Sunday, September 1, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 45

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  45

(Tien Kumalasari)

 Bayi kecil nan molek itu merasa terusik dengan suara-suara disekitarnya. Ia membuka matanya dan merengek.

"Eh..shh..shh.. shh... " simbok menenangkannya sambil menepuk-nepuk pantatnya.

"Tuh.. Jo, kamu sih... bangun dia tuh... Mana mbok, biar aku yang gendong," kata Retno sambil mengacungkan tangannya.

Simbok melepaskan selendangnya. Membiarkan Retno menggendongnya. 

"Kalau begitu saya tinggal dulu, untuk membuat minuman ya," kata simbok sambil melangkah kebelakang.

"Nggak usah repot-repot mbok...," teriak Raharjo.

"Nggak apa-apa..." jawab simbok dari belakang.

Retno menimang nimang bayi mungil itu dengan wajah berseri. Tiba-tiba Adhit merengek, ia mencari-cari kedada Retno, mengira Retno adalah ibunya.

Retno terkekeh geli.

"Ya ampun sayang, aku bukan ibumu, aku nggak punya yang kamu cari itu...," kata Retno sambil mengayun-ayunkan Adhitama. Raharjo menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawanya. 

"Rasain Ret, kamu pasti dikira ibunya," ejek Raharjo.

"Ya ampun, anak ini ternyata haus, sh..sh.. sebentar ya.."

Dan Adhit menangis keras. mungkin karena tak mendapatkan apa yang dicarinya. Retno berjalan kesana kemari untuk menenangkan, tapi Adhit tak hendak berhenti menangis. Ia terus mencari cari didada Retno.

"Aduh... bagaimana ini, diam sayang.. "

Raharjo yang semula hanya duduk, segera berdiri.

"Coba sini, sama om Raharjo, tapi awas ya, didada om nggak akan ada yang kamu cari," canda Raharjo sambil mengambil Adhitama dari tangan Retno. Raharjo mengayun ayunkan dengan lemah lembut, dan ajaib, tangis bayi itu berhenti. Mata kecilnya menatap Raharjo. Berkejap-kejap lucu. Gemes Raharjo menciumnya.

"Lhoh, kok sama kamu diam, hm.. berarti kamu sudah pantas jadi bapak Jo," canda Retno senang.

"Lihat Ret, ia memandangi aku terus... pasti ingin mengajak kenalan. Hallo, namaku Raharjo, Teguh Raharjo, namamu siapa sayang?" kata Raharjo riang.

Retno hanya tertawa lucu. Simbok yang keluar membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat tersenyum melihat Raharjo menggendong Adhit dengan sangat luwes.

"Walaah... mas Adhit rewel ya? Nangis tadi?" tanya simbok.

"Tadi nangis, tapi begitu digendong Raharjo langsung terdiam lho mbok. Dia itu sudah sangat luwes menggendong bayi ya mbok, lihat."

"Iya benar,  sudah punya putra berapa pak?"

"O, gimana to mbok, dia itu belum laku, bagaimana bisa punya putra," Retno meng olok-olok temannya.

"Oh, alaaah.. masih lajang ta mas? Ma'af, simbok lancang. Lha kok nggendongnya sudah luwes begitu?"

"Dulu biasa nggendong anak tetangga mbok," jawab Raharjo sekenanya.

"Oh, gitu ya, sekarang  mangga silahkan tehnya diminum, nanti keburu dingin, mana, mas Adhitnya sama simbok lagi. "kata simbok sambil mengulurkan tangannya kepada Raharjo.

"Apa mas Adhit lapar, kok tadi nangis. Ini ibunya kok ya lama sekali, katanya ke dokter hanya sebentar," kata simbok sambil membawa Adhit kebelakang.

Raharjo dan Retno meneguk minumannya.

Dalam hati Raharjo berkata, mengapa aku merasa sudah pernah mengenal Adhitama? Aneh, benarkah dalam mimpi? Aku merasa sangat dekat, apakah karena aku sudah ingin sekali punya anak? Aduhai.... siapa mau menjadi isteriku? Dan diam-diam Raharjo melirik kearah Retno, dan anehnya Retno juga sedang melihat kearahnya. Hanya beberapa detik berpandangan, lalu hati merekapun berdebar tak menentu. Apakah panah asmara sedang mengenai sasarannya? Raharjo heran pada dirinya, seandainya ada keberanian, pasti akan terucap sebuah kata. Lalu dialihkannya pandangannya kearah lain, sementara Retno tersipu dan terpaku ditempatnya. Ada kisah aneh yang tak saling terungkap, yang satu menyadari, satunya lagi malu mengakui. Ya ampun, kapan bertemunya?

"Kok lama ya mas Galang," akhirnya Raharjo mengakhiri kekakuan itu.

"Coba Jo, ditilpun, jangan-jangan malah disuruh opname."

"Ah, mosok opname?

"Tilpun aja Jo, itu Adhit juga sudah mulai rewel..."

Raharjo memutar nomor tilpun Galang. Ternyata yang menerima isterinya.

"Hallo... mas Galang lagi nyetir, ini siapa?"

Raharjo terpana, lagi-lagi suara itu. Untuk sesa'at ia terdiam. Mengapa suara bu Galang mirip suara Putri? Tak tahan, Raharjo mengulurkan ponselnya pada Retno.

"Kamu saja," bisiknya dengan suara bergetar.

"Hallo, ini mas Galang?" tanya Retno di ponsel Raharjo.

"Mas Galang lagi nyetir tuh, ini siapa?"

"Oh, saya Retno bu, kami dan Raharjo sedang ada dirumah ibu, katanya pak Galang dibawa ke dokter."

"Oh iya, mbak Retno, kami dari dokter,nggak apa-apa kok,  tadi mampir beli box untuk anak kami, dan sekarang sedang mau berhenti makan."

"Oh, baiklah, kalau begitu kami pulang saja dulu, besok kerumah lagi."

"Sebentar, mas, ini mas Raharjo sama mbak Retno ada dirumah kita, bagaimana?"

"Oh, sini, biar aku ngomong. Hallo Retno ? Kami sudah mau berhenti disebuah rumah makan, ayo nusul saja kemari, nih terlanjur parkir tuh," kata Galang setelah meminta ponselnya dari Putri.

"Dimana mas rumah makannya?"

"Biar aku kirim ke WA ya, kami tunggu lho."

Galang menutup pembicaraan itu. Dan tak lama Raharjo menerima WA tentang alamat rumah makan itu.

"Kita kesana Ret?" tanya Raharjo.

"Terserah kamu saja Jo, ini nggak jauh dari sini kayaknya."

"Ayo, oke kita susul. Mana simbok tadi? Ayo pamit dulu."

***

"Dari tadi tilpun Putri kok nggak nyambung-nyambung," keluh bu Broto yang sa'at itu sedang menunggui suaminya dirumah sakit. Sejak diperiksa dokter dua hari lalu, dokter menyarankan pak Broto harus opname karena ada masalah dengan jantungnya. Lagi pula bu Broto lebih suka kalau suaminya dirawat, karena mudah mengontrolnya. Sendirian merawat suami yang sakit, sungguh membuatnya repot.

"Salahmu bu, mengapa  menelpone Putri segala. Dia mana memperhatikan kita."

"Ya jangan begitu ta pak, bagaimanapun kita ini kan orang tuanya, nggak mungkin Putri nggak perhatian sama kita. Sebentar, aku tilpun lagi."

Tapi rupanya telepone Putri ketinggalan dirumah, simbok yang sejak tadi mendengarnya, khawatir kalau ada hal penting yang akan disampaikan ponsel itu, karenanya setelah kesekian kalinya, kemudian  diangkatnya telephone itu.

"Hallo..." jawab simbok.

"Lho, kok kamu ta mbok, mana Putri?" 

"Owalah, ibu Broto, jeng Putri sedang ke dokter bersama pak Galang, ponselnya ketinggalan , ini simbok cuma sama mas Adhit."

"Lho, siapa yang sakit mbok?"

"Pak Galang, katanya sering pusing, lalu diantar ke dokter oleh jeng Putri."

"O, semoga nggak apa-apa ya mbok. Nanti kalau sudah pada pulang, bilang aku menelpone. Ini bapaknya Putri juga opname dirumah sakit."

"Lho, sakit apa bu?"

"Tekanan  darah naik turun mbok, jantungnya juga bermasalah. Sudah dua hari ini."

"Owalah bu, nanti akan simbok sampaikan, semoga pak Broto baik-baik saja."

Bu Broto menutup ponselnya.

"Ternyata Putri sedang mengantar suaminya ke dokter, ponselnya ketinggalan dirumah, simbok yang mengangkat."

"Hm..." jawab pak Broto singkat.

"Bapak harus sabar ya, jangan mengeluh terus. "

"Aku pengin pulang saja bu," keluh pak Broto.

"Jangan begitu pak, dokter belum mengijinkan, jadi bapak juga harus menurut, lagi pula kalau sakit dirumah, ibu bingung pak, sendirian . Kalau disini kan ada perawat dan dokter yang langsung menjaga."

"Kemarin kamu bilang ada video anaknya Putri.." suara pak Broto lemah.

"O, bapak ingin melihatnya, sebentar .. ibu cari dulu, tapi habis ini harus tidur ya, ini sudah malam."

Bu Broto membuka buka ponselnya, setelah ketemu video itu, lalu ditunjukkannya pada suaminya.

"Lihat, bukankah lucu sekali Adhitama ini? Coba pak, belum tiga bulan sudah ingin tengkurap."

Pak Broto mengawasi ulah si kecil dengan mata berbinar. Bu Broto senang sekali melihat pak Broto memperhatikan video itu dan memutarnya berulang-ulang. Celotehnya juga terdengar menggemaskan. Baru kali ini pak Broto ingin melihat gambar cucunya, tanpa bu Broto memberitahu. Setiap kali Putri mengirimkan gambar atau video Adhit, pak Broto selalu melihatnya dengan acuh tak acuh.

"Mirip siapa dia?" kata pak Broto.

"Mirip kakeknya lah, ganteng," ujar bu Broto untuk menyenangkan hati suaminya.

Pak Broto tersenyum sambil mengulurkan ponsel itu kepada istrinya.

"Besok aku mau melihatnya lagi," ujar pak Broto sambil memejamkan matanya.

***

"Kok mereka lama sekali?" celetuk Galang karena ia hampir menghabiskan nasi pesanannya dan Raharjo belum juga menyusul.

"Macet barangkali." 

Sementara itu telephone Galang berdering.

"Lho, ini ponselmu sayang, ada yang menelpone nih.."

"Simbok barangkali, memang ketinggalan dirumah."

"Hallo, simbok?"

"Iya pak, ini mas Adhit rewel, ma'af ..apakah pulangnya masih lama?"

"Ya ampun, iya mbok, kami segera pulang." Galang menutup ponselnya. Padahal simbok sebetulnya juga ingin mengatakan kalau tadi ada telephone dari Solo yang mengabarkan bahwa pak Broto masuk rumah sakit.

"Simbok bilang, Adhit rewel, mungkin lapar."

"Oh, iya mas, kita harus segera pulang. Benar dia lapar mas, kenapa kita lama sekali perginya."

"Ayo kita pulang, biar aku telephone Raharjo dan minta ma'af."

Dan sesungguhnya, Galang baru saja keluar dari rumah makan itu ketika Raharjo memasuki parkiran dirumah makan yang tadi alamatnya dikirimkan Galang.

"Ya ampun, kita terlambat, mas Galang sudah pulang," ujar Raharjo ketika menerima telephone Galang.

"Haaa, pasti kita kelamaan kena macet diujung jalan itu."

"Belum sa'atnya ketemu bu Galang. "

***

 besok lagi ya

 

No comments:

Post a Comment

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13 (Tien Kumalasari)   “Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tangkil...