Tuesday, January 22, 2019

SEPENGGAL KISAH 142

SEPENGGAL KISAH 142

(Tien Kumalasari)

 

Ongky bingung, ia belum sempat bicara banyak, tapi Bowo langsung menutup ponselnya. Ia memanggilnya ulang tapi Bowo mematikannya.

Ongky menarik nafas panjang. Tak ada jalan lain kecuali menunggu sampai dia pulang nanti. Nancy yang melihat Ongky tampak gelisah segera mendekati.

"Ada apa om?"

"Bukan apa2, cuma telephone dari Bowo, terputus."

"Oh, mungkin signalnya buruk. "

"Mungkin.."

"Oh ya om, apa om sudah bicara sama papa Damar?"

"Tentang apa?"

"Keinginannya segera pulang."

"Ya, aku janji mau bicara dulu sama dokternya. Kalau dokternya mengijinkan, dan bisa dilakukan pengobatan di Indonesia, ya kita bawa dia pulang."

"Menurut Nancy sebaiknya dituntaskan disini ya om, supaya hasilnya lebih baik."

"Entahlah, tergantung nanti dokternya bagaimana."

Tapi diluar perkiraan mereka, rupanya dokter mengijinkan Damar pulang. Dan Damar begitu gembira menerima berita itu.

"Memang keadaannya membaik, tapi ia harus ekstra hati2. Banyak pantangan yang tidak boleh diterjangnya. " kata Ongky kepada Nancy.

"Mengapa dokter mengijinkan? Perasaan saya sungguh nggak enak om."

"Mengapa , Nancy."

"Entahlah, Nancy nggak berani mengatakannya."

Memang ada 2 kemungkinan, yang itu juga dirasakan Nancy. Pertama, memang Damar sudah bisa dilepas dari pengobatan, kedua, ada tanda2 bahwa mereka tak akan bisa menyembuhknnya, jadi lebih baik mengijinkannya  pulang. Nancy tak berani mengatakannya.

Sudah 3 hari Bowo tidak pulang kerumah, dan 3 hari pula Asri tergolek diranjang tanpa daya. Pak Marsam sangat sedih, karena Asri juga tak mau makan. Akhirnya dokter yang memeriksa memintanya untuk opname dirumah sakit. Asri harus diinfus untuk memberi asupan makan dan cairan ketubuhnya. Asri sedih, ia menolaknya, tapi dokter memaksanya. Namun Asri melarang ayahnya untuk mengabarkannya kepada mertuanya.

"Asri, karena kamu nggak mau makan dan minum maka kamu harus diinfus disini. Kamu semakin lemah, dan itu berbahaya nduk."

"Asri merasa sudah kenyang bapak, nggak ingin makan lagi."

"Ya nggak mungkin kenyang, kamu makan apa, sesendok bubur dan seteguk air tidak akan memberimu kekuatan. Jadi kamu harus bersemngat, makan yang banyak supaya bisa segera pulang."

Dua hari dirawat, Asri sudah boleh pulang. Ia terpaksa menuruti apa kata dokter karena kasihan sama Pandu yang lama menunggu dirumah.Ia juga tak ingin berlama lama dirumah sakit. Siang itu  dengan terkejut didapatinya Ongky sudah ada diteras ketika ia sampai dirumah dijemput ayah dan anaknya. Tak ada tanda2 Bowo pulang kerumah, dan itu membuat hati Asri semakin sedih.

"Kamu sakit? Ya ampun, aku menelpon kamu ngak pernah nyambung ternyata kamu dirumah sakit?"

"Hanya istirahat dua hari dirumah sakit nak, soalnya susah makan susah minum."

Asri duduk disofa, dan Pandu duduk disampingnya, bersandar pada lengan ibunya. 

"Ibu nggak boleh sakit lagi, nanti Pandu sedih.." kata Pandu pelan sambil memandangi ibunya.

"Ya sayang," Asri mengelus kepala anaknya penuh sayang.

"Sebenarnya kamu sakit apa?"

Asri tidak menjawab, ia menepuk punggung anaknya dan menyuruhnya masuk kedalam.

"Pandu cuci kaki tangan dulu dan ganti bajunya ya?"

Pandu berdiri, lalu berlari kebelakang diikuti kakeknya.

"Apa yang terjadi? Badanmu sangat kurus. Bowo pergi?"

"Sudah lima hari ini dia pergi, dia sangat marah."

"Aku sudah menelponnya waktu dari sana, tapi dia tak mau mendengarku dan justru mematikan ponselnya."

Asri terdiam. Adakah jalan keluar untuk lepas dari kemelut ini?

"Oh ya Asri, Damar sudah kembali."

Asri terkejut.

"Jadi mas Ongky pulang bersama dia?"

"Kami semua kembali, karena dokter mengijinkan."

"Dia sembuh?"

"Tampaknya lebih baik, tapi ia harus benyak beristirahat. Dia ingin kembali ke Jogya dan mulai bekerja."

"Oh...syukurlah."

Asri kembali terdiam. Ia ingin mengucapkan sesuatu tapi diurungkannya. Ongky tau, pasti Asri ingin membicarakan mengenai janjinya dulu itu.

"Damar tidak bicara apa2. Dia justru ingin pergi dari kota ini."

Asri memandangi wajah Ongky lekat2. Tak ada tanda2 Ongky mengatakan bahwa Damar menagih janji. Tapi Asri tetap merasa terbebani.

 "Kamu takut sesuatu?"

"Sesuatu yang aku takutkan itu sudah terjadi." katanya lirih.

"Kita akan cari jalan keluarnya bukan? Apa dulu kamu bilang? Kalau dosa biarlah aku yang menanggungnya, kalau itu membuatku sengsara pasti akan ada jalan keluarnya. Sekarang ayo kita cari jalan keluar itu."

Damar memang enggan pulang kerumah bu Surya, bu Surya yang merasa keberatan, menyuruh Nancy menemaninya di Jogya.

"Kamu mau kan Nancy?" tanya bu Surya

"Nancy mau grandma, tapi papa Damar belum tentu mau."

"Nanti grandma akan bicara sama dia. Dia itu kan belum bisa dilepas begitu saja. Grandma liat matanya masih tampak cowong dan wajahnya juga menampakkan bahwa dia belum sehat benar."

"Ya grandma, nanti grandma bicara saja sama papa Damar."

Ternyata Damar tidak keberatan Nancy ikut tinggal bersamanya, melayani semua kebutuhannya.

"Tapi aku kasihan sama kamu Nancy, apa kamu tidak capek melayani orang sakit?"

"Papa kan sudah sehat, itu juga kata papa kan?" canda Nancy.

"Sebenarnya grandma keberatan kalau papa langsung bekerja kembali dikantor. Grandma khawatir nanti papa Damar kecapean. Kan dokter melarang papa sampai lelah, memikirkan hal yang berat2... "

"Papa cuma sebentar2 saja dikantor. Kan ada om Ongky yang membantu papa. Kalau diam dirumah saja pasti akan lebih sakit rasanya." bantah Damar.

Memang, walau hanya sebentar, Damar memang sudah pergi kantornya, melihat lihat perkembangan selama ini setelah ditinggalkan berbulan bulan. Damar senang Ongky benar2 menjadi sahabat dan saudara yang selalu menjaganya.

Malam hari itu Asri duduk termenung sendirian. Tak ada berita tentang Damar, dan Damar juga tak pernah menghubunginya. Hatinya berdebar debar, mengapa Damar diam dan tidak menanyakan janjinya . Tapi kalau dia menagihnya, apa yang harus dikatakannya? Sungguh Asri tidak ingin melakukannya, tapi harus ada cara menjawabnya. Sejauh ini Asri belum menemukan caranya.

Tiba2 ponselnya berdering. Asri berdebar, dari Bowo. Mudah2an suaminya sudah tidak marah lagi. Asri menata hatinya sebelum menjawab.

"Mas Bowo, mengapa tidak pulang mas? Asri dan Pandu menunggu mas pulang."

"Asri, aku menelpon ini untuk mengatakan sesuatu. Malam ini juga kamu siapkan barang2 Pandu, karena besok aku akan mengajaknya."

"Oh, kita mau jalan2 mas?" tanya Asri penuh harap.

"Tidak, aku hanya akan mengajak Pandu, agar dia tidak mengganggumu."

"Maaaas..." Asri berteriak histeris.

#adalanjutannyaya#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...