Monday, January 21, 2019

SEPENGGAL KISAH 141

SEPENGGAL KISAH  141

(Tien Kumalasari)

 

Bowo berdiri, tetap dengan wajah kaku. Membiarkan Asri bersimpuh dan menangis sambil memegangi kedua kakinya.

"Jangan mas, jangan begitu, Asri mana bisa hidup tanpa mas Bowo? Tidak mas.. jangan bersikap seperti itu. Asri tidak bersungguh sungguh.." tangisnya memilukan.

"Keputusanku sudah bulat Asri. Aku tahu, barangkali masih ada cinta yang tersisa, dan aku tak mau terlalu lama menyiksa batinmu."

"Tidak mas, bohong mas, aku hanya mencintaimu.. aku hanya mencintaimu mas... jangan pergi.. "

"Aku sangat mencintai kamu Asri, tak ada wanita didunia ini yang aku cintai selain dirimu. Sungguh, tapi aku tak ingin kamu jadi pendusta. Aku tak ingin kamu mengingkari janji yang telah kamu buat sendiri. Jadi tepatilah, lakukan seperti apa yang pernah kamu ucapkan."

"Tidak mas, aku tidak mau... maaas... aku tidak bisa hidup tanpa dirimu.. aku lebih baik mati mas, bunuh saja aku..."

"Kamu berdosa mengatakan itu, mati dan hidup bukan kamu yang menentukan. Sudahlah Asri, lepaskan aku, aku yakin kamu akan berbahagia.. dan itu adalah harapanku." lirih kata Bowo, yang seperti juga mengandung kepedihan.

"Mas Bowo, aku tak bisa hidup tanpa kamu mas, aku tak bisa..."

"Jadilah wanita yang bisa menepati janji. "

Hanya itu yang diucapkan Bowo, kemudian dia  pergi meninggalkan rumah, dimalam buta, menembus kelamnya malam dan kelamnya suasana hati keluarga yang semula hiduppenuh bahagia itu.

Asri tergolek lemah ditempat tidur, kepalanya terasa sangat pusing. Pak Marsam heran tak mendapati menantunya sejak semalam. Ia juga menangkap kepedihan dimata anaknya. 

"Apa yang terjadi nduk?"

"Bapak, tolong buatkan sarapan untuk Pandu ya, biasanya dia suka telur mata sapi kalau nggak ada yang lainnya."

"Ya nduk, kamu sakit ?"

"Pusing bapak, tapi ngak apa2 Asri sudah minum obat."

"Baiklah, aku buatkan sarapan dulu untuk Pandu."

Pak Marsam berlalu, dan Pandu tiba2 lari kekamar ibunya.

"Ibu sakit?"

"Sedikit pusing nak, tidak apa2.."

"Coba Pandu pegang, wah.. badan ibu panas.. nanti biar kakek mengantar ibu ke dokter. Bapak mana ?" Pandu mencari ayahnya karena sejak tadi tak melihatnya.

"Bapak.. sedang.. ada tugas keluar kota.." jawab Asri sekenanya.

"Kok bapak nggak bilang sama Pandu.. biasanya kalau pergi lama..bapak pasti bilang."

"Iya, perginya mendadak, dan Pandu sudah tidur. Tapi bapak pesan sama ibu supaya ibu pamitkan bapak sama Pandu. Do'akan bapak selalu sehat dan baik2 saja ya."

"Iya ibu. Sekarang Pandu mau makan pagi, trus berangkat kesekolah. "

"Baiklah nak,"

"Ibu minum obat, nanti kedokter ya?"

"Ya sayang."

Pandu berlari mendapati kakeknya yang sudah menunggu dimeja makan. Pak Marsam tak banyak bicara, ada yang ingin ditanyakannya pada Asri namun terhalang dengan adanya Pandu. Anak kecil itu tidak boleh ikut merasakan kesedihan orang tuanya. Pak Marsam tau, ada sesuatu yang terjadi diantara anak dana menantunya, sejak kemarin ada hal2 aneh yang dirasakannya. Bowo pergi sampai malam, berangkat pagi2 sekali, lalu pulang hampir tengah malam, kemudian pergi lagi. Ya Tuhan, semoga semuanya baik2 saja. Harap pak Marsam.

Namun seharian itu Asri tidak bangkit dari tidurnya. Pak Marsam sepulang dari mengantar Pandu ingin menanyakannya, tapi melihat Asri seperti sedang kesakitan, keinginan itu diurungkannya. Ia memegang kening Asri dan terasa panas. 

"Asri, kamu sudah makan?" Masih ada sisa makanan semalam di kulkas, sudah bapak angetin. Makan ya?"

Tapi Asri menggeleng. Ia tak ingin apapun.

"Tapi kamu kan harus minum obat setelah makan. Cuma menurut bapak itu kan cuma obat penurun panas, bapak antar ke dokter ya?"

Asri menggeleng. Tapi pak Marsam kemudian menelpon dokter keluarga supaya datang kerumah. Ia sangat cemas melihat wajah anaknya pucat pasi.

"Ibu Asri tidak apa2, asalkan kemudian mau makan lalu minum obatnya. Mungkin ibu sedang memikirkan sesuatu yang berat.. " kata dokter setelah memeriksa keadaan Asri.

Asri terdiam, tak ada keluhan kecuali kepalanya sangat pusing, dan badannya panas.  Pak Marsam memaksanya makan sedikit, kemudian meminumkan obatnya.

Pandu menunggui ibunya disamping tempat tidur. Ia seperti merasakan sakit yang dirasakan ibunya. Dilihatnya ibunya memejamkan mata, yang tampak sembab setelah menangis semalaman. Pak Marsam tau itu karena Asri banyak menangis, tapi Pandu mengira ibunya menangis karena menahan sakit.

"Maukan ibu Pandu pijitin ?" kata Pandu sambil memijit mijit kaki ibunya.

Tangan Asri menggapai kepala anaknya, dan mengelusnya lembut. 

"Sudah nak, kamu istirahat saja sana, ibu tidak apa2. Nanti setelah tidur ibu pasti sudah sehat."

"Benar ya bu?"

"Iya nak.. tidurlah dikamarmu sekarang. Cium ibu dulu.." lalu Pandu mencium pipi ibunya yang disambut pelukan erat sambil berlinangan air mata. 

"Hanya kamu yang tak bisa melukai hati ibu nak, kamu milikku, buah hatiku dan tak tergantikan.. jangan pernah terpisah dari ibu ya nak?"  suara batin Asri.  

Pandu mengusap air mata ibunya dengan telapak tangan kecilnya.

"Ibu jangan menangis lagi, setelah minum obat ibu pasti sembuh."

Asri mengangguk. Tiba2 ia teringat kata2 suaminya semalam. Kamu boleh pergi meninggalkan aku dan Pandu?Ya Tuhan, tidak... tangis itu meledak lagi, "Mana mungkin aku berpisah dari kalian??" rintih Asri...

Ongky sudah bertemu Damar, dan senang melihat keadaannya yang tampak membaik. Tapi ternyata Damar tidak menyukai keadaan itu. Ia tetap ingin pulang.

"Kamu itu bagaimana Damar, penyakitmu sudah membaik, mengapa masih saja kamu mengatakan bahwa kamu ingin pulang?"

"Entahlah, aku merasa tidak nyaman berada disini."

"Kan ada Nancy, dan sekarang ada aku.."

"Bukan itu, ada perasaan aneh yang mengganggu aku. Mungkin aku memang ditakdirkan harus mati. Mengapa kalian mencegahnya? "

"Kamu ini bicara apa, ngoceh tidak keruan.."

"Mas Ongky.."

"Diam dan tidurlah. Oh ya, ada salam dari Bowo untuk kamu.. juga dari Asri."

Damar terdiam. entah mengapa disebutnya dua nama itu sangat mengganggu perasaannya.

"Aku kan pernah bertanya sama kamu mas, berdosakah aku kalau aku berangkat kemari karena bujukan Asri? Dan bujukan itu bukan main2. Dan Asri menyanggupinya.. "

"Kamu sadar bahwa itu salah?"

"Itulah sebabnya aku lebih baik mati saja."

Ongky menatap Damar tajam2. Damar sering bicara meracau dan tak keruan, tapi kali ini ia benar2 serius. Setidaknya tampak seperti serius.

"Damar, sebuah keajaiban terjadi, dokter yang semula angkat tangan mendapati penyakitmu berangsur membaik. Itu anugerah buat kamu, jadi terimalah anugerah itu dengan perasaan penuh syukur."

"Kalau aku hidup, Asri akan menjadi milikku... tapi ada perasaan aneh didalam hatiku ini. "

"Kamu senang kan?"

"Tidak, ada sesuatu yang dipaksakan dan itu menyakitkan. Lebih baik ajak aku pulang saja."

Ongky merasa bahwa Damar sedang menyadari sesuatu. 

"Nanti aku akan bicara sama dokter, sekarang lebih baik kamu beristirahat.

Tiba2 Ongky teringat janjinya sama Asri untuk menelpon Bowo. Pasti Asri sedih kalau Bowo marah berkepanjangan. Ia juga akan mengatakan pada Bowo tentang sikap Damar barusan.

Namun ketika Ongky berbicara itu, Bowo mengatakan bahwa dia sudah membebaskan Asri. Ongky terkejut bukan alang kepalang.

"Hentikan Bowo, aku akan mengatakan sesuatu, hal penting yang kamu harus tau."

"Sudahlah Ongky, intinya aku tidak mau Asri menjadi wanita yang ingkar. Ia harus menepati janjinya."

$adalanjutannyaya#


 

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...