Saturday, December 28, 2019

DALAM BENING MATAMU 74

DALAM BENING MATAMU  74

(Tien Kumalasari)

Adhit terkejut, ada perasaan nggak enak ketika tiba-tiba bu Susan mendekati mereka. Mirna segera berlalu sambil membawa bungkusan belanjaannya, setelah mengangguk hormat pada bu Susan.

"Nak Adhit kok disini? Nggak ke kantor ?" tegur bu Susan penuh selidik.

"Ke kantor ma, tadi pas keluar, ketemu Mirna membawa belanjaan berat, lalu Adhit mengantarnya. Kebetulan Dewi kan sahabat baik Adhit sejak jaman kuliah dulu." jawab Adhit memberi alasan.

"Oh, iya, nak Dewi juga pernah cerita."

"Mama mau belanja?"

"Iya, pegawe nggak masuk, lagi butuh sesuatu," jawab bu Susan sambil melangkah ke arah toko. Ada perasaan nggak enak melihat sikap Adhit terhadap Mirna tadi. Seperti tidak wajar, seperti sepasang anak muda saling mencintai. Ya Tuhan, apakah ini ada hubungannya dengan tangis Anggi pagi tadi? pikir bu Susan.

Adhit juga menuju ke arah toko, tapi ia langsung masuk kedalam, untuk menemui Dewi.

"Dhit, ini kebetulan atau kamu memang sengaja menemui Mirna?" tanya Dewi sok tau.

"Apa maksudmu? Aku lagi keluar kantor, melihat Mirna sedang mencari taksi dan menjinjing belanjaan. Wajar dong kalau aku menolongnya."

"Hm.. gitu ya.." kata Dewi sambil tersenyum, tapi senuman itu seperti menyembunyikan sesuatu.

"Hei, kenapa senyum-senyum begitu?"

"Nggak apa-apa, masa aku nggak boleh senyum sih," jawab Dewi dengan masih tetap tersenyum.

"Senyummu itu aneh.."

"Aneh bagaimana? Ayo duduklah dulu, biar aku buatkan teh."

"Nggak usah, aku mau pamit. Mana Mirna?"

"Itu, lagi melayani mertua kamu,"

Adhit menuju kearah depan, berpamit pada Mirna.

"Mirna.."

Hm, panggilan itu mengapa begitu menusuk hati Mirna, sangat merdu dan menghanyutkan. Mirna yang sedang melayani bu Susan menoleh.

"Aku mau balik ke kantor."

"Oh, baiklah, terimakasih pak," jawab Mirna sambil memasukkan barang yang dibeli bu Susan kedalam tas plastik. Adhit berlalu dan meninggalkan senyuman manis. 

Adhit yng keluar dari toko menghampiri bu Susan.

"Ma, belanjaannya perlu Adhit bawakan?" dhit manawarkan jasa untuk menutupi rasa sungknnya.

"Nggak usah nak, cuma sedikit saja," jawab bu Susan sambil mengulurkan uang kepada Mirna atas belanjaannya.

"Adhit balik ke kantor dulu ma,"

"Ya nak, hati-hati," jawab bu Susan tanpa menoleh ke arah Adhit. Ia sibuk menerima kembalian uangnya dan barang belanjaannya, sementara Adhit sudah naik ke mobilnya dan berlalu.

Namun begitu meletakkan belanjaannya sesampai dirumah, bu Susan menelpon Anggi.

"Hallo ma, ada apa,"

"Lagi ngapain kamu Nggi?"

"Ini.. lagi bantuin eyang memasak, tapi sudah selesai, ada apa ma?"

"Ibu tadi ketika belanja ke toko bu Dewi, melihat suamimu baru saja datang."

"Mas Adhit? Datang bagaimana ma?"

"Ya datang, bersama Mirna," kata bu Susan sambil menekankan kata Mirna. Pertanda ia tak suka melihat pemandangan seperti tadi.

Sejenak darah berdesir di hati Anggi. Bagaimanapun Adhit adalah suaminya. Biar dimulut berkata rela, tapi alangkah sakit jiwa ini, batin Anggi.

"Anggi, kamu masih disitu?" tegur bu Susan karena Anggi terdiam.

"Oh, iya ma, ini.. sambil menuang sayur kedalam panci," jawab Anggi berbohong. Sungguh sebenarnya hatinya terguncang. Ternyata walau bersikap menolak, diam-diam juga menemui Mirna. Siapa yang nggak sakit hati coba? Namun Anggi perempuan yang luar biasa. Ia bisa menutupi luka batinnya dengan bersikap seperti biasa saja.

"Oh, kirain kamu pingsan," kata bu Susan kesal.

"Mama ada-ada saja, nggak ma.. Anggi mendengarkan. Iya, tadi mas Adhit bilang mau kerumah mbak Dewi.

Nah, kan, jawabannya salah.

"Dia datang sehabis mengantar Mirna berbelanja," kata bu Susan mengubah keterangan yang tadi Adhit katakan, yaitu ketemu dijalan lalu membantu mengantarnya.

"Iya ma, nggak apa-apa, mas Adhit itu kan sahabatan sama mbak Mirna, dan juga mbak Dewi."

"Ah, kamu, mama pikir kamu akan marah, kamu nggak cemburu?"

Tanpa diduga Anggi tertawa lirih. Ada tangis ditahannya tapi diperdengarkannya tawa kepada ibuna, untuk menunjukkan bahwa batinnya tidak terluka.

"Mas Adhit itu suami Anggi, sudah menjadi milik Anggi, untuk apa cemburu? Ya sudah ma, nanti Anggi telephone lagi ya, sekarang mau menyelesaikan pekerjaan Anggi dulu."

Bu Susan menutup ponselnya. Ia tak tau bahwa Anggi bukannya berada didapur, tapi dikamarnya. Ia juga tak tau bahwa Anggi sedang tersedu memeluk bantalnya.

"Mas, aku mencintaimu, aku ingin melihat kamu bahagia..., nggak penting seandainya hatiku sakit dan terluka, yang terpenting adalah dirimu," bisiknya diantara sedu sedan yang memilukan.

Ketika tiba-tiba terdengar ketukan dipintu kamarnya, Anggi buru-buru mengusap air matanya. Tapi pasti terlihat sembab karena dia habis menangis, Anggi bangkit dan duduk.

"Anggi, kamu tidur?"

Anggi menata perasaannya dan menjawab supaya kelihatan wajar.

"Iya eyang, Anggi mau tidur sebentar saja."

"Tapi kayaknya suami kamu pulang untuk makan."

"Oh ya, sebentar eyang."

Bu Broto menjauh setelah mendengar jawaban Anggi. Tapi tak lama kemudian pintu diketuk kembali. Ia tau suaminya yang datang. Apa boleh buat. Ia bangkit dan membuka pintu, tapi segera melangkah kearah kamar mandi untuk mencuci mukanya. Ia tak ingin suaminya melihatnya menangis.

"Anggi," panggil Adhit begitu masuk kekamar.

"Sebentar mas," teriak Anggi dari dalam kamar mandi.

Adhit terduduk di tepi ranjang. Hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia benci pada perasaannya sendiri, tapi ia tak mampu menghindari. Aku sungguh lemah, bisiknya sedih.

Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, dilihatnya wajahnya pucat. Ada sembab yang tersisa, apakah isterinya baru saja menangis? Atau sisa tangisan pagi tadi? Adhit tak mampu membuka mulutnya untuk bertanya.

"Ma'af tadi aku tertidur. Rasanya ngantuk sekali," ujarnya pelan sambil mengelap wajahnya dengan handuk.

"Anggi, aku tadi ketemu Mirna," kata Adht pelan.

"Oh ya.. "

"Dia habis berbelanja, lalu aku mengantarnya ketoko Dewi."

"Bagus lah mas, belanjaan mbak Dewi pasti banyak dan berat. Bagus kalau mas membantunya."

Adhit terdiam. Ia mendengar nada suara yang biasa saja. Ia tau pasti bu Susan telah bercerita, tapi Anggi seperti tak terpengaruh apapun.

"Seperti ermintaan aku, mas harus sering mendekati Mirna, aku rela berbagi mas."

Adhit menarik tubuh Anggi dan memeluknya erat. Anggi tak bereaksi. Ia merasa pelukan itu seperti ucapan terimakasih yang dilontarkan karena ucapannya agar mendekati Mirna. Ada darah menetes, tapi Anggi sungguh pintar menutupinya. Apakah hatinya terbuat dari batu? Tidak, ia tau ada luka menganga, namun tak ada jerit kesakitan.

"Ma'afkan aku Anggi, sungguh aku tak ingin berpisah dari kamu," bisiknya ditelinga Anggi.

"Ayo kita makan, yu Sumi sudah menyiapkan dari tadi," kata Anggi sambil melepaskan pelukan suaminya, lalu melangkah keluar dari kamar.

Adhit menghela nafas, tapi ia kemudian mengikuti isterinya menuju ruang makan, dimana bu Broto sudah menunggu.

***

 Hari itu Mirna gelisah bukan alang kepalang. Sikap Adhit tadi sungguh luar biasa. Ia mencoba me raba-raba, apa sebenarnya maksudnya. Mengapa bersikap seolah dia menyukai dirinya? Tidak,  bos ganteng kan sudah punya isteri, Mirna merasa bermimpi.

"Mirna, mengapa semprot serangga kamu taruh didekat deretan sirup?" tegur Dewi tiba-tiba.

Mirna terkejut. Aduuh.. 

"Oh, ma'af mbak.. " katanya lalu bergegas mengambil obat semprot itu dan diletakkan ditempat yang semestinya.

"Hari ini kamu banyak membuat kesalahan Mirna. Sabun cuci kamu letakkan dirak susu," tegur Dewi lagi.

"Ya ampun mbak... ma'af.. ma'af..  kok aku bingung ya," kata Mirna sambil membenahi kesalahannya.

"Ada apa denganmu Mirna?"

"Ssaya.. nggak ada apa-apa, mungkin agak pusing..."

"Karena tadi ketemu Adhit?" Dewi berterus terang.

"Aaap..apa? Tidak... bukan... ma'af mbak.." jawab Mirna gagap.

"Aku tadi juga heran, sikap Adhit sedikit aneh ya? Aku menduga -duga saja, mungkin sebenarnya dia suka sama kamu," kata Dewi berterus terang.

Mirna terkejut, tumpukan sabun yang dijinjingnya terlepas dari tangannya, berserakan dilantai. Untuk tak ada bungkus yang pecah.

"Mirna... hati-hati.. Kemarilah sebentar, biar pembantu membereskannya."

Dewi menyuruh pembantunya menata dagangannya, lalu menarik Mirna duduk didepan mejanya.

"Duduk dan tenangkan hatimu. Aku melihat kamu sangat gelisah.hari ini. Dan aku juga melihat sikap Adhit yang aneh hari ini."

Mirna meneguk minuman yang disodorkan Dewi.

"Ma'af mbak, itu nggak ada hubungannya, saya hanya... mungkin agak pusing hari ini."

"Mirna, sebenarnya sudah sejak lama aku peringatkan Adhit, jangan diteruskan keinginannya melamar Anggi, tapi dia nekat, aku tau itu karena kasihan, tapi kalau kemudian ada sesal dihatinya, jadi kasihan Anggi kan?"

"Mengapa pak Adhit menyesal?"

"Kamu kan tau, Anggi tak akan bisa memberinya keturunan?"

"Tapi..."

"Adhit itu keras kepala. Kalau punya keinginan susah diendapkan. Dia itu sahabat aku sejak masih kuliah, jadi aku tau seperti apa dia. Dulu banyak gadis-gadis suka sama dia, tapi dia itu susah banget jatuh cinta. Semua ditolaknya. Lalu ketika ia benar-benar jatuh cinta, aku kira rak akan ada yang bisa menghentikannya."

Mirna mendengarkan dengan seksama, tapi ia tak menjawab apapun. Ia tak mengerti mengapa Dewi mengatakan semua itu padanya.

"Aku kira Adhit itu suka sama kamu."

Gelas yang dipegang Mirna hampir terjatuh dimeja. Ia meneguknya kembali, lalu menggeleng pelan.

"Ya nggak mungkin mbak.mBak Dewi ada-ada saja," kata Mirna sambil beranjak berdiri.

"Mirna.."

"Saya akan membantu membereskan barang-barang mbak."

"Sudah, biarkan saja, lebih baik kamu duduk disini untuk menenangkan hati kamu, biar anak-anak itu membereskannya.

***

Ber hari=hari setelah itu Mirna tak bisa melupakan ucapan Dewi. Ia yakin Dewi meng ada-ada. Tapi sikap Adhit sendiri mengapa begitu? Pandangan matanya, sikapnya, itu senyumnya itu.. ya Tuhan... apa itu benar? Mengapa setelah punya isteri dia bersikap seperti itu?

Lamunan Mirna terhenti ketika seseorang muncul didepan toko. 

"mBak Mirna.."

"Ya bu Anggi, apa yang bisa sayaa bantu?"

"mBak Dewi ada?"

"mBak Dewi sedang menjemput Bima, baru saja berangkat."

"mBak, boleh aku masuk ?" 

"Oh ya, silahkan, lewat sini bu," kata Mirna mempersilahkan. Tiba-tiba hatinya berdebar kencang. Ia mengira Anggi akan melabraknya, mungkin ia tau bagaimana sikapnya terhadap dirinya, atau bu Susah bercerita ketika melihat mereka sedang berduaan didepan sana.

"Silahkan duduk bu, ada pesan untuk mbak Dewi? Nanti saya sampaikan." kata Mirna sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia mempersilahkan Anggi duduk di kursi tamu yang ada di toko  itu. Hatinya masih berdebar. Tapi sikap Anggi seperti tidak sedang marah. Mirna duduk didepannya.

"Bukan untuk mbak Dewi, tapi untuk kamu."

Mirna memagang pinggiran meja. Hatinya gelisah.

"Apa yang bisa saya bantu bu?" Mirna mencoba menenangkan hatinya 

"mBak Mirna, tolonglah saya,"

Mirna tak menjawab, menunggu dengan hati berdebar. Ia siap seandainya Anggi akan menegurnya, ia sudah menyiapkan jawabannya. Mana mungkin ia akan mengganggu rumah tangga Anggi dan Adhit?

"Mas Adhit itu tidak bahagia bersama saya. Ia hanya kasihan sama saya. Ia sesungguhnya menginginkan bisa memiliki anak, "

Mirna masih tak menjawab.

"Saya sungguh kasihan melihatnya, saya mencintainya, dan ingin melihatnya bahagia. Jadi tolonglah saya."

"Apa yang bisa saya bantu bu?"

"Menikahlah dengn suamiku mbak."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


20 comments:

  1. MasyaAllah.

    Anggi sungguh luar biasa.
    Jadi ingat akhlak Istri Rasulullah.
    Justru poligami yang bukan karena nafsu yang seperti ini yang sesungguhnya.

    Semoga Adhit Masih tetap bisa Adil dengan keduanya. Dan Adhit bisa mencintai Anggi nantinya..itu yang terpenting.

    Wkwkwk hanya cerita kok yaa.😍

    ReplyDelete
  2. Anggi benar benar peremouan berhatu pualam, srmoga anggi bahagia dan adit tidak menyia nyiakannya

    ReplyDelete
  3. Trims jeng Tien .. Adhit oooh ..

    ReplyDelete
  4. Semoga happy ending ya bu tien...tks

    ReplyDelete
  5. Anggi sungguh wanita istimewa bukannya marah malah menyuruh menikahi suaminya mba tien d tungg ya sambungannya, ibu" d pelesiran menyukainya bila sudah ada pd wa tuh no sekian udah ada .

    ReplyDelete
  6. Anggi berapa lama bisa bertahan dg perasaan yg gundah gulana dan hati yg remuk redam.... apa ga bahaya tuh dg kesehatannya....jangan2 malah memicu munculnya kembali kanker yg menyebabkan kandungannya diangkat

    ReplyDelete
  7. Masyaa Allah kekuatke cinta yg diuji ya mba tien

    ReplyDelete
  8. Anggi istri.yang solehah..
    Semoga terus bgtu....
    Mana episode selanjutnya ya...

    ReplyDelete
  9. Hari minggu Ada keluarkah
    serinya Mba Tien? Penasaran nih mba Tien. Moga2 Ada yaa

    ReplyDelete
  10. Ku selalu menanti ditiap episode...tman2 sering gak sabar ...mana lagi...mana lagi...
    Gemes sama adhit dan mirna serta anggi...

    ReplyDelete
  11. Ayo mbak tien lanjutannya..selalu ditunggu...

    ReplyDelete
  12. Adit anggi mirna bahagia bersama ya mbak..semoga....

    ReplyDelete
  13. Cepetan bu ceritanya dikeluarin...makin penasaran dg cinta Adhit ke Anggi dg hadirnya mirna nanti...hari ini ya bun!

    ReplyDelete
  14. Mbak kapan yg 75 k luar lg jgn lama, kt temen yg 74 udah tamat apakah betul udah tamat , kl gitu bikin cerita yg mempertemukan adit sm mirna apakah jadi nikah apa g.

    ReplyDelete
  15. Salut sama anggi. Sy sebagai istri rasanya ga kuat.😭

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...