Saturday, August 31, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 44

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  44

(Tien Kumalasari)

Sore itu Galang pulang dengan langkah gontai. Putri yang menyambut didepan merasa heran, Galang seperti tak bersemangat.

"Mas, mas Galang baik=baik saja?" tanya Putri sambil mencium tangan suaminya.

"Agak pusing kepalaku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering pusing," jawab Galang sambil mencium pipi isterinya, kemudian anaknya yang ada dalam gendongan isterinya.

"Kalau begitu mas istirahat dulu sebentar, ganti baju, kita ke dokter."

"Nggak usah lah sayang, aku istirahat saja." kata Galang sambil masuk kedalam, diikuti isterinya.

"Nggak bisa mas, kalau pusing sekali masih bisa ditolerir, tapi kalau sering pusing, pasti ada apa-apa. Sebentar mas, biar Adhit sama simbok, aku antar mas ke dokter."

"Aku mandi dulu saja ,"

"Nggak usah mandi mas, cuci muka, cuci kaki tangan, lalu ganti pakaian. Kalau ingin mandi juga, biar simbok menyiapkan air hangat. Nggak bagus orng lagi sakit mandi air dingin."

Putri meletakkan Adhitama ditempat tidur, lalu ke belakang mencari simbok. Ia berpapasan dengan simbok yang membawa nampan berisi secangkir teh hangat.

"mBok, ini untuk mas Galang? Biar aku saja, tolong panaskan air untuk mandi mas Galang ya mbok."

Simbok menyerahkan nampan lalu berbalik kebelakang.

"Ini mas, tehnya diminum dulu."

Galang meneguk tehnya.

"Simbok baru memanaskan air untuk mandi, mas ganti baju dulu, aku juga mau siap=siap.

"Isteriku suka memaksa deh," keluh Galang, tapi sambil tersenyum.

"Biar saja, aku nggak mau mas sakit," kata Putri yang kemudian menuju kekamarnya."

Namun setiba dikamar Putri terkejut melihat Adhitama sudah sampai dipinggir tempat tidur.

"Ya ampun Adhit, aduuh... kamu itu mau kemana? Kalau sampai jatuh, bukan hanya kamu yang nangis, ibu juga akan ikut menangis," kata Putri sambil mengangkat tubuh Adhit diletakkannya agak ketengah.

"Ada apa ?" tiba-tiba Galang mengikuti masuk kekamar setelah mendengar teriakan Putri.

"Ini mas, baru ditnggal sebentar saja Adhit sudah minggir sampai disitu. Geraknya sudah luar biasa, pengin tengkurap juga."

"O, anaknya bapak yang ganteng, rupanya bapak harus membelikan kamu box sendiri yang agak besar., kata Galang sambil merebahkan diri disamping anaknya.

"Mas, kalau ibu tau, atau simbok tau, pasti mas dimarahi. Kalau habis bepergian, dilarang mendekati bayi sebelum cuci kaki tangan.

"Oh iya, bapak lupa," Galang merosot turun.

"Besok bapak belikan box yang agak besar ya, supaya kamu bisa bergerak lebih leluasa, tanpa takut terjatuh."

"Mas, kalau box agak besar itu mau ditaruh dimana? Kamar sekecil ini masih mau ditambahin box bayi. Tidur dibawah saja mas, sama-sama dibawah, lebih aman."

"Dengar Putri, kita akan dapat rumah dinas, lumayan besar."

"Apa mas? Rumah dinas?"

"Iya, aku sama Raharjo dapat rumah dinas, aku sudah melihatnya, bagus dan besar, perabotannya sudah lengkap, itu fasilitas dari kantor. Minggu depan kita siap-siap pindah."

"Ya ampun mas, itu benar? Syukurlah... " jawab Putri terharu.

"Jeng, airnya sudah simbok siapkan dikamar mandi," kata simbok tiba-tiba.

"Ya mbok, terimkasih. Itu mas, mandi sana aku siapkan pakaian mas.

Galang tak membantah. Mungkin memang ia butuh memeriksakan kesehatannya.

Sepeninggal Galang Putri menciumi anaknya. 

"Adhit, kamu dengar tadi? Bapak akan mendapat rumah  baru yang lebih besar, kamu boleh bergulung gulung lebih leluasa nanti.

"mBok... simbok.." teriak Putri memanggil simbok.

"Ya jeng..."

"mBok, tolong awasin Adhitama, aku mau ganti pakaian."

