JANGAN PERGI 37
(Tien Kumalasari)
“Ya sudah Non, saya buru-buru nih,” kata bibik
pembantu bu Listyo sambil membalikkan badan.
“Tunggu Bik, tunggu dulu,” Listi memegang lengannya.
“Ya Non?”
“Kecelakaan di mana?”
“Katanya menuju luar kota, menabrak pembatas jalan, mobilnya terguling,
lalu pak Radit dibawa ke rumah sakit.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Baru sadar pagi tadi, tapi nggak mau bicara sama ibu,
ibu jadi sedih. Ya sudah Non.”
“Bik, di rumah sakit mana?”
“Rumah sakit pusat Non,” katanya sambil menjauh.
Tampaknya ada taksi yang sedang menunggu.
“Ya Tuhan,” Listi menepuk keningnya.
“Kenapa Radityo masuk rumah sakit?”
“Katanya kecelakaan dua hari yang lalu. Kasihan, Listi
yang jadi penyebabnya.”
“Mengapa kamu?”
“Dia mau ketemu Ratri, Listi mencegahnya, lalu Listi kabur
bersama Ratri, Radit mengejarnya. Rupanya saat itulah dia kecelakaan. Mungkin
tergesa-gesa, mungkin pikirannya kalut, lalu terjadilah kecelakaan itu.
“Mengapa kamu mencegah mereka bertemu?” tegur ibunya.
“Listi tidak suka, ibunya menghina Ratri. Memangnya
hanya Radit laki-laki di dunia ini? Adikku kan cantik, pasti banyak yang suka.
Aku akan carikan nanti, jodoh yang baik, bukan hanya orangnya, tapi juga orang
tuanya harus baik. Sebel banget kalau ingat,” gerutu Listi sambil menggandeng
ibunya menghampiri mobil.
“Kita ke rumah sakit?” tanya ibunya.
“Ngabarin Ratri dulu, mau nelpon nih.”
“Sebaiknya langsung saja, nanti dia kaget. Beda kalau
bicara langsung, bicaralah dengan hati-hati.”
Listi mengangguk. Perasaan bersalah menggayuti
dirinya.
“Pasti Ratri marah sama Listi,” gumamnya sambil membukakan mobil untuk ibunya.
***
Ratri sedang membersihkan kamarnya, mumpung hari
Minggu. Sudah lama dia tidak bersih-bersih, apalagi setelah dia memutuskan
tidur di kamar ibunya.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
“Dian lagi? Ada apa nih?” gumamnya sambil mengangkat
ponselnya yang berada di luar kamar.
“Ya Dian?”
“Aduh, kenapa ya, aku menelpon pak Radit tidak juga
diangkat?”
“Sibuk, barangkali. Lagian aku tuh sebenarnya pengin
nanya sama kamu. Kalau sama mas Radit itu ya, kamu terkadang memanggil ‘pak’,
lalu lain kali ‘mas’. Aneh deh.”
Dian tertawa. Iya sih, habis mas Radit juga selalu
begitu, kadang panggil aku ‘pak’ lalu lain kali ‘mas’. Ya nggak apa-apa lah,
kan cuma cara memanggil, yang penting maksudnya saling menghormati.”
“Kalau ‘pak’ itu kan kedengarannya sangat formal,
begitu lhoh. ‘Mas’ lebih akrab.”
“Iya deh, waduh, pacarnya marah nih.”
“Eh, enak aja. Aku sudah bukan pacarnya, tahu.”
“Memangnya sudah resmi putus? Tega kamu ya.”
“Bukan masalah tega nggak tega, aku harus tahu diri.”
“Tahu diri … tahu diri terus. Dimata Allah, semua
orang itu sama.”
“Bagaimana dengan orang tuanya? Ada perbedaan sikap
yang tiba-tiba, dan itu setelah aku ketemu dengan ibu kandungku. Kamu nggak
bisa ya, menebak penyebabnya?”
“Kemarin aku bertemu ibu kamu, sedang belanja sama
Listi. Lupa bilang aku tadi.”
“Oh ya? Bagaimana sikapnya? Baik kan?”
“Penampilan dan sikapnya sangat baik. Aku bersyukur
untuk itu. Listi juga sudah berubah. Semoga seterusnya begitu.”
“Iya benar, aku juga senang.”
“Apa bu Listyo belum tahu, bagaimana ibu kamu? Dia
tidak mengecewakan.”
