CINTAKU BUKAN EMPEDU
29
(Tien Kumalasari)
Narita masih duduk di depan cermin, tempat dia akan merias
wajahnya. Farah menatapnya, yang tampak susah ketika Narita ingin memakai cincinnya.
“Farah, kamu tinggalkan saja aku, aku bisa sendiri.”
“Baiklah Nyonya.”
Narita bingung. Cincin itu benar-benar tak bisa masuk
ke dalam jari tangannya. Padahal Alfian sudah menyuruhnya memakai cincin itu.
Akhirnya dia hanya meletakkannya begitu saja di atas
meja. Sambil memikirkn bagaimana caranya memakai cincin itu, dia memoles
wajahnya dengan bedak. Ia tahu, Aliyah gadis yang sederhana, pasti ia tak bisa
berdandan seperti dirinya yang sudah biasa memoles wajahnya dengan bedak tebal
dan semua alat make up dengan tebal. Jadi dia hanya berbedak tipis, bergincu
tipis, dan memoles bibirnya, tipis pula. Ia melihat wajahnya sudah cantik
sempurna. Tapi masalah cincin masih menjadi pemikiran. Kalau tiba-tiba cincin
tak muat di jarinya, pasti tampak aneh. Agak lama dia mengotak atik cincin itu,
yang akhirnya dimasukkannya ke jari kelingkingnya. Aneh ya, tapi dia sudah
punya jawaban seandainya sang ‘suami’ menanyakannya. Tapi kemudian dia kembali
ragu, sampai kemudian terdengar ketukan dipintu.
“Aliyah, mengapa lama sekali?”
“Iya … iya, tunggu.”
“Farah sudah membuatkan minuman untuk kita.”
“Aku lelah, tu … tuan.”
“Baiklah, aku mengerti, tapi aku ingin bicara dulu
sebentar.”
Mau tak mau Narita membuka pintu kamarnya. Alfian
menatapnya dengan takjub. Narita memang cantik, secantik Aliyah, karena
keduanya memang saudara kembar. Tak urung tangan Alfian mengusap pipi Narita
dengan lembut.
“Kamu memang cantik, Aliyah,”
Katanya lembut.
Narita membalas tatapan itu dengan gelora yang
ditahannya. Benar, ia harus menahan diri, mengingat seperti kata Farah, bahwa
Aliyah belum mau didekati Alfian, sehingga memilih tidur di kamar yang berbeda.
“Ayo kita minum di ruang tengah, Farah sudah
menyediakannya,” kata Alfian sambil menggamit pinggang Narita.
Narita hampir tak bisa menahan diri. Tapi ia tetap
bertahan, kalau memang ingin keinginannya terwujud. Narita bersyukur, Alfian
tak melihat ke arah jari tangannya.
Itu karena Alfian ingin segera menanyakan, kenapa
Aliyah pergi.
Ketika mereka duduk dan minum-minuman hangat yang
disajikan Farah, Alfian segera menanyakan, mengapa Aliyah pergi dari rumah
tanpa pamit.
“Aku sakit,” jawabnya singkat. Ia tak mau bicara
terlalu panjang, soalnya tak tahu pasti, kata apa saja yang diucapkan oleh bu
Candra sehingga membuat Aliyah kabur dari rumah.
“Mengapa sakit?”
“Aku tak bisa mengatakannya.”
“Aliyah, kamu harus tahu, bahwa aku sangat mencintai
kamu.”
“Ya, aku tahu.”
“Dan kamu tidak usah mendengarkan kata-kata sumbang
yang diucapkan oleh siapapun, termasuk oleh ibuku.”
Narita mengangguk.
“Jangan sampai kamu mengulanginya lagi. Aku sangat sedih,
ketika kamu pergi.”
Narita mengangguk lagi.
“Janji?”
“Ya, aku janji.”
“Apa kamu juga mencintai aku?”
“Ya.”
“Ya apa, jangan singkat-singkat dong jawabnya.”
“Ya, aku mencintai kamu.”
Meskipun agak heran mendengar tutur kata Aliyah yang
langsung ber ‘aku’ dan berkamu, tapi seperti juga Farah, Alfian mengira, Aliyah
sudah mulai mau membuka hatinya untuk dirinya. Karena itulah, Alfian justru
merasa senang.
“Kamu tidak boleh lagi memanggil aku ‘tuan’, ya.”
“Panggil apa dong?”
“Panggil saja namaku.”
“Alfi ….”
“Nah, itu lebih manis didengarnya.”
“Aku mau istirahat dulu.”
“Mau tidur di kamar aku?”
Narita benar-benar menahan hatinya untuk tidak
mengatakan ‘iya’,
“Tidak dulu,” itulah yang akhirnya diucapkannya.
“Baiklah, aku mengerti, sekarang istirahatlah, nanti
aku akan memanggil kamu, saat makan malam, karena ada yang harus aku kerjakan.
Biasa, urusan kantor.”
Narita berdiri, tapi tiba-tiba :”Kenapa cincinnya
belum kamu pakai?”
Narita terkejut.
“Ya, nanti aku pakai.”
“Aku mohon, pakailah, karena itu adalah cincin
pernikahan kita. Aku memberikannya dengan cinta.”
Narita mengangguk, dan segera bergegas masuk ke dalam
kamarnya, untuk memikirkan hal terbaik tentang cincin itu.
***
“Apa ini minumku, Farah?” tanya Kirman ketika masuk ke
dapur.
“Iya Mas, aku lupa bilang, soalnya aku belum sempat
memasak untuk makan malam nanti. Minumlah. Ada goreng pisang di meja itu juga.”
“Terima kasih Farah.”
“Tapi hari ini aku senang sekali.”
“Kenapa?”
“Nyonya bersedia pulang dengan mudah. Aku pikir,
tadinya akan susah membujuknya, mengingat nyonya kan benar-benar sakit hati
karena mendengar ucapan nyonya sepuh.”
“Aku juga bersyukur. Akhirnya tuan juga kelihatan
sangat berbahagia. Aku melihatnya ketika tuan menyambut di teras.”
“Benar Mas Kirman, kalau majikan senang, kita juga
senang. Kalau majikan kesal, akibatnya uring-uringan terus, kita juga kena
imbasnya kan?”
“Semoga tuan dan nyonya menjadi pasangan yang
berbahagia.”
“Aku tahu sebenarnya nyonya juga sudah mulai mencintai tuan. Dia juga mau ber akrab-akrab sama aku. Tidak lagi memanggil mbak Farah, tapi Farah, begitu saja. Itu sangat menggembirakan.”
“Kelihatan kok, kalau kamu sedang gembira.”
“Masa Mas Kirman tidak ikut berbahagia sih, melihat
majikan kita bahagia?”
“Bahagia dong, dan lebih bahagia lagi, pisang goreng
yang kamu berikan ini sangat enak.”
Farah terkekeh.
“Itu karena pisang yang aku beli kemarin benar-benar
sudah tua.”
“Kirain karena kamu lagi senang, terus apa yang kamu
masak jadi enak.”
“Ngarang deh.”
“Ya sudah, lanjutin masaknya, aku ke depan dulu. Nanti
kalau ada aku, kamu ngobrol melulu, nggak selesai-selesai masaknya,” kata
Kirman sambil nyelonong keluar, sambil meraih lagi sepotong pisang gorengnya.
Farah tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.
***
Bu Siti, pemilik warung itu sudah menutup warungnya.
Ia menyuruh Aliyah istirahat di kamar sebelah, walau kecil tapi cukup bersih
dan nyaman.
“Kamar itu kosong, tak ada yang menempati. Aku ini
hidup sendiri, anakku sudah menikah dan jauh di luar kota. Dia sudah ikut
suaminya. Jarang sekali pulang. Belum tentu setahun sekali dia pulang.”
“Terima kasih Bu.”
“Panggil aku bu Siti.”
“Ya, Bu Siti.”
“Sekarang kamu boleh istirahat, karena besok pagi-pagi
sudah harus bangun. Kalau aku sih, jam tiga pagi pasti sudah bangun dan
memasak. Cuma saja aku baru akan membangunkan kamu setelah subuh. Kasihan kalau
kamu juga ikut bangun terlalu pagi.”
“Tidak apa-apa Bu, kalau saya bisa bangun jam tiga.
Saya biasa shalat malam, jadi tidak keberatan kalau harus bangun pagi-pagi.”
“Ya ampun, kamu ternyata anak baik. Ya sudah, terserah
kamu saja. Aku tidak akan memaksa kamu, kasihan kalau terlalu capek.”
“Saya membutuhkan pekerjaan Bul, jadi saya senang
mengerjakan apapun yang bisa saya kerjakan.”
“Baiklah, tapi kamu tidak boleh menolak pemberian uang
dari aku, karena itu uang dari jerih payah kamu. Kamu bukan hanya butuh makan,
tapi juga butuh pakaian, dan semua kebutuhan kamu, bukan?”
“Iya sih Bu, tapi ….”
“Memberikan upah atas apa yang sudah kamu kerjakan itu
sudah menjadi kewajiban aku, dan menerima upah atas sesuatu yang sudah kamu
kerjakan, itu adalah hak kamu, jadi terima saja, berapapun banyaknya. Dengan
uang itu, nanti kamu bisa membeli apa yang kamu butuhkan. Kali ini, kamu bisa
berganti pakaian karena aku beri pakaian bekas aku, tapi lain kali kamu pasti
ingin beli sendiri kan?”
Aliyah mengangguk. Ia merasa beruntung, tiba-tiba bisa
mendapat pekerjaan dimana majikannya sangat baik hati, bahkan mengijinkannya
tidur di rumahnya, sehingga dia tidak terlalu capek berjalan pulang dan pergi
untuk bekerja dari rumahnya. Lagipula dia masih takut pulang, khawatir
kalau-kalau Alfian menjemputnya.
Malam itu dia tidur di kamar yang disediakan bu Siti,
walau tidak seindah kamar di rumah Alfian, tapi membuatnya merasa lebih nyaman.
Ia menekan rasa rindunya pada Alfian, dengan kesadaran atas keinginannya
membuat Alfian bahagia.
***
“Hari ini Bapak pulang malam. Pasti capek.”
“Benar Bu, padahal besok aku harus ke Jakarta. Ada klient
yang harus aku temui di sana, karena dia tidak bisa datang kemari.”
“Besok?”
“Ini proyek besar. Harus aku sendiri yang menangani,
atau Alfian. Tapi Alfian belum siap masuk kerja, katanya baru besok. Dia hanya
memantau bisnisnya dari rumah. Ini kurang memuaskan aku.”
“Kalau begitu mengapa tidak Alfian saja yang Bapak
suruh berangkat ke Jakarta?”
“Alfian? Tapi dia kan pengantin baru, pasti berat
meninggalkan istrinya.”
“Halah, pengantin baru apa. Kalau memang pekerjaan
menuntutnya harus bertugas, masa dia akan menolak?”
“Apa dia mau ya?”
“Pasti mau lah Pak, masa di suruh bapaknya kok tidak
mau. Lagi pula ini kan tugas dia juga. Kasihan dong kalau semua-semua bapak
yang urus? Bapak kan sudah mulai tua, dan tidak bisa terlalu capek begini.”
“Baiklah, aku telpon saja Alfian kalau begitu.”
“Telpon saja, masa dia akan menolak.”
“Jam berapa sih ini?”
“Baru setengah delapan, Bapak pikir dia sudah tidur?
Ya belum lah. Apa biar ibu saja yang menelpon?”
“Eh, jangan Bu, ini masalah pekerjaan. Biar aku saja.”
Alfian tentu saja terkejut, ketika ayahnya menelpon
dan mengharuskannya berangkat ke Jakarta besok pagi.
“Besok pagi Pak? Bukankah pak Ibnu akan datang kemari
untuk berbicara? Alfi sudah menghubunginya kok.”
“Tidak, baru sore tadi dia menelpon bapak, bahwa dia
tidak bisa datang karena ada urusan penting, jadi dia meminta agar kita yang
datang ke sana. Bapak sangat lelah.”
“Baiklah Pak, kalau memang harus Alfi yang menangani,
besok Alfi berangkat.”
“Besok pagi kamu ambil berkasnya di kantor, kamu
pelajari dulu, baru kamu berangkat. Ticket untuk kamu sudah ada yang mengurus.”
“Baik Pak.”
“Bapak tidak mengganggu kamu kan?”
“Mengapa Bapak mengatakan itu?”
“Pengantin baru kan biasanya selalu ingin berduaan?”
goda ayahnya.
Alfian tertawa. Kalau saja ayahnya tahu bahwa Aliyah
belum mau didekati ….
Pak Candra merasa lega ketika Alfian sanggup
melakukannya.
“Tuh, kan. Begitu lebih baik. Giliran yang muda yang
bekerja keras, dan perlahan-lahan Bapak harus bisa menyerahkan semuanya pada
Alfi.”
“Iya, aku juga berpikir begitu.”
***
Farah sudah selesai menyiapkan makan malam, ia
mengetuk pintu kamar ‘Aliyah’.
“Nyonya, makan malam sudah siap, Tuan menunggu di
ruang makan.”
“Baiklah,” jawab Narita dari dalam. Ia membuka
pintunya, dan Farah melihat jari manis ‘Aliyah' terbalut plester.
“Tangan Nyonya kenapa?”
“Luka, agak dalam.”
“Luka kenapa, biar saya obati.”
“Sudah aku obati sendiri. Kebetulan ada kotak obat di
situ, dan aku menemukan obat, lalu menutupnya dengan plester.”
“Benar, tidak apa-apa?”
“Tidak, jangan khawatir.”
“Baiklah, silakan ke ruang makan, tuan sudah menunggu.”
Narita melangkah ke ruang makan, sambil tersenyum
puas. Ia menemukan jalan untuk tidak memakai cincinnya.
“Tuan, jari tangan nyonya sakit.”
“Apa? Sakit kenapa?” tanya Alfian khawatir, sambil
meraih jari tangan ‘istrinya’.
“Tidak apa-apa, tertusuk jarun pentul, berdarah
lumayan, tapi sudah aku obati.”
“Bagaimana bisa terkena jarum pentul sih?”
“Aku kurang hati-hati, tidak apa-apa.”
“Kasihan, berarti belum bisa memakai cincinnya dong.”
“Nanti pasti bisa. Sekarang terasa sakit kalau aku
paksa juga,” katanya sambil duduk di kursi yang disediakan.”
“Oh ya Farah, besok pagi aku harus berangkat ke
Jakarta.”
“Ke Jakarta?” tanya Farah dan Narita hampir
bersama-sama.
“Barusan bapak menelpon, ada tugas penting. Tolong
siapkan baju aku dan semua keperluanku. Tidak usah terlalu banyak, aku disana paling
lama tiga hari.”
“Baiklah Tuan.”
Farah sudah lama melayani Alfian, dan dia tahu semua
yang dibutuhkan Alfian setiap kali harus pergi ke luar kota. Alfian tentu saja
tidak meminta ‘Aliyah’ melakukannya, karena ‘Aliyah’ kan belum biasa melakukannya.
“Aliyah, besok kamu akan aku tinggal selama paling
lama tiga hari. Tapi kalau aku bisa pulang lebih cepat, maka aku akan senang
sekali.”
“Begitu lama?”
“Ini tugas perusahaan. Besok-besok kalau aku bertugas
ke luar kota, aku akan mengajak kamu. Atau … besok kamu mau ikut?”
Narita terkejut. Betapa ingin dia melakukannya, tapi
dia kan punya rencana. Jadi keinginan itu ditahannya. Pelan, tapi pasti, ia
yakin Alfian akan menjadi miliknya.
***
Pagi hari itu, Alfian sudah berangkat. Ia harus ke
kantor dulu, lalu langsung ke bandara. Farah heran, melihat ‘Aliyah’ berdandan
rapi. Ia khawatir sang nyonya akan pergi lagi.