"Baik jeng. O.. gantengnya cucunya simbok.. sudah pengin tengkurap ya... aduuh.. bahaya ini kalau ditidurkan sendirian jeng."

"Ya itu mbok, makanya simbok aku suruh ngawasin sementara aku berpakaian. Nanti kasurnya biar diangkat kebawah saja, jadi kalau Adhit bergeraknya banyak nggak menghawatirkan."

"Iya jeng, lebih baik begitu. Ini jeng mau pergi?"

"Iya mbok, mau nganter mas Galang ke dokter, kepalanya sering pusing katanya. Jadi nanti aku nitip Adhit dulu sebentar ya mbok."

"Iya jeng, sudah minum kenyang ya?"

"Sudah mbk, sebelum mas Galang datang sudah minum. Nanti kalau ditaruh ditempat tidur, simbok harus njagain. Sepulang dari dokter nanti biar kasurnya ditaruh dibawah saja."

**"

"Ada apa sih, kamu suruh aku mampir sebentar? Jangan bilang bahwa kamu menyuruh aku menanak nasi buat kamu," kata Retno sambil mengikuti Raharjo masuk kedalam rumah kontrakannya yang kecil.

"Ya enggak, kalau cuma menanak nasi saja aku sudah pinter, tinggal nyuci beras, sedikit air, masukkan kedalam rice cooker, selesai," kata Raharjo sambil tersenyum.

"Iya, aku kan cuma bercanda."

"Duduklah dulu, aku mau ngomong sedikit."

"Kamu bikin aku deg-degan lho Jo."

"Nggak apa-apa, cuma mau nanya, tadi mas Galang ngomong apa sama kamu?"

"Ah, mau tau aja," kata Retno jual mahal. Ia tak menjawab, malah mengeluarkan ponselnya dan membuka-buka barangkali ada pesan disana.

"Retno, aku bertanya, serius."

"Nggak ngomong apa-apa, cuma so'al kerjaan."

"Bohong."

"Bener, memangnya ada apa?"

"Aku minta ma'af kalau mas Galang ngomong yang enggak-enggak, dia itu suka iseng saja."

"Lho, ini masalah apa sebenarnya?"

"Tadi gara-gara aku mengeluh so'al rumah."

"Rumah? Maksudnya?"

"Itu, rumah yang diberikan kantor untuk aku, aku cuma bilang, wah, aku cuma sendiri, rumah sebesar itu untuk apa, lalu mas Galang bilang, supaya aku cepat-cepat cari isteri."

"Mm.. lalu?"

"Ma'af kalau mas Galang menyingung-nyinggung kamu."

Retno tersenyum, dan sungguh, sore itu Raharjo terpana melihat senyuman itu. Mengapa baru sekaang menyadari betapa manisnya bibir tipis yang sedang menyunggingkan senyuman itu.

 Raharjo memandanginya tak berkedip, sementara dadanya berdebar tidak karuan.

"Kamu itu kenapa Jo? Kalau mas Galang menyingung=nyinggung aku, memangnya kenapa? Kan ngomongnya juga sama aku?"

"Maksudku... menyinggung kamu... sama aku..."

Retno tersenyum semakin lebar, dan dada Raharjo berdegup semakin kencang.

"Jo.. baiklah aku akan berterus terang, tentang sebagian yang dibicarakannya sama aku. Mas Galang bertanya, apakah kamu masih mencintai Putri?"

"Apa jawaban kamu?"

"Ya masih, lah... memang masih kan?"

"Kamu ada-ada saja.."

"Memang aku salah?"

"Tidak sepenuhnya benar."

"Yang mana?"

"Aku belum melupakannya, tapi kalau cinta, aku kira sudah berlalu,"

"Kata mas Galang masih sekeping.."

"Itu kan kecil.."

"Baiklah, apa lagi yang mau ditanyakan?"

Raharjo sudah membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti diujungnya. Mungkin mengatakan suka.. atau cinta, tapi rasa takut masih menghantuinya. Rasa takut yang sesungguhnya tidk beralasan, karena Raharjo bukanlah Teguh, walau itu sebuah kesatuan.

Retno bukan tak tau apa yang sebenarnya ada diujung mulutnya Raharjo, tapi mana berani dia menebak-nebak?

"Ret. tiba-tiba aku mau ketemu mas Galang,bagaimana kalau kita kerumahnya? Aku juga ingin membicarakan soal tarian itu sama bu Galang."