“Entahlah, tapi aku tidak peduli. Oh ya, tadi kamu mau
ngomong apa?”
“Ya itu, aku mau ketemu mas Radit. Hehe, ‘mas’ ya
sekarang, Mm, ya itu, tapi aku nggak bisa menghubungi dia. Ponselnya nggak
aktif. Ini aneh. Kalau nggak aktif sebentar, mungkin sedang di cas, tapi dua
hari tidak aktif? Apa dia ganti nomor?”
“Mungkin dia marah karena aku lari. Tepatnya, dilarikan
mbak Listi.”
“Listi juga sih, aneh-aneh saja.”
“Iya, itulah kakak aku. Kadang dia bisa keras, walau
sudah banyak sikap manisnya.”
“Ya sudah, aku langsung ke rumahnya saja.”
“Tapi kamu nggak usah ngomong aneh-aneh, nggak usah
pakai nyebut-nyebut aku juga.”
“Kenapa?”
“Itu yang terbaik Dian, tolong mengertilah. Eh, itu
mbak Listi datang sama ibu.”
“Baiklah, sudah dulu Tri, aku mau langsung ke rumah
mas Radit, soalnya aku janji mau jalan-jalan lagi sama Arina, besok kembali ke
Jakarta pagi-pagi.”
“Selamat jalan ya, hati-hati.”
Listi tergopoh mendekati rumah, Ratri menyambutnya
dengan heran.
“Ratri … Ratri, ada kabar buruk,” kata Listi panik.
“Kabar buruk apa sih? Tenang dulu deh.”
“Radit masuk rumah sakit.”
Ratri menutup mulutnya.
“Sakit apa?”
“Kecelakaan.”
“Siapa yang kecelakaan? Tiba-tiba bu Cipto keluar
bergitu mendengar suara Listi yang terdengar panik.
“Radit Bu, baru saja Listi mendengar dari pembantunya.”
“Ya Allah,” seru bu Cipto terkejut.
“Kamu ke sana?” tanya Ratri.
“Tidak, ketemu di sekitar pasar, sedang belanja. Cepat
ganti pakaian kamu, kita ke sana sekarang.”
Ratri bergegas masuk.
“Aku juga ikut ya Nak,” bu Cipto ikut panik, segera
masuk ke dalam.
“Tenang Listi, kamu jangan panik. Kamu kan mengendarai
mobil,” kata Tijah menenangkan anaknya.
***
Dian sudah sampai di rumah Radit, ia langsung memarkir
mobilnya dan bergegas mendekati rumah. Tapi rumah itu tampak tertutup.
“Kok tertutup ya? Dan garasinya juga tertutup. Apa
mereka pergi? Aneh saja, walaupun pergi kenapa ponselnya juga dimatikan? Apa
benar, Radit marah seperti kata Ratri, karena penolakan Ratri? Masa sih, marah?”
gumam Dian sambil berdiri di depan teras.
“Assalamu’alaikum ….”
Tak ada jawaban, Dian memencet bel tamu, sama saja,
tak ada reaksi dari dalam. Dian naik ke teras, mendekati pintu dan mengetuk
berkali-kali, tak ada suara menyambut. Ketika Dian melongok diantara korden
yang tersingkap, dilihatnya ruangan itu gelap.
“Berarti mas Radit pergi. Bersama ibunya, atau pergi
sendiri-sendiri ya? Aduh, aku berjanji mau ngomong sama mas Radit tentang
Ratri. Sedih kalau sampai mereka benar-benar putus. Bagaimana ya cara
menghubungi dia? Aku sudah mengirim pesan melalui WA, tapi tidak terbaca sejak
kemarin. Apa yang terjadi?” Dian terus bergumam, menatap ke sekeliling halaman
rumah. Sudah jelas tak ada siapa-siapa. Dian menghampiri mobilnya, putus asa.
Ketika mobilnya hampir keluar dari halaman, dilihatnya
seseorang mengawasinya.
“Bapak mencari bu Listyo?”
“Ya. Tampaknya rumahnya kosong.”
“Bapak belum mendengar ya? Putra bu Listyo kecelakaan.”
Dian terkejut..
“Mas Radit?”
“Iya, siapa lagi. Putra bu Listyo kan hanya satu. Sudah
dua hari yang lalu,” terang orang itu.
“Di rumah sakit mana ya?”
“Pusat, sepertinya. Dengar-dengar begitu. Kami juga
belum sempat menjenguknya, baru nanti sore.