“Nyonya mau ke mana?”
“Aku mau keluar sebentar.”
“Tidak bisa Nyonya, tuan sudah wanti-wanti bilang
kepada saya, bahwa Nyonya tidak boleh keluar rumah saat tuan tidak ada.”
“Aku ingin jalan-jalan saja.”
“Kalau begitu biar saya dan mas Kirman mengantarkan
Nyonya.”
Narita berpikir sejenak, kemudian membiarkan Farah dan
Kirman mengantarkannya. Ketika Farah pamit berganti pakaian, Narita menelpon
seseorang, melalui telpon rumah, karena dia kan tidak punya ponsel, dan belum
sempat memintanya.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteJeng dokter belum sare?
DeleteTernyata jeng Mimiet setia menungguku, nemani aku yang lagi koreksi.
DeleteMatur nuwun Budhe, dalam kesibukannya hari ini melayani saudara yang datang dari luar kota untuk bersilahturahmi sd setengah ssmbilan, masih sempat ngetik dan selesai pada pkl 22.50 wib.
Salam sehat Budhe, tetap ADUHAI dan berkarya di sisa usia.
Matur nuwun Bunda Tien
ReplyDeleteMohon maaf lahir batin
Dereng mbak, nunggu mas, ada cito
ReplyDeleteManusang mbak, monggo sugeng istirahat
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah Aliah Sudah tayang....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien...
Alhamdulillah sdh tayang..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga selalu sehat..
Alhamdulillah CBE 29 sudah tayang, terimakasih bunda Tien, Salam sehat dan aduhai dari mBantul.
ReplyDeleteSugeng Riyadi, Mohon Maaf Lahir Batin
🙏🙏
Sulit untuk menerka jalan yang akan ditempuh Aliyah maupun Narita. Ya sudah, ikut saja alur cerita yang ADUHAI ini.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah sdh tayang cbe.... selamat istirahat bu tien..salam sehat
ReplyDeleteAlhsmdulillsh sudah tayang
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun aku nglilir
ReplyDeleteRumitnya
ReplyDeleteMerekayasa jari manis, bermanis manis ria, membuat curiga sang bedinda begitu cepat dan terampilnya sang 'nyonya' menyesuaikan keadaan, nelpon siapa tuh; heran Farah bertambah, kok secepat itu perubahannya, ndut, maen samber, tapi tetep dianggap 'kemajuan' juga?!
Dibalik kecurigaan; belum pada nyadar juga ada musuh dalam kelambu, reportnya ngadepin si kembar; yang satu bebas apa pun mudah di dapat, satunya penuh tatanan aturan warisan moyang.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah CBE-29 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Terima kasih sapaannya..
Salam Aduhai
Matur nuwun bu Tien... alhamdulillah bangun cbe sdh adaa.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, salam sehat selalu....
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Mugi2 tansah pinaringan sehat
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin penasaran.
Salam hangat selalu, aduhai
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 29
sudah hadir, dalam
kesibukan Ibu Tien.
Matur nuwun nggih...
Moga sehat selalu &
tetap smangats berkarya.
Salam Aduhai 🦋⚘
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
Mtnuwun mbk Tien....di tengah2 kesibukannya masih menghibur kita semua,Smg sehat selalu mbak Tienku sayaaaang...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun bu Tien ,salam sehat wal'afiat
ReplyDeleteDuh jd gemes bacanya ,,,🤣🤣🤭
Alhamdulilah.. Hatur nuhun bunda Tien..
ReplyDeleteSemoga bunda seha" dan berbahagia selalu..
Aamiin.. 🙏🥰🥰🌹
Mau rencanain apa nih Narita...
ReplyDeleteMulai deh konflik nya, bikin mood kyk rollercoaster... 😆😆😆
Terima kasih sudah konsisten menulis, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🙏🙏😘😘
ReplyDeleteTerima ksih bunda cbe nya..slm seroja dan tetap aduhai🙏😘🌹
ReplyDeleteMakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~29 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDelete