CINTAKU BUKAN EMPEDU
30
(Tien Kumalasari)
Farah keluar dari arah belakang, sudah berdandan rapi.
Ia juga sudah mengontak Kirman, yang segera menyiapkan mobil di depan.
“Nyonya, kita berangkat sekarang?”
“Ya, tentu saja. Mumpung hari masih pagi,” kata Narita yang segera melangkah ke arah depan.
Farah duduk di samping Kirman yang mengemudikan
mobilnya, sedangkan Narita di sebelah belakang.
“Nyonya mau ke mana?” tanya Kirman sambil menjalankan
mobilnya keluar dari halaman.
“Aku hanya ingin jalan-jalan saja.”
“Ke mal, mungkin?”
“Ya, tidak apa-apa. Aku ingin ke toko perhiasan, di
mana Alfi membelikan aku perhiasan.”
“Oh, iya … saya tahu, toko emas langganan keluarga tuan
sepuh,” kata Farah. Narita tentu saja juga tahu, karena dia juga diajak ke sana
ketika Alfian membelikan perhiasan. Dia sudah menelpon toko itu dan mau datang
ke sana.
“Nyonya ingin membeli perhiasan lagi? Saya membawa
uang yang cukup, kalau Nyonya ingin sesuatu,” kata Farah yang sebelumnya tahu,
bahwa Aliyah tak suka membeli apapun saat pergi ke mal bersamanya.
“Bukan membeli,” walau ingin, Narita harus bisa
menahan diri, karena dia tahu, Aliyah gadis sederhana yang tak akan
menginginkan barang-barang mewah seperti dirinya.
“Kalau tidak membeli, mau apa Nyonya ke toko perhiasan
itu?”
“Begini, jari manisku ini kan masih sakit karena
terluka, sedangkan Alfi ingin aku segera memakai cincinnya. Jadi aku ingin
cincin ini dibuat agar pas di jari manis yang sebelah kiri saja.”
“Biasanya kalau jari sebelah kiri itu kan lebih kecil,
Nyonya? Apa kebesaran kalau dipasang di sebelah kiri?”
“Agak kurang pas. Toko itu pasti bisa membuatnya
supaya pas dan enak dipakai. Tapi … aku kan tidak punya uang.”
“Saya membawa uang yang cukup. Nyonya kan tidak pernah
mau kalau tuan memberi uang untuk Nyonya?”
“Gadis bodoh!” umpat Narita dalam hati.
Tapi ia kemudian hanya mengangguk.
“Nanti ongkosnya kamu yang bayar kan, Farah?”
“Iya, Nyonya, tentu saja. Nanti kalau Nyonya ingin
beli sesuatu lagi, bilang saja sama saya.”
“Sebenarnya, aku ingin … membeli ponsel … “ kata
Narita.
“Ponsel? Bukankah tuan Alfi pernah membelikannya untuk
Nyonya?”
Sekarang Narita terkejut. Ia memarahi dirinya sendiri
yang begitu gegabah meminta ponsel, sementara Alfian pernah membelikannya untuk
Aliyah.
“Ah, ya … tapi … di mana ponsel itu?”
“Nyonya tidak membawanya waktu pergi?”
Narita menggeleng dengan bingung. Kalau Aliyah begitu
sederhananya sehingga cincin sebagus itu ditinggalkannya begitu saja di atas
meja, mana mungkin dia juga membawa ponselnya pergi? Tapi di mana?
“Kalau Nyonya tidak membawanya, lalu Nyonya taruh di
mana?”
“Aku benar-benar lupa, karena sebelumnya tidak
tertarik pada ponsel itu. Aku juga lupa meletakkannya di mana,” gumamnya ragu.
“Nanti kalau pulang, saya akan membantu Nyonya mencari
ponsel itu.
Nyonya, kita sudah sampai di toko perhiasan yang Nyonya
maksud,” kata Kirman sambil menghentikan mobilnya di depan toko perhiasan itu.
“Farah, biar aku saja yang turun, kamu tunggu saja di
sini.”
“Tapi kan Nyonya tidak bermaksud pergi ke mana-mana?”
“Tidak, tentu saja. Aku hanya akan membuat cincin ini
pas di jari aku.”
“Tapi kan saya harus ikut, karena saya yang membawa
uang. Kalau harus membayar, bagaimana?”
“Gampang, kalau sudah selesai, aku akan memanggil
kamu,” kata Narita yang kemudian turun, dan masuk ke dalam toko yang cukup
besar itu.
Karena dilarang, Farah tak berani mengikutinya. Tapi
matanya tak pernah lepas dari arah ‘Aliyah’ melangkah, sampai menghilang di
dalam toko itu.
“Mas Kirman, apa Mas Kirman tidak khawatir? Kalau
tiba-tiba nyonya Aliyah kabur lagi, bagaimana?”
“Kenapa tadi kamu tidak memaksa ikut?”
“Kan dia tidak mau, nggak enak kalau memaksa.”
“Baiklah, aku saja yang masuk, dan mengawasinya
diam-diam,” kata Kirman sambil turun dari atas mobil.
“Bagus Mas, kalau begitu aku tidak perlu merasa
khawatir.”
Farah duduk menunggu di dalam mobil, dan merasa tenang
karena Kirman sudah masuk dan mengawasi sang nyonya yang telah masuk terlebih
dulu.
Agak lama Farah menunggu. Sebentar-sebentar dia
mengirimkan pesan singkat pada Kirman, menanyakan tentang keberadaan sang
nyonya.
“Tenang saja, dia juga sedang melihat-lihat. Tampaknya
ada cincin yang ujudnya sama, tapi lebih pas dipakainya.”
“Benarkah?”
“Aku duduk tidak jauh dari nyonya. Tapi nyonya tidak
melihatku kok.”
“Syukurlah. Nah, tampaknya dia sudah mencoba cincin
itu. Barangkali nyonya membutuhkan uang, dia sedang beranjak keluar, barangkali
butuh uang tambahan untuk perhiasan itu.”
“Mas jangan melepaskan dia, nanti kalau tiba-tiba dia
kabur, mampuslah kita.”
Tapi Farah tidak perlu khawatir, karena Narita
benar-benar menuju ke arah mobil dan menemuinya.
“Bagaimana, Nyonya?”
“Tampaknya aku butuh tambahan uang, apa kamu membawa
uang yang cukup?”
“Saya membawa ATM tuan Alfi, berapa yang Nyonya harus
bayar?”
“Hanya tujuh juta. Karena saya menggantinya dengan
yang pas di jari aku.”
“Kenapa diganti Nyonya, tuan pasti akan kecewa, karena
itu kan cincin pernikahan Nyonya dan tuan?”
“Modelnya persis, tidak berbeda. Masa Alfi akan marah?
Rupanya jari aku yang sebelah kiri memang agak lebih besar, jadi cincinnya juga
lebih berat, ukuran gramnya.”
“Baiklah, saya akan turun dan membayarnya,” kata Farah
yang kemudian turun, sambil menggandeng lengan sang nyonya.
Ada rasa heran di hati Farah,
“Mengapa ya, jari sebelah kiri yang biasanya lebih
kecil, kok punya nyonya Aliyah bisa lebih besar?” pikir Farah.
Tapi kemudian Farah membantah pikirannya sendiri,
bahwa semua anggota tubuh manusia itu kan Tuhan yang menciptakannya.
Barangkali punya ‘Aliyah’ memang berbeda, mengapa protes?
Transaksi itu selesai, dan ketika keluar dari toko
maka Narita sudah memakai cincin itu di jari manisnya yang sebelah kiri,
sedangkan yang sebelah kanan masih terbalut plester.
“Nyonya mau ke mana lagi?” tanya Kirman lagi.
“Putar-putar saja, boleh kan?”
“Tentu saja boleh, Nyonya.”
Dan Kirman pun membawa mobilnya untuk hanya
berputar-putar kota saja.
“Farah, lihat cincin ini, tidak berbeda kan dengan
aslinya?”
“Ya Nyonya, yang berbeda adalah sejarah hadirnya
cincin itu,” kata Farah yang sebenarnya kurang suka saat ‘Aliyah’ menukar
cincin itu.
“Apa maksudmu?”
“Cincin sebelumnya, walaupun bentuk dan modelnya sama,
adalah cincin yang menjadi saksi pernikahan tuan dan Nyonya.”
“Ah, itu kan hanya perasaan kamu saja. Bukankah yang
penting bagi Alfi adalah aku memakai cincin ini? Nanti juga, aku minta sama kamu,
agar tak usah mengatakan apapun tentang cincin ini, agar Alfian tidak kecewa.”
Farah tak menjawab. Ia heran Aliyah bisa mengajarinya berbohong. Ia merasa, sejak kepergiannya, Aliyah tampak banyak berbeda. Tapi dia tak berani mengatakan apa-apa. Barangkali saat pergi itu, Aliyah sudah berpikir tentang sesuatu, dan harus mulai menyesuaikan kehidupannya yang baru. Jangan terlalu kelihatan bodoh dan sederhana. Bukankah itu yang diinginkan Alfian juga?”
“Farah, aku tidak bermaksud jahat, aku hanya ingin
menjaga perasaan Alfian saja.”
“Tapi Nyonya, pengeluaran uang yang tujuh jutaan itu
kan harus saya laporkan nantinya kepada tuan?”
“Kamu bisa mengatakan bahwa aku yang meminta uang itu,
Farah.”
Farah tak menjawab. Selama mengabdi di keluarga Candra,
ia tak pernah berbohong. Semua pengeluaran dilaporkan apa adanya. Itu sebabnya
dia sangat dipercaya mengelola uang keluarga itu. Mulai dari ibunya yang masih
melayani keluarga Candra, sampai ketika dia mengabdi pada tuan muda Alfian.
“Kamu harus mengerti Farah, aku tak ingin Alfi kecewa.
Berbohong sedikit tak apa-apa kan?”
Farah lagi-lagi tak menjawab. Yang namanya berbohong,
sedikit atau banyak, tetap saja namanya berbohong, dan itu berlawanan dengan
hati nuraninya.
***
Sudah tiga hari Aliyah bekerja pada bu Siti, dan ia
merasa mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Bekerja untuk menyambung hidup, dan
itu cukup baginya.
Hari Minggu, warung bu Siti tutup. Ia mengijinkan
Aliyah kalau ingin pulang ke rumah. Ia juga memberikan upah yang sesuai, walau
semula Aliyah menolaknya.
“Aliyah, kamu kan punya sedikit uang. Pergilah ke
pasar, beli baju ganti dan semua peralatan kamu. Sedikit dulu tidak apa-apa.
Kamu kan seorang wanita, pasti membutuhkan banyak keperluan untuk berganti
baju, daleman, dan sebagainya. Kalau uangmu tidak cukup, kamu boleh meminjam
dulu sama aku. Aku bisa mengerti kalau keperluan kamu untuk itu memang tidak
sedikit.”
Aliyah akhirnya mengerti, bahwa yang diperlukannya
bukan sekedar baju. Di rumahnya, masih ada beberapa pakaian daleman, tapi dengan
uang upah yang diterimanya, ia ingin membeli sesuatu yang baru, walaupun yang
harganya murah.
Ia senang, bu Siti sangat pengertian akan
kebutuhannya. Pastilah, karena bu Siti juga seorang wanita.
Maka pagi hari itu ia pun pergi ke pasar. Ia tak perlu
berjalan jauh, karena pasar itu tak jauh letaknya dari warung bu Siti.
Ia membeli dua potong pakaian sederhana, dan semua perlengkapannya. Ia senang masih ada sisa uang duapuluh ribu di dalam
dompetnya. Dompet yang diberikan juga oleh bu Siti untuk tempat uangnya.
Ia membawa semua belanjaannya ke rumah bu Siti, dan meletakkannya
di dalam kamar, yang oleh bu Siti diperuntukkannya untuk dirinya.
“Aku kira kamu langsung pulang ke rumah kamu, Yah,”
kata bu Siti ketika melihat Aliyah kembali ke rumahnya.
“Saya hanya meletakkan belanjaan saya itu dulu, Bu.
Sekarang saya pamit mau melihat rumah saya, dan bersih-bersih.”
“Baiklah, itu benar, dari pada kamu membawa
barang-barang kamu itu ke mana-mana, pasti berat. Kalau begitu segeralah
berangkat. Nanti sore kamu kembali kemari bukan?”
“Iya Bu, setelah bersih-bersih rumah, saya pasti
kembali. Bukankah saya membutuhkan pekerjaan itu?”
“Iya, aku tahu. Setelah Sumi datang, aku juga mau belanja
ke pasar. Aku harus menyediakan semua bahan untuk sedikitnya seminggu.”
“Apakah saya perlu membantu?”
“Kamu pulang saja dulu, aku akan belanja bersama Sumi.
Lain kali aku akan mengajakmu belanja, sehingga kalau suatu waktu aku
membutuhkan sesuatu, kamu bisa melakukannya sendiri.”
“Baiklah.”
***
Pak RT merasa sangat kesal. Mulai sekarang, sang istri
mengawasi dengan ketat keuangannya. Ia bahkan menghitung sisa uangnya yang ada,
dan siap menunggu turunnya uang pensiun dia, untuk ikut diperhitungkan segala
keperluannya.
Keinginannya bertemu dengan Aliyah tak terbendung. Sudah
berhari-hari dia tidak melihat Aliyah. Ia sedih tak bisa memberi uang untuk
menyenangkan Aliyah. Ia juga sedih tak berhasil membelikan kasur untuk Aliyah.
Pagi hari itu, ketika bu RT pergi ke pasar, diam-diam
pak RT menyelinap ke rumah Aliyah. Tapi lagi-lagi dengan kecewa ia tak melihat
Aliyah di sana.
“Ya ampun, aku hampir bisa mendapatkannya. Ia begitu
manis dan penurut sekarang, dan aku yakin, suatu hari aku akan bisa
memilikinya. Benar-benar memilikinya,” gumam pak RT.
“Tapi kenapa dia tak ada? Apa karena aku tak
memberinya uang lagi, maka dia harus pergi? Kemana aku harus mencari Aliyah?
Apakah dia pergi seterusnya, atau dia memang sedang keluar, lalu kembali lagi
ke rumahnya?”
Pak RT sedang berpikir, bagaimana caranya agar bisa
terus menjadikan Aliyah sebagai simpanannya.
“Aku tak mau, ibunya anak-anak mengatur uang yang aku
miliki. Kalau hal ini diteruskan, aku tak akan bisa melakukan apapun, dan itu
akan sangat menyiksa aku.”
Lalu semakin lama, timbul keinginannya yang paling
gila, yaitu untuk menceraikan saja istrinya, agar dia bebas melakukan apa saja.
Bebas mendekati Aliyah, bebas memberi uang dan bebas setiap kali dia harus
tidur di rumah Aliyah.
“Dengan demikian aku akan benar-benar membeli kasur
untuk tempat tidur kamu,” gumamnya sambil melangkah kembalki ke rumah.
***
Aliyah sudah hampir sampai di rumahnya. Ia sedang
melewati rumah makan di mana Pinto bekerja.
Aliyah berhenti sejenak. Ia sangat rindu pada Pinto,
yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.
“Pasti mas Pinto senang kalau bertemu aku. Nanti akan
aku ceritakan, semua yang aku alami. Pasti dia akan heran mendengar bahwa aku
pernah menjadi seorang putri yang didandani bak dewi dari kahyangan, lalu
menjadi istri seorang pangeran tampan yang kemudian aku memilih untuk
meninggalkannya,” gumamnya lirih, sambil berhenti di bawah sebuah pohon besar
yang ada di depan rumah makan itu.
“Mas Pinto!” Aliyah berteriak ketika melihat Pinto
keluar dari rumah makan itu, barangkali untuk beristirahat. Tapi Aliyah
terkejut, ketika kemudian Pinto menatapnya, lalu wajahnya tampak kesal, bahkan
lalu membalikkan tubuhnya masuk kembali ke dalam.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn mbak
ReplyDeleteAlhamdulillah CeBeE tayang
DeleteJiaaaan mbk dokter juara 1 teruuus....sehat selalu ya mbk
DeleteAlhamdulillah...
Mtnuwun mbk Tien ππ
Sejak Romadhon, jeng Mimiet rajin jaga gawang..... Aliyah sih nggemesi
DeleteAnggun, polos, lugu, sedikit kampungan.... Tp istri dah konglomerat, pebisnis Alfian....
Terima kasih bu terus semangat
Matur nuwun
ReplyDeleteJeng Mimiet juara tanpa terkalahkan
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteGasik nggih, maturnuwun Bu Tien...
Mugiya ibu tansah pinaringan sehat wal afiat....
Aamiin Yaa Mujibassailiin...
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteHoreeee tayang gasik
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Kangeen sm Aliyah..
Semoga sehat selalu ya bunda.. πππ
Jeng Iin karo jeng Nani aku ditrombol
ReplyDeleteWkwkwk rasah nangis bun
DeleteMtrnwn jeng Nani, jaga gawang sambil ngemil takjil....he he he...
ReplyDeleteUti Yanik, ayo.....
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Trimakasih bu Tien ... semoga sehat selalu
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah
ReplyDeleteDatang gasik
Matur nuwun bu
Soga sehat selalu
Alhamdullilah cbe sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slnt mlm dan salam seroja tetap aduhai unk bunda TienπππΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletePinto sptnya sdh kapok ga mau ketemu Aliyah yg berperangai Narita..
ReplyDeleteLebih nyaman menikmati alur cerita yang tersaji, dari pada berandai-andai menurut pikiran kita sendiri.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulilah , terima kasih bu tien ...met malam salam sehat
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat selalu
Alhamdulillaah dah tayang .makasih bundaku sehat selalu panjang usia
ReplyDeletePinto salah paham nampaknya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu, aduhai
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 30
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai π¦⚘
ππππππππ
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~30 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..π
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, CBE 30 tayang agak awal.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Salam sehat dan aduhai dari mBantul
Ya gimana lagi
ReplyDeleteKarena mirip wajahnya, ya dianggap satu orang.
Pinto mutung kesarung, merasa sudah jadi orang kaya nggak kenal sama Pinto.
Pinto juga tahu cara pengucapannya tutur katanya beda, yang ini dianggap sok kaya jadi nggak mau sama Pinto lagi.
Apalagi nanti pak RT ikutan nimbrung masuk rumah aduh harus mengurak; eh apa ya ngusir keluar gitu lho.
Kan pede banget mau ngedeketin Aliyah, padahal laen orang.
Kan mau ngebersihin rumah nenek Supi, kelihatan berantakan ya rumahnya, kaya ada yang pakai gitu.
Curiga dia, sana sini banyak sampah bekas nasi bungkus, kamar mu juga ada bekas nasi bungkus, kamar nenek diperiksa donk, tuh kan lemari nenek Supi sedikit terbuka; menutupnya nggak rapat lagi.
Eh diganggu pak RT yang langsung maen masuk aja, aduh gimana nich.
Wis duwé putu ngèthèk aé, wow mau ikutan kaya di medsos ya, terus terkenal.
Pulangnya kewarung mak Siti di kuntit lagi, aduh tambah sering kewarung mak Siti nich.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke tiga puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat π€π₯°
Sabar Aliyah ,,
Alhamdulillah CBE-30 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Salam Aduhai
Wkwk...ditukar lagi nasibnya Aliyah & Narita ya...ibu Tien memang piawai bikin alur cerita yg mlintir2 begini, bikin gemes dan penasaran pembaca deh. Salam sehat, bu...matur nuwun.ππ
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien.. .
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, ceritanya bikin penasaran.
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien... Penasaran kelanjutannya
ReplyDeleteMatur kesuwun zenk Tien K.nuwun sewu..nembe saget comment
ReplyDelete