Dian memacu mobilnya menuju rumah sakit.
***
Radit tergolek lemah di ruang perawatan. Kepalanya
berbalut perban, berbecak darah, sedangnya lengannya terhubung jarum dan selang
infus, yang tergantung di sampingnya. Bu Listyo duduk dengan wajah sembab, tapi
Radit tampak memalingkan muka. Belum lama dia sadar, dan ketika sadar, ucapan
pertama yang terdengar adalah ‘Ratri, jangan pergi’. Hal itu membuat bu Listyo sedih.
“Radit, kamu tidak boleh banyak pikiran. Supaya segera
pulih,” kata bu Listyo lirih.
“Bibik, panggil Ratri, Bik,” bisiknya lemah.
“Bibik tidak ada, ini ibu, Dit.”
Radit diam. Dia masih marah pada ibunya. Ibunya lah
penyebab semua ini.
“Radit, jangan marah sama ibu dong Dit. Ibu sangat
menyayangi kamu, ibu sedih kamu seperti ini.”
“Ratri, jangan pergi, Ratri.”
Bu Listyo mengusap air matanya. Ada perang di dalam
batinnya. Antara menyayangi Ratri, dan mengingat keadaan ibunya. Dia merasa,
bahwa sebagai orang terpandang, ia tak pantas berbesan dengan orang yang ‘kurang
waras’. Apa kata orang nanti. Belum lagi kalau nanti bersanding di pelaminan,
ibunya juga ikut mendampingi, kemudian ‘kumat’. Mau ditaruh di mana mukanya?
Air mata bu Listyo mengalir deras.
“Radit, jangan begitu Nak, ingatlah, ibu sangat
menyayangi kamu.”
“Bibiiik, panggil Ratri Biik. Jangan biarkan dia pergi,”
rintihnya pelan.
“Radit …” bu Listyo terisak. Tapi Radit bergeming,
terus saja Ratri yang dipanggilnya.
“Kalau Ratri tidak ke sini, lebih baik aku mati.”
Bu Listyo terkejut, dipegangnya tangan Radit dengan
berurai air mata. Terasa sangat panas. Tapi dokter baru saja memberinya obat.
Bu Listyo berharap panasnya segera turun. Radit seperti mengigau terus menerus.
“Jangan begitu Dit.”
“Ratri, jangan pergi …”
Bu Listyo berdiri, dilihatnya bibik bersimpuh di
lantai, sedang mengusap air matanya. Bu Listyo duduk di sofa, dihadapan bibik.
“Apa yang harus aku lakukan, Bik?”
“Menurut saya, sebaiknya Non Ratri dipanggil kemari.”
“Tapi ….”
“Kasihan pak Radit.”
“Aku tidak rela, kalau mengingat orang tuanya Bik,
mana pantas aku berbesan sama ….”
Terdengar ketukan di pintu. Bibik berdiri untuk
membukanya, lalu muncullah beberapa orang. Listi, Ratri dan kedua ibu mereka.
Bu Listyo mengusap air matanya, menatap mereka satu
persatu. Ratri mencoba mendekat, kemudian meraih tangan bu Listyo, diciumnya.
Listi menatap tajam. Kalau sampai bu Listyo mengucapkan sesuatu yang menyakiti,
maka dia siap menyemburkan kata-kata melawan.
Tapi tidak, bu Listyo menerima tangan Ratri. Tapi
matanya menyapu ke arah dua orang wanita setengah tua yang berwajah tenang, juga
cantik-cantik.
“Bu, ini ibu kandung saya, Bu Tijah, dan ini ibu
angkat saya, bu Cipto.
Keduanya maju, mendekati bu Listyo.
Bu Listyo heran, yang disebut ‘ibu kandung’ oleh Ratri
adalah seorang wanita cantik, tampak anggun dengan baju bersih dan rapi dengan
kerudung yang senada. Ia mengulurkan tangannya, menyalami bu Listyo.
“Saya Sutijah, ibu kandung Listi dan Ratri,” ucapnya
lembut.
Bu Listyo berdiri, menatap heran. Tak tampak sinar
mata liar yang sering tampak pada orang-orang yang kurang waras. Begitu santun
dan halus ucapannya, begitu lembut genggaman tangannya.
“Iya, silakan duduk, semuanya,” kata bu Listyo setelah
bu Cipto dan Listi juga menyalaminya.
“Bibikkk,” teriak Radit.
