SETANGKAI BUNGAKU
04
(Tien Kumalasari)
Sepeninggal Pratiwi, Ratna dan Sasmi segera mengambil
sayur-sayur tersebut dan dipetiknya bersama-sama.
“Sayang sekali, Pratiwi menolak keinginan kita,” kata
Ratna.
“Padahal kelihatan sekali bahwa Pratiwi itu anak
pintar. Keinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi itu kan sudah
pasti.”
“Rupanya dia sungkan.”
“Ya, sangat sungkan, mengingat biaya kuliah kan mahal,
dan harus orang lain yang membiayainya.”
“Dasarnya memang tak mau berhutang budi. Anak baik.”
“Tapi tadi saya dengar dia mendapat berita bahwa
temannya meninggal? Sepertinya kecelakaan. Kok sama dengan cerita anak-anak
kemarin,” kata Sasmi mengingat kepergian Pratiwi dengan tergesa-gesa tadi, adalah karena ditelpon temannya.
“Temannya Roy dan Ardian itu kan punya mobil, jadi
pasti dia anak orang kaya.”
“Maksud Mbak, karena dia orang kaya, maka tak mungkin
temannya Pratiwi?” protes Sasmi.
“Bukan merendahkan sih, tapi sekolah Pratiwi kan ya
sekolah biasa-biasa saja, sedangkan temannya Roy itu pastinya sekolah di sekolah-sekolah favorit yang mahal. Maaf, bukan merendahkan Pratiwi sih. Tapi
ya nggak tahu juga sih, aku jadi seperti merendahkan ya?” sesal Ratna.
“Kemungkinan itu ada, entahlah. Ayo Mbak lanjutin ya,
aku mau meracik bumbu,” kata Sasmi sambil berdiri dan mengambil tempat bumbu.
“Anak muda sekarang, banyak yang kurang hati-hati
dalam menjalani pergaulan. Seharusnya bukan asal senang, tapi juga harus
melihat, teman bergaulnya seperti apa,” gumam Ratna yang rupanya masih teringat
tentang kecelakaan yang menimpa teman anaknya.
“Kita beruntung, anak-anak kita tidak larut dalam
kesenangan itu. Semoga kejadian yang menimpa Aira bisa membuka mata mereka,
bahwa mabuk-mabukan bisa menghilangkan kesehatan nurani,” sahut Sasmi.
“Menghilangkan akal sehat,” sambung Ratna.
“Apa itu pacarnya Roy ya?”
“Bukan, mereka bilang bukan pacar dari keduanya.
Mereka hanya berteman.”
“Tapi tampaknya dia mengejar-ngejar Roy. Apa Roy akan
merasa terganggu dengan kejadian itu ya?”
“Ya tidak lah Sas. Kalau tidak ada rasa apa-apa ya tidak
akan terganggu. Yang ada adalah rasa sesal dan berduka.”
“Kalau itu pasti lah. Kehilangan teman juga
menyedihkan, apalagi dengan cara yang sangat tragis.”
“Iya, benar.”
***
Pelayat yang mengantarkan jenazah Aira memenuhi area
pemakaman keluarga yang ditata apik dan rapi. Tak ada wajah cerah diantara
mereka. Semuanya muram, bahkan ada yang berurai air mata.
Di dekat peti, berdiri pak Juwono dan istri, kedua
orang tua Aira, lalu Ratih, adik Aira, dan seorang laki-laki gagah. Laki-laki
itu Bondan, kakak tertua Aira yang bekerja di luar kota, dan baru saja datang.
Dari sekian banyak pelayat, seorang gadis cantik
berpenampilan sederhana, melangkah perlahan mendekati keluarga Aira. Dia adalah
Pratiwi, teman Aira semasa SMP.
“Saya ikut berduka cita Pak,” kata Pratiwi lembut,
lalu mencium tangan pak Juwana. Demikian juga dilakukannya untuk ibu Juwana.
Kemudian Pratiwi mendekati Ratih, memeluknya, dan ikut meneteskan air mata
ketika Ratih memeluknya sambil terisak.
“Aku ikut berduka ya Tih, Aira teman baik aku.”
“Iya Mbak, terima kasih banyak.”
“Ini teman Aira juga kan? Aku seperti tak asing
melihatnya,” kata bu Juwana sambil menunjuk ke arah Pratiwi.
“Iya, saya Pratiwi, teman Aira ketika SMP. Dulu sering
main ke rumah,” jawab Pratiwi sambil tersenyum dibalik wajah duka nya.
“O, Pratiwi ya? Aku tadi sedang mengingat-ingat,
seperti pernah mengenal, ternyata Pratiwi,” kata Bondan yang berdiri di samping
Ratih.
“Iya. Ini Mas Bondan kan?”
“Bagus sekali, senang kamu masih mengingat aku.”
“Mas Bondan tidak berubah sejak dulu,” kata Pratiwi.
“Tetap tampan ya?” godanya.
Pratiwi hanya tersenyum, kemudian berusaha menjauh.
Tapi Ratih kemudian mengikutinya.
“Lama sekali nggak ketemu, Mbak Tiwi sekarang di mana?”
“Aku masih di rumah yang dulu, peninggalan almarhum
ayahku.”
“Seringlah main ke rumah. Setelah mbak Aira meninggal,
aku tak punya teman.”
“Bukankah kamu kuliah?”
“Aku malas kuliah lagi.”
“Kenapa?”
“Biasanya aku selalu bersama Mbak Aira. Sekarang jadi
malas, seringlah datang ke rumah aku ya?”
“Baiklah, setelah selesai berjualan, aku akan ke rumah
kamu.”
“Jualan apa?”
“Aku meneruskan usaha ibuku, jualan sayur, setelah ibu
tidak bisa melihat.”
“Tidak bisa melihat? Maksudnya apa?”
“Ibuku buta karena mengalami kecelakaan.”
“Ya Tuhan, banyak cerita terlewatkan setelah lama kita
tidak bertemu. Dulu Mbak Tiwi sering datang ke rumah.”
“Iya, waktu sekolah, dan aku belum punya pekerjaan.
Selepas SMA aku di rumah, membantu ibu jualan sayur.”
“Mbak, aku juga pengin main ke rumah Mbak Tiwi. Ketemu
ibu. Kan dulu aku sering ikut Mbak Aira main ke sana.”
“Iya Tih, datanglah ke rumah. Ibu pasti senang, dan
masih ingat kok. Tadi juga nangis ketika aku pamit mau melayat kemari."
“Aku balik ke sana dulu, ibu mencari-cari aku, dan
tampaknya sudah saatnya mau dikuburkan, aku harus ikut berdoa.”
“Ya, aku juga akan berdoa untuk sahabat lama aku.”
Ratih sekali lagi memeluk Pratiwi, kemudian
meninggalkannya.
Dulu semasa SMP, Aira dan Pratiwi bersahabat. Karena
kalau Aira kurang mengerti tentang pelajaran sekolah, pasti selalu main ke
rumah Pratiwi untuk bertanya. Pratiwi anak pintar, dan Aira tak bisa lepas dari
sahabatnya ini. Hanya saja ketika SMA, kemudian mereka jarang atau bahkan tak
pernah bertemu, karena mereka melanjutkan di sekolah yang berbeda. Pratiwi
memilih SMA sore, karena harus membantu ibunya.
Kabar meninggalnya Aira sangat membuatnya berduka.
Entah mengapa sampai terjadi kecelakaan itu, Pratiwi belum sepenuhnya tahu. Ratih
hanya saling berkabar dengan dirinya di saat sebelum Aira dimakamkan.
Tapi kemudian ada salah seorang temannya lagi yang
mendekatinya, menceritakan semuanya.
Pratiwi sangat terkejut mendengar Aira meninggal dalam
keadaan mabuk.
“Bagaimana mungkin, gadis sebaik Aira kemudian menjadi
pemabuk?” tanya Pratiwi pada Rahayu, temannya.
“Dia kan anak orang kaya, kemudian salah pergaulan, ya
itulah jadinya,” kata Rahayu.
“Kasihan sekali Aira, beberapa tahun tidak bertemu,
ketika melihatnya, sudah dalam keadaan seperti itu.”
Pratiwi tak tahan untuk tidak mengusap air matanya.
***
Pratiwi masih berjalan di area pemakaman itu sambil
terus menyesali kepergian sahabat lamanya. Sesekali ia mengusap air matanya,
ketika mengingat, betapa dekatnya mereka waktu itu. Lalu keadaan memisahkan
mereka. Aira melenggang ke sekolah yang lebih bergengsi, dan dirinya melanjutkan
sekolah yang bisa dijalaninya sambil bekerja.
“Pratiwi! Itu Pratiwi kan?” teriak Roy yang beriringan
dengan Ardian.
“Sssh, jangan berteriak. Ini bukan di rumah kamu,” tegur
Ardian, yang kemudian ikut bergegas mengiringi langkah Roy.
“Tiwi!” teriak Roy lagi saat sudah dekat.
Pratiwi yang masih berjalan di samping Rahayu,
kemudian berhenti.
“Mas Ardian? Mas Roy?”
“Ternyata kamu juga melayat kemari,” sapa Ardian.
“Iya, Aira teman sekolah saya. Mas juga kenal?”
“Iya, kami berteman. Kalau tahu kamu juga melayat,
pasti tadi aku samperin,” kata Roy seenaknya, lupa bahwa saat melayat ke pemakaman tadi
berangkatnya dari kantor, bukan dari rumah yang berdekatan dengan rumah
Pratiwi.
“Nggak apa-apa.”
“Ayo pulangnya bareng,” ajak Ardian.
“Tidak, terima kasih.”
“Kenapa tidak? Kita sejalan kan?” nekat Roy.
“Tidak usah, saya membawa sepeda.”
“Sepeda motor?”
“Sepeda biasa. Mana saya punya sepeda motor?”
“Ah, sayang sekali,” kata Roy kecewa.
“Sudah Mas duluan sana, saya harus mengambil sepeda di
penitipan.”
“Ya sudah, kamu hati-hati ya Wi,” pesan Ardian.
“Ya Mas, terima kasih.”
Mereka menuju ke tempat parkiran mobil, dan Pratiwi menuju
ke arah dimana sepedanya ditinggalkan, sementara Rahayu sudah pergi duluan
ketika temannya disapa oleh dua orang pemuda tampan.
Pratiwi mengambil sepedanya, lalu bersiap menaikinya.
Tapi tiba-tiba disadarinya, bahwa sepedanya gembos. Pratiwi kebingungan.
Menoleh ke sana-kemari, mencari di mana ada tukang reparasi sepeda yang
biasanya bisa meminjamkan pompa.
Ia masih berjalan sambil menuntun sepedanya, ketika sebuah
mobil berhenti tepat di sampingnya, membuatnya hampir terjatuh karena terkejut.
“Hiih, kenapa sih, mobil jalannya minggir banget
begitu?” gerutunya sambil cemberut. Tapi tak di sangka, pengemudi mobil itu turun
dan mendekatinya.
Pratiwi masih terus menuntun sepedanya.
“Tiwi! Kenapa sepeda kamu?”
Pratiwi terkejut. Melihat ke arah siapa yang
menyapanya.
“Oh, Mas Bondan?”
“Sepeda kamu kenapa?”
“Nggak tahu nih, gembos. Bocor barangkali.”
Bondan menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampaknya juga
mencari tukang tambal ban. Tapi di sekitar tempat itu tak ada.
“Di sekitar tempat ini tak ada tukang tambal ban Wi,
ayo aku antar saja.”
“Mana mungkin, saya kan bawa sepeda. Nggak apa-apa,
biar saya bawa saja, di depan sana pasti ada.”
“Jangan, jauh, tahu.”
“Nggak apa-apa Mas, biar saja,” kata Pratiwi yang
sungkan karena Bondan terus mengikutinya.
“Begini saja. Tolong berhentilah dulu. Jangan pergi ke
mana-mana,” kata Bondan sambil bergegas menuju ke arah pemakaman kembali.
Pratiwi bingung, tak tahu apa yang akan dilakukan
Bondan, tapi untuk terus berjalan, dia sungkan, karena Bondan memintanya untuk tidak pergi ke mana-mana. Iapun menunggu, barangkali Bondan akan meminjam pompa
sepeda dari entah siapa.
Tapi ketika Bondan kembali, ia tidak sendiri. Ia datang
bersama seorang laki-laki setengah tua yang masih tampak gagah, memakai celana
kombor pendek sebatas lutut.
“Tiwi, biar sepedamu dibawa pak Jogo.”
Pratiwi membiarkan laki-laki yang dipanggil pak Jogo
itu. Ia merasa lega, karena rupanya pak Jogo tahu, di mana tempat tukang tambal
ban.
“Ayo, kamu ikut aku saja,” kata Bondan.
Pratiwi terkejut. Tak tahu apa yang dimaksud Bondan.
“Bagaimana sih Mas, aku tak bisa meninggalkan sepeda
aku begitu saja. Kan aku setiap pagi harus ke pasar.”
“Iya, aku tahu, tapi pak Jogo juga harus mencari dulu tukang
tambal ban yang tempatnya jauh dari sini. Jadi ayo ikut aku saja.”
“Tap … ppi…,”
“Ayo, ikut saja, aku sudah tahu di mana rumah kamu,”
katanya sambil membukakan pintu depan mobil.
“Aku … maaf, tidak bisa. Sepeda itu sangat aku
butuhkan saat_”
“Ya aku tahu, nanti pak Jogo yang mengurusnya. Kamu
tidak perlu khawatir, aku sudah memberi tahu alamat kamu, nanti entah bagaimana
caranya, pak Jogo pasti akan mengantarkan sepeda kamu sampai di rumah.”
Pratiwi masih ragu-ragu, tapi perlahan ia memasuki
mobil Bondan.
“Siapa pak Jogo?” tanya Pratiwi yang masih
menghawatirkan sepedanya.
“Pak Jogo itu, orang yang bertugas menjaga makam
keluargaku, mulai dari kakek buyut, nenek buyut, nanti sampai kalau aku juga
meninggal,” terang Bondan sambil menjalankan mobilnya.
Pratiwi menoleh ke arah Bondan, perkataannya yang
terakhir membuatnya merinding. Teringat olehnya Aira yang baru saja dimakamkan.
“Sekarang kamu percaya?”
“Merepotkan saja.”
“Tidak, kenapa merepotkan?”
“Dan aku belum memberinya uang untuk ongkos menambal.”
“Jangan khawatir. Kamu tidak usah memikirkannya.”
Pratiwi diam. Dibayangkannya kalau dia harus berjalan
entah berapa kilometer untuk menemukan tukang tambal ban, sementara makam
keluarga Juwana berada di pinggiran kota.
“Terima kasih.”
“Kalau pagi kamu punya kesibukan apa?”
“Aku membantu ibuku berjualan sayur.”
“Di pasar?”
“Tidak. Aku membelinya di pasar, kemudian menjualnya
di dekat rumah.”
“Lama sekali tidak mendengar tentang kamu, sejak Aira
lulus dari SMP.
“Ya, karena aku harus sekolah sambil jualan. Ibuku
sudah tak bisa melakukannya.”
“Ibu kamu sudah tua?”
“Sebetulnya belum sangat tua, masih sehat secara
fisik. Tapi dia buta.”
“Apa? Ibu kamu … buta? Dulu kami kan pernah bertemu
saat aku menjemput Aira yang sedang belajar bersama kamu?”
Karena kecelakaan. Mata ibu terkena pecahan kaca,
menyebabkannya menjadi buta.”
“Ibumu tertabrak mobil?”
“Iya. Mobil orang mabuk. Setelah menyerempet ibuku,
mobilnya menabrak pohon. Pecahan kaca mengenai kedua mata ibuku,” kata Pratiwi
sedih.
Bondan sangat terkejut, bukan hanya karena mendengar
kisah pilu yang dialami bu Kasnah, tapi juga mendengar bahwa penabraknya adalah
orang mabuk. Ingatannya melayang ke arah Aira, yang karena salah pergaulan,
maka mengalami kecelakaan dalam keadaan mabuk, yang berakibat merenggut
nyawanya.
Bondan menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya
kasar.
“Aku prihatin tentang Aira.”
“Setelah aku bekerja di luar kota, tak ada yang
mengawasinya. Dulu kemana-mana aku selalu mengantarnya. Bapak dan ibu sangat
memanjakannya, tanpa sadar dengan siapa Aira bergaul. Tapi ya sudahlah,
semuanya sudah terjadi.”
Pratiwi diam, kedesihan kembali melingkupi hatinya.
“Waduh, kenapa pula mobil itu?” kata Bondan tiba-tiba,
ketika melihat mobil berhenti di tepi jalan, dan dua orang laki-laki sedang berusaha
mencopot ban belakangnya.
Serta merta Bondan menghentikan mobilnya.
“Perlu bantuan Mas?” kata Bondan sambil turun.
Tapi Pratiwi terkejut melihat siapa mereka.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteeSBeKa eps 5;sdh tayang
Eps.4 to, kek?😚
DeleteIya..... kesusu
DeleteYang benar eSBeKa episode 04, Jum'at 27 Januari 2023
Maaf...... matur nuwun mas Nna Yang koreksine....
manusang bu Tien, bu Tien pancen hebat tamu pulang langsung nulis seperti air mengalir terus selesai kemudian tayang. piawai dlm menulis dan menetaskan ide.
DeleteMatur nuwun mbakyu, sugeng dalu, ugi salam kagem kangmas Tom Widayat
ReplyDeleteWa'alaikum salam mas Djoko Rianto
DeleteLho kok? Keren bu Tien ngebut...katanya ada tamu ga sempat nulis...😀👍👍
ReplyDeleteTamune ko Semarang (kanca sekolah) kundor langsung ngebut ngetik nang laptopnya..... Alhamdulillah beres trus tayang.
DeleteTerima kasih bu Tien..... demi para penyemangatnya, gak peduli capek tetep nyerat
Kirain gak ada... Makasih bu...
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah hadir..,..
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, SB04 telah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur suwun
ReplyDeleteIni dia ada orang ketiga, Roy dan Ardian tidak boleh ngiri. Maka ceritanya makin tambah asik.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulah....akhirnya tayang...
ReplyDeleteAlhamdulillah SB04 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu
Aamiin
Alhamdulillah ..terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,
Walah nasib mu Wi Tiwi, nggak mau dianter dua cowok ganteng malah semobil sama Bondan, tapi kan pas sepedanya gembos hé hé hé hé.
ReplyDeleteIh kaya apa sewotnya dua anak Luminto, kok mau tuh semobil sama Bondan, Adrian dan Roy kemana mana berdua, takut hilang ngkali, repot donk kalau naksir gadis terus salah satu harus mengalah gitu kaya pesan ibu mereka.
Waduh rupanya kena ranjau paku rupanya, tuh sepeda Tiwi juga; jadi terpaksa diantar Bondan, jangan jangan Roy nggak tahu Bondan itu kakak Aira; pakai njenggureng semu nesu malah kåyå unta, nganggo ndingkluk sithik.
Dipisah Wi, jangan sampai ribut kasih tahu kalau itu kakak almarhumah, masalahnya sama sama cari jodoh tuh orang, kalau Tiwi mau disuruh kuliah lagi kan ditawari sama Bu Ratna tadi.
Jadi klething kuning nih critané; iyå tapi kan nggak mambu bêsêngèk.
Cah saiki ora ngêrti klêthing kuning, ngêrtiné Cinderella, åpå putri salju; kalau deket bikin adem ayem ya.
Kuwi nini Sadem jare simbah, deket deket si dia bikin adem.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke empat sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat dan selalu semangat. Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~04 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Kumalasari cerbung SB episode 04 sampun tayang. Salam sehat tuwin Salam taklim kagem keluargo .
ReplyDeleteTrims Bu Tien....salam sehat selalu Bu tien
ReplyDeleteTerima kasih bunda cerbungnya..semoga bunda sht selalu dan tetap semangat .slm seroja dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteLoooo ternyata tayang katanya ada tamu ,,tak tinggal tidur,,,,weeellaa ,,,aku bangun pagi sdh siap saji ,,hebat jeng Tien ngebut,,,salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat, bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteTerima kasih bu tien.. alhamdulilah sb 4 sdh tayang
ReplyDeleteNungguin sampe ketiduran ...semoga bu tien sll sehat dan dalam lindungan Allah SWT aamiin yra
Alhamdulillah , terlambat ternyata kmrn tayang baru sempat buka , Terima kasih bu tien semoga sehat walafiat
ReplyDeleteAlhamdulilah, mbakyu,Tienkumalasari sudah sehat kembali, matur nuwun SB epsd 4 inggih, salam aduhaai dan kangen dari Cibubur ya
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 04 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSudah jam setengah dua belas eSBeKa_05 kok blm tayang ya ???
ReplyDeleteSemoga bunda Tien Kumalasari sehat wal afiat.