Tuesday, January 31, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 07

 

SETANGKAI BUNGAKU  07

(Tien Kumalasari)

 

“Toloong,” Pratiwi berteriak lagi. Bu Kasnah berhenti melangkah.

“Ada apa?” tanyanya kebingungan.

“Jambret bu, tas punya Tiwi dijambret …”

“Waduh, isinya apa?”

 “Isinya uang Bu, uang buat belanja besok, uang dari ibu siang tadi, dan uang dari pak Luminto.,” kata Pratiwi setengah terisak.

Sementara itu Roy dan Ardian yang hampir sampai ke rumah, melihat bu Kasnah dan Pratiwi, serta mendengar Pratiwi berteriak-teriak.

“Toloong, jambreeeet.”

“Jambret?”

Ardian segera memutar mobilnya, memacunya kencang. Jalanan tampak lurus, tapi sudah agak sepi. Ada pengendara sepeda motor berlari kencang, dan ada yang meneriakinya.

“Itu. Pasti itu jambretnya.”

“Waduh, bisa tersusul nggak nih, dia sudah jauh. Belum lagi kalau dia belok,” keluh Ardian.

Tapi Ardian terus memacu mobilnya, sambil membunyikan klaksonnya panjang-panjang, berharap si jambret panik.

Dan itu benar, ketika di sebuah belokan dia ingin ke kiri, tiba-tiba sepeda motornya oleng dan terjatuh.

Ardian semakin dekat. Pengendara sepeda motor itu berusaha bangkit lagi, tapi keburu mobil Ardian sudah sampai di depannya. Roy melompat turun.

“Kamu jambret kan?”

“Buk ..bukan … bukan … tadi ke sana, aku melihatnya,” katanya mencoba mengelak, lalu berusaha naik ke atas sepeda motor yang mesinnya masih hidup. Tapi Roy segera menariknya, sehingga si jambret terjerembab jatuh. Dan tas kecil yang semula disembunyikan di balik baju kaosnya, terlempar. Ardian mengambilnya.

“Ini punya siapa?” hardik Ardian.

Roy tak sabar, segera menghajar jambret itu sehingga jatuh tersungkur.

“Ampuun, maafkan saya. Saya … terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa Terpaksa menjadi jambret? Maling? Lalu apa lagi?”

“Tidak, baru sekali ini, itu karena anak saya sakit, saya tidak bisa membeli obatnya. Tolong maafkan saya,” katanya menghiba.

“Bohong!!” bentak Roy sambil menempeleng wajahnya lagi.

“Auggh, tolong lepaskan saya, istri saya menunggu. Sungguh, saya berani sumpah. Rumah saya tidak jauh dari sini, sampeyan boleh melihatnya. Anak saya … butuh obat …” rintihnya.

“Baiklah, kamu boleh pulang, aku akan mengikuti kamu. Kalau sampai kamu bohong, maka aku tidak hanya akan menghajarmu, tapi juga menghabisimu!” ancam Roy dengan bengis.

“Baik, baiklah …. “

Laki-laki itu masih muda, kalau dia bilang anak dan istri, pastinya belum lama menikah dan anaknya masih kecil. Ardian mengikutinya, lalu laki-laki itu masuk ke halaman kecil, dan rumah sederhana yang pintunya tertutup.

“Laki-laki itu mengetuk pintunya, seorang wanita muda keluar sambil menggendong bayi yang merintih-rintih.”

“Bagaimana Mas? Kita ke dokter? Badannya semakin panas,” keluh istrinya yang tidak melihat betapa wajah suaminya lebam-lebam.

“Aku … tidak berhasil mendapatkan uang,” keluhnya lemah, sambil meminta anaknya dari gendongan istrinya.

“Panas sekali.”

“Lalu bagaimana ini?” sang istri mulai menangis.

Tiba-tiba Ardian dan Roy mendekat.

“Bu, bawa anaknya masuk ke mobil, saya akan mengantarkan ke rumah sakit,” kata Ardian.

“Apa? Anda siapa?”

“Sudahlah, nanti tanyakan pada suami Ibu, siapa saya. Yang penting anak Ibu harus segera mendapat penanganan.”

“Tapi … kami tak punya uang,” isak sang istri.

“Sudahlah, nanti kami akan membayar semua biayanya.”

“Ayo Bu, kita menurut saja,” kata suaminya lemah, yang mau tidak mau menuruti kemauan kedua orang yang baru saja menghajarnya, tapi kemudian ingin menolongnya.

Sang istri mengangguk. Ia mengikuti suaminya yang sudah masuk ke mobil terlebih dulu. Tak terpikirkan apa yang nanti akan terjadi, yang penting anaknya segera mendapat pengobatan.

Di sepanjang perjalanan, terdengar si bayi meringik-ringik, dan sang ibu berusaha menenangkannya.

Ardian menghentikan mobilnya di halaman rumah sakit, lalu meminta petugas untuk membawa si anak ke ruang IGD.

Roy menuju ke pendaftaran, setelah menanyakan nama laki-laki itu dan bayinya. Ia meninggalkan sejumlah uang, dan juga kartu namanya.

“Rawat bayi itu sampai sembuh. Kalau ada kekurangan, telpon saya,” pesan Roy.

Laki-laki itu duduk di samping istrinya dengan wajah pucat. Rupanya sang istri baru melihat wajah suaminya yang lebam matang biru, kemudian sang suami menerangkan apa yang terjadi. Perasaan malu mendera sang istri, yang kemudian mendekati Ardian dan bersimpuh di hadapannya.

“Hei, apa yang Ibu lakukan?”

“Mohon maafkanlah suami saya,” isaknya.

“Berdiri lah, kami sudah melupakannya. Lain kali kami harap suami ibu melakukan hal yang baik walaupun keadaan memaksa,” pesan Ardian.

“Iya, saya bingung, saya khilaf,” kata laki-laki itu yang kemudian ikut berlutut.

“Sudah, sudah … berdirilah, saya sudah membayar semua biaya, kalian tidak usah khawatir. Sekarang kami akan pulang untuk mengembalikan dompet ini,” kata Ardian sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan kepada laki-laki tersebut, yang tentu saja tidak ditolaknya karena mereka membutuhkannya. Mereka kembali membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih.

“Ternyata Bapak-Bapak adalah orang yang berhati mulia, terima kasih Pak, terima kasih.”

***

Pratiwi terisak di sebuah kursi tua, sementara yu Kasnah duduk di depannya.

“Ya sudah, mengapa kamu menangis? Barang yang sudah hilang ya sudah, ikhlaskan saja.”

“Nano minta uang untuk membayar sekolah, saya janji besok pagi. Dan uang itu ada di tas kecil yang dijambret. Semuanya. Besok kita tidak bisa jualan Bu,”

“Sebuah cobaan tidak harus membuat kita jatuh dan tak mampu bangkit lagi. Percayalah bahwa Allah pasti akan memberi jalan untuk kita. Hentikan tangismu, nanti adikmu mendengar, lalu dia mogok tidak mau sekolah seperti beberapa waktu yang lalu. Tahu kita tak punya uang waktu dia meminta, lalu dia memilih berhenti sekolah. Jangan sampai hal itu terjadi. Hentikan tangismu.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita juga belum bayar sewa rumah, dua hari lagi pasti ditagih.

“Masih ada uang sedikit di bawah bantal ibu. Entah berapa, cukup atau tidak untuk bayar sekolah Nano.”

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Aduh, siapa lagi itu, jangan dibuka, ini sudah malam, jangan-jangan orang jahat,” kata yu Kasnah khawatir.

“Tiwi … buka pintunya Tiwi …”

“Suara siapa itu? Seperti suara putranya pak Luminto?” kata yu Kasnah yang kemudian memberi isyarat agar Pratiwi membukakan pintu.

“Ada apa malam-malam kemari?” gerutu Pratiwi sambil menuju ke arah pintu dan membukanya.

“Mas Roy? Mas Ardian? Ada apa malam-malam datang kemari?” tegur Pratiwi.

“Aku mau mengembalikan ini,” kata Ardian sambil menyerahkan tas kecil milik Pratiwi. Tentu saja Pratiwi terkejut.

“Ini? Ini tas saya?”

“Coba lihat, punya kamu atau bukan, kalau bukan, akan aku kembalikan sama penjambret itu,” goda Ardian.

“Ini, memamg punya saya.”

“Ada apa, suruh mereka masuk,” kata yu Kasnah.

“Masuklah Mas, aduh, bagaimana Mas bisa mengambil kembali tas saya?”

“Tas kamu kembali Wi?”

“Iya Bu, ini, isinya masih utuh.  Entah bagaimana mas Ardian bisa membawanya kembali.”

“Bagaimana pula nak Ardian dan nak Roy bisa tahu kalau tas Pratiwi dijambret?”

Pratiwi mempersilakan keduanya duduk.

“Kami baru pulang dari pengajian di rumah Aira, lalu kebetulan melihat peristiwa itu.”

“Oh, jadi Mas melihatnya? Lalu mengejarnya?”

“Iya benar. Tapi kasihan benar. Jambret itu ternyata melakukannya dengan terpaksa, karena anaknya sakit.”

“Apa? Menjambret dengan alasan anaknya sakit?”

Lalu Ardian menceritakan semua yang terjadi, sampai dia mengantarkan anak si jambret tersebut ke rumah sakit.

“Ya ampun, kasihan bener kalau begitu. Tahu begitu kenapa nggak minta saja, aku tidak keberatan memberi sebagian uangku,” gumam Pratiwi.

“Kami sudah membawanya ke rumah sakit, dan membayar semua biayanya.”

“Syukurlah kalau begitu. Mendengar kisahnya kok ya jadi kasihan ya Bu.”

“Iya, biarpun kita tak punya, kalau memang harus berbagi, mengapa tidak?” sambung yu Kasnah yang sudah merasa lega, uangnya tak jadi hilang.

***

Pagi hari itu, sebelum berangkat ke kantor, Roy bercerita dengan heboh tentang petualangannya bersama Ardian, semalam. Bukannya senang, Ratna justru khawatir.

“Kamu itu jangan suka nekat begitu Roy, melawan jambret tidak sekedar menangkap kemudian memukulinya. Kadang-kadang dia membawa senjata. Kalau melawan, bagaimana?”

“Tidak Bu, jambret itu bukan jambret profesional,” jawab Roy sambil tertawa.

“Apa maksudmu?” tanya Sasmi.

“Dia menjambret karena butuh uang, anaknya sakit.”

“Itu kan alasannya?”

“Tidak. Kami mengikutinya sampai di rumahnya, dan ternyata benar, anaknya sakit, istrinya sampai nangis-nangis.”

“Lalu kamu beri mereka uang?” tanya ayahnya.

“Kami mengantarkan mereka ke rumah sakit, tampaknya anaknya butuh perawatan.”

“Biayanya?”

“Sudah, Bapak jangan khawatir. Kami sudah menyelesaikannya,” sambung Ardian.

“Syukurlah. Betul begitu, menolong orang jangan setengah-setengah. Apa lagi dia memang butuh pertolongan.”

“Kami kan putra Bapak, jadi kami melakukan apa yang selalu Bapak lakukan, ya kan Ar?”  kata Roy. Ardian hanya mengangguk.

“Kasihan kalau tas Pratiwi benar-benar hilang, mereka kan dari sini, sudah agak malam juga,” kata Sasmi.

“Oh iya, yu Kasnah memijit Bapak semalam kan?”

“Itu sebabnya Pratiwi tidak bisa datang di acara pengajian, semalam.”

“O, itu sebabnya?” tukas Ardian.

“Pantesan Bondan nggak datang bersama Pratiwi, rupanya Pratiwi menolak.”

“Siapa Bondan?”

“Bondan itu kakaknya Aira.”

“Kalian juga kenal?”

“Baru saja kenalnya, sebelum ini kan Aira tidak pernah memperkenalkan kakaknya.”

“Ya sudah, ayo kita berangkat, nanti kesiangan sampai di kantor,” kata pak Luminto.

***

Ketika pulang dari sekolah, Nano memberikan kartu pembayaran sekolah yang sudah dibayarkan.

“Bagus No, alhamdulillah sudah terbayar. Kamu belajar yang rajin ya, sebentar lagi kenaikan kelas.”

“Tapi Mbak, tadi ada pengumuman, bahwa nanti akan ada pendaftaran ulang, sebelum masuk ke kelas baru.”

“Pendaftaran ulang? Seperti tahun-tahun sebelumnya ya?”

Pratiwi ingat, bahkan bukan untuk Nano, tapi dirinya sendiri juga, bahwa setiap memasuki tahun ajaran baru harus melakukan daftar ulang, yang bagi keluarga yu Kasnah, pembayaran itu cukup berat. Tapi Pratiwi selalu bisa menyisihkannya untuk itu. Hanya saja, kali ini berbarengan dengan saat harus bayar sewa rumah.

“Bagaimana Mbak?”

“Apa?” Pratiwi terkejut karena sedang melamun.”

“Itu, uang daftar ulang.”

“Oh iya, apa harus dibayar sekarang?”

“Katanya paling lambat Minggu depan.”

“Baiklah, berarti masih ada waktu untuk mengumpulkan uang lagi. Kamu jangan khawatir. Yang penting, tugas kamu harus belajar dan berhasil. Ya No.”

Nano mengangguk senang kemudian meninggalkan kakaknya yang sedang menata sisa dagangannya di dapur, sambil melamun.

“Dagangan sedang sepi, karena ada pesaing. Tidak apa-apa sih sebenarnya, kan rejeki yang mengatur dari Atas Sana. Tapi kalau kebutuhan menumpuk, bagaimana? Sementara penghasilan ibu memijit juga tidak bisa terlalu diharapkan, apalagi ibu kan sudah tua, kalau terlalu sering memijit juga pasti kecapekan. Kalau aku harus mencari pekerjaan lain, kemana yang bisa menghasilkan uang lebih banyak? Lulusan SMA tidak bisa berharap mendapat penghasilan lebih. Paling juga sama dengan penghasilan aku jualan, atau bahkan lebih sedikit.”

“Tiwi,” suara ibunya dari arah depan.

Pratiwi segera mendekat.

“Ya Bu.”

“Barusan tetangga sebelah bilang, ada saudaranya yang datang dari luar kota, minta dipijit malam nanti.”

“Oh, dekat kan, rumah bu Mirna?”

“Bukan di situ, saudaranya menginap di hotel.”

“Hotal mana?”

“Agak jauh katanya, tapi dia bersedia mengantar.”

“Sebaiknya tidak usah saja Bu, Ibu sudah memijit terus selama tiga malam ini. Kalau nanti memijit lagi, nanti ibu kecapekan.”

“Tapi aku sudah bilang bersedia tuh.”

“Jangan Bu, jaga kesehatan Ibu. Nanti kalau Ibu kecapekan, lalu sakit, malah tidak bisa memijit lagi.”

“Tapi ibu sudah berjanji.”

“Nanti Tiwi yang bilang, bahwa Ibu harus istirahat, gitu.”

“Katanya Nano butuh uang.”

“Benar, tapi bukan dengan memeras keringat, bagi ibu itu berat. Bukankah memijit itu mengeluarkan tenaga besar?”

“Iya sih. Ya sudah, terserah kamu saja. Asal kamu bilang baik-baik, jangan sampai membuat orang tersinggung.”

“Iya Bu, Tiwi mengerti.

***

Pagi hari itu Tiwi baru saja membersihkan tempat dia berjualan, karena sudah sepi pembeli. Tiba-tiba, bu Margono pemilik rumah datang mendekat.

“Tiwi, kamu kan tidak lupa, bahwa sekarang saatnya membayar sewa rumah?”

“Oh iya Bu, saya ingat kok.”

“Tapi begini Wi, karena aku sedang butuh uang, aku minta untuk kali ini dibayar dobel dua tahun ya?”

“Dua tahun?”

***

Besok lagi ya.

38 comments:


  1. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~07 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  2. Terima kasihnbubTien episode 07 sdh ditayangkan.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI, nggihhhhh
    Lanjooooot...

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 07 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . . .

    ReplyDelete
  5. 🦋⚘🍃⚘🍃⚘🍃🦋
    Alhamdulillah SB 07 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Semoga sehat selalu
    dan tetap smangaaats...
    Salam Aduhai...
    🦋⚘🍃⚘🍃⚘🍃🦋

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah..
    Terima kasih Bu Tien.
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillaah SB hadir
    Makasih bunda, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Selamat malam bu-Tien, sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah, twroma kasih sb sdh tayang ..berat benar beban tiwi ...smg diberi kemudahan. Salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku,SB07 telah tayang.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ...
    Maturnuwun bu Tien...
    Sugeng nDalu, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  13. Agak aneh ya...masa semua uangnya dibawa Tiwi ke rumah kel.Luminto? Kalau jadi dijambret kan hilang semua? Malah HP tidak disebut dibawa...bu Tien belum menjelaskan juga kenapa Tiwi yang sederhana perlu punya HP (yang pastinya berguna untuk komunikasi dengan pelanggan sayur dan pijit ibunya).😀

    ReplyDelete
  14. Begitu berat perjuangan Tiwi. Tapi bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Kumalasari, cerbung Setangkai Bungaku Episode 07 sudah tayang.
    Salam sehat dan tetap semangat..!!

    ReplyDelete
  16. Terima kasih mbak Tien. Didoakan semoga sehat selalu. Salam sejahtera.

    ReplyDelete
  17. Kasihan tiwi, bebannya jadi triple. Daftar ulang utk nano, uang sewa utk 2 thn, dan biaya utk sehari hari.
    Terima kasih mbak Tien

    ReplyDelete
  18. Matursuwun mbakyu, sehat selalu 🧕

    ReplyDelete
  19. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,

    ReplyDelete
  20. Matur suwun bunda..slmseroja dri skbmi🙏😍🌹

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat,,

    Sabar Tiwi,,,,

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, Matursuwun bu Tien
    Salam sehat selalu,,

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...