Bibik bergegas menghampiri.
“Mana Ratri Bik … jangan biarkan dia pergi.”
Listi dan Ratri mendengarnya. Listi segera menarik
tangan Ratri, untuk mendekat ke arah ranjang.
“Radit, ini Ratri,” kata Listi.
Ratri mengusap air matanya yang menitik. Iba melihat
tubuh Radit tergolek tak berdaya. Laki-laki yang dicintainya, tak pernah surut
cinta itu. Dan kalaupun berpisah, cinta itu akan tetap ada, jauh di dasar
hatinya. Digenggamnya tangan Radit.
Radit menoleh, ia berusaha bangkit, begitu tahu siapa
yang menggenggam tangannya.
“Ratri?
Listi berusaha membaringkannya kembali.
“Apa aku bermimpi, apa benar ini kamu?"
“Iya Mas, ini aku, Ratri.”
“Ratri, jangan pergi,” Radit terisak.
“Cepat sembuh ya Mas.”
“Jangan pergi Ratri, jangan tinggalkan aku.”
Ratri menangis sambil mencium tangan kekasihnya. Mana
tega dia membiarkan Radit menderita? Tapi apakah dia punya daya?
“Cepatlah sembuh,” bisik Ratri dengan suara bergetar.
“Setelah sembuh, aku akan membawamu pergi. Kita akan
bahagia berdua, Ratri.”
Ratri terisak.
Listi yang semula berdiri di samping Ratri, tak bisa
menahan tangis. Ia menghampiri ibunya, sambil mengusap air matanya.
“Listi tidak tega melihatnya, ayo kita pulang saja Bu,”
kata Listi.
Bu Cipto dan Tijah berdiri.
“Ibu, mohon maaf kalau kami mengganggu,” kata Tijah pelan.
Kemudian berdua mereka mendekati ranjang tempat Radit berbaring.
“Nak Radit, cepat sembuh ya,” kata bu Cipto sambil
memegang tangan Radit, setelah Ratri melepaskannya.
“Cepatlah sembuh, laki-laki perkasa tidak boleh jatuh
karena rasa sakit,” kata bu Tijah, membuat Radit tertegun.
“Ibu,” bisiknya sambil meraih tangan Tijah.
“Cepat sembuh, jangan cengeng,” kata Tijah sambil tersenyum
lembut.
Kemudian Tijah menarik lengan bu Cipto, berjalan ke
arah sofa, dimana bu Listyo masih menangis.
“Ibu, saya mohon maaf kalau dianggap mengganggu, tapi
saya akan selalu berdoa untuk kesembuhan nak Radit. Dia kuat. Ibu jangan
khawatir,” kata Tijah.
Bu Listyo berdiri, sejak tadi tak mampu berkata-kata.
“Listi, ajak adikmu pulang,” perintahnya kepada Listi,
yang segera melangkah mendekati Ratri.
“Ibu mengajak kita pulang,” bisiknya.
Tiba-tiba Radit mencengkeram tangan Ratri.
“Jangan pergi Ratri.”
“Maaf Mas, Ratri harus pergi, maafkan Ratri ya,” kata
Ratri sambil menangis, dan melepaskan tangan Radit, kemudian melangkah menjauh.
Radit bangkit. Dilepaskannya jarum yang menancap pada
tangannya, lalu melompat turun dari tempat dia berbaring.
“Ratri !”
Ratri dan semuanya terkejut. Bu Listyo berdiri
menghambur ke arah anaknya. Darah berceceran dari tangan Radit, membasahi
lantai.
“Susteeeer!!” hampir semuanya berteriak.
Radit terhuyung. Ratri dan Listi memegangi tubuhnya.
“Biarkan aku pergi bersama kamu, Ratri. Jangan pergi
sendiri.” Gemetar suara Radit.
Dokter segara datang, dan dua orang perawat laki-laki
memapah Radit untuk kembali ke tempat tidur. Radit meronta.
“Biarkan aku pergi bersama dia.”
Bu Listyo mendekati Ratri
“Tolong, jangan pergi,” bisik bu Listyo memohon.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteWow kakek lg jaga gawang
DeleteYessss
ReplyDeletealhamdulillah🙏
ReplyDeleteTerima kasih bu tien, alhamdulilah jp sdh tayang salam sehat
ReplyDeleteMatur nuwun bunda JePe eps 37 sampun tayang.
ReplyDeleteSugeng dalu sufeng ado salira
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien...
Akhirnyaaaa
ReplyDeleteWah.. tayang gasik...suwun bu tien.. 🥰🥰🤩
ReplyDeletematurnuwun bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang .... Trimakasih bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteWah, ditinggal sebentar sudah rame komennya.😀
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Hallo juga bundaa...
DeleteTks sdh menyapa kami semua..
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu...
Salam Aduhaaiii...
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Akhirnya, lumer juga hatimu Buu...
ReplyDeleteBiarkan anakmu bahagia...
Salam aduhai dari Bandung, semoga Bu Tien senantiasa sehat... 😘😘
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumala....
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~37 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu..
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat malam bundaaa..terima ksih JP nya..salam sehat dan tetap aduhai dri skbmi🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteAkhirnya bu Listyo meminta Ratri untuk menemani Radit yang tergolek sakit
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 37 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bshagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah sdh tayang,mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMungkin kudu gitu ya,
ReplyDeleteBener kata simbah, kita harus prihatin, kalau mau mendapatkan sesuatu banget sampai melembutkan hati yang keras, ya termasuk keras kepala, penguasa lagi, siapa coba yang berani melangkah ke jenjang pernikahan tanpa restu ibu, apalagi Listi yang nguping aja nggak terima, kan karena keadaan; ini, makanya harus pakai praduga tak bersalah jangan jangan langsung maen hantam kromo, maen sikat.
Radit juga nggak berdaya, itulah ingat simbah, kudu laku prihatin ; bertapa nggak bicara, tåpå mbisu, maksudnya nggak mau bicara, diam katanya itu emas.
Mbêguguk makuthå waton.
Bertahan kepala batu.
Ih mBatu dingin lho, itu kan mBatu Malang.
Lha iya sampai mendapat kan kemalangan gitu, biyungnya masih aja pada vonisnya, kalau bibik nggak ikutan usul terus gimana, nggak jadi?
Sorry lah yauw, malah mau ikutan pergi gitu lho, infusnya di sebrot sampai darahnya kemana mana, pada tarik suara manggil suster ramé ramé, heboh kaya anak kecil minta mainan.
Tåpå mbisu berhasil; meluluhkan hati yang kaku sampai memohon Ratri jangan pergi, baru tenang tuh.. Radityo.
Baru mau membubarkan diri; mau pulang, siapa yang pulang? Lha itu tiga janda jelita..
Èh Dian baru sampai rumah sakit ; wuah sudah ketemuan nich telat akunya; katanya.
Syukurlah sudah pada rujuk, ikut senang kata Dian.
Gitu donk ditungguin jangan maen pergi aja.
Ingat Arina jadi sebentar disana, mau makan siang sama Arina juga emaknya tho. biasa trik lama, mau emaknya baek baekin anaknya.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales, dan selalu Aduhaiiii
ReplyDeleteAlhamdulillaah dah baca walau ngantuk
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien cantik.
ReplyDeleteSalam sehat selalu ❤❤❤
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai.
ReplyDeleteAlhamdulillah semoga bu Listyo sadar. Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteSemakin hari ceritanya semakin seru. Mbak Tien sangat lihai memainkan emosi pembaca...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Terimakasih bu Tin Kumalasari... J P 37 sdh tayang ... makin asiiik aja ceritanya ... Salam sehat dan Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Sedih bacanya,,,,selanjutnya segera menikah ya Radit & ratri 🤣🤣🤣
🌹🦋🌿 Alhamdulillah JP 37 telah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai🙏🦋🌸
ReplyDeleteTrims Bu Tien ...duh bihin terharu
ReplyDeleteSudah ketahuan nih yg dilarang pergi.
ReplyDelete..RATRI jangan tinggalkan daku seorang diri...😥😥.
luh tumetes..😥 sithik 🤭
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Terima kasih atas sapaannya..
ReplyDeleteSemoga mbak Tien selalu sehat dan tetap berkarya.. Aamiin
Air mata ini menetes dengan sendirinya,,, mengaburkan tulisan ...bgt menyentuh cerita cerita karya bunda Tien.... Semangat berkarya,,,sehat selalu bunda Tien
ReplyDeleteMba Tien selalu bisa mengaduk emosi penggemarnya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Selalu sehat dan tetap semangat
Alhamdulillah, membaca episode ini berlinang air mata....Bu Tijah bisa berkata bijak. Sepertinya hampir tamat. Salam sehat selalu Bu Tien......
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete