Wednesday, April 26, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 29

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  29

(Tien Kumalasari)

 

Narita masih duduk di depan cermin, tempat dia akan merias wajahnya. Farah menatapnya, yang tampak susah ketika Narita ingin memakai cincinnya.

“Farah, kamu tinggalkan saja aku, aku bisa sendiri.”

“Baiklah Nyonya.”

Narita bingung. Cincin itu benar-benar tak bisa masuk ke dalam jari tangannya. Padahal Alfian sudah menyuruhnya memakai cincin itu.

Akhirnya dia hanya meletakkannya begitu saja di atas meja. Sambil memikirkn bagaimana caranya memakai cincin itu, dia memoles wajahnya dengan bedak. Ia tahu, Aliyah gadis yang sederhana, pasti ia tak bisa berdandan seperti dirinya yang sudah biasa memoles wajahnya dengan bedak tebal dan semua alat make up dengan tebal. Jadi dia hanya berbedak tipis, bergincu tipis, dan memoles bibirnya, tipis pula. Ia melihat wajahnya sudah cantik sempurna. Tapi masalah cincin masih menjadi pemikiran. Kalau tiba-tiba cincin tak muat di jarinya, pasti tampak aneh. Agak lama dia mengotak atik cincin itu, yang akhirnya dimasukkannya ke jari kelingkingnya. Aneh ya, tapi dia sudah punya jawaban seandainya sang ‘suami’ menanyakannya. Tapi kemudian dia kembali ragu, sampai kemudian terdengar ketukan dipintu.

“Aliyah, mengapa lama sekali?”

“Iya … iya, tunggu.”

“Farah sudah membuatkan minuman untuk kita.”

“Aku lelah, tu … tuan.”

“Baiklah, aku mengerti, tapi aku ingin bicara dulu sebentar.”

Mau tak mau Narita membuka pintu kamarnya. Alfian menatapnya dengan takjub. Narita memang cantik, secantik Aliyah, karena keduanya memang saudara kembar. Tak urung tangan Alfian mengusap pipi Narita dengan lembut.

“Kamu memang cantik, Aliyah,”

 Katanya lembut.

Narita membalas tatapan itu dengan gelora yang ditahannya. Benar, ia harus menahan diri, mengingat seperti kata Farah, bahwa Aliyah belum mau didekati Alfian, sehingga memilih tidur di kamar yang berbeda.

“Ayo kita minum di ruang tengah, Farah sudah menyediakannya,” kata Alfian sambil menggamit pinggang Narita.

Narita hampir tak bisa menahan diri. Tapi ia tetap bertahan, kalau memang ingin keinginannya terwujud. Narita bersyukur, Alfian tak melihat ke arah jari tangannya.

Itu karena Alfian ingin segera menanyakan, kenapa Aliyah pergi.

Ketika mereka duduk dan minum-minuman hangat yang disajikan Farah, Alfian segera menanyakan, mengapa Aliyah pergi dari rumah tanpa pamit.

“Aku sakit,” jawabnya singkat. Ia tak mau bicara terlalu panjang, soalnya tak tahu pasti, kata apa saja yang diucapkan oleh bu Candra sehingga membuat Aliyah kabur dari rumah.

“Mengapa sakit?”

“Aku tak bisa mengatakannya.”

“Aliyah, kamu harus tahu, bahwa aku sangat mencintai kamu.”

“Ya, aku tahu.”

“Dan kamu tidak usah mendengarkan kata-kata sumbang yang diucapkan oleh siapapun, termasuk oleh ibuku.”

Narita mengangguk.

“Jangan sampai kamu mengulanginya lagi. Aku sangat sedih, ketika kamu pergi.”

Narita mengangguk lagi.

“Janji?”

“Ya, aku janji.”

“Apa kamu juga mencintai aku?”

“Ya.”

“Ya apa, jangan singkat-singkat dong jawabnya.”

“Ya, aku mencintai kamu.”

Meskipun agak heran mendengar tutur kata Aliyah yang langsung ber ‘aku’ dan berkamu, tapi seperti juga Farah, Alfian mengira, Aliyah sudah mulai mau membuka hatinya untuk dirinya. Karena itulah, Alfian justru merasa senang.

“Kamu tidak boleh lagi memanggil aku ‘tuan’, ya.”

“Panggil apa dong?”

“Panggil saja namaku.”

“Alfi ….”

“Nah, itu lebih manis didengarnya.”

“Aku mau istirahat dulu.”

“Mau tidur di kamar aku?”

Narita benar-benar menahan hatinya untuk tidak mengatakan ‘iya’,

“Tidak dulu,” itulah yang akhirnya diucapkannya.

“Baiklah, aku mengerti, sekarang istirahatlah, nanti aku akan memanggil kamu, saat makan malam, karena ada yang harus aku kerjakan. Biasa, urusan kantor.”

Narita berdiri, tapi tiba-tiba :”Kenapa cincinnya belum kamu pakai?”

Narita terkejut.

“Ya, nanti aku pakai.”

“Aku mohon, pakailah, karena itu adalah cincin pernikahan kita. Aku memberikannya dengan cinta.”

Narita mengangguk, dan segera bergegas masuk ke dalam kamarnya, untuk memikirkan hal terbaik tentang cincin itu.

***

“Apa ini minumku, Farah?” tanya Kirman ketika masuk ke dapur.

“Iya Mas, aku lupa bilang, soalnya aku belum sempat memasak untuk makan malam nanti. Minumlah. Ada goreng pisang di meja itu juga.”

“Terima kasih Farah.”

“Tapi hari ini aku senang sekali.”

“Kenapa?”

“Nyonya bersedia pulang dengan mudah. Aku pikir, tadinya akan susah membujuknya, mengingat nyonya kan benar-benar sakit hati karena mendengar ucapan nyonya sepuh.”

“Aku juga bersyukur. Akhirnya tuan juga kelihatan sangat berbahagia. Aku melihatnya ketika tuan menyambut di teras.”

“Benar Mas Kirman, kalau majikan senang, kita juga senang. Kalau majikan kesal, akibatnya uring-uringan terus, kita juga kena imbasnya kan?”

“Semoga tuan dan nyonya menjadi pasangan yang berbahagia.”

“Aku tahu sebenarnya nyonya juga sudah mulai mencintai tuan. Dia juga mau ber akrab-akrab sama aku. Tidak lagi memanggil mbak Farah, tapi Farah, begitu saja. Itu sangat menggembirakan.”

“Kelihatan kok, kalau kamu sedang gembira.”

“Masa Mas Kirman tidak ikut berbahagia sih, melihat majikan kita bahagia?”

“Bahagia dong, dan lebih bahagia lagi, pisang goreng yang kamu berikan ini sangat enak.”

Farah terkekeh.

“Itu karena pisang yang aku beli kemarin benar-benar sudah tua.”

“Kirain karena kamu lagi senang, terus apa yang kamu masak jadi enak.”

“Ngarang deh.”

“Ya sudah, lanjutin masaknya, aku ke depan dulu. Nanti kalau ada aku, kamu ngobrol melulu, nggak selesai-selesai masaknya,” kata Kirman sambil nyelonong keluar, sambil meraih lagi sepotong pisang gorengnya.

Farah tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.

***

Bu Siti, pemilik warung itu sudah menutup warungnya. Ia menyuruh Aliyah istirahat di kamar sebelah, walau kecil tapi cukup bersih dan nyaman.

“Kamar itu kosong, tak ada yang menempati. Aku ini hidup sendiri, anakku sudah menikah dan jauh di luar kota. Dia sudah ikut suaminya. Jarang sekali pulang. Belum tentu setahun sekali dia pulang.”

“Terima kasih Bu.”

“Panggil aku bu Siti.”

“Ya, Bu Siti.”

“Sekarang kamu boleh istirahat, karena besok pagi-pagi sudah harus bangun. Kalau aku sih, jam tiga pagi pasti sudah bangun dan memasak. Cuma saja aku baru akan membangunkan kamu setelah subuh. Kasihan kalau kamu juga ikut bangun terlalu pagi.”

“Tidak apa-apa Bu, kalau saya bisa bangun jam tiga. Saya biasa shalat malam, jadi tidak keberatan kalau harus bangun pagi-pagi.”

“Ya ampun, kamu ternyata anak baik. Ya sudah, terserah kamu saja. Aku tidak akan memaksa kamu, kasihan kalau terlalu capek.”

“Saya membutuhkan pekerjaan Bul, jadi saya senang mengerjakan apapun yang bisa saya kerjakan.”

“Baiklah, tapi kamu tidak boleh menolak pemberian uang dari aku, karena itu uang dari jerih payah kamu. Kamu bukan hanya butuh makan, tapi juga butuh pakaian, dan semua kebutuhan kamu, bukan?”

“Iya sih Bu, tapi ….”

“Memberikan upah atas apa yang sudah kamu kerjakan itu sudah menjadi kewajiban aku, dan menerima upah atas sesuatu yang sudah kamu kerjakan, itu adalah hak kamu, jadi terima saja, berapapun banyaknya. Dengan uang itu, nanti kamu bisa membeli apa yang kamu butuhkan. Kali ini, kamu bisa berganti pakaian karena aku beri pakaian bekas aku, tapi lain kali kamu pasti ingin beli sendiri kan?”

Aliyah mengangguk. Ia merasa beruntung, tiba-tiba bisa mendapat pekerjaan dimana majikannya sangat baik hati, bahkan mengijinkannya tidur di rumahnya, sehingga dia tidak terlalu capek berjalan pulang dan pergi untuk bekerja dari rumahnya. Lagipula dia masih takut pulang, khawatir kalau-kalau Alfian menjemputnya.

Malam itu dia tidur di kamar yang disediakan bu Siti, walau tidak seindah kamar di rumah Alfian, tapi membuatnya merasa lebih nyaman. Ia menekan rasa rindunya pada Alfian, dengan kesadaran atas keinginannya membuat Alfian bahagia.

***

 Hari itu pak Candra pulang malam, karena banyak yang harus dikerjakannya. Ia bersantai sebentar di ruang tengah, bersama istrinya.

“Hari ini Bapak pulang malam. Pasti capek.”

“Benar Bu, padahal besok aku harus ke Jakarta. Ada klient yang harus aku temui di sana, karena dia tidak bisa datang kemari.”

“Besok?”

“Ini proyek besar. Harus aku sendiri yang menangani, atau Alfian. Tapi Alfian belum siap masuk kerja, katanya baru besok. Dia hanya memantau bisnisnya dari rumah. Ini kurang memuaskan aku.”

“Kalau begitu mengapa tidak Alfian saja yang Bapak suruh berangkat ke Jakarta?”

“Alfian? Tapi dia kan pengantin baru, pasti berat meninggalkan istrinya.”

“Halah, pengantin baru apa. Kalau memang pekerjaan menuntutnya harus bertugas, masa dia akan menolak?”

“Apa dia mau ya?”

“Pasti mau lah Pak, masa di suruh bapaknya kok tidak mau. Lagi pula ini kan tugas dia juga. Kasihan dong kalau semua-semua bapak yang urus? Bapak kan sudah mulai tua, dan tidak bisa terlalu capek begini.”

“Baiklah, aku telpon saja Alfian kalau begitu.”

“Telpon saja, masa dia akan menolak.”

“Jam berapa sih ini?”

“Baru setengah delapan, Bapak pikir dia sudah tidur? Ya belum lah. Apa biar ibu saja yang menelpon?”

“Eh, jangan Bu, ini masalah pekerjaan. Biar aku saja.”

Alfian tentu saja terkejut, ketika ayahnya menelpon dan mengharuskannya berangkat ke Jakarta besok pagi.

“Besok pagi Pak? Bukankah pak Ibnu akan datang kemari untuk berbicara? Alfi sudah menghubunginya kok.”

“Tidak, baru sore tadi dia menelpon bapak, bahwa dia tidak bisa datang karena ada urusan penting, jadi dia meminta agar kita yang datang ke sana. Bapak sangat lelah.”

“Baiklah Pak, kalau memang harus Alfi yang menangani, besok Alfi berangkat.”

“Besok pagi kamu ambil berkasnya di kantor, kamu pelajari dulu, baru kamu berangkat. Ticket untuk kamu sudah ada yang mengurus.”

“Baik Pak.”

“Bapak tidak mengganggu kamu kan?”

“Mengapa Bapak mengatakan itu?”

“Pengantin baru kan biasanya selalu ingin berduaan?” goda ayahnya.

Alfian tertawa. Kalau saja ayahnya tahu bahwa Aliyah belum mau didekati ….

Pak Candra merasa lega ketika Alfian sanggup melakukannya.

“Tuh, kan. Begitu lebih baik. Giliran yang muda yang bekerja keras, dan perlahan-lahan Bapak harus bisa menyerahkan semuanya pada Alfi.”

“Iya, aku juga berpikir begitu.”

***

Farah sudah selesai menyiapkan makan malam, ia mengetuk pintu kamar ‘Aliyah’.

“Nyonya, makan malam sudah siap, Tuan menunggu di ruang makan.”

“Baiklah,” jawab Narita dari dalam. Ia membuka pintunya, dan Farah melihat jari manis ‘Aliyah' terbalut plester.

“Tangan Nyonya kenapa?”

“Luka, agak dalam.”

“Luka kenapa, biar saya obati.”

“Sudah aku obati sendiri. Kebetulan ada kotak obat di situ, dan aku menemukan obat, lalu menutupnya dengan plester.”

“Benar, tidak apa-apa?”

“Tidak, jangan khawatir.”

“Baiklah, silakan ke ruang makan, tuan sudah menunggu.”

Narita melangkah ke ruang makan, sambil tersenyum puas. Ia menemukan jalan untuk tidak memakai cincinnya.

“Tuan, jari tangan nyonya sakit.”

“Apa? Sakit kenapa?” tanya Alfian khawatir, sambil meraih jari tangan ‘istrinya’.

“Tidak apa-apa, tertusuk jarun pentul, berdarah lumayan, tapi sudah aku obati.”

“Bagaimana bisa terkena jarum pentul sih?”

“Aku kurang hati-hati, tidak apa-apa.”

“Kasihan, berarti belum bisa memakai cincinnya dong.”

“Nanti pasti bisa. Sekarang terasa sakit kalau aku paksa juga,” katanya sambil duduk di kursi yang disediakan.”

“Oh ya Farah, besok pagi aku harus berangkat ke Jakarta.”

“Ke Jakarta?” tanya Farah dan Narita hampir bersama-sama.

“Barusan bapak menelpon, ada tugas penting. Tolong siapkan baju aku dan semua keperluanku. Tidak usah terlalu banyak, aku disana paling lama tiga hari.”

“Baiklah Tuan.”

Farah sudah lama melayani Alfian, dan dia tahu semua yang dibutuhkan Alfian setiap kali harus pergi ke luar kota. Alfian tentu saja tidak meminta ‘Aliyah’ melakukannya, karena ‘Aliyah’ kan belum biasa melakukannya.

“Aliyah, besok kamu akan aku tinggal selama paling lama tiga hari. Tapi kalau aku bisa pulang lebih cepat, maka aku akan senang sekali.”

“Begitu lama?”

“Ini tugas perusahaan. Besok-besok kalau aku bertugas ke luar kota, aku akan mengajak kamu. Atau … besok kamu mau ikut?”

Narita terkejut. Betapa ingin dia melakukannya, tapi dia kan punya rencana. Jadi keinginan itu ditahannya. Pelan, tapi pasti, ia yakin Alfian akan menjadi miliknya.

***

Pagi hari itu, Alfian sudah berangkat. Ia harus ke kantor dulu, lalu langsung ke bandara. Farah heran, melihat ‘Aliyah’ berdandan rapi. Ia khawatir sang nyonya akan pergi lagi.

“Nyonya mau ke mana?”

“Aku mau keluar sebentar.”

“Tidak bisa Nyonya, tuan sudah wanti-wanti bilang kepada saya, bahwa Nyonya tidak boleh keluar rumah saat tuan tidak ada.”

“Aku ingin jalan-jalan saja.”

“Kalau begitu biar saya dan mas Kirman mengantarkan Nyonya.”

Narita berpikir sejenak, kemudian membiarkan Farah dan Kirman mengantarkannya. Ketika Farah pamit berganti pakaian, Narita menelpon seseorang, melalui telpon rumah, karena dia kan tidak punya ponsel, dan belum sempat memintanya.

***

Besok lagi ya.

35 comments:

  1. Replies
    1. Ternyata jeng Mimiet setia menungguku, nemani aku yang lagi koreksi.

      Matur nuwun Budhe, dalam kesibukannya hari ini melayani saudara yang datang dari luar kota untuk bersilahturahmi sd setengah ssmbilan, masih sempat ngetik dan selesai pada pkl 22.50 wib.
      Salam sehat Budhe, tetap ADUHAI dan berkarya di sisa usia.

      Delete
  2. Matur nuwun Bunda Tien
    Mohon maaf lahir batin

    ReplyDelete
  3. Dereng mbak, nunggu mas, ada cito
    Manusang mbak, monggo sugeng istirahat

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah Aliah Sudah tayang....

    Matur nuwun Bu Tien...

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah sdh tayang..
    Terima kasih Bu Tien..
    Semoga selalu sehat..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah CBE 29 sudah tayang, terimakasih bunda Tien, Salam sehat dan aduhai dari mBantul.
    Sugeng Riyadi, Mohon Maaf Lahir Batin
    🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Sulit untuk menerka jalan yang akan ditempuh Aliyah maupun Narita. Ya sudah, ikut saja alur cerita yang ADUHAI ini.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah sdh tayang cbe.... selamat istirahat bu tien..salam sehat

    ReplyDelete
  11. Rumitnya
    Merekayasa jari manis, bermanis manis ria, membuat curiga sang bedinda begitu cepat dan terampilnya sang 'nyonya' menyesuaikan keadaan, nelpon siapa tuh; heran Farah bertambah, kok secepat itu perubahannya, ndut, maen samber, tapi tetep dianggap 'kemajuan' juga?!
    Dibalik kecurigaan; belum pada nyadar juga ada musuh dalam kelambu, reportnya ngadepin si kembar; yang satu bebas apa pun mudah di dapat, satunya penuh tatanan aturan warisan moyang.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh sembilan sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah CBE-29 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
    Aamiin
    Terima kasih sapaannya..
    Salam Aduhai

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun bu Tien... alhamdulillah bangun cbe sdh adaa.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Terimakasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah....
    Maturnuwun bu Tien, salam sehat selalu....

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu
    Mugi2 tansah pinaringan sehat

    ReplyDelete
  17. Makasih mba Tien.
    Semakin penasaran.
    Salam hangat selalu, aduhai

    ReplyDelete
  18. 🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
    Alhamdulillah CBE 29
    sudah hadir, dalam
    kesibukan Ibu Tien.
    Matur nuwun nggih...
    Moga sehat selalu &
    tetap smangats berkarya.
    Salam Aduhai 🦋⚘
    🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

    ReplyDelete
  19. Mtnuwun mbk Tien....di tengah2 kesibukannya masih menghibur kita semua,Smg sehat selalu mbak Tienku sayaaaang...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien ,salam sehat wal'afiat

    Duh jd gemes bacanya ,,,🤣🤣🤭

    ReplyDelete
  22. Alhamdulilah.. Hatur nuhun bunda Tien..
    Semoga bunda seha" dan berbahagia selalu..
    Aamiin.. 🙏🥰🥰🌹

    ReplyDelete
  23. Mau rencanain apa nih Narita...
    Mulai deh konflik nya, bikin mood kyk rollercoaster... 😆😆😆

    ReplyDelete
  24. Terima kasih sudah konsisten menulis, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🙏🙏😘😘

    ReplyDelete
  25. Terima ksih bunda cbe nya..slm seroja dan tetap aduhai🙏😘🌹

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~29 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...