Thursday, April 27, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 30

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  30

(Tien Kumalasari)

 

Farah keluar dari arah belakang, sudah berdandan rapi. Ia juga sudah mengontak Kirman, yang segera menyiapkan mobil di depan.

“Nyonya, kita berangkat sekarang?”

“Ya, tentu saja. Mumpung hari masih pagi,” kata Narita yang segera melangkah ke arah depan.

Farah duduk di samping Kirman yang mengemudikan mobilnya, sedangkan Narita di sebelah belakang.

“Nyonya mau ke mana?” tanya Kirman sambil menjalankan mobilnya keluar dari halaman.

“Aku hanya ingin jalan-jalan saja.”

“Ke mal, mungkin?”

“Ya, tidak apa-apa. Aku ingin ke toko perhiasan, di mana Alfi membelikan aku perhiasan.”

“Oh, iya … saya tahu, toko emas langganan keluarga tuan sepuh,” kata Farah. Narita tentu saja juga tahu, karena dia juga diajak ke sana ketika Alfian membelikan perhiasan. Dia sudah menelpon toko itu dan mau datang ke sana.

“Nyonya ingin membeli perhiasan lagi? Saya membawa uang yang cukup, kalau Nyonya ingin sesuatu,” kata Farah yang sebelumnya tahu, bahwa Aliyah tak suka membeli apapun saat pergi ke mal bersamanya.

“Bukan membeli,” walau ingin, Narita harus bisa menahan diri, karena dia tahu, Aliyah gadis sederhana yang tak akan menginginkan barang-barang mewah seperti dirinya.

“Kalau tidak membeli, mau apa Nyonya ke toko perhiasan itu?”

“Begini, jari manisku ini kan masih sakit karena terluka, sedangkan Alfi ingin aku segera memakai cincinnya. Jadi aku ingin cincin ini dibuat agar pas di jari manis yang sebelah kiri saja.”

“Biasanya kalau jari sebelah kiri itu kan lebih kecil, Nyonya? Apa kebesaran kalau dipasang di sebelah kiri?”

“Agak kurang pas. Toko itu pasti bisa membuatnya supaya pas dan enak dipakai. Tapi … aku kan tidak punya uang.”

“Saya membawa uang yang cukup. Nyonya kan tidak pernah mau kalau tuan memberi uang untuk Nyonya?”

“Gadis bodoh!” umpat Narita dalam hati.

Tapi ia kemudian hanya mengangguk.

“Nanti ongkosnya kamu yang bayar kan, Farah?”

“Iya, Nyonya, tentu saja. Nanti kalau Nyonya ingin beli sesuatu lagi, bilang saja sama saya.”

“Sebenarnya, aku ingin … membeli ponsel … “ kata Narita.

“Ponsel? Bukankah tuan Alfi pernah membelikannya untuk Nyonya?”

Sekarang Narita terkejut. Ia memarahi dirinya sendiri yang begitu gegabah meminta ponsel, sementara Alfian pernah membelikannya untuk Aliyah.

“Ah, ya … tapi … di mana ponsel itu?”

“Nyonya tidak membawanya waktu pergi?”

Narita menggeleng dengan bingung. Kalau Aliyah begitu sederhananya sehingga cincin sebagus itu ditinggalkannya begitu saja di atas meja, mana mungkin dia juga membawa ponselnya pergi? Tapi di mana?

“Kalau Nyonya tidak membawanya, lalu Nyonya taruh di mana?”

“Aku benar-benar lupa, karena sebelumnya tidak tertarik pada ponsel itu. Aku juga lupa meletakkannya di mana,” gumamnya ragu.

“Nanti kalau pulang, saya akan membantu Nyonya mencari ponsel itu.

Nyonya, kita sudah sampai di toko perhiasan yang Nyonya maksud,” kata Kirman sambil menghentikan mobilnya di depan toko perhiasan itu.

“Farah, biar aku saja yang turun, kamu tunggu saja di sini.”

“Tapi kan Nyonya tidak bermaksud pergi ke mana-mana?”

“Tidak, tentu saja. Aku hanya akan membuat cincin ini pas di jari aku.”

“Tapi kan saya harus ikut, karena saya yang membawa uang. Kalau harus membayar, bagaimana?”

“Gampang, kalau sudah selesai, aku akan memanggil kamu,” kata Narita yang kemudian turun, dan masuk ke dalam toko yang cukup besar itu.

Karena dilarang, Farah tak berani mengikutinya. Tapi matanya tak pernah lepas dari arah ‘Aliyah’ melangkah, sampai menghilang di dalam toko itu.

“Mas Kirman, apa Mas Kirman tidak khawatir? Kalau tiba-tiba nyonya Aliyah kabur lagi, bagaimana?”

“Kenapa tadi kamu tidak memaksa ikut?”

“Kan dia tidak mau, nggak enak kalau memaksa.”

“Baiklah, aku saja yang masuk, dan mengawasinya diam-diam,” kata Kirman sambil turun dari atas mobil.

“Bagus Mas, kalau begitu aku tidak perlu merasa khawatir.”

Farah duduk menunggu di dalam mobil, dan merasa tenang karena Kirman sudah masuk dan mengawasi sang nyonya yang telah masuk terlebih dulu.

Agak lama Farah menunggu. Sebentar-sebentar dia mengirimkan pesan singkat pada Kirman, menanyakan tentang keberadaan sang nyonya.

“Tenang saja, dia juga sedang melihat-lihat. Tampaknya ada cincin yang ujudnya sama, tapi lebih pas dipakainya.”

“Benarkah?”

“Aku duduk tidak jauh dari nyonya. Tapi nyonya tidak melihatku kok.”

“Syukurlah. Nah, tampaknya dia sudah mencoba cincin itu. Barangkali nyonya membutuhkan uang, dia sedang beranjak keluar, barangkali butuh uang tambahan untuk perhiasan itu.”

“Mas jangan melepaskan dia, nanti kalau tiba-tiba dia kabur, mampuslah kita.”

Tapi Farah tidak perlu khawatir, karena Narita benar-benar menuju ke arah mobil dan menemuinya.

“Bagaimana, Nyonya?”

“Tampaknya aku butuh tambahan uang, apa kamu membawa uang yang cukup?”

“Saya membawa ATM tuan Alfi, berapa yang Nyonya harus bayar?”

“Hanya tujuh juta. Karena saya menggantinya dengan yang pas di jari aku.”

“Kenapa diganti Nyonya, tuan pasti akan kecewa, karena itu kan cincin pernikahan Nyonya dan tuan?”

“Modelnya persis, tidak berbeda. Masa Alfi akan marah? Rupanya jari aku yang sebelah kiri memang agak lebih besar, jadi cincinnya juga lebih berat, ukuran gramnya.”

“Baiklah, saya akan turun dan membayarnya,” kata Farah yang kemudian turun, sambil menggandeng lengan sang nyonya.

Ada rasa heran di hati Farah,

“Mengapa ya, jari sebelah kiri yang biasanya lebih kecil, kok punya nyonya Aliyah bisa lebih besar?” pikir Farah.

Tapi kemudian Farah membantah pikirannya sendiri, bahwa semua anggota tubuh manusia itu kan Tuhan yang menciptakannya. Barangkali punya ‘Aliyah’ memang berbeda, mengapa protes?

Transaksi itu selesai, dan ketika keluar dari toko maka Narita sudah memakai cincin itu di jari manisnya yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah kanan masih terbalut plester.

“Nyonya mau ke mana lagi?” tanya Kirman lagi.

“Putar-putar saja, boleh kan?”

“Tentu saja boleh, Nyonya.”

Dan Kirman pun membawa mobilnya untuk hanya berputar-putar kota saja.

“Farah, lihat cincin ini, tidak berbeda kan dengan aslinya?”

“Ya Nyonya, yang berbeda adalah sejarah hadirnya cincin itu,” kata Farah yang sebenarnya kurang suka saat ‘Aliyah’ menukar cincin itu.

“Apa maksudmu?”

“Cincin sebelumnya, walaupun bentuk dan modelnya sama, adalah cincin yang menjadi saksi pernikahan tuan dan Nyonya.”

“Ah, itu kan hanya perasaan kamu saja. Bukankah yang penting bagi Alfi adalah aku memakai cincin ini? Nanti juga, aku minta sama kamu, agar tak usah mengatakan apapun tentang cincin ini, agar Alfian tidak kecewa.”

Farah tak menjawab. Ia heran Aliyah bisa mengajarinya berbohong. Ia merasa, sejak kepergiannya, Aliyah tampak banyak berbeda. Tapi dia tak berani mengatakan apa-apa. Barangkali saat pergi itu, Aliyah sudah berpikir tentang sesuatu, dan harus mulai menyesuaikan kehidupannya yang baru. Jangan terlalu kelihatan bodoh dan sederhana. Bukankah itu yang diinginkan Alfian juga?”

“Farah, aku tidak bermaksud jahat, aku hanya ingin menjaga perasaan Alfian saja.”

“Tapi Nyonya, pengeluaran uang yang tujuh jutaan itu kan harus saya laporkan nantinya kepada tuan?”

“Kamu bisa mengatakan bahwa aku yang meminta uang itu, Farah.”

Farah tak menjawab. Selama mengabdi di keluarga Candra, ia tak pernah berbohong. Semua pengeluaran dilaporkan apa adanya. Itu sebabnya dia sangat dipercaya mengelola uang keluarga itu. Mulai dari ibunya yang masih melayani keluarga Candra, sampai ketika dia mengabdi pada tuan muda Alfian.

“Kamu harus mengerti Farah, aku tak ingin Alfi kecewa. Berbohong sedikit tak apa-apa kan?”

Farah lagi-lagi tak menjawab. Yang namanya berbohong, sedikit atau banyak, tetap saja namanya berbohong, dan itu berlawanan dengan hati nuraninya.

***

Sudah tiga hari Aliyah bekerja pada bu Siti, dan ia merasa mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Bekerja untuk menyambung hidup, dan itu cukup baginya.

Hari Minggu, warung bu Siti tutup. Ia mengijinkan Aliyah kalau ingin pulang ke rumah. Ia juga memberikan upah yang sesuai, walau semula Aliyah menolaknya.

“Aliyah, kamu kan punya sedikit uang. Pergilah ke pasar, beli baju ganti dan semua peralatan kamu. Sedikit dulu tidak apa-apa. Kamu kan seorang wanita, pasti membutuhkan banyak keperluan untuk berganti baju, daleman, dan sebagainya. Kalau uangmu tidak cukup, kamu boleh meminjam dulu sama aku. Aku bisa mengerti kalau keperluan kamu untuk itu memang tidak sedikit.”

Aliyah akhirnya mengerti, bahwa yang diperlukannya bukan sekedar baju. Di rumahnya, masih ada beberapa pakaian daleman, tapi dengan uang upah yang diterimanya, ia ingin membeli sesuatu yang baru, walaupun yang harganya murah.

Ia senang, bu Siti sangat pengertian akan kebutuhannya. Pastilah, karena bu Siti juga seorang wanita.

Maka pagi hari itu ia pun pergi ke pasar. Ia tak perlu berjalan jauh, karena pasar itu tak jauh letaknya dari warung bu Siti.

Ia membeli dua potong pakaian sederhana, dan semua perlengkapannya. Ia senang masih ada sisa uang duapuluh ribu di dalam dompetnya. Dompet yang diberikan juga oleh bu Siti untuk tempat uangnya.

Ia membawa semua belanjaannya ke rumah bu Siti, dan meletakkannya di dalam kamar, yang oleh bu Siti diperuntukkannya untuk dirinya.

“Aku kira kamu langsung pulang ke rumah kamu, Yah,” kata bu Siti ketika melihat Aliyah kembali ke rumahnya.

“Saya hanya meletakkan belanjaan saya itu dulu, Bu. Sekarang saya pamit mau melihat rumah saya, dan bersih-bersih.”

“Baiklah, itu benar, dari pada kamu membawa barang-barang kamu itu ke mana-mana, pasti berat. Kalau begitu segeralah berangkat. Nanti sore kamu kembali kemari bukan?”

“Iya Bu, setelah bersih-bersih rumah, saya pasti kembali. Bukankah saya membutuhkan pekerjaan itu?”

“Iya, aku tahu. Setelah Sumi datang, aku juga mau belanja ke pasar. Aku harus menyediakan semua bahan untuk sedikitnya seminggu.”

“Apakah saya perlu membantu?”

“Kamu pulang saja dulu, aku akan belanja bersama Sumi. Lain kali aku akan mengajakmu belanja, sehingga kalau suatu waktu aku membutuhkan sesuatu, kamu bisa melakukannya sendiri.”

“Baiklah.”

***

Pak RT merasa sangat kesal. Mulai sekarang, sang istri mengawasi dengan ketat keuangannya. Ia bahkan menghitung sisa uangnya yang ada, dan siap menunggu turunnya uang pensiun dia, untuk ikut diperhitungkan segala keperluannya.

Keinginannya bertemu dengan Aliyah tak terbendung. Sudah berhari-hari dia tidak melihat Aliyah. Ia sedih tak bisa memberi uang untuk menyenangkan Aliyah. Ia juga sedih tak berhasil membelikan kasur untuk Aliyah.

Pagi hari itu, ketika bu RT pergi ke pasar, diam-diam pak RT menyelinap ke rumah Aliyah. Tapi lagi-lagi dengan kecewa ia tak melihat Aliyah di sana.

“Ya ampun, aku hampir bisa mendapatkannya. Ia begitu manis dan penurut sekarang, dan aku yakin, suatu hari aku akan bisa memilikinya. Benar-benar memilikinya,” gumam pak RT.

“Tapi kenapa dia tak ada? Apa karena aku tak memberinya uang lagi, maka dia harus pergi? Kemana aku harus mencari Aliyah? Apakah dia pergi seterusnya, atau dia memang sedang keluar, lalu kembali lagi ke rumahnya?”

Pak RT sedang berpikir, bagaimana caranya agar bisa terus menjadikan Aliyah sebagai simpanannya.

“Aku tak mau, ibunya anak-anak mengatur uang yang aku miliki. Kalau hal ini diteruskan, aku tak akan bisa melakukan apapun, dan itu akan sangat menyiksa aku.”

Lalu semakin lama, timbul keinginannya yang paling gila, yaitu untuk menceraikan saja istrinya, agar dia bebas melakukan apa saja. Bebas mendekati Aliyah, bebas memberi uang dan bebas setiap kali dia harus tidur di rumah Aliyah.

“Dengan demikian aku akan benar-benar membeli kasur untuk tempat tidur kamu,” gumamnya sambil melangkah kembalki ke rumah.

***

Aliyah sudah hampir sampai di rumahnya. Ia sedang melewati rumah makan di mana Pinto bekerja.

Aliyah berhenti sejenak. Ia sangat rindu pada Pinto, yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.

“Pasti mas Pinto senang kalau bertemu aku. Nanti akan aku ceritakan, semua yang aku alami. Pasti dia akan heran mendengar bahwa aku pernah menjadi seorang putri yang didandani bak dewi dari kahyangan, lalu menjadi istri seorang pangeran tampan yang kemudian aku memilih untuk meninggalkannya,” gumamnya lirih, sambil berhenti di bawah sebuah pohon besar yang ada di depan rumah makan itu.

“Mas Pinto!” Aliyah berteriak ketika melihat Pinto keluar dari rumah makan itu, barangkali untuk beristirahat. Tapi Aliyah terkejut, ketika kemudian Pinto menatapnya, lalu wajahnya tampak kesal, bahkan lalu membalikkan tubuhnya masuk kembali ke dalam.

***

Besok lagi ya.

41 comments:

  1. Replies
    1. Jiaaaan mbk dokter juara 1 teruuus....sehat selalu ya mbk




      Alhamdulillah...
      Mtnuwun mbk Tien πŸ™πŸ™

      Delete
    2. Sejak Romadhon, jeng Mimiet rajin jaga gawang..... Aliyah sih nggemesi
      Anggun, polos, lugu, sedikit kampungan.... Tp istri dah konglomerat, pebisnis Alfian....

      Terima kasih bu terus semangat

      Delete
  2. Jeng Mimiet juara tanpa terkalahkan

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...
    Gasik nggih, maturnuwun Bu Tien...
    Mugiya ibu tansah pinaringan sehat wal afiat....
    Aamiin Yaa Mujibassailiin...

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  5. Horeeee tayang gasik
    Tks banyak bunda Tien..
    Kangeen sm Aliyah..
    Semoga sehat selalu ya bunda.. πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Jeng Iin karo jeng Nani aku ditrombol

    ReplyDelete
  7. Mtrnwn jeng Nani, jaga gawang sambil ngemil takjil....he he he...

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  10. Trimakasih bu Tien ... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Maturnuwun Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Datang gasik
    Matur nuwun bu
    Soga sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdullilah cbe sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slnt mlm dan salam seroja tetap aduhai unk bunda TienπŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  14. Pinto sptnya sdh kapok ga mau ketemu Aliyah yg berperangai Narita..

    ReplyDelete
  15. Lebih nyaman menikmati alur cerita yang tersaji, dari pada berandai-andai menurut pikiran kita sendiri.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulilah , terima kasih bu tien ...met malam salam sehat

    ReplyDelete
  18. Terima kasih bu Tien
    Semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah dah tayang .makasih bundaku sehat selalu panjang usia

    ReplyDelete
  20. Pinto salah paham nampaknya.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu, aduhai

    ReplyDelete
  21. πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€
    Alhamdulillah CBE 30
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai πŸ¦‹⚘
    πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€πŸ’πŸ€

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~30 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..πŸ™

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, CBE 30 tayang agak awal.
    Terimakasih bu Tien
    Salam sehat dan aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  24. Ya gimana lagi
    Karena mirip wajahnya, ya dianggap satu orang.
    Pinto mutung kesarung, merasa sudah jadi orang kaya nggak kenal sama Pinto.
    Pinto juga tahu cara pengucapannya tutur katanya beda, yang ini dianggap sok kaya jadi nggak mau sama Pinto lagi.
    Apalagi nanti pak RT ikutan nimbrung masuk rumah aduh harus mengurak; eh apa ya ngusir keluar gitu lho.
    Kan pede banget mau ngedeketin Aliyah, padahal laen orang.
    Kan mau ngebersihin rumah nenek Supi, kelihatan berantakan ya rumahnya, kaya ada yang pakai gitu.
    Curiga dia, sana sini banyak sampah bekas nasi bungkus, kamar mu juga ada bekas nasi bungkus, kamar nenek diperiksa donk, tuh kan lemari nenek Supi sedikit terbuka; menutupnya nggak rapat lagi.
    Eh diganggu pak RT yang langsung maen masuk aja, aduh gimana nich.
    Wis duwé putu ngèthèk aé, wow mau ikutan kaya di medsos ya, terus terkenal.
    Pulangnya kewarung mak Siti di kuntit lagi, aduh tambah sering kewarung mak Siti nich.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke tiga puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat πŸ€—πŸ₯°

    Sabar Aliyah ,,

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah CBE-30 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin
    Salam Aduhai

    ReplyDelete
  27. Wkwk...ditukar lagi nasibnya Aliyah & Narita ya...ibu Tien memang piawai bikin alur cerita yg mlintir2 begini, bikin gemes dan penasaran pembaca deh. Salam sehat, bu...matur nuwun.πŸ™πŸ˜€

    ReplyDelete
  28. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya bikin penasaran.

    ReplyDelete
  29. Matursuwun Bu Tien... Penasaran kelanjutannya

    ReplyDelete
  30. Matur kesuwun zenk Tien K.nuwun sewu..nembe saget comment

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...