Tuesday, November 29, 2022

JANGAN PERGI 37

 

JANGAN PERGI  37

(Tien Kumalasari)

 

“Ya sudah Non, saya buru-buru nih,” kata bibik pembantu bu Listyo sambil membalikkan badan.

“Tunggu Bik, tunggu dulu,” Listi memegang lengannya.

“Ya Non?”

“Kecelakaan di mana?”

“Katanya menuju luar kota, menabrak pembatas jalan, mobilnya terguling, lalu pak Radit dibawa ke rumah sakit.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Baru sadar pagi tadi, tapi nggak mau bicara sama ibu, ibu jadi sedih. Ya sudah Non.”

“Bik, di rumah sakit mana?”

“Rumah sakit pusat Non,” katanya sambil menjauh. Tampaknya ada taksi yang sedang menunggu.

“Ya Tuhan,” Listi menepuk keningnya.

“Kenapa Radityo masuk rumah sakit?”

“Katanya kecelakaan dua hari yang lalu. Kasihan, Listi yang jadi penyebabnya.”

“Mengapa kamu?”

“Dia mau ketemu Ratri, Listi mencegahnya, lalu Listi kabur bersama Ratri, Radit mengejarnya. Rupanya saat itulah dia kecelakaan. Mungkin tergesa-gesa, mungkin pikirannya kalut, lalu terjadilah kecelakaan itu.

“Mengapa kamu mencegah mereka bertemu?” tegur ibunya.

“Listi tidak suka, ibunya menghina Ratri. Memangnya hanya Radit laki-laki di dunia ini? Adikku kan cantik, pasti banyak yang suka. Aku akan carikan nanti, jodoh yang baik, bukan hanya orangnya, tapi juga orang tuanya harus baik. Sebel banget kalau ingat,” gerutu Listi sambil menggandeng ibunya menghampiri mobil.

“Kita ke rumah sakit?” tanya ibunya.

“Ngabarin Ratri dulu, mau nelpon nih.”

“Sebaiknya langsung saja, nanti dia kaget. Beda kalau bicara langsung, bicaralah dengan hati-hati.”

Listi mengangguk. Perasaan bersalah menggayuti dirinya.

“Pasti Ratri marah sama Listi,” gumamnya sambil  membukakan mobil untuk ibunya.

***

Ratri sedang membersihkan kamarnya, mumpung hari Minggu. Sudah lama dia tidak bersih-bersih, apalagi setelah dia memutuskan tidur di kamar ibunya.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dian lagi? Ada apa nih?” gumamnya sambil mengangkat ponselnya yang berada di luar kamar.

“Ya Dian?”

“Aduh, kenapa ya, aku menelpon pak Radit tidak juga diangkat?”

“Sibuk, barangkali. Lagian aku tuh sebenarnya pengin nanya sama kamu. Kalau sama mas Radit itu ya, kamu terkadang memanggil ‘pak’, lalu lain kali ‘mas’. Aneh deh.”

Dian tertawa. Iya sih, habis mas Radit juga selalu begitu, kadang panggil aku ‘pak’ lalu lain kali ‘mas’. Ya nggak apa-apa lah, kan cuma cara memanggil, yang penting maksudnya saling menghormati.”

“Kalau ‘pak’ itu kan kedengarannya sangat formal, begitu lhoh. ‘Mas’ lebih akrab.”

“Iya deh, waduh, pacarnya marah nih.”

“Eh, enak aja. Aku sudah bukan pacarnya, tahu.”

“Memangnya sudah resmi putus? Tega kamu ya.”

“Bukan masalah tega nggak tega, aku harus tahu diri.”

“Tahu diri … tahu diri terus. Dimata Allah, semua orang itu sama.”

“Bagaimana dengan orang tuanya? Ada perbedaan sikap yang tiba-tiba, dan itu setelah aku ketemu dengan ibu kandungku. Kamu nggak bisa ya, menebak penyebabnya?”

“Kemarin aku bertemu ibu kamu, sedang belanja sama Listi. Lupa bilang aku tadi.”

“Oh ya? Bagaimana sikapnya? Baik kan?”

“Penampilan dan sikapnya sangat baik. Aku bersyukur untuk itu. Listi juga sudah berubah. Semoga seterusnya begitu.”

“Iya benar, aku juga senang.”

“Apa bu Listyo belum tahu, bagaimana ibu kamu? Dia tidak mengecewakan.”

“Entahlah, tapi aku tidak peduli. Oh ya, tadi kamu mau ngomong apa?”

“Ya itu, aku mau ketemu mas Radit. Hehe, ‘mas’ ya sekarang, Mm, ya itu, tapi aku nggak bisa menghubungi dia. Ponselnya nggak aktif. Ini aneh. Kalau nggak aktif sebentar, mungkin sedang di cas, tapi dua hari tidak aktif? Apa dia ganti nomor?”

“Mungkin dia marah karena aku lari. Tepatnya, dilarikan mbak Listi.”

“Listi juga sih, aneh-aneh saja.”

“Iya, itulah kakak aku. Kadang dia bisa keras, walau sudah banyak sikap manisnya.”

“Ya sudah, aku langsung ke rumahnya saja.”

“Tapi kamu nggak usah ngomong aneh-aneh, nggak usah pakai nyebut-nyebut aku juga.”

“Kenapa?”

“Itu yang terbaik Dian, tolong mengertilah. Eh, itu mbak Listi datang sama ibu.”

“Baiklah, sudah dulu Tri, aku mau langsung ke rumah mas Radit, soalnya aku janji mau jalan-jalan lagi sama Arina, besok kembali ke Jakarta pagi-pagi.”

“Selamat jalan ya, hati-hati.”

Listi tergopoh mendekati rumah, Ratri menyambutnya dengan heran.

“Ratri … Ratri, ada kabar buruk,” kata Listi panik.

“Kabar buruk apa sih? Tenang dulu deh.”

“Radit masuk rumah sakit.”

Ratri menutup mulutnya.

“Sakit apa?”

“Kecelakaan.”

“Siapa yang kecelakaan? Tiba-tiba bu Cipto keluar bergitu mendengar suara Listi yang terdengar panik.

“Radit Bu, baru saja Listi mendengar dari pembantunya.”

“Ya Allah,” seru bu Cipto terkejut.

“Kamu ke sana?” tanya Ratri.

“Tidak, ketemu di sekitar pasar, sedang belanja. Cepat ganti pakaian kamu, kita ke sana sekarang.”

Ratri bergegas masuk.

“Aku juga ikut ya Nak,” bu Cipto ikut panik, segera masuk ke dalam.

“Tenang Listi, kamu jangan panik. Kamu kan mengendarai mobil,” kata Tijah menenangkan anaknya.

***

Dian sudah sampai di rumah Radit, ia langsung memarkir mobilnya dan bergegas mendekati rumah. Tapi rumah itu tampak tertutup.

“Kok tertutup ya? Dan garasinya juga tertutup. Apa mereka pergi? Aneh saja, walaupun pergi kenapa ponselnya juga dimatikan? Apa benar, Radit marah seperti kata Ratri, karena penolakan Ratri? Masa sih, marah?” gumam Dian sambil berdiri di depan teras.

“Assalamu’alaikum ….”

Tak ada jawaban, Dian memencet bel tamu, sama saja, tak ada reaksi dari dalam. Dian naik ke teras, mendekati pintu dan mengetuk berkali-kali, tak ada suara menyambut. Ketika Dian melongok diantara korden yang tersingkap, dilihatnya ruangan itu gelap.

“Berarti mas Radit pergi. Bersama ibunya, atau pergi sendiri-sendiri ya? Aduh, aku berjanji mau ngomong sama mas Radit tentang Ratri. Sedih kalau sampai mereka benar-benar putus. Bagaimana ya cara menghubungi dia? Aku sudah mengirim pesan melalui WA, tapi tidak terbaca sejak kemarin. Apa yang terjadi?” Dian terus bergumam, menatap ke sekeliling halaman rumah. Sudah jelas tak ada siapa-siapa. Dian menghampiri mobilnya, putus asa.

Ketika mobilnya hampir keluar dari halaman, dilihatnya seseorang mengawasinya.

“Bapak mencari bu Listyo?”

“Ya. Tampaknya rumahnya kosong.”

“Bapak belum mendengar ya? Putra bu Listyo kecelakaan.”

Dian terkejut..

“Mas Radit?”

“Iya, siapa lagi. Putra bu Listyo kan hanya satu. Sudah dua hari yang lalu,” terang orang itu.

“Di rumah sakit mana ya?”

“Pusat, sepertinya. Dengar-dengar begitu. Kami juga belum sempat menjenguknya, baru nanti sore.

Dian memacu mobilnya menuju rumah sakit.

***

Radit tergolek lemah di ruang perawatan. Kepalanya berbalut perban, berbecak darah, sedangnya lengannya terhubung jarum dan selang infus, yang tergantung di sampingnya.  Bu Listyo duduk dengan wajah sembab, tapi Radit tampak memalingkan muka. Belum lama dia sadar, dan ketika sadar, ucapan pertama yang terdengar adalah ‘Ratri, jangan pergi’. Hal itu membuat bu Listyo sedih.

“Radit, kamu tidak boleh banyak pikiran. Supaya segera pulih,” kata bu Listyo lirih.

“Bibik, panggil Ratri, Bik,” bisiknya lemah.

“Bibik tidak ada, ini ibu, Dit.”

Radit diam. Dia masih marah pada ibunya. Ibunya lah penyebab semua ini.

“Radit, jangan marah sama ibu dong Dit. Ibu sangat menyayangi kamu, ibu sedih kamu seperti ini.”

“Ratri, jangan pergi, Ratri.”

Bu Listyo mengusap air matanya. Ada perang di dalam batinnya. Antara menyayangi Ratri, dan mengingat keadaan ibunya. Dia merasa, bahwa sebagai orang terpandang, ia tak pantas berbesan dengan orang yang ‘kurang waras’. Apa kata orang nanti. Belum lagi kalau nanti bersanding di pelaminan, ibunya juga ikut mendampingi, kemudian ‘kumat’. Mau ditaruh di mana mukanya? Air mata bu Listyo mengalir deras.

“Radit, jangan begitu Nak, ingatlah, ibu sangat menyayangi kamu.”

“Bibiiik, panggil Ratri Biik. Jangan biarkan dia pergi,” rintihnya pelan.

“Radit …” bu Listyo terisak. Tapi Radit bergeming, terus saja Ratri yang dipanggilnya.

“Kalau Ratri tidak ke sini, lebih baik aku mati.”

Bu Listyo terkejut, dipegangnya tangan Radit dengan berurai air mata. Terasa sangat panas. Tapi dokter baru saja memberinya obat. Bu Listyo berharap panasnya segera turun. Radit seperti mengigau terus menerus.

“Jangan begitu Dit.”

“Ratri, jangan pergi …”

Bu Listyo berdiri, dilihatnya bibik bersimpuh di lantai, sedang mengusap air matanya. Bu Listyo duduk di sofa, dihadapan bibik.

“Apa yang harus aku lakukan, Bik?”

“Menurut saya, sebaiknya Non Ratri dipanggil kemari.”

“Tapi ….”

“Kasihan pak Radit.”

“Aku tidak rela, kalau mengingat orang tuanya Bik, mana pantas aku berbesan sama ….”

Terdengar ketukan di pintu. Bibik berdiri untuk membukanya, lalu muncullah beberapa orang. Listi, Ratri dan kedua ibu mereka.

Bu Listyo mengusap air matanya, menatap mereka satu persatu. Ratri mencoba mendekat, kemudian meraih tangan bu Listyo, diciumnya. Listi menatap tajam. Kalau sampai bu Listyo mengucapkan sesuatu yang menyakiti, maka dia siap menyemburkan kata-kata melawan.

Tapi tidak, bu Listyo menerima tangan Ratri. Tapi matanya menyapu ke arah dua orang wanita setengah tua yang berwajah tenang, juga cantik-cantik.

“Bu, ini ibu kandung saya, Bu Tijah, dan ini ibu angkat saya, bu Cipto.

Keduanya maju, mendekati bu Listyo.

Bu Listyo heran, yang disebut ‘ibu kandung’ oleh Ratri adalah seorang wanita cantik, tampak anggun dengan baju bersih dan rapi dengan kerudung yang senada. Ia mengulurkan tangannya, menyalami bu Listyo.

“Saya Sutijah, ibu kandung Listi dan Ratri,” ucapnya lembut.

Bu Listyo berdiri, menatap heran. Tak tampak sinar mata liar yang sering tampak pada orang-orang yang kurang waras. Begitu santun dan halus ucapannya, begitu lembut genggaman tangannya.

“Iya, silakan duduk, semuanya,” kata bu Listyo setelah bu Cipto dan Listi juga menyalaminya.

“Bibikkk,” teriak Radit.

Bibik bergegas menghampiri.

“Mana Ratri Bik … jangan biarkan dia pergi.”

Listi dan Ratri mendengarnya. Listi segera menarik tangan Ratri, untuk mendekat ke arah ranjang.

“Radit, ini Ratri,” kata Listi.

Ratri mengusap air matanya yang menitik. Iba melihat tubuh Radit tergolek tak berdaya. Laki-laki yang dicintainya, tak pernah surut cinta itu. Dan kalaupun berpisah, cinta itu akan tetap ada, jauh di dasar hatinya. Digenggamnya tangan Radit.

Radit menoleh, ia berusaha bangkit, begitu tahu siapa yang menggenggam tangannya.

“Ratri?

Listi berusaha membaringkannya kembali.

“Apa aku bermimpi, apa benar ini kamu?"

“Iya Mas, ini aku, Ratri.”

“Ratri, jangan pergi,” Radit terisak.

“Cepat sembuh ya Mas.”

“Jangan pergi Ratri, jangan tinggalkan aku.”

Ratri menangis sambil mencium tangan kekasihnya. Mana tega dia membiarkan Radit menderita? Tapi apakah dia punya daya?

“Cepatlah sembuh,” bisik Ratri dengan suara bergetar.

“Setelah sembuh, aku akan membawamu pergi. Kita akan bahagia berdua, Ratri.”

Ratri terisak.

Listi yang semula berdiri di samping Ratri, tak bisa menahan tangis. Ia menghampiri ibunya, sambil mengusap air matanya.

“Listi tidak tega melihatnya, ayo kita pulang saja Bu,” kata Listi.

Bu Cipto dan Tijah berdiri.

“Ibu, mohon maaf kalau kami mengganggu,” kata Tijah pelan. Kemudian berdua mereka mendekati ranjang tempat Radit berbaring.

“Nak Radit, cepat sembuh ya,” kata bu Cipto sambil memegang tangan Radit, setelah Ratri melepaskannya.

“Cepatlah sembuh, laki-laki perkasa tidak boleh jatuh karena rasa sakit,” kata bu Tijah, membuat Radit tertegun.

“Ibu,” bisiknya sambil meraih tangan Tijah.

“Cepat sembuh, jangan cengeng,” kata Tijah sambil tersenyum lembut.

Kemudian Tijah menarik lengan bu Cipto, berjalan ke arah sofa, dimana bu Listyo masih menangis.

“Ibu, saya mohon maaf kalau dianggap mengganggu, tapi saya akan selalu berdoa untuk kesembuhan nak Radit. Dia kuat. Ibu jangan khawatir,” kata Tijah.

Bu Listyo berdiri, sejak tadi tak mampu berkata-kata.

“Listi, ajak adikmu pulang,” perintahnya kepada Listi, yang segera melangkah mendekati Ratri.

“Ibu mengajak kita pulang,” bisiknya.

Tiba-tiba Radit mencengkeram tangan Ratri.

“Jangan pergi Ratri.”

“Maaf Mas, Ratri harus pergi, maafkan Ratri ya,” kata Ratri sambil menangis, dan melepaskan tangan Radit, kemudian melangkah menjauh.

Radit bangkit. Dilepaskannya jarum yang menancap pada tangannya, lalu melompat turun dari tempat dia berbaring.

“Ratri !”

Ratri dan semuanya terkejut. Bu Listyo berdiri menghambur ke arah anaknya. Darah berceceran dari tangan Radit, membasahi lantai.

“Susteeeer!!” hampir semuanya berteriak.

Radit terhuyung. Ratri dan Listi memegangi tubuhnya.

“Biarkan aku pergi bersama kamu, Ratri. Jangan pergi sendiri.” Gemetar suara Radit.

Dokter segara datang, dan dua orang perawat laki-laki memapah Radit untuk kembali ke tempat tidur. Radit meronta.

“Biarkan aku pergi bersama dia.”

Bu Listyo mendekati Ratri

“Tolong, jangan pergi,” bisik bu Listyo memohon.

***

Besok lagi ya.

48 comments:

  1. Terima kasih bu tien, alhamdulilah jp sdh tayang salam sehat

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun bunda JePe eps 37 sampun tayang.
    Sugeng dalu sufeng ado salira

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Wah.. tayang gasik...suwun bu tien.. 🥰🥰🤩

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah sdh tayang .... Trimakasih bu Tien. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  6. Wah, ditinggal sebentar sudah rame komennya.😀

    ReplyDelete
  7. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo juga bundaa...
      Tks sdh menyapa kami semua..
      Semoga bunda sehat dan bahagia selalu...
      Salam Aduhaaiii...

      Delete
  8. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah...
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Akhirnya, lumer juga hatimu Buu...
    Biarkan anakmu bahagia...

    Salam aduhai dari Bandung, semoga Bu Tien senantiasa sehat... 😘😘

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah...

    Matur nuwun Bu Tien Kumala....

    ReplyDelete

  14. Alhamdulillah JANGAN PERGI~37 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Selamat malam bundaaa..terima ksih JP nya..salam sehat dan tetap aduhai dri skbmi🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  17. Akhirnya bu Listyo meminta Ratri untuk menemani Radit yang tergolek sakit

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah JP 37 sdh tayang
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah sdh tayang,mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  20. Mungkin kudu gitu ya,
    Bener kata simbah, kita harus prihatin, kalau mau mendapatkan sesuatu banget sampai melembutkan hati yang keras, ya termasuk keras kepala, penguasa lagi, siapa coba yang berani melangkah ke jenjang pernikahan tanpa restu ibu, apalagi Listi yang nguping aja nggak terima, kan karena keadaan; ini, makanya harus pakai praduga tak bersalah jangan jangan langsung maen hantam kromo, maen sikat.
    Radit juga nggak berdaya, itulah ingat simbah, kudu laku prihatin ; bertapa nggak bicara, tåpå mbisu, maksudnya nggak mau bicara, diam katanya itu emas.
    Mbêguguk makuthå waton.
    Bertahan kepala batu.
    Ih mBatu dingin lho, itu kan mBatu Malang.
    Lha iya sampai mendapat kan kemalangan gitu, biyungnya masih aja pada vonisnya, kalau bibik nggak ikutan usul terus gimana, nggak jadi?
    Sorry lah yauw, malah mau ikutan pergi gitu lho, infusnya di sebrot sampai darahnya kemana mana, pada tarik suara manggil suster ramé ramé, heboh kaya anak kecil minta mainan.
    Tåpå mbisu berhasil; meluluhkan hati yang kaku sampai memohon Ratri jangan pergi, baru tenang tuh.. Radityo.

    Baru mau membubarkan diri; mau pulang, siapa yang pulang? Lha itu tiga janda jelita..
    Èh Dian baru sampai rumah sakit ; wuah sudah ketemuan nich telat akunya; katanya.
    Syukurlah sudah pada rujuk, ikut senang kata Dian.
    Gitu donk ditungguin jangan maen pergi aja.
    Ingat Arina jadi sebentar disana, mau makan siang sama Arina juga emaknya tho. biasa trik lama, mau emaknya baek baekin anaknya.
    ADUHAI


    Terimakasih Bu Tien

    Jangan pergi yang ke tiga puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  21. Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales, dan selalu Aduhaiiii

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bu Tien cantik.
    Salam sehat selalu ❤❤❤

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  24. Terima kasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah semoga bu Listyo sadar. Terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  26. Semakin hari ceritanya semakin seru. Mbak Tien sangat lihai memainkan emosi pembaca...
    Terima kasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  27. Terimakasih bu Tin Kumalasari... J P 37 sdh tayang ... makin asiiik aja ceritanya ... Salam sehat dan Aduhai

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat 🤗🥰
    Sedih bacanya,,,,selanjutnya segera menikah ya Radit & ratri 🤣🤣🤣

    ReplyDelete
  29. 🌹🦋🌿 Alhamdulillah JP 37 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌸

    ReplyDelete
  30. Trims Bu Tien ...duh bihin terharu

    ReplyDelete
  31. Sudah ketahuan nih yg dilarang pergi.
    ..RATRI jangan tinggalkan daku seorang diri...😥😥.
    luh tumetes..😥 sithik 🤭

    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏

    ReplyDelete
  32. Terima kasih atas sapaannya..
    Semoga mbak Tien selalu sehat dan tetap berkarya.. Aamiin

    ReplyDelete
  33. Air mata ini menetes dengan sendirinya,,, mengaburkan tulisan ...bgt menyentuh cerita cerita karya bunda Tien.... Semangat berkarya,,,sehat selalu bunda Tien

    ReplyDelete
  34. Mba Tien selalu bisa mengaduk emosi penggemarnya.
    Makasih mba Tien.
    Selalu sehat dan tetap semangat

    ReplyDelete
  35. Alhamdulillah, membaca episode ini berlinang air mata....Bu Tijah bisa berkata bijak. Sepertinya hampir tamat. Salam sehat selalu Bu Tien......

    ReplyDelete

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

  KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01. (Tien Kumalasari)   Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyena...