Friday, January 25, 2019

SEPENGGAL KISAH 146

SEPENGGAL KISAH  146

(Tien Kumalasari)

 

Nancy terkejut, tergopoh ia menahan tubuh Damar yang nyaris terjatuh.

"Papa jangan nekat, kan harus istirahat total?"

"Ini gara2 aku, aku harus bisa mengatakan semuanya pada Bowo.. tolong biarkan aku Nancy, lepaskan tanganmu." 

"Papa jangan begitu, oke, katakan saja pada Nancy, apa yang akan papa katakan pada mereka, nanti Nancy akan sampaikan."

"Itu tidak sama Nancy.."

"Sama papa.. Nancy akan katakan ini pesan dari papa.. Ok, rebahan kembali ya, nanti kalau dokter datang dan melihat papa seperti ini dokter  akan meminta  papa lebih lama tinggal disini."

Damar memang merasa sangat lemah. Bukan karena menurut pada anjuran Nancy kalau kemudian dia kembali merebahkan tubuhnya, tapi karena memang tubuhnya merasa lemah. Ia memejamkan matanya. Ia juga enggan berkata kata lagi..

Nancy duduk disampingnya dan merasa sedih. Ia belum mengabarkan apapun pada nenek dan mamanya. Ia tak ingin neneknya kemudian bingung lalu buru2 datang ke rumah sakit, sementara hari mulai sore.

Dilihatnya Damar tertidur, lalu Nancy melangkah keluar. Ia berpamit pada perawat akan keluar sebentar, dan menitipkan papa Damarnya kepada perawat.

 

 Pandu meronta ketika melihat mobil ayahya bukan berhenti dirumah. 

"Pandu mau pulang.. Pandu mau ibu.."

"Dengar Pandu, disini tidak boleh menangis, nanti dilihat orang, malu kan. Ayo kita masuk dulu. Kita belum makan kan?" 

Bowo mrnggrndong Pandu sambil mambawa bungkusan makanan. Tapi didalam kamar Pandu sama sekali tidak mau menyentuh makanan itu.

"Pandu...kalau Pandu tidak mau makan nanti dibawa bapak  ke dokter lagi, trus Pandu tangannya disuntik pakai jarum, disambung sama cairan infus, tadi Pandu melihat tidak disamping Pandu berbaring ada yang sedang di infus. Itu karena dia nggak mau makan sama sekali."

Pandu terdiam. Bowo hampir putus asa. ketika tiba2 seseorang mengetuk pintunya. Ternyata Ongky. Dengan wajah cemberut Bowo mempersilahkannya masuk.

"Hai, Pandu.. mm.. anak baik.. kenapa menangis?"

Ongy mendekati Pandu, lalu mengambil sapu tangan disakunya, dan dipakinya untuk menyapu sisa air mata dipipi Pandu.

"Pandu mau ibu... Pandu mau pulang.." 

"Oh.. baiklah, tapi.. ya ampuun.. ada makanan seenak ini,  ayamnya gedeee banget, pasti enak nih, kenapa nggak dimakan ?" Kata Ongky ketika melihat bungkusan nasi yang sudah terbuka, diletakkan dedepan Pandu."

Pandu menggeleng.

"Wouw.. kasihan ayamnya, sudah cape2 datang kesini kok dibiarin begitu saja...O.. harus ditemenin bapak ya?"

"Pandu mau ibu.. makan sama ibuuuu..." rengek Pandu lagi.

"O.. mau makan sama ibu, tapi ibu kan sedang nggak ada disini, sedangkan perutnya Pandu.. lihat.. kok kempes begini.. lapar ini namanya.. Menurut om Ongky, sebaiknya Pandu makan dulu.. nanti kita akan sama2 pulang kerumah, ketemu ibu." kata Ongky lembut, sambil mengelus perut Pandu.

"Benar ?" Pandu menatap Ongky yang kemudian mengangguk.

"Ayo sekarang makan, om sama ayah kamu mau bicara disana. Habiskan nasi dan ayamnya ya?"

Pandu memegangi paha ayam dan menggigitnya sedikit. Memang sesungguhnya Pandu lapar. Tapi kesedihannya karena berpisah dengan ibunya mengalahkan rasa lapar itu.

Ongky mendekati Bowo yang sudah lebih dulu duduk di sofa, agak jauh dari tempat Pandu makan.

"Apa2an kamu ini Bowo? " Ongky memandangi sahabatnya dengan kesal.

"Lihat, kamu menyiksa anakmu sendiri. Kamu menyakitinya Bowo. " lanjut Ongky.

"Ini semua gara2 Asri, aku juga sedih Ongky.."

Ternyata Bowo mampu mengeluarkan air mata. Kemudian ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Sedikit jorok, tapi Ongky membiarkannya.

"Kamu juga merasa sedih, mengapa kamu menempuh jalan ini?Kenapa kamu menyalahkan Asri tanpa mendengar apa alasan dia melakukan itu."

"Aku tidak suka cara dia berbohong, akibatnya akan sangat buruk. Aku tidak suka Ongky."

"Kamu cemburu. Cemburu buta."" tuduh Ongky sekenanya. Tapi Bowo tidak membantahnya. Ia cemburu mengetahui isterinya rela berbohong demi meminta Damar supaya bersedia berobat keluar negri.

"Ini tidak ada hubungannya dengan cinta. Isterimu itu menginginkan temannya sembuh, apapun caranya. Mungkin dia salah dalam melangkah, tapi kamu harus bisa memakluminya. Kalau dia ingin jahat sama kamu, tak mungkin kemudian dia mau berterus terang sama kamu."

Ongky juga berbohong pada perasaannya. Ia menuduh Asri memang masih mencintai Damar, tapi dihadapan Bowo ia membelanya dan menutupinya. Entahlah, itu kan hanya dugaan Ongky, yang sesungguhnya hanya Asri yang tau.

Bowo terdiam, ia sungguh bingung. 

"Asri sangat mencintai kamu Bowo, ia pernah mengeluh padaku, bahwa ia melakukan itu karena mau supaya Damar sembuh. Yang dicintainya hanya kamu. "

"Bapaaak... Pandu sudah selesai, ayo kita pulang.." tiba2 Pandu berteriak.Bowo memandangi  Ongky, dan Ongky mengangguk.

"Ma'afkanlah isterimu, dia sangat menderita. Pandu juga menderita, kau telah menyiksanya seharian, ia tak berdosa Bowo."

"Bapaaaak... Pandu mau pulaang.. Pandu mau ibuuu..." Pandu merengek agak keras.

Tiba2 Bowo merasa trenyuh, Benar kata Ongky, dia telah menyiksa seharian..Ia sakit, seharian tidak makan, terus menangis dan mengatakan dirinya jahat. Betapa sedihnya ia. Didekatinya Pandu, kemudian dipeluknya erat2.

"Ma'afkan bapak, Pandu... ma'af ya.." bisiknya ditelinga Pandu.

"Kita akan pulang bukan?"

"Ya, kita akan pulang.."

"Bapak tidak bohong?"

"Kita pulang sekarang." 

Asri duduk diteras rumahnya, hari mulai gelap, angin dingin yang menerpa kulitnya membuatnya menggigil. Tapi Asri tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia harus menunggu dan menunggu.

Pak Marsam keluar dengan membawa secangkir teh panas. 

"Diluar sangat dingin, lebih baik kamu masuk kedalam nduk. " kata pak Marsam sambil menyodorkan secangkir teh yang dibawanya. 

Asri menggeleng, tapi diterimanya cangkir yang diulurkan ayahnya, kemudian menghirupnya sedikit demi sedikit.

"Masuk saja nduk, anginnya keras sekali, dan dingin, nanti kamu masuk angin." 

"Ya bapak, sebentar lagi."

Pak Marsu masuk kedalam, membawa cangkir yang kosong karena Asri telah meminumnya habis.

Tiba2 dilihatnya sesosok bayangan masuk kedalam pekarangan rumahnya. Asri mengamati bayangan itu, agak tersaruk langkahnya, seperti orang mabuk. Asri berdiri dan mengamatinya dengan seksama. Namun remang lampu teras itu tak mampu menembus kegelapan yang menutupi wajah sosok yang ternyata seorang laki2 itu.

"Asri.." lirih bayangan itu menyapanya. Dan Asri terkejut.

"Damar ?"

Bayangan itu terjatuh didepan tangga naik keteras rumah. Dan Asri menjerit perlahan.

"Oh... !!" Lalu Asri meneriaki pak Marsam.

"Bapaaak, tolong bapaaak..."

Pak Marsam tergopoh gopoh keluar, dan bersama Asri memapah Damar keteras dan membaringkannya di kursi panjang diteras itu. Tapi tak lama Damar segera bangkit. 

"Nak, kamu ini kan lagi sakit, mengapa malam2 datang kemari?" 

"Bapak, tolong ambilkan minum dulu untuk Damar."

"Ya..ya.. tunggu sebentar nak.." Pak Marsam berjalan kebelakang. Asri memandangi wajah Damar dengan  iba.

"Mengapa malam2 begini kamu kemari Damar? Kamu belum sehat benar.."

"Ini untukkamu... Asri.."

Asri berdebar, apa maksud kata2 Damar?

Namun sebelum ia menemukan jawabannya, sebuah mobil masuk kepekarangan, diikuti oleh sebuah mobil lagi . Dan dari jauh didengarnya teriakan.

"Ibuuuuu...."

Asri hampir melonjak kegirangan.

#adalanjutannyaya#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...