Thursday, January 24, 2019

SEPENGGAL KISAH 144

SEPENGGAL KISAH  144

(Tien Kumalasari)

 

Namun Bowo seakan tak perduli. setelah mengunci mobil dia kembali mendekati Asri yang menangis sambil bersimpuh ditanah.

"Apa kamu sudah menyiapkan barang2 Pandu?"

"Maas... jangan maaas... jangan mas...

Asri lari kearah mobil yang terkunci... dilihatnya Pandu menangis keras sambil menggedor gedor kaca mobil...

"Ibu... ibu...aku mau ibu..."

"Anakku... diamlah nak... jangan menangis nak... jangan menangis.. diam sayang... anak ibu.. cinta ibu.. kesayangan ibu...diamlah nak..." tangis Asri sambil memegangi kaca  yang sama, dimana tangan Pandu menggapai gapai..

Sementara itu Bowo berjalan kearah belakang, dilihatnya pak Marsam. Bowo mendekati, lalu memegang tangan pak Marsam, lalu diciumnya, seperti yang selalu dia lakukan setiap kali mau berangkat kerja atau sepulang kerja. Rupanya Bowo belum kehilangan rasa hormatnya kepada mertuanya, dan itu membuat pak Marsam berani menegurnya.

"Apa yang terjadi nak, mengapa rumah tangga yang dibangun begitu indah dan apik, menjadi seperti ini? Dimana kesabaranmu nak? Dimana rasa sayangmu yang selama ini kamu curahkan untuk anak dan isterimu?"

"Ma'afkan Bowo, bapak.. ma'afkan Bowo, keadaanlah yang memaksa Bowo melakukan semua ini..." ujar Bowo pelan. Kemudian ia meninggalkan mertuanya lalu masuk kedalam kamar Pandu anaknya.

Ia membuka almari Pandu, mengambil kopor yang ada diatas almari, lalu memasuk masukkan baju anaknya kedalam koper itu. Pak Marsam yang mengikutinya merasa sedih, ia tau tampaknya Bowo tidak sepenuhnya menginginkan hal itu. Ia melihat dari mata menantunya, ada kesedihan yang tersirat disana.

"Nak Bowo, apa semuanya sudah nak Bowo pikirkan? Lihar dan dengar Pandu menangis keras, tidakkah itu memilukan?" 

"Bowo terpaksa melakukannya pak, Asri yang membuat jadi begini."

"Ini kesalah pahaman yang nak Bowo telan mentah2 nak, ini bukan keinginan kalian, nak Bowo harus mengerti. Cobalah redakan dulu rasa panas dihati yang membakar seluruh sanubari. Dengar kata2 orng tua ini nak.:

"Tidak bapak, bapak harus mema;afkan Bowo. Bowo sangat menyayangi Asri, Pandu, juga bapak sendiri. Tapi Bowo harus melakukannya."

"Dengar nak..." pak Marsam ingin melanjutkan kata2nya, tapi Bowo sudah selesai mengepak pakaian Pandu sekenanya, lalu enutup koper itu dan mengangkatnya. Dengan sebelah tangannya ia menyalami lagi mertuanya, dan juga menciumnya lagi. 

"Nak, dengar nak.." pak Marsam mengikutinya dari belakang.

"Ma'afkan Bowo , bapak..." 

Bowo terus melangkah, dilihatnya Asri masih menangis sambil memegangi kaca mobil, dan Pandu juga menangis memilukan.

Bowo menguatkan hatinya, ia membuka mobil, meletakkan koper kedalamnya, lalu naik kemobil itu dan menjalankannya menjauhi rumah.

Asri berlari mengikuti sambil berteriak teriak.

"Mas, kamu kejam mas... kamu kejaam mas ..."

Pak Marsam merangkul anaknya, dan menepuk nepuk bahunya. Tampak air mata juga mengambang dipelupuk mata lelaki tua yang merasa pilu menyaksikan ratap pilu anak dan cucunya,

"Sudahlah, sabar nduk, suamimu sedang panas hatinya, dan tidak bisa menimbang baik dan buruk dari keadaan ini. Sebaiknya kamu bersabar, dan menenangkan hatimu, suatu sa'at nanti suamimu pasti akan sadar dan bisa mengerti semuanya.

Pak Marsam memapah Asri yang lunglai, masuk kedalam rumah. Ketika itulah mobil Ongky masuk kepekarangan. Ongky sudah melihat keadaan itu, dan yakin bahwa Bowo pasti sudah membawa pergi anaknya. Bergegas ia turun dari mobil dan menghampiri Asri dan pak Marsam.

"Dia sudah pergi?"

"Mas Ongky, bagaimana kamu ini mas... lama sekali baru datang...Mas Bowo sudah membawa Pandu pergi mas... aku bagaimana mas..." tangis Asri pilu.

"Pergi kemana dia?"

"Mana aku tau mas.. dia membawa pergi, tak perduli Pandu berteriak teriak menangis."

"Mari duduk dulu nak, berbicara didalam saja." ajak pak Marsam sambil masuk kedalam rumah,

Asri terkulai lemah, duduk bersandarkan sandaran sofa, air matanya terus menerus mengalir.

"Keterlaluan Bowo."

Ongky mengambil ponselnya dan berusaha menelpon, tapi rupanya Bowo mematikan ponselnya. :"Entah kemana dia pergi." desis Ongky.

"Kenapa kamu lama sekali mas, kami tidak berdaya, kata2 bapak juga tak didengarnya."

"Ma'af, jalanan macet Asri, aku juga terburu buru berangkatnya tadi. Tapi tenanglah dulu, pasti akan ada cara untuk menaklukkan hari Bowo. Ada sa'at dimana kemarahannya sudah reda, dan pasti kalian akan bersatu lagi."

"Aku tak pernah melihat dia semarah itu mas, aku tidak bohong padanya, aku bilang bahwa aku hanya mencintai dia, tapi dia tak mau dengar."

"Ya, aku bisa mengerti. Aku akan mencari dia sampai ketemu dan akan berbicara dengannya."

Sementara itu dimobil Pandu terus meronta ronta, ia memukuli punggung ayahnya yang terus melarikan mobilnya entah kemana.

"Bapak jahat.. bapak jahatt !!

"Pandu, kita akan bersenang senang berdua. Pergi keempat bermain, beli es krim.. ya, bukankah Pandu suka es krim?"

"Tidak.. tidak.. Pandu hanya mau ibu... Pandu mau ibu."

"Pandu nggak boleh membantah kata2 ayah ya, ayo diam, nanti ayah marah lho." kata Bowo bernada ancaman, seperti kalau ia memarahi Pandu setiap kali Pandu nakal. Tapi kali itu Pandu tidak perduli. Sekarang ia malah menarik narik baju ayahnya, sambil tak henti hentinya minta agar ibunya ikut bersama mereka.

"Pandu mau ibu.. Pandu mau main sama ibu juga... berhenti bapak.. berhenti.. Pandu mau sama ibu, Pandu nggak mau sama bapak."

"Pandu !!" Bowo sedikit membentak anaknya. Pandu terkejut dan melepaskan pegangannya pada baju ayahnya..

"Pandu, jangan begitu, bapak sedang ingin main sama Pandu, kita berdua saja. Ya?" Agak melemah suara Bowo ketika melihat anaknya seperti ketakutan.

"Pandu, Pandu mengerti tidak, bapak sangat sayang sama Pandu."

"Bapak bohooong!!" teriak Pandu sambil merebahkan tubuhnya di jok belakang.

"Bapak jahat... Pandu benci bapak.. " suara Pandu melemah, mungkin lelah, mungkin putus asa, dan Bowo tak lagi mendengar suara apapun. 

Bowo menoleh kebelakang, dilihatnya pandu tergolek sambil memejamkan matanya. Bowo sedikit lega, mungkin Pandu tertidur karena capek berteriak teriak.

Bowo melarikan mobilnya dan memasuki sebuah hotel.

Didalam mobil yang lain, Nancy sedang mengendarai mobil Damar. Damar duduk disampingnya, tampak lesu tak bersemangat.

"Sebenarnya papa Damar mau kemana ?" tanya Nancy.

"Bawa aku kerumah Asri." kata Damar perlahan.

"Mau apa papa kesana?"

"Ada yang ingin aku lakukan. Aku ini orang yang berdosa, aku sadar, umurku tak akan lama lagi, aku ingin menebus kesalahan aku itu.

"Papa nggak boleh bilang begitu. Bukankah papa sudah sehat sekarang?"

"Aku tidak merasa seperti itu.Cinta ini.. membawa sebuah derita.. bagi orang yang papa cintai."

Damar terdiam, suaranya melemah. Nancy menoleh kearahnya dan terkejut melihat Damar terkulai disandaran kursi, dan tangannya tergantung begitu saja disamping jok yang didudukinya.

"Papa... paa..." panggil Nancy, tapi Damar tak menjawab. Nancy menghentikan mobilnya ditepi jalan. Dipegangnya tangan Damar.

"Ya Tuhan, kita harus kerumah sakit papa."

Nancy memacu kembali mobilnya, menuju rumah sakit terdekat.

#adalanjutannyaya#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...