"Lho, kita kan baru pulang dari kantor, belum mandi, apalagi ganti pakaian."

"Kamu tungguin aku mandi sebentar," kata Raharjo yang kemudian beranjak berdiri.

"Enaknya, ya enggak lah, aku mau pulang dulu, lalu aku samperin kamu. Rumahku kan nggak jauh dari sini, maksudku, rumah omku .." lalu Retno menutup mulutnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu beranjak berdiri dan bersiap pulang. Memang Retno tidak kost seperti halnya Raharjo, tapi menempati rumah pak Haris yang kosong tidak terpakai.

Tiba-tiba Raharjo menyesali Retno yang menutupi mulutnya ketika tertawa. Bukankah senyum dan tawanya mempesona? Lalu Raharjo memaki dirinya sendiri karena tak mampu mengucapkan suka, apalagi cinta.

"Hei, kok bengong?" kata Retno ketika melihat Raharjo justru kembali duduk sambil memandanginya tak berkedip.

"Oh, iya... ide bagus, aku mau mandi dulu."

"Baiklah, mandi sana, aku segera kembali."

Dan Raharjo masih saja terbengong sampai ketika mobil Retno menghilang dari depan pagar rumahnya.

***

"Mana, sekarang aku yang nyetir, kepalaku sudah nggak pusing lagi kok." kata Galang dalam perjalanan pulang dari  apotik setelah memeriksakan kesehatannya ke dokter.

"Mas Galang gitu ya, baru saja merasa sembuh sudah mengira benar-benar sembuh."

"Dokter tadi  kan bilang bahwa aku ini nggak sakit apa-apa, jadi rasa pusing yang kadang-kadang menyerang itu masih karena efek obat tidur yang aku  minum sepuluh harian lalu. Tapi tadi sudah disuntik, dan sembuh kok. Juga sudah dikasih obat, nih.." kata Galang sambil menunjukkan sekantung obat yang diletakkan disampingnya.

"Baiklah, aku minggir dulu ya."

Dan Galang kemudian menyetir sendiri mobilnya.

"Mampir ke toko yang jual perlengkapan bayi dulu ya?" kata Galang.

"Mau aoa mampir kesana?"

"Kalau ada yang bagus dan cocog, kita beli sekalian box untuk Adhit."

"Lha mau diletakkan dimana mas? Kamar sekecil itu, sudah ada almari, kaca hias, nggak mungkin cukup untuk boxnya Adhit."

"Gampang, nanti kita atur, pokoknya mampir dulu, lihat-lihat, trus habis itu kita makan ya?"

"Hm, tumben ngajak makan diluar."

"Nggak apa-apa, sekali-sekali kan boleh."

***

Simbok sedang menggendong Adhitama diteras, dan hampir masuk kedalam untuk menidurkan Adhit, ketika dilihatnya mobil berhenti didepan pagar.

"Oh, bukan mobilnya pak Galang tuh, ada tamu kayaknya," gumam simbok.

Dan dua orang turun dari mobil itu, langsung masuk kedalam.

"Kulanuwun mbok..." sapa Retno, tamu itu, hampir bersamaan dengan Raharjo.

"Mangga.. "

"Mas Galang ada?"

"Oh, pak Galang sedang pergi sama isterinya," jawab simbok sambil menepuk nepuk pantat Adhit yang terlelap digendongannya.

"Oh, pergi ya? Sudah lama?"

"Sudah lumayan lama sih pak, katanya ke dokter."

"Lhoh, siapa yang sakit?"

"Pak Galang bu, katanya sering pusing, lalu sama isterinya diajak ke dokter. Tapi kok lama ya, takutnya mas Adhit rewel minta minum."

"Mampir-mampir mungkin," kata Raharjo.

"Oh, ini putranya mas Galang ya, waaah.. ganteng banget ya Jo,"

Raharjo yang ikut melongok kearah Adhit tiba-tiba merasa pernah melihat bayi itu.

"Ya kan Jo, ganteng bangett... eh.. nyenyak sekali tidurnya...siapa namanya mbok?" 

"Adhitama bu, ayo silahkan duduk mungkin sebentar lagi mereka pulang," kata simbok mempersilahkan.

"Aku seperti pernah melihat bayi itu," celetuk Raharjo tanpa sadar.

"Mimpi kamu .. kesini saja baru sekali.."

Raharjo tertawa.

"Iya mungkin, dalam mimpi."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 













No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...