengan menggelendot manja Putri bersandar pada bahu suaminya.

"Hm... bapak bohong ya le?"

 Adhitama mengeluarkan suara-suara lucu, seakan ingin menjawab celoteh bapak dan ibunya. Galang bertambah gemas, menciumi Adhit tanpa henti.

Tiba-tiba Galang berteriak..:" Adduh... ibu..."

Putri mengangkat kepalanya. Galang memandangi Putri sambil meringis.Putri sudah tau, pasti Adhit ngompol.

"Ngompol ya?" tanya Putri sambil tertawa, lalu mengangkat Adhit dari gendongan ayahnya.

"Syukurin ya, bapak diompolin sama Adhit." 

Galang berdiri, mencium Adhit lalu mengganti sarung dan celananya yang basah.

Putri yang sedang menggantikan celana Adhit hanya tersenyum senyum.

Tiba-tiba simbok datang sambil menyampirkan gendongan dipundaknya.

"Ayo, mas Adhit bobuk digendong simbok yuuk.. bapak sama ibu biar makan malam dulu."

"Hm, simbok tuh, kebiasaan suka nggendong-nggendong, jadinya Adhit belum mau bobuk kalau belum digendong simbok."

"Nggak apa-apa ya mas Adhit, simbok seneng kok .. " kata simbok yang kemudian mengangkat Adhit yang sudah berganti celana, lalu membawanya keluar.

"Galang juga sudah mengganti sarung dan celananya yang basah oleh ompol anaknya, Putri menariknya untuk mengajaknya duduk diluar.

"Apa sih, kok tangan mas ditarik tarik?" goda Galang.

"Ayo duduk diluar mas, gerah disini.Lagian simbok sudah menyiapkan makan malam."

"Nggak, aku mau dengar dulu, kamu mau menari nggak?"

"Itu penting buat mas?"

"Penting dong, aku ingin kamu melakukannya, nanti bersama Raharjo.Mau kan?" rayu Galang sambil memeluk isterinya. Ya Tuhan, tangan kekar dan senyuman yang menawan itu tak mampu membuatnya menolak. Putri sangat mencintainya, dan Putri tak sanggup menolaknya.

"Baiklah, demi suami yang sangat aku cintai, aku bersedia."

Dan Galang menghadiahi pelukan yang semakin erat dan ciuman yang bertubi-tubi. Alangkah indah hidup ini.

***

besok lagi ya

 

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...