Wednesday, February 1, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 08

 

SETANGKAI BUNGAKU  08

(Tien Kumalasari)

 

Pratiwi masih memegang sapu lidi yang dipergunakan untuk membersihkan bekas tempatnya berjualan, belum mampu menjawab apapun, sementara bu Margono sang pemilik rumah masih berdiri di depannya, menunggu.

“Bagaimana Wi? Dagangan kamu kan laris, pasti bisa lah.”

“Maaf Bu, tapi saya baru menyediakannya untuk setahun. Kalau dua tahun, berarti saya harus membayar sepuluh juta, mana saya bisa Bu.”

“Rumah yang aku sewakan untuk kamu itu sudah terbilang sangat-sangat murah lgo Wi, mana ada, mengontrak rumah setahun lima juta?”

“Iya Bu, saya tahu. Tapi saya tidak siap untuk membayar dua tahun, mana adik saya juga butuh biaya sekolah juga.”

“Tapi aku sedang sangat butuh Wi, rumahku perlu perbaikan, karena banyak yang bocor, jadi tolong mengertilah.”

“Saya mengerti Bu, tapi saya mana mungkin bisa memenuhi? Tolonglah bu, saya kan hanya berjualan sayur yang sekarang sedang sepi.”

“Kamu yang harus menolong aku Wi.”

“Tapi sungguh Bu, saya belum bisa, coba kira-kira pertengahan tahun, sementara saya sudah bisa menabung.”

“Bagaimana kamu ini, pertengahan tahun kan masih lama, sedangkan saya butuh sekarang.”

“Tolonglah Bu ….” Pratiwi hampir menangis.

“Ya sudah, tambahin untuk setengah tahun lagi saja, sebenarnya itu kurang, tapi bagaimana lagi, kalau tidak sedang butuh, mana mungkin aku minta Wi.”

“Tapi Bu ….”

“Aku tunggu sampai besok ya Wi,” kata bu Margono sambil melangkah pergi, tanpa belas.

Pratiwi benar-benar meneteskan air matanya. Ia melanjutkan bersih-bersih, kemudian baru masuk ke rumah. Tapi tanpa disangka, ibunya sudah duduk di meja dapur.

“Kok ibu duduk di sini? Ibu mau makan?”
“Tidak, tadi kan sudah makan?”

“Barangkali Ibu lapar lagi.”

“Wi, aku tadi seperti mendengar suara bu Margono di depan sana?”

“Iya Bu, kan saatnya kita harus membayar sewa rumah.”

“Sudah kamu bayar? Kan uangnya sudah kamu siapkan?”

“Iya sih Bu, tapi belum Tiwi berikan.”

“Kenapa? Kan sudah siap?”

“Soalnya, bu Margono minta dibayar dua tahun sekalian, dan akhirnya minta tambah setengah tahun lagi saja.”

“Tumben dia begitu. Biasanya kan juga dibayar per tahun.”

“Nggak tahu Bu, katanya mau dipergunakan untuk memperbaiki rumah.”

“Lalu kamu jawab apa?”

“Saya bilang kalau belum punya, dia nggak mau dengar. Katanya ditunggu besok pagi,” kata Pratiwi sedih.

“Uang untuk Nano masih ada?”

“Ada Bu, kan masih minggu depan bayarnya? Tapi belum cukup juga sih Bu, Tiwi masih mau ngumpul-ngumpulin.”

Kalau begitu bilang saja sama bu Minar, nggak apa ibu memijit sekali itu saja. Bisa buat nambah-nambah kan?”

“Tapi ibu harus istirahat.”

“Tidak apa-apa. Kalau sudah biasa bekerja, capeknya tidak terasa.” 

"Tapi Tiwi sudah bilang bahwa ibu tidak bisa.”

“Tamunya ada beberapa, dan masih lama menginap, katanya kalau tidak bisa kemarin itu,  bisa lain hari.”

“Benar, ibu tidak akan capek? Kemarin dia bilang tamunya tidak hanya satu lho Bu, bisa berjam-jam ibu melakukannya.”

“Tidak apa-apa, ibu sudah biasa.”

“Nanti Tiwi akan bicara lagi sama bu Minar. Tapi sebenarnya Tiwi khawatir kalau sampai Ibu kecapekan."

“Sudahlah, turuti saja apa kata ibu, dari pada kita tidak bisa membayar uang sewa rumah yang untuk warung itu. Bukankah itu juga tempat untuk kita mengais hidup?”

“Benar sih Bu.”

Pratiwi tampak terdiam.

“Bagaimana kalau kita lepaskan saja rumah itu?”

“Maksudmu rumah yang kita pakai untuk jualan? Lalu kita akan jualan di mana?”

“Kalau di rumah kita sendiri ini saja, bagaimana?”

“Mana mungkin ada yang mau belanja di rumah yang terlalu masuk seperti rumah kita. Selamanya kita memakai rumah bu Margono yang terletak di tepi jalan itu untuk berjualan.”

“Iya juga sih Bu, di tepi saja sudah agak sepi, apa lagi kalau terlalu masuk seperti rumah kita ini.”

“Ya sudah, memang harus begitu, kita tetap harus berusaha. Dan sekarang Allah telah memberi jalan, walau sedikit, kan bisa untuk menambah kebutuhan?”

“Iya Bu, baiklah, nanti aku akan bicara dengan bu Minar.”

Tiba-tiba terdengar dering pesan singkat memasuki ponselnya, Pratiwi lalu membukanya.

“Pesan dari bu Sasmi, besok nitip sayuran supaya dikirim ke rumah.”

“Oh, syukurlah.”

***

Sore itu Pratiwi memasuki rumah bu Minar, tetangga sebelah yang memesan tukang pijit untuk tamunya.

“Permisi Bu.”

“O, Tiwi, ada apa lagi?”

“Ini Bu, kata ibu saya, kalau masih mau membutuhkan tukang pijit, ibu ternyata bisa.”

“Lho, kamu bilang nggak bisa. Tapi dia akan ada di sini selama beberapa hari, bahkan ada temannya. Sebenarnya kalau yu Kasnah bisa, ada beberapa yang mau dipijit. Tapi malam ini katanya mau ke luar kota dulu.”

“Belum jadi ya Bu?”

“Belum sih, aku sedang mencari yang lain, tapi bukan malam ini. Besok. Ibumu bisa?”

“Bisa Bu, nanti saya antarkan saja.”

“Aku juga bisa mengantar. Tapi kalau kamu tidak tega, ya kamu bisa ikut dan menunggu di sana.”

“Iya Bu, saya ikut saja. Nggak apa-apa menunggu lama.”

“Baiklah, aku akan mengabari mereka dulu.”

Lalu bu Minar menelpon tamunya.

“Iya Pak, ternyata kalau besok dia bisa. Sudah terkenal, dan pasti semua letih lelah akan hilang kalau sudah dipijit. Baiklah, saya sendiri besok yang akan mengantar. O, ada yang lain? Boleh saja, selama tiga hari? Pasti bisa. Baik. Terima kasih.”

Bu Minar tersenyum.

“Benar kan Wi, besok bisa, ada temannya yang mau dipijit juga. Besok kamu siap setelah maghrib ya.”

“Baik Bu, akan saya sampaikan.”

***

Pagi hari itu Pratiwi belanja agak banyak, karena Sasmi memesan macam-macam. Katanya akan ada arisan di rumah pada sore harinya.

Maka sebelum menggelar dagangannya, dia bergegas ke rumah keluarga Luminto untuk mengantarkan pesanan itu.

“Wah, bagus Wi, kamu pagi-pagi sudah datang. Sebenarnya nanti setelah kamu tutup, tidak apa-apa, karena kami akan memasak siang hari nanti.”

“Tidak apa-apa Bu, sekalian.”

Bu Ratna tampak mengambilkan uang dari catatan yang diberikan Pratiwi.

“Kabarnya kamu habis kecopetan Wi?” tanya Sasmi.

“Oh, iya bu, tiga hari yang lalu. Tapi tidak jadi, karena pertolongan mas Ardian dan mas Roy. Syukurlah. Padahal semua uang dan termasuk ponsel saya ada di situ. Untunglah penjambret itu belum membukanya, baru membawanya lari.”

“Dan ternyata penjambret itu orang yang sangat butuh uang.”

“Iya Bu, mendengarnya jadi kasihan. Semoga anaknya sudah sembuh.”

“Kamu itu juga sembrono, pergi malam, kenapa membawa tas yang isinya macam-macam.”

“Bahkan seluruh uang saya ada di situ bu, untuk membayar sekolah Nano dan membayar sewa rumah.”

“Lain kali kalau pergi, uangnya di simpan di rumah saja.”

“Saya biasa menyimpan di dalam tas itu, dan ketika mau mengantar ibu, langsung saja Tiwi bawa tas nya.”

“Lain kali jangan begitu, iya waktu itu ada yang menolong, kalau tidak, kamu bisa kehilangan semuanya.” Kata Ratna.

“Iya Bu, itu sebagai pelajaran untuk saya.”

“Kamu tadi bilang membayar uang sewa? Aku kira itu rumah kamu sendiri Wi,” kata Sasmi.

“Yang saya tempati itu rumah peninggalan ayah saya, kecil sederhana, tapi letaknya kan masuk ke belakang, sedangkan yang saya pakai berjualan itu rumah bu Margono yang saya jadikan kios berjualan sayur, sudah bertahun-tahun sejak ibu saya yang berjualan.”

“O, itu rumah beda? Aku kira itu juga milik yu Kasnah sendiri.”

“Yang di belakang Bu. Itu kan di depan. Kami menyewa untuk keperluan berjualan.”

“O, baru tahu aku. Ya sudah, ini uang kamu, nanti kamu kelamaan ngobrol di sini, yang mau beli sayur kelamaan menunggu.”

“Oh, iya Bu, terima kasih banyak, saya pamit dulu.”

“Semoga laris ya Wi.”

“Terima kasih Bu,” sahut Pratiwi sambil menjauh.

“Kok seperti mendengar suara Tiwi ya?” tiba-tiba Roy mendekat.

“Kamu sudah mandi? Tumben,” kata Sasmi.

“Iya, nanti mau berangkat agak pagi, tugas keluar kota.”

“Sama Ardian juga?”

“Tidak, Ardian mengurusi yang ada di dalam. Benar ya, tadi ada Pratiwi?”

“Hanya mengantarkan sayur pesanan ibu. Tuh, barang-barangnya,” kata Sasmi sambil menunjuk ke arah meja.

“Kok nggak tahu aku.”

“Kamu tuh kenapa, kalau menyangkut Pratiwi kok perhatian kamu luar biasa?”

“Ibu tuh berlebihan, cuma bertanya saja kok dikira perhatian luar biasa. Ya enggak lah Bu, biasa saja.”

“Hm, awas ya, jangan bermain dengan rasa,” sambung Ratna.

“Apa maksud Ibu dengan kata-kata itu? Bermain dengan rasa itu bagaimana?”

“Pratiwi itu cantik. Perhatian yang berlebihan, menunjukkan bahwa kamu ada rasa.”

“Ya, ini lagi. Kenapa sih, kedua ibu aku ini selalu kompak?” kata Roy yang kemudian  ngeloyor pergi. Diam-diam dipikirkannya kata-kata kedua ibunya tadi.

“Bermain dengan rasa? Aku punya rasa apa ya? Suka? Ya Tuhan, masa sih aku suka sama Pratiwi? Bukankah kami hanya berteman??” gumam Roy terus menerus, sambil mengganti baju dengan baju kerjanya.

Tapi kemudian Roy tak bisa memungkiri kata hatinya, bahwa Pratiwi itu memang cantik. Dandanan sederhana yang selalu dikenakannya justru menonjolkan kecantikan aslinya. Dan itu membuatnya selalu membayangkannya.

“Tapi Pratiwi tidak mudah didekati. Dia seperti mawar cantik yang penuh duri di tangkainya. Kalau tidak hati-hati, aku bisa terluka,” gumamnya lagi.

“Mau berangkat sekarang?” kata Ardian yang tiba-tiba melongok di pintu kamar Roy.

“Kamu tuh seperti hantu ya, tiba-tiba muncul dan mengejutkan aku,” gerutu Roy.

“Aku? Hanya bertanya tentang keberangkatan kamu, kok dikira seperti hantu? Dan itu membuat kamu terkejut?”

“Terkejut lah, kamu tiba-tiba nongol.”

“Berarti kamu sedang melamunkan sesuatu. Ya kan?”

“Tuh, pinter ngarang juga kan?”

“Kamu mau berangkat sekarang, kok sudah rapi?”

“Iya. Takut kesiangan.”

“Ya sudah, tapi sarapan dulu kan? Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”

***

Begitu selesai berjualan, Pratiwi terkejut melihat Ratih tiba-tiba muncul.

“Ya ampun, belum selesai ya Mbak?”

“Ratih? Nggak nyangka kamu mau datang, sendiri pula.”

“Sama mas Bondan kok, tuh lagi memarkir  mobilnya. Ayo aku bantu, ini diangkat masuk ya Mbak?”

“Eh, ya ampuun, jangan. Itu bangku kotor. Biar aku saja.”

“Nggak apa-apa kok. Kan nanti bisa cuci tangan,” kata Ratih yang membantu memasukkan bangku-bangku bekas berjualan ke dalam rumah.

“Kamu nih, nekat sekali.”

“Sayurnya masih sedikit, juga di masukkan?”

“Nggak, sisa sayur mau aku bawa ke rumah, bisa dimasak untuk lauk sendiri. Sudah, ayo masuk, aku tutup dulu warungnya.”

“Hai Tiwi,” tiba-tiba Bondan berteriak sambil mendekat.

“Mas Bondan, saya kira sudah kembali ke Jakarta?”

“Belum masih nanti sore. Ini cuma mengantarkan si bawel ini, katanya cuma sebentar, karena belum sempat ketemu kamu lagi.”

“Maaf, aku belum bisa ke sana, bahkan saat pengajian itu.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti.”

“Ayo masuk ke rumah, di sini lebih kotor.”

“Ayo aku bantu bersih-bersih,” kata Bondan.

“Ayo ke rumah saja, ibu pasti senang.”

“Tapi kami tidak lama, karena nanti sore harus kembali ke Jakarta.”

“Iya, nggak apa-apa, besok aku main ke sana deh.”

“Ini, oleh-oleh buat ibu,” kata Bondan sambil menyerahkan bungkusan.

“Waduh, pakai oleh-oleh segala.”
“Untuk orang tua, yang empuk-empuk,” kata Ratih sambil mengikuti langkah Pratiwi masuk ke rumah.

***

Malam hari itu Pratiwi mengantarkan ibunya ke sebuah hotel, dengan diantarkan bu Minar. Ia disuruh menunggu di lobi, sementara bu Minar masuk ke dalam.

“Lama sekali,” keluh yu Kasnah.

“Baru menemui temannya, dan bicara, barangkali.”

“Kamu akan menunggu ibu kan?”

“Iya, Tiwi pasti menunggu ibu.”

Tak lama kemudian bu Minar keluar, dengan seorang laki-laki.

“Tiwi, aku pulang dulu, nanti aku akan datang menjemput, kalau kamu sudah mengabari,” kata bu Minar sambil berlalu.

Pratiwi hanya mengangguk. Lalu laki-laki itu mendekati Pratiwi.

“Ayo masuk, kamu sudah ditunggu,” kata laki-laki itu sambil menarik tangan Pratiwi.

Dengan kesal Pratiwi mengibaskannya.

“Ayo segera masuk.”

“Saya akan menunggu.”

“Lhoh, yang mau memijit siapa?”

“Ibu saya.”

“Saya Pak, tukang pijitnya.”

“Kamu? Aku kira dia. Aku mau tukang pijit yang muda ini saja.”

Pratiwi terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

39 comments:

  1. Replies
    1. Sudah bisa lari lagi, setelah nimang putu anyar....
      Selamat ya jeng Iin.... atas kehadiran cucunya, semoga kelak jadi anak shalihah..... ini sdh pulang ke Yogja kah ??

      Matur nuwun bu Tien, senajan sambil njagong, masih sempat ngedit cerbungnya dan langsung tayang......

      Delete
    2. Ini td hbs bedhong Vania trus buka blog
      Alhamdulillah pas tayang
      Mksh bunda Tien sehat selalu doaku

      Delete
  2. Matur nuwun bu Tien, salam seroja

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal’afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
    امين 🤲🙏

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah tayang gasik bu ... salam sehat bu tien ...maturnuwun

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku,SB08 telah tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu Minar Nyambi jadi 'penghubung' dengan para hidung belang ya, tapi mungkin Tiwi ditolong oleh Bondan.
      Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

      Delete
  6. Kelihatannya bu Minar berhati jahat...
    Lama di dalam merencanakan sesuatu yang akan mencelakakan Pratiwi..... akan dijadikan umpan si hidung belang...
    Semoga Bu Tien ..... menyelamatkannya.... ADUHAI.

    ReplyDelete

  7. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~08 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  8. Terima kasih Bu Tien
    Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat. Aamiin

    ReplyDelete
  9. Yg dtunggu sdh hadir... trma kasih mbu Tien... sht sllu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah...
    SBk 08 udah hadir... maturnuwun bu Tien
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  12. Alhamdullilah..terima ksih bunda Tien🙏Salam sht sll🙏😍🌹

    ReplyDelete
  13. 🌹🍃🌹🦋🌹🍃🌹
    Alhamdulillah SB 08 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Semoga sehat selalu
    dan tetap smangaaats...
    Salam Aduhai...
    🌹🍃🌹🦋🌹🍃🌹

    ReplyDelete
  14. Aseekk...makasih, bu Tien.🙏😘😘

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun mbak Tien.. Alhamdulillah Setangkai Bungaku Episode 08 sudah tayang. Salam sehat dan salam hangat.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  17. Yaa...Pratiwi dikira tukang pijitnya, pasti bu Minar sudah bersengkokol kali ya..😁
    Mtr nwn bunda Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillaah dah tayang dah d baca lagi makasih bunda

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 08 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, suwun mbak Tien... Sehat selalu 🧕

    ReplyDelete
  21. Halah mung mingset dikit aja sudah minta pijit, iya kan luar kota dapat uang saku, lumayanlah, sayang kan kalau nggak dihabisin, gitu ya.
    Ada yang harus diselesaikan malam ini, ini jagoan néon mencari dimana katanya tadi menginap, tuh pas eyel eyelan terlihat sama jagoan néon, umêp sampai ubun ubun.
    Mulai jagoan néon beraksi nggak peduli itu partner urusan kerjaan; doi gue tuh, jangan macem-macem tukang pijitnya emaknya.
    Bubar dèh nggak jadi kerjasama, nggak punya moral tuh maen sambêr aja, kayanya dibuat gitu dèh sama Minar pengurus penginapan; gila tuh orang, tapi gimana, kan memang butuh doku udah di kasih waktu beberapa hari lagi buat bayar sewa kios di pinggir jalan tuh.
    Pusing, jadi heboh, kedatangan jagoan néon.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke delapan sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, suwun mbak Tien... Salam sehat selalu 🧕

    ReplyDelete
  23. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,

    ReplyDelete
  24. Terima kasih bu tien, Alhamdulillah sehat2 selalu

    ReplyDelete
  25. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu . Aduhai

    ReplyDelete
  26. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 09

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  09 (Tien Kumalasari)   Gemetar tangan Satria yang memegang ponsel, ketika suara merdu itu terdengar. Untuk...